3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 PERAN FAKTOR PEMBEDA SIKLUS KLASTER DAN POLA HUBUNGANINTERAKSI DALAM PEMBENTUKAN KESADARAN PENGUSAHATERHADAP KERJASAMA SEKALIGUS PERSAINGAN (COOPETITION) (Sebuah Kajian diskriminan dalam Klaster Industri Mebel Kayu dan Rotan Jepara) Sri Hartono Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang srihartono @ unissula. ac id Agus Sobari Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang
[email protected] ABSTRACT Many studies have shown that successful industrial clusters promote the progress of small and medium enterprises (SMEs). Because of this, many governments in the world, including Indonesia, enthusiastic perform comparative studies of cluster policy. Thus, it is important to understand the characteristics of SMEs as input in formulating policies of industrial cluster development. The purpose of research focused on the analysis of whether the associated cluster of wood and rattan furniture industry, which has existed long enough in Jepara, has established a pattern of awareness among employers in considering the benefits of cooperation as well proportionately between cooperation and competition. In various studies of scientific literature, this issue called the term "coopetition Thus, the benefits o f this research are useful in formulating policy towards strengthening industrial clusters of wooden and rattan furniture in Jepara toward solid industrial district, more integrated both backward (backward linkage) or integrated to the front (forward linkage). In the end, the expected mature industrial cluster of wooden furniture and rattan in Jepara will be transformed into a form of industrial agglomeration positive impact on strengthening the competitiveness of the furniture industry and widely influential in regional and national economy. The paper finds out that almost all of differentiating dimensions (discriminant factor) significantly influential in differentiating into three patterns of interaction between firms in industrial cluster of wooden furniture and rattan in Jepara. There is only one dimension that is not significant, ie, the horizontal dimension of cooperation. These results indicate that the industrial cluster of wooden furniture and rattan in Jepara has long exist, where the cycles and patterns of cooperation, a factor which could show variation related to differences in perceptions of employer. The results showed that the employer awareness about the important role of competition and cooperation has balanced. This situation has characterized by maturity of existing of cluster cycle, and developed of cooperation with characteristic bilateral, multilateral, and vertical. Thus, it is indicating that the cluster is ready to metamorphose into a form more complexes as well as agglomeration. This condition needs to examine further by looking at the impact of the maturity cycle of an industrial cluster and a more complex pattern of cooperation towards the establishment of prerequisites agglomeration and its impact on industrial performance and competitiveness clusters taken together, as well as the economic development of the region. Keywords: Cluster cycle, interaction patterns, coopetition, competitiveness, industry performance.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1134
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 PENDAHULUAN Peran jejaring antar-organisasi (perusahaan) dan antar-individu dalam kelompok industri bukanlah hal baru. Penelitian yang dilakukan oleh Chetty and Agndal (2008) menunjukkan bahwa meskipun pada awal banyak perusahaan enggan untuk berkolaborasi dalam sebuah zona (klaster) industri, namun mayoritas dari mereka memahami bahwa dalam mengimplementasikan konsep pembelajaran organisasi, perusahaan idealnya harus mampu menjaga keseimbangan antara persaingan (competition) dan kerjasama (cooperation) ketika mereka ingin tetap eksis di tengah kompleksitas persaingan bisnis global. Dalam berbagai literatur kajian strategi bisnis muncullah istilah "coopetion " yang merupakan gabungan dari dua istilah "cooperative '' dan "competition ". Konsep ini tentunya dapat diimplementasikan melalui pola dan sistem hubungan formal dan informal antara pelaku pada tingkat organisasi (perusahaan) maupun an tar individu. Kerjasama dan hubungan an tar perusahaan adalah kunci bagi perusahaan untuk bersaing di pasar dunia yang menuntut tidak saja keunggulan kompetitif pada aras perusahaan tetapi juga pada aras klaster yang akan jauh lebih kuat dan berdampak luas pada keunggulan industri nasional sccara terintegrasi dan berjangka panjang. Keunggulan sebuah industri sccara nasional yang terintegrasilah yang sesungguhnya akan dapat menciptakan keunggulan daya saing yang kuat, dan pada akhirnya dapat dirasakan oleh masing-masing perusahaan yang berada di lingkup zona (klaster) sccara keseluruhan. Eksternalitas adalah suatu kondisi dimana fungsi utilitas konsumen dan fungsi produksi produsen tidak hanya dipengaruhi oleh mekanisme pasar semata, tetapi juga dipengaruhi oleh pelaku ekonomi (produsen/konsumen) lain (Stewart and Ghani, 1991). Sebagaian kalangan menganggap bahwa eksternalitas merupakan bentuk kegagalan pasar- (market failures) sehingga keseimbangan pasar- tidak tercapai. Dalam konteks klaster, eksternalitas timbul karena adanya efek aglomerasi yang dihasilkan aktivitas bisnis yang terpusat di sutau wilayah. Salah satu klasifikasi eksternalitas yang relevan dengan manfaat aglomerasi adalah eksternalitas nyata (real externalities) dan eksternalitas harga (pecuniary externalitites) (Stewart and Ghani, 1991). Eksternalitas nyata adalah apabila aktivitas bisnis (fungsi produksi) suatu perusahaan berdampak pada aktivias bisnis (fungsi produksi) perusahaan lain, sedangkan eksternalitas harga apabila aktivitas bisnis suatu perusahaan memberikan efek harga pada perusahaan lain. Sccara praktis, externalitas nyata dapat dideskripsikan sebagai berikut: apabila salah satu perusahaan industri kecil dan menengah (IKM) pada sebuah klaster industri (contohnya: industri genteng) mampu mengadopsi teknologi cetak (press) untuk menghasilkan teknologi terbaru (contohnya: genteng keramik), maka industri kecil dan menengah (IKM), sedangkan IKM lain masih menggunakan sistem produksi tradisional, akan diperoleh kesempatan yang lebih besar- bagi seluruh IKM dalam klaster tersebut untuk mempelajari dan mengadopsi teknologi yang sama, dibanding dengan produsen lain yang berlokasi di luar klaster. Dalam skala yang lebih besareksternalitas nyata dapat dilihat dari cepatnya penyebaran pengetahuan (knowlwdge spillovers) dari basil penemuan dan inovasi oleh pusat riset di suatu pusat industri. Dan penyebaran pengetahuan (knowledge spillover) tersebut juga mampu mengubah motivasi dan sikap pelaku bisnis dalam klaster, misalnya dari pekerja menjadi wirausaha seperti yang terdapat di klaster piranti lunak (software) di Bangalore India. Kecenderungan tersebut akan menghasilkan efek klaster pada terciptanya bisnis baru (Caniels and Romijn, 2003). Dari uraian tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa perspektif ekonomi melihat klaster sebagai strategi kompetitif yang mampu sccara spontan memberikan manfaat ekonomis bagi anggota Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1135
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 klaster. Namun manfaat aglomerasi yang bersifat pasif harus didukung oleh aktivitas aktif dari pelakunya untuk mendorong dinamika di dalam klaster. Namun demikian dengan mempertimbangkan peran penting klaster dalam meningkatkan kinerja, sehingga eksistensi klaster tidak hanya bisa dilihat dari cara pandang ekonomi semata. Perspektif kebijakan yang melihat klaster sebagai program yang bisa direncanakan, diimplementasikan, dan sekaligus dievaluasi akan dapat memberikan arahan bagi pengambil kebijakan. Tujuan Penelitian ditahun pertama dari keluruhan studi, difokuskan pada tahapan awal analisis terkait apakah klaster industri mebel kayu dan rotan yang sudah eksis cukup lama di Jepara telah membentuk pola kesadaran para pengusaha dalam mempertimbangkan manfaat secara proposional antara kerjasama sekaligus persaingan (cooperation and competition). Dalam berbagai kajian literatur ilmiah, isu ini dinamakan dengan istilah coopetition. Dengan demikian manfaat penelitian ini berguna dalam menyusun arah kebijakan penguatan klaster industri mebel dan rotan di Jepara menuju klaster industri yang lebih terintegratif dan kompleks melibatkan industri penunjang, baik terintegrasi kebelakang (backward lingkage) maupun terintegrasi ke depan (forward lingkage). Pada ujungnya, diharapakan semakin dewasa klaster industri mebel kayu dan rotan di Jepara akan bertransformasi menjadi bentuk aglomerasi industri yang berdampak positip terhadap penguatan daya saing industri mebel dan sekaligus berpengaruh secara luas pada perekonomian wilayah dan nasional.
KAJIAN TEORI Klaster Industri dan Penciptaaan Daya Saing Secara khusus, Chetty and Agndal (2008) mengungkapkan bahwa kawasan industri telah digunakan oleh industri kecil dan menengah (IKM) untuk memperluas pasar internasional mereka, mengembangkan produk inovatif, dan dalam menyusun strategi pemasaran, serta untuk mengidentifikasi peluang bisnis. Kawasan industri ini memungkinkan IKM untuk mendapatkan keuntungan dari skala ekonomis. Para pembuat kebijakan telah mengakui pentingnya pemimpin IKM dalam bertindak sebagai katalis untuk memulai pengembangan klaster industri. Perusahaan-perusahaa yang berada dalam klaster industri dapat melakukan upaya peningkatan kerjasama dan membentuk jejaxing bersama untuk memupuk persaingan secara sehat. Menyeimbangkan kerjasama dan kompetisi sedemikian rupa menjadi suatu aspek texpenting dari suatu klaster industri. Strategi penggabungan konsep (mix-strategic policyjantara melakukan kerjasama dengan menciptakan persaingan, menjadi isu penting untuk diperhatikan. Marshall (1920) telah sangat lama memperkenalkan konsep co-partnerships, unsur kedekatan sosial, dan kerjasama antara industri. la menggabungkan konsep kawasan industri, pembangunan perkotaan, dan pemasaran. Uraiannya tentang konsep elemen "lunak" -berupa hubungan atau kontak pribadi antara pedagang, pelanggan dan produsen, serta pertukaran informasi berupa sirkulasi ide-ide baru dan difusi inovasi-adalah salah satu gagasan penting yang dianggap sebagai kontribusi Marshall terhadap teori aglomerasi. Disamping itu, Marshall juga memperkenalkan konsep eksternalitas ekonomis sebagai keuntungan skala ekonomi yang berasal dari terbentuknya kawasan industri (Sato, 2000; Bellandi, 1987;2001). Pola Kerjasama Klaster Industri Indikator-indikator " lunak" dari hubungan interaksi (the soft elements of interaction), berupa: kepercayaan, komitmen, saling berbagi pengetahuan, polakomunikasi yang sctara antara mitra, adalah Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1136
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 bentuk dan indikator-indikator awal terbentuknya jejaring sosial an tar IKM dalam klaster. Dampak selanjutnya dan kondisi awal tersebut dapat menyebabkan kerjasama yang lebih bcsar antar-pcrusahaan. Selain itu, elemen-elemen ini jika dikombinasikan dengan tatanan nilai sejarah dan budaya yang telah melekat kuat sesuai kondisi daerah yang bersangkutan, dan faktor-faktor ko-lokasi dengan interaksi dalam kegiatan mata rantai bahan baku dan input produksi, dapat memicu terjadinya janngan dan kerjasama antar-pcrusahaan di wilayah geografis (klaster) sccara lebih luas lagi. Dasar untuk membangun jejaringan kerjasama adalah konsep kepercayaan, yang telah sccara luas diakui sebagai norma-norma sosial yang utama dalam mengatur dan mengkoordinasikan kemitraan (Gulati, 1995). Kepercayaan berbasis kompetensi (Ganesan, 1994) akan dapat terwujud manakala mitra kerjasama secaiakonsistenmenunjukkan karakteristik, berupa kredibilitas dan keahlian. Hal ini mencerminkan sejauh mana mitra bersedia mengandalkan keahlian, kemampuan, dan penilaian (Shah and Swaminathan, 2008). Unsur kepercayaan akan cenderung lebih penting dalam konteks membangun kerjasama (aliansi) khusus yang berhubungan dengan risiko tinggi, dimana aliansi pemasaran antarpcrusahaan yang berpartisipasi dalam industri yang sama, seringkali dilihat sebagai pesaing. Elemen lainnya dari jejaringan termasuk kesetaraan, kepercayaan, kredibilitas, integritas, kejujuran, pengetahuan dan keakraban, komitmen, komunikasi yang lebih baik antara perusahaan, dan kepercayaan antara para pihak (Morgan and Hunt, 1994; Coviello et al., 2002; Coote et al, 2003.). Diawali dari penelitian kami tentang strategi peningkatan kinerja perusahaan melalui intcgrasi supply chain pada industri kecil (Sri Hartono, 2010; 2011; 2012), diketahui bahwa kinerja perusahaan yang terbentuk basil dari implementasi pengintegrasian rantai pasokan (supply chain) produksi pada industri-industri kecil sudah menerapkan intcgrasi rantai pasokan (supply chain) yang terintegrasi pada aras kebijakan tata kelola produksinya sccara individual, namun belum terbentuk kerjasama an tar perusahaan sejenis dalam klaster industri sccara terintegratif (Sri Hartono, 2008,2009). Untuk lebih detail bisa dilihat dari Gambar 1.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1137
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Lama
Gantung
Erat I Jalin I
Sepakat Manfaat
(AWAL-DEWASA (X1) Langsung lOrientasih^-^^AKTIF-DINAMiS Tawar
^SIKLUS KLASTER^ I KerJa^ma I I Ko^Pe'isi I \ / COOPETITION (
Langgeng Bil-1 Mul-1 Mui-2 V1u!-3 Mul-4 Mul-5
611-2 |Bil-3| |Bil-4| iBil-sl - \ BILATERAL (X3) MULTILATERAL X5
POLA KERJASAMA
HORISONTAL (X5)
Hor-1 I Ver-1
VERTIKAL (X6)
GAMBAR 1. Alur Pikir Penelitian Model Multiple Discriminant Analysis Namun demikian penelitian terdahulu masih terbatas pada klaster industri keeil yang terbentuk sceara alamiah, bukan karcna desain kebijakan. Untuk itulah penelitian kelanjutan mengenai riset membangun model tata kelola kerjasama an tar IKM pada aras klaster industri mebel kayu dan rotan di Jcpara perlu diteliti ulang terkait kondisi awal yang memungkinkan terbentuknya kerjasama. Kajian awal ini, direneanakan dilakukan pada penelitian di tahun pertama. Penelitian ini melakukan kajian faktor pembeda (discriminant analysis) tentang infrastruktur industri seperti apakah yang telah terbangun di klaster sektor usaha mebel kayu dan rotan di Jcpara, sebagai prasyarat terbentuk pola kerjasama antar IKM sejenis di klaster mebel kayu dan rotan. Analisis komponen kunci yang mendukung kapasitas klaster dapat dilihat dari Gambar 1.
Siklus Klaster Klaster merupakan konscntrasi geografis perusahaan yang saling berhubungan dan lembaga dalam bidang tertentu (Poter, 1998 ;.78). Klaster terdiri dari kedua kompetisi dan kerjasama dan mereka hidup berdampingan. Kondisi ini terjadi pada dimensi yang berbeda dan di antara anggota klaster yang berbeda (Porter, 1998). Selain itu, banyak kelompok berusaha untuk mengembangkan citra merek dan strategi promosi bersama untuk digunakan di pasar luar negeri. Dengan cluster coopetition, anggota klaster dapat memanfaatkan keuntungan ekonomi dari akses bersama ke informasi dan pengetahuan jaiingan, pasar dan intelijen pemasaran, dan pemasok dan rantai distribusi (Enright and Roberts, 2001). Dewasa ini telah terjadi peningkatan minat dalam kelompok perusahaan untuk membangun coopetition (Leat and Revoredo-Giha, 2008). Kottila and Ronni, (2008) mencatat pentingnya komunikasi dan kepercayaan antara perusahaan kolaboratif, tetapi tidak membahas kompetisi. Klaster anggur sejak dikembangkan di Selandia Baru. Klaster anggur, tidak seperti kelompok industri lainnya secara tradisional dibentuk di daerah dengan sumber daya feb w
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
„„ 11
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 unggul alami untuk anggur tumbuh dengan wilayah Waipara menjadi tidak terkecuali (Enright and Roberts, 2001). Enright and Roberts (2001) berpendapat bahwa meskipun globalisasi telah meningkat, secara paradoks, minat kelompok lokal dari perusahaan yang sama atau industri terkait, atau 'kluster daerah'. Pengelompokan geografis produsen dapat mengurangi tantangan, dengan memfasilitasi kedekatan (Enright and Roberts, 2001). Selain itu, seperti tindakan lokalisasi membantu untuk memastikan agenda lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat daerah puas (Enright and Roberts, 2001). Penelitian pada kelompok anggur di Selandia Baru menemukan bahwa kedua kompetisi dan kerjasama ada di antara Selandia Baru pembuat anggur (Harfield, 1999). Sementara Hayward dan Lewis (2008) mempelajari dinamika regional Anggur Maiiborough dan menyarankan bahwa kematangan siklus hidup kluster merupakan faktor yang menentukan dalam kompetisi dan kerjasama. Selain itu, Aylward (2004) menunjukkan klater anggur di Selandia Baru yang telah berkembang melewati tahap embrio klaster memiliki integrasi kohesif pembuat anggur, petani, pemasok, pemasar dan pendidikan dan infrastruktur entitas regulasi menyediakan struktur di mana perusahaan bersaing dan bekerja sama secara efektif. Siklus Klaster menunjukkan kedewasaan klaster dalam membangaun kerjasama. Semakin lama klaster terbentuk dan memberikan kemanfaatan bagi IKM yang her ada pada klaster tersebut menunjukkan tingkat kedewasaan dan kematangan dari sebuah klaster. Kondisi Klaster Furniture berbasis kayu dan Rotan di Kabupaten Jepara menunjukkan kondisi siklus yang eukup dewasa dan matang. Hal ini dapat dilihat hubungan yang terbentuk sudah eukup lama dan memberikan kemanfaatan bagi perusahaan yang dirasakan oleh sekitar 62,34%. perusahaan yang berada pada klaster tersebut. Sedangkan siklus yang terjadi pada klaster mebel rotan masih Dalam tahap awal karena masyoritas masih berada pada siklus yang masih rendah dan sedang dalam lamanya kerjasama terbanguan dan kemanfaatan dari kerjasama yang terbentuk belum begitu dirasakan. Pola Hubungan an tar perusahaan dalam klater mebel dan rotan eukup variatif. Pola hubungan yang terbentuk berupa hubungan bilateral, multilateral, horizontal maupun vertikal. Pola hubungan bilateral yang yang terbangun relative rendah, karena mayoritas perusahaan pada klaster mel kayu maupun rotan menunjukkan tingkat hubungan bilateral yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang terbentuk justru sudah eukup kompleks tidak sckcdar hubungan bilateral akan tetapi hhubungan yang lebih luas atau multilateral. Hubungan multilateral yang terbangun pada kedua klaster tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang telah membangun hubungan multilateral relative tinggi scbcsar 63,54%. Terutama pada klaster mebel kayu, sedangkan pada klaster mebel rotan hubungan bilateral dan multilateral yang terbentuk relative rendah bahkan eenderung rendah. Pola hubungan yang terbentuk juga dapat berupa hubungan horizontal yaitu kersama dengan perusahaan dalam satu level atau kerjasama produksi. Hubungan yang lebih besar juga dapat terbentuk dalam bentuk kerjasama vertical yang dilakukan dengan perusahaan besar dan kerjasama tidak sckcdar produksi tetapi juga bentuk kerjasama yang lain yang memebrikan kemanfaatan begi perusahaan. Kerjasama yang horizontal yang terbentuk pada kedua klaster tersebut relatif tinggi. Hal ini dapat dilihat dari perusahaan yang telah membangun kerjasama horizontal sebanyak 92 perusahaan dari 101 perusahaan yang dijadikan responden. Hal ini menunjukkan kerjasama horizontal yang terbangun dalam klaster tersebut relatif baik. Sedangkan kerjasama vertikal yang sudah dilakukan perushaan pada kedua Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1139
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 klaster menunjukkan bahwa perusahaan yang telah membangun hubungan vertical cukup tinggi terutama pada klaster mebel kayu yaitu sebanyak 46 perusahaan dari 77 perusahaan yang berada pada klaster tersebut atau lebih dari 50%. Sedangkan hubungan vertical pada klaster mebel rotan belum banyak yang melakukan, karena klaster tersebut baru pada siklus awal. Tujuan utama terbentuknya klaster adalah untuk meningkatkan penguatan klaster (coopetition) bagi anggota klaster yang dapat memberikan keuntungan bagi perushaan pada klater tersebut. Coopetition klaster diwujudkan dengan tingginya kerjasama yang terbangun dan persaingan yang terbentuk. Dari kekuatan kerjasama dan persaingan tersebut terkelompok menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu daya saing yang tinggi, sedang dan rendah yang dirasakan oleh perusahaan yang berada pada kedua klaster tersebut. Kondisi coopetition yang dirasakan oleh perusahaan pada kedua klaster yang dirasakan oleh perushaan pada klaster mebel cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari perusahaan yang merasakan coopetition klaster tersebut tinggi sebanyak 49 perusahaan dari 77 perusahaan atau sckitar 64%. Klaster industri mebel Jepara telah memberikan kemanfaatan yang cukup tinggi bagi sebagaian bcsar perusahaan yang berada pada klaster tersebut. Sedangkan coopetition yang dirasakan oleh perusahaan pada klaster rotan relative rendah bahkan belum ada perusahaan yang merasakan adanya coopetition yang tinggi. Kondisi menunjukkan bahwa klaster tersebut belum terbentuk dengan baik karena belum banyak memberikan kemanfaat bagi anggota klaster tersebut.
Konsep Coopetition Coopetition antara perusahaan besar telah lama menjadi topik untuk penelitian. Coopetition merupakan situasi di mana organisasi sccara simultan bekerja sama dan bersaing dengan kompetitor (Brandenburger and Nalebuff, 1996). Lado, Boyd dan Hanlon (1997) berpendapat bahwa kesuksesan dalam dunia bisnis di saat ini ditopang oleh keberhasilan perusahaan mengejar kedua strategi kooperatif dan sekaligus kompetitif secara bersamaan. Industri penerbangan merupakan contoh model co-opetition yang telah lama digunakan untuk saling membantu dalam melakukan bisnis dengan pesaing (Nason, 2008). Porter (1998) mengemukakan bahwa perusahaan industri muncul menghadapi dilema kompetitif kepentingan pribadi atau advokasi industri koperasi. Kompetisi dan kerjasama dapat membantu perusahaan memanfaatkan keuntungan ekonomi mereka berbagi pengetahuan, informasi, intelijen pemasaran dan rantai distribusi (Enright dan Roberts, 2001). Bahkan perusahaan kecil kini dapat memperoleh manfaat dari persaingan yang tidak seimbang di mana mereka leverage pesaing yang lebih bcsar. Demikian pula, Cefis, Ghita, dan Sabidussi (2009) difokuskan pada kerja sama, tapi bukan kompetisi an tar UKM. Mereka berpendapat bahwa keuntungan kolaboratif tampaknya lebih tinggi bagi UKM dan dengan bergabung dengan perusahaan lain, UKM dapat mengatasi batas-batas yang berasal dari sumber daya mereka yang terbatas dan menjadi inovator yang dinamis (Cefis, Ghita, dan Sabidussi, 2009). Meskipun coopetition tidak sepihak dan sederhana, seringkali dampak positipnya (keuntungan) lebih besar darn dampak negatif ketika pelaku usaha mengambil keputusan untuk ambil bagian dalam strategi kohesif tersebut, sebagaimana diungkap oleh Padula dan Dagino (2007).
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1140
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh industri kecil dan menengah (IKM) yang bergerak dalam usaha mebel kayu dan rotan di klaster Jepara. Pengambilan sampel menggunakan metode multistage and purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dilakukan dalam 3 Tahap. Tahap pertama, memilih perusahaan di setiap klaster penelitian. Tahap kedua, mengelompokan perusahan dalam dua kelompok, yakni yang telah melakukan kerjasama dalam jejaring klaster dan yang belum (tidak melakukan). Tahap ketiga memilih karakteristik unik di tiap-tiap perusahaan terkait: a) Pola hubungan antara isu yang berkaitan dengan pola hubungan dan kerjasama antar usaha menengah dan kecil pada klaster industri mebel kayu dan rotan di Jepara yang akan berdampak eksternalitas positif dalam upaya membangun daya saing industri yang akan cukup sulit jika dikembangkan secara individu-individu perusahaan. b) Unsur kedekatan dan keterkaitan lokasi (co-location) dan efek dari pola jejaring kerjasama
(sosial)
antar-perusahaan
terhadap
kekuatan
dan
pengaruhnya
dalam
mensinergikan kinerja pemasaran dan daya saing. c) Perbandingan kinerja rantai pasokan (supply chain) dan kinerja pemasarandiantara dua kelompok usaha mebel kayu dan rotan di Jepara yang melakukan pola kerjasama dan kemitraan (sosial) dengan yang tidak melakukan kerjasama pada klaster yang sama.
Indikator-Indikator Penelitian Agar konsisten dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, skala yang digunakan oleh Morgan dan Hunt (1994), Coote et al. (2003), Coutler (2003) merupakan dasar untuk mengukur konsep serupa dalam studi ini. Namun, item baru yang ditambahkan berupa indikator-indikator pengukuran dari konstruks (variabel) yang bersifat proksi yang berhubungan dengan indikator spesifik yang disesuaikan dengan konteks kondisi lingkungan industri mebel kayu dan rotan di Jepara. Konstruks (variabel) yang dimaksud adalah antara lain yang berhubungan dengan unsur/dimensi sosial dari praktek kerjasama jejaring produksi dan pemasaran yang mengacu pada penelitian Granovetter (1973) dan Coviello et al. (2002) namun telah disesuaikan dengan lokasi dan objek penelitian ini. Hal tersebut perlu dilakukan untuk memastikan validitas dari kuesioner survei. Dalam penelitian ini juga akan menggunakan saran pra-survey dari para pelaku usaha mebel kayu dan rotan dalam industri dan perusahaan yang berpartisipasi. Ini berarti, ada kemungkinan untuk melakukan modifikasi alat pengukuran yang lebih baik daripada sebelumnya. Modifikasi untuk instrumen pengukuran akan dilakukan apabila diperlukan. Adapun indikator masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Siklus hidup (jejaring) klaster: interaksi (the soft elements of interaction), berupa: kepercayaan, komitmen, saling berbagi pengetahuan, pola komunikasi yang setara antara mitra,dapat membantu membangun jejaring sosial yang diintegrasikan dengan
feb
Fakultas Kristen Ekonomika danWacana Bisnis Universitas Satya
produksi,
1141
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 mata
rantai
produksi,
kerjasama
teknologi,
kerjasama pemasaran, kerjasama
manajemen, informasi usaha. b) Pola kerjasama: bilateral, multilateral, horisontal dan vertikal. c) Coopetition: Intensitas Kerjasama dan Intensitas Persaingan
Analisis Diskiminan Menurut Johnson dan Wichern (2007) Analisis Diskriminan digunakan untuk mengklasifikasikan individu ke dalam salah satu dari dua kelompok atau lebih. Suatu fungsi diskriminan layak untuk dibentuk, bila terdapat perbedaan nilai rerataan di antara kelompokkelompok yang ada. Sebelum fungsi diskriminan dibentuk perlu dilakukan pengujian terhadap perbedaan nilai rataan dari kelompok-kelompok tersebut. Dalam pengujian tersebut, asumsi analisis diskriminan yang harus dipenuhi adalah : 1. Variabel
independen
seharusnya
berdistribusi
normal
multivariat
(Multivariate
Normality), jika data tidak berdistribusi normal, akan menyebabkan masalah pada ketepatan fungsi (model) diskriminan. 2. Matriks varians kovarians grup dari semua variabel independen seharusnya sama. 3. Tidak ada data yang sangat ekstrim (outlier) pada variabel independen, jika ada data ekstrim yang tetap diproses, hal ini bisa berakibat berkurangnya ketepatan klasifikasi dari fungsi diskriminan. 4. Tidak
ada
korelasi
yang
kuat
antar-variabel
independen
, jika
dua
variabel
independen mempunyai korelasi yang kuat,dikatakan terjadi multikolinieritas. Untuk mengetahui adanya multikolinieritas dapat dilakukan dengan melihat korelasi antar variabel independen (r) yaitu jika nilai
r>0.6 menunjukkan adanya multiko-linieritas.
Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Menghitung
nilai rata-rata,
standar deviasi, nilai varians, kovarians, matriks varians-
kovarians dan matriks varians kovarians dalam kelompok gabungan pada setiap kelompok atau grup. 2. Menghitung korelasi antar variabel bebas (prediktor) pada setiap kelompok, untuk melihat multikolinieritas variabel independen. 3. Menghitung nilai homogenitas matriks varians kovarians dalam kelompok. 4. Menghitung nilai uji F dan Wilk's Lambda, untuk melihat perbedaan variabel bebas pada setiap kelompok. 5. Menguji semua variabel,untuk mengetahui apakah semua variabel independen berbeda secara nyata berdasarkan variabel dependen. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1142
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 6. Mencari nilai signifikansi dari fungsi diskriminan dengan nilai uji F dan ff/V^'s Lambda. 7. Membuat suatu fungsi diskriminan dari variabel independen yang bisa mendiskriminasi membedakan
kelompok
variabel
atau
dependen (membedakan suatu objek masuk pada grup I
atau grup II). 8. Menentukan klasifikasi
terhadap objek, apakah suatu objek termasuk pada grup I atau
grup 11. 9. Menguji ketepatan klasifikasi fungsi diskriminan.
ANALISIS HASIL Dalam upaya pengembangan klaster terutama dalam peningkatan daya saing klaster, maka pada tahap awal perlu dilakukan kajian terkait identifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat membedakan level atau jenis kerjasama yang telah terbentuk di sebuah klaster industri, dimana dalam penelitian ini di fokuskan di klaster industri mebel kayu dan rotan di Kabupaten Jepara. Dari variabel siklus usia klaster (awaldewasa) dan variabel dinamika klaster (aktif-dinamis) yang sudah terbangun dan dari 4 (empat) jenis pola kerjasama yang sudah terbentuk (bilateral, multilateral, horisontal, dan vertikal) maka perlu diidentifikasi variabel mana yang menjadi penentu dalam membedakan (discriminant) kesadaran para pengusaha mebel kayu dan rotan di Jepara terhadap persepsi pentingnya membangun kerjasama namun sekaligus juga berkompetisi, coopetition. Dari hasil analisis diskriminan terhadap variabel siklus usia (awal-dewasa) dan dinamika klaster (aktif-dinamis), serta 4 (empat) bentuk pola kerjasama (bilateral, multilateral, horisontal, dan vertikal) yang telah terbangun selama ini, terhadap pembentukan kesadaran coopetition dapat dilihat pada tabel 1 sd tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 1 Uji Signifikasi terhadap Variabel-Variabel Pembeda
Variable
Wilks' Lambda F
df2
Sig.
Awal-Dewasa (XI)
.693
21.667
2
98
.000
Aktif-Dinamis (X2)
.565
37.703
2
98
.000
Bilateral (X3)
.843
9.120
2
98
.000
15.933
2
98
.000
Multilateral (X4) .755 Horisontal (X5)
.944
2.891
2
98
.060
Vertikal (X6)
.415
69.068
2
98
.000
feb w
dfl
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 Hasil uji signifikansi setiap vanabel independen lewat prosedur test of equality of group means, menunjukan bahwa berdasar nilai Wilks' lambda dan univariate F ratio semua variabel independen temayata signiftkan mampu membedakan jenis atau level ""kcrjasama sekaligus pcrsaingan" (coopetition) sebagai variabel dependen (Y). Semua variabel signifikan secara statistik dengan tingkat signifikansi dibawah 1%, kecuali variabel jalinan hubungan horisontal (X5) yang dibawah 10%. Tabel 2 Variabel-Variabel Pembeda Terbaik Min. D Squared Exact F Between Statistic Groups Statistic dfl
df2
Sig.
Step
Entered
1
Aktif-Dinamis (X2)
1.862
2 and 3
43.405
1
98.000
2.237E-9
2
Vertikal (X6)
3.129
1 and 2
8.106
2
97.000
.001
3
Horisontal (X5)
4.613
1 and 2
7.885
3
96.000
9.330E-5
Untuk menentukan variabel-variabel mana yang paling efisien atau terbaik dalam membedakan tingkat kesadaran coopetition para pengusaha industri mebel kayu dan rotan di Jepara, maka biasanya digunakan prosedur stepwise. Dengan prosedur stepwise yang dapat menyediakan indikator "mahalanohis distance " maka dapat diketahui bahwa variabel-variabel terbaik yang mempunyai kekuatan terbesar dalam membedakan (discriminant) penentu level kesadaran coopetition (Y). Nilai maksimum "mahalanohis distance D2" adalah untuk variabel dinamika siklus (aktif-dinamis) sebesar 43.40, lalu diikuti dengan variabel bentuk pola kcrjasama (vertikal) sebesar 8.10, dan yang ketiga terbaik adalah variabel bentuk pola kcrjasama (horisontal) sebesar 7.88. Dengan demikian, ketiga variabel ini paling tepat dalam memprediksi 3 dikotomi perbedaan coopetition, dibanding dengan variabel-variabel lainnya. Tabel 3 Koefisien Determinasi Variabel-Variabel Pembeda Eigenvalues Function Eigenvalue% of Variance 1 2
1.691a a
.072
Canonical Cumulative % Correlation
95.9
95.9
.793
4.1
100.0
.259
Wilks' Lambda Test of Function(s) Wilks' Lambda Chi-square df
Sig.
1 through 2
.347
102.770
6
.000
2
.933
6.757
2
.034
feb w
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Untuk mengukur tingkat signifikansi fungsi diskriminan (pengujian efek semua diskriminator sccara serempak), maka prosedur perhitungan eigenvalues dan Wilk's Lambda, bisa digunakan untuk menentukannya. Tabel 3 memlihatkan bahwa nilai canonical correlation (CR) sebesar 79.3% (CR2 = 62.88%) untuk fungsi diskriminan 1 dan CR=25.9% CR2=6 .7%. Dengan demikian, kemampuan fungsi diskriminan 1 dalam menjelaskan vaiiabilitas coopetition (Y) adalah sebesar- 62.88%. Angka ini boleh dikatakan cukup baik. Namun fungsi diskriminan 2 hanya bisa menjelaskan vaiiabilitas coopetition (Y) sebesar" 6.7%. Angka ini bisa terbilang rendah, meski demikian fungsi diskriminan 2 dianggap masih signifikan dengan alpha kurang dari 5 % (a=0.034). Dengan demikian, jika fungsi diskriminan dapat disimpulkan signifikan sccara statistik berarti bahwa skor rerata (mean score) diskriminan untuk ketiga kelompok responden (dalam hal ini dikategorikan dalam terhadap persepsi coopetition: rendah, sedang, tinggi) berbeda sccara nyata. Selanjutnya untuk menilai pentingya variabel diskriminan dan arti dari fungsi diskriminan dapat dilakukan dengan melihat fungsi diskriminan yang telah distandarisasi. Dari tampilan Tabel 4. fungsi diskriminan kanonikal yang telah distandarisasi (standardized canonical discriminant function Coefficients) menunjukan bahwa pada fungsi diskriminan Model 1 besarnya koefisien variabel kerjasama vertikal bernilai terbesar, yakni 0.866 disusul oleh variabel dinamika klaster (aktif-dinamis) dengan nilai 0.312, dan diikuti dengan variabel-variabel lainnya.. Untuk model fungsi diskriminan 2 besarnya koefisien fungsi diskriminan yang terstandarisasi adalah variabel horisontal sebesar" -0.866, disusul dengan variabel multilateral sebesar 0.722. Dengan demikian, makin tinggi koefisien yang telah distandariasi maka makin penting variabel tersebut dibanding variabel lainnya dalam pembentukan model diskriminan, demikian juga sebaliknya makin kecil semakin juga peranannya dibanding dengan variabel lainnya. Selanjutnya, indikator korelasi autar skor diskriminan (Y) dengan variabel-variabel diskriminator (X) dilihat dari nilai loading pada structure matrix nya menunjukan semakin mendekati nilai absolut 1 maka semakin tinggi korelasi antar a variabel X dan Y, dan jika semakin mendekati absolut 0, maka maka makin kecil nilai korelasinya . Dari indikator ini, maka model fungsi diskriminan 1, variabel vertikal dan aktif-dinamis menempati nilai korelasi tertinggi masing-masing sebesar" 0.898 dan 0.661. Sedangkan, untuk model fungsi diskriminan 2, variabel horisontal dan awal-dewasa mempunyai nilai korelasi masing-masing sebesar -0.647 dan 0.395. Tabel 4 Peran dan Kontribusi Parsial Variabel-Variabel Pembeda Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients Fungsi Dsikrimanan Model 1 Model 2 .512 Awal-Dewasa (XI) .123 Aktif-Dinamis (X2) .312 .059 Bilateral (X3) -.089 .158 .722 Multilateral (X4) -.133 -.892 Horisontal (X5) -.163 -.517 Vertikal (X6) .866
_.
feb
Structure Matrix Fungsi Dskriminan Model 1 Model 2 Vertikal (X6) .898* -.279 Aktif-Dinamis (X2) .661* .309 Awal-Dewasa (XI) .495* .395 .432* Multilateral (X4) .088 -.327* -.032 Bilateral (X3) -.647* Horisontal (X5) .099
Fakultas Kristen Ekonomika danWacana Bisnis Universitas Satya
1145
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 Selanjutnya untuk membentuk fungsi diskriminan maka Tabel 5 menyajikan informasi bahwa atas dasar perhitungan koefisien fungsi diskriminan kanonikal (canonical discriminant function coefficients) maka persamaan fungsi diskriminan adalah sebagai berikut: Z i = -6.413 + 0.039Xi + O.O6OX2 - 0.09X3 0.019X4 - 0.222X5 + 0.776X6 untuk model (fungsi) I Z 2 = 3.843 + 0.162Xi + O.OIIX2 - 0.017X3 - O.IOIX4 - 1.217X5 - 0.463X6 untuk model (fungsi) II. Guna menentukan titik potong (cutting point) antar kelompok dalam variabel disriminan (Y) maka ouput perhitungan berupa function at groups centroids dapat dijadikan petunjuk.
Tabel 5 Besaran Koefisien Fungsi Diskriminan kanonikal Canonical Discriminant Function Coefficients Fungsi Diskriminan Model 1
Model 2
Awal-Dewasa (XI)
1)39
462
Aktif-Dinamis (X2)
.060
.011
Bilateral (X3)
-.009
.017
Multilateral (X4)
-.019
.101
Horosontal (X5)
-.222
-1.217
Vertikal (X6)
.776
-.463
Konstanta
-6.413
3.843
Tabel 6, menginformasikan bahwa pada fungsi group centroid 1 tingkat coopetition tinggi adalah grup terpisah dari lainnya, dimana 2 (dua) grup lain, cutting point nya negatip sementara cutting point untuk coopetition tinggi adalah positip. Sementara, untuk fungsi group centroid 2 tingkat coopetition sedang adalah gimp terpisah dari lainnya, dimana 2 (dua) grup lain, cutting point nya negatip sementara cutting point untuk coopetition sedang adalah positip. Cutting point merupakan skor yang menunjukan rata-rata tertimbang dari pasangan nilai lainnya range skor diskriminan dapat mengelompokan coopetititon kedalam tiga kelompok: coopetition rendah, sedang, dan tinggi.
feb
Fakultas Kristen Ekonomika danWacana Bisnis Universitas Satya
1 1 /i
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Tabel 6 Cutting Point antar Group dalam Variabel Diskriminan (Y)
functions at group centroids Fungsi Diskriminan Coopetition Model 1
Model 2
Coopetition Rendah
-2.909
-1.026
Coopetition Sedang
-1.087
.273
Coopetition Tinggi
1.148
-.093
Untuk menilai seberapa baik fungsi diskriminan, bisa dicermati dari skor basil klasifikasi, sebagaimana terungkap dari indiktor basil perhitungan "classification results" Tabel 7.
Tabel 7 Kemampuan Mengelompokan Variabel Diskriminan (Y) Classification Results Coopetition
Original
Count
%
_.
feb
Predicted Group Membership
(Y)
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Rendah
5
1
0
6
Sedang
4
33
4
41
Tinggi
1
4
49
54
Rendah
83.3
16.7
.0
100.0
Sedang
9.8
80.5
9.8
100.0
Tinggi
1.9
7.4
90.7
100.0
Fakultas Kristen Ekonomika danWacana Bisnis Universitas Satya
1147
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 Tabel 7 Clasification result menunjukan bahwa kemampuan fungsi diskriminan dalam mengelompokan 3 (tiga) persepsi responden (pengusaha mebel kayu dan rotan) terhadap variabel disriminan (Y) menjadi rendah, sedang, dan tinggi sebesar 84.83% , yang diperoleh dari nilai rerata (83.3 % + 80.5% + 90.7%) / 3. Dengan demikian fungsi diskriminan mampu mengelompokan variabel diskriminan (Y) menjadi 3 kelompok adalah sebesar 84.83%. Angka ini terbilang baik dan menghasilkan presisi dalam memprediksi cukup besar.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil dari analisis diskriminan menunjukan bahwa semua faktor-faktor diskriminator berupa: faktor siklus klaster, yang diwakili oleh dua diskriminator, yakni: variabel awal-dewasa dan variabel aktif-dinamis, serta faktor pola interaksi, yang diwakili oleh empat diskriminator, yakni: variabel bilateral, variabel multilateral, variabel horisontal, dan variabel vertikal, kesemuanya signifikan dalam membedakan (mendiskriminasi) persepsi responden (para pengusaha mebel kayu dan rotan di Jepara) terhadap pemahaman kerjasama dan persaingan (coopetition). Dalam kontek ini pemahaman tentang coopetition dijadikan sebagai variabel diskriminan (Y) yang bersifat dikotomi. Pemahaman atas konsep dan implementasi coopetition, dari para responden pengusaha IKM mebel kayu dan rotan di klaster mebel Jepara, dalam penelitian ini dijadikan sebagai variabel diskriminan (Y) yang bersifat dikotomi. Untuk itu variabel diskriminan (Y) dikelompokan kedalam tiga kelompok, yakni "persepsi rendah", "persepsi sedang", dan "persepsi tinggi". Persepsi terhadap coopetition yang "rendah" ditandai dengan rendahnya persepsi mereka tentang persaingan dan juga kerjasama (keduanya rendah) antar sesama pengusaha mebel atau pengusaha industri terkait dengan mebel yang ada di klaster mebel dan rotan dimana mereka berada. Sedangkan persepsi tentang persepsi coopetition yang "sedang" ditandai jika salah satu dari persepsi tentang ketjasama atau persaingan tinggi sementara lainnya rendah. Sementara itu, persepsi terhadap coopetition "tinggi" ditandai dengan pemahaman yang tinggi secara bersamaan baik atas konsep persaingan maupun kerjasama. Kemamapuan model diskriminan dalam memprediksi pengelompokan variabel diskriminan (Y) terbilang baik. Ini tandai dengan nilai CR2 dan indikator keberhasilan mengklasifikasi (classification result) yang juga tinggi, masing-masing di atas 60 % dan 80 %.. begitu juga nilai keeratan hubungan (korelasi) parsial masing-masing variabel diskriminator (X) dengan variabel diskriminator (Y). Analisis diskriminan dengan teknis prosedur stepwise dapat menyediakan indikator "mahalanohis distance " mampu mengidentifikasi variabel-variabel terbaik yang mempunyai kekuatan terbesar dalam membedakan (discriminant) penentu level kesadaran coopetition (Y). Nilai maksimum "mahalanohis distance D2" adalah untuk variabel dinamika siklus (aktif-dinamis) lalu diikuti dengan variabel bentuk pola kerjasama (vertikal) dan ketiga terbaik adalah variabel bentuk pola kerjasama (horisontal). Dengan demikian, ketiga variabel ini paling tepat dalam memprediksi 3 dikotomi perbedaan coopetition, dibanding dengan variabel-variabel lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan pembentuk coopetition klaster adalah kedewasaan siklus dan derajat pola kerjasama bilateral, multilateral serta vertikal yang terbangun dalam klaster tersebut. Karakteristik klaster yang memenuhi kriteria tersebut diharapkan dapat berdampak pada pembentukan klaster yang lebih kompleks sehingga dapat bermetamorfosis mejadi aglomerasi dengan terciptanya sistem rantai pasokan industri yang terintegrasi dari hilir sampai hulu. Dalam upaya peningkatan daya saing klaster yang diwujudkan dalam tingkat coopetition yang tinggi periu dibanguan kedewasaan dalam kerjasama antar anggota dalam klaster, pola kerjasama baik bilateral maupun multilateral dan lebih menekankan pada kerjasama vertikal dengan tidak sekedar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1148
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 mengandalkan kerjasama horisontal. Hal ini dilandasi dengan berbagai temuan riset bahwa berkembanganya klaster ke arah aglomerasi ditandai dengan makin tinggi kerjasama sekaligus kompetisi yang sehat (coopetition) diantara para pengusaha dalam klaster yang sama.
DAFTAR PUSTAKA Alyward, D. (2004), Wine Clusters Equal Export Success, The Australian & New Zealand Grapegrower and Winemaker. Bellandi M (1987), La Formulazione Originaria; il Mercato e Force Locali: II Distretto Industriale, 11 Milino, Bologna, (translate edition). Bellandi, M. (2001), "Local Development and Embedded Large Firms", Entrepreneur ship and Regional Development 13(3): 189-210. Brandenburger, Adam M. and Nalebuff, Barry L, 1996, Co-opetition, Doubleday, New York. Caniels, Maijolein CJ. and Romijn, Henny A., (2003), "Firm-level knowledge accumulation and regional dynamics", Working Paper, Department of Technology Management, Technische Universiteit Eindhoven, The Netherlands. Cefis, Ghita, and Sabidussi, 2009, "Partnerships and innovative patterns in small and medium enterprises", International Journal of Entrepreneurship and Small Business, Volume 7, No.4, 431-445. Chetty S and Agndal H., (2008), "Role of Inter-Organizational Networks and Interpersonal Networks in An Industrial District", Regional Studies 42(2) 175-187. Coote L, Forrest E and Tam T (2003), "An Investigation Into Commitment in Non- Western Industrial Marketing Relationships", Industrial Marketing Journal 32(7): 595-604. Coutler K. and Coutler R. (2003), "The Effects of Industry Knowledge on The Development of Trust in Service Relationships", International Journal of Research in Marketing 20(l):31-43. Coviello N, Brodie R, Brookes R and Palmer R (2003), "Assessing The Role of E- Marketing in Contemporary Marketing Practice", Journal of Marketing Management 19(19): 857881. Enright, M. and Roberts, B. (2001), "Regional Clustering in Australia", Australian Journal of Management, 26, 66-85. Ganesan, S. (1994), "Determinants of Long-Term Orientation in Buyer-Seller Relationships", Journal of Marketing 47(4): 68-78. Granovetter, M. (1973), "The Strength of Weekties", American Journal of Sociology 78(6): 13601380. Gulati R (1995), "Does Familiarity Breed Trust? The Implications of Repeated Ties for Contractual Choice in Alliances", Academy of Management Journal 38(1): 85-102. Harfield, T. (1999). Competition and cooperation in an emerging indushy. Strategic Change, 8(4), 227234. Hay ward, D. and Lewis, N. (2008), "Regional Dynamic in Globalising Wine Industry:The Case of Marlborough, New Zeland", The Geographical Journal, Vol.174, No.2 Juni, pp. 124-137. Johnson, Richard A. and Wichern, Dean W. (2007), Applied Multivariate Statistical Analysis, 6th Edition, Pearson Prentice Hall. Kottila, Marja-Riitta, Ronni, Paivi. (2008) "Collaboration and Trust in Two Organic Food Chains", British Food Journal, Vol. 110 Iss: 4/5, pp.376 - 394 Lado, A. A., Boyd, N. G., & Hanlon, S. C. (1997). "Competition, cooperation, and the search for economic rents: A syncretic model". Academy of Management Review, 22(1), 110-141. Leaf, P. and Revoredo-Giha, C. (2008). "Enhancing the Integration of Agri-Food Supply Chains: Theoritical Issue and Practical Challenges in the UK Malting Barley Supply Chain", 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists-EAAE 2008, Gent, Belgium. Marshall A (1920), Principles of Economics, London, Macmillan (revised edition). Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1149
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 Morgan R and Hunt S (1994), "The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing", Journal of Marketing 58 (July): 20-35. Nason,James M. (2008). "Identifying the New Keynesian Phillips Curve" (with G.W. Smith), Journal of Applied Econometrics, 23 (2008), 525-521. Padula, Giovanna and Dagino, Giovanni B. (2007). "Untagling the Rise of Coopetition: The Intmsion of Competition in a Cooperative Game Structure", International Studies of Management & Organization, Vol37, No.2 pp.32-52. Porter, Michael E. (1998), "Clusters and the New Economics of Competition", Harvard Business Reviews, November-December 1998. Sato, Y. (2000), "Linkage Formation by Small Firms: The Case of A Rural Cluster in Indonesia", Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36, (1), ppl37-66. Shah R and Swaminathan V (2008), "Factors Influencing Partner Selection in Strategic Alliances: The Moderating Role of Alliance Context", Strategic Management Journal 29: 471-494. Sri Hartono (2009), Model Optimalisasi Program Corporate Social Responsibility UntukPengentasan Kemiskinan: Pendekatan Supply Chain Management, Laporan Akhir Hibah DP2M Dikti. (tidak dipublikasikan) Sri Hartono (2010), Pemberdayaan UKM Melalui Entrepreneur Skill dan Social Entreprenurship, Laporan Akhir Hibah DP2M Dikti. (tidak dipublikasikan) Sri Hartono (2011), Pemberdayaan UKM melalui CSR Holistic, Laporan Akhir Hibah DP2M Dikti. (tidak dipublikasikan) Sri Hartono (2008), "Pengaruh Control System dan Reward System Dalam Hubungan Employee Empowerment Terhadap Kinerja UKM", EKOBIS, Vol 9, No.2, Juli. Sri Hartono (2012), "Upaya Peningkatan Kinerja UKM melalui entrepreneur skill dan social entrepreneurship", EKOBIS, Vol 13, No.l, Januari. Stewart, F. and E. Ghani (1991), "How significant are externalities for development?",World Development, Vol. 19, No. 6, pp. 569-94.
.
rfeb vrtiv
Fakultas Ekonomika danWacana Bisnis Universitas Khsten Satya
1150