EKSTRAKTIF KULIT KAYU SAMAK (Syzygium inophyllum DC.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI KAYU
MUFLIHATI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekstraktif Kulit Kayu Samak (Syzygium inophyllum DC.) sebagai Pewarna Alami Kayu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013
Muflihati NIM E251090021
RINGKASAN MUFLIHATI. Ekstraktif Kulit Kayu Samak (Syzygium inophyllum DC.) sebagai Pewarna Alami Kayu. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII, DEDED SARIP NAWAWI dan ISTIE SEKARTINING RAHAYU. Warna alami kayu merupakan salah satu karakteristik yang menjadikan jenis kayu tertentu sangat menarik secara estetika dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pewarnaan (staining) merupakan salah satu dari proses pengerjaan akhir (finishing) suatu produk kayu. Produk mebelair yang terbuat dari kayu akan diberi warna tertentu dalam pengerjaan akhirnya sehingga menghasilkan warna yang lebih menarik. Saat ini penggunaan pewarna alami dalam industri kerajinan dan mebel semakin meningkat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan pewarna alami dari kulit kayu samak dan menguji kualitas warna, sifat fisik, mekanik dan ketahanan terhadap serangan oganisme perusak pada kayu jabon terwarnai. Pewarna alami diperoleh dengan mengekstrak kulit kayu samak (S. inophyllum) menggunakan pelarut air, etanol dan campuran air-etanol 3:1, 1:1 dan 1:3 serta diaplikasikan pada kayu jabon dengan menggunakan metode perendaman panas selama 3 jam dan perendaman dingin selama 72 jam. Uji ketahanan luntur warna kayu jabon terwarnai dilakukan dengan merendam kayu dalam air panas, air dingin, larutan sabun teepol, tetesan asam dan dinilai dengan menggunakan metode CIELab. Pewarnaan kayu menggunakan ekstrak kulit kayu samak terlarut air-etanol 3:1 dengan cara rendaman panas menghasilkan warna yang baik dengan ketahanan luntur yang kecil. Selain dapat mewarnai kayu jabon, ekstrak kulit kayu samak juga dapat meningkatkan ketahanan kayu jabon terhadap serangan organisme perusak kayu yaitu rayap tanah, rayap kayu kering dan jamur pelapuk putih. Adanya katekol sebagai komponen senyawa utama selain dapat mewarnai kayu jabon juga bersifat insektisida terhadap rayap dan antijamur sehingga dapat meningkatkan kelas keawetan kayu jabon. Namun pemberian pewarna dari ekstrak kulit kayu samak ini tidak berpengaruh terhadap sifat fisis (berat jenis dan kerapatan) dan mekanis (MOE, MOR dan kekerasan) kayu jabon. Kata kunci : ekstraktif, kulit kayu samak, pewarna alami
SUMMARY MUFLIHATI. Samak Bark (Syzygium inophyllum DC.) Extract as a Natural Dye of Wood. Supervised by WASRIN SYAFII, DEDED SARIP NAWAWI and ISTIE SEKARTINING RAHAYU. Natural color of the wood is one of the characteristics that make certain types of wood very attractive aesthetically and has a high economic value. Staining is one of the finishing processes on wooden products, to obtain more attractive colors. Nowadays, the use of natural dyes in the handicraft and furniture industry is increasing. The aim of this research is to produce natural dyes from samak bark and to test the quality of the color, the physical properties, the mechanical properties, and the resistance to wood destroying organism of stained jabon wood. Natural dyes was obtained by extracting samak bark (S. inophyllum) using water , ethanol and water-ethanol mixture (3:1, 1:1 and 1:3 v/v) solvent. The staining process was applied to jabon wood by hot soaking for 3 hours and cold soaking for 72 hours, respectively.. The stained jabon wood performance were evaluated including the color leaching test in hot water, cold water, teepol soap solution, and the color change by acid solution. The color leaching assessed by determination of color changes using the CIELab method, FTIR analysis. Staining of jabon wood with samak bark extract obtained from water ethanol ( (3:1 v/v) extraction showed a good coloring performance and high color stability (less leaching ability) . In addition, the resistance of stained jabon wood to biodegradation (termites and fungi) increases significantly. . The catechol as the main component in the extract seems to be compound played, not only, as a natural dye but also as an antitermite and fungi’s growth inhibitor. However, there was not effect of extracts to the physical properties (specific gravity and density) and mechanicals properties (MOE, MOR and hardness) of the stained wood. Keyword : extractive, samak bark, nautral dye
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EKSTRAKTIF KULIT KAYU SAMAK (Syzygium inophyllum DC.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI KAYU
MUFLIHATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Kurnia Sofyan
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul Ekstraktif Kulit Kayu Samak (Syzygium inophyllum DC.) sebagai Pewarna Alami Kayu. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains (MSi) pada program studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan tesis, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada Bapak Prof Dr Ir Wasrin Syafii, MAgr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir Deded Sarip Nawawi, MSc serta Ibu Istie Sekartining Rahayu, SHut MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing, memberi masukan, arahan serta motivasi kepada penulis selama penyelesaian tesis. Kepada Prof Dr Ir Kurnia Sofyan selaku Dosen Penguji Luar Komisi atas kesediannya dan saran yang telah diberikan pada tesis ini. Kedua orang tua terkasih, Ayah (Drs Sabhan A. Rasyid) dan Mama (Rasyiah AR) serta adikadikku yang telah memberikan doa tak pernah putus dan kasih sayang yang tak terhingga. Suami tercinta (Ir Budi Suriansyah) dan ananda tersayang (Tazkirah Tasya Awaliyah dan Hasbiya Tiara Kamila) atas izin, doa, kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang telah diberikan. Kementrian Pendidikan Nasional RI (Dirjen Dikti) atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS). Kepala Balai Taman Nasional Danau Sentarum beserta staf atas izin dan bantuan bahan penelitian. Rektor Universitas Tanjungpura dan Dekan Fakultas Kehutanan Untan atas izin yang telah diberikan. Laboran dan staf Departemen Hasil Hutan serta sahabat dan rekan-rekan Pascasarjana Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan Angkatan 2009 atas dorongan semangat dan persahabatannya serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu untuk doa dan dukungannya kepada penulis selama masa studi dan mengerjakan tesis. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat Bogor, Januari 2013
Muflihati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis
1 2 2 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Ekstraktif sebagai Pewarna Alami Pewarna Alami Pengukuran Warna Pengolahan Citra (Image Processing) Deskripsi Bahan Yang Diteliti
3 3 4 6 7 9
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Tata Laksana Penelitian
10 10 11 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
18
5 SIMPULAN DAN SARAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
46
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
Sifat-sifat bahan pewarna alami Pengaruh perbedaan nilai E Kelas ketahanan kayu terhadap rayap tanah Kelas ketahanan kayu terhadap rayap kayu kering Kelas ketahanan kayu terhadap jamur Nilai L*, a* dan b* sebelum pewarnaan, setelah pewarnaan dan setelah uji tahan luntur dalam air panas, air dingin, larutan sabun dan tetesan asam Nilai E pewarnaan dan setelah uji tahan luntur dalam air panas, air dingin, larutan sabun dan tetesan asam Persen kehilangan berat kayu jabon terhadap rayap tanah, rayap kayu kering dan jamur Nilai MOE, MOR dan kekerasan kayu jabon Hasil penapisan fitokimia (kualitatif) ekstrak kulit kayu samak
5 14 15 15 16
22 23 31 33 34
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Ruang warna CIELab Cara kerja flatbed scanner Pohon samak Jabon Proses pewarnaan kayu Pembagian contoh uji tahan luntur Uji ketahanan kayu jabon terwarnai terhadap organisme perusak kayu Kadar ekstrak kulit kayu samak yang diekstrak dengan menggunakan pelarut air, etanol dan campuran air-etanol Pyrocatechol Rata-rata nilai retensi zat warna pada kayu jabon Kayu jabon sebelum pewarnaan dan kayu jabon setelah pewarnaan Nilai E setelah pewarnaan Hasil FTIR kayu jabon sebelum dan setelah diwarnai Kayu jabon setelah uji ketahanan luntur dalam air panas Hasil FTIR kayu jabon setelah diwarnai dan setelah uji kelunturan dalam air panas Kayu jabon setelah uji ketahanan luntur dalam air dingin Hasil FTIR kayu jabon setelah diwarnai dan setelah uji kelunturan dalam air dingin Kayu jabon setelah uji ketahanan luntur dalam larutan sabun Hasil FTIR kayu jabon terwarnai dan setelah uji kelunturan dalam larutan sabun Kayu jabon setelah uji ketahanan luntur pada tetesan asam Hasil FTIR kayu jabon setelah diwarnai dan setelah uji ketahanan luntur terhadap tetesan asam Hasil FTIR kayu jabon sebelum diwarnai, setelah diwarnai dan setelah uji ketahanan luntur
6 8 9 10 12 12 15 18 19 20 21 23 24 25 25 26 26 27 27 28 28 29
23 Pengaruh pemberian zat warna terhadap berat jenis kayu jabon 24 Pengaruh pemberian zat warna terhadap kerapatan kayu jabon
32 32
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisa statistik retensi dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test) 2 Hasil analisa statistik untuk E dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test) 3 Hasil analisa statistik untuk ketahanan kayu jabon terwarnai terhadap organisme perusak kayu dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test) 4 Hasil analisa statistik untuk sifat fisis kayu jabon terwanai dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test) 5 Hasil analisa statistik untuk sifat mekanis kayu jabon terwarnai dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test)
39
40
41
43
44
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Warna alami kayu merupakan salah satu karakteristik yang menjadikan jenis kayu tertentu menjadi sangat menarik secara estetika dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Beberapa jenis kayu yang banyak digunakan dalam industri perkayuan (furniture/mebelair) seperti jati, sonokeling, mahoni dan eboni, selain disenangi karena kekuatan dan keawetannya juga memiliki warna dan corak yang sangat menarik, namun jenis kayu tersebut sekarang sudah semakin langka dan menjadi sangat mahal. Saat ini, sumber bahan baku industri perkayuan sudah mulai bergeser ke arah pemanfaatan kayu kurang dikenal dan kayu dari hutan rakyat. Salah satu kayu rakyat yang mulai banyak dibudidayakan dan digunakan adalah kayu jabon. Kayu jabon memiliki warna cenderung putih (pucat) dan memiliki keawetan alami yang rendah (Basri dan Karnita 2006), namun berpotensi tinggi karena harganya yang relatif murah dan sifat kayunya yang mudah dibentuk. Salah satu usaha untuk meningkatkan nilai estetikanya dapat dilakukan dengan pewarnaan. Pewarnaan (staining) merupakan salah satu dari proses pengerjaan akhir (finishing) suatu produk kayu (Blanford 2007). Produk mebelair yang terbuat dari kayu akan diberi warna tertentu dalam proses pengerjaan akhirnya sehingga menghasilkan warna yang lebih menarik. Penggunaan ekstrak tumbuh-tumbuhan sebagai pewarna alami telah banyak digunakan. Bagian tumbuhan yang umumnya digunakan sebagai pewarna adalah kulit, batang, akar, daun, bunga dan buah dengan kadar dan jenis warna yang bervariasi (Lestari 1997). Zat warna dari bagian tumbuhan dapat diperoleh dengan proses ekstraksi menggunakan pelarut, seperti air (Hamid dan Mukhlis 2005; Suheryanto dan Haryanto 2007; Suheryanto 2010; Vinod et al. 2010), etanol (Kwartiningsih 2009), campuran air dan etanol (Win 2008), campuran air dan metanol (Vinod dan Puttaswamy 2010). Sementara itu hasil penelitian sebelumnya menunjukkan banyak tumbuhan atau bagian tumbuhan berpotensi sebagai pewarna alami, seperti kulit akar mengkudu (Hamid dan Mukhlis 2005), kulit buah manggis (Kwartiningsih 2009), kulit pohon mangga (Win 2008), kulit pohon mahoni (Suheryanto dan Haryanto 2007), kulit pohon Terminalia bellerica dan Albizia lebbeck (Vinod et al. 2010; Vinod dan Puttaswamy 2010) sebagai pewarna tekstil. Campuran ekstrak gambir, serbuk daun sirih dan serbuk biji pinang (Bogoriani dan Putra 2009; Bogoriani 2010), dan kulit pohon kayu jati (Pujiarti dan Kasmudjo 2007) sebagai pewarna kayu. Salah satu sumber zat warna alami potensial lainnya yang belum diteliti adalah kulit kayu samak (Syzygium inophyllum DC). Prosea (1999) melaporkan bahwa kulit Syzygium sp yang termasuk family Myrtaceae mengandung tanin hingga 28% yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna tekstil dan penyamak. Beberapa jenis syzygium yang digunakan sebagai bahan pewarna alami, antara lain S. cumini (Suabjakyong et al. 2011) dan S. cordatum (Wanyama et al. 2011). Selain sebagai pewarna, S. alternifolium dan S. samarangense telah diteliti oleh Ratnam dan Raju (2008) sebagai antibakteri dan S. jambos (Murugan et al. 2011) sebagai antimikroba.
2
Berdasarkan pengalaman masyarakat di daerah Danau Sentarum Kalimantan Barat, kulit kayu samak (S. inophyllum) ini secara tradisional digunakan untuk mewarnai kain katun dan menyamak jala menjadi warna merah, coklat hingga kehitaman. Jala yang sudah diwarnai dengan ekstrak dari rendaman kulit kayu samak akan mempunyai kekuatan dan keawetan yang lebih tinggi dibandingkan jala yang tidak di samak.
Perumusan Masalah Kajian ilmiah tentang pemanfaatan ekstrak kulit kayu samak (S. inophyllum) sebagai zat warna alami untuk pewarnaan kayu masih belum ada, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah kulit kayu samak ini dapat digunakan sebagai pewarna alami pada kayu jabon.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengekstraksi zat warna dari kulit kayu samak dan mengaplikasikannya pada kayu jabon. 2. Menguji kualitas warna, sifat fisik, mekanik dan ketahanan terhadap serangan oganisme perusak pada kayu jabon terwarnai. 3. Menduga komponen senyawa utama yang terdapat dalam ekstrak kulit kayu samak yang berfungsi sebagai pewarna alami.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Mendorong pemanfaatan potensi alam yang ada di Indonesia khususnya kulit kayu samak untuk menambah keanekaragaman zat warna. 2. Informasi bagi masyarakat kemungkinan kulit kayu samak dapat mewarnai kayu. 3. Sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hipotesis Kulit kayu samak mengandung komponen senyawa kimia alami yang dapat diekstrak dan diaplikasikan menjadi pewarna alami yang dapat meningkatkan kualitas warna, sifat fisik, mekanik, dan ketahanan terhadap serangan oganisme perusak pada kayu jabon.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Ekstraktif sebagai Pewarna Alami Zat ekstraktif merupakan senyawa kimia yang terdapat di dalam sel-sel tumbuhan dan bukan merupakan penyusun utama dinding sel, yang dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar dan non polar (Fengel dan Wegener 1995). Menurut Sjostrom (1998), secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu komponen-komponen alifatik (asam lemak, lemak, lilin, suberin), terpen dan terpenoid, dan fenolik (fenolik sederhana, lignan, stilben, flavonoid). Ekstraktif kayu berbeda bukan saja antar jenis kayu yang berbeda tetapi juga dalam satu jenis yang sama dan antar bagian kayu. Pada bagian kulit, ekstraktif dapat berupa konstituen lipofil (terutama lemak, lilin, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi) dan hidrofil (misalnya fenol) yang dapat mencapai 20-40% berat kering. Beberapa zat ekstraktif diantaranya berfungsi sebagai cadangan energi, sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme, berperan terhadap sifat kayu seperti warna, bau, dan ketahanan terhadap pelapukan, sebagai bahan dasar yang berharga untuk pembuatan bahan-bahan kimia organik, misalnya untuk penyamak (indigo, sikonin), pemberi rasa (vanilin, kapsaicin), pewangi (minyak esensial), stimulan (kafein, nikotin), halusinogen (morfin, tetrahidrokanabinol), racun (strikniin), dan obat-obatan (kuinin, atropin). Menurut Sequin-Frey (1981), pewarna alami termasuk ke dalam golongan flavonoid, tanin, terpenoid, naftokuinon, antrakuinon, dan alkaloid. Tumbuhan penghasil warna mengandung golongan flavon, flavonol, isoflavon, chalcone, dan catechin. Senyawa ini biasanya larut dalam air panas dan alkohol meskipun beberapa flavonoid yang sangat termetilasi tidak larut dalam air (Robinson 1995). Kelompok flavonoid glikosida ditemukan dalam ekstrak kulit A. lebbeck sebagai pewarna tekstil (Vinod dan Puttaswamy 2010). Tabel 1 menunjukkan beberapa sifat pewarna alami berdasarkan kelompoknya. Tanin merupakan golongan fenol yang banyak tersebar pada tumbuhan. Tanin merupakan polimer dari polifenol yang mempunyai sifat larut dalam air. Tanin terdiri dari tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin digunakan pada perlakuan pendahuluan pada serat dan menghasilkan warna coklat sampai hitam. Kompleks logam dapat terbentuk dalam larutan tanin. Kemampuan tanin membentuk kompleks dengan logam merupakan sifat yang sangat penting. Kompleks besi tanat yang berwarna biru-hitam merupakan sumber tinta tulis pada beberapa abad yang lalu dan bangsa Mesir kuno menggunakan senyawa kompleks tersebut sebagai pewarna rambut (Slabbert 1992 dalam Bechtold dan Mussak 2009). Menurut Hunger (2003), tanin terhidrolisis merupakan ester dengan berat molekul yang tinggi. Senyawa ini bila terhidrolisis terutama menghasilkan asam galat, sedangkan tanin terkondensasi merupakan turunan dari flavan, umumnya jenis katekin yang terbentuk melalui ikatan karbon. Terpenoid atau isoprenoid tersusun atas unit isopentana, isoprena atau unit C5. Contoh pewarna dari golongan ini adalah crocetin dari tanaman saffron, yang digunakan untuk pangan. Warna yang timbul dari golongan senyawa ini karena
4
terdapat banyak ikatan rangkap menyebabkan bahan dapat menyerap cahaya tampak (Sequin-Frey 1981). Kuinon (quinones) mencakup berbagai senyawa yang mengandung struktur kuinon. Naftakuinon dan antrakuinon mengandung struktur aromatik yang menghasilkan pewarna kuning sampai merah yang kuat (Sequin-Frey 1981). Sub kelompok utama adalah benzokuinon, naftakuinon dan antrakuinon. Lawson dari Lawsonia inermis L (henna) merupakan bagian dari naftokuinon, sedangkan alizarin, morindin dan purpurin dari suku Rubiaceae merupakan contoh dari antrakuinon (Prosea 1999). Alkaloid umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi dan mengandung atom nitrogen. Contoh pewarna dari golongan ini adalah indigo dan Tyrian purple (Sequin-Frey 1981). Tabel 1 Sifat-sifat bahan pewarna alami Kelompok Anthosianin
Warna
Sumber
Kelarutan
Tanaman
Air
Flavonoid
Jingga, merah, biru Tampak kuning
Tanaman
Air
Leucoanthosianin
Tidak berwarna
Tanaman
Air
Tanin
Tidak berwarna
Tanaman
Air
Betalain
Kuning merah
Tanaman
Air
Quinon
Kuning hitam
Tanaman, bakteria, lumut Air
Xanthon
Kuning
Tanaman
Air
Karotenoid
Tampak kuning cerah Hijau, coklat
Tanaman, hewan
Lipida
Tanaman
Air, lipida
Klorofil
Stabilitas Peka terhadap panas dan pH Stabil terhadap panas Sensitif terhadap panas Sensitif terhadap panas Sensitif terhadap panas Sensitif terhadap panas Sensitif terhadap panas Sensitif terhadap panas Sensitif terhadap panas
Sumber : MacDougall (2000)
Pewarna Alami Bahan pewarna alami (natural dye stuff) merupakan bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan dan hewan melalui ekstraksi. Proses ekstraksi tersebut dapat dilakukan melalui proses fermentasi, perebusan atau perlakuan kimia dari sejumlah kecil substansi kimia tertentu yang terdapat dalam jaringan tanaman. Menurut Harborne (1996), zat warna alam yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki kadar dan jenis colouring matter yang bervariasi. Colouring matter adalah substansi yang menentukan arah warna zat warna alam, merupakan senyawa organik yang terkandung dalam sumber zat warna alam/tanaman. Beberapa contoh warna yang dapat diperoleh dari tumbuhan adalah warna biru dari Indigofera sp. dan Haemotoxylum campechianum L., warna kuning dari Crocus sativus L., merah dari Rubia cordifolia L., coklat dari Peltophorum pterocarpum (DC.) Backer ex K. Heyne, dan hitam dari Macaranga tanarius (L.) Muell. Arg (Prosea 1999)
5
Bahan mempunyai warna (dye) karena bahan tersebut dapat menyerap cahaya pada spektrum cahaya tampak (400-700 nm), mempunyai paling sedikit satu kromofor, memiliki sistem yang berkonjugasi, dapat mengalami resonansi elektron (Abrahart 1977 dalam IARC 2010). Berdasarkan kelarutannya, pewarna organik dibagi menjadi dua kelas, yaitu dye dan pigmen. Dye dapat larut dalam air dan atau pelarut organik, digunakan untuk mewarnai substrat yang memiliki afinitas misalnya kulit, tekstil, kertas atau makanan. Pigmen digunakan pada substrat berupa polimer percetakan, cat, plastik, dan sebagainya, tidak dapat larut dalam air dan pelarut organik (Allen 1971 dalam IARC 2010). Sifat-sifat pewarna alami antara lain tidak bersifat toksik, tidak membahayakan kesehatan, nonkarsinogenik, dan tidak beracun serta ramah lingkungan, menghasilkan warna yang harmonis, lembut, halus, dan memberikan efek menyejukkan, namun proses ekstraksi untuk mendapatkan pewarna alami membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan produksi pewarna sintetik (Siva 2007). Efisiensi ekstraksi zat warna dari bahan alam baik tumbuhan, hewan maupun mineral tergantung pada jenis bahan pengekstrak (berupa air/pelarut organik atau berupa asam/basa), pH, kondisi ekstraksi seperti suhu, waktu, nisbah antara bahan dengan pelarut dan ukuran partikel substrat (Samanta dan Agarwal 2009). Zat warna dapat diekstrak dengan menggunakan pelarut organik dan air. Flavonoid, tanin dan stilbena larut dalam alkohol sedangkan alkaloid larut dalam air. Ekstraktif fenol terutama terdapat dalam kayu teras dan dalam kulit (Sjostrom 1998). Holinesti (2007) mengekstrak kayu secang dengan menggunakan etanol menghasilkan pigmen brazilien yang diaplikasikan sebagai pewarna alami kerupuk. Kwartiningsih (2009) menggunakan kulit manggis yang diekstrak menggunakan etanol sebagai pewarna kain. Sudhakar et al. (2006) dalam Samanta dan Agarwal (2009) mengekstrak zat warna menggunakan larutan alkali dari biji pinang untuk pewarnaan kain sutra. Win (2008) mengekstrak kulit batang mangga dengan menggunakan campuran etanol dan air (40:60). Suheryanto dan Haryanto (2007) mengekstrak kulit kayu mahoni dengan menggunakan air sebagai pewarna tekstil. Vinod et al. (2010) menggunakan air sebagai pelarut untuk mengekstrak kulit T. bellerica sedangkan Vinod dan Puttaswamy (2010) mengekstrak kulit kayu A. lebbeck dengan menggunakan campuran air dan metanol untuk pewarna tekstil. Bogoriani dan Putra (2009) telah melakukan pewarnaan permukaan kayu akasia menggunakan campuran zat warna alami yang berasal dari campuran gambir (bentuk biskuit), serbuk daun sirih, dan serbuk biji pinang tua dengan perbandingan tertentu yang dilarutkan dalam air. Campuran bahan tersebut menghasilkan warna coklat kemerahan pada permukaan kayu akasia. Selain itu, Bogoriani (2010) juga melakukan penelitian penggunaan campuran gambir, sirih dan pinang pada pewarnaan kayu albisia. Pujiarti dan Kasmudjo (2007) mengekstrak kulit kayu jati dengan menggunakan pelarut air sebagai pewarna kayu sengon. Selain sebagai pewarna alami, ekstraktif juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet kayu. Irawati (2007) menguji larutan ekstrak daun sirsak sebagai bahan pengawet kayu karet terhadap serangan rayap kayu kering. Batubara (2005) mengekstrak kulit kayu medang hitam untuk menguji ketahanan kayu akasia terhadap jamur Shyzophyllum commune. Ekstrak kulit akasia sendiri bersifat sebagai anti rayap (Yanti 2009), contohnya kulit kayu Acacia auriculiformis yang
6
bersifat toksik terhadap rayap tanah. Penelitian sifat anti rayap juga telah dilakukan terhadap ektrak kulit kayu jati, dimana fraksi n-heksan mempunyai sifat anti rayap yang relatif tinggi terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus (Sari dan Syafii 2001). Beberapa jenis syzygium (S. alternifolium dan S. samarangense) telah diteliti oleh Ratnam dan Raju (2008) sebagai antibakteri dan S. jambos sebagai antimikroba (Murugan et al. 2011).
Pengukuran Warna Untuk menjelaskan warna agar terhindar dari penilaian yang subyektif, diperlukan suatu sistem spesifikasi standar yang berlaku umum dan memiliki ketelitian. Sistem notasi warna yang umum digunakan yaitu ICI (International Commission on Illumination), Munsell, Hunter, dan CIELab. Sistem notasi warna ICI didasarkan pada konsep bahwa semua jenis warna dapat dibentuk dari tiga warna dasar yaitu merah ( = 720 nm), hijau ( = 520 nm ), dan biru ( = 380 nm). Masing-masing warna dasar ini dinyatakan dengan nilai X untuk merah, Y untuk hijau, dan Z untuk biru, sehingga tiap warna dapat dilihat dari tiga parameter yang berkaitan dengan nilai-nilai X, Y, dan Z. Sistem Munsell menjelaskan komponen warna dalam besaran value, hue, dan chroma. Nilai value menunjukkan gelap terangnya warna. Nilai hue akan menentukan apakah warna tersebut merah, hijau atau kuning, sedangkan chroma menunjukkan intensitas atau kejenuhan warna. Sistem notasi warna yang banyak digunakan adalah sistem notasi warna Hunter, yang mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna yaitu L*, a*, dan b* atau Lab (Anonim 2000).
Gambar 1 Ruang warna CIELab Saat ini sistem warna Hunter telah disempurnakan oleh metode warna CIELab. Nilai L*a*b* (Lab) adalah ruang warna yang paling lengkap, menggambarkan semua warna yang dapat dilihat oleh mata manusia dan dibuat sedemikian rupa sehingga bersifat mandiri tidak tergantung pada alat maupun proses, sehingga International Color Consortium (ICC) menggunakan ruang warna ini sebagai dasar perhitungan komunikasi warna dalam Color Management System, untuk mendeskripsikan warna, perbedaan warna dan toleransi dalam standar internasional ISO 12647 (Christie 2007). Model warna ini dipilih karena dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada model warna Red, Green, dan Blue (RGB) dalam mengukur kemiripan warna dalam citra. Model warna Lab ini juga dapat digunakan untuk membuat koreksi keseimbangan warna yang lebih
7
akurat dan untuk mengatur kontras pencahayaan yang sulit dan tidak mungkin dilakukan oleh model warna RGB (Urland 1999) Pada metode CIELab nilai L* menyatakan parameter kecerahan yang memiliki nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a* menyatakan campuran warna merah sampai hijau dengan nilai +a (0 sampai +80) untuk warna merah dan nilai -a (0 sampai -80) untuk warna hijau. Nilai b* menyatakan campuran warna biru sampai kuning. Nilai -b (0 sampai +70) untuk warna kuning dan -b (0 sampai -70) (Gambar 1) (Christie 2007). Untuk melihat apakah terjadi perbedaan warna dapat dihitung dengan rumus: E = [(L*)2 + (a*)2 + (b*)2] dimana : E = Perbedaan warna L* = Perbedaan kecerahan = L*sampel – L*kontrol a* = Perbedaan merah atau hijau = a*sampel – a*kontrol b* = Perbedaan kuning atau biru = b*sampel – b*kontrol
Pengolahan Citra (Image Processing) Pengolahan Citra atau image processing adalah proses untuk mengamati dan menganalisia suatu objek tanpa berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Proses dan analisanya melibatkan persepsi visual dengan data masukan maupun data keluaran yang diperoleh berupa citra dari objek yang diamati (Ahmad 2005). Sebagaimana layaknya mata dan otak, sistem visual buatan atau vision system (computer vision) adalah suatu sistem yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis obyek secara visual, setelah objek yang bersangkutan dimasukkan dalam bentuk citra (image) untuk membuat model nyata dari sistem visual. Citra merupakan sekumpulan titik dari gambar yang berisi informasi warna dan tidak tergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar pixel sama pada seluruh bagian citra. Permukaan suatu benda yang terlihat sebenarnya hanya memantulkan cahaya yang jatuh pada benda tersebut, itulah sebabnya mata kita tidak dapat melihat suatu benda, apapun warnanya, bila ditempatkan dalam ruangan yang gelap sekali (Ahmad 2005). Selanjutnya Ahmad (2005) menyatakan citra masukan diperoleh melalui suatu kamera yang di dalamnya terdapat suatu alat digitasi yang mengubah citra masukan berbentuk analog menjadi citra digital. Alat digitasi ini dapat berupa penjelajahan solid-state yang menggunakan matrik sel yang sensitif terhadap cahaya yang masuk, dimana citra yang yang direkam maupun yang digunakan mempunyai kedudukan atau posisi yang tetap. Alat masukan citra yang digunakan adalah kamera CCD (Charge Coupled Device) atau juga bisa menggunakan kamera digital dan flatbed scanner (pemindai gambar). Penggunaan flatbed scanner sebagai image processing telah dilakukan oleh Kleeberger dan Bruno (2002), untuk mengumpulkan data dan menilai kualitas holtikultura melalui warna dan membandingkan hasilnya dengan Minolta CR-200 Chromameter dan HunterLab Labscan XE Colorimeter, dimana nilai kualitas yang dihasilkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal senada juga telah dilakukan oleh
8
Darrigues et al. (2008) yang menggunakan flatbed scanner untuk mengukur karakteristik tanaman holtikultura (warna dalam buah dan sayur-sayuran lainnya) untuk meningkatkan objektivitas evaluasi fenotip dan genotip.
Gambar 2 Cara kerja flatbed scanner Scanner merupakan suatu alat yang digunakan untuk memindai suatu bentuk maupun sifat benda, seperti dokumen, foto, gelombang, suhu, digunakan untuk mengambil citra cetakan (gambar, foto, tulisan) untuk diolah atau ditampilkan melalui komputer. Flatbed scanner adalah scanner yang penggunaannya dengan cara meletakkan objek yang akan discan diantara lensa sensor dan cover (www.engineeringtown.com). Cara kerja scanner adalah dengan memindai obyek yang diletakkan diatas permukaan kaca scanner/pemindai (Gambar 2). Cahaya yang dipancarkan dari lampu scanner ke obyek akan segera dipantulkan dan dibaca oleh sejumlah cermin menuju lensa scanner dan mengenai sensor CCD (komponen inti dari scanner yang fungsinya untuk menangkap obyek). Sensor CCD akan mengukur intensitas cahaya dan panjang gelombang yang dipantulkan dan mengubahnya menjadi tegangan listrik analog. Selanjutnya tegangan analog tersebut akan diubah menjadi nilai digital oleh ADC (Analog to Digital) dan dikirimkan ke komputer dalam bentuk data digital yang menunjukan warna pada titik-titik gambar yang dipantulkan. Gambar/tulisan yang telah terlihat di layar monitor komputer dapat disimpan ke komputer file yang berekstensi bitmap, jpeg dan document yang dapat diolah dengan aplikasi pengolah gambar Deluxe Photo Studio, Photo Shop, Corel Draw, PageMarker, dan ArcShop Photo Studio (www.engineeringtown.com). Pembacaan warna menggunakan software Adobe photoshop menggunakan Lab color yang didesain sebagai ukuran yang tidak dipengaruhi oleh alat masukan citra, sehingga pembentukannya tidak terpengaruh oleh sudut pandang alat yang terkait dengannya (seperti monitor, printer, computer ataupun scanner) sebagai pembentuk output misalnya image (Departemen Ilmu Komputer 2006).
Deskripsi Bahan yang Diteliti Kayu Samak (Syzygium inophyllum DC.) Kayu samak (S. inophyllum) termasuk dalam famili Myrtaceae dan mempunyai sinonim Eugenia inophylla (DC.) Roxb., dengan nama daerah kelat puteh, samak paya, dan gelam tikus. Kayu samak terdistribusi di daerah
9
Myanmar, Peninsular, Malaysia, dan Kalimantan. Pohonnya dapat mencapai tinggi 24 m dengan diameter 40 cm, kulit permukaannya bersisik berwarna coklat kemerahan (www.asianflora.com). Kayu samak merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi hutan rawa tergenang (floated swamp forest) dan mampu hidup tergenang selama 8-10 bulan (Kementrian Kehutanan 2011) (Gambar 3a). Informasi mengenai penyebaran kayu samak di Indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulisnya.
a
b
c d Gambar 3 (a) Pohon samak (b) Bagian batang yang mengandung zat warna (c) Kulit kayu samak (outer bark) (d) Jala yang diwarnai dengan zat warna dari kayu samak Berdasarkan pengetahuan masyarakat (local knowledge) di sekitar Danau Sentarum Kalimantan Barat, kulit kayu samak ini dimanfaatkan sebagai bahan pewarna dan penyamak jala. Bagian yang dimanfaatkan adalah kulit batang dengan cara disayat, kemudian kulit paling luar dipisahkan dari bagian dalam yang akan digunakan. Selanjutnya kulit direndam dalam air selama sehari hingga air rendaman berwarna merah. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal jala direndam selama 4-7 hari. Jala yang sudah diwarnai dan disamak akan mempunyai keawetan dan ketahanan pakai yang tinggi (Gambar 3d). Proses pembentukan kembali kulit kayu samak setelah pengambilan dapat terjadi sekitar 6-8 bulan. Namun harus tetap diperhitungkan bahwa pengambilan kulit pohon yang berlebihan tetap berdampak negatif terhadap pertumbuhan pohon karena pengangkutan hara dari tanah melalui batang pohon menjadi terhambat. Jabon (Antocephalus cadamba Miq.) Jabon ( A. cadamba) merupakan jenis kayu daun lebar ringan. Kayu jabon dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu lapis, industri meubel, pulp, peti buah, alas sepatu, mainan anak-anak, dan korek api. Pertumbuhan pohon jabon sangat cepat, diameter batang dapat tumbuh berkisar 10 cm/tahun dan siap panen pada umur 4 atau 5 tahun. Jabon berbatang silinder dengan tingkat kelurusan yang
10
sangat bagus, tidak memerlukan pemangkasan karena pada masa pertumbuhan cabang akan rontok sendiri (Gambar 4a) (Mulyana et al. 2011).
a
b Gambar 4 (a) Tegakan jabon (b) Kayu jabon Warna kayu teras berwarna putih semu kuning muda (Gambar 4b), kayu gubal tidak dapat dibedakan dari kayu teras, mempunyai tekstur agak halus sampai kasar, dengan arah serat lurus kadang berpadu. Kesan permukaan kayu licin atau agak licin dengan permukaan kayu jelas mengkilap atau agak mengkilap, mudah dikeringkan dengan sedikit cacat berupa pecah dan retak ujung serta sedikit mencekung. Disamping itu karena mudah diserang jamur biru, kayu jabon perlu dikeringkan di udara terbuka. Berat jenis jabon berkisar 0.290.56 dengan rata-rata 0.42 termasuk kelas kuat III-IV. Kayu jabon dimasukkan ke dalam kelas kelas awet V, sedangkan daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas II dan daya tahannya terhadap jamur pelapuk termasuk kelas awet IV-V (Martawijaya et al. 2005).
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB Bogor dan Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor selama kurang lebih 8 bulan.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama dalam penelitian ini adalah kulit kayu samak (S. inophyllum) bagian luar (outer bark) yang diperoleh dari Danau Sentarum Kalimantan Barat yang diambil dari pohon berdiameter sekitar 35 cm, kayu jabon (A. cadamba) berumur enam tahun, akuades, etanol 96%, asam asetat, sabun teepol, rayap tanah (Coptotermes curvignathus), rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus), jamur pelapuk putih (Schizophyllum commune), PDA (Potatoe Dextrose Agar).
11
Alat yang digunakan adalah willey mill, saringan ukuran 40 dan 60 mesh, oven, desikator, alat-alat gelas, neraca analitik, termometer, waterbath, bak perendaman, image processing, paralon dengan dasar dental cement, semprong kaca, autoklaf, alat uji mekanik Instron dan Amsler, alat uji GC-MS.
Tata Laksana Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga bagian, yaitu persiapan bahan dan ekstraksi zat warna, pewarnaan kayu, dan pengujian. Persiapan Bahan dan Ekstraksi Zat Warna Contoh uji yang akan diwarnai dengan ekstrak kulit kayu samak dibuat dari kayu jabon bebas cacat dengan ukuran masing-masing 15 cm x 6 cm x 1 cm (pengujian kualitas warna), 2 cm x 2 cm x 1 cm (pengujian ketahanan terhadap rayap tanah skala laboratorium), 5 cm x 2.5 cm x 2.5 cm (pengujian ketahanan terhadap rayap kayu kering), 2 cm x 2 cm x 1 cm (pengujian ketahanan terhadap jamur pelapuk putih), 2 cm x 2 cm x 2 cm (pengujian berat jenis dan kerapatan), 30 cm x 2 cm x 2 cm (pengujian keteguhan lentur) dan 6 cm x 2 cm x 2 cm (kekerasan), masing-masing dibuat dengan tiga kali ulangan. Larutan pewarna yang diperlukan untuk merendam kayu jabon pada setiap perlakuan adalah 1600 mL dengan konsentrasi ekstrak 10%. Kulit kayu (outer bark) dari S. inophyllum yang telah dibuang kulit matinya dibuat serbuk dengan ukuran 40-60 mesh dengan alat willey mill dan saringan bertingkat. Kadar air serbuk dihitung sebagai faktor koreksi penentuan bobot kering sampel dan rendemen ekstrak. Kadar air serbuk diukur dengan cara gravimetri dengan menggunakan rumus:
dimana : KA = Kadar air (%) W1 = Berat serbuk awal (g) W2 = Berat serbuk kering tanur (g) Rendemen (kadar ekstrak) dihitung berdasarkan berat kering tanur serbuk awal dengan rumus: ( )
( ) ( )
Ekstraksi zat warna dari serbuk kulit kayu samak dilakukan merujuk pada prosedur yang dilakukan oleh Win (2008) dengan modifikasi. Ekstraksi menggunakan pelarut air, etanol, dan campuran air dan etanol dengan perbandingan. 3:1, 1:1, 1:3. Perlakuan komposisi pelarut tersebut dilakukan untuk memperoleh pelarut optimum dalam mengekstrak zat warna dari kulit kayu samak. Serbuk direndam dalam masing-masing pelarut kemudian dipanaskan pada waterbath dengan suhu ±70 oC selama ± 90 menit (Suheryanto dan Haryanto
12
2007). Kegiatan ini dilakukan berulang hingga ekstrak berwarna bening. Hasil ekstrak kemudian dievaporasi dengan alat rotary evaporator hingga diperoleh larutan sebanyak 1600 mL. Pewarnaan Kayu Proses pewarnaan kayu merujuk pada prosedur yang dilakukan Bogoriani dan Putra (2009) dengan modifikasi. Kayu jabon yang akan diwarnai disusun dalam bak perendam (Gambar 5a) dengan menggunakan metode perendaman dingin dan panas dalam larutan ekstrak dengan konsentrasi 10% (b/v). Perendaman dingin dilakukan selama 72 jam (Gambar 5b) dan perendaman panas selama 3 jam pada suhu 70 oC dalam waterbath (Gambar 5c).
a
b
c
Gambar 5 Proses Pewarnaan Kayu (a) Penyusunan contoh uji ke dalam bak perendam (b) Perendaman dingin (c) Perendaman panas Setelah direndam, kayu jabon diangkat dan ditiriskan kemudian ditimbang untuk menghitung retensinya. Kayu dikeringanginkan dengan bantuan kipas angin dan dilakukan pengujian. Retensi ekstrak dalam kayu jabon dihitung dengan rumus:
dimana : R = Retensi (g/cm3) W0 = Berat kayu sebelum direndam (g) W1 = Berat kayu setelah direndam (g) V = Volume kayu (cm3) K = Konsentrasi ekstrak (% b/v) Pengujian Tahan Luntur Warna Kayu Jabon Terwarnai Pengujian tahan luntur warna menggunakan metode ASTM D 1308-02 2002 dengan modifikasi. Contoh uji berukuran 15 cm x 6 cm x 1 cm (Gambar 6) dibagi lima bagian menjadi ukuran 3 cm x 6 cm x 1 cm masing-masing 1 bagian untuk kontrol, 1 bagian untuk pengujian tahan luntur warna dalam air panas, air dingin, larutan sabun dan tahan luntur warna terhadap tetesan asam. 3 cm 6 cm Kontrol
Uji Air Panas Uji Air Dingin Uji Lar.Sabun
Uji Ttsn Asam
15 cm
Gambar 6 Pembagian contoh uji tahan luntur
13
Uji tahan luntur warna dalam air panas. Contoh uji disusun ke dalam bak perendam dan diberi pemberat lalu ditambahkan air destilata hingga seluruh bagian contoh uji terendam. Bak perendam kemudian dimasukkan dalam waterbath dan dipanaskan 382 oC selama 3 jam. Contoh uji ditiriskan dan dikeringudarakan lalu diukur perubahan warna dengan metode CIELab. Uji tahan luntur warna dalam air dingin. Contoh uji disusun ke dalam bak perendam dan diberi pemberat, ditambahkan air destilata hingga seluruh bagian contoh uji terendam dan dibiarkan selama 24 jam. Contoh uji ditiriskan dan dikeringudarakan kemudian diukur perubahan warna dengan metode CIELab. Uji tahan luntur warna dalam larutan sabun. Larutan sabun disiapkan dengan konsentrasi sabun teepol dalam akuades sebanyak 10%. Contoh uji disusun ke dalam bak perendam dan ditambahkan larutan sabun hingga merendam seluruh bagian contoh uji dan dipanaskan pada suhu 382 oC selama 3 jam. Setelah itu, sampel diangkat dan dikeringudarakan kemudian diukur perubahan warna dengan metode CIELab. Uji tahan luntur warna terhadap tetesan asam. Permukaan contoh uji ditetesi dengan larutan asam asetat konsentrasi 10% kemudian digosok perlahan-lahan dengan ujung batang pengaduk gelas. Sampel kemudian dibiarkan sampai kering pada suhu kamar dan diukur perubahan warna dengan metode CIELab. Pengukuran Warna Pengukuran warna kayu merujuk pada penelitian Kleeberger dan Bruno (2002) menggunakan image processing Flatbed Scanner Cannon MP 145 yang dihubungkan dengan MacBook Pro sebagai penyimpan data dan diolah dengan software Adobe Photoshop CS4 yang menghasilkan nilai L*, a* dan b*. Perbedaan warna (E) dihitung berdasarkan metode CIELab (Christie 2007), dengan rumus: E = [(L*)2 + (a*)2 + (b*)2] dimana : E = Perbedaan warna L* = Perbedaan kecerahan = L*sampel – L*kontrol a* = Perbedaan merah atau hijau = a*sampel – a*kontrol b* = Perbedaan kuning atau biru = b*sampel – b*kontrol Besarnya perubahan atau perbedaan warna kayu sebelum, sesudah diwarnai dan sesudah di uji ketahanan luntur warna dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pengaruh perbedaan nilai E Pengaruh Perbedaan warna ( E) < 0.2 tidak terlihat 0.2 – 1.0 sangat kecil 1.0 – 3.0 kecil 3.0 – 6.0 sedang > 6.0 besar Sumber: Hunter Lab (2008)
14
Pengujian Ketahanan Kayu Jabon Terwarnai terhadap Organisme Perusak Kayu Ketahanan terhadap rayap tanah (C. curvignathus). Prosedur pengujian menggunakan metode JIS K 1571-2004. Contoh uji yang telah diketahui berat awalnya dimasukkan ke dalam paralon yang telah diberi dasar dental cement yang telah disterilkan, dan sebanyak 150 ekor rayap tanah kasta pekerja dan 15 ekor kasta prajurit ditambahkan ke dalam tempat uji dan disimpan ditempat gelap selama 3 minggu lalu dihitung persen kehilangan berat kayunya (Gambar 7a). Rata-rata kehilangan berat kayu dikelompokkan dengan menggunakan nilai atau skala kelas resistensi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Kelas ketahanan kayu terhadap rayap tanah Kelas I II III IV V
Ketahanan Sangat Tahan Tahan Sedang Buruk Sangat Buruk
Kehilangan Berat (%) <3,52 3.52 -7,50 7.50 – 10.96 10.96 – 18.94 18.94 – 31.89
Sumber: SNI 01-7207-2006
Ketahanan terhadap rayap kayu kering (C. cynocephalus). Pengujian ketahanan terhadap rayap kayu kering C. cynocephalus menggunakan SNI 01.7207-2006. Contoh uji berukuran 5 cm x 2.5 cm x 2.5 cm pada salah satu sisi terlebarnya dipasang tabung kaca berdiameter 1.8 cm dan tinggi 3 cm, ke dalam tabung kaca dimasukkan rayap kayu kering C. cynocephalus yang sehat dan aktif sebanyak 50 ekor dan ditutup dengan kapas (Gambar 7b). Contoh uji disimpan dalam ruangan gelap dengan suhu 26 C dan kelembaban 70-80% selama 12 minggu, kemudian dihitung persen kehilangan berat. Rata-rata kehilangan berat kayu dikelompokkan dengan menggunakan nilai atau skala kelas resistensi (Tabel 4). Persen kehilangan berat dihitung dengan menggunakan rumus:
dimana : WL = Kehilangan berat (%) W1 = Berat kayu sebelum diumpankan (g) W2 = Berat kayu setelah diumpankan (g) Tabel 4 Kelas ketahanan kayu terhadap rayap kayu kering Kelas I II III IV V
Ketahanan Kehilangan Berat (%) Sangat Tahan < 2.0 Tahan 2.0 – 4.4 Agak Tahan 4.4 – 8.2 Tidak Tahan 8.2 – 28.1 Sangat Tidak Tahan >28.1
Sumber: SNI 01-7207-2006
15
Ketahanan terhadap jamur pelapuk putih (S. commune). Jamur yang digunakan adalah S.commune yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Patologi Fahutan IPB. Pembuatan media dan metode pengujian dilakukan berdasarkan pada SNI 01.7207-2006 dengan modifikasi. Media biakan jamur yang digunakan adalah media PDA (Potato Dextrose Agar). Sebanyak 66 g PDA dilarutkan dalam akuades hingga mencapai 660 mL. Media yang telah dilarutkan homogen dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 20 mL, dan disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan 1.5 atmosfer selama 30 menit. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni jamur S. commune dan disimpan di ruang inkubasi sampai pertumbuhan miseliumnnya merata dan menebal. Contoh uji yang telah diketahui berat awalnya dimasukkan ke dalam cawan yang berisi biakan jamur dan diinkubasikan selama 12 minggu (Gambar 7c). Pada akhir percobaan, contoh uji dikeluarkan dan dibersihkan dari miselium, kemudian ditimbang bobot basahnya dan dikeringkan dengan oven untuk mengetahui berat keringnya lalu dihitung persen kehilangan berat kayunya. Rata-rata kehilangan berat kayu dikelompokkan dengan menggunakan nilai atau skala kelas resistensi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Besarnya serangan jamur dihitung dengan rumus persentase kehilangan berat sebagai berikut:
dimana : WL = Kehilangan berat (%) W1 = Berat kayu sebelum diumpankan (g) W2 = Berat kayu setelah diumpankan (g) Tabel 5 Kelas ketahanan kayu terhadap jamur Kelas I II III IV V
Ketahanan Kehilangan Berat (%) Sangat Tahan <1 Tahan 1-5 Agak Tahan 5-10 Tidak Tahan 10-30 Sangat Tidak Tahan >30
Sumber : SNI 01-7207-2006
a
b
c
Gambar 7 Pengujian ketahanan kayu jabon terwarnai terhadap organisme perusak kayu (a) Rayap tanah (b) Rayap kayu kering (c) Jamur S.commune
16
Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jabon Terwarnai Sifat fisis (berat jenis dan kerapatan kayu). Pengujian berat jenis dan kerapatan merujuk pada British Standard, Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber (BS. 373 1957). Contoh uji diukur volumenya dan ditimbang berat awalnya sebagai berat kering udara. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2 oC sampai beratnya konstan. Nilai BJ dan kerapatan kayu dihitung dengan rumus:
dimana : BKU = Berat kering udara contoh uji (g) V = Volume contoh uji kering udara (cm3)
dimana : BJ = Berat jenis contoh uji BKT = Berat kering tanur contoh uji (g) V = Volume contoh uji kering udara (cm3) ρ air = Kerapatan air = 1 g/cm3 Sifat mekanis (pengujian keteguhan lentur dan kekerasan kayu). Uji lentur dilakukan berdasarkan peraturan British Standard, Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber (BS. 373 1957) menggunakan Universal Testing Machine merek Instron. Contoh uji diletakkan pada mesin penguji dengan jarak bentang 28 cm. Pembebanan diberikan ditengah-tengah contoh uji, dimana kedudukan contoh uji horizontal. Pengujian lentur balok dilakukan dengan memberikan beban terpusat ditengah bentang dengan kecepatan pembebanan adalah 6 mm/menit, dan pengujian dilakukan sampai terjadi kerusakan (failure) pada masing-masing balok. Persamaan untuk memperoleh modulus elastisitas MOE adalah:
MOR (modulus of rupture = modulus patahan) merupakan tegangan lentur pada serat tepi atas atau bawah penampang balok yang paling jauh dari titik berat penampang akibat gaya maksimum yang bekerja pada saat terjadi kegagalan (failure). Persamaan untuk memperoleh nilai MOR adalah:
dimana: MOR = Modulus patah (kg/cm2) MOE = Modulus lentur (kg/cm2) P = Beban maksimum (kg) L = Jarak sangga (cm) b = Lebar contoh uji (cm)
17
h ΔP ΔY
= Tebal contoh uji (cm) = Perubahan beban yang terjadi (kg) = Defleksi (cm)
Pengujian kekerasan dilakukan berdasarkan metode Janka pada arah radial dan tangensial dengan menggunakan alat uji mekanis Amsler. Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan setengah bola baja berdiameter 0.444 inchi dan luas penampang 1 cm2 sedalam 0.222 inchi. Nilai kekerasan contoh uji dihitung dengan rumus : (
)
dimana : P = Beban maksimum (kg) A = Luas penampang bola (1 cm2)
Pengujian Fitokimia, GCMS dan FTIR Penapisan fitokimia (kualitatif) terhadap esktrak kulit kayu samak dilakukan mengikuti metode Harborne (1996). Pengujian GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) dilakukan untuk mengetahui komponen senyawa dominan yang terkandung dalam ekstrak, sedangkan pengujian FTIR (Fourier Transform Infrared) dilakukan pada kayu jabon yang sudah diwarnai dan yang sudah diuji kelunturan dimana serapan senyawa-senyawa gugus fungsi dalam sampel akan memberikan respon pada panjang gelombang tertentu yang terdeteksi berupa "peak" atau puncak serapan.
Prosedur Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan percobaan faktorial 5 x 2 dalam rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan, menggunakan software SAS 9.1. Adapun faktor-faktor tersebut adalah pelarut yang terdiri dari A = pelarut air, B = pelarut air+etanol (3:1), C = pelarut air+etanol (1:1), D = pelarut air+etanol (1:3), E = pelarut etanol. Metode rendaman yang terdiri : 1 = rendaman dingin dan 2 = rendaman panas. Model persamaan umum percobaan yang telah disesuaikan dengan penelitian ini berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah : Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk dimana: Yijk = Nilai pengamatan pada pelarut ke-i, metode pewarnaan ke-j serta ulangan ke-k i, j, k = 1, 2, 3 μ = Nilai rata-rata umum αi = Pengaruh pelarut βj = Pengaruh metode rendaman αβij = Pengaruh interaksi antara pelarut ke-i dengan metode rendaman ke-j
18
εijk = Kesalahan percobaan pada pelarut ke-i dengan metode rendaman ke-j pada ulangan ke-k Apabila hasil analisis keragaman menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata, hasil pengujian diuji lanjut dengan uji Duncan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Ekstrak Zat warna yang ada pada kayu samak (S. inophyllum) diekstrak dengan menggunakan pelarut air, etanol dan campuran air-etanol yang menghasilkan kadar ekstrak yang tinggi. Berdasarkan klasifikasi kelas komponen kimia kayu Indonesia, zat ekstraktif kayu termasuk kelas tinggi jika kadar ekstraktif lebih besar dari 4%, kelas sedang jika kadar ekstraktif 2-4%, dan kelas rendah jika kadar ekstraktif kurang dari 2% (Lestari dan Pari 1990). Hasil yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian Syafii (2000a) yang mengekstrak kulit kayu Acacia decurrens dengan menggunakan pelarut air yang menghasilkan kadar ekstrak 31.10-51.50 %. 38.06
40
38.84
35.04
Kadar Ekstrak (%)
35 30
24.8
25
20.72
20 15 10 5 0 Air
Air-Etanol (3:1)
Air-Etanol (1:1)
Air-Etanol (1:3)
Etanol
Gambar 8 Kadar ekstrak kulit kayu samak yang diekstrak dengan menggunakan pelarut air, etanol dan campuran air-etanol Gambar 8 memperlihatkan pelarut campuran air-etanol 1:3 menghasilkan kadar ekstrak tertinggi (38.84%). Jenis pelarut merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi. Pada dasarnya tidak ada pelarut yang dapat melarutkan semua zat ektraktif sehingga untuk melarutkan zat ekstraktif agar lebih banyak perlu ditambahkan dua atau lebih jenis pelarut (Fengel dan Wegener 1995). Sebagian besar pewarna alami yang diekstrak dari tumbuhan termasuk ke dalam golongan senyawa yang bersifat polar (Fengel dan Wegener 1995) yang larut dalam pelarut air dan pelarut organik. Win (2008), Suheryanto (2010), Vinod et al. (2010), Vinod dan Puttaswamy (2010) telah mengekstrak zat warna alam dengan menggunakan air dan etanol sebagai pelarut. Pelarut air dan etanol merupakan pelarut polar, namun mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mengisolasi jenis senyawa yang terekstrak. Penambahan proporsi etanol dalam pelarut campuran air-etanol selain dapat menarik senyawa polar juga
19
senyawa yang bersifat semipolar sehingga dapat meningkatkan kadar ekstrak terlarut dan menghasilkan kadar ekstrak yang tinggi (Rivai et al. 2010). Etanol sebagai pelarut memiliki beberapa keuntungan, diantaranya dapat menyebabkan komponen senyawa yang terkandung di dalam sampel dapat terekstrak lebih banyak dibandingkan pelarut air, karena dapat mengekstrak komponen kimia yang tahan panas dan tidak tahan panas (Harborne 1996). Pelarut etanol dapat mengekstrak senyawa alkaloid, steroid, saponin, falvonoid dan glikosida, sedangkan air digunakan sebagai pelarut karena umum digunakan dalam proses ektraksi pada kehidupan sehari-hari dengan biaya yang relatif murah. Walaupun begitu, potensi pemanfaatan ekstraktif bahan alam sebagai pewarna ditetapkan bukan hanya berdasarkan potensi jumlahnya saja akan tetapi dikombinasikan dengan mutu warna yang dihasilkan. Hasil uji GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) memunculkan dugaan bahwa senyawa organik dominan yang bersifat sebagai pewarna alami dalam kulit kayu samak adalah pyrocatechol. Pyrocatechol termasuk senyawa fenol yang mempunyai dua gugus hidroksil (Sjostrom 1998) (Gambar 9).
Gambar 9 Pyrocatechol Pyrocatechol atau dalam hal ini disebut katekol tidak berwarna, dan dalam keadaan murni sedikit tidak larut dalam air dingin tetapi sangat larut dalam air panas, alkohol dan etil asetat. Katekol hampir tidak larut dalam kloroform, benzene dan eter. Jika diberi ferri klorida, katekol akan menghasilkan cairan yang berwarna hijau pekat. Katekol digunakan sebagai zat warna, tinta fotografi, bahan pengoksidasi pada pewarna rambut, insektisida, parfum, obat-obatan, antiseptik, bahan antioksidan pada karet, dan minyak essensial (Health Council of the Netherlands 2011). Katekol merupakan kandungan kimia utama pada gambir (Das dan Griffiths 1967; Thorpe dan Whiteley 1921 dalam Amos 2010). Senyawa katekol berhasil diisolasi dari akar Diospyros kaki Thunb sebagai antimikroba (Jeong et al. 2009). Katekin merupakan polimer dari katekol yang terdapat dalam gambir dimanfaatkan sebagai antiseptik mulut (Lucida et al. 2007), sebagai pewarna alami kain (Amos 2011) dan pewarnaan kayu (Bogoriani dan Putra 2009; Bogoriani 2010). Hasil pendugaan dengan GCMS menunjukkan bahwa kulit kayu samak (S. inophyllum) berpotensi sebagai pewarna alami. Hal ini didukung oleh Suabjakyong et al. (2011) dan Wanyama et al. (2011) yang telah meneliti jenis S. cumini dan S. cordatum sebagai bahan pewarna alami tekstil.
Pewarnaan Kayu Pewarnaan kayu menggunakan larutan ekstrak kulit kayu samak yang diekstrak dengan berbagai komposisi pelarut menggunakan 2 metode rendaman yaitu rendaman panas dan dingin dengan konsentrasi ekstrak 10% berdasarkan
20
penelitian pendahuluan yang merupakan konsentrasi optimum. Respon yang diamati setelah pewarnaan kayu adalah retensi dan kualitas warna. Retensi Retensi (banyaknya bahan pewarna yang masuk dan tertinggal di dalam kayu) dari ekstrak kulit kayu samak pada pewarnaan kayu jabon beragam menurut jenis ekstrak dan metode aplikasi pewarnaan (Gambar 10). Retensi ekstrak tertinggi didapat dari kayu jabon terwarnai ekstrak pelarut air-etanol 1:3 dengan perendaman dingin (15.33 kg/m3) dan terendah pada kayu jabon terwarnai ekstrak pelarut air dengan perendaman panas (2.79 kg/m3). Retensi tertinggi dihasilkan bahan pewarna dari ekstrak dengan rendemen tertinggi (ekstrak pelarut air-etanol 1:3). Kadar ekstrak tinggi dapat diasumsikan baik jumlah maupun jenis senyawa terekstrak juga tinggi dan menyebabkan tingginya retensi ekstrak tersebut. Hal serupa dilaporkan oleh Irawati (2007) yang meneliti kayu karet yang diberi bahan pengawet dari ekstrak daun sirsak. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa nilai retensi ekstrak air yang ditambahkan dengan etanol menghasilkan nilai retensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air. Penambahan etanol menyebabkan bahan organik yang terkandung dalam daun sirsak lebih banyak terlarut sehingga ketika digunakan lebih banyak yang tertinggal di dalam kayu. Cukup tingginya retensi bahan pewarna ekstrak kulit kayu samak ini selain dipengaruhi kadar ekstrak juga dipengaruhi oleh sifat kayu yang diwarnai. Pada penelitian ini pewarnaan dilakukan terhadap kayu jabon yang memiliki berat jenis rendah (0.3-0.4) (Martawijaya et al. 2005). Kayu dengan berat jenis atau berkerapatan rendah umumnya memiliki porositas tinggi, dengan pembuluhpembuluh terbuka yang besar sehingga cenderung lebih mudah untuk dimasuki bahan pewarna atau bahan pengawet (Hunt dan Garrat 1986). 15.33
16
Retensi (kg/m3)
14 12 10
13.45
13.03
12.53
12.21
10.18 10.08 8.34
8
6.10
6 4
2.79
Air Air-Etanol (3:1) Air-Etanol (1:1) Air-Etanol (1:3) Etanol
2 0 Rendaman Dingin
Rendaman Panas
Gambar 10 Rata-rata nilai retensi zat warna pada kayu jabon Selain anatomi kayu, cara pewarnaan juga mempengaruhi absorbsi bahan yang masuk ke dalam kayu. Pewarnaan dengan metode aplikasi rendaman dingin menunjukkan nilai retensi yang lebih baik dibandingkan dengan perendaman panas. Waktu yang lebih lama pada rendaman dingin dibandingkan dengan rendaman panas menyebabkan retensi bahan pewarna dalam kayu jabon semakin tinggi, dan absorbsi intensif terjadi sejak hari pertama hingga hari ketiga terhitung dari awal perendaman kemudian konstan (Hunt dan Garrat 1986). Barly dan Neo (2010) melaporkan bahwa pemberian bahan pengawet terhadap kayu
21
sengon dan tusam dengan metode rendaman dingin menghasilkan nilai retensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode aplikasi rendaman panas. Perubahan Warna Kayu Jabon setelah Diwarnai Pengukuran warna kayu dilakukan menggunakan image processing Scanner Cannon MP 145 yang dihubungkan dengan MacBook Pro sebagai penyimpan data dan diolah dengan software Adobe Photoshop CS4 yang menghasilkan nilai L*, a* dan b* (Kleeberger dan Bruno 2002). Nilai L* menunjukkan tingkat kecerahan hasil pewarnaan, semakin positif maka kecerahan semakin tinggi, sebaliknya semakin menurun nilai L* maka hasil pewarnaan semakin gelap. Suatu warna tidak selamanya hanya diperoleh dari warna merah, hijau atau biru saja, melainkan dapat diperoleh berdasarkan kombinasi warna merah dan kuning, merah dan biru, kuning dan hijau atau kuning dan biru. Nilai a* menyatakan warna yang dihasilkan merupakan warna merah atau hijau, sedangkan nilai b* menyatakan warna kuning atau biru. Warna kayu jabon setelah pewarnaan dengan ekstrak kulit kayu samak berubah dari warna light grey (Gambar 11a) menjadi warna reddish orange (Gambar 14b) (Munsell Color 1994). Jika dibandingkan dengan kayu mahoni dan meranti (Gambar 11c dan 11d), kayu jabon terwarnai ekstrak kulit kayu samak berwarna lebih gelap. Tabel 6 menunjukkan tingkat kecerahan (L*) warna kayu jabon setelah diwarnai turun sebesar 42.58% dibandingkan sebelum diwarnai dengan kisaran nilai antara 44.87 – 55.13. Nilai a* dan b* setelah pewarnaan berturut-turut naik sebesar 86.98% dan 20.99%, dengan nilai a* berkisar antara 26.69–30.93, sedangkan nilai b* berkisar antara 20.63–24.67. Nilai a* dan b* yang positif ini menandakan bahwa warna reddish orange pada kayu jabon hasil pewarnaan merupakan campuran warna merah dan kuning. Menurunnya nilai L* dan bertambahnya nilai a* dan b* setelah pewarnaan menunjukkan terjadinya perubahan warna yang sangat signifikan dibandingkan dengan warna kayu jabon sebelum diwarnai.
a
b
c d Gambar 11 (a) Kayu jabon sebelum pewarnaan (b) Kayu jabon setelah pewarnaan (c) Kayu mahoni (d) Kayu meranti merah (Martawijaya et al. 2005)
22
Tabel 6 Nilai L*, a* dan b* sebelum pewarnaan, setelah pewarnaan dan setelah uji tahan luntur dalam air panas, air dingin, larutan sabun, dan tetesan asam Pelarut
Rendaman
S
Air Air-etanol (3:1) Air-etanol (1:1) Air-etanol (1:3) Etanol Air Air-etanol (3:1) Air-etanol (1:1) Air-etanol (1:3) Etanol
Dingin Dingin Dingin Dingin Dingin Panas Panas Panas Panas Panas
85.91 83.79 82.50 81.90 80.42 84.33 87.79 87.79 87.08 86.42
Air Air-etanol (3:1) Air-etanol (1:1) Air-etanol (1:3) Etanol Air Air-etanol (3:1) Air-etanol (1:1) Air-etanol (1:3) Etanol
Dingin Dingin Dingin Dingin Dingin Panas Panas Panas Panas Panas
3.43 4.21 3.58 3.89 3.92 4.33 3.29 3.54 3.63 3.83
Air Air-etanol (3:1) Air-etanol (1:1) Air-etanol (1:3) Etanol Air Air-etanol (3:1) Air-etanol (1:1) Air-etanol (1:3) Etanol
Dingin Dingin Dingin Dingin Dingin Panas Panas Panas Panas Panas
18.62 18.04 18.46 19.29 16.92 17.54 17.00 15.33 16.46 16.96
W
P
D
Sb
A
55.13 49.60 50.63 48.87 47.30 53.29 45.20 45.67 44.87 46.36
61.77 51.60 55.47 55.57 50.60 61.53 45.80 47.47 52.43 51.17
58.31 51.13 55.07 56.27 50.13 62.30 46.80 47.33 47.97 49.47
62.90 52.37 54.63 52.43 49.83 55.87 50.17 46.97 47.77 49.40
37.04 31.25 32.21 29.58 26.46 32.25 28.92 27.79 27.71 29.08
26.90 29.40 28.22 26.70 30.93 26.69 30.37 29.77 30.03 30.40
23.80 27.20 25.60 25.07 28.43 24.43 26.97 28.43 25.87 29.60
24.87 27.13 24.60 24.17 26.67 21.70 28.63 28.43 24.67 27.63
22.23 27.53 25.23 24.93 27.37 25.70 28.87 25.93 25.27 28.73
11.50 11.58 9.50 9.46 12.75 15.79 11.75 11.63 11.83 12.88
24.47 23.13 21.96 21.73 21.02 23.33 21.47 20.63 21.77 21.49
23.70 20.10 20.50 20.60 20.00 22.93 19.07 19.70 21.00 21.03
22.67 21.64 21.33 20.23 18.97 21.47 19.33 19.57 18.70 21.07
22.50 21.83 20.53 19.73 17.90 21.43 17.87 18.37 20.80 19.30
8.29 7.54 5.50 5.75 7.42 11.25 6.88 7.71 7.38 8.29
L*
a*
b*
S = kayu jabon sebelum pewarnaan, W = kayu jabon setelah pewarnaan, P = kayu jabon setelah uji tahan luntur dalam air panas, D = kayu jabon setelah uji tahan luntur dalam air dingin, Sb = kayu jabon setelah uji tahan luntur dalam larutan sabun, A = kayu jabon setelah uji tahan luntur terhadap tetesan asam, L* = tingkat kecerahan, a* = kombinasi merah/hijau, b* = kombinasi kuning/biru
23
Tabel 7 Nilai E pewarnaan dan setelah uji tahan luntur dalam air panas, air dingin, larutan sabun dan tetesan asam Perlakuan Pelarut Air Air-etanol (3:1) Air-etanol (1:1) Air-etanol (1:3) Etanol Air Air-etanol (3:1) Air-etanol (1:1) Air-etanol (1:3) Etanol
Rendaman Dingin Dingin Dingin Dingin Dingin Panas Panas Panas Panas Panas
W 39.25 42.81 40.49 40.33 43.04 38.90 50.68 49.98 50.13 48.31
P 7.59 4.37 5.78 7.05 4.32 8.57 3.69 2.48 8.73 5.01
E D 4.59 3.31 6.14 8.04 6.34 10.64 2.64 2.73 7.17 4.49
Sb 9.43 3.75 5.44 4.66 5.52 3.51 5.85 4.88 5.91 4.52
A 28.84 30.04 31.03 30.65 30.84 26.74 28.09 28.57 28.89 28.02
E = Perubahan warna (E = [(L*)2 + (a*)2 + (b*)2], S = kayu jabon sebelum pewarnaan, W = kayu jabon setelah pewarnaan, P = kayu jabon setelah uji tahan luntur dalam air panas, D = kayu jabon setelah uji tahan luntur dalam air dingin, Sb = kayu jabon setelah uji taha luntur dalam larutan sabun, A = kayu jabon setelah uji tahan luntur terhadap tetesan asam 60
E
50 40
Air-etanol (3:1)
30
Air-etanol (1:1)
20
Air-etanol (1:3)
10
Etanol
0 Rendaman Dingin
Rendaman Panas
Gambar 12 Nilai E setelah pewarnaan Gambar 12 dan Tabel 7 memperlihatkan perubahan warna (E) tertinggi diperoleh dari kayu jabon terwarnai ekstrak pelarut air-etanol 3:1 dengan perendaman panas (50.68) dan terendah pada kayu jabon terwarnai ekstrak pelarut air dengan perendaman panas (38.90). Tabel 6 menunjukkan penurunan nilai L* yang besar dan kenaikan nilai a* dan b* menghasilkan nilai E yang besar (>6.0) dengan rata-rata 44.93. Penambahan etanol dalam pelarut air dapat melarutkan ekstrak dan menghasilkan nilai retensi lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut air, menyebabkan turunnya tingkat kecerahan (L*) kayu dan perubahan warna (E) yang besar. Selain komposisi pelarut, metode aplikasi perendaman panas juga dapat meningkatkan nilai E. Lebih tingginya suhu pada metode aplikasi rendaman panas dibandingkan dengan rendaman dingin dapat mendorong terjadinya reaksi dan mempercepat migrasi zat warna sehingga jumlah zat warna yang terserap pada waktu singkat akan semakin besar. Zat warna yang terserap ke dalam kayu jabon diduga berikatan hidrogen dengan gugus hidroksil pada
24
komponen kimia kayu jabon. Ikatan hidrogen merupakan ikatan yang terbentuk karena atom pada gugus hidroksil mengadakan ikatan dengan atom yang lain. Pada umumnya molekul-molekul zat warna dan kayu mengandung gugusan yang memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen (Sunarto 2008). Hasil interpretasi FTIR menunjukkan adanya pengaruh zat warna yang melapisi kayu jabon (Gambar 13). Berdasarkan struktur kimianya, katekol memiliki gugus fungsi karbonil, C=O aromatik, C=C aromatik dan C-C dari suatu alkena (SDBS 2012). Serapan pada 1864.17 cm-1 mengidentifikasikan adanya serapan C=O stretching (regangan), serapan pada 1553.54 cm-1 mengidentifikasikan adanya serapan dari suatu C=C cincin aromatis, selanjutnya serapan pada 829.21 cm-1 (berada pada rentang 840-790 cm-1) mengidentifikasikan adanya serapan dari suatu C-H bending (bengkok) dari suatu alkena. Munculnya serapan C=O, C=C, dan C-C pada spektrum kayu jabon terwarnai mengindikasikan adanya pengaruh zat warna dari ekstrak kulit kayu samak yang mewarnai kayu jabon. Sebelum pewarnaan Setelah pewarnaan
Gambar 13 Hasil FTIR kayu jabon sebelum dan setelah diwarnai
Perubahan Warna Kayu Jabon Terwarnai setelah Pengujian Ketahanan Luntur Perubahan Warna Kayu Jabon Terwarnai setelah Pengujian Ketahanan Luntur dalam Air Panas Hasil uji kelunturan warna dalam air panas merubah warna kayu jabon dari warna reddish orange (Gambar 14a) menjadi dull orange (Gambar 14b) (Munsell Color 1994). Terjadinya kelunturan warna ini dapat dilihat dari naiknya nilai L* sebesar 9.54% dan menurunnya nilai a* dan b* masing-masing sebesar 8.29% dan 5.59% (Tabel 6). Naiknya nilai L* dan menurunnya intensitas warna merah (a*) dan kuning (b*) menyebabkan tingkat kecerahan kayu jabon setelah diuji menjadi lebih terang dibandingkan sebelum diuji kelunturan warna dalam air panas. Perubahan warna (E) paling besar terjadi pada kayu jabon terwarnai ekstrak pelarut air dengan metode aplikasi rendaman dingin (E sebesar 8.57) dan yang
25
paling kecil terjadi pada kayu yang jabon terwarnai dengan ekstrak pelarut airetanol 1:1 dengan metode aplikasi rendaman panas (E sebesar 2.48).
a
b
Gambar 14 (a) Kayu jabon setelah pewarnaan (b) Kayu jabon setelah uji ketahanan luntur dalam air panas Selain dilihat dari perubahan warna, kelunturan warna juga didukung oleh hasil uji FTIR, yang menunjukkan adanya perubahan-perubahan serapan pada panjang gelombang tertentu dari sampel kayu jabon sebelum dan setelah uji kelunturan (Gambar 15). Hasil uji kelunturan dalam air panas menyebakan hilangnya serapan C=O stretching pada 1864.17 cm-1, C=C pada serapan 1553.54 cm-1, diduga pemanasan yang dilakukan terhadap kayu jabon terwarnai zat warna menyebabkan terjadinya degradasi pada zat warna dan hilangnya serapan tersebut.
Setelah pengujian
Setelah pewarnaan
Gambar 15 Hasil FTIR kayu jabon terwarnai dan setelah uji kelunturan dalam air panas Perubahan Warna Kayu Jabon Terwarnai setelah Pengujian Ketahanan Luntur dalam Air Dingin Pada uji ketahanan luntur dalam air dingin, warna kayu jabon terwarnai berubah dari warna reddish orange (Gambar 16a) menjadi warna dull orange (Gambar 16b) (Munsell Color Chat 1994), yang berarti warna kayu jabon setelah direndam dalam air dingin menunjukkan warna yang lebih cerah dibanding sebelum diuji. Perubahan warna ini disebabkan naiknya tingkat kecerahan (L*) kayu jabon setelah pengujian sebesar 7.77% dan menurunnya intensitas warna merah dan kuning (a* dan b*) masing-masing sebesar 2.6% dan 7.24% (Tabel 6). Perubahan warna (E) paling besar terjadi pada kayu jabon terwarnai ekstrak
26
pelarut air dengan metode aplikasi rendaman dingin (E sebesar 10.64) dan paling rendah terdapat pada kayu jabon terwarnai ekstrak pelarut air-etanol 1:1 dengan metode aplikasi rendaman dingin (E 2.73). Hasil pengujian FTIR (Gambar 17) menunjukkan pada perlakuan uji kelunturan dalam air dingin serapan yang hilang akibat pengaruh proses pendinginan adalah pada serapan gugus C=C dan C=O yaitu masing didaerah 2337.47 cm-1 dan 2356.10 cm-1serta 1864.17 cm-1.
a b Gambar 16 (a) Kayu jabon setelah pewarnaan (b) Kayu jabon setelah uji ketahanan luntur dalam air dingin
Setelah pengujian
Setelah pewarnaan
Gambar 17 Hasil FTIR kayu jabon setelah diwarnai dan setelah uji kelunturan dalam air dingin. Perubahan Warna Kayu Jabon Terwarnai setelah Pengujian Ketahanan Luntur dalam Larutan Sabun Hasil uji ketahanan luntur dalam larutan sabun menunjukkan warna kayu jabon terwarnai berubah dari warna reddish orange (Gambar 18a) menjadi warna pale orange (Gambar 18b) (Munsell Color Chat 1994). Warna kayu jabon setelah direndam dalam larutan sabun teepol lebih cerah dibandingkan sebelum diuji (Gambar 18a). Perubahan kecerahan ini terjadi karena meningkatnya nilai L* sebesar 7.27% dan menurunnya intensitas warna merah dan kuning (a* dan b*) sebesar 1.35% dan 9.37% (Tabel 6). Kelunturan paling besar terjadi pada kayu jabon yang terwarnai ekstrak pelarut air dalam metode aplikasi rendaman panas dengan nilai E 9.43 dan kelunturan paling kecil E 3.51 terjadi pada kayu jabon terwarnai ekstrak pelarut air dengan metode aplikasi rendaman dingin (Tabel 7).
27
Hasil interpretasi FTIR (Gambar 19) menjelaskan adanya serapan yang hilang yaitu pada 1864.17 cm-1 yang mengindikasikan tidak terdapatnya gugus C=O setelah pengujian dengan sabun. Namun, terdapat serapan baru yang muncul pada daerah 780.71 cm-1. Pada daerah ini diperkirakan terdapat gugus C-H bending tersubtitusi meta (derivat dari benzena) yang mengindikasikan serapan untuk kebanyakan natrium karboksilat (sodium carboxylate) sebagai penyusun sabun. Dengan demikian, analisis spektrum FTIR menunjukkan bahwa sifat basa yang diberikan pada kayu jabon terwarnai zat warna berpengaruh terhadap hilangnya serapan C=O.
a
b
Gambar 18 (a) Kayu jabon setelah pewarnaan (b) Kayu jabon setelah uji ketahanan luntur dalam larutan sabun
Setelah pengujian
Setelah pewarnaan
Gambar 19 Hasil FTIR kayu jabon terwarnai dan setelah uji kelunturan dalam larutan sabun Perubahan Warna Kayu Jabon Terwarnai setelah Pengujian Ketahanan Luntur terhadap Tetesan Asam Kayu jabon terwarnai ekstrak kulit kayu samak mengalami perubahan fisik setelah ditetesi asam asetat (CH3COOH) 10%, yaitu terjadi perubahan warna dari reddish orange (Gambar 20a) menjadi grayish brown (Gambar 20b) (Munsell Color Chat 1994). Hal ini dapat dilihat dari nilai L*, a* dan b* setelah ditetesi asam menurun berturut-turut sebesar 61.08%, 55.29% dan 65.16% dibandingkan sebelum diberi perlakuan (Tabel 6). Menurunnya nilai L* dan berkurangnya intensitas a* dan b* yang besar menunjukkan bahwa kayu jabon setelah ditetesi asam berwarna lebih gelap dibandingkan sebelum diberi perlakuan (Gambar 20c).
28
Perubahan warna (E) terbesar terjadi pada kayu yang diwarnai dengan esktrak etanol (nilai L* paling kecil), sehingga warna yang dihasilkan lebih pekat (Tabel 7). Perubahan warna paling kecil (nilai L* paling besar) terjadi pada kayu yang diwarnai ekstrak air atau dengan kata lain perubahan warna hitam yang dihasilkan tidak teralu pekat. Hal ini diduga bahwa pelarut air, etanol maupun campuran air-etanol dapat melarutkan senyawa zat warna yang sensitif terhadap asam walaupun dengan kadar yang berbeda. Hasil interpretasi FTIR (Gambar 21) diperoleh adanya serapan yang hilang yaitu pada 1864.17 cm-1 yang mengindikasikan tidak terdapatnya gugus C=O dan gugus C-H pada 829.21 cm-1 setelah penambahan asam. Penambahan asam berpengaruh terhadap tidak terdapatnya serapan gugus C=O dan C=C.
b c a Gambar 20 (a) Kayu jabon kontrol yang ditetesi asam(b) Kayu jabon terwarnai (c) Kayu jabon setelah uji tahan luntur terhadap tetesan asam
Setelah pengujian
Setelah pewarnaan
Gambar 21 Hasil FTIR kayu jabon setelah diwarnai dan setelah uji ketahanan luntur terhadap tetesan asam Hasil pengujian ketahanan luntur dalam air panas, air dingin, larutan sabun, dan tetesan asam memperlihatkan kayu jabon terwarnai ekstrak kulit kayu samak mengalami kelunturan yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai L* dan menurunnya nilai a* dan b* untuk uji kelunturan dalam air panas, air dingin dan larutan sabun, sedangkan pada pengujian kelunturan terhadap tetesan asam terjadi penurunan nilai L*, a* dan b* (Tabel 6). Meningkatnya L* dan menurunnya nilai a* dan b*, berarti kayu jabon setelah pengujian menjadi lebih cerah dari
29
sebelumnya, namun menurunnya nilai L*, a* dan b* pada uji kelunturan terhadap tetesan asam menyebabkan warna kayu jabon terwarnai lebih gelap dibandingkan sebelum diuji. Perubahan warna ini terjadi diduga adanya molekul zat warna yang tercuci oleh media air dan asam. Dari semua uji, gugus C=O memiliki kestabilan yang paling rendah (Gambar 22), karena diperkirakan gugus C=O yang merupakan salah satu gugus utama penyusun zat warna yang memang peka terhadap cahaya, panas, dan asam. Senyawa organik seperti zat warna mempunyai banyak ikatan rangkap dan gugus karbonil dimana elektronnya mudah mengalami transisi. Selain itu diduga adanya ikatan hidrogen yang lemah antara gugus hidroksil pada komponen kimia kayu jabon dengan gugus penyusun zat warna juga merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya kelunturan warna. Hal ini menunjukkan bahwa zat warna alam dari kulit kayu samak bersifat mordan dye, yang tidak tahan terhadap pencucian (Suheryanto 2010). Pada gambar 22 menunjukkan serapan gugus C-O yang ada pada senyawa zat warna mengalami pelepasan, namun sebagian besar gugus C=C dan C-C tidak hilang. Hal ini diduga kedua gugus tersebut masih berikatan dengan kayu, yang menyebabkan masih terdapatnya zat warna pada kayu jabon setelah diuji kelunturan warna.
C-O
Gambar 22 Hasil FTIR kayu jabon sebelum, setelah diwarnai dan setelah uji ketahanan luntur Penggunaan air sebagai pelarut walaupun menghasilkan ekstrak dan retensi yang tinggi, tetapi senyawa terekstrak tidak dapat mewarnai kayu dengan baik dengan daya tahan luntur yang rendah. Hal yang sama terjadi pada pewarnaan kayu akasia dan sengon dengan menggunakan pewarna alami yang diekstrak dari gambir, biji pinang dan kulit kayu jati dengan menggunakan pelarut air (Pujiarti dan Kasmudjo 2007; Bogoriani dan Putra 2009; Bogoriani 2010). Sementara itu, pewarnaan dengan ekstrak dari campuran pelarut air-etanol menghasilkan kualitas warna yang lebih baik dibandingkan dengan pewarnaan dengan ekstrak dari
30
pelarut air dengan nilai kelunturan warna yang lebih kecil. Penambahan etanol dalam campuran pelarut air-etanol menyebabkan komposisi dan jumlah senyawa zat warna yang terekstrak juga semakin besar dan zat warna yang tertinggal didalam kayu juga semakin tinggi. Semakin tinggi retensi bahan pewarna memungkinkan terjadinya fiksasi yang semakin tinggi, sehingga tingkat kelunturan juga semakin kecil. Selain itu, metode aplikasi rendaman panas menghasilkan pewarnaan kayu yang lebih baik dibandingkan dengan rendaman dingin. Hal ini disebabkan zat warna pada kulit kayu samak lebih mudah larut dalam alkohol dan lebih tingginya suhu pada metode aplikasi rendaman panas dapat mendorong terjadinya reaksi dan mempercepat migrasi zat warna ke dalam kayu (Sunarto 2008).
Ketahanan Kayu Jabon Terwarnai terhadap Serangan Organisme Perusak Kayu Selain uji ketahanan luntur warna, kayu jabon yang sudah diwarnai diuji ketahanannya terhadap organisme perusak kayu. Hal ini untuk mengetahui kemungkinan adanya peran ekstrak yang diaplikasikan terhadap keawetan. Ketahanan Kayu Jabon Terwarnai terhadap Rayap Tanah (C. curvignathus) Kehilangan berat sampel uji terkecil ditunjukkan kayu jabon yang diwarnai ekstrak etanol dengan metode aplikasi rendaman panas (1.33 %) dan terbesar pada ekstrak air dengan metode aplikasi rendaman panas (8.92 %) (Tabel 8). Pengujian ketahanan terhadap rayap tanah ini dianggap berhasil jika persen kehilangan berat kayu kontrol lebih dari 15% (JIS K 1571-2004). Martawijaya et al. (2005) menyebutkan bahwa kayu jabon termasuk kelas awet V (ketahanan sangat buruk) untuk serangan rayap. Setelah pewarnaan dengan ekstrak kulit kayu samak, keawetan kayu jabon meningkat menjadi kelas awet III hingga I. Ketahanan Kayu Jabon Terwarnai terhadap Rayap Kayu Kering (C. cynocephalus) Nilai kehilangan berat kayu jabon terwarnai akibat rayap kayu kering berkisar 0.82 – 1.97 % (Tabel 8), dan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (kehilangan berat 2.13%). Kehilangan berat terbesar dialami kayu jabon yang diwarnai dengan ekstrak campuran air-etanol 3:1 dengan metode aplikasi rendaman panas dan terkecil pada campuran ekstrak air-etanol 1:1 dengan metode aplikasi rendaman panas. Menurut Martawidjaja et al. (2005) kayu jabon termasuk dalam kelas awet II untuk uji ketahanan terhadap rayap kayu kering. Hasil pengujian (Tabel 8) memperlihatkan semua contoh uji yang telah diwarnai meningkat kelas keawetannya dari kelas awet II menjadi kelas awet I. Ketahanan Kayu Jabon Terwarnai terhadap Jamur Pelapuk Putih (S. commune) Kisaran nilai kehilangan berat kayu jabon terwarnai setelah diumpankan pada jamur pelapuk putih (S. commune) selama lebih kurang 12 minggu berkisar antara 0.40 – 1.52 % (Tabel 8). Kehilangan berat kayu jabon yang telah diwarnai lebih kecil dibandingkan dengan kayu kontrol (kehilangan berat 20.14 %). Hasil
31
terbaik diperoleh dari pewarnaan dengan ekstrak campuran air-etanol 1:1 dengan metode aplikasi rendaman panas dan nilai keawetan kayunya meningkat dari kelas awet IV menjadi kelas awet II hingga I. Tabel 8 Persen kehilangan berat kayu jabon terhadap rayap tanah, rayap kayu kering dan jamur Perlakuan Pelarut Perendaman Kontrol Kontrol Air Dingin Air-etanol (3:1) Dingin Air-etanol (1:1) Dingin Air-etanol (1:3) Dingin Etanol Dingin Air Panas Air-etanol (3:1) Panas Air-etanol (1:1) Panas Air-etanol (1:3) Panas Etanol Panas
Rayap Tanah KB (%) Kelas awet 18.96 V 6.88 II 2.23 I 1.59 I 6.75 II 6.32 II 8.92 III 3.22 I 5.72 II 8.37 III 1.33 I
Rayap Kayu Kering KB (%) Kelas awet 2.13 II 1.09 I 1.45 I 1.61 I 1.18 I 1.65 I 1.83 I 1.97 I 0.82 I 1.44 I 1.90 I
KB (%) 20.14 1.21 1.22 0.61 1.52 1.49 1.51 1.22 0.40 1.11 1.42
Jamur Kelas awet IV II II I II II II II I II II
*KB = kehilangan berat
Hasil pengujian ketahanan kayu jabon terwarnai terhadap organisme perusak kayu menunjukkan pewarnaan kayu dengan menggunakan ekstrak dari kulit kayu samak dapat meningkatkan ketahanan kayu jabon terhadap serangan rayap tanah, rayap kayu kering dan jamur pelapuk putih yang ditunjukkan dengan lebih kecilnya kehilangan berat setelah uji serangan organisme perusak kayu dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga bahwa ekstrak kulit kayu samak mengandung senyawa yang bersifat racun terhadap rayap tanah, rayap kayu kering dan penghambat pertumbuhan jamur pelapuk putih. Ratnam dan Raju (2008) dan (Murugan et al. 2011) telah meneliti S. alternifolium, S. samarangense dan S. jambos sebagai antibakteri dan antimikroba. Hunt dan Garrat (1986) menyatakan keefektifan suatu bahan pengawet bergantung pada daya racunnya atau kemampuan menjadikan kayu itu beracun terhadap organisme-organisme yang makan kayu atau masuk ke dalamnya untuk memperoleh perlindungan. Untuk nilai persentase kehilangan berat pada rayap tanah dan jamur memperlihatkan hasil yang beragam. Hasil pewarnaan dengan rendaman dingin menunjukkan kecenderungan kehilangan berat yang lebih kecil dibandingkan dengan rendaman panas. Hal ini diduga karena nilai retensi perendaman dingin lebih tinggi dibandingkan dengan rendaman panas, sehingga mampu memasukkan senyawa yang bersifat racun terhadap organisme perusak lebih banyak ke dalam kayu. Walaupun nilai retensi tinggi namun menghasilkan nilai keawetan yang berbeda dan metode aplikasi perendaman ini tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini disebabkan oleh kadar ekstrak yang dihasilkan tidak sama karena perbedaan komposisi pelarut. Secara kualitatif hasil fitokimia (Tabel 10) pada ekstrak terdeteksi adanya senyawa alkaloid, fenolik dan flavonoid, namun kemungkinan kadar atau konsentrasinya berbeda. Katekol yang termasuk dalam senyawa fenolik selain digunakan sebagai zat warna (Amos 2011), juga sebagai bahan antiseptik dan insektisida (Lucida et al. 2007). Zat ekstraktif dari kayu Japanese larch (Larix leptolepis) memperlihatkan sifat penolak yang tinggi terhadap aktifitas makan rayap tanah C. formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam bio-assay test
32
(Chen et al. 2004), sedangkan pada kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) diketahui terdapat senyawa latifolin dan neoflavonoid yang bersifat racun terhadap rayap Reticulitermes speratus (Syafii 2000b). Kocacaliskan et al. (2006) telah meneliti kegunaan katekol sebagai antibakteri dan antijamur (Fusarium oxysporum, Penicillium italicum), sedangkan Jeong et al. (2009) berhasil mengisolasi senyawa katekol dari tanaman Diospyros kaki Thunb sebagai antibakteri.
Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jabon Setelah Pewarnaan Berat Jenis dan Kerapatan Kayu Berat jenis (BJ) kayu jabon terwarnai ekstrak kayu samak berkisar antara 0.37-0.42 sedangkan kerapatannya berkisar antara 0.40-0.44. Hasil ini tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh Martawidjaja et al. (2005) yang menyatakan bahwa berat jenis kayu jabon berkisar 0.29-0.56 dengan rata-rata 0.42. Pemberian ekstrak kulit kayu samak pada berbagai komposisi pelarut saat proses pewarnaan tidak berpengaruh terhadap kenaikan berat jenis dan kerapatan kayu jabon (Gambar 23 dan 24). Hal ini karena kecilnya penambahan ekstrak terhadap bobot kayu sehingga kontribusinya kecil terhadap berat jenis atau kerapatan kayu. Namun terdapat indikasi kayu jabon yang diwarnai dengan cara rendaman panas memiliki BJ dan kerapatannya lebih tinggi dibandingkan dengan rendaman dingin dan kontrol. Hal ini dapat disebabkan adanya senyawa zat warna lebih efektif masuk ke dalam kayu dengan menggunakan metode rendaman panas, sehingga berat kayu sedikit bertambah (Sunarto 2008). 0.50 Kontrol
Berat Jenis
0.40
Air
0.30
Air-Etanol (3:1)
0.20
Air-Etanol (1:1)
0.10
Air-Etanol (1:3)
0.00
Etanol Rendaman dingin
Rendaman panas
Gambar 23 Pengaruh Pemberian Zat Warna Terhadap Berat Jenis Kayu Jabon 0.50 Kontrol
Kerapatan
0.40
Air
0.30
Air-Etanol (3:1)
0.20
Air-Etanol (1:1)
0.10
Air-Etanol (1:3)
0.00
Etanol Rendaman dingin
Rendaman panas
Gambar 24 Pengaruh Pemberian Zat Warna Terhadap Kerapatan Kayu Jabon
33
MOE , MOR dan Kekerasan Perubahan sifat mekanis kayu akibat perwarnaan diduga dengan perubahan nilai MOE (Modulus of Elasticity), MOR (Modulus of Repture) dan kekerasan. Pemberian ekstrak pewarna tidak berpengaruh terhadap kenaikan sifat mekanis bahkan cenderung dapat menurunkan kekuatan kayu. Tabel 9 menunjukkan ratarata nilai MOE, MOR dan kekerasan kayu jabon terwarnai cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Mardikanto et al. (2011) menyatakan bahwa pemberian bahan/zat kimia ke dalam kayu umumnya tidak mempengaruhi sifat mekanis kayu. Kayu yang diimpregnasi dengan bahan-bahan yang larut air menunjukkan tendensi yang lebih besar untuk collapse, karena dapat melemahkan ikatan-ikatan dalam kayu. Hal ini mungkin disebabkan oleh larutan-larutan air yang cenderung untuk lebih melunakan kayu dari pada minyak (Hunt dan Garratt 1986). Hal ini serupa dengan yang dilaporkan oleh Karlinasari et al. (2010) yang memberikan bahan kimia CCB sebagai pengawet pada Acacia mangium dengan metode rendaman dingin yang berpengaruh terhadap penurunan nilai kekuatan lentur kayunya. Tabel 9 Nilai MOE, MOR dan kekerasan kayu jabon Perlakuan Pelarut Perendaman Tanpa perendaman Kontrol Air Dingin Air-etanol (1:3) Dingin Air-etanol (1:1) Dingin Air-etanol (3:1) Dingin Etanol Dingin Air Panas Air-etanol (1:3) Panas Air-etanol (1:1) Panas Air-etanol (3:1) Panas Etanol Panas
MOE (kg/cm2) 61253.77 64982.08 51610.77 55163.79 57188.32 55486.27 65347.34 57901.89 59178.18 62253.56 57104.32
MOR (kg/cm2) 567.24 538.69 457.73 515.14 534.40 488.18 559.25 544.97 523.52 550.07 506.90
Kekerasan (kg/cm2) Radial Tangensial 211 255.67 215 285.67 176.67 225.33 201.33 267 236.67 233 190.67 220 197 246 195.33 231.33 187 246.33 205 221 182 220.33
Keterangan : MOE, MOR dan kekerasan diuji pada sampel kering udara
Faktor lain yang mempengaruhi sifat mekanis kayu adalah berat jenis kayu (Haygreen dan Bowyer 1996). Berat jenis yang tinggi mengindikasikan kekuatan kayu juga tinggi, yang menunjukkan kandungan zat kayu pada dinding sel semakin banyak dan dinding sel semakin menebal (Mardikanto et al. 2011). Martawidjaja et al. (2005) menyatakan kayu jabon dengan BJ rata-rata 0.42 termasuk dalam kelas kuat III-IV. Hasil penelitian terhadap berat jenis kayu setelah pewarnaan tidak berbeda dengan kayu kontrol dan serupa dengan yang disampaikan oleh Martawijaya et al. (2005), sehingga dengan tidak adanya perubahan berat jenis maka pemberian zat warna ekstrak kulit kayu samak tidak berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanis kayu jabon.
Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Kayu Samak Hasil penapisan fitokimia secara kualitatif (Tabel 10) menunjukkan bahwa dalam ekstrak dari semua komposisi pelarut terindikasi adanya senyawa alkaloid
34
dan glikosida (positif dan positif kuat) , sedangkan senyawa fenolik, flavonoid, steroid dan flavonoid terdeteksi positif lemah dalam esktrak air dan ekstrak campuran air-etanol. Sementara itu, tanin hanya terdeteksi pada ekstrak etanol. Komposisi senyawa polar terekstrak dari kulit kayu samak ini hampir serupa dengan yang dilaporkan oleh Fengel dan Wegener (1995), bahwa pelarut etanol dapat melarutkan zat warna (flobaven, tanin dan stilbena), flavonoid dan kuersetin, sedangkan pelarut air dapat melarutkan senyawa alkaloid dan senyawa berberat molekul tinggi misalnya polisakarida dan protein. Hal yang sama disampaikan Sequin-Frey (1981) bahwa pewarna alami termasuk ke dalam golongan flavonoid, tanin, terpenoid, naftokuinon, antrakuinon dan alkaloid. Flavonoid dan glikosida juga ditemukan dalam ekstrak kulit Albizia lebbeck yang diekstrak dengan campuran pelarut air dan etanol (Vinod et al. 2010). Tabel 10 Hasil penapisan fitokimia (kualitatif) ekstrak kulit kayu samak Ekstrak Ekstrak Ekstrak Pemeriksaan Ekstrak air:etanol air:etanol air:etanol Fitokimia air (3:1) (1:1) (1:3) Alkaloid ++ ++ ++ ++ Saponin + + Tanin Fenolik + + + + Flavonoid + + + + Steroid + + ++ ++ Glikosida +++ +++ +++ +++
Ekstrak etanol ++ ++ + ++ ++ +++ +++
Keterangan : (-) = tidak terdekteksi, (+) = positif lemah, (++) = positif, (+++) = positif kuat
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pewarnaan kayu menggunakan ekstrak kulit kayu samak terlarut air-etanol 3:1 dengan cara rendaman panas menghasilkan warna yang baik dengan ketahanan luntur yang kecil. Selain dapat mewarnai kayu jabon, ekstrak kulit kayu samak juga dapat meningkatkan ketahanan kayu jabon terhadap serangan organisme perusak kayu yaitu rayap tanah, rayap kayu kering dan jamur pelapuk putih. Adanya katekol sebagai komponen senyawa utama selain dapat mewarnai kayu jabon juga bersifat insektisida terhadap rayap dan antijamur sehingga dapat meningkatkan kelas keawetan kayu jabon. Namun pemberian pewarna dari ekstrak kulit kayu samak ini tidak berpengaruh terhadap sifat fisis (berat jenis dan kerapatan) dan mekanis (MOE, MOR dan kekerasan) kayu jabon. Saran Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menguji ketahanan luntur kayu terhadap cuaca (weathering) dan penambahan bahan fiksasi (penguat) untuk meningkatkan ketahanan terhadap daya tahan lunturnya.
35
DAFTAR PUSTAKA Ahmad U. 2005. Pengolahan Citra Digital dan Teknik Pemogramannya. Yogyakarta [ID]: Graha Ilmu Yogyakarta. Amos. 2010. Kandungan katekin gambir sentra produksi Indonesia. J Standarisasi. 12(3):149-155. -------. 2011. Pemanfaatan gambir sebagai pewarna kain kapas. Majalah Dinamika Penelitian BIPA 22 (1). Anonim. 2000. Technical Guide. [internet]. [diacu 2012 Maret 19]. Tersedia dari: http://dba.med.sc.edu/price/irf/Adobetg/ps5/main.html Barly, Neo EL. 2010. Pengaruh ketebalan kayu, konsentrasi larutan dan lama perendaman terhadap hasil pengawetan kayu. J Penelitian Hasil Hutan. 28(1): 1-8. Basri E, Karnita Y. 2006. Sifat dan bagan pengeringan sepuluh jenis kayu hutan rakyat untuk bahan baku mebel. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan: 175-182. Batubara, R. 2005. Identifikasi sifat ekstraktif kulit kayu medang (Cinnamomum purrectum Roxb.) sebagai bahan pengawet kayu. [tesis]. Samarinda [ID]: Universitas Mulawarman. Bechtold T, Mussak R. 2009. Handbook of Natural Colorants. John Wiley and Sons Ltd. Blanford PW. 2007. The Woodworker’s Bible: A Complete Guide To Woodworking. New York [US] : Crown Publisher Inc. Bogoriani NW, Putra AAB. 2009. Perbandingan massa optimum campuran pewarna alami pada kayu jenis akasia (Acacia leucopholea). J Kimia. 3(1):2126. Bogoriani NW. 2010. Ekstraksi zat warna alami campuran biji pinang, daun sirih, gambir dan pengaruh penambahan KMnO4 terhadap pewarnaan kayu jenis albisia. J Kimia (2):125 – 134. Chen K, Ohmura W, Doi S, Aoyama M. 2004. Termite feeding deterrent from Japanese larch wood. Bioresource Tech. 95:129-134. Christie RM. 2007. Colour Chemistry. Cambridge [GB]: The Royal Society of Chemistry Science Park. Darrigues A, Hall J, Knaap E, Francis DM. 2008. Tomato analyzer-color test: A new tool for efficient digital phenotyping. J Amer Soc Hort Scl. 133(4):579586. Das NP, Griffiths LA.1967. Studies on flavonoid metabolism biosynthesis of (+)14 catechin by the plant Uncaria gambir Roxb. J Biochem. 105(73):73-77. Departemen Ilmu Komputer. 2006. Penggunaan Warna. Penerapan Teknologi Multi Media dalam Proses Belajar Mengajar (Modul Kuliah). Bogor [ID]: Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor. Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Hardjono S, penerjemah; Soenardi P, penyunting. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. Hamid T, Muhlis D. 2005. Perubahan sifat fisika dan kimia kain sutera akibat pewarna alami kulit akar pohon mengkudu (Morinda citrifolia). J Tekn.163170. Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah;
36
Niksolihin S, editor. Bandung [ID]: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Method. Health Council of the Netherlands. 2011. 1,2-Catechol (Pyrocatechol): Evaluation Of The Carcinogenicity And Genotoxicity. Netherlands [NL]: The Hague Health Council of the Netherlands. Holinesti R. 2007. Studi pengamatan pigmen brazilien kayu secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai pewarna alami serta stabilitasnya pada model pangan. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hunger K. 2003. Industrial Dyes: Chemistry, Properties, Applications. Weinheim [DE] : WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. Hunt GM, Garrat GA. 1986. Pengawetan Kayu. Jusuf M, penerjemah; Prawirohatmodjo S, penyunting. Jakarta [ID]: Akademika Pr. Terjemahan dari: Wood Preservation. Hunter Lab. 2008. Hunter L,a,b Color Scale. [internet]. [diacu 2012 Maret 19]. Tersedia dari: http://www.hunterlab.com IARC. 2010. IARC Monographs on the Evaluation of the Evaluation of Carcinogenic Risk to Humans Vol. 99. Some Aromatic Amines, Organic Dyes, and Related Exposures. Lyon [FR]: IARC Press. Irawati D. 2007. Uji larutan ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn.) sebagai bahan pengawet kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) terhadap serangan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) Prosiding Seminar Nasional Mapeki X. Jeong EY, Jeon JH, Lee CH, Lee HS. 2009. Antimicrobial activity of catechol isolated from Diospyros kaki Thunb. roots and its derivatives toward intestinal. J Food Chem. 115(3):1006-1010. Karlinasari L, Rahmawati M, Mardikanto TR. 2010. Pengaruh pengawetan kayu terhadap kecepatan gelombang ultrasonik dan sifat mekanis lentur serta tekan sejajar serat kayu Acacia mangium Willd. J Teknik Sipil. 17(3):163-170. Kementrian Kehutanan. 2011. Data Statistik Tahun 2010: Balai Taman Nasional Danau Sentarum. Dirjen PHKA Kementrian Kehutanan. Kleeberger KS, Bruno CM. 2002. Flatbed scanner: An alternative tool for gathering holticultural data. Hor Technology. 12(3):444-446. Kocacaliskan I, , Talan I, Terzi I. 2006. Antimicrobial activity of catechol and pyrogallol as allelochemicals. Z Naturforsch C. 61(9-10):639-642. Kwartiningsih E. 2009. Zat pewarna alami tekstil dari kulit buah manggis. Ekuilibrium. (1):41 –47. Lestari K. 1997. Penelitian nilai beban pencemaran pada beberapa ekstrak zat warna alam. Dinamika Kerajinan dan Batik. Edisi No. 17. Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia. J Penelitian Hasil Hutan. 7:96-100. Lucida H, Bakhtiar A, Putri WA. 2007. Formulasi sediaan antiseptik mulut dari katekin gambir. J Sains Tek Far. 12 (1). MacDougall DB. 2000. Color in Food : Improving Quality. England [GB]: Woodhead Publishing Limited. Cambridge. Mardikanto TR, Karlinasari L, Bahtiar ET. 2011. Sifat Mekanis Kayu. Bogor [ID]: IPB Press.
37
Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 2005. Atlas Kayu Jilid II. Bogor [ID]: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor [ID]: IPB Press. Mulyana D, Asmarahman C, Fahmi I. 2011. Bertanam Jabon. Jakarta [ID]: Agromedia Pustaka. Munsell Color. 1994. Munsell Soil Color Chat. New York [US]: Macbeth Division of Kollmorgen Instrument Corp. Murugan S, Devi PU, Parameswari K, Mani KR 2011. Antimicrobial activity of Syzygium jambos against selected human pathogens. Int J Pharm Pharm Sci. 3(2):44-47. Prosea. 1999. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 3: Tumbuh-tumbuhan Penghasil Pewarna dan Tanin. Jakarta [ID]: Balai Pustaka. Pujiarti R, Kasmudjo. 2007. Ekstrak kulit kayu jati sebagai pewarna alami kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L). Nielsen). Prosiding Seminar Nasional Mapeki X. Ratnam KV, Raju RRV. 2008. In vitro antimicrobial screening of the fruit extracts of two syzygium species (Myrtaceae). Advances in Bio Res. 2(1-2):17-20. Rivai H, Nurdin H, Suyani H, Bakhtiar A. 2010. Pengaruh rasio campuran etanolair sebagai pelarut ekstraksi terhadap mutu ekstrak herba meniran (Phyllanthus niruri Linn). JIKI. 8 (2):69-73. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Kosasih P, Penerjemah. Bandung [ID]: Penerbit ITB. Samanta AK, P Agarwal. 2009. Application of natural dyes on textiles. Indian J of Fibre and Text Res. 34:383–399. Sari RK, Syafii W. 2001. Sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu jati (Tectona grandis L.f.). Jurnal Tekn Hasil Hutan. XVI (1). Sequin-Frey M. 1981. The chemistry of plant and animal dyes. J of Chem Educ. (4):301-305. Siva R. 2007. Status of natural dyes and dyeing-yielding plants in India. Current Sc. 92(7):916-925. Sjostrom E. 1998. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan. Sastrohamidjojo H, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta [ID]: Gajahmada Univ. Press. Terjemahan dari: Wood Chemistry, Fundamentals and Applications. Suabjakyong P, Romratanapun S, Thitipramote N. 2011. Extraction of natural histological dye from black plum fruit (Syzygium cumini). J of the Micros Society of Thailand. 4 (1):13-15. Suheryanto D, Haryanto T. 2007. Penelitian pemanfaatan kulit kayu mahoni sebagai pewarna alam sutera secara ekstraksi rotavapor. Makalah seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses. Semarang [ID]: Univesitas Diponegoro. Suheryanto D. 2010. Optimalisasi celupan ekstrak daun mangga pada kain batik katun dengan iring kapur. Makalah Seminar Rekayasa dan Proses. Semarang [ID]: Universitas Diponegoro. Sunarto. 2008. Teknik Pencelupan dan Pencapan. Jakarta [ID]: Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. Syafii W. 2000a. Pemanfaatan tanin kulit kayu Acacia decurrens Willd. sebagai bahan baku perekat untuk pembuatan papan serat. JII Pert Indon. 9(1):12-18.
38
------------. 2000b. Antitermitic compound from the heartwood of sonokeling wood (Dalbergia latifolia Roxb). Indonesian Journal of Tropical Agriculture. 9(3). Urland A. 1999. Colour Specification and Measurement. [internet]. [diacu 2012 Maret 19]. Tersedia dari: http://www.iccrom.org/pdf/ICCROM Vinod KN, Puttaswamy, Gowda KN, Sudhakar N. 2010. Extraction of natural color component from the bark of belleric myrobalan (Terminalia bellerica): Kinetic and adsorption studies. Europ J Chem. 1(3):206-210. Vinod KN, Puttaswamy. 2010. Kinetic and adsorption studies of indian siris (Albizia lebbeck) natural dye on silk. Indian J of Fibre & Text Research. 35:159-163. Wanyama PAG, Kiremire BT, Ogwok P and Murumu JS. 2011. Textile dyeing and phytochemical characterization of crude plant extracts derived from selected dye-yielding plants in Uganda. Int J of Nat Prod Research. 1(2):26-31. Win. 2008. Purification of the natural dyestuff extracted from mango bark for the application on protein fibres. WASE and Tech. 46:536-540. Yanti H. 2009. Sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex Benth. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
39
Lampiran 1 Hasil analisa statistik nilai retensi dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test) Retensi R-Square Coeff Var Root MSE Retensi Mean 0.736826 4.698331 0.140558 2.991667
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi pelarut 4 0.53623333 0.13405833 6.79** 0.0013 Metode Rendaman 1 0.07400333 0.07400333 3.75 tn 0.0672 Interaksi 4 0.49604667 0.12401167 6.28** 0.0019 Error 20 0.39513333 0.01975667 Corrected Total 29 1.50141667
Duncan Grouping a ab bc cd d
Mean 3.18833 3.07000 3.00500 2.88500 2.81000
N 6 6 6 6 6
Komposisi Pelarut B D E C A
Means with the same letter are not significantly different
Duncan Grouping a ab ab ab ab abc abc bc dc dc
Mean 3.2267 3.1500 3.1367 3.1000 3.0700 3.0033 2.9967 2.9100 2.7733 2.5500
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
perlk B1 B2 D2 E2 A1 D1 C1 E1 C2 A2
Means with the same letter are not significantly different
40
Lampiran 2 Hasil analisa statistik untuk perubahan warna (E) dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test) Perubahan warna (E) Kayu Jabon Terwarnai R-Square Coeff Var Root MSE Mean 0.734272 7.638054 3.390889 44.39467
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi Pelarut 4 221.3251800 55.3312950 4.81** 0.0070 Metode Rendaman 1 308.9946133 308.9946133 26.87** 0.0001 Interaksi 4 105.1238200 26.2809550 2.29 tn 0.0959 Error 20 229.9625333 11.4981267 Corrected Total 29 865.4061467
Duncan Grouping a a a a b
Mean 46.750 45.680 45.235 45.232 39.077
N 6 6 6 6 6
Komposisi pelarut D E C B A
Means with the same letter are not significantly different
Duncan Grouping a b
Mean 47.604 41.185
N 15 15
Metode rendaman 2 1
Means with the same letter are not significantly different
41
Lampiran 3 Hasil analisa statistik untuk ketahanan kayu jabon terwarnai terhadap organisme perusak kayu dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test)
% Kehilangan berat Jamur R-Square Coeff Var Root MSE Mean 0.233801 3.049870 0.073553 2.411667
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi Pelarut 4 0.02873333 0.00718333 1.33 tn 0.2940 Metode Rendaman 1 0.00040333 0.00040333 0.07 tn 0.7876 Interaksi 4 0.00388000 0.00097000 0.18 tn 0.9464 Error 20 0.10820000 0.00541000 Corrected Total 29 0.14121667
% Rayap Kayu Kering R-Square Coeff Var Root MSE RKK Mean 0.382993 1.998303 0.048785 2.441333 Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi Pelarut 4 0.01171333 0.00292833 1.23 tn 0.3296 Metode Rendaman 1 0.00192000 0.00192000 0.81 tn 0.3798 Interaksi 4 0.01591333 0.00397833 1.67 tn 0.1960 Error 20 0.04760000 0.00238000 Corrected Total 29 0.07714667
% Kehilangan berat Rayap Tanah R-Square Coeff Var Root MSE Mean 0.736190 5.062461 0.136113 2.688667
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi Pelarut 4 0.67151333 0.16787833 9.06** 0.0002 Metode Rendaman 1 0.00645333 0.00645333 0.35 tn 0.5617 Interaksi 4 0.35604667 0.08901167 4.80** 0.0070 Error 20 0.37053333 0.01852667 Corrected Total 29 1.40454667
42
Duncan Grouping a a b b b
Mean N Komposisi Pelarut 2.88167 6 A 2.85000 6 B 2.60667 6 E 2.60167 6 C 2.50333 6 D
Means with the same letter are not significantly different
Duncan Grouping a a a a a a b b b b
Mean N perlakuan 2.9400 3 A2 2.8900 3 B2 2.8233 3 A1 2.8100 3 B1 2.7867 3 E1 2.7533 3 C2 2.5067 3 D2 2.5000 3 D1 2.4500 3 C1 2.4267 3 E2
Means with the same letter are not significantly different
43
Lampiran 4 Hasil analisa statistik untuk sifat fisis kayu jabon terwarnai dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test)
Berat Jenis R-Square Coeff Var Root MSE Mean 0.391616 7.185248 0.028166 0.392000
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi Pelarut 4 0.00064667 0.00016167 0.20tn 0.9333 Metode Rendaman 1 0.00833333 0.00833333 10.50** 0.0041 Interaksi 4 0.00123333 0.00030833 0.39 tn 0.8142 Error 20 0.01586667 0.00079333 Corrected Total 29 0.02608000
Duncan Grouping Mean N Metode Rendaman a 0.40867 15 2 b 0.37533 15 1 Means with the same letter are not significantly different
Kerapatan R-Square Coeff Var Root MSE Kerapatan Mean 0.940534 7.591246 0.033351 0.439333
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi pelarut 4 0.00086319 0.00021580 0.19 tn 0.9385 Metode rendaman 1 0.00642857 0.00642857 5.78** 0.0266 Interaksi 4 0.00132986 0.00033247 0.30 tn 0.8750 Error 19 0.02113333 0.00111228 Corrected Total 29 0.35538667
Duncan Grouping Mean N Metode Rendaman a 0.43467 15 2 b 0.40600 15 1 Means with the same letter are not significantly different
44
Lampiran 5
Hasil analisa statistik untuk Sifat Mekanis Kayu Jabon Terwarnai dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap pengaruh komposisi pelarut dan metode rendaman dengan uji lanjut DMRT (Duncan Mulitiple Range Test)
MOE R-Square Coeff Var Root MSE MOE Mean 0.283061 13.90958 8154.026 58621.65
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi Pelarut 4 398863023.0 99715755.8 1.50 tn 0.2400 Metode Rendaman 1 90349137.6 90349137.6 1.36 tn 0.2574 Interaksi 4 35803506.7 8950876.7 0.13 tn 0.9677 Error 20 1329762858 66488143 Corrected Total 29 1854778526
MOR R-Square Coeff Var Root MSE MOR Mean 0.224946 12.83874 67.00337 521.8843
Source Komposisi Pelarut Metode Rendaman Interaksi Error Corrected Total
DF 4 1 4 20 29
Sum of Square 13010.42829 6800.79520 6248.54818 89789.0311 115848.8027
Mean Square 3252.60707 6800.79520 1562.13705 4489.4516
F Value 0.72 tn 1.51 tn 0.35 tn
Pr > F 0.5855 0.2327 0.8423
Kekerasan Radial R-Square Coeff Var Root MSE Mean 0.305437 12.89144 25.44340 197.3667
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi Pelarut 4 3741.466667 935.366667 1.44 tn 0.2561 Metode Rendaman 1 504.300000 504.300000 0.78 tn 0.3879 Interaksi 4 1447.866667 361.966667 0.56 tn 0.6949 Error 20 12947.33333 647.36667 Corrected Total 29 18640.96667
45
Kekerasan Tangensial R-Square Coeff Var Root MSE Mean 0.318319 15.64784 37.49222 239.6000
Source DF Sum of Square Mean Square F Value Pr > F Komposisi Pelarut 4 9856.866667 2464.216667 1.75 tn 0.1780 Metode Rendaman 1 1306.800000 1306.800000 0.93 tn 0.3465 Interaksi 4 1964.200000 491.050000 0.35 tn 0.8414 Error 20 28113.33333 1405.66667 Corrected Total 29 41241.20000
46
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 19 Juli 1976, merupakan anak pertama dari 4 bersaudara dari pasangan Drs Sabhan A. Rasyid dan Rasyiah AR. Pada tahun 1994, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Kehutanan program studi Teknologi Hasil Hutan, Universitas Tanjungpura Pontianak melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan Untan dan tahun 2009 mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan program S2 pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) dari Dirjen Dikti Kementrian Pendidikan Nasional RI. Untuk penyelesaian studi, penulis melakukan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Esktraktif Kulit Kayu Samak (Syzygium inophyllum DC.) sebagai Pewarna Alami Kayu.