IDENTIFIKASI SIFAT EKSTRAK KULIT KAYU MEDANG HITAM (CINNAMOMUM PORRECTUM ROXB.) SEBAGAI BAHAN PENGAWET KAYU Ridwanti Batubara1, Enih Rosamah2 dan Edy Budiarso2 1
2
Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan. Laboratorium Kimia Kayu Fahutan Unmul, Samarinda
ABSTRACT. Identification of Bark Extract of Medang Hitam (Cinnamomum porrectum Roxb.) Properties as Wood Preservatives. The objectives of this research were to identify extractive compounds of Medang Hitam bark and to see their application possibilities as wood preservatives by measuring their retentions in cold soaking treatment of wood of Acacia mangium Willd. and to assay their bioactivity properties against wood destroying fungus Schizophyllum commune Fr. modified with pesticide assay. This research resulted that in the bark of Medang Hitam was contained alkaloid, flavonoid, triterpenoid and tannin compounds. The retention of bark extract of Medang Hitam ranged between 0.20 and 10.29 kg/m3. The differences of solvents as well as concentrations caused highly significant different in retention values. The results of bioassay of bark extract against S. commune shown that average growth suppression of the fungus on each solvent material were: Acetone 45.415% (medium suppression), n-Hexane 67.691% (severe suppression), Ethyl ether 78.668% (highly severe suppression), Ethyl acetate 17.625% (low suppression) and residue 7.688% (low suppression). It was expected that in the third fractions (Acetone, n-Hexane and Ethyl ether) contained antibiotic compound against the fungus, they were alkaloid, flavonoid, triterpenoid and tannin compounds. Kata kunci: kulit kayu, ekstraktif, fitokimia, retensi, Schizophyllum commune.
Kayu memiliki nilai guna dan nilai ekonomis yang tinggi. Kayu bisa diolah dan digunakan untuk berbagai keperluan sesuai dengan keunggulan sifat-sifat yang dimilikinya. Walaupun demikian kayu memiliki kekurangan dalam beberapa hal, yaitu mudah didegradasi oleh organisme perusak kayu seperti jamur dan rayap, terdegradasi oleh kondisi fisik dan kimia lingkungan. Salah satu upaya untuk melindungi kayu dari degradasi organisme perusak adalah dengan pengawetan kayu. Namun sebagian besar bahan pengawet kayu yang digunakan pada saat ini merupakan bahan kimia sintetis. Ditinjau dari aspek ekologis, penggunaan bahan kimia sintetis mempunyai dampak yang kurang menguntungkan terutama disebabkan bahan kimia tersebut tidak dapat terurai secara biologis (non biodegradable). Upaya untuk mengurangi dampak negatif tersebut dilakukan dengan pencarian bahan pengawet alternatif dari alam melalui berbagai penelitian. Pemanfaatan komponen kimia berupa zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu merupakan salah satu alternatif sumber bahan pengawet kayu alami. Z at ekstraktif berbagai jenis kayu memang telah terbukti mengandung senyawa bio-aktif yang dapat menghambat serangan organisme perusak kayu seperti jamur dan rayap. Di antaranya adalah zat ekstraktif kayu damar laut menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam menghambat perkembangan rayap Cryptotermes cynochephalus 74
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
75
(Syafii, 2000), begitu juga zat ekstraktif kulit kayu jati menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam menghambat perkembangan rayap Coptotermes curvignathus (Sari dan Syafii, 2001). Kulit kayu medang di antaranya jenis Medang Hitam (Cinnamomum porrectum Roxb.) yang banyak dieksploitasi masyarakat sekitar hutan di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi berdasarkan informasi merupakan bahan baku anti nyamuk bakar dan gaharu (hio), sementara getah yang menempel pada kulitnya bisa digunakan menjadi bahan baku lem. Sifat racun kulit kayu Medang Hitam bagi nyamuk ini diduga juga mengandung ekstraktif yang bersifat anti rayap dan anti jamur. Maraknya eksploitasi kulit kayu Medang Hitam sangat mengancam kelestarian jenis kayu ini. Pada sisi lain meskipun sudah dieksploitasi namun data kegunaan lain dan sifat dasarnya terutama senyawa kimia yang dikandungnya belum banyak diketahui dan diteliti. Berdasarkan uraian di atas, maka dirasa perlu untuk meneliti mengenai kulit kayu Medang Hitam, baik berupa senyawa kimia yang dikandungnya dan aplikasi penggunaannya sebagai bahan pengawet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui senyawa kimia yang dikandung kulit kayu Medang Hitam dan menguji aplikasinya sebagai bahan pengawet kayu dengan melihat besarnya nilai retensi serta menguji sifat anti jamur kulit kayu Medang Hitam. METODE PENELITIAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini berupa kulit kayu Medang Hitam yang berasal dari Sumatera Utara. Setelah dijadikan serbuk dan mencapai kadar air kering udara, 300 gr serbuk diekstrak dengan pelarut Aseton sebanyak 5 l selama 48 jam. Selanjutnya hasil ekstrak Aseton ini difraksinasi dengan pelarut nHeksana, Etil eter dan Etil asetat. Hasil ekstraksi dan fraksinasi ini selanjutnya diuji senyawa yang dikandungnya dengan uji fitokimia. Aplikasinya sebagai bahan pengawet dilihat dari pengukuran besarnya retensi tiap ekstrak dengan konsentrasi masing-masing 0, 2, 4, 6 dan 8% pada kayu Akasia (Acacia mangium Willd.) berumur 10 tahun berukuran sample 20 x 25 x 6 mm dengan metode pengawetan rendaman dingin selama 48 jam. Uji bioaktif pada jamur Schizophyllum commune Fries. mengacu pada metode pengujian pestisida yang dimodifikasi, yaitu dengan membandingkan luas pertumbuhan kontrol dengan perlakuan pada media PDA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Kayu, Laboratorium Sifat Fisika dan Mekanika Kayu, Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan serta di Laboratorium Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Mulawarman. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 300 gr serbuk kulit kayu Medang bagian
76
Batubara dkk. (2008). Sifat Ekstrak Kulit Kayu Medang Hitam
tengah dengan kadar air rata-rata 15,65% dapat menghasilkan 23 gr zat ekstraktif. Hasil ekstrak Aseton berupa padatan, hasil fraksi n-Heksana, Etil eter, dan Etil asetat berupa minyak serta hasil residu fraksi berupa padatan. Berat masing-masing ekstrak tersebut disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Zat Ekstraktif yang Dihasilkan dari Tiap Ekstraksi Tahap ekstraksi Aseton n-Heksana Etil eter Etil asetat Residu
Berat ekstrak yang diperoleh (gr) 23 14 4 3 2
% ekstrak thd berat kulit kayu kering udara 7,67 4,67 1,33 1,00 0,67
Sebagian besar ekstrak Aceton terlarut dalam fraksi n-Heksana (4,67%) dan yang terkecil pada fraksi residu (tidak terlarut). Diduga kandungan zat ekstraktif kulit kayu Medang Hitam ini akan lebih besar dari 7,67%, hal ini karena dalam penelitian proses ekstraksi tidak dilakukan secara sempurna (sampai hasil ekstrak bening), yang mana pada tahap ini ekstraksi yang dilakukan hanya 4 kali. Begitu juga proses fraksinasinya tidak dilakukan sampai bening, melainkan hanya 4 kali saja, seandainya sampai bening, maka ada kemungkinan semua terlarut dalam tahapan fraksi yang dilakukan sehingga residunya 0%. Banyaknya zat ekstraktif yang terlarut tergantung berbagai faktor, di antaranya jenis kayu, jenis pelarut, proses ekstraksi dan ukuran serbuk. Jenis kayu yang dipakai pada penelitian ini adalah jenis Cinnamomum porrectum yang termasuk dalam suku Lauraceae. Marga ini adalah penghasil minyak, maka sangat wajar jika hasil sebagian fraksinya adalah berupa minyak. Banyaknya zat ekstraktif yang dapat larut tidak lepas dari faktor pemilihan pelarut. Guenther (1987) menyatakan, bahwa pelarut yang ideal digunakan untuk proses ekstraksi harus memenuhi syarat antara lain: a. Dapat melarutkan zat ekstraktif. b. Mempunyai titik didih yang seragam. c. Pelarut harus bersifat inert (tidak bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi). d. Mempunyai titik didih yang cukup rendah, agar pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi, namun titik didih pelarut tersebut tidak boleh terlalu rendah, karena hal ini akan mengakibatkan hilangnya sebagian pelarut akibat penguapan. Banyaknya zat ekstraktif yang dapat diekstrak juga tidak lepas dari cara atau proses ekstraksi tersebut berlangsung. Pada penelitian ini dilakukan proses ekstraksi dengan cara rendaman dalam pelarut Aseton pada suhu kamar dan diletakkan pada shaker (digoyang-goyang terus) selama 48 jam. Namun karena bahan yang diekstrak banyak, maka serbuk yang berada pada \bagian atas kurang goyangannya, sehingga kemungkinan serbuk terurai pada bagian ini kurang baik dan berpengaruh pada hasil ekstrak yang rendah. Faktor lain yang cukup berpengaruh pada proses ekstraksi adalah suhu, yang mana adanya pemanasan akan membantu proses ekstraksi berjalan dengan baik dan penguraian akan lebih seragam. Keberhasilan
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
77
proses ekstraksi juga dipengaruhi oleh keadaan bahan (serbuk) yang diekstrak. Browning (1963) menyatakan, bahwa besarnya kadar ekstraktif yang diperoleh tergantung pada faktor pengeringan sebelum proses ekstraksi. Banyaknya bahan yang dapat larut dalam pelarut non polar biasanya lebih sedikit, meskipun demikian adanya pengeringan serbuk sebelum proses ekstraksi akan membantu membuka retakan kecil pada serbuk sehingga jumlah yang terlarut meningkat. Uji Fitokimia Hasil uji fitokimia/penapisan fitokimia yang dilakukan terhadap semua fraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Penapisan Fitokimia Tiap Fraksi yang Didapat dari Proses Ekstraksi dan Fraksinasi Kulit Kayu Medang Hitam (C. porrectum) Fraksi
Alkaloid
Flavonoid
Saponin
Aseton n-Hexana Etil eter
Triterpenoid
Steroid
Tanin
+
-
++
+++ +++
-
-
-
++
-
++ ++
-
++ ++
Etil asetat + +++ Residu ++ ++ + Keterangan: + = relatif sedikit. ++ = relatif sedang. +++ = relatif banyak. - = tidak ada
++ -
Uji alkaloid yang dilakukan memberikan hasil hampir semua fraksi mengandung senyawa alkaloid, kecuali pada fraksi n-Heksana tidak terdapat. Senyawa alkaloid relatif sedikit ditemukan pada fraksi Aceton dan Etil asetat. Fraksi yang lain mengandung alkaloid relatif sedang. Hasil pengujian kandungan senyawa flavonoid menunjukkan, bahwa pada semua fraksi ditemukan senyawa ini kecuali pada fraksi Aseton. Fraksi residu kandungan flavonoid relatif sedang, sedangkan fraksi-fraksi lainnya kandungannya relatif banyak. Warna yang dihasilkan dari uji flavonoid adalah warna kuning muda untuk fraksi n-Heksana, warna coklat untuk fraksi Etil eter, namun sebagian besar menguap, warna coklat muda untuk fraksi Etil asetat dan warna coklat untuk residu. Pada pengujian saponin terhadap semua fraksi menunjukkan, bahwa hampir pada semua fraksi tidak mengandung saponin kecuali residu dan kandungan saponin fraksi tersebut relatif sedikit. Pengujian triterpenoid dan steroid menunjukkan, bahwa pada semua fraksi tidak ditemukan steroid, senyawa triterpenoid ditemukan pada fraksi n-Heksana dan Etil eter dengan kandungan senyawa triterpenoid relatif sedang. Uji warna yang dilakukan menunjukkan, bahwa senyawa tanin ditemukan pada semua fraksi kecuali residu, kandungannya relatif sedang. Retensi Bahan Pengawet Berdasarkan penelitian beberapa peneliti di bidang pengawetan kayu dapat dibuktikan bahwa melalui pengawetan kayu akan memperpanjang usia pakainya,
78
Batubara dkk. (2008). Sifat Ekstrak Kulit Kayu Medang Hitam
karena terlindung dari organisme yang akan menyerangnya. Keberhasilan suatu pengawetan dapat diukur berdasarkan besarnya retensi dan dalamnya penembusan bahan aktif (penetrasi) pengawet di dalam kayu yang diawetkan. Besarnya retensi bahan pengawet ekstraktif kulit kayu Medang Hitam pada konsentrasi 2–8% berkisar antara 0,20–10,29 kg/m3 (Tabel 3). Tabel 3. Retensi Bahan Pengawet Ekstrak Kulit Kayu Medang Hitam (kg/m3) pada Kayu Akasia (A. mangium) Pelarut ekstrak
Konsentrasi (%)
Aseton
0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8
n-Heksan
Etil eter
Etil asetat
Residu
Retensi pada ulangan ke .. (kg/m3) 1 2 3 0 0 0 0,63 0,69 0,52 1,17 0,83 2,01 4,43 5,17 5,14 6,72 3,74 4,58 0 0 0 0,33 0,26 0,31 0,41 0,53 0,32 0,96 1,27 0,95 0,47 1,23 1,33 0 0 0 0,53 0,46 0,58 1,47 1,51 1,80 3,37 2,72 3,15 5,73 1,84 9,75 0 0 0 0,36 0,20 0,41 0,83 0,71 0,63 1,35 0,94 1,19 0,20 1,44 2,86 0 0 0 1,48 2,01 1,81 3,36 2,31 2,86 3,21 3,38 3,53 7,45 10,29 8,01
Rata-rata 0 0,61 1,37 4,91 5,01 0 0,30 0,42 0,11 1,34 0 0,52 1,59 3,08 5,77 0 0,32 0,72 1,16 1,50 0 1,77 2,84 3,57 8,58
Mudah tidaknya kayu diawetkan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Barly dkk. (1995), paling tidak ada 4 faktor yang sangat berpengaruh terhadap mudah tidaknya kayu diawetkan atau yang lebih dikenal dengan keterawetan kayu, yaitu: a) jenis kayu yang ditandai dengan sifat yang melekat pada kayu seperti struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya; b) keadaan kayu pada waktu diawetkan seperti bentuk kayu, gubal/teras dan kadar air; c) metode pengawetan yang diterapkan dan d) sifat bahan pengawet yang digunakan. Pada penelitian ini jenis kayu yang digunakan adalah jenis Akasia (A. mangium), termasuk jenis kayu yang mudah diawetkan. Hasil penelitian Djarwanto dan Abdurrahim (2000) menunjukkan, bahwa pengawetan kayu Akasia secara rendaman dingin dengan senyawa boron pada konsentrasi 5, 10 dan 15% dengan kadar air 15% menghasilkan rata-rata retensi berturut-turut: 5,4, 9,1 dan 9,5 kg/m3. Nilai retensi ini dengan penelitian ini tidak berbeda jauh, walaupun jenis bahan pengawet yang diaplikasikan berbeda dan waktu rendaman yang berbeda (waktu rendaman dengan senyawa boron 37 hari). Ukuran contoh uji yang digunakan pada penelitian ini relatif kecil yaitu
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
79
20x25x6 mm. Perbedaan ukuran ini mempengaruhi perbandingan luas permukaan terhadap volume kayu (Hunt dan Garrat, 1994). Metode pengawetan yang digunakan adalah rendaman dingin selama dua hari, yang mana metode ini adalah paling sederhana dan hasilnya tidak maksimal. Semua faktor inilah yang mempengaruhi besarnya nilai retensi yang dihasilkan. Hasil analisis keragaman (Tabel 4) menunjukkan, bahwa perbedaan jenis pelarut ekstrak dan konsentrasi berpengaruh signifikan pada nilai retensi, baik pada tingkat kepercayaan 95 maupun 99%. Tabel 4. Analisis Keragaman untuk Retensi Bahan Pengawet Sumber variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Rata-rata 1 3,24 Pelarut 4 1,01 Konsentrasi 15 1,85 Galat 40 0,43 Jumlah 60 6,53 Keterangan: ** = berpengaruh sangat signifikan
Kuadrat tengah 3,24 0,25 0,12 0,01 -
F-hitung 23,38** 11,44** -
F-tabel 5% 2,61 1,92 -
Uji terhadap Pertumbuhan Jamur Efektivitas beberapa pelarut ekstrak pada beberapa tingkat konsentrasi dapat menekan pertumbuhan jamur pelapuk kayu. Hasil pengukuran pertumbuhan myselium jamur S. commune yang dicatat pada hari ke-10, yaitu setelah jamur pada perlakuan kontrol memenuhi cawan petri dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pertumbuhan Myselium Jamur S. commune Pelarut ekstrak Kontrol
Konsentrasi (%) 0
Aseton
2
4
6 8 n-Heksana
2 4
Ulangan Luas pertumbuhan Penekanan (mm2) pertumbuhan (%) 1 6080 0 2 6080 0 3 6080 0 1 3474 43,31 2 3563 41,40 3 4341 28,11 1 3116 48,75 2 2899 52,32 3 2239 69,17 1 3598 40,82 2 2700 55,59 3 2627 56,79 1 2885 52,55 2 2580 57,57 3 3057 49,72 1 1258 79,31 2 3003 50,61 3 3175 47,78 1 864 85,79 2 2827 53,50 3 1250 79,44
Kondisi pertumbuhan S S S TS TS TS TS TB TB TS TB TB TB TB TS TSB TB TS TSB TB TSB
80
Batubara dkk. (2008). Sifat Ekstrak Kulit Kayu Medang Hitam
Tabel 5 (lanjutan) Pelarut ekstrak
Konsentrasi (%) 6
Ulangan Luas pertumbuhan Penekanan Kondisi (mm2) pertumbuhan (%) pertumbuhan n-Heksana 1 3358 44,77 TS 2 2041 66,43 TB 3 2199 63,83 TB 8 1 1647 72,91 TB 2 1085 82,15 TSB 3 865 82,77 TSB Etil eter 2 1 1390 77,14 TSB 2 1879 69,10 TB 3 1354 77,73 TSB 4 1 1157 80,97 TSB 2 2000 67,11 TB 3 1170 80,76 TSB 6 1 1320 78,29 TSB 2 1272 79,11 TSB 3 693 88,60 TSB 8 1 750 87,66 TSB 2 1800 70,39 TB 3 768 87,37 TSB Etil asetat 2 1 5725 5,84 TR 2 5425 10,77 TR 3 3869 36,37 TS 4 1 5537 8,93 TR 2 4804 20,99 TR 3 5307 12,71 TR 6 1 5809 4,46 TR 2 4619 24,03 TR 3 5752 5,39 TR 8 1 4579 24,69 TR 2 3997 34,26 TS 3 4636 23,75 TR Residu 2 1 5310 12,66 TR 2 5628 7,43 TR 3 5410 11,02 TR 4 1 5714 6,02 TR 2 5736 5,66 TR 3 5497 9,59 TR 6 1 5609 7,75 TR 2 5092 16,25 TR 3 5795 3,04 TR 8 1 5774 5,03 TR 2 5711 6,07 TR 3 5292 1,45 TR Keterangan: S = sehat. TR = tertekan ringan. TS = tertekan sedang. TB = tertekan berat. TSB = tertekan sangat berat
Hasil penekanan pertumbuhan jamur menunjukkan, bahwa pada beberapa pelarut tersebut terlarut senyawa yang memiliki sifat bioaktif terhadap pertumbuhan jamur S. commune. Rata-rata penekanan pertumbuhan tersebut pada tiap bahan pelarut adalah: Aseton 45,415% (tertekan sedang), n-Heksana 67,691% (tertekan berat), Etil eter 78,668% (tertekan sangat berat), Etil asetat 17,625% (tertekan ringan) dan residu 7,688% (tertekan ringan).
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
81
Hasil analisis keragaman menunjukkan, bahwa perbedaan pelarut ekstrak berpengaruh signifikan terhadap penekanan pertumbuhan jamur pada tingkat kepercayaan 95 dan 99%. Hal ini menunjukkan, bahwa zat ekstraktif yang terlarut pada beberapa pelarut tersebut bersifat racun pada jamur S. commune (Tabel 6). Tabel 6. Analisis Keragaman untuk Penekanan Pertumbuhan Jamur Sumber variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-hitung Rata-rata 1 113.129,07 113.129,07 Pelarut 4 45.352,23 11.338,06 52,72** ns Konsentrasi 15 2.187,11 145,81 0,68 Galat 40 8.603,01 215,08 Jumlah 60 169.271,42 Keterangan: ** = berpengaruh sangat signifikan. ns = tidak berpengaruh signifikan
F-tabel 5% 2,61 1,92 -
Berbeda halnya dengan tingkat konsentrasi, hasil analisis keragaman menunjukkan nilai yang non signifikan. Hal ini bukan berarti tidak memiliki sifat racun, tapi baik konsentrasi rendah maupun konsentrasi tinggi pada pelarut yang memiliki sifat bioaktif sangat mempengaruhi dalam menekan pertumbuhan jamur, hal ini dapat dilihat dari kondisi pertumbuhan jamur dari tertekan ringan sampai tertekan sangat berat. Hasil uji jamur menunjukkan sifat bioaktif pada tiga pelarut (Aseton, n-Heksana dan Etil eter). Hasil tersebut didukung oleh uji fitokimia. Secara umum pada ekstrak Aceton mengandung alkaloid dan tanin. Pada fraksi n-Heksana dan Etil eter mengandung alkaloid, tanin dan triterpenoid. Vikery dan Vikery (1981) dalam Br Sitepu (2005) mengemukakan, bahwa triterpenoid dan turunannya termasuk saponin dan steroid, pada tumbuhan berfungsi sebagai racun serangga, bakteri dan jamur. Adanya triterpenoid inilah salah satu penyebab ekstrak n-Heksana dan Etil eter dapat menekan pertumbuhan miselium jamur S. commune. Menurut Supriana dan Jasni (2004), tanin yang terdapat dalam kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat kerusakan akibat serangan serangga dan jamur karena memiliki sifat antiseptik. Di samping itu tanin mengandung senyawa ekstraktif seperti fenol yang memiliki sifat racun dalam jumlah yang cukup dapat mencegah kerusakan kayu oleh organisme perusak kayu. Achmadi (1990) menyatakan, bahwa tanin merupakan senyawa fenolik yang dapat digunakan sebagai fungisida. Menurut Harborne (1987), fungsi utama tanin dalam tumbuhan adalah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan. Adanya tanin pada tiga fraksi di atas juga menjadi penyebab penekanan pertumbuhan miselium jamur S. commune. Dengan demikian kulit kayu Medang Hitam memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet kayu. Keawetan alami kayu salah satunya ditentukan oleh jenis dan banyaknya ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu seperti tanin, alkaloid, saponin, fenol, quinon dan damar (Tsoumis, 1968). Keawetan alami beberapa jenis kayu terhadap pelapukan adalah sebagai tanda adanya defosit dalam kayu yang menghambat dan bersifat racun terhadap kayu (Browning, 1963). Bahan tersebut banyak mengandung senyawa fenolik, sebagian besar senyawa tersebut
82
Batubara dkk. (2008). Sifat Ekstrak Kulit Kayu Medang Hitam
terlarut dalam air dan pelarut organik atau dalam senyawa yang mudah diuapkan, sehingga dikelompokkan ke dalam zat ekstraktif. Pembahasan di atas dapat menjawab mengapa fraksi Etil eter paling tinggi penekanannya terhadap pertumbuhan miselium jamur, karena mengandung hampir semua senyawa yang memiliki potensi sebagai bioaktif yaitu alkaloid, flavonoid, triterpenoid dan tanin. Hal lain yang mendukungnya adalah karena kepolaran larutan Etil eter lebih tinggi dari n-Heksana, sehingga senyawa yang terlarut dalam Etil eter lebih banyak. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kandungan ekstrak Aseton kulit kayu Medang Hitam adalah 7,67%, terdiri dari komponen yang larut dalam n-Heksana 4,67%, larut dalam Etil eter 1,33%, larut dalam Etil asetat 1,00% dan sisanya tidak larut (residu) 0,67%. Retensi lima jenis ekstrak kulit kayu Medang Hitam yang diaplikasikan dengan metode rendaman dingin pada kayu akasia (Acacia mangium) berkisar antara 0,20–10,29 kg/m3. Baik perbedaan pelarut maupun perbedaan konsentrasi memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Hasil uji bioaktif ekstrak kulit kayu Medang Hitam terhadap jamur Schizophyllum commune menunjukkan, bahwa rata-rata penekanan pertumbuhan jamur pada tiap bahan pelarut adalah: Aseton 45,415% (tertekan sedang), n-Heksana 67,691% (tertekan berat), Etil eter 78,668% (tertekan sangat berat), Etil asetat 17,625% (tertekan ringan) dan residu 7,688% (tertekan ringan). Diduga pada tiga fraksi (Aseton, n-Heksana dan Etil eter) tersebut terdapat senyawa yang bersifat bioaktif terhadap jamur, yaitu senyawa alkaloid, flavonoid, triterpenoid dan tanin. Saran Sebaiknya dalam melihat kelarutan zat ekstraktif kulit kayu Medang Hitam harus bebas getah yang menempel pada kulitnya dengan cara menyadap getah tersebut terlebih dahulu sehingga prosedur ekstraksinya berjalan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Achmadi, S.S. 1990. Diktat Kuliah Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. Barly; S. Abdurrahim dan P. Permadi. 1995. Penerapan Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Ekspose Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor. Br Sitepu, S.E. 2005. Uji Toksitas Zat Ekstraktif Kulit Batang Raru (Shorea faguetiana Heim.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BLST). Skripsi Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Browning, B.L. 1963. Method of Wood Chemistry. John Wiley and Sons, New York. Djarwanto dan S. Abdurrahim. 2000. Pengawetan Kayu Mangium (Acacia mangium Willd.) Secara Rendaman Dingin dengan Senyawa Boron. Bul. Penelitian Hasil Hutan 18 (1). Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penentuan Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB, Bandung.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
83
Hunt, G.M. dan G.A. Garrat. 1994. Pengawetan Kayu (Terjemahan). Edisi Pertama. Akademika Pressindo, Jakarta. Sari, R.K. dan W. Syafii. 2001. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Jati (Tectona grandis, L.f.). Jurnal Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB XIV (1): 19. Supriana, N. dan Jasni. 2004. Mencari Bahan Pengawet dan Pestisida Produk Alami Satu Perjalanan Sangat Panjang. Makalah pada Seminar Masyarakat Peneliti Kayu (MAPEKI) VII. Makassar 56 Agustus 2004. Syafii, W. 2000. Zat Ekstraktif Kayu Damar Laut (Hopea. spp.) dan Pengaruhnya terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB XIII (2): 18. Tsoumis. 1968. Science and Technology of Wood: Structures, Properties, Utilization. Van Nonstrand Reinhold, New York.