JUDUL 4 KELEMBAGAAN PENUNJANG PENGELOLAAN PBK Abstrak Kelembagaan penunjang berperan penting dalam meningkatkan peran kelembagaan pekebun pengelolaan PBK. Analisis kelembagaan menggunakan ISM (Interpretative Structural Modelling). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara terhadap 10 orang pakar dan pemanfaatan data sekunder. Pakar ditentukan secara semi terstruktur. Hasil analisis menunjukan bahwa kendala utama pengelolaan PBK adalah belum teraktualisasikannya nilai-nilai sosial dan belum terbentuknya pengawas pestisida dan pupuk. Kegiatan yang diterlukan adalah pengembangan PHT PBK dan pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk. Indikator yang digunakan adalah terbentuknya PHT PBK, serangan PBK menurun, dan kualitas hidup pekebun meningkat. Lembaga yang berperan penting dalam pengelolaan PBK adalah Dinas Perkebunan, Pemerintah Kecamatan, dan Balai Penyuluhan Pertanian. Kata kunci: Kelembagaan, pengelolaan PBK, ISM (Interpretative Structural Modeling) Abstrak The supporting institutional management of CPB was important to improve the instituonal famers. The supporting institutional analysis used ISM (Interpretative Structural Modeling). The data collection was conducted with a technique of interview involving 10 experts. The experts were determined in a semi-structured way. The analysis result showed that The main constraint faced was the limited experience of sub-elements in togetherness values and control of related institution. The main need of the program was the search for the technological program of CPB control and development and supervision of circulation/usage of production facilities. In this case, the availability of PHT CPB, the improvement of the knowledge and skill of plantation workers, and the decrease of the attack level of CPB were the key sub-elements in assessing the success of the program. The key sub-elements on the elements of related supporting institutions were Plantation Agency, Subdistrict Goverment, and Agricultural Extention Service. Key Words: Institution, Management CPB, ISM (Interpretative Structural Modeling) Pendahuluan Sebagaimana
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
dan
pengendalian hama terpadu, maka penerapan strategi pengelolaan PBK
127
memerlukan partisipasi pekebun dan pengawalan pihak-pihak terkait secara terus menerus.
Untuk itu diperlukan suatu wadah yang bersifat permanen dan dapat
berperan secara alamiah dalam memfasilitasi para individu yang berkepentingan. Individu-individu yang ada di dalamnya memerlukan suatu keterikatan yang disepakati bersama dan bermanfaat secara adil. Keterikatan individu dapat dalam bentuk
kesamaan
tujuan,
latarbelakang,
maupun
sharing
keuntungan.
Individu/kelompok yang dipersatukan suatu kaidah atau aturan yang disepakati bersama untuk mencapai suatu tujuan tertentu diwujudkan dalam bentuk kelembagaan (Chikozho 2005). Kelembagaan terdiri dari kelembagaan formal dan informal yang mengantar individu-individu yang terlibat di dalamnya untuk mampu menggali permasalahan yang dihadapi
dan mengorganisasikannya ke
dalam struktur organisasi guna merespon masalah yang dihadapi (Stankey et al. 2005). Kelembagaan diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar pekebun dalam menentukan harga produk pertanian dan memperoleh pendapatan yang berkeadilan, meningkatkan efisiensi matarantai pemasaran sehingga dapat menekan biaya lain-lain selama proses penyampaian, serta meningkatkan efektifitas penyampaian produk (D‟Haese et al. 2003). Leach dan Farhead (2001) mengatakan bahwa berdasarkan legalitas aturan dan ukurannya, kelembagaan dapat dibedakan atas kelembagaan formal dan kelembagaan informal dan atas ukuran: mikro, meso, dan makro. Aturan formal berkaitan dengan hukum formal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, kebijakan atau aturan formal lainnya. Aturan informal berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma perilaku masyarakat, budaya, agama, dan tradisi. Aturan formal dan informal mendasari struktur interaksi antar inidividu. Berdasarkan ukuran atau hierarki kelembagaan maka ukuran mikro dapat berbentuk kelompok/gabungan kelompok pekebun, lembaga tingkat kecamatan. Kelembagaan meso dapat berupa lembaga tingkat kabupaten dan provinsi. Kelembagaan makro akhirnya dapat berbentuk lembaga tingkat nasional. Untuk mengefektifkan peranannya, maka kelembagaan dilandasi oleh adanya 1) aturan formal dan informal yang disepakati bersama (Chicozho 2005; (Leach dan Fairhead 2001), 2) tujuan yang didasari oleh komitmen yang sama, saling percaya dan memahami kemampuan masing-masing (Chicozho 2005), 3)
128
struktur organisasi dan prosedur kerja penggunaan sumberdaya (Leach dan Fairhead 2001), dan 4) dukungan kelembagaan penunjang yang berperan sebagai pengontrol, pemberi sanksi (Chicozho 2005; Ostorm 1999) dan penyedia jasa (Saragih 2000). Aturan-aturan yang disepakati menjadi instrumen bagi anggota untuk mencapai tujuan.
Umumnya anggota yang terlibat memiliki tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan meminimalkan ketidakpastian yang dihadapi dengan membentuk struktur organisasi atau prosedur kerja.
Suatu kelembagaan juga
memerlukan kontrol dan dukungan lembaga terkait sehingga dapat berjalan secara efektif. Dengan demikian maka kelembagaan pengelolaan PBK merupakan aturan-aturan dalam bentuk kebijakan perlindungan dan nilai-nilai yang dimiliki pekebun
yang
mendasari
pengembangan
prosedur-prosedur,
teknologi
pengendalian, strategi pengelolaan PBK yang disepakati oleh pekebun dan lembaga penunjang untuk mencapai perkebunan kakao berkelanjutan. Untuk itu perlu dirancang suatu bentuk sinergi antara kelembagaan pekebun dan penunjang agar kelembagaan pekebun dapat berjalan secara efektif. Kelembagaan yang efektif dapat mendorong penggunaan sumberdaya secara berkelanjutan (Chicozho 2005), yaitu mendorong (1) efisiensi penggunaan sumberdaya, (2) transfer teknologi, (3) peningkatan nilai tambah, dan (4) pemerataan dan keadilan (Mwakalobo 2000). Pembelian sarana produksi secara bersama-sama
meningkatkan
efisiensi
penggunaan
sumberdaya
karena
mempersingkat mata rantai yang menghubungkan pekebun dengan kios sarana produksi sehingga menekan biaya-biaya jasa dan meningkatkan keunggulan kompetitif (Mwakalobo 2000). Proses transfer teknologi dapat berjalan efektif apabila dilakukan secara bersama-sama dalam suatu kelompok (D‟Haese et al. 2003). Kebersamaan dalam bentuk lembaga dapat mendorong masyarakat untuk menggali
dan
mengembangkan
teknologi
PHT.
Kelembagaan
pekebun
memudahkan pelaksanaan program atau kebijakan pemerintah atau berinteraksi dengan lembaga-lembaga keuangan (Chikozho 2005). Proses transfer yang efektif dapat mendorong adopsi teknologi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk kakao. Demikian pula dengan terbentuknya kelembagaan yang efektif dapat memperkecil ruang gerak free rider
129
yang cenderung mengambil keuntungan dari proses distribusi dan pemasaran produksi. Kelembagaan mendorong pemberdayaan masyarakat setempat dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam (Chikozho 2005; Ostermeier 1999) sehingga dapat menciptakan keadilan dan pemerataan bagi stakeholder. Kelembagaan pengelolaan PBK jika dikaitkan dengan ukuran dan legalitas kelembagaan meliputi kelembagaan pekebun dan penunjang.
Kelembagaan
pekebun meliputi kelompok pekebun dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang bersifat informal. Pembentukan pengurus didasari oleh kesepakatan antar anggota
dan
setiap
anggota
memiliki
kontribusi
yang
sama
untuk
mengembangkan kelompok. Biasanya setiap individu anggota mempunyai latar belakang yang sama seperti letak lahan yang berdekatan, adanya hubungan kekerabatan, atau tempat tinggal yang berdekatan Kelembagaan penunjang (supporting institution) meliputi lembaga penyedia jasa bagi penggunaan sumberdaya yang meliputi jasa teknologi, kontrol penggunaan sumberdaya, penyuluhan pertanian, koperasi, asuransi, atau jasa perbankan (Saragih 2000; Ricketts dan Ricketts 2009).
Lembaga penunjang
memiliki aturan dan tugas/fungsi dan pembentukannnya berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang seperti bupati, gubernur dan menteri. Lembaga penunjang meliputi lembaga swasta dan pemerintahan.
Lembaga
penunjang memiliki tanggung jawab terhadap kelestarian ekologi, pembangunan ekonomi, dan kestabilan sosial mayarakat dengan menyediakan jasa teknologi, infrastruktur dan kontrol penggunaan sumberdaya berdasarkan kewenangan yang dimiliki (Stoker 1998). Pada tingkat kecamatan lembaga penunjang meliputi Pemerintah Daerah Kecamatan, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemerintah Daerah Kecamatan berperan dalam kebijakan dan kontrol penggunaan sumberdaya, BPP berperan dalam pendampingan kelompok pekebun. BPP dilengkapi dengan petugas penyuluh pertanian yang berperan serbagai jembatan antara kelompok pekebun dengan lembaga penelitian (D‟Haese et al. 2003) (Tabel 16).
130
Tabel 16 Jenis lembaga pengelolaan PBK menurut legalitas dan ukuran No 1.
Ukuran Mikro
2.
Meso
3.
Makro
Legalitas formal Informal - Petugas pendamping di - Kelompok pekebun tingkat desa dan kecamatan - Gabungan kelompok tani - Lembaga penunjang di (Gapoktan) Kecamatan - Lembaga-lembaga penunjang tingkat kabupaten dan provinsi - Lembaga-Lembaga penunjang tingkat nasional
Sumber : Adopsi dari Leach dan Farhead (2001)
Pada tingkat kabupaten antara lain adalah Pemerintah Kabupaten, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Dinas perindustrian/Perdagangan/Koperasi/UKM, Penyedia sarana produksi, eksportir kakao. Pemerintah
Provinsi,
Dinas
Perindustrian/Perdagangan,
Dinas
Perkebunan,
Pada tingkat provinsi terdapat Dinas
Koperasi/UKM,
Kehutanan,
Balai
Pengkajian
Dinas dan
Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP)/Perguruan Tinggi yang berperan dalam transfer teknologi, dan Asosiasi Kakao. Peran kelembagaan penunjang belum dirasakan secara optimal oleh pekebun. Peranan setiap lembaga masih bersifat sektoral terlihat dari programprogram yang dilaksanakan belum terintegrasi antar lembaga. Program-program memerlukan kontrol dan evaluasi/kontrol sehingga dapat dirasakan tepat sasaran dan tujuan. Evaluasi juga diharapkan dapat memacu kesinambungan program. Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan suatu desain kelembagaan penunjang pengelolaan PBK untuk dapat mencapai penggunaan sumberdaya efisien dan aman bagi lingkungan, memberi nilai tambah bagi pekebun, dan adil bagi pekebun dan pihak-pihak terkait. Desain kelembagaan penunjang diharapkan dapat menjadi acuan bagi pekebun dan lembaga terkait dalam penyediaan dan penggunaan sumberdaya serta peningkatan peran kontrol pengelolaan PBK. Untuk itu perlu dirancang desain kelembagaan penunjang pengelolaan PBK sesuai prinsip-prinsip PHT dan tujuan perkebunan berkelanjutan.
131
Metodologi Penelitian
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka, interview dan wawancara pada stakeholder yang berperan dalam pengelolaan PBK. Interview dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam (Sayre 2001) dan untuk merumuskan atribut-atribut yang dijadikan sebagai elemen dan sub elemen kelembagaan dalam pengelolaan PBK.
Teknik wawancara dilengkapi dengan
kuisioner dengan pertanyaan tertutup guna mendapatkan informasi tingkat kepentingan setiap sub elemen.
Jumlah Pakar Pakar ditentukan berdasarkan wawasan, fungsi, dan kepedulian (Mikkelsen 2003) termasuk terhadap pengelolaan PBK. Jumlah responden adalah 10 orang yang ditentukan secara semi terstruktur yaitu mewakili pakar pengelolaan PBK di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan.
Analisis Data Analisis desain kelembagaan menggunakan metode Interpretatif Structural Modelling (ISM).
Metode ISM adalah proses pengkajian kelompok (group
learning process) untuk menghasilkan model struktural guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang menggunakan grafis atau kalimat. Kegiatan dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu (1) masyarakat yang terkena rencana kegiatan, (2) kebutuhan kegiatan, (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan kegiatan, (6) tolok ukur untuk menilai setiap kegiatan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas, dan (9) lembaga yang terkait (Saxena 1992). Elemen utama dan sub elemen yang akan dianalisis berdasarkan hasil brainstorming dan analisis kondisi eksisting perkebunan kakao di lokasi penelitian.
Keterkaitan sub elemen ditentukan structural self-interction matrix
(SSIM) menggunakan simbol V, A, X, dan O yaitu : V adalah eij = 1 dan eji = 0; A adalah eij = 0 dan eji = 1. X adalah eij = 1 dan eji = 1; O adalah eij = 0 dan eji = 0
132
Simbol 1 terdapat hubungan kontekstual antara elemen “i” dan “j” dan simbol O tidak terdapat hubungan kontekstual antara elemen “i” dan “j” dan sebaliknya. Hasil identifikasi hubungan dibuat reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O dengan bilangan 1 dan 0, kemudian dilakukan perhitungan menurut aturan transivity untuk dianalisis lebih lanjut.
D R I V E R P O W E R
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
INDEPENDENT
LINKAGE
AUTONOMOUS
1
2
3 4 5 DEPENDENCE
DEPENDENT
6
7
8
9
10
11
Gambar 29 Matriks hubungan DP-D elemen.
Sub elemen dapat diplotkan ke dalam empat sektor yaitu elemen kunci diagram struktur dan matriks dalam bentuk Driver Power (DP) dan Dependence (D) yang menggambarkan klasifikasi subelemen ke dalam empat sektor. Sektor 1
:
Weakdriver-weak dependent variables (autonomous) menunjukan seluruh peubah tidak atau sedikit berkaitan dengan sistem.
Sektor 2
:
Weak driver-strongly dependent menunjukan peubah tidak bebas
Sektor 3
:
Strong driver-strongly dependent variables (linkage) menunjukan hubungan antar peubah tidak stabil
Sektor 4
:
Strong driver-weak dependent variables (independent) merupakan peubah bebas.
variables
(dependent)
133
Hasil
Kendala yang Dihadapi Berdasarkan hasil analisis internal eksternal maka kendala yang dihadapi meliputi keterbatasan : (1) Infrastruktur, (2) peran lembaga perkreditan, (3) SDM pekebun, budaya
(4) Ketersediaan saprodi, (5) benih bermutu/tahan PBK, (6) Sosial (nilai-nilai
kegotongroyongan),
(7)
Pengawasan
peredaran
dan
penggunaan pupuk dan pestisida (8) Informasi/fluktuasi harga kakao, (9) kelembagaan petani, (10) PHT PBK, (11) kondisi biofisik, dan (12) Partisipasi/sinergi antar lembaga terkait. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya kondisi sumberdaya pekebun dan belum teraktualisasikannya nilai-nilai gotongroyong dalam menunjang partisipasi pekebun dalam kelembagaan pekebun. Kelembagaan pekebun belum berperan optimal dalam menghambat pengembangan PHT PBK. Demikian pula kendala sarana produksi seperti ketersediaan pupuk/pestisida serta benih bermutu/tahan PBK, dan infrastruktur.
Pekebun cenderung mengharapkan
bantuan sarana produksi dan pekebun belum mampu secara mengembangkan PHT PBK.
mandiri
Lembaga penunjang seperti lembaga keuangan,
partisipasi lembaga terkait lainnya dan akses informasi harga turut memberi andil dalam rendahnya pendapatan pekebun.
Infrastruktur
Koperasi
SDM pekebun
Ketersediaan Saprodi
Fluktuasi harga
Kondisi biofisik
Benih bermutu/ tahan PBK
Sosial budaya pekebun
Pengawasan pestisida/ pupuk
Kelembagaan pekebun
Ketersediaan PHT PBK
Koordinasi
Gambar 30 Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur kendala yang dihadapi.
Pada Gambar 30 dijelaskan hasil analisis ISM VAXO terhadap tolok ukur kendala yang dihadapi menunjukan sub elemen benih sehat/tahan PBK, sosial budaya berupa nilai-nilai kegotongroyongan, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk, kelembagaan petani, serta pengembangan PHT
134
PBK merupakan kendala utama. Nilai-nilai kegotongroyongan belum melandasi partisipasi pekebun dalam kelembagaan pekebun.
Kendala sosial dan
kelembagaan pekebun menyebabkan terhambatnya pengembangan PHT PBK. Diikuti pula oleh belum optimalnya peran kontrol lembaga terkait sehingga sumberdaya yang tersedia belum dimanfaatkan secara baik. Berdasarkan matriks hubungan DP-D Elemen tolok ukur kendala yang dihadapi, maka kendala yang sangat kuat mempengaruhi kinerja pengelolaan PBK adalah aspek sosial budaya seperti aktualisasi nilai-nilai kegotongroyongan dan belum optimalnya pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida. Sub elemen nilai-nilai sosial budaya dimiliki oleh pekebun yang mendasari pengembangan partisipasi dan pembentukan kelembagaan pekebun (Gambar 31). Pengawasan peredaran pestisida/pupuk meliputi pengawasan terhadap mutu pestisida/pupuk, kesehatan pekebun dan organisme non sasaran, keamanan produk dan lingkungan.
5
Independen
0
1
6
4
7
3
5, 9, 10
2
2
Linkage
3
Autonomous 3
4
5
Dependent 1, 2, 1 4, 11, 12
8
0
Gambar 31 Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur kendala yang dihadapi. Hasil analisis Struktur
ISM VAXO dan Matriks Hubungan DP-D
menunjukan bahwa kendala utama yang dihadapi adalah masih terhambatnya aktualisasi nilai-nilai sosial seperti kegotongroyongan dalam melakukan gerakan pengendalian PBK dan belum optimalnya peran pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan peningkatan kapasitas kelompok pekebun dan perlunya koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk membentuk komisi pengawasan dan peredaran pestisida.
135
Kebutuhan Kegiatan Berdasarkan identifikasi kegiatan dan kebutuhan kegiatan terkait pengelolaan PBK, maka disusun desain kebutuhan kegiatan sehingga dapat memudahkan penentuan prioritas dan pengembangan kegiatan.
Kebutuhan
kegiatan meliputi : 1) Pengadaan infrastruktur, 2) pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida/pupuk, 3) kontrol mutu pascapanen, 4) sertifikasi bernih bermutu/tahan PBK, 5) pelatihan peningkatan SDM pekebun, 6) pembinaan pemanfaatan limbah, 7) pembinaan koperasi, 8) standarisasi teknologi PHT, 9) pemantauan dampak lingkungan, 10) efisiensi rantai pemasaran, 11) peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, 12) koordinasi antar lembaga, dan 13) kerjasama antar negara. Struktur ISM VAXO menunjukan sub elemen kunci kebutuhan kegiatan pengelolaan PBK adalah pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida/pupuk, dan transfer teknologi PHT PBK. Sarana produksi meliputi pupuk dan pestisida organik dan anorganik, dan benih bermutu.
Transfer teknologi PHT PBK
memiliki keterkaitan dengan sub elemen kegiatan pembinaan mutu pascapanen dan pemasaran, sertifikasi bibit tahan PBK, dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun.
Infrastruktur
Pemanfaatan limbah
Koperasi
Pemantauan Dampak lingkungan
Penataan ruang
Rantai pemasaran
Kelembagaan pekebun
Koordinasi
Level 3
Level 2
Level 1
Benih bermutu/ tahan PBK
Standarisasi mutu
Pengawasan pestisida/ pupuk
Peningkatan SDM
PHT PBK
Gambar 32 Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur kebutuhan kegiatan.
Ketersediaan PHT PBK sangat didukung oleh ketersediaan sarana produksi termasuk bibit tahan PBK,
peningkatan nilai tambah dalam bentuk
peningkatan mutu dan sistem pemasaran kakao yang efisien.
Ketersediaan
136
teknologi juga perlu didukung oleh kemampuan dan pengetahuan pekebun untuk menggali potensi lokal sehingga mampu memformulasi suatu bentuk teknologi yang dapat diterima secara ekologi, sosial dan ekonomi (Gambar 33). Pada Matriks Hubungan P-D Elemen Kebutuhan Kegiatan terlihat bahwa sub elemen pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida/pupuk, penggunaan bibit bermutu/tahan PBK,dan transfer teknologi PHT PBK memiliki sifat bebas dan memiliki kekuatan yang cukup untuk mendorong kinerja pengelolaan PBK.
9 2
8
Independent
Linkage
7 6
4 0
1 8
Autonomous 12, 13
5 2
3
4
5
3
3
2
1, 6
7,1 9
4
5
6
7
Dependent 11
10
0
Gambar 33 Matriks hubungan P-D elemen tolok ukur kebutuhan kegiatan.
Sub elemen penyediaan informasi pasar berada pada sektor dependent. Kedua sub elemen itu memerlukan dukungan sub elemen lain agar berkontribusi pada kinerja pengelolaan PBK. Sub elemen pengadaan infrastruktur, pembinaan peningkatan mutu pascapanen dan pemasaran, pelatihan peningkatan SDM terampil, pembinaan pemanfaatan limbah, koperasi, penyediaan teknologi, Informasi dampak lingkungan, peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, kerjasama lintas sektoral, dan kerjasama antar negara berada pada sektor autonomous. Sub elemen pada sektor autonomous belum cukup kuat mendorong kinerja pengelolaan PBK, walaupun setiap sub elemen memiliki ketergantungan yang rendah terhadap sub elemen lainnya. Sub elemen pada sektor autonomous diharapkan dapat mendorong sub elemen pengawasan peredaran dan penggunaan sarana produksi dan bibit tahan PBK yang berada pada sektor independent dan
137
Sub elemen partisipasi penataan ruang dan akses informasi pasar yang berada pada sektor dependent. Berdasarkan Struktur ISM VAXO dan Matriks Hubungan P-D Elemen maka sub elemen kunci adalah sertifikasi bernih bermutu/tahan PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida/pupuk, dan transfer teknologi.
Transfer
teknologi berkaitan dengan monitoring dan evaluasi PHT PBK serta peningkatan SDM pekebun dan peningkatan mutu biji kakao. Ketersediaan sarana produksi dalam waktu yang tepat, jumlah yang cukup, mutu baik dan terjangkau menjadi pendorong utama dalam penerapan PHT PBK antara lain karena rata-rata umur tanaman kakao melewati masa produksi maksimal dan penggunaan naungan yang sangat yang terbatas.
Tanaman banyak terlihat merana, sehingga kebutuhan
saprodi menjadi pilihan untuk memulihkan kondisi tanaman. Sarana produksi yang dibutuhkan antara lain bibit sehat/tahan PBK, pupuk, dan pestisida bila diperlukan serta pengawasan standarisasi biji kakao.
Kegiatan-kegiatan yang
diperlukan mulai dari penyediaan sarana produksi sampai penanganan pasca panen, sehingga pelatihan yang dibutuhkan seyogyanya dikaitkan dengan hal tersebut.
Tolok Ukur Untuk Menilai Keberhasilan Berdasarkan kebutuhan kegiatan pengelolaan PBK maka tolok ukur untuk menilai keberhasilan program pengelolaan PBK adalah : 1) peran kontrol optimal, 2) ekosistem stabil (keanekaragaman musuh alami dan naungan tinggi, 3) pemasaran efisien, 4)
benih bermutu/tahan PBK tersedia, 5) kapasitas
kelembagaan pekebun meningkat, 6) pendapatan pekebun meningkat, 7) kualitas hidup pekebun dan petugas meningkat, 8) Tingkat serangan PBK menurun, 9) standarisasi PHT PBK, 10) biji kakao mengacu standar mutu, 11) dampak pengendalian PBK terhadap lingkungan menurun, 12) infrastruktur tersedia. Gambar 34 hasil analisis ISM VAXO menunjukan bahwa sub elemen kunci tolok ukur keberhasilan program adalah terbentuknya PHT PBK yang dapat dilaksanakan oleh
pekebun.
PHT
PBK
berkaitan dengan kemampuan
mengembangkan benih sehat/tahan PBK yang terdapat di kebun, tingkat serangan
138
PBK menurun, serta peningkatan pendapatan dan kualitas hidup pekebun, dan peningkatan kualitas hidup pekebun.
Peran kontrol optimal
Level 3
Level 2
Peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun
Benih bermutu/ tahan PBK
Biji kakao bermutu
Pendapatan meningkat
Rantai pemasaran efisien
Dampak lingkungan terkendali
Infrastruktur tersedia
Kualitas hidup pekebun
Serangan PBK menurun
Standarisasi PHT PBK
Level 1
Gambar 34
Ekosistem stabil
Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur untuk menilai keberhasilan.
Sub-elemen tertatanya perkebunan kakao dan peran kontrol lembaga terkait, ekosistem stabil, pemasaran efisien, peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, meningkatnya mutu biji kakao yang dihasilkan pekebun, berkurangnya dampak pengendalian PBK terhadap lingkungan, dan tersedianya infrastruktur dan sistem budidaya yang berorientasi lingkungan memiliki keterkaitan dengan sub elemen Level 2. Analisis matriks hubungan DP-D menunjukan sub-elemen kualitas hidup pekebun, penurunan tingkat serangan PBK, dan kemampuan pengembangan PHT PBK terletak pada sektor independent. Ketiga sub elemen memiliki kekuatan pendorong yang cukup kuat untuk meningkatkan kinerja pengelolaan PBK. Setiap sub elemen bersifat bebas sehingga dapat terlaksana tanpa bergantung pada sub elemen lainnya. seringkali
dimanfaatkan untuk
pengembangan PHT.
Peningkatan pendapatan pekebun
kebutuhan rumah tangga,
bukan untuk
Oleh karena itu peningkatan pendapatan perlu diikuti
dengan peningkatan kualitas hidup pekebun.
139
8 10
7
Independent 9
5 8
0
1
2
4 3
4
5
3
Autonomous 5
Linkage
6
7
1, 3, 11, 12, 14
6
7
Dependent
2 21
6, 13
4
0
Gambar 35 Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur keberhasilan program. Sub elemen standarisasi sistem pasar, pemberdayaan kelembagaan pekebun, dan penyediaan infrastruktur berada pada sektor dependent, yaitu memiliki ketergantungan dengan sub elemen lain untuk mendorong kinerja pengelolaan PBK. Terlaksananya efisiensi penyampaian produk kakao ke pasar, peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, dan penyediaan infrastruktur fisik perlu diintegrasikan dengan tolok ukur lainnya untuk menilai kinerja pengelolaan PBK. Peran partisipasi pekebun memerlukan peran pemantauan dan evaluasi. Transparansi informasi pasar juga perlu didukung oleh standarisasi mutu biji kakao sehingga dapat memberi peningkatan pendapatan bagi pekebun. Berdasarkan analisis Struktur ISM VAXO dan Matriks Hubungan DP-D maka sub elemen kunci adalah tersedianya standar PHT PBK. Adanya PHT PBK dapat menurunkan tingkat serangan PBK, meningkatkan pendapatan, dan kualitas hidup
pekebun.
Peningkatan
pengetahuan/keterampilan,
kualitas
kesehatan,
hidup
dan
pekebun
produktivitas
mengembangkan PHT PBK secara terus menerus.
terkait
dengan
pekebun
dalam
Menurut Orr dan Ritchie
(2004) PHT yang layak berbiaya murah, efisien menggunakan tenaga kerja, mudah dilaksanakan, pekebun meyakini keberhasilan PHT PBK.
Lembaga Terkait Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, kebutuhan kegiatan, dan tolok ukur penilaian kegiatan, maka kelembagaan penunjang pengelolaan PBK yang terlibat adalah lembaga yang berperan dalam sertifikasi benih bermutu/tahan PBK,
140
monitoring tingkat serangan PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk, perumusan standar PHT PBK, dan peningkatan kualitas hidup pekebun. Mengacu pada kewenangan yang dimiliki dan permasalahan yang dihadapi maka Lembaga terkait adalah : 1) Badan Pertanahan, 2)Lembaga Perkreditan, 3) Pemerintah Daerah, 4) Dinas Perkebunan Kabupaten, 5) Dinas Pekerjaan Umum, 6) Perusahaan Produksi Benih, 7) Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan 8) Lembaga Penelitian/Balai Pengkajian/ Perguruan Tinggi dan Penerapan Teknologi Pertanian, 9) Kelompok Pekebun, 10) Lembaga Swadaya Masyarakat, 11) Asosiasi kakao, 12) Balai Penyuluh Pertanian (Gambar 36).
Badan Pertanahan
Dinas Pekerjaan Umum
Lembaga Perkreditan
Lembaga Swadaya Masyarakat
Asosiasi Kakao
Level 4
Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan
Level 3
Perusahan/ pelaku produksi benih
Level 2
Level 1
LP/BPTP/PT
Balai Penyuluhan
Kelompok Pekebun
Pemerintah Daerah
Dinas Perkebunan
Gambar 36 Struktur ISM VAXO tolok ukur keterkaitan antara lembaga
Berdasarkan struktur keterkaitan antar lembaga sub elemen kunci dalam pengelolaan PBK adalah Dinas Perkebunan Kecamatan yang berperan dalam perumusan standar teknis dan monitoring/evaluasi PHT PBK. Dinas Perkebunan memiliki keterkaitan dengan Balai Penyuluhan dan Pemerintah Daerah. Dinas Perkebunan Kecamatan, bernaung petugas Pengamat Hama Penyakit (PHP) yang berfungsi dalam pemantauan dan analisis OPT, kemudian disampaikan sebagai informasi ilmiah bagi PPL dan pemerintah desa/kecamatan untuk mendorong partisipasi pekebun dalam mengembangkan dan menerapkan PHT PBK.
141
9 5
8
Independent
Linkage
7 6
0
13
4
1 10
2 9
5 3
4
4
5
6
3
Autonomous
7
Dependent
32 1, 11
2
1
12
7
6, 8
0
Gambar 37 Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur lembaga terkait.
Gambar 37 disajikan Matriks Hubungan DP-D Elemen lembaga terkait yaitu Dinas perkebunan Dinas Perkebunan, pemerintah daerah, Balai Penyuluhan, Kelompok Pekebun, dan Lembaga Penelitian/Pekebun berada pada sektor independent. Sub elemen yang berada pada sektor ini memiliki kekuatan pendorong yang cukup kuat terhadap kinerja pengelolaan PBK.
Sinergi
Keterkaitan lembaga tersebut terhadap kelompok pekebun untuk mendorong transfer
teknologi,
pengembangan
dan
penerapan
PHT
PBK,
dan
monitoring/evaluasi penerapan PHT PBK. Sub elemen Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Produksi Benih, Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan, serta Asosiasi Pedagang Kakao berada pada sektor dependent.
Sub elemen yang berada pada sektor dependent
merupakan variabel yang tidak bebas dan kontribusinya sangat tergantung pada peranan sub elemen lain.
Dengan kata lain, pengembangkan PHT PBK,
penyediaan infrastruktur, benih sehat, pengembangan koperasi, dan informasi pasar sangat tergantung pada peran kelembagaan pekebun dan lembaga-lembaga terkait dalam mendorong pengembangan PHT PBK. Sub elemen Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Produksi Benih, Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan, serta Asosiasi Pedagang Kakao berada pada sektor autonomous. Sub elemen yang berada pada sektor ini bersifat tidak terikat secara langsung terhadap kinerja pengelolaan PBK, tetapi diharapkan mampu meningkatkan kinerja sub elemen pada sektor dependent dan independent.
142
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten berperan
dalam
koordinasi, penyiapan standar, pemantauan dan evaluasi, serta penyediaan infrastruktur seperti jalan dan jembatan kecamatan dan penggunaan lahan perkebunan, untuk mendukung pengembangan dan penerapan PHT PBK. Dinas Perkebun berperan dalam pemantauan/evaluasi dan merumuskan standar PHT PBK, penyediaan saprodi, pascapanen, dan pemasaran biji kakao, serta analisis dampak lingkungan perkebunan. Balai penyuluhan berperan dalam mendorong partisipasi pekebun, dan Pemerintah Daerah Kecamatan berperan dalam menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan penerapan PHT PBK serta pemeliharaan infrastruktur seperti jalan desa dan ketentraman masyarakat. Kelembagaan terkait lainnya memiliki ketergantungan dan secara sendirisendiri kurang mampu mendorong pengelolaan PBK karena tergantung pada kebijakan pemerintah terkait pengadaan sarana produksi dan ketersediaan PHT PBK. Kebijakan pemerintah daerah untuk mendorong penggunaan dan standarisasi pupuk organik, pestisida hayati dan penggunaan benih bermutu/tahan PBK dapat meningkatkan peran Laboratorium Perkebunan, Perusahan Produksi Benih Ladongi yang terletak di Kecamatan Lambandia, Dinas Koperasi, dan LSM. Kelembagaan lainnya yang diharapkan dapat mendukung kelembagaan penunjang adalah Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Hortikultura, dan Peternakan serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan yang memiliki keterkaitan dengan pemantauan terhadap kesehatan pekebun dan organism non sasaran seperti hewan ternak, dan hewan air lainnya. Berdasarkan matriks ISM VAXO dan Hubungan DP-D Elemen lembaga terkait maka kelembagaan kunci adalah Dinas Perkebunan. Dinas Perkebunan berkaitan dengan Lembaga Penyuluhan dan Pemerintah Daerah yang berada di setiap strata administrasi. Ketiga lembaga diharapkan dapat menjadi penggerak utama sekaligus menjembatani lembaga-lembaga terkait penerapan PHT dengan kelompok pekebun. Untuk mengefektifkan peranannya, maka ketiga lembaga tersebut perlu bersinergi dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan transfer teknologi PHT
143
PBK,
monitoring
dinamika
populasi
PBK
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, sertifikasi benih sehat/tahan PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan peredaran pupuk dan pestisida, dan peningkatan mutu dan efisiensi pemasaran biji kakao.
Lembaga Penelitian/Balai Pengkajian Teknologi/
Perguruan Tinggi dan Dinas Perkebunan Provinsi masing-masing adalah berfungsinya penyediaan jasa transfer teknologi, dan monitoring dan evaluasi sertifikasi benih bermutu/tahan PBK dan pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida.
Pembahasan Kelembagaan pengelolaan PBK terdiri dari kelembagaan pekebun dan kelembagaan
penunjang.
Kelembagaan
pekebun
merupakan
pengguna
sumberdaya dan kelembagaan penunjang berperan dalam fungsi koordinasi antar stakeholder, menentukan tujuan, mendorong iklim usaha yang kondusif, melakukan kontrol dengan mengembangkan standar, melakukan evaluasi, memonitor, memberi sanksi dan mencegah konflik, serta berperan sebagai penyedia jasa kontrol dan lembaga penyedia jasa lainya seperti penyedia teknologi atau jasa keuangan (Kemp et al. 2005). Untuk menjalankan peran di atas maka pengambil kebijakan perlu merumuskan kendala yang dihadapi, mengidentifikasi kebutuhan program, kendala yang dihadapi, menentukan tolok ukur menilai program, dan menentukan kelembagaan yang terlibat. Keterkaitan kelembagaan pekebun sebagai pengguna sumberdaya dengan lembaga pengontrol penggunaan sumberdaya disajikan pada Gambar 39. Kendala yang dihadapi adalah nilai-nilai kegotongroyongan pekebun belum sepenuhnya mendasari aktivitas kelembagaan pengelolaan PBK, dan pengembangan teknologi PHT PBK. Kelembagaan pekebun masih berorietasi pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan keproyekan, belum memiliki aktivitas yang mampu mengikat individu untuk mengembangkan kelompok pekebun. Dengan demikian maka dirumuskan visi kelembagaan penunjang dalam pengelolaan PBK adalah terlaksananya kelembagaan penunjang kelembagaan pekebun kakao rakyat yang mampu mengawal pengembangan dan penerapan PHT PBK.
144
Belum optimalnya peran kelembagaan pekebun berimplikasi pada keterbatasan pengembangan PHT PBK.
Kegiatan yang diperlukan dalam
pengembangan dan penerapan PHT PBK antara lain adalah sertifikasi benih sehat/tahan PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk, serta transfer terknologi dan standarisasi PHT PBK. Pestisida dan pupuk meliputi agens hayati dan kompos, serta pestisida dan pupuk anorganik. Kegiatan transfer teknologi dilakukan dengan mengadakan pelatihan pekebun sehingga dicapai tingkat pemahaman yang merata diantara pekebun.
Pemerataan pengetahuan
dapat mendorong partisipasi pekebun dan saling memahami antar pekebun dalam kelembagaan pekebun (Chikozho 2005).
Dengan demikian maka misi
kelembagaan penunjang kelompok pengelolaan PBK adalah terlaksananya pengembangan PHT PBK melalui pemberdayaan pekebun sehingga secara mandiri mampu meningkatkan kapasitas kelembagaannya dalam menghasilkan kakao yang bermutu dan aman dikonsumsi. Dalam mencapai visi dan misi kelembagaan penunjang pengelolaan PBK maka kelembagaan penunjang merumuskan tolok ukur kinerja fungsi-fungsi kelembagaan penunjang. Tolok ukur penilaian keberhasilkan pencapaian visi dan misi kelembagaan penunjang adalah tersedianya PHT PBK, pendapatan pekebun meningkatan, dan kualitas hidup pekebun meningkat.
Guna menunjang
tersedianya PHT PBK maka diperlukan transfer teknologi PHT untuk memperbaharui pengetahuan pekebun serta pemantauan dan evaluasi penerapan PHT PBK. Peningkatan pendapatan dan kualitas hidup pekebun berkaitan dengan fungsi-fungsi pemberdayaan kelompok pekebun selain dalam proses produksi, juga dalam melakukan penyediaan sarana produksi, peningkatan mutu, dan peningkatan efisiensi rantai pemasaran. Untuk itu diperlukan peran lembagalembaga terkait yang memiliki fungsi-fungsi dalam pemberdayaan pekebun dan kelompok pekebun, pemantauan dan evaluasi dalam hal perbanyakan benih dan penggunaan pestisida dan pupuk, perkembangan PBK dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, penanganan pasca panen, dan pemasaran kakao. Dengan demikian maka lembaga penunjang utama adalah adalah Dinas Perkebunan yang berkoordinasi dengan dinas-dinas terkait. Dalam melaksanakan peran kontrol, lembaga pengontrol mengacu pada tolok ukur terbentuknya PHT
145
PBK, stabilitas agroekosistem yang ditunjukkan dengan penurunan tingkat serangan PBK, dan peningkatan kualitas hidup pekebun. Dinas Perkebunan juga bermitra dengan lembaga pendamping yaitu Balai Penyuluhan Pertanian Perkebunan, dan Pemerintah Kecamatan. Keterkaitan Dinas Perkebunan dengan lembaga-lembaga pengontrol disajikan pada Gambar 38.
Asosiasi Pedagang Kakao
Badan Pertanahan
Lembaga Perkreditan
Lembaga Swadaya Masyarakat
Dinas Pekerjaan Umum
Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan
Balai Penelitian/Pengkajian Teknologi/Perguruan Tinggi
Pemerintah Daerah
Dinas Perkebunan
Balai Penyuluhan
Perusahan Benih
Kelompok Pekebun
Pelaku Pasar
Keterangan :
Gambar 38.
Pengontrol Pendamping Penunjang Lainnya
Keterkaitan lembaga-lembaga penunjang pengelolaan PBK dan Evaluasinya dalam bentuk tolok ukur kontrol.
Dinas Perkebunan dilengkapi dengan Petugas Petugas Pengamat Hama Penyakit untuk melakukan monitoring tingkat serangan PBK, standarisasi PHT PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk. Informasi yang dihimpun oleh petugas PHP dapat dimanfaatkan oleh kelompok pekebun dalam mengembangkan PHT PBK.
Petugas PPL, Dinas Perkebunan, dan
Pemerintah Kecamatan diharapkan dapat memberi kondisi yang kondusif bagi pengembangan PHT PBK, termasuk berperan sebagai „jembatan‟ bagi transfer teknologi dari lembaga penelitian/pengkajian teknologi/perguruan tinggi ke kelompok pekebun. Dinas Perkebunan Kecamatan melakukan monitoring dan
146
evaluasi peningkatan partisipasi dalam kelembagaan pekebun serta pengembangan PHT PBK. Pemerintah Kecamatan berperan dalam pemeliharaan sarana prasarana PHT PBK, infrastruktur fisik seperti jalan desa, keamanan, serta mendorong aktualisasi nilai-nilai sosial seperti kegotongroyongan guna meningkatkan partisipasi dalam kelembagaan pekebun. Balai Penyuluhan meningkatkan pemberdayaan pekebun melalui transfer teknologi dengan bermitra dengan Balai Penelitian/Pengkajian Teknologi/ Perguruan Tinggi serta LSM. Balai Penyuluhan dapat berperan sebagai jembatan bagi transfer teknologi PBK.
Dinas Perkebunan berkoordinasi dengan Dinas
Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan, serta LSM mitra dan berkoordinasi dalam melakukan kontrol pengelolaan PBK. Pemerintah kecamatan berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan umum dan Dinas Tata Ruang untuk memelihara infrastruktur dan menyediakan prasarana produksi kakao, dan pengembangan perkebunan kakao.
Kelompok pekebun juga dapat bermitra dengan Asosiasi
Kakao untuk mendorong perdagangan yang adil. Lembaga Penunjang Lainnya adalah peran lembaga keuangan.
Peran
lembaga keuangan belum sepenuhnya dimanfaakan oleh pekebun, karena kendala jaminan perkreditan. Lembaga keuangan memerlukan jaminan pemberian kredit seperti sertifikat lahan. Pekebun umumnya belum memiliki sertifikat lahan kebun, sehingga menyulitkan proses perkreditan. Sertifikasi lahan perlu dipertimbangkan di masa mendatang. Selain itu perlu diupayakan kemitraan koperasi lembaga pekebun dan lembaga perkreditan.
Kesimpulan Berdasarkan visi dan misi kelembagaan penunjang dalam pengelolaan PBK maka perlu dilakukan peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun sehingga mampu menghasilkan dan menerapkan PHT PBK. Lembaga yang berperan kunci dalam pengelolaan PBK adalah Dinas Perkebunan yang berfungsi sebagai pengontrol serta Pemerintah Daerah, Balai Penyuluhan Perkebunan, dan Balai Penelitian/Pengkajian Teknologi/Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendamping. Sejalan dengan fungsi-fungsi yang terdapat di kelompok pekebun, maka lembaga pengontrol
perlu
ditingkatkan
dengan
melibatkan
Dinas
Perindustrian/
147
Perdagangan dan Koperasi. Peran kontrol dilaksanakan secara terintegrasi pada tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Oleh karena itu diperlukan
koordinasi antar lembaga terkait dan antar strata administrasi pemerintahan.
Daftar Pustaka Chikozho C. 2005. Policy and Institutional Dimensions of Small-holder Farmer Innovations in the Thukela River Basin of South Africa and the Pangani River Basin of Tanzania: A Comparative Perspective. Physics and Chemistry of the Earth Parts A/B/C Issue11-16,30(11-16):913-924. http://www.ihe.nl/ SSI/ [5 Oktober 2008] D‟Haese M, Verbeke W, Van-Huylenbroeck G. Kirsten J, D‟Haese L. 2003. Institutional Innovation to Increase Farmers‟ Revenue: A Case Study of Small Scale Farming in Sheep Transkei Region, South Africa. Proceedings of the 25th International Conference of Agricultural Economists (IAAE), 16 – 22 August. Durban, South Africa. Kemp R, Parto S, Gibson RB. 2005. Governance for Sustainable Development: Moving from Theory to Practice. Int. J. Sustainable Development, Vol. 8, Nos. ½. pp.12–30. Leach M, Fairhead J. 2001. Plural Perspective and Institutional Dynamics : Challenge for Local Forest Management. Int J Agricultural Resources, Governance and Ecology 1(3/4). Mikkelsen, B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Nalle M, penerjemah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Methods for Development Work and Research : A Guide for Practitioners. Mwakalobo ABS. 2000. Resource Productivity and Allocation Efficiency In Smallholder Coffee Farmers In Rugwe District, Tanzania. The AGREST Conference Proceeding Series, Vol. 4. Tanzania. Ostermeier, D.M. 1999. The Role Institution in Ecosystem Management. Di dalam: Ecosystem Management for Sustainability. J.D. Paine, Editor. New York: Lewis Publisher. Ostrom E. 1999. Self-Governance and Forest Resources. Cifor Occasional Paper No.20. Bogor: Cifor. Ricketts C, Ricketts K. 2009. Agribusiness Fundamentals and Applications 2nd ed. USA: Delmar. Saragih. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor : USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Sayre S. 2001. Qualitative Methode for Marketplace Research. London-New Delhi: Sage Publications. Saxena JPP. 1992. Hierarch and Clasification of Program Plan Element Using Interpretatif Structural Modelling. System Practice 5(6):651-670.
148
Stankey GH, Clark RN, Bormann BT. 2005. Adaptive Management of Natural Resources: Theory, Concepts, and Management Institutions. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-654. Portland, OR: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. 73p. Stoker G. 1998. Governance as Theory: Five Propositions. UNESCO. United Kingdom: Blackwell Publishers.
149
Contents 7. DESAIN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PBK ..................................... 126 ABSTRAK ..........................................................................................................126 PENDAHULUAN ............................................................................................... 126 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 131 Metode Pengumpulan Data .................................................................................. 131 Jumlah Pakar ....................................................................................................... 131 Analisis Data ....................................................................................................... 131 HASIL ................................................................................................................. 133 Kendala yang Dihadapi ........................................................................................ 133 Tolok Ukur Untuk Menilai Keberhasilan.............................................................. 137 Lembaga Terkait .................................................................................................. 139 PEMBAHASAN .................................................................................................. 143 KESIMPULAN.................................................................................................... 146 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 147
150
Direktorat Perdagangan Hasil Pertanian
Direktorat Perbenihan & Saprodi
Direktorat Perlinbun BPTP P
Dinas Perindustrian &Perdagangan
Badan Karantina Pertanian
Badan Litbang/ Perguruan Tinggi
BPPT/PT
Provinsi
BP2MB Dinas Perkebunan Prov. Balai/Stasiun Karantina Tumbuhan
Laboratorium Perkebunan Dinas Perindag Kab
Dinas Perkebunan Kab.
Dinas Perindag Kec.
Dinas Perkebunan Kec.
Instalasi PPT
Koordinator POPT
POPTK
POPT
Kabupaten
Kecamatan
PPL Pekebun kakao
LSM Lingkungan
Desa
Pedagang Pengumpul
Pelaku industri pengolahan kakao
Asosiasi Eksportir biji Kakao/olahan Konsumen Keterangan :
= Koordinasi;
= Pembinaan/Kontrol;
= Aliran finansial;
= Unsur teknis
BPPT = Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi; PT = Perguruan Tinggi; BPTP= Balai Proteksi Tanaman Perkebunan; POPT/K= Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan/Karantina
Gambar 3. Diagram Keterkaitan Stakeholder Pengelolaan OPT Kakao Rakyat
Bagi pengguna standar-standar yang disepakati terkait dengan kondisi sumberdaya seperti kondisi lahan, tanaman kakao, naungan, infrastruktur yang tersedia, ketersediaan sarana produksi, tingkat pengetahuan pekebun, kemampuan finansial pekebun, peran kelembagaan pekebun. Untuk itu maka standar-standar pengelolaan PBK meliputi standar penataan lahan, pengembangan/peredaran/ penggunaan sarana produksi, penerapan teknologi pengendalian PBK yang berkelanjutan, pengendalian mutu, dan sistem pasar.