Sistem Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Islam Berwawasan Manajerial M. Natsir Luts Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstract: Many Islamic educational institutions are found to be unable to survive the global competition. This failure is mostly due to their incapability in dealing with various problems which occur during the competition. One of the possible core sources of this problem is that those institutions still apply traditional management system which does not support them in coping with contemporary issues. For this reason, it is necessarily important to promote innovations in management level which will lead every educational institution to develop as a managerial-based institution. Keywords: educational institutions, management system, global competition
I. Pendahuluan Upaya menyikapi tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diisyaratkan pada pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dengan pelaksanaan pendidikan jalur sekolah dan luar sekolah. Pendidikan jalur sekolah yang telah dilaksanakan mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi masih mengalami berbagai kendala. Oleh karena itu, isu yang berkaitan dengan aspek pemerataan pendidikan, mutu, relevansi dan efisiensi pendidikan sampai saat ini Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
169
M. Natsir Luts
merupakan agenda diskusi manajemen pendidikan yang masih hangat dan tetap relevan untuk diperbincangkan.1 Keinginan meningkatkan mutu pendidikan sepertinya tidak akan pernah berhenti sejalan dengan dinamika rumusan konsep mutu yang digunakan. Suatu hal yang jelas bahwa upaya mencapai keinginan tersebut harus senantiasa dilakukan sepanjang proses pendidikan pada setiap jenjang mulai dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana hal itu dilakukan. Khususnya pada tingkat pendidikan tinggi, bagaimana upaya meningkatkan mutu agar proses pelaksanaan pendidikan dapat memberikan kontribusi maksimal untuk mencapai standar mutu pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
II. Pendekatan Manajerial untuk Peningkatan Mutu Pendidikan A. Konsep Mutu Rumusan mutu sering digunakan mengacu kepada kualitas produk yang dihasilkan suatu atau serangkaian aktivitas. Mutu barang yang dikeluarkan suatu mesin produksi dapat beragam sehingga mungkin akan dikatakan bahwa mutu produk rendah, sedang atau tinggi. Penilaian dan penetapan tingkat kebermutuan suatu produk terkadang masih terlihat rancu. Upaya menghindari kerancuan dalam menetapkan kualitas atau mutu suatu produk, biasanya dilakukan dengan menggunakan ukuran tertentu. Kadangkala digunakan selera (kepuasan) konsumen sebagai patokan.2 Manakala suatu produk telah dapat memenuhi kehendak atau telah menimbulkan rasa puas pada konsumen, maka dianggap bahwa produk tersebut sudah bermutu. Bahkan tatkala suatu produk telah dapat memberikan tingkat kepuasan maksimal H.A.R. Tilaar, (1992), Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2 Edward Sallis, (1993), Total Quality Management in Education. London: Kogan Page. 1
170
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Sistem Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Islam Berwawasan Manajerial
kepada konsumen, maka dikala itu pula dikatakan bahwa produk tersebut bermutu tinggi. Berhubung kepuasan konsumen merupakan acuan yang memiliki relativitas tinggi, maka dalam manajemen modern orang lebih cenderung menggunakan standar mutu sebagai takaran kualitas.3 Suatu takaran yang dapat digunakan dalam berbagai bentuk organisasi, baik organisasi yang profit maupun organisasi non-profit. Kinerja (performance) organisasi diukur dengan menggunakan standar mutu tertentu. Penilaian kinerja (performance appraisal) dilakukan melalui cara membandingkan kinerja yang ditampilkan (presented performance) dengan kinerja yang standar atau kinerja yang diharapkan (expected performance). Konsep mutu tersebut menghantarkan orang pada pemahaman yang berbeda dalam menilai mutu pendidikan. Sebagian orang berpendapat bahwa pendidikan yang bermutu ialah pendidikan yang menghasilkan lulusan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Bila konsumennya dunia industri, maka pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang menghasilkan keluaran yang terpakai di dunia industri. Upaya memenuhi tuntutan tersebut diwujudkan dengan pengelolaan pendidikan sistem ganda (dual system). Sistem pendidikan yang berkembang dewasa ini memungkinkan pengelolaan pendidikan dengan berbagai model. Sistem pendidikan di Indonesia misalnya memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis pendidikan seperti pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan kedinasan, pendidikan agama, dan sebagainya. Sistem pendidikan di beberapa negara maju pun memberikan peluang lahir model pendidikan yang beragam.4 Mereka menggunakan standar mutu untuk mengendalikan kualitas pendidikan secara nasional (national accessment). Pendidikan akan dikatakan bermutu jika hasil pengukuran perolehan peserta didik telah Randal S. Schuller, (1987), Personal and Human Ressources Management. New York: West Publishing Company. 4 J.R. Hough, (1994), Educational Policy: an International Survay. New York: St. Marti’s Press. 3
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
171
M. Natsir Luts
mencapai atau memenuhi standar yang digunakan. Suatu hal yang terlihat agak janggal adalah perilaku masyarakat yang kurang tepat dalam membuat keputusan tentang mutu pendidikan. Orang lupa menggunakan alat ukur yang cocok untuk menilai mutu pendidikan. Alangkah tidak adilnya bila orang mengatakan bahwa mutu pendidikan di IAIN adalah “rendah” dengan alasan lulusan IAIN tidak diterima bekerja sebagai tenaga medis di pusat pelayanan kesehatan masyarakat atau di berbagai perusahaan. Penilaian yang relatif tepat adalah mengatakan pendidikan bermutu kalau hasilnya sesuai dengan harapan dan mengatakan tidak bermutu manakala hasilnya tidak sesuai dengan harapan (standar). Hal ini juga bermakna bahwa ragam jenis pendidikan memiliki orientasi kajian dan kriteria kebermutuan yang berbeda. Suatu hal yang sering terlupakan ialah bahwa mutu yang melekat pada suatu produk pendidikan sangat terkait dengan mutu proses pendidikan yang berlangsung. Adalah suatu kenaifan bila mengharapkan out put pendidikan yang bermutu tinggi dari proses pendidikan yang tidak bermutu. Artinya untuk mendapatkan out put pendidikan yang bermutu maka proses pendidikan pun harus bermutu. B. Mutu Proses Creech yang berbicara panjang lebar tentang manajemen mutu terpadu merumuskan lima pilar mutu terpadu yaitu organisasi, kepemimpinan, komitmen, proses, dan produk.5 Hubungan kelima pilar tersebut ditunjukkan sebagai kesatuan yang erat dari kelima komponen dengan inerdependensi tinggi. Produk yang bermutu hanya akan lahir dari proses yang efektif, dengan dukungan komitmen yang tinggi dan kepemimpinan yang brilliant dalam suatu organisasi yang sehat. Konsep pemikiran Creech tersebut sejalan dengan alur pendekatan teori proses yang dikenal dengan CIPP (contact, in-put, process, 5
172
Bill Creech, (1996), Lima Pilar TQM (Terj.). Jakarta: Binarupa Aksara. Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Sistem Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Islam Berwawasan Manajerial
dan product). Proses menjadi salah satu komponen penting menurut Creech dan merupakan suatu tahapan yang sangat menentukan dalam konsep CIPP. Artinya, bahwa produk tidak muncul begitu saja, melainkan diawali kondisi proses yang berlangsung terlebih dahulu. Konsep CIPP ini digambarkan dalam proses lenear sebagai berikut:
Contact
In-put
Process
Product
Persoalan proses yang merupakan bahan telaahan dalam kajian prilaku organisasi termasuk organisasi (lembaga) pendidikan adalah menciptakan suatu proses yang efektif. Mutu pendidikan yang ditunjukkan oleh kualitas lulusan sangat terkait dengan proses pembelajaran di lembaga pendidikan tertentu. Salah satu cara yang dianggap lebih tepat untuk mamahami kualitas proses pembelajaran di dunia pendidikan dewasa ini dilakukan dengan menggunakan APKG (alat penilaian kemampuan guru) sebagai standar kinerja guru.6 APKG ini dikembangkan menjadi Akta V sebagai standar penilaian kinerja dosen di perguruan tinggi. APKG tersebut memuat 53 butir kriteria pelaksanaan tugas keguruan yang dikelompokkan kepada perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, evaluasi hasil pembelajaran dan kemampuan membina hubungan antar pribadi. Masing-masing kriteria diserta deskripsi pelaksanaannya, sehingga standar kinerja tersebut sangat praktis digunakan dalam mengamati proses pelaksanaan tugas mengajar yang dilakukan oleh guru (dosen). Hasil pengamatan kinerja yang ditampilkan guru (dosen) dibandingkan dengan standar kinerja yang digunakan sebagai alat ukur. Pembandingan tersebut bermuara pada satu di antara tiga simpulan yang mungkin diperoleh yakni pernyataan bahwa kinerja guru (dosen) tidak bermutu, kurang bermutu, atau bermutu tinggi. Persoalan akan muncul jika simpulan yang dihasilkan menyataDepdikbud, (1991), Materi Pendidikan Program Akta Mengajar V. Jakarta: Proyek Pengembangan Instusi Pendidikan Tinggi Dirjen Dikti. 6
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
173
M. Natsir Luts
kan bahwa kinerja guru (dosen) tidak bermutu atau kurang bermutu. Permasalahan tersebut tidak lagi sekedar kompetensi tenaga pendidik yang bersangkutan, melainkan lebih mengemuka sebagai masalah manajerial. Konsep berfikir manajemen mengakui bahwa kualitas kinerja pegawai atau staf menjadi tanggung jawab atasan sebagaimana dikemukakan Dubrin, “a manager is a person responsible for the work performance of subordinates.”7 Diperlukan pendekatan manajerial sebagai suatu solusi, agar permasalahan mutu pendidikan tinggi yang bersumber dari mutu proses layanan oleh dosen dapat ditengarai. Perlu dilakukan penanganan prilaku organisasi dengan penekanan khusus pada prilaku sumber daya manusia.8 C. Pendekatan MSDM untuk Meningkatkan Mutu Proses Upaya meningkatkan mutu layanan pendidikan tinggi, khususnya menyangkut proses pembelajaran, lebih bertumpu pada persoalan sumber daya manusia atau tenaga kependidikan. Konsep MSDM (manajemen sumber daya manusia) yang mengacu kepada peningkatan efektifitas sumber daya organisasi melalui fungsi-fungsi perencanaan, pembuatan keputusan, pengorganisasian, dan pengontrolan. guna mencapai tujuan akhir organisasi, relevan untuk diterapkan dalam organisasi (lembaga) kependidikan.9 Tiga langkah penting pendekatan MSDM-rekrutmen, pengembangan, dan pendayagunaan-perlu mendapat perhatian secara khusus, bila upaya peningkatan mutu pendidikan difokuskan pada mutu proses. Randal S. Schuller membicarakan MSDM mulai dan tahap perencanaan (planning), pengangkatan (staffing), penilaian dan upah (appraisal and compensation), pengembangan (improving), dan pembinaan hubungan kerja yang efektif (maintaining ejfective work relationAndrew J. Dubrin, (1990), Essential of Management, Cincinati: SouthWestern Publishing Co.), hlm. 4. 8 Paul Hersey dan K.H. Blanchard, (1993), Management of Organization Behavior: Utilizing Human Resources. New Jersey: Prentice-Hall Int. 9 Dubrin, Essential of Management. 7
174
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Sistem Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Islam Berwawasan Manajerial
ship).10 Konsep senada juga dikemukakan oleh Davis dengan sedikit perbedaan pada aspek pengembangan dan evaluasi (development and evaluation) yang mencakup orientasi dan penempatan, pelatihan dan pengembangan, penilaian kinerja, dan perencanaan karir.11 Kekuatan inti dari semua mata rantai langkah-langkah MSDM pada dasarnya tertumpu pada rekrutmen, pengembangan dan pendayagunaan. 1. Rekrutmen Aktivitas MSDM yang tercakup dalam konsep rekrutmen dimulai dengan analisis kcbutuhan. analisis SWOT (strenghs, weaknesses, opportunities, threats) atau SWAA (strenghs, weaknesses, advocates, adversaries), seleksi. sampai pada langkah penempatan. Analisis kebutuhan dimaksudkan untuk menentukan jenis dan kualitas SDM (sumber daya manusia) yang akan direkrut berdasarkan karakteristik pekerjaan yang akan ditangani. Kejelasan jenis dan kualitas SDM yang akan direkrut dilanjutkan dengan pengkajian kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta peluang dan tantangan yang dihadapi. Aplikasi MSDM dalam tindakan nyata dapat dilakukan pada pengangkatan pegawai (calon dosen) IA1N STS pada tahun anggaran 1998/1999. Jumlah tenaga yang akan diangkat sebanyak enam orang sarjana yang terdiri dari berbagai jurusan dengan kualitas (IP) di atas 3,00. Jenis dan kualitas tenaga tersebut seyogianya diperoleh berdasarkan analisis karakteristik pekerjaan yang akan ditangani yaitu jenis mata kuliah yang masih kurang atau belum ada tenaga dosen pengasuhnya. Kemudian analisis SWOT/SWAA akan menentukan apakah kebutuhan tersebut dapat dipenuhi sendiri atau harus memanfaatkan peluang yang ada di luar lembaga. Tindakan ini dilanjutkan dengan seleksi calon pegawai. Rangkaian kegiatan rekrutmen yang relatif panjang tersebut berakhir dengan penempatan calon dosen pada bidang tugas yang sesuai dengan keahliannya. Schuller, Personal and Human. Keith Davis dan William B. Wether Jr., (1993), Human Resources and Personnel Management. New York: McGrow-Hill, Inc. 10 11
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
175
M. Natsir Luts
2.
176
Rekrutmen menjadi suatu langkah penting dalam MSDM kependidikan karena berhubungan dengan dua hal. Pertama, bila pengambil kebijakan melakukan kekeliruan pada tahap rekrutmen SDM, maka resiko yang segera terlihat ialah SDM itu tidak mampu berbuat maksiamal dalam menangani pekerjaan yang diserahkan kepadanya. Kedua, usaha peningkatan kualitas SDM melalui proses pengembangan sulit diharapkan mencapai target sebagaimana yang diinginkan semula, karena potensi SDM yang direkrut memang relatif rendah. Kedua dilema tersebut akan dihadapi terus menerus. Pengembangan Pengembangan personel (SDM yang dipekerjakan) menjadi suatu keharusan dalam MSDM, karena hal itu dapat meningkatkan kinerja personel yang bermuara pada meningkatnya kualitas dan kuantitas produk. Begitu pula pengembangan tenaga kependidikan (pendidik dan non pendidik) menjadi penting, sebab upaya tersebut dapat meningkatkan mutu proses layanan pendidikan yang kelak bermuara pada peningkatan mutu output pendidikan. Konsep pengembangan SDM mencakup beberapa langkah penting yaitu penilaian kinerja, analisis kebutuhan, perencanaan program dan implementasi program. Penilaian kinerja dimaksudkan untuk memahami kualitas kerja personel, dan penilaian kinerja tenaga pendidik dapat memberikan gambar mutu layanan yang diberikan tenaga pendidik tertentu. Hasil penilaian kinerja dibandingkan dengan standar kinerja, sehingga mungkin masih terlihat jarak yang disebut tingkat kebutuhan atau tidak ada lagi jarak antara keduanya. Tingkat kebutuhan secara umum ditetapkan berdasarkan analisis pekerjaan (job analysis) dan kebutuhan secara khusus didasarkan pada rank yang menjadi pembeda antara kinerja yang ditampilkan dengan kinerja yang diharapkan. Jarak yang masih membentang antara mutu layanan yang diamati dan standar mutu layanan merupakan tingkat kebutuhan nyata yang harus Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Sistem Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Islam Berwawasan Manajerial
3.
diantisipasi dengan berbagai program pengembangan. Analisis pekerjaan menghasilkan berbagai kebutuhan pada tingkat organisasi (organizational needs), kebutuhan pada jenis pekerjaan tertentu (job needs), dan kebutuhan perseorangan (personnal needs).12 Berbagai program pengembangan untuk meningkatkan kualitas SDM dapat direncanakan, tetapi perencanaan program pengembangan yang lebih efektif harus dilakukan dengan melihat berbagai jenis kebutuhan yang bersifat umum, maupun jenis kebutuhan yang lebih khusus pada pelaksanaan tugas personel. Hal ini menjadi penting karena konsep dasar training memiliki tujuan utama untuk mendukung kesuksesan pelaksanaan tugas personel.13 Pencapaian tujuan program pengembangan hanya dimungkinkan manakala program pengembangan direncanakan dengan pendekatan yang tepat. Konsep pendekatan yang ditawarkan dan patut untuk dipertimbangkan mencakup efisensi pembiayaan, isi program yang dibutuhkan, fasilitas yang dapat dimanfaatkan, kapabilitas peserta, kapabilitas instruktur, dan prinsipprinsip pembelajaran.14 Perencanaan program pengembangan SDM hanya akan bermakna positif setelah ditindaklanjuti dengan aktivitas implementasi program sebagaimana yang direncanakan. Hakikat keberhasilan suatu program pengembangan hanya akan terlihat setelah program pengembangan diikuti dengan langkah pendayagunaan SDM. Pendayagunaan Pendayagunaan kembali (redeployment) SDM yang telah selesai mengikuti program pengembangan dimaksudkan untuk mengefektifkan sumber daya organisasi (kependidikan). Kinerja
Davis dan Wether Jr., Human Resources. James S. Pepitone, (1995). Future Training: A Roadmap for Restructuring the Training Function. Texas: Add Vantage Learning Press. 14 Davis dan Wether Jr., Human Resources. 12
13
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
177
M. Natsir Luts
SDM setelah mengikuti program pengembangan dipersepsikan akan lebih baik dari kinerja sebelum mengikuti program pengembangan. Suatu organisasi (lembaga pendidikan) yang diharapkan memetik hasil program pengembangan SDM, mutlak harus melakukan langkah pendayagunaan SDM. Selain untuk memetik hasil program pengembangan SDM yang menelan biaya dalam jumlah besar, pendayagunaan SDM pun merupakan peluang untuk melihat tingkat keberhasilan program pengembangan yang telah dilakukan. Program pengembangan yang dirancang dengan target tertentu, direncanakan berdasarkan analisis kebutuhan yang didasarkan pada penilaian kinerja. Oleh karena itu, pendayagunaan SDM merupakan suatu keharusan agar diperoleh kesempatan untuk melakukan penilaian kinerja kembali. Hasil penilaian kinerja ini memberikan gambaran tingkat keberhasilan program dan gambaran tentang tingkat kebutuhan pengembangan berikutnya. Beberapa kasus yang terlihat dalam kehidupan organisasi (lembaga pendidikan tinggi) bertolak belakang dengan konsep tersebut. SDM yang sudah selesai mengikuti program pengembangan (S3, S2, dan/atau pelatihan lainnya) seringkali tidak dimanfaatkan. Mereka dibiarkan terlantar begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Hanya alasan yang tidak rasional saja yang dimiliki pembuat kebijakan (decision maker) untuk bertindak gegabah—tidak melakukan pendayagunaan SDM secara proporsional. Sikap gegabah yang didasarkan kepada pemikiran win-lost bukan win-win solution dalam membuat kebijakan kependidikan memberi dampak tidak menguntungkan bagi peningkatan mutu layanan pendidikan. Studi yang dilakukan Luts menemukan beberapa hasil kebijakan yang tidak menguntungkan bagi peningkatan mutu layanan di perguruan tinggi. 15 Temuan M. Natsir Luts, (1997), Strategi Pengembangan Dosen di fAIN STS Jambi. Jambi: Proyek Pengembangan IAIN. 15
178
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Sistem Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Islam Berwawasan Manajerial
tersebut berkaitan dengan penyimpangan konsep pendayagunaan dosen seperti terlihat adanya dosen dengan jabatan fungsional “guru besar” yang dijadikan asisten, sementara dosen dengan jabatan “lektor muda” melaksanakan tugas secara mandiri pada mata kuliah yang sama. Ada dosen dengan kemampuan akademik magister dijadikan asisten bagi DLB yang direkrut dari kalangan administrasi, pada hal DLB tersebut tidak memiliki kewenangan mengajar di perguruan tinggi. Dosen yang memiliki keahlian tertentu ditugaskan mengasuh mata kuliah yang bukan keahliannya, sementara mata kuliah yang sesuai dengan keahlian dosen tersebut dibebankan kepada dosen lain. Kasus yang seirama juga ditemukan pada pendayagunaan dosen dalam pelaksanaan tugas membimbing penulisan skripsi. Dosen yang mempunyai keahlian bidang syariah ditunjuk membimbing penulisan skripsi mahasiswa jurusan pendidikan. Dosen yang tidak mengerti analisis statistik ditugaskan untuk mengevaluasi (menguji) skripsi mahasiswa yang membahas permasalahan dengan pendekatan statistik. Resiko dari berbagai kebijakan yang tidak tepat tersebut ialah tampilnya kinerja dosen yang relatif rendah dalam pelaksanaan tugas. Kerugian yang sangat fatal akan terjadi jika kekeliruan tindakan manajerial dilakukan pembuat kebijakan pada tahap awal penanganan sumber daya manusia yaitu pada fase rekrutmen. Pemikiran rekrutmen yang tidak didasarkan pada kepentingan organisasi (lembaga pendidikan) dapat mendorong pembuat kebijakan melakukan tindakan yang bersifat KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Kebijakan manajemen pada era orde baru di Indonesia—termasuk dalam dunia pendidikan Islam—banyak yang tidak menguntungkan secara kelembagaan karena diwarnai oleh pemikiran dan kehendak “KKN-isme”. Kebijakan seperti itu di dunia pendidikan justru merugikan pengguna (user) jasa kependidikan yaitu peserta didik, orang tua, bahkan masyarakat luas. Studi lapangan yang dilakukan di perguruan tinggi menemukan beberapa ekses dari kekeliruan oleh pembuat kebijakan pada tahap Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
179
M. Natsir Luts
rekrutmen.16 Baik pada tingkat institut maupun pada tingkat fakultas atau jurusan, ditemukan kejanggalan berupa penempatan personel yang tidak tepat pada posisi (jabatan struktural) tertentu. Ekses kekeliruan yang sama juga terlihat ketika merekrut tenaga pengajar (dosen) luar biasa. Kenyataan yang terjadi adalah bahwa guru Sekolah Dasar, tenaga administrasi dari berbagai instansi, tenaga administrasi di lingkungan perguruan tinggi sendiri, dan alumni yang baru tamat direkrut menjadi tenaga pengajar. Mereka itu adalah SDM yang tidak memiliki kewenangan mengajar di perguruan tinggi. Akhirnya user menanggung semua resiko yang disebabkan kekeliruan manajerial yang dilakukan pembuat kebijakan. Mutu layanan pendidikan oleh SDM yang tidak memiliki kewenangan, ternyata relatif rendah. Bagaimanakah mungkin dapat tercipta proses pembelajaran yang bermutu (efektif), bila tanggung jawab untuk melakukan kegiatan pembelajaran tersebut diserahkan kepada SDM yang tidak memiliki kewenangan. Apakah mungkin suatu lembaga pendidikan mampu menghasilkan out-put pendidikan yang bermutu, manakala proses pendidikan (pembelajaran) yang dilalui tidak bemutu. Pengelola satuan pendidikan tidak dapat menutup mata terhadap berbagai ekses tersebut. Manager memikul tanggung jawab penuh untuk melakukan pendekatan manajerial guna meminimalkan permasalahan. Semangat reformasi sekarang ini menyuarakan tuntutan agar pemerintah—termasuk pembuat kebijakan bidang pendidikan— bertindak jujur dan bersih dari unsur KKN. Sepintas lalu terkesan tuntutan tersebut merupakan beban yang berat untuk dipikul, tetapi sesungguhnya tidak demikian. Sudut pandang manajemen melihat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang mudah dilakukan, karena cara pemecahannya telah terpola dalam konsep manajemen SDM. Persoalannya sekarang sangat tergantung kepada iktikad baik (good will) dan keberanian membuat terobosan. Pandangan jauh ke depan untuk menatap dunia luar dengan visi yang jelas dan M. Natsir Luts, (1998), Manajemen Pengembangan Dosen: Studi Kasus pada IAIN STS di Jambi. Disertasi, PPS IKIP Bandung. 16
180
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Sistem Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Islam Berwawasan Manajerial
akuntabilitas vertikal yang mantap merupakan pegangan utama para decision maker pendidikan.
III.Penutup Berbagai sumber menyatakan bahwa konsep mutu yang melekat pada produk menyangkut dengan kepuasan konsumen atau pencapaian standar tertentu yang disepakati. Produk bermutu tinggi hanya mungkin lahir jika diawali suatu proses yang efektif, sementara proses yang efektif tersebut bergantung pada mutu sumber daya yang terlibat dalam proses melahirkan produk. Rumusan ini berlaku umum, baik dalam organisasi yang profit maupun organisasi non-profit. Konsep manajemen SDM menjelaskan bahwa peningkatan kinerja organisasi dimulai dengan peningkatan kinerja personel yang menjadi tanggung jawab seorang pemimpin. Tiga langkah penting pendekatan manajemen SDM yang berhubungan erat dengan kinerja personel bahkan menentukan kinerja organisasi (lembaga pendidikan) mencakup rekrutmen, pengembangan, dan pendayagunaan SDM. Kerugian yang paling fatal akan dialami jika kekeliruan manajerial dilakukan pada tahap rekrutmen. Sehubnngan dengan itu, disarankan kepada pihak pemimpin lembaga atau pembuat kebijakan agar melakukan pendekatan manajerial—mencakup rekrutmen, pengembangan, dan pendayagunaan— dalam penanganan sumber daya pendidikan terutama penanganan SDM. Pendekatan pada tahap rekrutmen seyogiayanya dilakukan dengan pembuatan kebijakan yang berorientasi kepada mutu serta didasarkan kepada kepentingan lembaga dan menjauhkan dasar pertimbangan yang tidak rasional, karena pertimbangan terakhir tidak pernah teruji keampuhannya. Pertimbangan kebijakan yang irrational tidak pernah menghasilkan kinerja organisasi yang berkualitas tinggi. Upaya pendekatan manajerial berikutnya yang perlu dicermati adalah melakukan pengembangan SDM (tenaga kependidikan) dengan pendekatan strategik. Perencanaan program pengembangan Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
181
M. Natsir Luts
berdasarkan kepada tingkat kebutuhan nyata yang diperoleh dari hasil penilaian kinerja SDM. Selain itu, implementasi program pengembangan SDM harus mempertimbangan efisiensi pembiayaan, isi program yang dibutuhkan, fasilitas, kapabilitas peserta, kemampuan infrastruktur, dan prinsip-prinsip pembelajaran. Pendekatan berikutnya yang sangat patut mendapat perhatian adalah pendayagunaan tenaga pendidikan, khususnya yang telah mengikuti proses pengembangan. Pendayagunaan tenaga kependidikan yang didasarkan kepada kompetensi dan kewenangan yang dimiliki. Upaya ini menjadi penting karena memberi makna kepada kebijakan sebelumnya (program pengembangan), disamping manfaat yang dapat diperoleh user secara kelembagaan. Satu bahan pertimbangan lainnya dalam melakukan reformasi administrasi pendidikan bahwa top manager harus dibantu oleh tenaga (SDM) yang memiliki kompetensi pada bidang tugasnya.
182
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Sistem Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Islam Berwawasan Manajerial
BIBLIOGRAFI Creech, Bill. (1996), Lima Pilar TQM (Terj.). Jakarta: Binarupa Aksara. Daft, Richard I.., (1986}, Organization Theory and Design. New York: West Publishing Company. Davis, Keith, and William B. Wether, Jr., (1993), Human Resources and Personnel Management. New York: McGrow-Hill, Inc. Depdikbud, (1991), Materi Pendidikan Program Akta Mengajar V. Jakarta: Proyek Pengembangan Instusi Pendidikan Tinggi. Dirjen Dikti. Dubrin, Andrew J., (1990), Essential of Management, Cincinati: SouthWestern Publishing Co. Hersey, Paul and K.H.Blanchard, (1993), Management of Organization Behavior: Utilizing Human Resources. New Jersey: Prentice-Hall Int. Hough, J.R., (1994), Educational Policy: an International Survay. New York: St. Marti’s Press. Luts, M. Natsir, (1997), Strategi Pengembangan Dosen di fAIN STS Jambi. Jambi: Proyek Pengembangan IAIN. Luts, M. Natsir, (1998), Manajemen Pengembangan Dosen: Studi Kasus pada IAIN STS di Jambi. Disertasi, PPS IKIP Bandung. Pepitone, James S., (1995). Future Training: A Roadmap for Restructuring the Training Function. Texas: Add Vantage Learning Press. Sallis, Edward, (1993), Total Quality Management in Education. London: Kogan Page. Schuller.Randal S., (1987), Personal and Human Ressources Management. New York: West Publishing Company. Tilaar, H.A.R., (1992), Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
183