TIM REDAKSI Penanggung Jawab
: Ir. Edy Muhammad
Ketua
: Drs. H. A.Charris Zubair, M.A. RM. Donny S. Megananda, S.Si, M.B.A.
Pemimpin Redaksi
: Ir. Eka Arnawati, M.T., M.T.P.
Sekretaris
: Teguh Setiawan, S.T., M.Eng., M.Sc.
Redaktur Pelaksana
: Ike Janita Dewi, S.E., M.B.A., Ph.D. Ir. Suparwoko, MURP, Ph.D. Dra. Sri Adiyanti Affrio Sunarno, S.Sos. Pamungkas, S.T., M.T. Maria Herdwi Widyaningsih, S.T.
Tataletak dan Perwajahan
: Budhi Santoso, S.T. Purwanta
PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA KANTOR BAPPEDA
Kompleks Balaikota Timoho Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55156 Tlp. (0274) 515 207 Fax. (0274) 55 44 32 Email:
[email protected] [email protected] Website: www.jogjakota.go.id
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
DAFTAR ISI BUDIDAYA JAMUR MENGGUNAKAN KUMBUNG OTOMATIS UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA SEBAGAI KETAHANAN EKONOMI WILAYAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Oleh: Cyrilla Indri Parwati & Maulana Subhan .......................................................................................................... 4 MODEL PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEMANDIRIAN USAHA (SURVEY PADA USAHA JAJANAN KOTA YOGYAKARTA) Oleh: Mudasetia & Evi Rosalina Widyayanti ............................................................................................................. 13 E-MUSEUM SEBAGAI MEDIA MEMPERKENALKAN CAGAR BUDAYA DI KALANGAN MASYARAKAT Oleh: Suraya & Muhammad Sholeh ........................................................................................................................... 24 STRATEGI PENGELOLAAN KEGIATAN PKK DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA BERBASIS MASYARAKAT WILAYAH RW DI KECAMATAN KRATON DAN GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA Oleh: Ir. Rini Dorojati, M.S., Rr. Leslie Retno Angeningsih M.Sc., Ph.D., Dra. Nuraini Dwi Astuti, M.P. ............... 33 RANCANG BANGUN DAPUR PELEBUR ALUMINIUM BERBAHAN BAKAR PADAT YANG LEBIH HEMAT ENERGI DAN LEBIH RAMAH LINGKUNGAN Oleh: Joko Winarno .................................................................................................................................................... 41 MODEL PENGEMBANGAN SOCIO-PERFORMANCE LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) SEBAGAI USAHA PENINGKATAN KUALITAS EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT DI KOTA YOGYAKARTA Oleh: Dewi Kusuma Wardani, Sri Hermuningsih ..................................................................................................... 49 OPTIMALISASI DAN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI RUMAH TANGGA Oleh: Ir. Wiwik Handajadi, M.Eng. & Beny Firman, S.T., M.Eng. ........................................................................... 58 MODEL MANAJEMEN STRATEGIK BERBASIS BALANCED SCORECARD SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) KOTA YOGYAKARTA Oleh: Dra. Suci Utami Wikaningtyas, MM, Dra. Sulastiningsih, MSi., Drs. Achmad Tjahjono, MM, Ak. ................ 67 PENINGKATAN NILAI EKONOMIS LIMBAH KULIT UDANG MENJADI KITOSAN DENGAN GELOMBANG ULTRASONIK UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT Oleh: Ani Purwanti, S.T., M.Eng. & Sri Rahayu Gusmarwani, S.T., M.T. ................................................................. 77 KAMPUNG WISATA ONLINE BERBASIS SIG SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI WARGA DALAM MENGELOLA DAN MEMPROMOSIKAN PARIWISATA KOTA YOGYAKARTA Oleh: Drs. Tedy Setiadi, M.T. & Herman Yuliansyah, S.T.,M.Eng ............................................................................. 85 PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI TAHU BERBASIS KOMUNITAS DI BANTARAN SUNGAI WINONGO KELURAHAN WIROBRAJAN KECAMATAN WIROBRAJAN YOGYAKARTA Oleh: Suharyanto, Hastowiyono, Muhammad Barori................................................................................................. 92 PERAN ASRAMA MAHASISWA DALAM MEMBANGUN INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA TERWUJUDNYA KUALITAS MASYARAKAT YOGYAKARTA YANG HARMONIS Oleh: Fadjarini Sulistyowati & Tri Agus Susanto .................................................................................................... 100 TATA KELOLA PROSES DAN PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK JUMPUTAN KAMPUNG CELEBAN YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA EFISIENSI DAN PENINGKATAN DAYA SAING PRODUK Oleh: Purnawan ........................................................................................................................................................ 108 ANALISIS PENDAPATAN USAHA PERDAGANGAN INFORMAL (STUDI PADA USAHA PEDAGANG ANGKRINGAN DI KOTA YOGYAKARTA) Oleh: Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si., Tina Sulistiyani, SE, M.M., Deny Ismanto, SE, M.M. .............................. 117
2
SALAM REDAKSI Assalamu’alaikum Wr. Wb. Tema penelitian dalam Jurnal Penelitian Volume 11 kali ini adalah “Peningkatan daya saing dan ketahanan ekonomi wilayah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat”. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan tambahan wawasan baik bagi pemerintah maupun masyarakat yang tertarik akan hasil penelitian ini. Jurnal Penelitian ini merupakan sarana pemberian informasi dan komunikasi yang dibentuk oleh Bappeda Kota Yogyakarta dalam wadah jaringan penelitian di Kota Yogyakarta. Dengan terbitnya Jurnal Penelitian ini diharapkan para pembaca dapat ikut serta dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang diselenggarakan setiap tahunnya oleh Jaringan Penelitian (Jarlit) Kota Yogyakarta, akhirnya semoga hasil penelitian ini dapat lebih bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Redaksi
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
BUDIDAYA JAMUR MENGGUNAKAN KUMBUNG OTOMATIS UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA SEBAGAI KETAHANAN EKONOMI WILAYAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Oleh: Cyrilla Indri Parwati & Maulana Subhan
ABSTRACT Improving the welfare of society, especially among households is very important. One way of improving the welfare is by mushroom cultivation. Mushroom cultivation does not require a large space and is not costly. This research uses the “kumbung” that can work automatically in controlling the temperature and humidity needed by the fungus to keep blooming and growing. Based on the research, the mushroom’s growing environment is about 30.34ºC temperatures and 81.49% humidity. Mushroom yields obtained from the automatic kumbung with dimensions 120cm200cm50cm (highlongwide) with 3 shelves of growing media can reach about 10-12 kg of mushroom for each harvest period ( 10-12 days), and for 3 times of harvest period in a month, then 1 automatic kumbung with a size above is able to provide results from Rp 750.000 to Rp 900.000 per month if the price of the edible mushroom in Yogyakarta is around Rp 25.000/kg and the value of BEP (Break Even Point) is Rp. 10.343.574,13 or 11.5 months of pay-back period. Keywords: cultivation, mushroom, automatic kumbung, BEP.
A. Pendahuluan Peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di kalangan rumah tangga sangat penting dilakukan. Salah satu cara peningkatan kesejahteraan tersebut dengan berbudidaya jamur salah satunya jamur merang. Budidaya jamur merang dapat memberikan lebih banyak kesempatan usaha dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat secara umum (Hagutami, 2001). Selain dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, budidaya jamur merang juga mempunyai nilai gizi yang tinggi, mineral yang terkandung dalam jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terkandung dalam daging sapi dan domba. Kandungan protein jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein pada tumbuhan lain secara umum (Gengers, 1982). Selama ini sistem budidaya jamur dilakukan dengan memanfaatkan kumbung yang kapasitasnya besar, sehingga tidak efektif bila dilakukan di lingkungan perkotaan yang lahannya sempit. Konsep pemakaian kumbungpun kurang sesuai jika tanpa memperhatikan suhu dan kelembabannya karena adanya pengaruh lingkungan luar kumbung yang nilai adiabatisnya sangat kurang, sehingga akan mengakibatkan kegagalan dalam panen. Untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam budidaya jamur merang ini dilakukan penelitian untuk membuat suatu pengkondisian suhu dan kelembaban kumbung jamur secara otomatis, sehingga dapat meningkatkan produksi. Pada penelitian ini digunakan jamur merang, dengan sistem pembuatan kumbung jamur merang secara otomatis yang memperhatikan kondisi suhu (temperatur) dan kelembaban relatif (relative humidity) akan menunjang tumbuhnya jamur merang dengan baik sehingga akan memperoleh hasil yang optimal. Selain itu dengan adanya kumbung otomatis budidaya jamur merang tidak membutuhkan lahan yang luas serta tidak membutuhkan modal yang besar dan jika memahami prosedur pemeliharaan maka tingkat kegagalannya relatif kecil. Dengan usia panen rata–rata 2 minggu semenjak tanam dan pemeliharaan yang optimal akan cepat menghasilkan keuntungan.
B. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang dan membuat teknologi kumbung otomatis dengan mempertimbangkan perubahan suhu dan kelembaban sehingga dapat digunakan dalam lingkungan yang tidak memerlukan lahan yang luas. Mengetahui unjuk kerja kumbung otomatis budidaya jamur merang dan kelayakan alat kumbung otomatis berdasarkan BEP (Break Even Point). Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan bagi masyarakat awam mengenal adanya rekayasa teknologi berupa kumbung jamur merang otomatis yang dapat memberikan solusi untuk kesejahteraan masyarakat dan 4
memberikan gambaran secara nyata tentang budidaya jamur merang menggunakan kumbung otomatis untuk lahan yang terbatas serta mengetahui nilai kelayakan kumbung otomatis berdasarkan nilai BEP (Break Even Point).
C. Tinjauan Pustaka 1. Budidaya Jamur Merang Kebutuhan dan kesadaran masyarakat terhadap bahan makanan bergizi semakin meningkat, yang disebabkan oleh membaiknya pemahaman masyarakat tentang makanan bergizi bagi kesehatan. Kondisi ini ditunjang pula dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk pertanian seperti jamur merang (Volvariella volvaceae), selain itu ditambahkan bahwa mineral yang terkandung dalam jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terkandung dalam daging sapi dan domba. Kandungan protein jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein pada tumbuh–tumbuhan lain secara umum (Gengers,1982). Masa panen budidaya jamur merang relatif singkat, yaitu sekitar satu bulan sampai dengan tiga bulan sehingga perputaran modal yang ditanam pada usaha ini berlangsung cukup cepat. Selain itu, bahan baku untuk produksi jamur merang relatif mudah didapat, dan pengusahaannya tidak membutuhkan lahan yang luas. Oleh sebab itu, komoditas jamur merang ini dapat memberikan lebih banyak kesempatan kerja dalam upaya peningkatkan ekonomi masyarakat petani, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani secara umum (Hagutami, 2001). Kebutuhan jamur merang di pasaran luar negeri yang semakin meningkat menyebabkan budidaya jamur merang mempunyai prospek yang cukup cerah. Singapura misalnya, membutuhkan 100 ton jamur merang setiap bulan dan Malaysia membutuhkan jamur merang sekitar 15 ton tiap minggunya (Sinaga, 2001). Di Indonesia jamur merang mempunyai prospek sangat baik untuk dikembangkan, baik untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Kebutuhan jamur merang di pasaran dalam negeri mempunyai prospek yang sangat cerah. Kebutuhan di Bandung, dan sekitarnya rata-rata 15 ton setiap harinya (Sinaga, 2001). Kebutuhan jamur merang untuk kota Denpasar berkisar 500 kg tiap hari, sedangkan produksi jamur merang yang dihasilkan di Denpasar dan Bandung hanya 300 kg tiap hari (Hagutami, 2001). Setiap jenis jamur memerlukan syarat tumbuh yang berbeda-beda. Jamur merang merupakan jamur yang tumbuh di daerah tropika dan membutuhkan suhu dan kelembaban yang cukup tinggi berkisar antara 30ºC sampai dengan 38ºC dalam krudung atau kumbung (Agus, 2002). Kelembaban relatif yang diperlukan adalah berkisar antara 80% sampai dengan 85% serta kebutuhan akan pH media tumbuh berkisar antara pH 5,0 sampai dengan pH 8,0 (Sinaga, 2001). Kebanyakan jenis jamur lebih toleran pada keadaan pH masam daripada pH basa (Wirakusuma, 1989). Budidaya jamur merang terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap sterilisasi media tanam dari segala macam bakteri dan parasit yang dikenal dengan tahap pasteurisasi dan tahap pemeliharaan atau pembudidayaan jamur pada media tanam. Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya jamur, media kompos dipanaskan dengan keadaan ruang kumbung jamur tertutup rapat. Proses pemeliharaan adalah proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak, artinya pada masa ini jamur harus benar–benar dirawat dan dijaga (Hagutami, 2001). Manfaat yang diperoleh dari budidaya jamur ditinjau dari sisi kesehatan terkait pada nilai kandungan gizinya. Walaupun tidak setinggi protein hewani seperti ikan atau telur, tetapi kandungannya hampir sebanding dengan protein susu, jagung atau kacang–kacangan dan lebih tinggi dari protein sayur daun, sayuran berumbi atau wortel dan buah–buahan. Selain mengandung protein, pada jamur seperti jamur merang juga mengandung beberapa vitamin penting untuk kesehatan. Walaupun tidak mengandung vitamin A, tetapi kandungan ribovlamin, tiamin dan asam nikotinnya cukup tinggi, juga kandungan kalsium dan fosfornya tinggi, sedangkan kalori dan kolesterolnya rendah sehingga seringkali jamur dikatakan sebagai makanan pelangsing (Agus, 2002).
2. Sistem Kumbung Otomatis Supaya kumbung bisa dikendalikan kondisi lingkungannya, dibutuhkan perangkat elektronis yang akan mengatur kerja dari sistem pengkondisi yang digunakan, misalnya pemanasan–pendinginan–pengembunan. Piranti elektronis pada kumbung tersusun menjadi beberapa bagian, yaitu sensor yang terdiri dari sensor suhu dan sensor kelembaban. Sensor suhu akan mengukur suhu ruang dalam kumbung dan data hasil pengukuran oleh sensor akan dikirim menuju unit pengendali utama untuk diolah lebih lanjut dalam menentukan aksi berikutnya. Sensor kelembaban akan mengukur tingkat kandungan air dalam udara baik nilai absolutnya maupun nilai relatifnya. Aktuator berfungsi sebagai media pengkondisi ruang kumbung. Unit ini terdiri dari perangkat pemanas yang berguna untuk menaikkan suhu media tanam kompos jika suhu pada media tanam kompos jatuh pada nilai kritis. Unit pendingin atau pengering berfungsi untuk mendinginkan atau mengeringkan udara pada ruang kumbung
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 jika suhunya melebihi nilai kritis dan atau kelembabannya melebihi nilai kritis. Unit pengembunan berfungsi untuk menaikkan nilai kelembaban relatif (RH) dari ruang kumbung jika terjadi penurunan nilai kandungan air di udara akibat pengaruh suhu. Pengendali utama menggunakan Mikrokontroler ATMega 8535L sebagai (otak) pengendali utama, mikrokontroler AVR ini menggunakan teknologi RISC semua instruksi berukuran 16 bit sebagian besar dieksekusi dalam 1 siklus clock (Wardhana, 2006). Penampil berfungsi untuk menampilkan nilai dari hasil pengukuran sensor terkini, baik suhu maupun kelembaban. Adapun penampil yang digunakan adalah LCD Display. Karena LCD Display merupakan salah satu media yang digunakan sebagai penampil pada sistem berbasis mikrokontroler (Wasito, 2004).
3. Analisa Kelayakan Usaha Suatu usaha yang akan dijalankan diharapkan dapat memberikan penghasilan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pencapaian tujuan usaha harus memenuhi beberapa kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika diihat dari segi bisnis, suatu usaha sebelum dijalankan harus dinilai pantas atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya layak atau akan memberikan keuntungan dan manfaat yang maksimal (Virjilius, 2007). Salah satu penilainya adalah dengan mencari nilai Break Even Point (BEP). BEP merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk menemukan satu titik yang menunjukkan biaya atau satuan lain yang dikeluarkan suatu perusahaan sama dengan pendapatan perusahaan (Subagyo, 2007). Analisis ini mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume. BEP akan muncul dalam suatu perusahaan jika perusahaan mempunyai biaya variabel dan biaya tetap. BEP menyatakan volume penjualan dimana total penghasilan tepat sama besarnya dengan total biaya, sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan dan juga tidak menderita kerugian (Kasmir, 2009).
D. Metodologi Penelitian Rancangan sistem dalam penelitian ini merupakan disain low cost yang berorientasi pada disain sederhana namun memiliki tingkat keakurasian tinggi yang dapat mengukur dan mengendalikan suhu dan kelembaban secara otomatis.
DISPLAY PEMANTAU VISUAL
Pengkondisi Udara SENSOR SUHU & KELEMBABAN
Pengendali Utama (mikroprosesor)
Kipas Pengembun
DI DALAM KUMBUNG
Gambar 1. Blok Diagram Elektronik Pengendali Sistem Kumbung Langkah–langkah penelitian yang dilakukan melalui tahap–tahap sebagai berikut: 1.
2.
6
Survei Lokasi, dilakukan untuk mencari data awal yang dilakukan pada proses pembuatan kumbung otomatis budidaya jamur dengan mengambil data suhu dan kelembaban yang terjadi pada model kumbung jamur tradisional milik para petani yang sudah terbukti mampu menghasilkan panen jamur dengan hasil maksimal. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan perubahan suhu dan kelembaban tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam pengaturan alat, baik waktu, suhu, dan kelembaban untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Data pengamatan dilakukan pada 3 waktu yang berbeda yaitu pagi, sore dan malam. Riset Perangkat, dilakukan setelah ide dasar penelitian diperoleh, kemudian dengan menganalisis karakteristik kerja dan kesesuaian dari tiap–tiap komponen pendukung ide perancangan sehingga diperoleh rancangan awal yang mantap dan optimal baik dari segi mekanis, elektronis maupun ergonomisnya.
3.
4.
5.
6.
7.
Desain dan Simulasi Sistem, berdasarkan hasil dari riset perangkat yang telah dievaluasi, dilanjutkan dengan desain sistem yang mencakup desain mekanis, elektronis dan perangkat lunaknya. Desain mekanis dilakukan dengan target optimalisasi dimensi fisik (panjang, lebar, tinggi) dari alat yang dirancang menggunakan piranti perangkat lunak AUTOCAD®, disain elektronis dilakukan dengan target pemilihan komponen yang tepat ditinjau dari penggunaan daya yang rendah dan reliabilitas terhadap kondisi lingkungan yang baik serta penerapan komponen pada papan tercetak (PCB) menggunakan piranti perangkat lunak DIPTRACE®, dan disain perangkat lunak dengan target pemilihan algoritma pengendalian yang tepat menggunakan piranti perangkat lunak BASCOM®. Tahapan simulasi hanya bisa dilakukan pada hasil disain elektronis dan pada hasil disain perangkat lunak. Untuk simulasi elektronis menggunakan piranti perangkat lunak MULTISIM® yang menganalisa konsumsi daya dan karakteristik elektronisnya. Untuk menguji algoritma pengendalian oleh mikrokontroler digunakan piranti perangkat lunak BASCOM® SIMULATOR. Uji Parsial Sistem, pengujian secara parsial pada sistem yang telah direalisasikan secara utuh akan membantu untuk melokalisasi kesalahan saat terjadi kesalahan pada waktu realisasi karya, sehingga dari pengujian–pengujian parsial pada bagian–bagian sistemnya akan bisa diketahui secara detail letak kesalahan yang terjadi. Pengujian Terakhir, dipastikan secara uji parsial tidak terdapat kesalahan maka selanjutnya dilakukan pengujian menyeluruh terhadap sistem sebagai tahap terakhir untuk mengetahui kerja dari alat penelitian apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan. Kombinasi pola kerja dari alat bisa dicari dengan mengubah perangkat lunak mikrokontroler hingga diperoleh hasil yang terbaik. Tahap Budidaya Jamur, pada proses budidaya jamur terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap sterilisasi media tanam dari segala macam bakteri dan parasit yang dikenal dengan tahap pasteurisasi dan tahap pemeliharaan atau pembudidayaan jamur pada media tanam. Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya jamur, media kompos dipanaskan dengan keadaan ruang kumbung jamur tertutup rapat. Proses pemeliharaan adalah proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak, artinya pada masa ini jamur harus benar–benar dirawat dan dijaga. Analisis Kelayakan Usaha, dilakukan dengan menghitung nilai BEP (Break Even Point) apakah usaha tersebut layak dilakukan atau tidak.
E. Hasil Penelitian Pengambilan data suhu dan kelembaban kumbung petani yang sudah terbukti mampu menghasilkan panen jamur dengan hasil maksimal pada 3 waktu yang berbeda, yaitu pagi, sore dan malam digunakan untuk menganalisa data suhu dan kelembaban yang akan digunakan pada pengendali elektronis, sehingga suhu dan kelembaban pada kumbung hasil perancangan bekerja secara otomatis atau adaptif. Hasil pengumpulan suhu pada kumbung petani pada pagi, siang, sore dan malam hari rata–rata suhunya antara 29ºC sampai 34ºC. Sedangkan kelembaban yang terjadi antara 67% sampai 79%. Sistem elektronis sebagai pengendali utama dari kumbung akan melakukan 2 tahapan dalam setiap kali siklus budidaya jamur, yaitu tahap pasteurisasi dan tahap pemeliharaan. Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya jamur dan proses pemeliharaan adalah proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak. Proses ini menggunakan pemanas air. Penggunaan pemanas air bertujuan untuk memperoleh uap panas hasil dari pemanasan air yang dilakukan oleh pemanas air. Proses ini berlangsung selama 5 jam. Media kompos dipanaskan dengan keadaan ruang kumbung jamur tertutup rapat. Suhu pada proses ini dikondisikan antara 50ºC sampai 60ºC, dengan kelembaban mencapai 100%. Apabila suhu naik mencapai 60ºC maka pemanas air akan dipadamkan, dan apabila suhu turun mencapai 50ºC maka pemanas air dihidupkan lagi. Tahap selanjutnya adalah proses pemeliharaan, artinya pada masa ini jamur harus benar–benar dirawat dan dijaga. Pada masa ini suhu dan kelembaban jamur harus dikondisikan, yaitu suhu dalam kumbung jamur dijaga antara 28ºC sampai 32ºC dan kelembabannya antara 80% sampai 90%. Proses ini akan berlangsung selama 12 hari atau 288 jam. Apabila proses telah mencapai waktu sekian, maka semua aktuator akan dipadamkan. Kumbung dalam penelitian ini terbuat dari bahan adiabatis dari kayu jati, harapannya dengan bahan adiabatis kondisi di luar kumbung tidak bisa mempengaruhi kondisi di dalam kumbung sehingga iklim yang dibutuhkan jamur untuk tumbuh secara optimal bisa dikendalikan sepenuhnya oleh sistem kumbung. Dimensi dari kumbung adalah (tinggipanjanglebar adalah 120cm200cm50cm). Dari kumbung otomatis ini diperoleh suhu rata–rata 28ºC sampai 32ºC sehingga kumbung ini layak untuk tumbuh kembang jamur merang. Sedangkan kelembaban yang diperoleh sebesar 80% sampai 82.7% sehingga dalam hal kelembabanpun layak untuk budidaya jamur merang.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Hasil perhitungan kelayakan usaha budidaya jamur merang menggunakan kumbung otomatis dengan dimensi kumbung seperti di atas adalah: Investasi (biaya tetap)
: Rp. 4.200.000,00
Biaya operasional per bulan
: Rp. 534.555,56
Penjualan jamur per periode
: Rp. 900.000,00
Keuntungan
: Rp. 365.444,44
Pay Back Period (titik balik modal/titik impas)
: 11,5 bulan
𝐵𝐸𝑃 (𝑄) =
𝐹𝑖𝑥𝑒𝑑 𝐶𝑜𝑠𝑡 4.200.000 = = 413,7 𝐾𝑔 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 − 𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐶𝑜𝑠𝑡 25.000 − 14.848,77
𝐵𝐸𝑃 (𝑅𝑝) =
8
𝐹𝑖𝑥𝑒𝑑 𝐶𝑜𝑠𝑡 4.200.000 = = 𝑅𝑝 10.343.574,13 14.848,77 𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐶𝑜𝑠𝑡 1− 1− 25.000 𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒
START
Int
Cek Jam
Heater Hidup
Tampilkan Suhu
tidak
Jika suhu >= 60oC ?
Cek Jam
ya Jika waktu >= 5 jam ?
Heater Mati
ya
Tampilkan Suhu
Jika suhu <= 50oC ? ya
tidak
tidak Cek Jam
Jika waktu >= 5 jam ? ya END
Gambar 2. Diagram Alir Pengendalian Proses Pasteurisasi
tidak
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 START
Int
Cek Jam
Tampilkan Suhu (T) dan Kelembaban (RH)
Jika T > 32 oC RH >80% ? ya
tidak
Jika T > 32 oC RH < 80% ?
SP off EX on
ya SP on EX on
tidak
Jika T < 32 oC RH < 80% ? ya SP on EX off
tidak
Jika T = 32 oC RH < 80% ? ya SP on EX off
tidak
Jika T = 32 oC RH > 80% ? ya
tidak
Jika T > 32 oC RH = 80% ?
SP off EX on
tidak
SP off EX off
ya SP off EX on
Cek Jam
Jika waktu >= 288 jam ?
tidak
ya END
Gambar 3. Diagram Alir Pengendalian Proses Pemeliharaan
F. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan Pada penelitian ini terdapat berbagai pengetahuan yang muncul selama proses. Pengetahuan tersebut bersifat baru atau memperbaiki yang sudah ada berdasarkan pelaksanaan perancangan selama proses penelitian.
10
Pengetahuan yang bersifat baru tertuang berupa kesimpulan, dan pengetahuan yang bersifat memperbaiki tertuang dalam bentuk rekomendasi. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: a. b. c.
Terciptanya teknologi tepat guna berupa kumbung otomatis untuk budidaya jamur merang dengan pengukur suhu dan kelembaban udara menggunakan sistem elektronik berbasis mikrokontroler. Suhu rata–rata dari alat ini di waktu pagi, siang, sore, dan malam adalah 30.34ºC dan kelembaban rata–ratanya adalah 81.49% sehingga alat ini sesuai dengan jangkauan kelayakan dikarenakan sudah sesuai dengan suhu dan kelembaban yang terjadi pada model kumbung jamur tradisional milik para petani jamur. Jamur merang hasil panenan dari kumbung otomatis hasil penelitian dengan dimensi (tinggipanjanglebar adalah 120cm200cm50cm) dengan 3 buah rak media tanam mencapai sekitar 10-12 kg jamur merang untuk setiap periode panen ( setiap 10 hari), dan dalam satu bulan bisa terjadi 3 kali periode panen, maka untuk 1 kumbung otomatis mampu memberikan hasil senilai Rp 750.000 hingga Rp 900.000 setiap bulan jika harga jamur merang dari petani di Yogyakarta sekitar Rp 25.000/kg dan nilai BEP (Break Even Point) nya Rp. 10.343.574,13 atau 11.5 bulan.
2. Rekomendasi Konsep penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang adanya suatu teknologi rekayasa dalam berbudidaya jamur, yaitu adanya suatu alat berupa kumbung otomatis untuk budidaya jamur pada industri rumah tangga dengan pengukur suhu dan kelembaban udara menggunakan sistem elektronik berbasis mikrokontroler. Adapun rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat adalah sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
Bagi Dinas Perindagkoptan penelitian ini bisa sebagai masukkan kepada masyarakat khususnya di wilayah Yogyakarta, kelompok PKK, rumah tangga bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan juga peningkatan kesejahteraan masyarakat, yaitu dengan berbudidaya jamur merang menggunakan kumbung otomatis, sehingga nantinya akan tercipta suatu usaha rumah tangga di bidang agribisnis. Bagi stakeholder budidaya jamur merang ini tidak memerlukan lahan yang luas akan tetapi dapat dilaksanakan di lingkungan rumah karena kumbung ini telah diatur suhu dan temperaturnya sesuai dengan suhu dan temperatur pada kumbung petani jamur tradisional yang masih menggunakan lahan pertanian dan telah terbukti mampu menghasilkan panen jamur dengan hasil maksimal. Berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha pada perhitungan nilai BEP (Break Even Point) sangat baik untuk dilakukan budidaya jamur dalam skala rumah tangga selain itu juga dapat meningkatkan gizi bagi masyarakat itu sendiri, karena dengan kumbung dimensi (tinggipanjanglebar adalah 120cm200cm50cm) dengan 3 buah rak media tanam mencapai sekitar 10-12 kg jamur merang untuk setiap periode panen ( setiap 10 hari), dan dalam satu bulan bisa terjadi 3 kali periode panen, maka untuk 1 kumbung otomatis mampu memberikan hasil senilai Rp 750.000 hingga Rp 900.000 setiap bulan jika harga jamur merang dari petani di Yogyakarta sekitar Rp 25.000/kg. Budidaya jamur merang ini sangat tepat bila dibudidayakan di wilayah Yogyakarta mengingat suhu yang dibutuhkan jamur merang untuk tumbuh berkisar antara 30.34oC dan kelembaban rata-ratanya adalah 81.49%.
Daftar Pustaka Agus, G.T.K., A. Dianawati, E.S. Irawan, & K. Miharja. (2002). Budidaya Jamur Konsumsi. Jakarta: Agromedia Pustaka. Gengers, R. (1982). Pedoman Berwiraswasta Bercocok Tanam Jamur. Bandung: Pionir Jaya. Hagutami. (2001). Budidaya Jamur Merang. Cianjur: Yapentra Hagutani. Kasmir. (2009). Studi Kelayakan Bisnis, Ed ke-2. Jakarta. Kencana Renada Media Group. Sinaga. (2001). Jamur Merang dan Budidayanya. Jakarta: Penebar Suadaya. S, Wasito. (2004). Vademekum Elektronika. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Subagyo. Ahmad. (2007). Studi Kelayakan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Wardhana. (2006). Belajar Sendiri Mikrokontroler Atmel AVR Seri ATMega8535 Simulasi, Hardware dan Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Wirakusuma, I P.G.A. (1989). Pengaruh Jenis Media dan Studi Benih Terhadap Pertumbuhan Miselia dan Produksi Jamur Merang. Denpasar: Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Virjilius. (2007). Studi Kelayakan Pabrik Bubuk Coklat di Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat. Kementerian Perindustrian Sekolah Tinggi Manajemen Industri. Jakarta.
12
MODEL PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEMANDIRIAN USAHA (SURVEY PADA USAHA JAJANAN KOTA YOGYAKARTA) Oleh: Mudasetia & Evi Rosalina Widyayanti1
ABTRACT As a city of tourism, culture, and education, Yogyakarta has many visitors who come for various purposes, One of their purposes is for trading and being a trader especially a traditional snack trader. Yogyakarta becomes a place for living, since it is considered as a potential place for trading, such as traditional snack trading. The great numbers of students and tourists are treir potential customers. Although it has admitted that some of those traditional snack are not good fot health, but this small business (small and medium enterprises SMEs) has an important role in Indonesian economic growth. Therefore, we should develop the empowermant of SMEs for decreasing the poverty in Indonesia. But the main problem is their paradigm for being satisfy easily on what they have reached, and it become an obstacle in their progress. Other obstacles are minimum qualified human resources and capital. Those obstacles should be solved by comprehensive micro business empowerment strategy, increasing the quality of human resources, and capitals, maximize the government roles, and creating partnership in order to compete and to be autonomous as a final result. Their progress will be a huge contribution in investment and economic growth in Indonesia. As the final goal it is expected to increase their responsible to their product and customers, and finally increase their ethical as businessman.
Keyword: micro business, human resources, government roles, capital, partnership, autonomous
A. Pendahuluan Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 km2 yang berarti 1,025% dari luas wilayah propinsi DIY (BPS, 2013). Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dan kota wisata dipenuhi oleh banyak pendatang dimana kota ini menjadi tujuan masyarakat dari berbagai daerah baik Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri maupun daerah lain di Indonesia. Sebagai tujuan perdagangan kota Yogyakarta sangat menjanjikan keuntungan bagi siapa saja yang berbisnis di kota ini. Tidak terlepas mereka para pelaku usaha mikro yang datang dari berbagai daerah asal. Untuk para pelaku usaha kecil memiliki target market yang cukup besar yaitu kepada mereka para wisatawan dan para pelajar dari tingkat dasar hingga menengah atas bahkan para mahasiswa di Yogyakarta. Melihat fakta dilapangan dengan tersedianya pasar yang menarik, kota Yogyakarta menjadi lahan yang cukup mengiurkan untuk mencari nafkah bagi para pendatang khususnya para pelaku usaha jajanan, mereka datang dari sekitar wilayah DIY maupun luar DIY yang notabennya adalah masyarakat menengah kebawah bahkan tergolong miskin. Dari permasalahan diatas dapat dirumuskan bahwa dalam penelitian ini akan diangkat mengenai bagaimana pelaku usaha mikro dapat menjadi pelaku usaha yang mandiri, faktor apa sajakah yang mempengaruhi? Faktor-faktor tersebut diharapkan akan dapat memberikan pengaruh terhadap upaya kemandirian usaha melalui pemberdayaan. Namun upaya membangun usaha bukan pekerjaan yang mudah. Faktor-faktor pengaruh harus dikembangkan agar usaha mikro dapat tetap eksis di pasar sasaran. Strategi pemberdayaan yang komprehensif dengan cara menumbuhkan iklim usaha yang kondusif, pembinaan dan pengembangan, pembiayaan dan penjaminan serta kemitraan perlu dilakukan secara simultan dalam upaya memperkuat lingkungan internal dan membentuk keunggulan bersaing. Banyak teori yang menekankan betapa pentingnya kualitas lingkungan internal dalam mengatasi persaingan dan menjamin kemandirian usaha mikro. Berdasarkan semua itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka mengupayakan kemandirian para pelaku usaha mikro, sehingga penelitian ini diangkat dengan judul “Model Pemberdayaan Usaha Mikro dan Pengaruhnya Terhadap Kemandirian Usaha (survey pada Usaha Jajanan Kota Yogyakarta)” Melalui beberapa faktor yang menjadi variabel penelitian dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut:
1
Peneliti pada STIE Widya Wiwaha Yogyakarta
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 1. 2. 3. 4. 5.
Apakah pemberdayaan melalui Faktor Sumber Daya Manusia akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro di kota Yogyakarta? Apakah pemberdayaan melalui Faktor Peran Pemerintah akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro di kota Yogyakarta? Apakah pemberdayaan melalui Faktor Modal Usaha akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro di kota Yogyakarta? Apakah pemberdayaan melalui Faktor Kemitraan akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro di kota Yogyakarta? Apakah keempat faktor (Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan) saling berpengaruh dan secara bersama-sama mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro di kota Yogyakarta?
B. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian a. b. c.
Melaksanakan salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Penelitian Mengetahui Variabel-variabel pemberdayaan yang diduga menjadi pengaruh terhadap Kemandirian Usaha Mikro di Kota Yogyakarta Membangun model Pemberdayaan usaha mikro yang lebih tepat dan baik pada penjual jajanan di Kota Yogyakarta. Model yang dihasilkan diharapkan mampu menjadi acuan dalam pemberdayaan bagi kemandirian usaha kecil sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan, khususnya di Kota Yogyakarta.
2. Manfaat Penelitian a. b. c. d. e.
Secara teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memperluas literature tentang variabelvariabel pengaruh terhadap kemandirian usaha kecil, dan peningkatan kualitas bagi pelaku usaha mikro di Kota Yogyakarta Secara aplikatif dalam penelitian ini dapat bermanfaat: Bagi pelaku usaha mikro yang tentu saja dapat langsung merasakan manfaatnya, Bagi pemilik modal baik itu individu maupun perbankan Bagi peneliti dapat membantu pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka Peningkatan Daya Saing dan Ketahanan Ekonomi Wlayah dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.
C. Tinjauan Pustaka Berdasarkan Undang-undang RI no 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dinyatakan dalam latar belakang bahwa pertama, Masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan undangundang dasar negara RI Tahun 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi. Kedua, Amanat ketetapan MPR RI No. XVI Tahun 1998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi, usaha mikro, kecil dan menengah perlu diberdayakan sebagai bagian integral dari sistem ekonomi kerakyatan dan ketiga, Pemberdayaan UMKM diselenggarakan secara mnyeluruh, optimal dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, kesempatan berusaha, dukungan dan perlindungan serta pengembangan usaha seluas-luasnya. Dalam Penelitian ini pemberdayaan akan sangat efektif melalui empat faktor utama yaitu Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan. Melalui keempat faktor tersebut diduga akan mewujudkan pemberdayaan usaha mikro sehingga diduga akan mampu menjadikan usaha mikro dapat lebih mandiri.
1. Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia atau Human Resources mengandung dua pengertian. Pertama adalah usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal lain SDM mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian kedua SDM menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai kegiatan ekonomis yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. (Sonny Sumarsono, 2003). Sumber Daya Manusia sangat tepat diterapkan dalam pemberdayaan usaha untuk penguatan internal dalam rangka penguatan ekonomi nasional Perhatian utama harus ditekankan pada penciptaan nilai tambah untuk meraih keunggulan kompetitif melalui pengembangan kapabilitas khusus (kewirausahaan), sehinggan usaha mikro tidak lagi mengandalkan strategi kekuatan pasar melalui monopoli dan fasilitas pemerintah. 14
2. Peran Pemerintah Peranan pemerintah dalam meningkatkan kualitas sarana produksi sangat diperlukan terutama untuk menciptkan iklim usaha yang kompetitif. Hill (1995) menyatakan bahwa kunci untuk membuat usaha kecil menjadi efisien dan dinamik adalah menciptkan iklim usaha yang kondusif tanpa membuat pelaku usaha terus bergantung pada bantuan- bantuan khusus pemerintah. Iklim usaha yang kondusif meliputi tersedianya saran transportasi dan komunikasi, fasilitas usaha yang menunjang, persaingan yang jujur, peraturan persaingan yang fair dan peraturanperaturan yang adil merupakan faktor yang sangat penting bagi pengembangan usaha kecil (Chew, 1996).
3. Modal Usaha Masalah keterbatasan modal, baik modal kerja maupun untuk investasi bagi pengembangan usaha mikro tetap merupakan hambatan. Keterbatasan modal, terutama disebabkan oleh tidak adanya akses langsung para pelaku usaha mikro terhadap layanan dan fasilitas keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan formal (bank) mapun non bank. Hal ini berarti bahwa sebagian besar atau seluruh dana yang diperlukan untuk investasi perluasan usaha atau peningkatan volume produksi dan investasi untuk penambahan modal kerja berasal dari sumber pendanaan informal (Yusi dan Zakaria, 2005).
4. Kemitraan Pengertian kemitraan secara konseptual adalah adanya kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai oleh pembinaan dan pengembangan berkelanjutan oleh usaha menengah atau besar dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, memperkuat,dan menguntungkan (Soemardjo, 2004). Saling memerlukan berarti bahwa pengusaha memerlukan pasokan bahan baku dan pemasaran sarana produksi dan bimbingan. Saling memperkuat berarti pelaku usaha bersama-sama melaksanakan etika bisnis sama-sama mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dan saling membutuhkan sehingga memperkuat kesinambungan dalam bermitra (Martodireso dan Widada, 2002).
5. Pemberdayaan Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari Negara berkembang memandang penting pemberdayaan usah kecil dan menengah (Berry, 2001). Pertama, karena kinerja usaha kecil dan menengah cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamika, usaha kecil dan menengah sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan teknologi. Ketiga, karena sering diyakini bahwa usaha kecil dan menengah memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas daripada usaha besar. Tentu saja usaha mikro tidaklah jauh dari itu juga.
6. Kemandirian Usaha Kemandirian usaha, termasuk para pelaku UKM, sudah merupakan suatu keharusan terlebih menghadapi tantangan global saat ini dan nanti. Menghadapi persaingan yang ketat, pelaku usaha harus mampu menentukan strategi yang jitu dalam memenangkan persaingan. Para pelaku usaha harus bisa berhadaptasi dengan kecenderungan yang terjadi, yakni: 1. 2.
karakteristik pasar yang dinamis, kompetisi global, dan bentuk organisasi yang cenderung membentuk jejaring (network); tingkat industri yang pengorganisasian produksinya fleksibel dengan pertumbuhan yang didorong oleh inovasi/pengetahuan; didukung teknologi digital; sumber kompetisi pada inovasi, kualitas, waktu, dan biaya; mengutamakan research and development; serta mengembangkan aliansi dan kolaborasi dengan bisnis lainnya.
Disamping itu, posisi tenaga kerja juga cenderung dengan kebijakan upah dan pendapatan yang tinggi, keterampilan yang luas dengan berbagai disiplin, pembelajaran tanpa kenal waktu, dan dengan pengelolaan buruh yang kolaboratif.
D. Metodologi Penelitian 1. 2.
Populasi dalam penelitian ini adalah pelaku usaha mikro di beberapa lokasi yang ada di wilayah kota Yogyakarta yang menjual produk jajanan, khususnya wilayah Wirobrajan, Kauman dan Pakuncen. Para penjual ada yang mangkal dilokasi tertentu ada yang berkeliling menetap. Dari populasi yang ada tersebut maka dalam penelitian ini akan diambil sampel dengan didasarkan cluster sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada kelompok. Yaitu kelompok pelaku usaha mikro yang menjual jajanan pada beberapa lokasi yang ada di kota Yogyakarta, Sampel
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
3.
dalam penelitian ini berjumlah 10 kelompok pelaku usaha dan masing-masing kelompok terdiri dari 20 penjual jajanan, jadi jumlah sampel yang diambil adalah 200 responden pengujian keseluruhan hipotesis. Kelompok tersebut adalah: Bakso dan Mie Ayam, Batagor, Cilok dan Cireng, Tempura,. Angkrigan, Jajan Pasar,Pecel Lele dan Ayam bakar,Es Kelapa Muda, es campur dan Jus,. Siomay, Warung makan/ lesehan, Sate.
Dalam penelitian ini menggunakan model persamaan regresi dengan bantuan software SPSS. Dengan alat analisis ini diharapkan diperoleh estimator yang baik. Terdapat 5 variabel laten dalam penelitian ini, yaitu Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha, Kemitraan, dan Kemandirian Usaha.
1. Analisis Regresi Berganda Untuk menganalisis hipotesis pengaruh masing-masing faktor Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha, Kemitraan, karena adanya Pemberdayaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro jajanan baik secara serentak maupun parsial digunakan analisis Model regresi Linier Berganda. Menurut Gujarati (1997 : 28) model regresi untuk menganalisis data memakai rumus sebagai berikut :
Yi = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 Dalam penelitian ini variabel bebas (X) dana variabel terikat (Y) ditentukan sebagai berikut :
Yi = Kemandirian Usaha X1 = Sumber Daya Manusia X2 = Peran Pemerintah X3 = Modal Usaha X4 = Kemitraan Β0 = Intersep. Konstanta yang merupakan rata-rata nilai Yi pada saat X1, X2, X3 dan dengan nol Β1 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dengan menganggap X2, X3 dan X4 konstan Β2 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dengan menganggap X1, X3 dan X4 konstan Β3 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dengan menganggap X1, X2 dan X4 konstan Β4 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dengan menganggap X1, X2 dan X3 konstan
X4 sama dalam X1 dalam X2 dalam X3 dalam X4
2. Uji Hipotesis a. 1.
2.
Uji Validitas dan Realibilitas
Instrumen penelitian yang selesai disusun harus di yakinkan bahwa instrument tersebut harus benar-benar dapat mengukur senyatanya (actually) dan akuratnya (accurately) terhadap konsep yang diukur. Pengukuran konsep senyatanya berhubungan dengan validitas dan pengukuran seakuratnya berhubungan dengan realibilitas. Instrumen yang valid artinya instrument yang dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Instrumen yang reabel artinya instrument yang bila digunakan untuk mengukur obyek yang sama meskipun waktu dan tempatnya berbeda akan memperoleh hasil yang sama
b. Uji F Uji F dikenal dengan Uji serentak atau uji Model/Uji Anova, yaitu uji untuk melihat bagaimanakah pengaruh semua variabel bebasnya secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya. Atau untuk menguji apakah model regresi yang kita buat baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Jika model signifikan maka model bisa digunakan untuk prediksi/peramalan, sebaliknya jika non/tidak signifikan maka model regresi tidak bisa digunakan untuk peramalan. Uji F dapat dilakukan dengan membandingkan F hitung dengan F tabel, jika F hitung > dari F tabel, (Ho di tolak Ha diterima) maka model signifikan atau bisa dilihat dalam kolom signifikansi pada Anova (Olahan dengan SPSS, Gunakan Uji Regresi dengan Metode Enter/Full Model). Uji F digunakan untuk mengetahui apakah secara simultan koefisien regresi variabel bebas mempunyai pengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tergantung 16
c.
Uji t
Independent Sample t-Test atau Uji t sample independen digunakan untuk menguji signifikansi beda ratarata dua kelompok. Uji ini biasanya digunakan untuk menguji pengaruh satu atau lebih variabel independen terhadap satu variabel dependen (Gendro Wiyono,2011)
E. Hasil Penelitian Hasil survey terhadap sampel penelitian yaitu 200 pelaku usaha jajanan di wilayah kota yogyakarta khususnya di wilayah Wirobrajan, Pakuncen dan Kauman dan memperoleh data sebagai berikut: Tabel 1:Data Berdasarkan Kependudukan No 1 2 3 TOTAL
KTP Kota Yogyakarta DIY Luar DIY
Domisili Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta
Jumlah 20 120 60 200
Prosentase 10% 60% 30% 100%
Tabel 2:Data Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan No 1 2 3 4 5
Pendidikan SD SMP SMA D3 S1
Jumlah 70 80 40 8 2 200
Prosentase 35% 40% 20% 4% 1% 100%
Tabel 3:Data Berdasarkan Lokasi Jualan No 1 2 3 4 TOTAL
Lokasi Sekolah Tempat Wisata Umum Rumah sendiri
Jumlah 85 79 22 14 200
Prosentase 42,5% 39,5% 11% 7% 100%
Melihat kenyataan tersebut sangat perlu upaya pemberdayaan dari berbagai faktor yang penting yaitu Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan agar tercipta Kemandirian Usaha bagi para pelaku usaha jajanan tersebut. Melalui analisa yang dilakukan menggunakan model persamaan regresi dengan bantuan software SPSS.
1. Analisis Regresi Berganda Hasil Analisa Regresi yang dilakukan dengan menggunakan SPSS adalah sebagai berikut: Tabel 4:Cooefficient Regresi
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Coefficientsa
Model 1
(Constant) Sumber Daya Manusia Peran Pemerintah Modal Usaha Kemitraan
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1.483 1.729 .129 .034 .331 .035 .160 .030 .165 .031
Standardized Coefficients Beta .187 .492 .267 .267
t .858 3.761 9.565 5.320 5.289
Sig. .392 .000 .000 .000 .000
a. Dependent Variable: Kemandirian Usaha
Y = α + β 1 X 1 + β2 X 2 + β3 X 3 + β4 X 4 Diketahui: α= 1,483 β1 = 0,129
β2 = 0,331
β3 = 0,160
β4 = 0,165
Maka Persamaan Regresi Berganda yang dihasilkan dari analisis ini adalah: Y = 1,483 + 0,129X1 + 0,331X2 + 0,160X3 + 0,165X4 Hipotesis yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 1.
2. 3. 4. 5.
B0 = Constant yang merupakan rata-rata nilai Y pada saat X1, X2, X3, , dan X4 = 0 artinya Meskipun tanpa adanya variable-variabel Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha, dan Kemitraan, vzriabel Kemandirian Usaha para pelaku Usaha Mikro sudah ada dan terbukti positif sebesar 1,483 B1 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X1 (Sumber Daya Manusia) dengan menganggap X2, X3, dan X4, konstan artinya jika variabel Sumber Daya Manusia positif (0,129) maka akan berpengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha. B2 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X2 (Peran Pemerintah ) dengan menganggap X2, X3, , dan X4 konstan artinya jika Peran Pemerintah positif (0,331) maka akan berpengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha B3 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X3 (Modal Usaha) dengan menganggap X1, X2, dan X4, konstan artinya jika Modal Usaha positif (0,160) maka akan berpengaruh terhadap positif terhadap Kemandirian Usaha B4 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X4 (Kemitraan) dengan menganggap X1, X2, dan X3, konstan artinya jika Kemitraan positif (0,165) maka akan berpengaruh terhadap positif terhadap Kemandirian Usaha
Jadi berdasarkan Analisis Regresi Berganda dihasilkan H1: B0 ≠ 0 maka H1 dinyatakan diterima dan menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat pengaruh dari keempat variable yaitu Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan terhadap Kemandirian Usaha.
2. Analisis Uji Hipotesis a. 1.
2.
18
Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk menguji validitas isi (content validity) yang menunjukkan seberapa besar item-item instrument mewakili indicator yang diukur. Melalui analisa olah data yang dilakukan menggunakan SPSS dihasilkan Nilai Output pada Total Correlation adalah r hitung, selanjutnya dibandingkan dengan r tabel dicari pada signifikansi 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah data n = 30 maka diperoleh r tabel adalah sebesar 0,361 Kesimpulannya data korelasi yang dihasilkan valid jika berada diatas r tabel (semua variabel menghasilkan corrected item-total correlation > dari 0,361) dan data korelasi tidak valid jika dibawah dari r tabel ( tidak di temukan). Dengan demikian dapat digaris bawahi bahwa data yang digunakan dalam analisa adalah data yang valid. Validitas ang dihasilkan dapat dibuktikan melalui
uji Korelasi dan dihasilkan hubungan yang kuat antara masing-masing variabel independent dengan variabel dependent yang masing-masing menghasilkan parseon correlation 1. b. Uji Reabilitas Untuk melakukan Uji Reabilitas Instrumen menggunakan output yang telah diuji validitasnya dan diambil 30 sampel kuisioner sehingga menghasilkan nilai alpha pada masing-masing item yaitu pada kolom Cronbach’s if item delete. Sedangkan untuk koefisien Cronbach’s Alpha secara simultan atas 4 item ditunjukkan pada tabel reliability coefficients yang berada dibawahnya (Gendro Wiyono, 2011) Tabel 5: Output Cronbach’s Alpha semua Variabel No 1 2 3 4 5
Variabel Sumber Daya Manusia Peran Pemerintah Modal Usaha Kemitraan Kemandirian Usaha
Cronbach’s Alpha .840 .820 .794 .876 .859
N of Item 6 6 6 6 6
Output dari Reability Analysis tidak lain adalah Item-Total Statistics, yang menghasilkan nilai- nilai Alpha pada kolom Cronbach/s Alpha If Item deleted, untuk masing-masing Item dan menghasilkan nilai Alpha Simultan/ komposit pada tabel Reability Statistik yang berada dibawahnya. Nilai Alpha ini dibandingkan dengan r tabel yang dicari dengan signifikancy 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah data (n) = 30 diperoleh nilai r tabel 0,361.Tampak bahwa Alpha yang dihasilkan lebih besar dari pada r tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai item secara parsial maupun secara komposit dinyatakan reliabel. c.
Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah varian populasi sama atau tidak. Hasil Keluaran untuk Uji F menggunakan Alat Analisis Independen ANOVAa Tabel 6: Uji F dengan ANOVA ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 630.097 557.903 1188.000
df 4 195 199
Mean Square 157.524 2.861
F 55.058
Sig. .000a
a. Predictors : (Constant), Kemitraan, Sumber Daya Manusia, Modal Usaha, Peran Pemerintah b. Dependent Variable: Kemandirian Us aha
Hasil keluaran ANOVA menunjukkan bahwa Degree of Freedom yang digunakan adalah 4 dengan Probabilitas 0,05 dan n = 200 maka dalam F tabel diperoleh nilai sebesar 2,26 sedangkan F hitung yang dihasilkan sebesar 55,058 sehingga F Hitung lebih besar dari pada F tabel (F hitung > F tabel) Dengan demikian sehingga dapat disimpulkan bahwa; Ha diterima karena terdapat hubungan saling memberikan pengaruh antara variable independent (bebas) dengan variable dependent (terikat). Dalam hal ini semakin besar F Hitung maka semakin sama populasi yang digunakan. d. Uji T Uji T dapat juga dikatakan sebagai Uji Heterokedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan. Tabel 7: Uji T
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Coefficientsa
Model 1
(Constant) Sumber Daya Manusia Peran Pemerintah Modal Usaha Kemitraan
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1.483 1.729 .129 .034 .331 .035 .160 .030 .165 .031
Standardized Coefficients Beta .187 .492 .267 .267
t .858 3.761 9.565 5.320 5.289
Sig. .392 .000 .000 .000 .000
a. Dependent Variable: Kemandirian Usaha
Bentuk pengujiannya adalah sebagai berikut : Ha = B1, B2, B3, B4, B5 ≠ 0 artinya ada pengaruh bermakna antara X dengan Y dengan menggunakan tingkat keyakinan 172,9% (lebih dari 100%) kemudian dibandingkan t hitung dengan t tabel. Besarnya tingkat keyakinan akan berpengaruh terhadap nilai Z (nilai t). Semakin besar tingkat keyakinan maka akan semakin besar pula nilai t (Gendro Wiyono, 2011). Karena t tabel yang dihasilkan pada probabilitas 0,05 uji 2 sisi dan N 200 adalah 1,6525 sedangkan pada probabilitas 0,025 uji satu sisi adalah 1,9719, maka dengan demikian dapat dinyatakan bahwa: T hitung > t tabel Sehingga hipotesa yang menjadi kesimpulannya adalah Ha diterima bahwa keempat variable independent (bebas) memberikan pengaruh terhadap variable dependent (terikat). Analisis Regresi menghasilkan Hipotesa sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Variabel Sumber Daya Manusia memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B1 positif dan t serta F hitung > t dan F tabel. Variabel Peran Pemerintah memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B2 positif dan t serta F hitung > t dan F tabel. Variabel Modal Usaha memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B3 positif dan t serta F hitung > t dan F tabel. Variabel Kemitraan memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha B4 positif dan t serta F hitung > t dan F tabel
Keempat Variabel Independen (Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan) secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap Kemandirian Usaha terbukti bahwa correlasi yang dihasilkan adalah 1 dengan kata lain hubungannya sangat kuat. Dengan demikian dihasilkan Model yang dapat diterapkan sebagai berikut:
20
Gambar 1: Model Pemberdayaan Usaha Mikro
Pemberdayaan usaha mikro yang dapat diterapkan melalui keempat variabel (Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha, dan Kemitraan) harus benar-benar dimaksimalkan terbukti bahwa β yang dihasilkan positif artinya variabel-variabel pengaruh kuat mempengaruhi variabel independent (Kemandirian Usaha). Pertama, Variabel Sumber Daya Manusia dengan β1 = 0,129 jika pemberdayaan yang dilakukan semakin baik dan tepat pada sasaran maka Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro akan semakin baik. Kedua, Variabel Peran pemerintah menunjukkan pengaruh yang positif kuat dengan β2 = 0,331 mempengaruhi Kemandirian Usaha, jika upaya pemberdayaan yang dilakukan pemerintah tepat guna dan tepat sasaran pada pelaku usaha mikro terutama pelaku usaha jajanan maka akan sangat berperan dalam mempengaruhi Kemandirian usaha. Ketiga, Variabel Modal Usaha dengan β3= 0,160 memberikan pengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha dengan demikian peran pemberdayaan melalui Variabel ini harus benar-benar di maksimalkan fungsinya sehingga benar-benar berpengaruh langsung terhadap para pelaku usaha mikro jajanan sehingga mereka akan mampu memiliki Kemandirian Usaha secara finansial. Variabel keempat, adalah Variabel Kemitraan dimana β4 = 0,165 memberikan pengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha maka jika peran kemitraan ini di maksimalkan akan banyak memberikan sumbangan terhadap Kemandirian Usaha bagi para pelaku usaha mikro khususnya kemitraan yang dibangun para pelaku usaha jajanan.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan Dengan melihat hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: A. Pemberdayaan dari sisi Sumber Daya Manusia masih harus ditingkatkan karena SDM yang dimiliki para pelaku usaha mikro (penjual jajanan) memang relative rendah, data dari hasil kuisioner berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan hasil tingkat pendidikan SD sebesar 35%, SMP 40%, SMA 20% dan D3 4%, dan S1 1% kondisi ini berpengaruh terhadap Kemandirian Usaha dalam artian latar belakang pendidikan yang rendah mengakibatkan berbagai persoalan seperti: a. Kekurangmampuan akses dan perluasan pangsa pasar; b. Kekurangmampuan akses pada sumber-sumber pendanaan, khususnya bank; c. Keterbatasan akses pada informasi; d. Kurang mampu memanfaatkan teknologi dan melakukan alih teknologi; e. Kelemahan dalam pengelolaan organisasi dan manajemen.dan
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 f.
Kurang peduli terhadap lingkungan termasuk masalah kesehatan yang ditimbulkan dari praktek penjualan yang salah. B. Pemberdayaan melalui Peran Pemerintah sangat berpengaruh terhadap Kemandirian Usaha Karena itu Peran Pemerintah itu perlu dimaksimalkan seperti melalui : a. Campur tangan pemerintah dalam membangkitkan semangat wirausaha yang benar; b. Peran Pemerintah dalam memberikan banyak kemudahan dari berbagai peraturan ataupun birokrasi yang ada; c. Peran Pemerintah memberikan kemudahan pelaku usaha mikro menikmati fasilitas umum yang mempu menunjang berlangsungnya usaha d. Peran Pemerintah dalam pendidikan yang dapat menambah banyak pengetahuan tentang lingkungan eksternal seperti lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan perlindungan keamanan dari pemerintah. e. Peran pemerintah melalui dinas kesehatan semakin memantau kesehatan dan kondisi barang jualan apakah layak jual atau tidak termasuk bagaimana mereka mengelola dagangan kadaluarsa. C. Pelaku Usaha Mikro (penjual jajanan) kurang memiliki Modal Usaha yang cukup untuk mengembangkan usahanya karena iu Pemberdayaan melalui Modal Usaha akan mempengaruhi Kemandirian usaha, kondisi ini bisa terjadi karena: a. Tidak adanya akses langsung para pelaku usaha mikro terhadap layanan dan fasilitas keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan formal (bank) mapun non bank; b. Kurangnya dukungan modal berupa pembiayaan dan penjaminan pinjaman modal usaha terkadang mengakibatkan kurangnya kepedulian terhadap mutu dan produktivitas usaha sehingga menjadi terhambat, mutu produk yang kadang seadanya karena konsep berpikir asal mendapat untung saja. D. Pemberdayaan melalui Kemitraan yang dilakukan para pelaku usaha mikro (penjual jajanan) memberikan pengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha, namun hal ini masih banyak hambatan karena: a. Keinginan yang rendah dari pelaku usaha mikro untuk menjalin hubungan kerjasama dengan pelaku usaha lain baik seformat maupun dengan format diatasnya; b. Memiliki pola pikir bahwa dengan berorganisasi mereka beranggapan akan membuang-buang waktu saja c. Sudah merasa cukup dengan apa yang dijalaninya selama ini.
2. Saran Dengan melihat hasil kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini maka penulis memberikan saran kepada Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya bagi Dinas yang terkait untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8.
9.
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus melakukan pengecekan langsung dan rutin ke penjaja jajanan berkitan dengan masalah kesehatan makanan yang dijual belikan, termasuk makanan kadaluarsa dan lokasi tempat jualan yang tidak mengganggu kepentingan umum. Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus meningkatkan pelatihan tentang berbagai hal yang mereka perlukan untuk semakin meningkatkan kualitas SDM dengan sedikit paksaan agar mereka mau hadir. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus melarang dengan tegas penjualan makanan jika terbukti tidak sehat Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus semakin memberikan banyak jalur kemudahan dalam pemberian pinjaman dana dengan jaminan dari pemerintah kota Yogyakarta Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus membantu memberikan wadah jika memungkinkan membentik Asosiasi bagi kelompok usaha jajanan agar semua saran diatas dapat tersampaikan dengan lebih mudah sehingga Kemandirian Usaha semakin dapat dirasakan. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus mengeluarkan Sertifikasi Layak atau minimal terdaftar dan diberikan bukti kelayakan jual dari dinas kesehatan terhadap para Penjaja Jajanan yang beroperasi di wilayah Kota Yogyakarta, salah satu contoh secara teknis dengan penampilan gerobak yang bersih dan menarik, penampilan penjual yang bersih dengan menggunakan celemek dan sarung tangan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta harus menghimbau kepada pihak-pihak sekolah secara lebih luas agar lebih memprioritaskan adanya kantin sehat Dinas Pendidikan dan Kesehatan Kota Yogyakarta secara bersama-sama harus dapat menghimbau kepada pihak sekolah untuk benar-benar memantau dan mentertibkan para penjaja jajanan di depan sekolah dan akan lebih baik lagi jika hanya kepada para penjual jajanan yang memperoleh surat ijin resmi dari sekolah yang bisa berjualan di depan sekolah yang bersangkutan, karena berdasarkan survey sebanyak 42,5% penjual berada dilingkungan sekolah. Pihak Sekolah baik tingkat SD, SMP dan SMU harus berani mengikuti jejak sekolah-sekolah sebelumnya dalam upaya tegas membuat kantin sehat dengan mengajak partisipasi orang tua mengisi kantin dengan buatan mereka dengan tanggung jawab penuh bahwa makanan yg dibuat adalah makanan sehat. 22
10. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta bersama BPOM secara simultan melakukan tes kesehatan makanan terhadap makanan yg dijual oleh usaha jajanan sehingga akan tercipta rasa takut jika menjual makanan tidak sehat/ berbahaya, karena accaman sangsi akan diberikan jika pelanggaran ini dilakukan.
Daftar Pustaka Berry, A.E. Rodriquez and H. Sandeem (2001), Small and Medium Enterprises Dynamic in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (3) : 363-384 BPS, 2013, Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Kota Yogyakarta Chew, Rosalind (1996), Safety Nets for Entrepreneuship in Singapore, dalam Low Aik Meng dan Tan Wee Liang (ed) Entrepreneurs, Entrepreneurshp and Enterprising Culture, Addison-Wesley Publishing Co., Singapore Gujarati, Damodar (1995), Basic Econometrics, Mc Graw-Hill Hafsah, M. Jafar (2000), Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Hill, Hal (2000), Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970, Oxford University Press, Singapore Porter, Michael E. (1997), Competitive Strategy, The Pree Press, New York Satrio, Awal Nugroho (2006), Kewirausahaan Berbasis Spiritual, Penerbit Kayon, Yogyakarta Sumarsono, Sonny (2003) Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta Undang-undang no 20 th 2008, tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah Wiyono, Gendro (2011), Merancang Penelitian dengan Alat Analisis SPSS 17.0 dan SmartPLS 2.0 Yusi, Syahirman M. dan Rini Zakaria (2005), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi UpayaPemberdayaan Industri kecil Perkotaan di Kotamadia Palembang, Laporan Penelitian atas biaya P5D Depdiknas, Politeknik Negeri Sriwijaya _____________, http//jogjakota.go.id
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
E-MUSEUM SEBAGAI MEDIA MEMPERKENALKAN CAGAR BUDAYA DI KALANGAN MASYARAKAT Oleh: Suraya & Muhammad Sholeh1
ABSTRACT Basically the museum is a place of conservation, not only physically but in a system of moral values and norms. The purpose of conservation is to prevent people from forgetting their culture. An effort of providing museum learning system for the youth has to be done in order to conserve our cultural heritage. The system should be able to give information regarding museum’s collections. The information will attract visitors to come to the museum. One effort named integral system integrates information from many museums in Yogyakarta into a portal website. The information is presented in text, picture as well as video format. The system application is built with a web-based programming using CodeIgniter frame, and MySQL as the database. In this study, map feature utilizing Google Map API is used to present information in the form of particular museum location and other museums nearby. Keywords: museum, integration, Yogyakarta
A. Pendahuluan Museum pada mulanya muncul di Eropa, yaitu merupakan suatu ruang / tempat khusus untuk menyimpan barang – barang eksotik milik raja. Namun dalam perkembangan dunia selanjutnya, museum merupakan tempat bukan yang sekedar memamerkan tetapi berfungsi sebagai tempat mengumpulkan, melestarikan, merawat, dokumentasi, menyajikan dan mengkomunikasikan benda-benda alam dan budaya untuk kepentingan pengkajian, pembelajaran dan rekreasi. Peninggalan-peninggalan kebudayaan primitif yang dipamerkan di museum pada masa modern sekarang merupakan suatu media yang menginformasikan masa lampau kepada kita, terutama generasi muda sekarang yang tidak bersamaan hidup dengan generasi tua pada masa lampau. (Rumansara, 2013) Perkembangan museum di Indonesia tidak lepas dari adanya masa kolonial. Sebelum kemerdekaan, tujuan pendirian museum yang berkenaan dengan kebudayaan adalah untuk mengenal kebudayaan rakyat jajahan. Sementara pendirian museum yang berkenaan dengan sains adalah untuk mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam di negara jajahan. Barulah tujuan pendirian museum setelah kemerdekaan adalah untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan warisan budaya. Perhatian pemerintah kepada museum mulai diberikan pada 1948 lewat Jawatan Kebudayaan dalam Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Perhatian yang lebih serius diberikan pada 1957 ketika dalam Jawatan Kebudayaan dibentuk Bagian Urusan Museum Pendirian dan pengembangan museum di Indonesia semakin meningkat dari masa sebelum kemerdekaan. Tujuan pendirian museum setelah kemerdekaan adalah untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan warisan budaya dalam rangka persatuan dan peradaban bangsa, juga sebagai sarana pendidikan nonformal. Jumlah koleksi pada masa kolonial cukup besar, namun disajikan dengan konsep tata pameran di Eropa. Sementara jumlah koleksi setelah kemerdekaan memang masih terbatas, namun koleksi tersebut dipamerkan untuk kepentingan bangsa dalam rangka penanaman rasa kebangsaaan dan jati diri. (Aris Munandar, 2011) Permasalahan yang dialami oleh museum adalah permasalahan klasik yang sebenarnya dialami pula oleh sebagian besar museum di Indonesia. Museum milik negara pada umumnya, cenderung bersikap ‘pasif’ dengan mengandalkan anggaran pemerintah yang tentu saja terbatas pada kewajiban terhadap perawatan dan penyimpanan koleksi berupa tinggalan materi yang memiliki nilai budaya atau identitas bangsa sesuai dengan UU no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sehingga memunculkan kesan membosankan bagi pengunjung, dan museum selalu tampak sepi pengunjung.
1
Peneliti pada Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta
24
Pada dasarnya museum merupakan tempat pelestarian, bukan hanya secara fisik, tetapi dalam sistem nilai dan norma. Tujuan pelestarian adalah agar masyarakat tidak melupakan kekayaan budaya atau tidak mengenal lagi akan kebudayaan mereka. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberikan pembelajaran tentang museum kepada generasi muda. Upaya yang dapat ditempuh adalah membangun system informasi museum yang dapat memberikan gambaran dan isi dari museum. Dengan adanya informasi ini, tentunya akan didapat gambaran apa isi dari museum sehingga diharapkan akan mendorong untuk melakukan kunjungan ke museum.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. b.
Menciptakan suatu sistem informasi yang menginformasikan museum di Yogyakarta yang dapat diakses di mana saja dan kapan saja; Menyajikan informasi lokasi museum dengan teks dan gambar, sehingga pengguna mendapatkan gambaran dari suatu lokasi museum.
C. Manfaat Penelitian Dalam penelitian E-Museum mempunyai berbagai manfaat yaitu sebagai berikut: (1) Mengumpulkan dan pengamanan warisan alam dan budaya, (2) Dokumentasi dan penelitian ilmiah, (3) Konservasi dan preparasi, (4) Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum, (5) Pengenalan dan penghayatan kesenian, (6) Pengenalan kebudayaan antar daerah dan bangsa, (7) Visualisasi warisan alam dan budaya, (8) Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia, (9) Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
D. Tinjauan Pustaka Dalam melaksanakan penelitian ini menggunakan beberapa referensi yang berhubungan dengan obyek penelitian terutama dari penelitian-penelitian atau makalah dalam jurnal, diantaranya : 1.
2. 3.
(Patias, 2008), dalam paper ini penulis menuangkan gagasan dan mengimplementasikan, bagaimana membuat virtual dari suatu museum. Kelebihan system tentunya gambaran dari museum dapat divisualkan sedangkan kelemahannya adalah system dikemas dalam bentuk CD sehingga pendistribusian nya mengalami kendala, kecuali kalau CD ini menjadi souvenir dan tidak disajikan berbasis website. (Michael, 2010) dalam paper berjudul Comparative study of interactive systems in a Museum., penulis menawarkan penggunaan TIK, khususnya multimedia untuk memberikan gambaran museum secara virtual. (Satrya, 2012), dalam makalah yang ditulis di jurnal ilmiah Pariwisata, STP Trisakti Jakarta lebih banyak menulis bagaimana strategi untuk meningkatkan kunjungan ke museum. Strategi tersebut diantaranya mengoptimalkan peran Corporate Social Responsibility (CSR) dari suatu perusahaan dalam mendukung program-program dari suatu museum. Pendekatan yang dilakukan dalam makalah ini lebih cenderung menggugah aspek sosial dari suatu perusahaan tetapi tidak mengulas penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam meningkatkan peranan museum.
1. Pengertian dan Sejarah Museum Museum merupakan sarana untuk mengembangkan budaya dan peradaban manusia. Dengan kata lain, museum tidak hanya bergerak di sektor budaya, melainkan dapat bergerak di sektor ekonomi, politik, sosial, dll. Di samping itu, museum merupakan wahana yang memiliki peranan strategis terhadap penguatan identitas masyarakat termasuk masyarakat sekitarnya. Para ahli kebudayaan meletakkan museum sebagai bagian dari pranata sosial dan sebagai wahana untuk memberikan gambaran dan mendidik perkembangan alam dan budaya manusia kepada komunitas dan publik. Dalam era pembangunan teknologi yang cepat berkembang dewasa ini, peranan museum sangat diharapkan untuk mengumpulkan, merawat, dan mengkomunikasikan berdasarkan penelitian dari benda-benda yang merupakan bukti konkret dari proses pengembangan kebudayaan. Di museum, masyarakat dapat memperoleh tempat berekreasi sambil mendapatkan informasi mengenai ilmu dan kejadian-kejadian yang terdapat dalam kehidupan manusia dan lingkungan. Pada umumnya masyarakat masih memandang museum sebagai suatu tempat atau lembaga yang bersuasana statis, berpandangan konservatif atau kuno, mengurusi benda-benda kuno kalangan elite untuk kebanggaan dan kekaguman semata. Bangunan museum memang terkesan menyeramkan karena identik dengan barang-barang kuno, sunyi, kemegahan, dan kadang agak kurang terurus. Namun seharusnya hal ini tidak menjadi suatu halangan bagi masyarakat untuk tidak mengunjungi museum. Karena dibalik kekakuannya, museum juga memperkenalkan proses perkembangan sosial budaya dari suatu lingkungan kepada masyarakat. Masyarakat juga bisa menggunakan museum sebagai sarana belajar, selain sebagai tempat
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Benda-benda koleksi yang dipamerkan harus dirancang sedemikian rupa termasuk menunjukkan adanya isu-isu masa kini yang berjalan dengan fakta sejarah. Kegiatan yang dilakukan di museum tidak sekedar melihat benda koleksi yang indah, tetapi bagaimana agar yang datang ke museum pulang tetapi ingin kembali datang ke museum karena museum dianggap mempunyai daya tarik tersendiri. Ada yang mem buat saya cukup bangga saat ini, sudah cukup banyak pengelola museum yang membolehkan museumnya digunakan untuk acara-acara kegiatan kemasyarakatan, melakukan seminar untuk mengasah intelektual, dan yang terpenting museum tidak digunakan untuk sebagian kecil orang saja. (Khoirnafiya, 2012)
2. Fungsi Museum Kata “Museum” berasal dari kata Muze, oleh orang Yunani Klasik diartikan sebagai kumpulan sembilan Dewi, perlambang ilmu kesenian. Kesenian itu sendiri merupakan budaya manusia bersifat universal, selain beberapa sistem yang ada yakni: religi, teknologi, organisasi kemasyarakatan, bahasa, pengetahuan dan mata pencaharian. Kesemuanya itu , juga merupakan materi koleksi museum secara umum. (Antara, 2013) Sebagai lembaga ilmiah, tentu Museum mempunyai berbagai fungsi. Berdasarkan kebijaksanaan pengembangan permuseuman Indonesia berpegang pada rumusan ICOM (International Council Of Museum) (ICOM, 2013). Museum mempunyai sembilan fungsi, yakni (1) Mengumpulkan dan pengamanan warisan alam dan budaya, (2) Dokumentasi dan penelitian ilmiah, (3) Konservasi dan preparasi, (4) Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum, (5) Pengenalan dan penghayatan kesenian, (6) Pengenalan kebudayaan antardaerah dan bangsa, (7) Visualisasi warisan alam dan budaya, (8) Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia, (9) Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Museum dinilai masih kurang maksimal. Masih banyak yang perlu dibenahi oleh museum. Antara lain aspek fisik seperti storage, keamanan museum, dan fasilitas public serta aspek non fisik yang meliputi kualitas SDM dan Manajemen Museum. Disamping kedua komponen tersebut terdapat hal lain yang harus diperhatikan juga oleh museum dan tidak kalah pentingnya dengan kedua hal tersebut. hal itu adalah masalah publikasi dari museum itu sendiri. Hampir sebagian besar museum di Indonesia masih belum memiliki sarana publikasi yang luas dan menarik. Padahal dari publikasi yang menarik dapat menarik pula minat dari masyarakat itu sendiri untuk mengunjungi museum. Seharusnya pihak museum dapat memanfaatkan sarana komunikasi massa seperti televisi, radio, surat kabar, dan internet sebagai saranan promosi yang strategis untuk mempublikasikan museum pada masyarakat luas. (Sukma, 2013)
E. Hasil Penelitian 1. Hasil Perancangan Basis Data
a. Tabel Museum Tabel 1 merupakan tabel museum yang berisi data-data museum. Tabel 1. Struktur tabel Museum Nama Field Id_museum* Nama_museum Alamat Lat_museum Long_museum Folder_gallery Link_youtube Keterangan Image url Hit
Type Int Varchar(10) Varchar(40) Decimal(10) Decimal(10) Varchar(100) Varchar(100) Text Varchar(100) Varchar(100) Int
b. Tabel Artikel
Tabel 2 merupakan tabel artikel yang berisi artikel-artikel yang berkaitan tentang museum yang ada di sistem. 26
Tabel 2. Struktur tabel Tabel artikel Nama Field Type Id_artikel* Int Judul Varchar(100) Id_user** Int Id_museum** Int url Varchar(100) Image Varchar(100) Tanggal Date Isi Text c. Tabel Home Slide
Tabel 3 merupakan tabel home slide, yaitu tabel yang berisi data-data yang nantinya akan di tampilkan pada slide pada halaman pengunjung. Tabel 3. Struktur tabel Tabel home slide Nama Field Type Id * Int Judul Varchar(50) Deskripsi Varchar(100) Gambar Varchar(30) Alt Varchar(30) d. Tabel Menu Admin
Tabel 4 merupakan tabel menu_admin yang berisi daftar menu yang dimiliki oleh admin. Tabel 4. Struktur tabel Menu_admin Nama Field Type Id * Int Nama Varchar(30) url Varchar(50) Icon Varchar(30) e. Tabel Users
Tabel 5 merupakan tabel users yang berisi data-data user admin. Tabel 5. Struktur tabel Tabel users Nama Field Type Id_user* Int Username Varchar(10) Password Varchar(33) f.
Tabel Artikel
Tabel 6 di bawah ini merupakan tabel artikel yang berisi artikel-artikel yang berkaitan tentang museum yang ada di sistem. Tabel 6. Struktur tabel Tabel artikel Nama Field Type Id_artikel* Int Judul Varchar(100)
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Id_user** Id_museum** url Image Tanggal Isi Hit
int int Varchar(100) Varchar(100) Date Text int
g. Tampilan Aplikasi 1)
Halaman Login
Halaman Login adalah halaman yang digunakan oleh administrator untuk masuk dalam sistem untuk mengolah data agar dapat ditampilkan kepada masyarakat. Untuk dapat masuk ke halaman tersebut terlebih dahulu harus memasukkan nama dan password. Berikut ini tampilan login admin.
Gambar 1. Tampilan dialog login Tugas admin diantaranya memasukkan data museum, artikel, galery serta mengatur hak akses user lainnya. 2)
Halaman tambah museum
Halaman ini digunakan admin untuk memasukkan data-data museum yang ada Tampilan untuk memasukkan data museum ada di gambar 2
Gambar 2. Menu tambah data Museum 3)
Halaman Home
Merupakan halaman utama atau halaman pertama kali muncul ketika seseorang mengakses website portal museum Yogyakarta. Melalui halaman depan ini pengaksesan bisa dilakukan ke halaman lain melalui link-link yang ada. Tampilan depan akan menampilkan objek singkat dari lokasi wisata Gambar 3 merupakan tampilan utama dari sistem, untuk melihat informasi detail dari suatu lokasi wisata, pengguna dapat melakukan klik pada nama lokasi yang diinginkan. Informasi yang ditampilkan dalam menu utama adalah : 1. 2.
Slide bergerak yang menampilkan foto sejarah di Kota Yogyakarta Link menuju museum 28
3.
Berita yang terkait dengan suatu museum
Li ke nk museum
Slide gambar sejarah
berisi
Berita terkait dengan suatu museum
Gambar 3. Tampilan menu utama pengguna 4)
Lokasi Museum
Di samping menginformasikan lokasi museum dalam bentuk teks dan gambar (gambar 4), aplikasi juga menampilkan peta dimana lokasi museum berada serta lokasi museum yang ada di daerah disekitar lokasi museum. Dengan adanya peta ini, tentunya informasi lebih menarik dan mempermudah pengunjung untuk menuju lokasi museum.
Gambar 4. Data museum yang dapat diakses 5)
Link ke Museum tertentu
Agar mempermudah pengguna menuju lokasi museum, dalam penelitian ini, aplikasi yang dikembangkan dilengkapi dengan fasilitas untuk peta yang menggambarkan lokasi dari suatu museum serta lokasi museum lain yang terdekat (radius 3 km) . Gambar 5 dan gambar 6 menampilkan informasi dari suatu museum serta posisi museum dalam bentuk peta.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Gambar 5. Informasi suatu museum.
Gambar 6. Peta lokasi museum dan lokasi museum terdekat 6)
Informasi Museum
Tampilan museum disajikan baik dalam bentuk teks, gambar maupun foto. Dengan adanya tampilan ini diharapkan pengunjung mempunyai gambaran isi dari suatu museum. Gambar 7 menampilkan informasi museum dalam bentuk foto.
Gambar 7. Tampilan Suatu museum dalam bentuk foto
30
F. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan, uraian pada bab-bab sebelumnya dan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. 2. 3.
Dengan adanya portal museum ini dapat menampilkan informasi mengenai museum yang ada di kota Yogyakarta, sehingga dapat mempermudah pengunjung untuk mengetahui informasi sebelum melakukan kunjungan ke suatu museum; Informasi disajikan secara interaktif dengan dilengkapi dengan data berupa teks, gambar serta peta lokasi; Sistem informasi dibangun berbasis website, sehingga dapat diakses dimana saja dan kapan saja dengan menggunakan fasilitas internet.
2. Rekomendasi Hasil akhir dari penelitian ini adalah website yang menginformasikan museum di kota Yogyakarta. Informasi yang ditampilkan berbasis peta, sehingga pengunjung dapat mengetahui tempat museum dengan informasi peta serta lokasi museum lain yang terdekat dari suatu lokasi museum Pengembangan website berbasis GIS sangat diperlukan terutama bagi pengunjung museum yang tidak berasal dari Jogjakarta, website semacama ini bisa dikembangkan atau dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. Dalam website Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.arsip/2 (Gambar 8), informasi yang ditampilkan hanya berisi informasi teks sehingga bisa dikembangkan atau ditambah dengan informasi berbasis geografis.
Gambar 8. http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.arsip/2
Daftar Pustaka Anonim.
(2008). Here. Retrieved 8 25, 7.8082266,110.3623643,15,0,0,normal.day
2013,
from
www.here.com:
http://here.com/-
Anonim. (2013). Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Aris
Munandar, A. d. (2011). Sejarah Permuseuman di Indonesia. Direktorat http://museumku.wordpress.com/2012/02/09/sejarah-permuseuman-indonesia-bagian-3/.
Permuseuman,
Davis, B. G. (2004). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen (edisi Revisi). Jakarta: Pustaka Bina Presindo. ICOM. (2013). ICOM Code of Ethics for Museums. Paris: International Council of Museums .
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Jogiyanto. (2001). Analisa dan Desain Sistem Informasi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Kadir,Abdul (2013) Mudah Mempelajari Database MySql Yogyakarta : Penerbit Andi Khoirnafiya, S. (2012, Januari 12). Peranan Museum Bagi Masyarakat Masa Kini. Retrieved April 2014, 17, from http://museumku.wordpress.com: http://museumku.wordpress.com/2012/01/16/peranan-museum-bagimasyarakat-masa-kini/ Michael, D. a. (2010). Comparative study of interactive systems in a Museum. Proceedings of the Third international conference on Digital heritage ISBN 3-642-16872-8,978-3-642-16872-7, http://portal.acm.org/citation.cfm?id=1939603.1939626. Murdick, R. G. (1999). Sistem Informasi Untuk Manajemen Modern Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga. Patias, P. C. (2008). THE DEVELOPMENT OF AN E-MUSEUM FOR CONTEMPORARY ARTS. Proceedings of the 14th International Conference on Virtual Systems and Multimedia Project Papers,ISSN 0167-7055 , http://despinamichael.net/website/data/papers/VSMM2008_emuseum.pdf. Rumansara, E. H. (2013). Peran Sanggar Seni Dalam Menunjang Kegiatan Bimbingan Edukatif Pada Pameran Benda Budaya Bimbingan Edukatif Pada Pameran Benda Budaya Koleksi Museum - Museum Di Papua. JURNAL ANTROPOLOGI PAPUA ISSN: 1693-2099 , 79-87. Satrya, D. G. (2012). Strategi Pengembangan Museum. Jurnal Imial pariwisata Volume 17 No 1, Maret 2012 ISSN 1411-1527 STP Trisaksi Jakarta , 15-28. Sukma, G. S. (2013, Pebruari 11). Museum Di Indonesia, Menyongsong Program Gerakan Nasional Cinta Museum. Retrieved April 2014, 18, from http://gilangswarasukma.blogspot.com: http://gilangswarasukma.blogspot.com/2013/02/museum-di-indonesia-menyongsong-program.html
32
STRATEGI PENGELOLAAN KEGIATAN PKK DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA BERBASIS MASYARAKAT WILAYAH RW DI KECAMATAN KRATON DAN GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA Oleh: Ir. Rini Dorojati, M.S., Rr. Leslie Retno Angeningsih M.Sc., Ph.D., Dra. Nuraini Dwi Astuti, M.P.
ABSTRACT This research aims to reveal the strategy from each PKK's cadres in managing their activity in the scope of RW (neighborhood). The results of this research are expected to be the City Government's input to improve PKK's selfreliance in addressing the issues an effort to encourage women's role in realizing the PKK cadres prosperous society.This research was designed using qualitative methods phenomenology. The location research are subdistrict Gondomanan an sub-district Kraton (palace). Method of collecting data with in-depth interviews, documentation, Focus Group Discussion, observation of the PKK's cadre, team, and community leader. Data analysis is done by qualitative methods. To formulate the strategy, we used SWOT analysis. The result shows that 39 strategies can be used in managing the activities of PKK. But a new analysis shown that only 30% of strategies had been used to managing activities. Taking advantage of local culture potential have not been considered seriously as an citizen economic development strategy.The strategy decreasing weakness of PKK to achieve opportunity, most of all strategies never been used. The most major weak condition is in avoiding threats, strategy that PKK can do as a community is do coordination activity with community leader such as district head, sub-district head, PKK district, and youth groups to jointly seeking efforts to reach PKK's goal out. To manage PKK activities especially on sub-district PKK that oriented on self- reliance, it needs Yogyakarta government support through agencies and , public figures, citizen, college university, work unit area and the team of PKK sub-district Keywords: strategy, PKK, welfare
A. Pendahuluan Latar Belakang PKK atau Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga adalah gerakan pemberdayaan perempuan yang telah nyata perannya dalam mendukung kesejahteraan masyarakat khususnya di kota Yogyakarta. Dengan ditetapkannya peraturan melalui Keputusan Mendagri dan otonomi Daerah No 53 Tahun 2000, maka PKK telah memiliki landasan yang kuat melaksanakan kegiatannya. Berdasar hal tersebut, posisi gerakan PKK dalam peraturan daerah dan dana yang dianggarkan oleh pemerintah daerah dalam APBD kepada lembaga ini menjadi pendukung semangat para pengabdi masyarakat melalui organisasi PKK. Perjuangan dan pengabdiannya sudah sering dibicarakan, namun sepak terjang para wanita dan utamanya para ibu-ibu sebagai pengabdi dan pelayan masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya serta dukungan dan kendala yang dihadapi dalam mengelola kegiatannya belum banyak diungkap. Dari segi pembiayaan kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan PKK berkonsekuensi pada pembiayaan. Oleh karena itu, pontensi lokal mereka diolah agar suatu kegiatan dapat dilaksanakan. Beberapa yang dilakukan untuk terlaksananya suatu kegiatan antara lain dari sumber dana warga di tingkat PKK, juga telah dibentuk akumulasi dana anggota secara sukarela. Namun, dana yang terkumpul masih sangat terbatas . Oleh karena jumlah anggota PKK merupakan kaum ibu, maka potensi mengatasi masalah secara mandiri menjadi tumpuan dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat. Adanya berbagai kendala, maka pengurus PKK dalam melaksanakan kegiatan PKK di Tingkat RW menggunakan strategi antara lain pembagian tugas kepada pengurus PKK RT atau dasawisma, Membagi tugas dilaksanakan karena untuk memperoleh sumber-sumber dana maupun tenaga pelaksana kegiatan. Strategi yang dilakukan adalah pendekatan kelompok dan individual. Dalam mendukung keistimewaan DIY dengan mengungkapkan peran wanita dalam aktivitas berorganisasi khususnya PKK untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di tingkat basis yaitu lingkup Rukun Warga merupakan kajian yang sangat penting sehingga dapat dijadikan strategi peningkatan kualitas sosial kemasyaratan di kota Yogyakarta.
33
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Masalah Penelitian 1. 2. 3.
Bagaimanakah strategi pengelolaan kegiatan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dalam mewujudkan kesejahateraan masyarakat di lingkup wilayah RW. Bagaimanakah sinergi lembaga PKK tingkat RW dengan lembaga-lembaga lain dalam mendukung pelaksanaan program dan kegiatan nya. Dukungan dan kendala apa sajakah yang dihadapi PKK RW dalam melaksanakan aktivitasnya.
B. Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Mengungkapkan strategi para kader PKK dalam mengelola kegiatannya di lingkup wilayah RW. Mengetahui aktivitas para kader PKK RW dalam bersinergi dengan lembaga lain guna mewujudkan masyarakat sejahtera. Menyusun rencana tindak lanjut dalam meningkatkan kemandirian PKK dalam mengatasi persoalan dan upaya mendorong peningkatkan peran perempuan para kader PKK dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
C. Tinjauan Pustaka Strategi Menurut Chandler yang dikutip oleh Rangkuti (2002) mendefinisikan strategi sebagai alat untuk mencapai tujuan instansi maupun perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya dengan keuangan. David J Hunger dan Thomas L. Wheelen yang dikutip oleh Joesron (2005: 18) dalam Hayyuna dkk menyatakan bahwa strategi manajemen memiliki dasar pokok meliputi: a). Mengamati lingkungan (enviromental scan-ning). adalah kegiatan memonitoring faktor internal organisasi dan eksternal organisasi melalui konsep kekuatan (strength), kelemahan (weakness), kesempatan (opportunity) dan ancaman(threaths);
Pengelolaan Kegiatan PKK PKK adalah suatu gerakan pembangunan yang tumbuh dari bawah, dikelola oleh, dari dan untuk masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang sejahtera. PKK adalah lembaga sosial kemasyarakatan yang independen non profit dan tidak berafiliasi kepada suatu partai politik tertentu. PKK mempunyai tugas memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya.(Anonim,2007) .Kader PKK terdiri kader umum dan kader khusus. (TP PKK Pusat, 2010). Keputusan Ketua Umum TP PKK tentang Hasil Rakernas VII PKK Bidang Rencana Kerja PKK tahun 2010-2015 telah menetapkan beberapa prinsip dasar dalam analisis rencana kerja atau kegiatan harus memperhatikan 4 aspek yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (TP PKK Pusat, 2010). Kekuatan , adalah yang mendukung dan berpengaruh terhadap upaya-upaya atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Kelemahan adalah permasalahan yang dihadapi yang secara nyata berpengaruh terhadap proses kegiatan. Peluang, suatu kondisi yang memungkinkan atau dapat didayagunakan untuk memperlancar tujuan yang akan dicapai. Ancaman, hal-hal yang diperkirakan dapat berpengaruh secara langsung pencapaian tujuan kegiatan.
Pengembangan Komunitas Menurut definisi yang dirumuskan Christerison dan Robinson (1989) dalam Soetomo (2006) bahwa pengembangan komunitas adalah suatu proses dimana masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakan social (dengan atau tanpa intervensi) untuk mengubah situasi ekonomi , social, cultural dan atau lingkungan mereka. Prinsip-prinsip umum dari definisi tersebut adalah (1) focus perhatian ditujuan pada satu kebulatan (2) berorientasi pada kebutuhan dan permasalahan komunitas (3) mengutamakan prakarsa, partisipasi dan swadaya masyarakat. Sebagaimana gerakan PKK di Indonesia, jika mengacu tentang konsep pengembangan komunitas (community development), maka PKK juga berdiri dalam rangka mewujudkan perubahan pada individu atau komunitas karena dalam strktur kelembagaan dan sasaran gerakan PKK dibentuk secara berjenjang menurut wilayah dari Pusat sampai menjangkau Dusun/lingkungan, RW, RT dan dasawisma (TP PKK Pusat, 2010). Keberhasilan PKK ini terwujud karena gerakan ini dimunculkan dari kebutuhan masyarakat yang pengelolaannya juga dilaksanakan oleh masyarakat dan hasil yang didapat juga dinikmati langsung atau ditujuan untuk masyarakat itu sendiri . Dalam konteks penelitian ini, PKK di wilayah RW terdiri para kader yang berasal dari perwakilan anggota PK RT, mereka secara kolektif 34
melakukan tindakan sosial dalam menghadapi persoalan di lingkungannya. Oleh karena itu dalam lokalitas RW memungkinkan timbulnya kesadaran kolektif dan solidaritas sosial. Kedua hal tersebut merupakan modal sosial dan energy sosial bagi tindakan bersama bagi peningkatan kehidupan bersama.
Kesejahteraan Kesejahteraan, secara umum selalu dihubungkan dengan standar kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu - individu. Menurut UU No. 11 tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material spiritual dan social warga agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Adapun menurut Nasikun, kesejahteraan adalah padanan makna dari martabat manusia dengan indicator (1) rasa aman (security); (2) Kesejahteraan (walfare); (3) Kebebasan (freedom); (4) Jati Diri (identity). Menurut PKK, keluarga adalah kondisi tentang terpenuhinya kebutuhan dasar manusia dari setiap anggota keluarga secara material, sosial, mental, dan spiritual sehingga dapat hidup layak sebagai manusia yang bermartabat. Program PKK yang dimaksud dalam Kep.Men tersebut adalah program dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk terwujudnya kesejahteraan keluarga.
D. Metode Penelitian 1.
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kualitatif phenomenology (Black and dean J.Champion, 1992). 2 . Lokasi Penelitian di Kecamatan Kraton dan Kecamatan Gondomanan .Masing masing kecamatan diambil sampel 1 kelurahan yaitu Kelurahan Panembahan dan Kelurahan Prawirodirjan di Kecamatan Gondomanan. Masing- masing kelurahan diambil sampel 3 Rukun Warga (RW). 3. Subyek Penelitian: Kader PKK dalam lingkup Rukun Warga . 4. Metode pengumpulan data: wawancara mendalam, dokumentasi, FGD, observasi partisipasi. 5. Analisis Data, Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif melalui tahapan sebagai berikut: Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan, Untuk mengetahui pengelolaan kegiatan PKK dilakukan dengan analisis SWOT yaitu identifikasi berbagai faktor untuk merumuskan staretgi. SWOT adalah Strengths, Weaknesen, yang terdapat di lingkungan internal, dan Opportunities dan Threats dari lingkungan eksternal. Rangkuti, 2002).
E. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Wilayah Kecamatan Kraton Dan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta, Derah Istimewa Yogyakarta Secara geografis Kecamatan Kraton dan Kecamatan Gondomanan merupakan dua wilayah yang terleyak di pusat Kota Yogyakarta. Dan jaraknya saling berdekatan. Ditinjau dari jumlah penduduk, Kecamatan Kraton jumlah penduduknya lebih banyak dari pada Kecamatan Gondomanan yaitu sebanyak 22.154 jiwa dibanding 2
15.190 jiwa. kepadatan penduduk ternyata Kecamatan Kraton relatif lebih padat 15.824 jiwa/km dibandingkan 2
Kecamatan Gondomanan 13.526 jiwa/km . Dari segi demografi , Kelurahan Prawurodirjan memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi daripada Kelurahan Panembahan masing-masing 20.647 jiwa/Km2 dan 14.150 jiwa/ Km2. Sex Ratio di kelurahan Prawirodirjan lebih tinggi dibandingkan di kelurahan Panembahan yaitu 102,64 dibanding 94,36. Dari segi mata pencaharian , sebagian besar/ penduduk di Kelurahan Panembahan dan Kelurahan Prawirodirjan bekerja di sektor swasta masing-masing 44,94 persen dan 49,65 persen. Kondisi pendidikan , Kelurahan Panembahan mapun Kelurahan Prawirodirjan sebagian besar penduduknya berpendidikan menengah keatas dengan total masing masing 71,86 persen dan 51 96 persen. Ditinjau dari tingkat kesejahteraannya diketahui bahwa kondisi rumahtanggai wilayah Kelurahan Panembahan Pra KS sebanyak 9,45%. Adapun Kelurahan Prawirodirjan dengan kategori kemiskinan yang jumlahnya cukup besar, perbandingan proporsi hampir sama antara rumahtangga kategori miskin dengan hampir miskin masing - masing sebanyak 50%.
35
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
2. Profil PKK Di Kelurahan Panembahan Kecamatan Kraton dan Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan Kegiatan kelompok Kerja TP PKK, dapat diketahui bahwa Pokja I bidang penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur telah melaksanakan kegiatannya dengan sasaran keluarga baik ibu, bapak, dan lansia maupun anakanak berupa santapan rohani atau mengisi jiwa dengan pengajian, penyuluhan ,mendampingi dalam penyelesaian masalah keluarga melalui mitra keluarga, jumat bersih.Pokja II telah melakukan beberapa kegiatan yang mencakup kegiatan pendidikan ketrampilan baik di bidang ekonomi seperti Wabin Usep, UP2K, membuat payet pita, kegiatan prakoperasi dan kegiatan pendidikan dengan sasaran anak seperti melaksanakan kegiatan PAUD di Kelurahan Prawirodirjan, studi banding BKB, juga mengembangkan kegiatan masyarakat melaui informasi yang diperoleh dari koordinasi TP PKK.Kegiatan Pokja III di bidang pangan terutama berkaitan dengan teknik mengolah bahan pangan atau praktek memasak dan pengetahuan kualitas air minum. Kemudian kegiatan sandang berupa kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian budaya dan menampilkan prestasi berbusana muslim, dan kebersihan papan dengan memanfaatkan sampah menjadi barang berharga.Untuk Pokja IV lebih banyak dibidang kesehatan terutama kesehatan anak, ibu dan lansia.
3. Strategi Pengelolaan Kegiatan PKK Dalam Mewujudkan Masyatakat Sejahtera Berbasis Wilayah RW Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa potensi PKK di Kelurahan Panembahan dan Kelurahan Prawirodirjan dapat dirinci dan dipetakan menurut kekukatan, kelemahan, peluang dan tantangan /ancman PKK dalam melakukan kegiatan guna mewujudkan masyarakat dan keluarga sejahtera. Melalui metode SWOT hasil pemetaan potensi kelembagaan PKK di kedua wilayah penelitian adalah sebagai berikut: Kekuatan: 1. 2.
Kader PKK jumlahnya banyak dan berkualitas Kader sudah lama aktif di PKK
Kelemahan: 1. 2.
Usia kader sebagian besar menjelang lansia Kemampuan pendanaan untuk melaksanakan kegiatan terbatas
Peluang: 1. 2. 3. 4.
Program dan kegiatan di berbagai instansi pemerintah jumlahnya banyak Kepedulian warga terhadap PKK tinggi Banyak potensi budaya lokal yang belum dimanfaatkan Jumlah penduduk dan keluarga meningkat
Ancaman: 1. 2.
Lapangan kerja bagi calon kader menuntut jam kerja panjang Kebutuhan hidup meningkat , kurang peduli lingkungan
4. Analisis Dari SWOT selanjutnya disusun strategi yang dapat digunakan PKK untuk pengelolaan kegiatan dalam mewujudkan masyarakat dan keluarga sejahtera. Dengan memperhatikan setiap peluang dihubungkan dengan kekuatan yang dimiliki PKK, maka beberapa strategi baik yang sudah dilaksanakan maupun yang berpotensi dapat dilaksanakan para kader PKK dapat diikuti melalui Tabel 1.
No.
1. 2.
Tabel 1. Strategi Meraih Peluang dengan memanfaat kekuatan PKK SWOT – STRATEGI (Strength - Opportunity) Peluang Program Pemerintah jumlah banyak Kekuatan Jumlah Kader banyak dan Strategi 1. Meraih program/kegiatan pemerintah dengan berkualitas menggerakkan semua kader Kader sudah lama aktiv di PKK Strategi 2. Meraih programprogram pemerintah dengan memaksimalkan kemampuan dan pengalaman kader Kepedulian warga terhadap PKK tinggi Strategi 3. Mensosialisasikan dan Mengajak warga terlibat pada 36
berbagai kegiatan PKK Strategi 4. Melakukan kegiatan bersama masyarakat dengan berbagai inovasi Strategi 5. Menjalin kerjasama dengan para donatur agar kegiatan PKK berkelanjutan Banyak potensi budaya local yang belum dimanfaatkan Strategi 6. Mengidentifikasi budaya lokal untuk rencana pengembangan kegiatan PKK di wilayah masing-masing kader Strategi 7. Mengikutkan kader dalam berbagai forum untuk menambah pengetahuan dan skill tentang pengembangan budaya lokal Strategi 8. Mebambah kegiatan yang lebih kreatif untuk pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal Strategi 9. Menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk pelestarian budaya lokal sekaligus meningkatkan ekonomi warga Jumlah penduduk dan keluarga meningkat Strategi 10a. Mengajak warga dewasa baik laki-laki dan perempuan untuk mengikuti kegiatan PKK Strategi 10b. Sosialisasi peraturan tentang kader PKK tidak harus perempuan Strategi 11. Melakukan kaderisasi yang sistematis
.
Sumber: Data Primer, 2014
No
1. 2.
Tabel 2. Strategi Meraih Peluang dengan Meminimalkan Kelemahan PKK SWOT – STRATEGI (WO) Peluang Program dan kegiatan di berbagai instansi pemerintah jumlahnya banyak Kelemahan Jumlah Kader banyak berusia lanjut Dana kegiatan PKK terbatas
.
Strategi 12. Meraih program/kegiatan pemerintah dengan seleksi untuk menyesuaikan kemampuan kader Strategi 13. Meraih program/kegiatan dari pemerintah dengan seleksi menyesuaikan dengan potensi pendanaan yang disediakan kader dan dana dari pemerintah Strategi 14. Meraih program-program pemerintah dengan permintaan pendampingan dari SKPD dinas terkait Kepedulian warga terhadap PKK tinggi Strategi 15. Membuat kesepakatan bersama kepala wilayah untuk terlibat dalam kepengurusan dan kegiatan PKK Strategi 16. Memberikan penghargaan kepada warga yang aktif dan peduli terhadap PKK Strategi 17. Membuat sistem untuk memberikan peluang kepada semua warga sebagai pimpinan kelompok PKK Strategi 18. Meminta warga yang muda untuk bersedia untuk membantu PKK dalam membuat laporan Banyak potensi budaya lokal yang belum dimanfaatkan Strategi19. Memanfaatkan potensi budaya lokal untuk meningkatkan ekonomi kader berusia lansia Strategi 20. Memanfaatkan potensi budaya lokal untuk mendukung pendanaan kegiatan PKK Strategi 21. Mengembangkan potensi budaya lokal dengan bekerjasama dengan organisasi setempat seperti: LPMK, Karang Taruna Strategi 22. Mengembangkan potensi budaya lokal dengan dikomunikasikan dan informasikan secara sederhana 37
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Jumlah penduduk dan keluarga meningkat Strategi 23. Membuat kesepakatan bersama kepala wilayah untuk terlibat dalam kepengurusan dan kegiatan PKK Strategi 24. Mengajak warga untuk terlibat kegiatan PKK sebagai donatur dana kegiatan Strategi 25. Membuat sistem untuk memberikan peluang kepada semua warga sebagai pimpinan kelompok PKK Strategi 26. Meminta warga yang muda untuk bersedia untuk membantu PKK dalam membuat laporan Sumber : Data Primer, 2014 Tabel 3. Strategi Menahan Ancaman/tantangan dengan Meminimalkan Kelemahan PKK SWOT – STRATEGI (S-T) Ancaman No. 1.
Kekuatan Jumlah Kader banyak
2.
Kader aktif PKK sudah lama
Lapangan kerja bagi calon kader dan kader yang bekerja menuntut jam kerja panjang Strategi 27. melakukan pendekatan kpd calon kader agar bersedia terlibat dalam kegiatan PKK dengan memperhatikan jadwal kerjanya Strategi 28. Kegiatan yang dilaksanakan agar menarik calon kader Strategi 29. Para kader bersedia membimbing calon kaderdalam berkegiatan Strategi 30. Calon kader diberikan kebebasan memilihkegitan dan tanggungjawabnya Kebutuhan hidup meningkat, warga kurang peduli lingkungan Strategi 31. Membuat kegiatan yang menarik perhatian dan memberi manfaat ekonomi warga Strategi 32. Melakukan diskusi di forum warga untuk mengetahui masalah dan pemecahan maslah secara bersama-sama Strategi 33. Membuat sinergi kegiatan PKK dan dengan kebutuhan warga untk meningkatkan kepedulian kepada PKK.
Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 4. SWOT : Memperhatikan Kelemahan Untuk Menghadapi Ancaman SWOT – STRATEGI (W-T) Ancaman No. 1.
Kelemahan Jumlah Kader banyak berusia
2.
lanjut Terbatas Dana
Lapangan kerja bagi calon kader dan kader yang bekerja menuntut jam kerja panjang Strategi 34. Melakukan kerjasama dengan kelompok karang taruna atau TP PKK dalam melaksanakan kegiatannya. Strategi 35. Melakukan seleksi kegiatan PKK dan melakukan kerjasama dengan lembaga lokal maupun di luar wilayah Strategi 36. Berkoordinasi dengan TP PKK untuk membuat sistem pengkaderan Strategi 37. Melakukan kerjasama dengan kelompok pemuda atau SKPD dalam melaksanakan pelaporan dan administrasi Kebutuhan hidup meningkat, warga kurang peduli lingkungan Strategi 38. Berkoordinasi dengan kepala wilayah, dan lembaga masyarakat lainnya 38
Strategi 39. Melakukan kerjasama dengan pemerintah setempat untuk mencari peluang peningkatan pendapatan keluarga Sumber: data primer, 2014
5. Hasil Analisis Dalam mengelola kegiatan, kader PKK mempunyai kesempatan menggunakan statergi yang mempertimbangkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Hasil analisis ditemukan sebayak 39 strategi yang dapat dipergunakan dalam mengelola kegiatan PKK sekaligus dapat menjadi alternatif dalam melaksanakan kegiatan PKK secara berkelanjutan. Dengan memperimbangkan segi demografi, sosial, ekonomi kader, maka adanya strategi tersebut dapat dipergunakan perencanaan program jangka menengah sekitar 3-5 tahun. Namun demikian belum semua strategi dipergunakan dalam mengelola kegiatan, karena belum semua kader memahami pentingnya melakukan identifikasi potensi kelembagaan PKK. Strategi memaksimalkan kekuatan untuk meraih peluang, menunjukkan bahwa sebagai mitra pemerintah , PKK telah bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan berbagai kegiatan.Namun memanfaatkan potensi budaya lokal, belum diperhatikan secara serius sebagai potensi penegmbangan ekonomi, sehingga peluang tersebut masih perlu didorong dengan modal sosial yang sudah ada dan dikomunikan ke berbagai pihak agar tumbuh solidaritas yang akhirnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Stategi meminimalisasikan kelemahan PKK untuk meraih peluang, dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 15 strategi yang dapat dilaksanakan, namun hampir semua strategi belum dipergunakan. Dalam menghindari ancaman atau menghadapi ancaman dengan memaksimalkan kekuatan PKK, sebnayak 6 strategi ditemukan dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa mengadakan kegiatan-kegiatan yang berorientasi ekonomi untuk mengangkat perekonomian warga perlu dilakukan . Hal tersebut mengingat bahwa sebagai kader adalah juga sebagai relawan, maka apabila kegiatan PKK tidak dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga akan ditinggalkan oleh calon-calon kader karena harus memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat.Strategi untuk mencegah terjadi ancaman dengan meminimalisasi kelemahan, hasil menunjukkan sebanyak 6 strategi dapat dilakukan PKK dalam mengelola kegiatan. Paling utama pada kondisi ini , PKK melakukan kegiatan koordinasi dengan kepala wilayah dalam hal ini RW, RT dan TP PKK Kelurahan serta kelompok pemuda-pemudi untuk bersama sama mencari upaya agar tujuan PKK dapat tercapay yaitu mensejahterakan keluarga dan masyarakat. Mengelola kegiatan PKK secara partisipatif dengan pengurus wilayah maupun warga menjadikan PKK tetap dinanti keberadaan dan perannya dalam pembangunan.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: 1) Dalam mengelola kegiatan PKK di lingkup wilayah RW, para kader menggunakan berbagai strategi. Terdapat 39 strategi yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini berdasarkan hasil analisis SWOT. Sebagian strategi yang teridenfikasi telah dilaksanakan oleh kader kader PKK RW, namun sebagian besar strategi belum dilaksanakan. Kurangnya komunikasi dan informasi dari PKK, akibatnya sebagian besar warga belum tumbuh rasa solidaritasnya sebagai warga di luar PKK secara agregat. terutama dalam kaderisasi, dan pendanaan. 2) Bersinergi dengan beberapa lembaga lain terutama instansi pemerintah melalui SKPD merupakan strategi yang digunakan dalam mengelola kegiatan. Adanya sinergi dan evaluasi, maka kegiatan PKK semakin baik. Disisi lain banyaknya kegiatan PKK yang bersinergi dengan program-program pemerintah dari berbagai instansi, menuntut dana dan pelaporan yang banyak, sehingga kegiatan atas inisiatif PKK sendiri jarang dilaksanakan karena keterbatasan dana. 3) Strategi kader yang sudah terlaksana dan belum terlaksana apabila ada kendala , maka kegiatan perlu ditindak lanjuti dengan beberapa rekomendasi kepada pihak-pihak terkait.
2. Rekomendasi Secara umum program dan kegiatan PKK tingkat basis lebih menyenangkan keluarga muda khususnya kaum ibu, dan remaja dan hasilnya dirasakan segenap warga. Dukungan berbagai pihak baik pemerintah dan swasta sangat diperlukan untuk rekomensasi ini yaitu: 39
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 1) Mengurangi beban administrasi kegiatan Pos Yandu Balita kepada kader PKK dengan cara membuat pelaporan yang lebih sederhana. Pelaporan yang lebih rinci sebaiknya dibebankan kepada petugas kesehatan setempat. 2) Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan memberikan pelatihan kepada seksi pemberdayaan di kantor kelurahan setempat, sehingga mendukung partisipasi warga atas terlaksananya program-program pemerintah. 3) Dinas Sosial melalui SKPD bekerjasama dengan perguruan tinggi khususnya dengan STPMD “APMD” memberikan sosialisasi dan pelatihan tentang “Pengasuhan Anak” kepada kader PKK RW . 4) Dinas tenaga kerja melalui SKPD agar membantu percepatan pengurangan kemiskinan dengan cara memberikan brosus atau informasi tentang pelatihan-pelatihan ketrampilan yang diberikan kepada PKK RW dan memberikan pelatihan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal. 5) Pihak swasta seperti CSR perusahaan membuka diri bagi akses PKK tingkat basis (PKK RW) sehingga program-programnya dapat langsung dirasakan masyarakat. Pemerintah kota menjalin kerjasama dengan pengusaha untuk memberikan beberapa persen keuntungan untuk gerakan PKK di tingkat basis. 6) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melakukan kerjasama dengan PKK guna memberi kesempatan kepada kader PKK RW di lokasi penelitian untuk mengembangkan potensi budaya local supaya ekonomi warga meningkat . Adapun bentuk kegiatannya yaitu menyediakan nasi langgi untuk acara Car free Day , atau acara acara lainnya menggunakan nasi langgi sebagai menu utama . 7) PKK Tingkat RW menjalin komunikasi intensip dengan berbagai pihak seperti kelompok pemuda, kelompok bapak-bapak dan pemimpin wilayah setempat sehingga permasalahan kaderisasi PKK dan pendanaan kegiatan dapat diketahui oleh stakeholders dan dipecahkan bersama.
Daftar Pustaka Anonim.
Konsep Pemberdayaan, Membantu Masyarakat Agar Bisa Menolong Diri http://www.pemberdayaan.com/pembangunan/pemberdayaan-masyarakat-dan-pembangunanberkelanjutan.html
Sendiri
Anonim. 2004, Pedoman Umum Gerakan Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tim Penggerak PKK Jakarta. Black A.james and Dean J.Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT Eresco: Bandung. Guha, Sriparna, and Goswami, Samrat. (2007). Impact of Gender Budgeting on Women Empowerment. http://www.inc.com/resources/leadership/articles/20070801 Priharsanti, Amelia. 2008. Peran Dan Potensi Gerakan PKK Serta Model Pemberdayaan Bagi Perempuan Dalam Rangka membantu Ekonomi Keluarga (Di Malang Raya). Tesis. Malang Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta. Rangkuti, Freddy.2002. Analisis SWOT. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rianse, Usman dan Abdi. 2008. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta. Soetomo, 2006. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tim Penggerak PKK Pusat. 2010. Hasil Rapat Kerja Nasional VII PKK Tahun 2010. Jakarta: TP PKK Pusat Periode 2010-2015.
40
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
RANCANG BANGUN DAPUR PELEBUR ALUMINIUM BERBAHAN BAKAR PADAT YANG LEBIH HEMAT ENERGI DAN LEBIH RAMAH LINGKUNGAN Oleh: Joko Winarno1
ABSTRACT In this work the performance of solid fueled furnace designed for aluminium melting with forced air flow was studied. The raw materials used in this experiment were aluminum scrap, wood charcoal and coal briquette as solid fuel. The performance evaluation of such furnace was carried out in order to determine efficiency and operation cost of the furnace. Towards this objective, measurement was taken for quantity of solid fuel used for different aluminum scrap melted and their corresponding melting time and temperature. The result showed that the efficiency of the designed furnace was 10,35% and the operation cost of this furnace was Rp. 1,560/ kg aluminum scrap for coal briquette fuel and Rp.2,880 / kg aluminum scrap for wood charcoal fuel. Keywords: furnace, solid fuel, aluminum, efficiency, operation cost
A. Pendahuluan Aluminium merupakan salah satu material logam non-ferro yang banyak digunakan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai industri. Untuk menghemat biaya pengolahan aluminium, saat ini banyak dilakukan proses remelting atau peleburan ulang aluminium bekas (aluminium scrap) terutama pada industri rumah tangga hingga industri kecil. Adanya kebijakan program konversi energi dari minyak tanah ke gas elpiji dari Pemerintah, saat ini banyak industri pengecoran aluminium skala rumah tangga hingga industri kecil menggunakan oli bekas karena harganya lebih murah dan ketersediaannya cukup banyak. Dalam prakteknya, pembakaran oli bekas banyak menimbulkan permasalahan baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi lingkungan. Oli bekas ini termasuk golongan limbah yang berbahaya (B3), apabila oli bekas ini langsung dibuang akan mencemari lingkungan karena dalam minyak pelumas bekas terkandung kotoran-kotoran logam, aditif, sisa bahan bakar dan kotoran lainnya dan jika minyak oli bekas dibakar begitu saja tanpa ada perlakuan awal juga akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan mengganggu kesehatan. Berbagai upaya pengembangan tungku atau dapur untuk peleburan aluminium saat ini telah banyak dilakukan untuk meningkatkan unjuk kerja tungku sehingga efisiensi pembakarannya dapat ditingkatkan. Di samping itu, pengembangan tungku ini juga dimaksudkan untuk menurunkan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari proses pembakaran bahan bakar di dalam tungku peleburan yang selama ini juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha industri pengecoran logam non-ferro, khususnya aluminium. Beberapa tungku peleburan aluminium yang telah dikembangkan di antaranya tungku berbahan bakar padat dengan sistem aliran udara paksa (Winarno, 2012). Tungku yang dirancang berbentuk kubus dengan ukuran 600 x 600 x 600 mm dengan kapasitas peleburan 5 kg aluminium scrap. Hasil pengujian dengan menggunakan briket batu bara menunjukkan bahwa besarnya kebutuhan bahan bakar adalah 2,3 kg baban bakar per kg aluminium scra dengan efisiensi sebesar 5,45 % karena rugi-rugi kalor yang terjadi masih cukup besar. Sundari (2011) telah mengembangkan tungku atau dapur yang dirancang adalah dapur crucible berbahan bakar gas LPG berbentuk silinder dengan diameter 220 mm dan tinggi 300 mm dengan kapasitas 30 kg. Dari hasil uji coba yang dilakukan diketahui bahwa untuk melebur aluminium scrap seberat 30 kg diperlukan waktu 1 jam 37 menit dan bahan bakar yang digunakan adalah 3,60 kg. Magga (2010) mengembangkan analisis perancangan tungku peleburan logam non-ferro jenis portable berbahan bakar arang sebagai sarana pembelajaran. Tungku peleburan yang direncanakan berbentuk kotak dengan diameter dalam berbentuk selinder dan cawang pelebur berbentuk selinder, dimensi tungku adalah 50 cm x 50 cm, diameter dalam selinder 30 cm. Dari hasil analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa besarnya kalor yang
1 Dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta, Jl. Tentara Rakyat Mataram 55-57 Yogyakarta 55231, Telp/Fax: (0274) 543676. Email:
[email protected]
41
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 digunakan untuk melebur 5 kg aluminium diperlukan kalor sebesar 3,030,600 J. Volume dari cawan pelebur yang diperlukan adalah 1,5 liter. Ashgi (2009) juga telah melakukan rancang bangun tungku peleburan aluminium berbahan bakar minyak dengan sistem aliran udara paksa. Dapur peleburan yang dirancang dibuat dari tatanan bata tahan api yang dilekatkan dengan campuran semen dan pasir tahan api. Dapur lebur mempunyai tinggi 62 cm, diameter luar 57 cm dan, diameter dalam 31 cm. Dari hasil pengujiannya diketahui peleburan 4 kg alumunium menggunakan bahan bakar solar diperlukan 5,8 liter dengan waktu peleburan 50-55 menit, sedangkan dengan menggunakan oli bekas diperlukan 6 liter, dan memerlukan waktu peleburan 60-65 menit. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan rancang bangun sebuah tungku peleburan aluminium berbahan bakar padat dengan sistem udara paksa yang dilengkapi dengan katup pengatur aliran udara. Tungku (dapur) pelebur didesain sedemikian sehingga proses pembakaran berlangsung secara lebih sempurna dengan rugirugi kalor yang seminimal mungkin. Dengan desain seperti ini, diharapkan bahan bakar yang diperlukan untuk proses peleburan dapat dihemat dan dampak lingkungan yang ditimbulkan juga dapat diminimalkan. Dalam penelitian ini juga akan dilakukan uji performa dari tungku yang dirancang dengan menggunakan dua jenis bahan bakar padat, yakni briket batu bara dan arang kayu.
B. Dasar Teori Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai ketahanan korosi yang baik. Berat jenis alumunium adalah 2,643 kg/m3 cukup ringan dibandingkan logam lain. Kekuatan alumunium yang berkisar 83 – 310 Mpa dapat melalui pengerjaan dingin atau pengerjaan panas (Surdia dkk, 1994). Di pasaran Alumunium ditemukan dalam bentuk kawat foil, lembaran, pelat dan profil. Semua paduan alumunium ini dapat mampu dibentuk, dimesin, dilas atau dipatri. Proses peleburan adalah proses pencairan bahan (besi cor) dengan jalan dipanaskan di dalam sebuah dapur peleburan, setelah bahan mencair kemudian dituang ke dalam cetakan (Arifin, 1976). Pada proses peleburan alumunium digunakan dapur jenis crucible. Dapur crucible adalah dapur yang paling tua digunakan. Dapur ini kontruksinya paling sederhana dan menggunakan kedudukan tetap dimana pengambilan logam cair dilakukan dengan menggunakan ladle atau gayung. Dapur ini sangat fleksibel dan serbaguna untuk peleburan dengan skala kecil dan sedang. Dapur Crucible yang ada berbentuk pot yang terbuat dari lempung dicampur dengan pasir. Terdapat tiga macam crucible menurut jenis bahan bakar: gas, minyak dan kokas. Dapur Crucible dengan bahan bakar kokas jarang digunakan karena kurang efisien. Jumlah panas/kalor yang diperlukan dalam peleburan aluminium dapat digambarkan sebagai berikut (Zemansky, 1994): Suhu, oC
50 60 7
7
Q3 6
Q1
Q2
2 Kalor yang diberikan, Joule Gambar 1. Tahapan Peleburan Alumiium
Kalor yang diperlukan dalam peleburan aluminium adalah :
Qlebur = Q1 + Q2 + Q3 = m.(Cp.ΔT1 + KL + Cp ΔT2)
(1)
Dengan,
42
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Q1
= kalor untuk menaikkan suhu kamar menjadi suhu cair aluminium
Q2
= kalor untuk mencairkan aluminium
Q3
= kalor untuk menaikkan suhu (aluminium dari 660 0C sampai 750 0C)
m
= massa benda (Kg)
Cp = kalor jenis bahan (aluminium 8,8 x 102 J/Kg.K) KL = kalor lebur aluminium ΔT1 =
perubahan suhu dari T1 ke T2
ΔT2 =
perubahan suhu dari T2 ke T3
T1
= suhu awal (0C)
T2
= suhu akhir (0C) Waktu yang diperlukan untuk melebur aluminium dapat dihitung dengan persamaan :
t
Qlebur qcawan
(2)
Dengan, Qlebur
= kalor yang diperlukan untuk melebur aluminium
qcawan
= laju aliran kalor yang diserap oleh cawan/kowi pelebur Jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan persamaan (Culp dan Sitompul, 1976) :
mbb
Qlebur Qrugi rugi HHVbb
(3)
Dengan, Qrugi-rugi
= rugi-rugi kalor
HHVbb
= nilai pembakaran tinggi bahan bakar
C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode perancangan tungku peleburan aluminium berbahan bakar padat. Perancangan tungku peleburan aluminium yang dilakukan meliputi perancangan konsep, perancangan bentuk dan perancangan detail. Perancangan konsep dilakukan dengan membuat rancangan struktur tungku kemudian dilakukan analisis apakah sudah memenuhi kriteria perancangan yang telah ditetapkan. Setelah tahap perancangan selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah fabrikasi tungku dengan menggunakan acuan hasil perancangan detail dari tungku ayang akan dibuat yang dilanjutkan dengan pengujian tungku dan analisis hasil. Jika hasil pengujian belum memenuhi kriteri yang telah ditetapkan, kemudian dilakukan perbaikan dan penyempurnaan tungku, dan kemudian dilakukan pengujian ulang. Diagram alir dari metode penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
43
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Setelah hasil dari pengujian tungku telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan, kemudian dilakukan analisis yang mendalam untuk mendapatkan kesimpulan terhadap hasil rancangan tungku. Selanjutnya kesimpulan ini digunakan untuk membuat rekomendasi ke pihak-pihak terkait.
D. Hasil dan Pembahasan Hasil rancangan tungku yang telah dibuat dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2. Tungku Hasil Rancangan
Proses pengujian tungku yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini. 44
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
Gambar 3. Pengujian Tungku Hasil Rancangan Distribusi temperatur pada berbagai waktu peleburan pada pengujian yang pertama, yakni dengan menggunakan bahan bakar briket batubara dan pengujian yang kedua, yakni dengan menggunakan bahan bakar arang kayu dapat dilihat pada gambar 4 dan 5..
Gambar 3. Distribusi Temperatur Pada Pengujian yang Pertama
45
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Gambar 5. Distribusi Temperatur Pada Pengujian yang Kedua
Dari hasil pengujian tungku peleburan aluminium yang pertama diketahui bahwa tungku yang dirancang mampu untuk meleburkan aluminium scrap rata-rata 2,5 kg per jam. Waktu yang diperlukan hingga titik lebur adalah 1 jam, dan waktu yang diperlukan hingga mencapai temperatur 810 oC adalah 1,25 jam. Jumlah bahan bakar yang digunakan hingga mencapai temperatur 810 oC adalah 3,25 kg. Hal ini berarti kebutuhan bahan bakar untuk melebur aluminium adalah sebesar 1,3 kg baban bakar per kg aluminium scrap. Besarnya laju pembakaran bahan bakar ini lebih kecil jika dibandingkan dengan tungku peleburan berbahan bakar solar yang mencapai 1,4 liter per kg aluminium scrap, tungku peleburan berbahan bakar oli bekas yang mencapai 1,5 liter per kg aluminium scrap dan tungku peleburan berbahan bakar minyak tanah yang mencapai 1,6 liter per kg aluminium scrap. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa besarnya kalor rata-rata yang digunakan untuk melebur aluminium scrap hingga mencapai temperatur akhir 796 oC adalah 1095 kJ per kg aluminium scrap. Jika briket batu bara yang digunakan memiliki nilai kalor permbakaran tinggi (HHV) sebesar 20092 KJ/kg, maka besarnya kalor rata-rata yang dilepas bahan bakar batu bara di ruang bakar untuk dapat melebur aluminium scrap hingga mencapai temperatur akhir 796 oC adalah 26120,6 kJ per kg aluminium scrap. Berdasarkan hasil analisis kalor ini dapat diketahui bahwa bersarnya efisiensi tungku peleburan aluminium yang dengan bahan bakar briket arang adalah 10,5%. Dengan cara yang sama dapat diketahui bahwa bersarnya efisiensi tungku peleburan aluminium yang dengan bahan bakar arang kayu adalah 10,1%, sehingga besarnya efisiensi rata-rata dari tungku yang dirancang adalah 10,3 %. Efisiensi tungku ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil evaluasi efisiensi tungku peleburan aluminum scrap berbahan bakar gas LPG yang mencapai 19,5% (Sundari, 2011) dan juga masih lebih rendah jika dinadingkan dengan besarnya efisiensi Tungku Rumah Tangga (TRT) yakni berkisar 14% - 26% (Supriyatno dkk, 1994). Hasil analisis kinerja tungku dan biaya operasi peleburan aluminium yang dirancang dan beberapa tungku lainnya dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan hasil analisis biaya operasi peleburan seperti ditunjukkan oleh tabel di atas, maka ini dapat diketahui bahwa bersarnya biaya operasi tungku peleburan aluminium dengan bahan bakar briket batu bara yang dirancang adalah Rp. 1560 per kg aluminium. Besarnya biaya operasi ini masih lebih tinggi dibandingkan biaya operasi tungku peleburan aluminum berbahan bakar gas LPG yang hanya Rp. 1.200 per kg (Sundari, 2011), akan tetapi lebih rendah dari jenis tungku lainnya.
Tabel 1. Perbandingan Kinerja Berbagai Tungku Peleburan Aluminium 46
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
E. Kesimpulan Dari serangkaian hasil pengujian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Tungku yang dirancang dapat digunakan untuk melebur aluminium dengan laju peleburan 2,5 kg aluminium acrap per jam dan laju konsumsi bahan bakar sebesar 1,3 kg bahan bakar per jam. Besarnya laju pembakaran bahan bakar ini lebih kecil jika dibandingkan dengan tungku peleburan berbahan bakar solar, berbahan bakar oli bekas dan tungku peleburan berbahan bakar minyak tanah. Besarnya efisiensi rata-rata tungku peleburan aluminium yang dirancang adalah sebesar 10,3 % karena rugi-rugi kalor masih terjadi. Besarnya biaya operasi dari tungku peleburan aluminium yang dirancang adalah Rp. 1.560 per kg untuk bahan bakar briket batu bara dan Rp. 2.880 per kg untuk bahan bakar arang kayu.
F. Rekomendasi Oleh karena itu kami dapat memberikan saran dan rekomendasi kebijakan (policy brief) sebagai berikut : 1.
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian melalui UPT Logam perlu melakukan upaya lebih jauh untuk mengembangkan tungku peleburan aluminium skala industri berbahan bakar padat untuk menggantikan tungku peleburan aluminium berbahan bakar oli bekas.
2.
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian melalui UPT Logam perlu melakukan sosialisasi kepada para pengusaha peleburan aluminium untuk tidak menggunakan oli bekas sebagai bahan bakar di dalam peleburan aluminium dan beralih menggunakan bahan bakar gas LPG karena dengan desain tungku yang baik dapat tungku dengan bahan bakar gas LPG ini dapat memberikan efisiensi dan biaya operasi yang lebih rendah dibandingkan dengan tungku berbahan bakar oli bekas.
3.
Dinas Lingkungna Hidup perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pembakaran oli bekas secara langsung tanpa melalu proses pre-treatmnt terlebih dahulu sehingga dapat meminimalkan dampak lingkungan yang lebih serius akibat maraknya penggunaan oli bekas sebagai bahan bakar.
Daftar Pustaka Anonim, 2012, Dapur Peleburan Logam, http://hapli.wordpress.com, diakses pada 19 April 2013. Anonim, 2012, Peleburan Dengan Tanur Induksi, http://hapli.wordpress.com, diakses pada 19 April 2013. Anonim, 2011, Pengolahan Logam dengan Dapur Kupola, http://www.gudangmateri.com. diakses pada 19 April 2013. 47
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Archie W. Culp, Jr., Darwin Sitompul, 1976, Prinsip-Prinsip Konversi Energi, Mc Graw Hill, New York. Arifin, Syamsul, 1976, Ilmu Logam, Jilid I, Ghalia Indonesia, Jakarta. Ashgi, 2009, Rancang Bangun Dapur Kowi Pelebur Aluminium Berbahan Bakar Minyak, Digital Library, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, http://digilib.uns.ac.id., diakses pada 18/02/2013, 12:46. Chengel, Yunus and Michael Boles, 1998. Thermodynamics: An Engineering Approach. Highstown: McGraw-Hill. Ighodalo, O.A., Akue, G., Enaboifo, E., Oyedoh, J., 2011, Performance Evaluation Of The Local Charcoal-Fired Furnace For Recycling Aluminium, Journal Of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences (JETEAS) 2 (3) 448 – 450, Scholarlink Research Institute Journals (ISSN : 2141 – 7016). Magga, R., 2010, Analisis Perancangan Tungku Pengecoran Logam (non-Ferro) Sebagai Sarana Pembelajaran Teknik Pengecoran, JIMT Vol. 7, No. 1, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako. Sundari, E., 2011, Rancang Bangun Dapur Peleburan Aluminium Bahan Bakar Gas, Jurnal Austenit, Volume 3 Nomor 1, April 2011, Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Siwijaya. Surdia, Tata dan Saito Sinkoru, 2000, Pengetahuan Bahan Teknik, Pradnya Paramita, Jakarta. Supriyatno, Nazif dan Mamat, 1994, Pengujian Efisiensi Energi Tungku Rumah Tangga, Porsiding Seminar Ilmiah, P3FT, LIPI, Jakarta. Tata Surdia, 2000, Teknik Pengecoran Logam, Pradya Pramita, Jakarta Winarno, 2012, Rancang Bangun Tungku Peleburan Aluminium Sistem Aliran Udara Paksa,. Jurnal Teknik, Periode Oktober 2012, Fakultas Teknbik Univ. Janabadra Yogyakarta.
48
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
MODEL PENGEMBANGAN SOCIO-PERFORMANCE LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) SEBAGAI USAHA PENINGKATAN KUALITAS EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT DI KOTA YOGYAKARTA Oleh: Dewi Kusuma Wardani1, Sri Hermuningsih2
ABSTRACT The number of poor people in Yogyakarta rose to 21 299 households or 68 188 inhabitants in 2013 from 17 018 households or 54 530 inhabitants in 2012 (SK Gubernur Yogyakarta 451 / Kep / 2012). Rising poverty in Yogyakarta should receive special attention because poverty is a problem of development of social welfare due to impact on the success of development in other areas. KUBE Micro Finance Institution (MFI) program is an effort to alleviate poverty. According to data from the Ministry of Social Affairs can be said that the MFI program KUBE successful in empowering the poor. However, according to research results Mujiyadi (2007) and Andariani (2011) found that the MFI KUBE not perceived benefits economically and yet can increase the family income. Differences KUBE MFI performance evaluation results by the government with the benefits perceived by society raises some questions "how the actual socio-performance KUBE MFIs in the city of Yogyakarta and how the model of development?" It is important for the city government as a basis for policy making quality improvement program of economic development and social community. This study used qualitative method. Qualitative method was conducted with in-depth interviews and observation. To complement the qualitative method, quantitative performed using descriptive statistics, like percentage diagram. The results show that the MFI KUBE Yogyakarta city has a good social performance, however, there needs to be development in order to alleviate poverty. Therefore, some people need to join hands, such as governments, universities, businesses, and communities. Keywords: KUBE Micro Finance Institution (MFI), poverty, socio-performance
A. Pendahuluan Jumlah penduduk miskin di Kota Yogyakarta tahun 2013 naik menjadi 21.299 KK atau 68.188 jiwa dari 17.018 KK atau 54.530 jiwa di tahun 2012 (SK Walikota Yogyakarta No.451/Kep/2012). Naiknya angka kemiskinan di Kota Yogyakarta perlu mendapat perhartian khusus karena kemiskinan menjadi masalah pembangunan kesejahteraan sosial karena berdampak pada keberhasilan pembangunan di bidang lain. Pemengentasan kemiskinan telah menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional. Kota Yogyakarta menegaskannya dalam RPJMD 2012-2016, yaitu misi ketiga yang berbunyi “Mewujudkan pemberdayaan masyarakat dengan gerakan Segoro Amarto”. Program LKM KUBE merupakan salah satu upaya pengentasan kemiskinan dengan mengorganisir masyarakat miskin dalam sebuah kelompok usaha bersama dan menyediakan bantuan modal pinjaman melalui LKM KUBE. Outcome yang diharapkan dari program ini adalah peningkatan kerjasama kelompok, peningkatan pengetahuan dan kepedulian social antar anggota kelompok, serta mendekatkan keluarga miskin, yang pada akhirnya bermuara pada meningkatnya kualitas ekonomi dan sosial mereka (Andariani, 2011). Menurut data dari Kementrian Sosial dapat dikatakan bahwa program LKM KUBE berhasil dalam memberdayakan masyarakat miskin. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah asset LKM KUBE dari Rp 30,25 milyar di tahun 2003 menjadi Rp 52,79 milyar, meningkatnya jumlah sasaran dari 17.321 kepala keluarga (KK) atau 695 KUBE menjadi 26.727 KK atau 2.797 KUBE. Namun demikian, menurut hasil penelitian Mujiyadi (2007) dan Andariani (2011) ditemukan fakta bahwa LKM KUBE belum dirasakan manfaatnya secara ekonomi serta belum dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
1
Peneliti pada Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, Email:
[email protected]
2
Peneliti pada Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, Email:
[email protected]
49
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Perbedaan hasil penilaian kinerja LKM KUBE oleh pemerintah dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat ini menimbulkan beberapa pertanyaan “bagaimana sebenarnya socio-performance LKM KUBE di Kota Yogyakarta” Hal ini penting bagi pemerintah kota sebagai bahan pengambilan kebijakan pengembangan program peningkatan kualitas ekonomi dan social masyarakat.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui socio performance LKM KUBE di Kota Yogyakarta, dengan melihat dampak multiplier LKM KUBE terhadap (1) peningkatan kesempatan kerja, (2) pengurangan kemiskinan, (3) peningkatan pendapatan keluarga, (4) peningkatan akses dan kualitas pendidikan, (5) peningkatan akses dan kualitas kesehatan, (6) peningkatan kepemilikan aset dan faktor produksi, (7) peningkatan kemampuan berorganisasi, (8) pemberdayaan perempuan, (9) perubahan pola konsumsi dan menabung, (10) peningkatan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat antara lain bagi pemerintah, masyarakat, dan akademisi.
C. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Lembaga Keuangan Mikro Program keuangan mikro memfokuskan pada perluasan aktifitas ekonomi dan meningkatkan standar hidup klien dengan menyediakan jasa keuangan yang diperlukan. Keuangan mikro juga memfasilitasi berkembangnya usaha kecil. Keuangan mikro dapat didefinisikan sebagai penawaran jasa keuangan seperti tabungan, kredit dan transfer dana kepada masyarakat ekonomi golongan bawah yang tidak dapat mengakses jasa bank reguler (Wilson, 2003). Meskipun tujuan utama Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah meningkatkan status ekonomi masyarakat miskin, sebagian besar LKM memperluas tujuannya untuk memberikan dampak bagi masyarakat secara lebih luas. Karena rumah tangga yang menjadi sasaran LKM adalah bagian dari masyarakat dan ekonomi yang lebih luas, dampak yang dirasakan oleh rumah tangga juga akan berimbas terhadap masyarakat secara luas. Keuangan mikro dipandang sebagai salah satu pendekatan yang paling logis untuk mengentaskan kemiskinan karena langsung menyentuh akar rumput masyarakat paling bawah, bersifat berkelanjutan, mampu melibatkan segmen yang luas, dan membangun kapasitas ekononomi klien.
2. Paradigma Keuangan Mikro Munculnya kredit mikro pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an dilatarbelakangi oleh meningkatnya perhatian terhadap keuangan di perdesaan. Indonesia yang dipelopori oleh BRI, termasuk salah satu negara yang memperkenalkan keuangan mikro disamping Greemen di Bangladesh dan PRODEM di Bolivia. Meskipun terdapat beberapa perbedaan diantara ketiga negara tersebut, kesamaan utama kredit mikro ini adalah lebih menekankan pada prinsip karakter klien dan dorongan kemitraan (peer pressure) dibandingkan kredit komersial yang lebih mementingkan jaminan untuk mengamankan dana pinjaman, bunga untuk menutupi kerugian dan biaya transaksi,dan insentif bagi yang mengembalikan kredit lebih awal (Meyer dan Nagarajan, 1999).
3. Proses Keuangan Mikro Sebagian besar LKM membawa misi sosial yang beragam, misalnya memperluas akses ke jasa keuangan, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, membangun solidaritas masyarakat atau meningkatkan pengembangan ekonomi. Kinerja sosial menunjukkan sejauh mana LKM mampu mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan ini. Konsep kinerja sosial tidak hanya memfokuskan pada dampak akhir.
4. Tujuan Evaluasi Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Penilaian kinerja sosial (social performance) merupakan suatu proses dimana suatu organisasi melakukan benchmark antara kinerja sosial aktual dengan misi sosial yang telah ditetapkan sebelumnya (Copestake, 2005). Misi dan tujuan kinerja sosial ini tidak hanya sekedar ditujukan kepada kelompok target tetapi juga kepada stakeholder yang terkait. Karena obyek penilaian kinerja sosial merupakan suatu proses, maka pengukuran ini dapat diterapkan pada berbagai tahapan social-impact causal chain, yaitu suatu model yang mendeskripsikan bagaimana suatu dampak dapat tercipta dari suatu program. Berdasar model ini, dampak suatu program diawali dari input organisasi yang kemudian ditransformasikan melalui proses internal dan kemudian menjadi output. Output menghasilkan outcome, sedangkan outcome memberikan dampak. Secara grafis, social-impact causal chain. Penilaian terhadap kinerja sosial digunakan untuk mengevaluasi seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh penerima kredit untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan. Penilaian ini termasuk diantaranya adalah menganalisis apakah sistem yang dibangun dan instrumen yang digunakan telah benar-benar sesuai dengan tujuan sosial. Penilaian kinerja sosial juga mengevaluasi outcome yang dihasilkan oleh program tersebut. 50
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Penilaian kinerja sosial dapat dilakukan hanya pada satu titik waktu tertentu (one time assesment) atau dapat pula dilakukan secara berkelanjutan (on-going process). Kinerja sosial merupakan penterjemahan dari misi social organisasi ke dalam praktek. Nilai sosial keuangan mikro berkaitan dengan bagaimana jasa keuangan meningkatkan kehidupan kaum miskin, kaum miskin, dan keluargannya untuk dapat mengakses kesempatan yang lebih luas dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan nilai-nilai ini, tujuan sosial LKM termasuk diantaranya adalah (Misra, 2006): 1.
Meningkatkan jumlah pelayanan terhadap masyarakat miskin, tidak termasuk orang yang sedang menerima kredit, secara berkelanjutan
2.
Meningkatkan kualitas dan ketepatan jasa keuangan yang tersedia untuk klien targe melalui penilaian sistematis kebutuhan yang spesifik
3.
Menciptakan manfaat bagi klien keuangan mikro, termasuk diantaranya adalah keluarga dan komunitas yang terkait dengan klien. Manfaat ini juga termasuk diantaranya adalah memperluas jaringan sosial klien, mengurangi ketidakpastian, meningkatkan pendapatan, dan pemenuhan kebutuhan pokok.
4.
Meningkatkan tanggung jawab sosial LKM terhadap karyawan, klien dan masyarakat yang dilayaninya.
Kinerja sosial tidak hanya mencakup pengukuran tujan dan outcome tetapi juga bagaiman tindakan dan ukuran-ukuran koreksi diambil oleh LMM untuk mencapai outcome yang ditetapkan. Penilaian kinerja sosial tidak hanya memfokuskan pada dampak akhir. Tujuan dari penilaian adalah menentukan apakah LKM memberikan fasilitas bagi dirinya untuk mencapai tujuan sosial yang ditetapkan, dengan memantau sejauh mana tujuan tercapai, dan mengevaluasi sejauh mana informasi yang diperolehnya untuk memperbaiki kegiatan operasinya. Untuk menilai kinerja social dana bergulir, Economic and Social Commission for Asia and Pacific (ESCAP), Integra-Clients Monitoring System, dan CERISE-Social Performance Initiative mengarahkan bahwa peneliti sebaiknya memperhatikan tiga dampak, yaitu dampak individual, dampak rumah tangga, dan dampak masyarakat (UNESCAP, 2000).
D. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif (qualitative study). Pendekatan ini akan menganalis dan memperjelas sebab-sebab perubahan sosial-ekonomi yang dipersepsikan sebagai dampak LKM KUBE serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan socio performance LKM KUBE. Objek penelitian ini adalah kinerja social Lembaga Keuangan Mikro KUBE dalam meningkatkan kualitas ekonomi dan sosial masyarakat. Penelitian ini menggunakan pengambilan sampel bertujuan. Kriteria yang pertama adalah pihak yang terlibat langsung dengan LKM KUBE, baik dari pemerintah, pengelola, dan anggota. Dari enam LKM KUBE yang ada di Kota Yogyakarta, peneliti mengambil empat LKM KUBE dengan alasan (1) salah satu LKM KUBE sudah tidak aktif dan (2) salah satu LKM KUBE bukan berbasis kecamatan sehingga kedua LKM tersebut tidak diambil. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif. Data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah data tentang socio-performance program LKM KUBE, baik data sekunder maupun data primer. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari data monografi. Untuk menganalisis kinerja social LKM KUBE, peneliti metode reduksi, analisis dari pernyataanpernyataan khusus dan tema-tema, dan semua kemungkinan pemaknaan. Untuk mempermudah dalam menggali data, peneliti membuat instrumen wawancara semi tertutup. Cara ini dilakukan karena hasil wawancara dengan pengelola menyampaikan bahwa nasabah tidak terbiasa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terbuka. Peneliti tidak melakukan focus group discussion (FGD) karena dalam FGD tidak dapat mendapatkan data dari seluruh peserta. Diskusi biasanya didominasi oleh beberapa orang. Agar dapat memperoleh data dari seluruh responden, peneliti menggunakan wawancara mendalam dan dibantu instrument wawancara tertutup. Guna menguji keabsahan data, peneliti menggunakan teknik trianggulasi, dengan cara multi subjek dan multi metoda. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dari berbagai sumber data, yaitu staf Dinsosnakertrans Pemkot Yogyakarta, serta pengurus, dan anggota LKM KUBE. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda kajian data sekunder, wawancara mendalam, dan observasi. 51
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
E. Hasil Penelitian 1. Pendapat Socio-Performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) menurut Pengelola a.
Dampak terhadap Peningkatan Kesempatan Kerja
100%
Betul Sekali
Salah satu sasaran LKM KUBE adalah ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak bekerja dapat membuat usaha, seperti membuat batik jumputan, warung makan, dan lain-lain). Hal ini dapat dilakukan karena persyaratan meminjam di LKM KUBE pada awalnya adalah mereka yang memiliki usaha dan tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Oleh sebab itu, seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE dapat meningkatkan kesempatan kerja, yaitu dengan membuat usaha mandiri.
b. Dampak terhadap Pengurangan Kemiskinan
Betul Sekali 100% Seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE dapat mengurangi kemiskinan. LKM KUBE menjadi salah satu sumber pendanaan non bank yang tidak memberatkan masyarakat. Dengan adanya LKM KUBE maka masyarakat yang membutuhkan dana, tidak perlu kebingungan mencari dana segar melalui rentenir. c.
Dampak terhadap Peningkatan Pendapatan Keluarga
Betul Sekali 100% Pengelola menilai bahwa LKM KUBE dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar nasabah meminjam untuk keperluan usaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Kebanyakan nasabah akan kesulitan membayar (nunggak) ketika dagangan sepi. Pengelolapun memberikan kemudahan dengan mengijinkan penundaan pembayaran angsuran maksimal selama 2 bulan dengan harapan pada bulan ketiga usaha nasabah sudah ramai kembali. d. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan
Betul Sekali 100% Dari hasil pengamatan pengelola, pinjaman mengalami lonjakan pada bulan Mei dan Juni. Pada umumnya, nasabah melakukan pinjaman pada bulan-bulan ini dengan tujuan memperoleh bantuan dana untuk membayar uang sekolah anaknya. Hal ini dilakukan agar uang yang sebenarnta mereka miliki bisa tetap digunakan untuk modal usaha dan tidak digunakan untuk membayar uang sekolah sehingga usaha mereka tetap bisa berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE dapat meningkatkan akses dan kualitas pendidikan.
52
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 e.
Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Kesehatan
29% Betul Sekali Tidak Setuju
71%
Sebagian besar pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE tidak berdampak pada peningkatan akses dan kualitas kesehatan. Hanya sedikit nasabah yang pinjam untuk berobat karena sudah ada mekanisme Jamkesmas dan BPJS.
a. Dampak terhadap Peningkatan Kemampuan Berorganisasi Betul Sekali Tidak Setuju
14%
86% Sebagian besar pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE berdampak pada peningkatan kemampuan berorganisasi. Hal ini dikarenakan nasabah dapat meminjam ketika bergabung dalam KUBE dan mengikuti pertemuan rutin setiap bulan. Namun demikian, seiring dengan waktu, proporsi nasabah yang meminjam sebagai anggota KUBE mengalami penurunan bila dibandingkan dengan nasabah umum. Hal ini terjadi di LKM KUBE Kotagede dan LKM KUBE Umbulharjo. f.
Dampak terhadap Pemberdayaan Perempuan
Betul Sekali 100% Meskipun sasaran LKM KUBE adalah kepala keluarga yang memiliki usaha, namun LKM KUBE berdampak pada pemberdayaan perempuan karena sebagian besar yang meminjam adalah perempuan. Proporsinya rata-rata 70%. Selain itu, perempuan dapat bergabung karena mereka menggantikan suaminya untuk ikut dalam pertemuan rutin dan akhirnya keanggotaan dialihkan pada nama mereka sendiri. Dalam pertemuan itu, sering diadakan pelatihan.Misalnya, pada LKM KUBE Wirobrajan pernah diadakan pelatihan pembuatan fillet ikan sehingga dapat menjadi alternatif usaha baru bagi mereka. g.
Dampak terhadap Perubahan Pola Konsumsi dan Menabung
100%
Tidak Setuju
Seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE tidak dapat mengubah pola konsumsi nasabahnya. Peminjam tidak seluruhnya meminjam untuk usaha, melainkan juga meminjam demi memenuhi kebutuhan konsumtif, seperti membeli peralatan elektronik. Menurut pengelola, apabila digunakan untuk usaha saja, rata-rata pinjaman yang dibutuhkan hanyalah sebesar Rp 500.000,-,namun sebagian besar meminjam hingga Rp 2.000.000,- dikarenakan memenuhi kebutuhan konsumsi. Hal ini tidak dapat dicegah karena gaya hidup yang ikut berubah seiring perkembangan jaman. 53
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
100% Betul Sekali
Di sisi lain, LKM KUBE dapat mengubah pola menabung. LKM KUBE tidak hanya melayani peminjaman uang, namun juga melayani tabungan masyarakat. Ada juga saham yangmirip seperti simpanan pokok di koperasi. Namun memang belum ada kewajiban untuk menyimpan uang sebagai agunan pinjaman karena LKM KUBE tidak menggunakan agunan bagi nasabah KUBE. Perubahan pola menabung ini diamati oleh pengelola dengan member contoh bahwa ada penjual soto keliling yang setiap hari mampir ke LKM KUBE untuk menabung pendapatannya. Batas minimal tabungan yang tidak tinggi ini memudahkan masyarakat kecil untuk terbiasa menabung dari penghasilan hariannya.
2. Socio-Performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) menurut Nasabah a.
Dampak terhadap Peningkatan Kesempatan Kerja, Pengurangan Kemiskinan, dan Peningkatan Pendapatan Keluarga
30%
0%
9% Sangat Setuju Setuju
61%
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Mayoritas nasabah berpendapat bahwa LKM KUBE meningkatkan modal usaha mereka. Hal ini dikarenakan mayoritas pengajuan kredit bertujuan untuk modal usaha. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan mengajukan kredit untuk tujuan lain, seperti untuk membayar uang sekolah.
17% 6%
17% Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju
60%
Sangat Tidak Setuju
Mayoritas nasabah merasa bahwa pendapatan keluarga mereka dapat meningkat berkat pinjaman dari LKM KUBE. Hal ini dikarenakan dengan adanya pinjaman maka modal usaha mereka bertambah dan dapat digunakan untuk pengembangan usaha. Hanya sebagian kecil yang merasa bahwa pendapatan keluarga tidak meningkat. Nasabah ini biasanya meminjam untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak atau untuk membeli barang konsumtif. b. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan
18% 16%
24%
Sangat Setuju Setuju
42%
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
54
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Sebanyak 66% nasabah merasa bahwa LKM KUBE dapat meningkatan akses dan kualitas pendidikan. Hal ini dikarenakan sebagian besar mereka menggantungkan pinjaman di LKM KUBE ketika kesulitan membayar uang sekolah di awal tahun ajaran. Di sisi lain, 34% nasabah tidak merasakan manfaat yang sama. Sebagian dari mereka sudah lanjut usia sehingga anak-anak sudah lulus sekolah. Selain itu ada beberapa yang memang tidak menggunakan pinjaman di LKM KUBE untuk membayar uang sekolah, namun digunakan untuk usaha. c.
Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Kesehatan
18%
29%
Sangat Setuju Setuju
16%
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
37%
Meskipun sudah ada Jamkesda dan BPJS, namun nasabah merasakan dampak positif LKM pada peningkatan akses dan kualitas kesehatan. Hal ini dikarenakan seringkali mereka tidak memanfaatkan fasilitas Jamkesda dan BPJS karena keadaan sehingga pinjaman dari LKM KUBE dapat digunakan sebagai sumber dana untuk mengakses fasilitas kesehatan. d. Dampak terhadap Peningkatan Kepemilikan Aset dan Faktor Produksi
18%
29%
Sangat Setuju Setuju
16% 37%
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Tujuh puluh enam persen nasabah merasa bahwa dengan adanya LKM KUBE, mereka tidak lagi kebingungan dalam membeli sarana produksi, seperti alat dan bahan baku. e.
Dampak terhadap Peningkatan Kemampuan Berorganisasi
16%
1% 50%
33%
Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Delapan puluh tiga persen nasabah berpendapat bahwa mereka aktif mengikuti organisasi masyarakat sejak bergabung dengan LKM KUBE. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban mengikuti pertemuan rutin bulanan KUBE. Mereka hanya diberi kesempatan 2 kali tidak hadir. Bahkan di KUBE ini, mereka tidak boleh menitipkan angsuran pada yang lain untuk mencegah terjadinya penyelewengan uang pembayaran angsuran.
55
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 f.
Dampak terhadap Perubahan Pola Konsumsi dan Menabung
30%
37%
Sangat Setuju Setuju
17%
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
16%
Lima puluh empat persen nasabah merasa bahwa terjadi perubahan pola konsumsi sejak menjadi nasabah di LKM KUBE. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan pinjamannya untuk membeli sarana transportasi (sepeda, motor, mobil) dan juga alat komunikasi (telepon seluler). Sedangkan 46% lainnya merasa tidak ada perubahan konsumsi karena mereka sudah memiliki alat transportasi & komunikasi sehingga tidak perlu pinjam LKM untuk membeli lagi. g.
Dampak terhadap Peningkatan Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan
6% 35%
7%
Sangat Setuju
52%
Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Delapan puluh tujuh persen nasabah merasa bahwa mereka dapat terlibat dengan pengambilan keputusan dengan aktif memberikan saran pada pengurus organisasi, termasuk LKM KUBE.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja social LKM KUBE di Kota Yogyakarta dapat dikatakan baik, namun perlu beberapa pembenahan dalam aspek SDM, pemasaran, operasional, dan keuangan/modal.Upaya peningkatan kinerja social LKM KUBE tidak hanya dapat dilakukan oleh Dinsosnakertrans sebagai pemrakarsa atau inisiator, melainkan perlu adanya sinergi dari berbagai pihak, seperti masyarakat, perguruan tinggi, dan perusahaan. Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi bagi pemerintah Kota Yogyakarta, antara lain: 1.
2. 3.
4.
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya memperbaiki mekanisme pengelolaan nasabah LKM KUBE dengan cara: a. Kewajiban melakukan pendampingan pertemuan rutin. Hal ini perlu didukung dengan penambahan jumlah pendamping/pengelola b. Sinergisitas program pendampingan LKM KUBE & KUBE. Maksudnya adalah pendampingan secara terus menerus KUBE yang baru dan lama dengan mengajak pengelola LKM KUBE. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat program pelatihan pengelola LKM KUBE untuk memperbaiki kinerja pengelola, terutama dalam hal pendampingan pertemuan LKM KUBE Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) sebaiknya membuat program RT/RW anti bank plecit atau anti rentenir. Hal ini dapat menjadi salah satu cara agar kemiskinan yang diakibatkan jeratan rentenir dapat dikurangi. Beberapa cara agar program ini dapat berjalan adalah dengan: a. Menggandeng LKM dan lembaga perbankan untuk menggalakkan budaya menabung dan meminjam pada institusi keuangan yang sah. b. Sosialisasi bahaya rentenir ke sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan pertemuan-pertemuan warga Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat sistem pendataan bantuan dan/atau pelatihan guna pengentasan kemiskinan agar tidak terjadi duplikasi program. 56
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 5. 6.
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat sistem penilaian kinerja social program pengentasan kemiskinan berbasis android sehingga dapat diisi dan dibawa dengan mudah oleh petugas. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) sebaiknya membuat program: a. Pelatihan perencanaan keuangan rumah tangga agar para ibu-ibu dapat menata keuangan rumah tangga. Ibu-ibu sebaiknya dibekali pengetahuan tersebut agar dapat mensiasati pendapatan yang kecil agar tetap dapat memenuhi pengeluaran dan juga dapat berinvestasi sehingga dapat lepas dari jerat rentenir. b. Sosialisasi bahaya rentenir pada ibu-ibu PKK atau dasawisma. Dengan terbukanya pemahaman ibu-ibu mengenai bahaya rentenir maka ibu-ibu dapat mencegah dirinya sendiri maupun suaminya untuk meminjam pada rentenir.
Daftar Pustaka Andariani, Dwi Astuti.2011.”Implementasi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Yogyakarta”. Tesis S-2 Program Studi Sosiologi, Konsentrasi Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Copestake, J., Dawson, P., Fanning, JP, McKay, A. dan Wright-Revolledo, K.Wright.2005. “Monitoring the Diversity of the Poverty Outreach and Impact of Microfinance: A Comparison of Methods Using Data from Peru”. Development Policy Review, Vol. 23, No. 6. IFAD.2006. Assesing and Managing Social Performance in Microfinance, International Fund for Agricultural Development. Roma Misra, Alok.2006. “Micro Finance in India and Millenium Development Goals: Maximizing Impact on Poverty”. Discussion Paper for Workshop on World Bank, Singapore 18 September 2006. Mujiyadi.2007. ”Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin: Studi Evaluasi di Delapan Daerah Indonesia”. Laporan Penelitian Puslitbang Kesejahteraan Sosial Kementrian Sosial. Suartana, Wayan dan Ariyanto, Dodik.2012. ”Analisis Kinerja Internal, Balance Scorecard, dan Pengembangan Keuangan Mikro Berkelanjutan: Studi pada Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali”. Jurnal Akuntansi dan Auditing, Vol. 9, No. 1, November 2012, 1-69 Sugiyono.2011. Metoda Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta Susila.2007.”Analisis Efisiensi Lembaga Keuangan Mikro”. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.*, No. 2, Desember 2007, hal. 223-242 UNESCAP.2000. A Manual for Evaluating Targeted Poverty Alleviation Program. New York: UNESCAP Wilson, T.2003. “Lessons from a Microfinance Pilot Project in Rwanda”. Field Exchange.
57
OPTIMALISASI DAN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI RUMAH TANGGA Oleh: Ir. Wiwik Handajadi, M.Eng.1 & Beny Firman, S.T., M.Eng. 2
ABSTRAK Mengingat persediaan energi yang bersumber pada energi fosil di Indonesia saat ini tinggal sedikit sekitar 0,06 % dari cadangan dunia, maka perlu adanya pemanfaatan energi listrik yang sudah ada dioptimalkan dan digunakan seefisien mungkin.Untuk itu perlu adanya pemahaman managemen energi listrik yang ada pada tingkat rumah tangga sampai tingkatan industri secara baik dan perlu adanya peralatan yang dapat membantu dalam mengoptimalkan dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi listrik. Dalam penelitian ini dilakukan upaya peninggkatan pemahaman managemen energi listrik, yang berujung pada masyarakat ditingkat rumah tangga yang dapat meunjang peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Upaya disini diawali melihat kondisi dan merumuskan karakteristik dari mesyarakat, khususnya yang menggunakan energi listrik dalam industri rumah tangga. Dengan demikian dilakukan upaya tercapainya tujuan dari penelitian, yaitu peningkatan pemahaman dan perilaku dalam optimalisasi dan peningkatan efisiensi penggunaan listrik yang sudah tersedia. Dari langkah-langkah awal penelitian dilakukan pemahaman dalam pengadaan intslasi listrik yang baru, penggunaannya serta perawatan dan perbaikannya dengan berdasarkan pada standar PUIL tahun 2000.Disisi teknologi tepat guna telah dibuatnya peralatan dapat di pergunakan dalam pengoptimalan dan peningkatan efisiensi penggunaan energi listrik secara otomatis. Alat yang dihasilkan dalam penelitian mempunyai tenggang waktu bekerja dan besarnya arus yang dideteksi dengan kesalahan 1,16%, sehingga layak dipergunakan. Kata kunci: optimalisasi, managemen energi, industri rumah tangga
A. Pendahuluan Cadangan energi yang bersumber pada energi fosil saat ini sudah mulai menipis, sedangkan untuk pembangkitan energi listrik masih banyak yang bertumpu pada energi tersebut. Walaupun upaya pembangkitan energi listrik sedang diupayakan banyak cara yang menggunakan energi selain energi fosil dan merupakan proses yang ramah lingkungan. Pada sisi lain perlu adanya upaya penghematan energi untuk memenuhi kebutuhan energi, baik keperluan industri dan rumah tangga. Dalam penghematan energi listrik maka dapat diupayakan peningkatan kualitas daya listrik (Electric power quality = EPQ) atau adanya managemen daya listrik. Untuk penghematan penggunaan energi listrik, khususnya kebutuhan bidang usaha/ bisnis baik pada skala kecil atau besar perlu adanya berkesinambungan pelayanan energi listrik.Adanya kesinambungan layanan energi listrik memiliki banyak dampak positifnya, antara lain: a.
Dari sisi produksi
Proses produksi dapat lancar sehingga target produksi dapat dicapai, terlebih bila dipergunakan dalam proses produksi terkait dengan proses kimiawi yang memerlukan adanya proses yang kontinyu energi listriknya. b.
Dari sisi mesin listrik/ alat produksi dan instalasi
Adanya kesinambungan energi listrik akan mengakibatkan tidak adanya restart dari mesin listrik, hal ini akan berdampak pada pembatasan jumlah daya listrik terpasang yang ada. . c.
Dari sisi pemilihan kapasitas yang dipilih
Untuk memenuhi keperluan daya listrik yang diperlukan harus dipilih kapasitas yang optimal dan hemat, hal ini untuk meningkatkan efisiensi usaha serta kesinambungan akan pemenuhan daya listrik.
1
Electrical Engineering Dept. of Institut Sains & Tecnology AKPRIND, Yogyakarta
2
Electrical Engineering Dept. of Institut Sains & Tecnology AKPRIND, Yogyakarta
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
B. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan penelitian ini adalah merancang sebuah alat aplikasi yang dapat bekerja dengan membaca kapasitas daya listrik yang digunakan oleh konsumen melalui pembacaan parameter arus dan tegangan listrik menggunakan sensor dan menginformasikan kapasitas beban yang digunakan sehingga dapat memberikan informasi adanya indikasi kelebihan daya yang digunakan saat itu.
C. Tinjauan Pustaka Sebagai dasar yang mendukung dan mempermudah serta mempercepat dalam pembuatan alat ataupun dasar analisis, maka penemuan yang lalu dipergunakan untuk tinjauan pustaka yang lalu. Aan Setyo Budi, 2012, melakukan penelitian tentang peralatan pembatas arus beban lebih dengan menggunakan sensor arus ACS712ELC-20A dan mikrokontriler ATMega16. Penelitian tersebut dengan judul : Proteksi Arus Berlebih Menggunakan Sensor ACS712ELC-20A. Dhandhy Arisaktiwardhana, 2012, melakukan penelitian dengan judul : Peningkatan Faktor Daya lampu Swaballast untuk mengurangi Energi dan Emisi CO2 pada sektor rumah tangga di Indonesia, yang menyampaikan bahwa: Tabel 1. Jumlah Pelanggan Rumah Tangga di Indonesia. Golongan Pelanggan Rumah Tangga 450 s/d 2.200 VA
Jumlah Pelanggan 38.672.726
3500 s/d 5.500 VA
523.180
6.600 VA keatas
126.970
Sumber : Juli 2012/ Statistik PLN 2010; ISSN 0852- 8179.
Sudirman Palaloi, 2014, melakukan riset Penggunaan Energi Listrik pada Pelanggan Rumah Tangga Kapasitas Kontrak Daya 450 VA. Dari resetnya dapat diperoleh bahwa berbagai sifatnya beban listrik rumah tangga. Serta menggunakan dasar standar yang baku yang dikeleuarkan oleh PLN, sebagai pihak penyedia daya listrik dan peraturan yang terkait dengan penggunaan vasilitas energy listrik.
1. Teori yang mendasari Perkembangan teknologi yang pesat memacu banyak penelitian yang berkaitan dijadikan objek penelitian sebelumnya. Berikut uraian singkat penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Automatic Circuit Breaker adalah saklar mekanis yang mampu menghubungkan, mengalirkan dan memutuskan arus pada kondisi sirkit normal dan juga mampu menghubungkan, mengalirkan untuk jangka waktu tertentu dan memutuskan secara otomatis arus pada kondisi sirkit tidak normal, seperti pada kondisi hubung pendek. Kelebihan dari alat ini adalah mampu memproteksi beban berlebih dengan menggunakan rangkaian elektronika terprogram. Dalam aksi kendali integral, output dari kontroler ini selalu berubah selama terjadi penyimpangan dan kecepatan perubahan output tersebut sebanding dengan penyimpangan. Konstantanya dinyatakan dengan Kendali Integral. Kendali Integral ini mempunyai sensitivitas yang tinggi, yaitu dengan cara mereduksi error yang dihasilkan dari sinyal feedback. Kendali Integral memiliki karakteristik seperti halnya sebuah integral. Keluaran kontroler sangat dipengaruhi oleh perubahan yang sebanding dengan nilai sinyal kesalahan (Rusli, 2008). Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dari pada sistem pengaman konvensional misalnya Mini Circuit Braker (MCB) karena dapat menampilkan daya yang sedang terpasang dan sangat cepat dalam melakukan tindakan proteksi rangkaian terhadap gangguan arus beban lebih. Alat yang akan dirancang akan mampu mengendalikan dan memberitahukan terlebih dahulu bila terjadi beban lebih, sehingga dapat diperoleh layanan energi listrik secara kontinyu. Untuk itu dipergunakan perangkat keras (mikrokontroler) yang dapat diprogram sesuai dengan program yang diberikan dalam mikrokontroler tersebut.
59
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
D. Metode Penelitian Untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian "OPTIMALISASI DAN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI RUMAH TANGGA" maka subyek yang dipakai adalah: a. b. c. d.
Daya listrik yang disewa dari PLN. Tarif Dasar Listrik (TDL). Sifat beban listrik yang dipakai dalam industri rumah tangga. Managemen daya listrik dan karakteristik masyarakat kota Yogyakarta dan pemahaman peraturan penggunaan energi listrik.
Dari subyek yang diambil dan data- data yang akan dicari dari penyedia energi listrik (PLN) dan pengguna energi listrik sebagai bahan analisis, maka diharapkan akan mendapatkan penyelesaian permasalahan. Selain itu perlu adanya definisi yang diambil agar ada persamaan presepsi, sehingga akan diperoleh manfaat dari pihak terkait. Pihak terkait dalam hal ini adalah masyarakat kota Yogyakarta, khususnya pemilik industri rumah tangga dan Pemerintah. Optimalisasi energi listrik diartikan penggunaan daya listrik terpasang pada rumah tangga yang disewa dari PLN, contohnya yang termasuk golongan tarif S-2/TR (450 VA, 900 VA, 1300 VA, 2200VA dan 3500 VA) dapat dipakai dengan lancar tanpa adanya pemutusan aliran lirtrik dari MCB (Magnetig Ciccuit Braker). Efisiensi penggunaan energi listrik yang dimaksudkan adalah uang yang dipergunakan membayar rekening listrik dangan adanya kegiatan industri rumah tangga, masih memadai adanya tambahan pendapatannya.
E. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini dipergunakan data- data primer maupun data sekunder, untuk data primer khususnya untuk memahami karakteristik dari rumah tangga tentang penggunaak listrik untuk usaha rumah tangga. Selain juga untuk pembuatan alat dan analisis dari alat yang dibuat.
1. Validasi Instrumen Untuk mengetahui karakteristik masyarakat dalam penggunaan energy listrik dilakukan dengan menggunakan kuisioner pada rumah yang meggunakan listrik dari PLN untuk usaha. Sedangkan untuk sifat beban listrik yang ada dalam rumah tangga dilakukan pengamatan secara umum, dengan pengukuran beberapa sampel rumah yang dipilih dengan menggunakan alat Power Quality Analiser. Untuk pengukuran dilakukan dalam satu minggu/tujuh hari (Senin s/d Minggu) dan dalam rekaman data untuk kurun waktu tertentu. Hal ini diharapkan agar memperoleh data akurat walaupun data sekunder.
2. Pengumpulan dan penyajian data Rumah tangga yang dipilih sebagai sampel adalah dengan batas sewa listrik 450VA, ini mempunyai tujuan batas daya listrik terbanyak (Dhandhy Arisaktiwardhana, 2012) dengan jumlah peralatan yang dipakai sedikit.. Dengan rangkaian pengukuran yang dapat dilihat pada Gambar 1. CHANNEL 1
CHANNEL 2
TV
SOURCE
CHANNEL 3
REFRIGERATOR
( 1P2W X 3 )
OTHERS
U INPUT
I INPUT
HIOKI 3169
Gambar 1. Rangkaian pengukuran listrik
Tabel 2. Profil Tegangan Sumber
60
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
No
Rumah
Kontra k daya [VA]
Tegangan min.
Tegangan rata2
Tegangan maks.
Standar deviasi [%]
[Volt]
[Volt]
[Volt]
1
Ismail
450
217,0
228,2
243,2
3,93
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sardian Asmin Narman Suwarno Dahlan Nurhafi Niung Soleh Marpuah
450 450 450 450 450 450 450 450 450
210,3 210,3 196,5 217,7 211,0 210,9 198,7 220,2 199,5
228,2 224,3 217,5 228,7 228,4 228,4 221,5 234,9 221,0
247,0 240,5 234,3 243,4 247,1 247,2 237,7 251,8 237,2
6,10 4,46 7,12 3,83 6,41 6,10 6,59 5,61 6,62
Dari hasil pengukuran yang ditunjukan pada Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa:
Besarnya tegangan pada beban memenuhi standar yang ada. MCB secara umum bekerja diatas arus pembatasan, hal ini akan dipergunakan dalam merancang peralatan dibuat.
Tabel 3. Daftar kenaikan Tarif Listrik
Tabel 4. Daftar kenaikan Tarif Listrik 61
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Sumber : Juli 2014/ PLN 2014. Tabel 5. Tarif Pemasangan Daya Listrik Baru
Sumber : Juli 2014/ PLN 2014
Tabel 6. Tarif Kenaikan Tenaga Listrik
62
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
Sumber : Juli 2014/ PLN 2014 Dari Tabel 3 dan 4 menunjukan bahwa penetapan besarnya kapasitas daya listrik yang dipilih untuk memenuhi kebutuan daya listrik beban agar dapat diperoleh:
Efisiensi penggunaan daya listrik yang dibutuhkan dapat meningkat. Optimalisasi daya listrik agar tidak terdapat kelebihan besarnya daya listrik yang dipasngkan pada pelanggan, untuk dapat membantu Pemerintah dalam memenuhi daya listrik yang ada.
Tabel 7. Jenis peralatan listrik sample diukur
Dari dapat diketahui macam-macam peralatan atau mesin listrik di rumah tangga yang mempunyai usaha dan akhirnya dipakai dalam perancangan alat. 63
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Konsumsi daya rata-rata (Watt)
600 500 Senin 400
Selasa Rabu
300
Kamis Jumat
200
Sabtu 100
Minggu Rata2
Niung
Narman
Marpuah
Nurhafi
Sardian
Dahlan
Suwarno
Soleh
Asmin
Ismail
0
Gambar 2. Profil daya rata–rata harian selama seminggu. Dari profil daya rata-rata beban dan besarnya arus starting dari peralatan yang ditunjukan pada Gambar 2 dan Gambar 3 dapat dipergunakan memilih sensor arus listrik pada alat dan pembuatan program pada mikrokontroler yang akan dibuat.
3. Peralatan bantu Management Energi Listrik Didasarkan dari hasil analisis yang diperoleh dan dari studi literatur yang ada, maka dapat dikukan pembuatan alat yang terdiri dari dua tahap, yaitu:
Perancangan alat. Pengujian alat.
Gambar 3. Grafik besarnya Arus Starting Untuk perancangan alat Manajemen Energi Listrik dapat dilakukan tahapan-tahapan dalam pemprograman pada mikrokontroler dan pembuatan unit- unit rangkaian. Adapun bagian-bagian dari sistem alat tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
64
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
Gambar 4. Bagian – bagian dari Sistem Alat
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan Hasil yang didapatkan sementara pada penelitian ini adalah proses bekerjanya sensor arus dan tegangan dengan baik dalam mendeteksi konsumsi arus dan tegangan pada beban sehingga dapat langsung dibaca oleh sensor. Dengan demikian optimasi penggunaan daya terpasang dapat dicapai secara maksimal dan dapat dioperasikan beban untuk proses usaha dengan baik.
2. Rekomendasi Untuk hasil optimasi penggunaan konsumsi energi listrik untuk industri rumah tangga, perlu adanya tindakan – tindakan yang harus dilakukan oleh Pemkot Yogyakarta. Hal ini agar diperoleh keuntungan pada kedua sisi, yaitu dari sisi pemerintah dan masyarakat yang mempunyai industri rumah tangga. Tindak lanjut tersebut dari hasil penelitian ini dan pengalaman peneliti antara lain: 1.
2.
Perlu adanya penyebar luasan pemahaman yang terkait dengan managemen energy listrik, hal ini dapat dilakukan melalui: a. Masyarakat langsung dengan media PKK, di tingkat RT.,RW., Padukuhan. b. Kerja sama dengan Perguruan Tinggi, melalui program KKN. Perlu adanya alat bantu dalam optimalisasi penggunaan energy listrik terpasang dalam rumah tangga yang bekerjanya secara otomatis. Hal ini dengan pertimbangan bahwa; a. Adanya alat tersebut mempunyai dampak langsung peningkatan kesejahteraan keluarga dari adanya pengurangan pembayaran penggunaan energi listrik. b. Harga alat yang dibutuhkan tersebut cukup mampu terbeli oleh pemilik industry rumah tangga. Harga tersebut relative terjangkau, karena harga yang dilakukan saat penelitian ini dalam skala riset. Bila diproduksi secara sckala layanan konsumen/produksi massal akan jauh lebih kecil dapat mencapai 30 % dari harga riset.
Daftar Pustaka Allegro, 2006. CS706ELC-20A, Bidirectional 1.5 mΩ Hall Effect Based Linear Current Sensor with Voltage Isolation and 20 A Dynamic Range. Allegro MicroSystems Inc. Amerika Serikat. Arisaktiwardhana, Dhandhy, 2014, Peningkatan Faktor Daya lampu Swaballast untuk mengurangi Energi dan Emisi CO2 pada sektor rumah tangga di Indonesia,Tesis prodi Teknik Elektro, Universitas Indonesia, Jakarta. 65
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Barmawi, Malvino. 1985. Prinsip – prinsip Elektronika. Edisi III. Erlangga. Jakarta Budi, Aan Setyo, 2012. Proteksi beban berlebih menggunakan sensor ACS712EL C-20A, Skripsi Jurusann Teknik Elektro, IST AKPRIND, Yogyakarta. Ibrahim, K.F. 2007. Teknik Digital Elektronika. Andi. Yogyakarta. Intersil. 2007. 3½ Digit, LCD/LED Display, A/D Converters. Intersil Americas Inc, America Palaloi, Sudirman, 2014. Analisis Penggunaan Energi Listrik pada Pelanggan Rumah Tangga Kapasitas Kontrak Daya 450 VA, SNAST IST AKPRIND Yogyakarta. Rusli. 2008. Kendali Integral dan Feedback. Gramedia. Jakarta.
66
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
MODEL MANAJEMEN STRATEGIK BERBASIS BALANCED SCORECARD SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) KOTA YOGYAKARTA Oleh: Dra. Suci Utami Wikaningtyas, MM, Dra. Sulastiningsih, MSi., Drs. Achmad Tjahjono, MM, Ak.
ABSTRACT Data from Dinsosnakertrans (Office for Social, Employment and Transmigration Affairs of Yogyakarta City) say that the highest quantity of unemployment in Yogyakarta City is the graduates of SMA/SMK. According to J. Schumpeter, one of the solutions for decreasing unemployment is increasing the number of entrepreneurs. To solve the problem, many obstacles must be handled for instance low quality of learning system, job seekers do not have capability to be entrepreneurs and the majority of people prefer being corporate or government employees to being entrepreneurs. Based on the information, the research has two purposes. The first, to determine a learning model based on entrepreneurship effectively for SMK. The second, to determine a strategic management model based on balanced scorecard, especially in learning process. Keywords: entrepreneurship, strategic management, balanced scorecard, learning
A. Pendahuluan Berdasarkan data Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Yogyakarta, jumlah pengangguran terbanyak lulusan SMA/SMK sebanyak 8.949 orang. Salah satu alternatif memecahkan permasalahan tingginya pengangguran adalah memberikan dukungan dan pengarahan agar mental generasi muda Indonesia bukan mental pegawai tetapi menjadi seseorang yang mengembangkan kreativitas sebagai ladang usaha (wirausahawan). Salah satu Penyebab permasalahan pengangguran adalah sistem pendidikan yang hanya menghasilkan tenaga technical skill, yang belum banyak memberikan manfaat bagi Negara (Danuhadimejo: 1998). Atau faktor ketidakmampuan dan ketidakberanian pencari kerja untuk berwiraswasta/ wirausaha (Mardikanto:1997). Mereka yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan formal, pada umumnya hanya ingin menjadi pegawai negeri atau karyawan, jarang yang mau dan mampu menciptakan dan mengembangkan pekerjaan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain atau wirausaha (Gimin: 2000). Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagian besar lulusan SMK belum mampu menciptakan lapangan kerja (berwirausaha), maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang efektif bagi SMK di Kota Yogyakarta? (2) Bagaimana manajemen strategik berbasis balanced scorecard bagi SMK di Kota Yogyakarta?
B. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk menentukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang efektif bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, dan (2) Untuk menentukan manajemen strategik berbasis balanced scorecard bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik bagi SMK maupun pemerintah kota Yogyakarta. Manfaat bagi Pemerintah adalah; (1) Menemukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang efektif bagi SMK di Kota Yogyakarta, (2) Menemukan manajemen pembelajaran berbasis balanced scorecard bagi SMK di Kota Yogyakarta, dan (3) Meningkatkan kompetensi lulusan SMK sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran. Sedangkan manfaat bagi SMKN 1adalah: (1) Menemukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang efektif bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, (2) Menemukan manajemen pembelajaran berbasis balanced scorecard bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, dan (3) Menciptakan lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja.
67
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
C. Tinjauan Pustaka Review PenelitianTerdahulu Dalam penelitian berjudul Pengembangan Model Pembelajaran oleh Endang Mulyatiningsih dipaparkan dua model penelitian dan pengembangan system pembelajaran yaitu model 4D dan model ADDIE. Model 4D merupakansingkatandariDefine, Design, Development and Dissemination dikembangkan oleh Thiagarajan (1974). Model ADDIE merupakan singkatandari Analysis, Design, Development or Production, Implementation or Delivery and Evaluationsdikembangkanoleh Dick and Carry (1996).
Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara,dan peradaban dunia.Pengembangan kurikulum didasarkanpada: a. b.
Didasarkan pada standar kompentensi lulusan yang ditetapkan untuk satu satuan pendidikan, jenjang pendidikan dan program pendidikan. Kurikulum didasarkan pada model kurikulum berbasis kompetensi
Model Pembelajaran Model pembelajaran terdiri dari: (1) pendekatan pembelajaran; 2) strategi pembelajaran; (3) metode pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Joyce & Weil (Sudrajat, S., 2008) menyatakan bahwa terdapat empat kategori yang penting diperhatikan dalam model pembelajaran yaitu model pemrosesan informasi, model personal, model interaksi dan model tingkah laku.
Prinsip Utama Dalam Proses Pembelajaran Kewirausahaan Terdapat empat prinsip utama dalam proses pembelajaran berbasis kewirausahaan yaitu learning to knowyakni belajar pengetahuan tentang kewirausahaan baik hard skill (teori) dan softskill (spirit kewirausahaan), learning to do yakni belajar dalam melaksanakan kegiatan berwirausaha, learning to be yakni belajar menjadi wirausahawan dan learning to live together belajar beinteraksi sosial(Haryanto, 2011).
Manajemen Strategik Berbasis Balance Scorecard Ada empat perbedaan mendasar antara manajemen strategic tradisional dengan manajemen strategik berbasis balanced scorecard : 1) orientasi, 2) tahapan, 3) lingkup dan 4) koherensi (Mulyadi, 2005) : Dalam manajemen strategik berbasis balanced scorecard, ada enam koherensi yang dibangun: 1) Hasil trendwatching dan SWOT analysis dengan visi, misi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi; 2) visi, misi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi dengan sasaran strategik dan inisiatif strategik; 3) inisiatif strategik dengan sasaran strategik; 4) inisiatif strategik dengan program; 5) program dengan anggaran; dan 6) sasaran strategik di empat perspektif dalam balanced scorecard. Balanced Scorecard Model ini pada awalnya memang ditujukan untuk memperluas area pengukuran kinerja organisasi swasta yang profit-oriented.Pendekatan ini mengukur kinerja berdasarkan aspek financial dan non finansial yang dibagi dalam empat persp ektif, yaitu perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses internal, dan perspektif inovasi&pembelajaran (Quinlivan, 2000 dalam Mahsun 2012).
D. Metode Penelitian SubjekPenelitian Subjek penelitian ini adalah SMKN-1 kota Yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Sumber data adalah para pengelola SMK dan guru. Data dan informasi diperoleh dari wawancara dan observasi. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) Kondisi siswa: latar belakang siswa, intelektual siswa, kebiasaan siswa; (2) Pendekatan pembelajaran: teacher learning centre atau student learning center; (3) Strategi pembelajaran: terintegrasi atau tidak terintegrasi antar mata pelajaran; (4) Metode pembelajaran: ceramah, diskusi; (5) Teknik pembelajaran: dibentuk kelompok atau tidak; (6) Taktik pembelajaran: gunakan teknologi seperti LCD, power point.
68
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
Desain dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisiss dengan pendekatan induktif. Landasan teori digunakan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan suatu teori (Bina, 2012).
E. Hasil Penelitian Pendekatan pembelajaran yang diterapkan di SMKN 1 adalah kombinasi antara teacher- student learning centre. Namun partisipasi siswa kurang aktif karena tidak semua siswa mempunyai komputer dan siswa tidak terbiasa memanfaatkan teknologi informasi. Strategi pembelajaran yang diterapkan di SMKN 1 ini belum terintegrasi. Efektifitas pembelajaran disesuaikan dengan tujuan mata pelajaran masing-masing, seperti tercantum dalam silabus dan RPP masing-masing mata pelajaran.
Model Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan Berdasarkan kondisi pembelajaran di SMKN 1 di atas, maka perlu adanya model pembelajaran yang efektif, sehingga lulusan yang lebih berkualitas, dengan tolok ukur yaitu lulusan siap atau mampu menciptakan lapangan kerja.Untuk itu diperlukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang terintegrasi pada tiap mata pelajaran bagi SMK. Model pembelajaran merupakan rangkaian yang terpadu antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan taktik pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebaiknya adalah kombinasi antara teacher learning centre dan student learning centre. Hal ini dikarenakan kualitas input siswa yang belum terbiasa dengan mandiri dan kelas menengah bawah, sehingga dimungkinkan kurang mampu membeli peralatan guna mendukung efektifitas pelaksanaan student learning centre. Strategi pembelajaran yang dilakukan adalah internalisasi spirit kewirausahaan pada semua mata pelajaran atau dengan kata lain semua mata pelajaran terintegrasi untuk mencapai tujuan pembelajaran yakni siswa memiliki spirit kewirausahaan.Metode pembelajaran yang dilaksanakan adalah ceramah, diskusi, magang dll disesuaikan dengan tujuan mata pelajaran masing-masing. Teknik dan Taktik Pembelajaran, lebih ditekankan pembentukan kelompok, agar jiwa sosial siswa terbangun. Taktik pembelajaran lebih ditekankan pada penggunaan teknologi baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Tabel 1. di bawah ini adalah model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang terintegrasi (Integrated Entrepreneurship Learning Model/ IELM) bagi SMK.
69
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Tabel 1. Model Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan Program Studi: Akuntansi Mata Pelajaran (MAPEL) A
B
C
Kelompok A (Wajib) 1 Agama dan Budi Pekerti 2
Pancasila dan Kewarganegaraa n
3
Bahasa Indonesia
4
Matematika
5
Sejarah Indonesia
6
Bahasa Inggris
Kelompok B (Wajib) 7 Seni & Budaya
8
Prakarya & Kewirausahaan
9
Pendidikan Jasmani & OR Kesehatan
Spirit Kewirausahaan
Metode Pembelajaran
Kemampuan Akhir yang Diharapkan
Indikator Penilaian
Contoh-contoh Pengusaha Sukses yang Religius Wirausaha yang nasionalis (Cintai produk Indonesia)
Ceramah Audio Visual
Semua Produk yang Dipasarkan di Indonesia berbahasa Indonesia (Kandungan produk, dll) Aplikasi Matematika dalam Bisnis Penyebaran Agama dan Perdagangan Indonesia Bahasa Inggris Bisnis Contoh Kasus Bisnis dalam Bahasa Inggris
Ceramah Diskusi
Contoh-contoh Seniman Budayawan Pebisnis Prinsip-prinsip Kewirausahaan. Mindset Kewirausahaan Teknik Kewirausahaan Studi Kelayakan Bisnis Expo Bisnis Kesehatan sebagai Modal Awal Kesuksesan
Ceramah Audio Visual Diskusi
Berjiwa Seni Spirit Kewirausahaan
Kognitif Afektif
Ceramah Audio Visual Diskusi Analisis Kasus Expo Bisnis Lab Kewirausahaan
Spirit Kewirausahan Proposal Studi Kelayakan Bisnis
Kognitif Afektif Psikomotorik
Praktikum OR & Kesehatan
Sirit Kewirausahaan Mindset “Kesehatan Modal Awal Sukses”
Kognitif Afektif Psikomotorik
Ceramah Diskusi Game Lab Bisnis
Spirit Kewirausahaan Performance Pengusaha
Kognitif Afektif Psikomotorik
Ceramah Praktikum
Ketrampilan Administrasi Surat-
Kognitif Afektif
Kelompok C (Peminatan Akuntansi) C1 Dasar Bidang Keahlian 10 Pengantar Mental Ekonomi dan Memenangkan Bisnis Persaingan Performance Pengusaha 11 Pengantar Administrasi Adeministrasi sebagai Alat Bisnis
Kognitif Afektif
Ceramah Audio Visual Diskusi
Spirit Kewirausahaan Religius Spirit Kewirausahaan Nasionalisme NKRI Spirit Kewirausahaan Nasionalis Bisnis
Ceramah Diskusi
Menguasai Alat Bisnis
Ceramah Kajian Literatur Diskusi
Spirit Kewirausahaan, Nasionalisme Religi Spirit Kewirausahaan Alat Komunikasi
Kognitif Afektif Psikomotorik Kognitif Afektif
Ceramah Audio Visual
Kognitif Afektif Kognitif Afektif Psikomotorik
Kognitif Afektif Psikomotorik
70
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Perkantoran
Administrasi Profesional Akuntabilitas Keuangan
12
Pengantar Keuangan dan Akuntansi
C2 13
Dasar Program Keahlian Simulasi Digital Penggunaan IT dalam Keunggulan Daya Saing Etika Profesi Peran Penting Akuntan Dalam Bisnis Spirit Kewirausahaan yang Etis Dasar Perbankan Bankir Sukses yang Religius
14
15 16 C3 17
18
Paket Program Alat Bisnis Pengerlolaan Anggaran yang Anggaran Usefull Praktik Keahlian Akuntansi Akuntansi Contoh Laporan Perusahaan Keuangan Dagang Perusahaan Dagang Analisis Akuntansi Standar Akuntansi Keuangan (PSAK-IFRS)
19
Komputer Akuntansi
20
Akuntansi Perusahaan Manufaktur
21
Administrasi Perpajakan
EDP Dalam Akuntansi Penerapan Komputer Akuntansi Contoh Laporan Keuangan Perusahaan Manufaktur Analisis Contoh Mengisi SPT
Menyurat
Psikomotorik
Ceramah Analisis Kasus Diskusi
Spirit Kewirausahaan Kompetensi Akuntansi Keuangan
Kognitif Afektif Psikomotorik
Praktikum
Ahli EDP
Ceramah Diskusi
Keterikatan Terhadap Kode Etik Profesi
Kognitif Afektif Psikomotorik Kognitif Afektif
Ceramah Audio Visual Diskusi Ceramah Praktikum
Spirit Kewirausahaan Religius Skill Penyusun Anggaran
Kognitif Afektif
Ceramah Praktikum
Menyusun Laporan Keuangan Perusahaan Dagang
Kognitif Afektif Psikomotorik
Ceramah Diskusi
Mampu Menyusun Laporan Keuangan Berdasar PSAK Mampu Menyusun Laporan Keuangan Computerized System
Kognitif Afektif Psikomotorik Kognitif Afektif Psikomotorik
Ceramah Praktikum
Mampu Menyusun Laporan Keuangan Perusahaan Manufaktur
Kognitif Afektif Psikomotorik
Ceramah Praktikum
Mampu menghitung dan melaporkan kewajiban perpajakan
Kognitif Afektif Psikomotorik
Ceramah Praktikum
Kognitif Afektif Psikomotorik
Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard The Balanced Scorecard sebagai model manajemen strategik yang akan menterjemahkan misi dan strategi organisasi menjadi berbagai tujuan dan ukuran-ukuran dalam empat perspekstif yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis serta pembelajaran dan pertumbuhan.Gambar 1. di bawah ini menjelaskan kerangka berpikir penelitian ini, sedangkan manajemen strategik berbasis balanced scorecard, khususnya pada proses pembelajaran pada SMKN 1 disajikan dalam tabel 2. Gambar 1. ManajemenStrategikBerbasis Balanced Scorecard Pada SMKN-1 Kota Yogyakarta
71
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS BALANCED SCORECARD
Visi, Misi, Tujuan SMKN 1
Kurikulum Berbasis Kewirausahaan
Rencana Pembelajaran MODEL Prakarya & Kewirausahaan (Link & Match antara Teori dan Praktik) Mapel lainnya mengandung spirit Kewirausahaan
Financial Return
Jumlah Pendaftar
Customer Velue
Kepuasan Siswa & mindset kewirausahaan
Proses BM
Kualitas PBM
Guru
Kompetensi Guru Mindset Kewirausahaan
Proses Pembelajaran MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN Prinsip : 4 Prinsip Pendekatan : Kombinasi Student & Teacher Learning Center Strategi : Internalisasi Spirit Kewirausahaan ke Proses BM Metode : Situasional (Modifikasi berbagai metode)
Output
Lulusan yang berjiwa Kewirausahaan
Outcome
Lulusan yang Ciptakan Lapangan Kerja
Dampak/ Impact Mengurangi Pengangguran
72
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Tabel 2. Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard pada Proses Pembelajaran Sasaran Strategis A 1 2 3 B 1
Pertumbuhan Pembelajaran Peningkatan 4 Kualitas Kompetensi Guru Mengajar Kepuasan Siswa Penjelasan Spirit Mindset Kewirausahaan Kewirausahaan Peningkatan Komitmen Kepuasan Guru Guru Proses Belajar Mengajar Peningkatan Kualitas Kepuasan Siswa Proses Belajar Mengajar (PBM)
2
Optimalisasi TI sebagai Media Pembelajaran
3
Kualitas Layanan
C 1 2 D 1 2 3
Lag Indikator (Ukuran Hasil)
Penggunaan Media Sesuai dengan Rencana Pembelajaran Tingkat Kesalahan Kerja
Customer Meningkatkan Jumlah Kepercayaan Siswa dan Pendaftar Orang Tua Meningkatkan Kualitas Loyalitas Siswa Hubungan dengan Siswa & Orang Tua dan Orang Tua Keuangan (Shareholder Value) Jumlah Pertumbuhan Jumlah Pendaftar Pendaftar Meningkat Peningkatan Pendapatan Jumlah Pendapatan Meningkat Efisiensi Pengeluaran Penurunan Biaya
Lead Indikator (Ukuran Pemacu Kinerja)
Inisiatif Strategis (Cara)
Target
Program
PIC
Survey Kualitas Mengajar
Skala Likert 4,0
Diklat Guru
Survey
Skala Likert 4,0 Skala Likert 4,5
Diklat Guru
Kewirausahaan PBM IT & Pendidikan Karakter Midset Kewirausahaan dan Motivator
Empowerment Guru
Melibatkan Guru dalam PDCA
Survey per Mapel
Skala Likert 4,0
Perbaikan PBM
Wakasek Akademik
Investasi Sarana
80% dari Rencana
Peningkatan Kuantitas & Kualitas TI
Kurikulum Periodik RPP Periodik Rumpun Guru Mapel Kunjungan Lapangan Pengadaan Sarana TI
Menurun
80%
Diklat Karyawan Partnership
Diklat Ekstra Kurikuler Kerja dengan Dr, Psikologi, Dinas dan Praktisi Bisnis
Wakasek & SDM
Bertambah
25%
Marketing Jangka Panjang
Mengikuti Olimpiade/ Karya Ilmiah Expo / Pemeran Product
Wakasek &Kaprodi
Hubungan Semakin Erat
50% Relatif Tetap
Membangun Komitmen dengan Pelanggan
Komite Sekolah Family Gathering Guru & Orang Tua
Wakasek & Kaprodi
Pendaftar Naik
40%
-
-
Pendapatan Naik
40%
-
-
Kesesuaikan dengan Anggaran
90%
Cost Reduction Strategy
Perencanaan Keuangan Terpadu
Survey
73
Kepala Sekolah & SDM Kepala Sekolah & SDM Kepala Sekolah & SDM
Wakasek Akadmik & SarPras
Wakasek & Kaprodi Wakasek, Kaprodi, & Keuangan Wakasek, Kaprodi, & Keuangan
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
F. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat diambil kesimpulan: 1.
2.
3.
Model pembelajaran yang efektif bagi SMK Kota Yogyakarta adalah model pembelajaranberbasis kewirausahaan yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran (Integrated Entrepreneurship Learning Model/ IELM). Rincian dari model pembelajaran ini adalah: (a) Pendekatan pembelajaran: kombinasi antara teacher learning centre dengan student learning centre,(b) Strategi pembelajaranspirit of entrepreneurship terintegrasi pada semua mata pelajaran.(c) Metode pembelajaran situasional, disesuaikan dengan isi/ materi (content) mata pelajaran, latar belakang siswa, kebiasaan siswa dan psikhologis siswa. (d) Teknik dan taktik pembelajaran: situasional, terutama penggunaan teknologi disesuaikan dengan mata pelajaran. Proses manajemen strategik berbasis balanced scorecard pada pembelajaran SMKN1 Kota Yogyakarta adalah 1) Menentukan hasil trendwatching dan SWOT Analysis, 2) Menentukan visi, misi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi (strategi pembelajaran), 3) Menentukan sasaran strategik, lag indicator (ukuran hasil), lead indicator (ukuran pemacu kinerja), target, inisiatif strategik, program dan pemilik program. Manajemen strategik berbasis balanced scorecard khususnya pada pembelajaran bagiSMKN 1 Kota Yogyakarta dimulai dari visi dan misi SMKN1 yang mengandung spirit kewirausahaan (spirit of entrepreneurship). Keempat perspektif balanced scorecard dijabarkan sebagai berikut: a. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning & Growth Perspective) yang paling berperan penting adalah guru. Pada perspektif ini bertujuan terciptanya kemampuan mengajar guru yang semakin berkualitas,kepuasan siswa, mindset kewirausahaan pada guru dan kepuasan guru. b. Perspektif Proses Internal (Internal Process Perspective) bertujuan terciptanya kepuasan siswa, pemanfaatan teknologi yang semakin efektif dan tingkat kesalahan kerja yang semakin menurun. c. Perpektif Pelanggan (Customer Perspective) bertujuan meningkatnya jumlah pendaftar dan meningkatnya loyalitas siswa dan orang tua siswa. d. Perspektif Keuangan (Financial Perspective) merupakan konsekuensi dari keberhasilan aktivitas dari ketiga perspektif non keuangan sebelumnya. Ukuran hasil pada perspektif ini adalah peningkatan jumlah pendaftar, jumlah pendapatan dan penurunan biaya.
Rekomendasi Bagi SMKN1 Kota Yogyakarta SMKN1 sebaiknya menerapkan strategi agresif, yakni strategi pengembangan produk (product development strategy) dan strategi perluasan pasar (market development strategy). 1.
Strategi pengembangan produk antara lain: a. SMKN1 perlu memperhatikan guru, karena guru merupakan sumber daya yang paling utama bagi keberadaan SMKN1 khususnya dalam pembelajaran. Guna menghasilkan lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja, maka SMKN1 perlu menyelenggarakan berbagai kegiatan, dalam upaya peningkatan kompetensi guru, peningkatan komitmen guru dan mewujudkan guru memiliki mindset kewirausahaan. Kegiatan yang dilakukan antara lain diklat mindset kewirausahaan, diklat proses belajar mengajar, menghadirkan motivator dll. Untuk itu SMKN1 perlu menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi. b. SMKN1 sebaiknya senantiasa meningkatkan kualitas proses internalnya melalui peningkatan kualitas proses belajar mengajar, optimalisasi teknologi informasi sebagai media pembelajaran dan kualitas layanan. Dengan ini diharapkan tingkat kesalahan kerja semakin kecil bahkan tidak terjadi kesalahan sama sekali. Upaya yang dapat dilakukan antara lain pelatihan (training) bagi karyawan berkaitan dengan layanan prima (customer service), menghadirkan motivator untuk membangun budaya pelayanan prima dll. c. SMKN1 sebaiknya senantiasa meningkatkan tingkat kepercayaan siswa dan orang tua siswa serta meningkatnya kualitas hubungan siswa dan orang tua siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan pertemuan dengan orang tua siswa secara rutin, sosialisasi berbagai kegiatan pengembangan yang dilakukan SMK secara rutin, perhatian terhadap siswa bagi siswa berprestasi, siswa yang kurang berprestasi dll. 74
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 d.
e.
SMKN1 sebaiknya menerapkan model pembelajaran berbasis kewirausahaan (Integrated Entrepreneurship Learning Model/ IELM). Dengan menerapkan model pembelajaran dimana spirit kewirausahaan terintegrasi pada setiap mata pelajaran, diharapkan guru mampu memberikan mindset kewirausahaan bagi siswa. SMKN1 perlu menyatakan secara eksplisit spirit kewirausahaan (spirit of entrepreneurship) pada visi, misi, tujuan dan strategi, kemudian dikomunikasikan kepada masyarakat melalui slogan.
Apabila model pembelajaran dan manajemen strategik berbasis balanced scorecard ini dilaksanakan, SMKN1 mampu memiliki keunggulan (unique selling) yang kuat, dikenal sebagai sekolah yang mampu menghasilkan lulusan unggul khususnya menciptakan lapangan kerja. Akhirnya SMKN1 mampu memenangkan persaingan sekolah yang semakin ketat. 2.
Strategi Perluasan Pasar SMKN1 Kota Yogyakarta dapat menambah prodi baru yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, yakni yang berkaitan dengan ilmu sosial, seperti pariwisata atau ilmu sosial lainnya.
Bagi Pemerintahan Kota Yogyakarta Berdasarkan hal-hal di atas, Pemerintah Kota Yogyakarta sebaiknya: 1. 2. 3. 4.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya mensosialisasikan model pembelajaran berbasis kewirausahaan dan manajemen strategic berbasis balanced\scorecard kepada seluruh SMK, dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran berbasis kewirausahaan di SMK Kota Yogyakarta. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan perlu menyediakan sarana dan prasarana, khususnya laboratorium kewirausahaan, dalam upaya .menjamin terlaksananya program peningkatan kualitas pembelajaran berbasis kewirausahaan ini. Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) perlu mengadakan bursa tenaga kerja yang memerlukan lulusan dari SMK. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mendukung terwujudnya mindset kewirausahaan kepada para guru, seperti kegiatan diklat, training, dll.
Daftar Pustaka Alma, Buchori. 2000. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta Astuti D., dkk. (2013), “Pengangguran Makin Hari Makin Meningkat : Jika Tak Kerja, Bisa Gelap Mata”, Kedaulatan Rakyat, 6 April. Astuti D., dkk. (2013), “Kesempatan Terbatas, Tapi Pilih-Pilih Kerja”, Kedaulatan Rakyat, 6 April. Azizah, Nur (2013), Pengaruh Metode Pembelajaran Jigsaw terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran Dasar Kompetensi Kejuruan di SMK Wongsorejo Gombong, UNY: Fakultas Teknik Program Studi Pendidikan Teknik Mesin. Badan Pusat Statistik (2012), “Berita Resmi Statistik”, 7 Mei Bina, Dina M (2012), “Deskriptif Kualitatif”, dani.blog.fisip.uns.ac.id, diakses 10 November 2014 Danuhadimedjo (1998), Kewiraswastaan dan Pembangunan, Bandung: Alfabeta Efendi, B. (2012), “Fenomena Calon Wirausahawan Muda di Indonesia”, http://www.bachtiarefendi.com. Diakses 5 April 2013 Goetsch, David and Davis, Stanley, (2000), Quality Management Introduction to TQM or Production, Processing and Services, Third Edition, Prentice Hall International Gimin (2000),“Sikap Mahasiswa Pendidikan Ekonomi IKIP UNRI terhadap Kewiraswastaan”, Jurnal IPS dan Pengajarannya, Tahun 34 (1) : 133 – 145 Kaplan, Robert S & David P. Norton (1996), The Balanced Scorecard : Translating Strategy into Action, Boston : Harvard Business School Press 75
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Kaplan, Robert S. & David P. Norton (1995), The Balanced Scorecard : Measures That Drive Performance, Englewood Cliff : Prentica Hall, Inc Laras, Bambang K, “Prakarya & Kewirausahaan SMK”, http://larasbeka.blogspot.com Longenecker J.G., dkk (2001), Kewirausahaan : Manajemen Usaha Kecil, Jakarta : PT Salemba Empat Mardikanto, Totok (1997),Link and Match Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta. Balai Pustaka Maryatmo (2012), ”Kebijakan dan Strategi Pembangunan Ekonomi DIY”, Yogyakarta : Economic Discuss Forum, Atmajaya University Mettyambarsari (2012), “Analisis http://mettyambarsari.wordpress.com
Mengenai
Perusahaan
yang
Tidak
Beretika”,
Mulyadi (2005), Sistem Manajemen Strategik Berbasis Balance Scorecard, Yogyakarta : UPP AMP YKPN Mulyatiningsih, Endang (2013), Pengembangan Model Pembelajaran, http://www.ilerning.com Niven Paul R. (2002), Balanced Scorecard Step By Step : Maximazing Performance and Maintaining Result, New York : John Wiley & Sons, Inc. Niven Paul R. (2003), Balanced Scorecard Step By Step for Government and Nonprofit Agencies, New Jersey : John Wiley & Sons, Inc Nurhadi, Senduk, G.A. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan penerapannya dalam KBK. Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang. Pasolong, H. (2012), Metode Penelitian Administrasi Publik, Bandung : Alfabeta Puspitarini, M. (2012), “Tanoto http://kampus.okezone.com
Entrepreneurship
Series,
Tingkatkan
Jumlah
Wirausahawan
Muda,
Purnomo, Bambang Hari. 2005. Membangun semangat Kewirausahaan. Yogyakarta. LaksBang PRESSindo Ramdhania (2012), “BPS : Jumlah Pengangguran di Indonesia 7,61%, Turun 6%”, finance.detik.com Sallis, Edward (2008), Total Quality Management In Education, IRCiSoD: Yogyakarta Solihin, Ismail (2012), Manajemen Strategik, Jakarta : Erlangga Suprapto, H. (2012), “Menkop : Jumlah Wirausahawan RI Kalah Jauh”, http://bisnis.news.viva.co.id Soemanto, W.(1999),Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Wiraswasta, Jakarta : Bumi Aksara. Wardhani, D.M. (2012), “Pembangunan Perekonomian Nasional melalui Peningkatan Kewirausahaan”, http://www.ilerning.com Wibowo, Singgih (2007),Petunjuk Mendirikan Perusahaan Kecil, Jakarta : Penebar Swadaya Yuswantania, Biwara (2012), “Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi DIY”,Yogyakarta : Economic Discuss Forum, Atmajaya University. Zimmerrer, T.M. & Scarborough, N.M (2005), Essential of Entrepreneurship and Small Business Management, Ed.4, New Jersey : Prentice Hall Inc
76
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
PENINGKATAN NILAI EKONOMIS LIMBAH KULIT UDANG MENJADI KITOSAN DENGAN GELOMBANG ULTRASONIK UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT Oleh: Ani Purwanti, S.T., M.Eng. & Sri Rahayu Gusmarwani, S.T., M.T.
ABSTRACT There are some shrimp stalls in Yogyakarta today. These stalls produce shells, head and tail of shrimp as waste that is rarely utilized into usefull materials. In the other hand, foods are preserved with synthetic preservatives containing dangerous substances. Today, chitosan is an alternative natural food preservative. This material can be obtained from shrimp shells. Chitosan price is still expensive and chitosan manufacturing process produces a lot of waste water. Therefore, this problem needs alternative processes to produce chitosan with minimal waste, for example the use of ultrasonic waves. Processing stages of shrimp shells into chitosan ie. boil the shrimp shells with water, deproteination process, demineralization process, and deacetilation process with ultrasonic waves. Deacetilation process was performed by immersing chitin in a solution of NaOH with concentration of 40 – 50% (weight/volume). The comparison of the amount of chitin and volume of NaOH solution was varied from 1:10 – 1:20 (gram/ mL solution). The extraction process was carried out using ultrasonic waves for 30 – 90 minutes at a temperature of 800C. The results of deacetylation process was separated from the solvent, then washed with water until neutral. Then wet chitosan was dried in the oven. The quality of chitosan was determined by analyzing the deacetilation degree, ash content, solubility in acetic acid solution, and the viscosity of chitosan solution. The results of the experiment show that the deacetilation process with ultrasonic waves can improve the deacetilation degree of chitosan. The optimum condition of deacetilation process is the process using temperature of 900C, time of process 60 minutes, and the concentration of NaOH solution is 40%. The characteristics of chitosan that obtained from this process are ie. deacetilation degree 78.64%, ash content 1.96%, viscosity of the solution 5.8 cP, and this chitosan is soluble in 1% acetic acid solution. Keywords: shrimp shell, deacetilation, ultrasonics wave, chitosan
A. Pendahuluan Di Yogyakarta, sekarang ini makanan dengan bahan dasar hasil laut antara lain udang semakin digemari masyarakat. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, namun sekitar 40% dari total berat udang keseluruhan merupakan kulit, kepala, dan ekor udang yang dibuang sebagai limbah (Swastawati, dkk., 2008). Pemanfaatan limbah tersebut masih sangat jarang, sehingga jumlah yang terbuang menjadi sampah yang sangat berbau masih cukup tinggi. Menurut data dari Dinas Perikanan dan Kelautan DIY (2013), produksi perikanan budidaya udang tambak pada tahun 2013 sebanyak 811.836 kg. Di lain pihak, banyak bahan pengawet pada makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi dan mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan sehingga diperlukan bahan pengawet makanan yang tidak berbahaya untuk dikonsumsi. Selama ini limbah udang sudah termanfaatkan untuk pembuatan petis, terasi, kerupuk udang, dan bahan pencampur pakan ternak yang bernilai ekonomis rendah. Limbah kulit udang sebenarnya dapat diproses menjadi bahan yang lebih bermanfaat. Limbah kulit udang mengandung bahan penyusun utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata limbah udang juga dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kitin dan kitosan dengan cara deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Pembuatan kitosan dari limbah udang pada umumnya menggunakan bahan NaOH dan HCl dengan konsentrasi tertentu. Kitin dan kitosan menjadi salah satu bahan kimia dan bahan baku industri yang menjadi unggulan khususnya bagi industri. Kitin dan kitosan dapat digunakan di berbagai aplikasi industri diantaranya; sebagai bahan tambahan di bidang farmasi, kesehatan dan kosmetik, makanan, pengolah 77
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 limbah dan air (seperti : penyerap logam berat, minyak dan lemak) dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan karena senyawa kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan penyerap dan penggumpal yang baik (Haryani, 2007). Salah satu manfaat lain dari kitosan adalah dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Bahan pengawet pada umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan pengawet ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan, tetapi di sisi lain bahan pengawet merupakan senyawa kimia yang dimasukkan bersama bahan pangan yang dikonsumsi, sehingga apabila pemakaiannya tidak diatur maka dapat merugikan pemakainya. Sehingga penggunaan senyawa antimikroba harus tepat sehingga dapat memperpanjang umur simpan suatu produk dan menjamin keamanan produk tersebut. Untuk itu diperlukan bahan alternatif lain sebagai antimikroba alami sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan yaitu penggunaan kitosan untuk menghambat aktivitas mikroba. Kitosan mempunyai gugus aktif yang akan berikatan dengan mikroba sehingga kitosan juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba tanpa memberikan efek buruk. Saat ini, kitosan telah diproduksi secara industri di negaranegara maju misalnya Jepang dan Amerika Serikat. Kitosan ini merupakan bahan yang sumbernya melimpah dan dapat diperbaharui, maka dalam situasi perkembangan bioteknologi yang demikian pesat menjadikan pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti limbah kulit udang merupakan hal yang sangat diperlukan (Mahatmanti, dkk., 2010). Kitosan merupakan polimer alami yang mempunyai sifat non toksis, ramah lingkungan, dan mudah terdegradasi (Haryani, 2007). Dan akhirnya, diharapkan peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai pembuatan kitosan dari limbah udang dengan penggunaan bahan kimia (NaOH dan HCl) yang minimal. Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan baku industri khususnya di bidang pangan, dan juga layak dikonsumsi sebagai pengawet bahan makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh. Dewasa ini penelitian pembuatan kitosan dilakukan dengan pemanfaatan gelombang ultrasonik. Penggunaan gelombang ultrasonik mempunyai keuntungan proses lebih cepat dan mudah, tidak membutuhkan banyak penambahan bahan kimia, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan pada struktur partikel dan senyawa bahan baku yang digunakan (Dolatowski dkk., 2007 dalam Dono dan Arifin, 2012). Dengan penggunaan teknik ultrasonik diharapkan proses pembuatan kitosan dari limbah udang dapat lebih efisien. Penelitian ini memfokuskan terhadap limbah udang yang banyak dihasilkan oleh restoran makanan olahan udang di daerah kota Yogyakarta. Penelitian dilakukan untuk meminimalkan penggunakan bahan kimia dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan melakukan evaluasi mutu kitosan yang dihasilkan berdasarkan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan dengan melihat parameter yang digunakan adalah derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositas dari hasil pembuatan kitosan.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengolah limbah kulit udang menjadi kitosan yang bermanfaat sebagai pengganti bahan pengawet makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh dan kesehatan dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik. Mutu kitosan yang dihasilkan diharapkan mempunyai kualitas yang sesuai dengan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan. Variabel yang diamati adalah lama pemasakan limbah kitosan dalam air dan variabel dalam proses deasetilasi yang meliputi perbandingan antara volume pelarut dengan berat bahan, waktu proses, dan konsentrasi NaOH dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Penggunaan ultrasonik dalam proses deasetilasi dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yaitu natrium hidroksida (NaOH) yang digunakan dalam proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Selain itu dengan proses deasetilasi yang dipengaruhi gelombang ultrasonik, maka waktu proses menjadi lebih singkat.
78
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
C. Tinjauan Pustaka Arifin (2012) melakukan proses inovasi teknologi proses produksi kitosan untuk mendapatkan proses yang lebih efisien dengan hasil optimal menggunakan teknologi ultrasonikasi-kimia. Proses ini merupakan proses produksi berbasis limbah udang dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik 42 kHz. Sejumlah kitin direndam dalam larutan NaOH dengan konsentrasi antara 55%-70% menggunakan ultrasonic bath bersuhu 700C. Proses dilaksanakan dengan variasi waktu antara 10-30 menit. Penggunaan gelombang ultrasonik dalam proses deasetilasi dapat mengurangi waktu proses deasetilasi sehingga dapat dikatakan lebih efisien. Kitosan yang dihasilkan dapat larut sempurna dalam larutan asam asetat 1% dan mempunyai kualitas dengan parameter kadar air, kadar abu, viskositas, dan derajat deasetilasi masing-masing 9,94%; 0,34%; 3,2 cP; dan 85,02%. Udang merupakan anggota kelas Crustacea. Seluruh tubuh terdiri dari ruas-ruas yang terbungkus oleh kerangka luar dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat (Widodo, 2005). Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor mengandung senyawa kimia yang berupa kitin dan kitosan. Senyawa ini dapat diolah karena hal ini dimungkinkan karena kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi dan elektron nitrogen pada gugus amino pada kitosan dapat mengikat ion-ion logam dan membentuk senyawa kompleks koordinasi yang stabil sehingga dapat digunakan untuk mengadsorbsi logam berat hasil buangan industri (Haryani, 2007). Menurut Wardaniati dan Setyaningsih (2009), khasiat kitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan kitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Menurut Widodo (2005), sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%). Tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang (Widodo, dkk., 2005). Kitin merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Kitin umumnya tidak berbentuk murni melainkan merupakan suatu kombinasi bersama dengan senyawa yang lain seperti protein, kalsium karbonat, dan zat warna. Salah satu cara mengidentifikasi adanya senyawa kitin adalah melalui tes warna Van Wisselingh. Pada tes warna ini kalium iodida akan merubah warna kitin menjadi coklat dan dengan penambahan asam sulfat warnanya akan berubah menjadi merah violet. Struktur kitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada kitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga kitin menjadi sebuah polimer dengan unit N-asetilglukosamin. Kitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 merupakan zat padat yang tak terbentuk (amorphus), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan chitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin (Hirano, 1998). Kadar kitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan menghasilkan yield antara 15-20%. Kitosan mempunyai bentuk mirip selulosa dan bedanya pada gugus rantai C-2. Senyawa kitin pada umumnya tidak digunakan secara murni tetapi diturunkan menjadi senyawa lain yang luas penggunaannya, misalnya kitosan. Namun untuk memperoleh kitosan kulit udang harus diolah untuk mendapatkan kitin terlebih dahulu. Kitosan merupakan turunan dari polimer kitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Kitosan disebut juga dengan β-1,4-2-amino-2-dioksi-D-glokosa merupakan turunan dari kitin melalui proses deasetilasi. Senyawa ini merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat). Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga gugus yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder, sehingga menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi (Widodo, 2005). 79
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik. Disamping itu kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan (Hirano, 1986). Menurut Widodo (2005) perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada kandungan nitrogennya. Jika nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan.
Gambar 1. Struktur Molekul Kitosan Dalam pembuatan kitosan dari limbah udang dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu proses deproteinasi, proses demineralisasi dan proses deasetilasi. Penghilangan protein melalui proses kimia (deproteinasi) dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 5%. Penghilangan kandungan mineral melalui proses kimiawi (demineralisasi) dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 1N, sedangkan deasetilasi dilakukan dengan cara pemanasan dengan menggunakan NaOH 50%. Teknik ultrasonik telah digunakan pada ekstraksi kitin Pandalus borealis (Kjartansson dkk., 2006 dalam Dono dan Arifin, 2012). Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga baik digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Banyak produk pangan yang menggunakan pengawet sintesis yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi tidak semua bahan pengawet berbahaya. Beberapa zat pengawet yang tidak berbahaya untuk digunakan dalam produk makanan tetapi akan menimbulkan efek negatif, misalnya alergi jika digunakan secara berlebihan antara lain kalsium benzoat, sulfur dioksida, dan kalium nitrit (Cahyadi, 2009). Mutu kitosan terdiri beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat deasetilasi. Kualitas standar kitosan yang dikeluarkan oleh Protan Laboratories (Prayudi dan Susanto, 2010) antara lain mempunyai ukuran serbuk sampai serpihan, kadar air dibawah 10%, kadar abu di bawah 2%, derajat deasetilasi di atas 70%, viskositas dengan tingkatan tingkat tinggi bernilai di atas 2.000 cps. Pada uji aplikasi kitosan yang telah dilakukan pada beberapa produk misalnya bakso (Wardaniati dan Setyaningsih, 2009), dalam penelitian yang dilakukan, kitosan dilarutkan dalam asam asetat 1% dengan beberapa konsentrasi, kemudian bakso yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan. Jumlah kitosan yang dibutuhkan untuk pengawetan makanan konsentrasinya sekitar 1,5 persen. Artinya, dalam satu liter pelarut, dibutuhkan kitosan sekitar 15 gram.
D. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian teknologi terapan dalam proses pembuatan kitosan dari limbah kulit udang dengan variasi waktu, suhu, konsentrasi NaOH, dan volume pelarut NaOH dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik. Variabel penelitian yang dianalisis adalah waktu yang digunakan pada saat deasetilasi, suhu yang digunakan pada saat deasetilasi, konsentrasi NaOH yang digunakan pada saat deasetilasi, dan volume pelarut NaOH yang digunakan pada saat deasetilasi dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Penelitian dilakukan dengan studi pustaka dan percobaan di laboratorium. Adapun tahapan penelitian adalah sebagai berikut:
80
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 1.
Tahap Persiapan Bahan dan Alat Penelitian a. Bahan penelitian Bahan yang digunakan adalah limbah udang yang berupa kulit udang, setelah dikeringkan dan dihaluskan, kemudian dianalisis kadar air dan kadar abu. Selain itu air sebagai cairan pelarut, larutan NaOH 5%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deproteinasi bubuk kulit udang, laruan Larutan HCl 1N, digunakan sebagai pelarut dalam proses demineralisasi, dan larutan NaOH x%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deasetilasi kitin, dan larutan asam asetat 1 %, digunakan sebagai pelarut dalam analisa dan pengujian kitosan pada bahan makanan. b. Alat penelitian Rangkaian alat penelitian yang digunakan terdiri dari kompor listrik, penangas minyak, pembangkit gelombang ultrasonik, labu leher tiga, pendingin balik, motor pengaduk, termometer.
2.
Tahap Proses Pengolahan
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu persiapan bahan baku yaitu limbah kulit udang, proses pembuatan kitosan, dan proses analisa. Penyiapan bahan, bahan baku kulit udang dicuci sampai bersih, kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Selanjutnya kulit udang dihaluskan/ digiling dan diayak dengan ukuran mesh tertentu, hasil yang berupa tepung kulit udang kemudian dianalisa untuk mengetahui kandungan air dan abu. Proses penelitian, yaitu proses perebusan kulit udang, proses deproteinasi, demineralisasi dan deasetilasi dalam labu leher tiga dengan perbandingan bahan dengan pelarut, konsentrasi NaOH, waktu dan suhu reaksi yang tertentu. Campuran kemudian disaring yang bertujuan untuk memisahkan residu dari filtratnya. Residu tersebut diambil sebagai hasil setelah itu di oven pada suhu tertentu sampai kering maka berat hasil akan didapat. Sebelum dilakukan ketiga proses tersebut, dilakukan proses perebusan kulit udang dalam air dengan waktu proses tertentu. Proses deproteinasi dilakukan dengan cara tepung limbah udang dengan berat tertentu, dimasukkan dalam labu leher tiga dengan penambahan NaOH 5% dengan volume tertentu. Perbandingan antara berat limbah udang dengan volume NaOH 5% adalah 1:15 (weight/volume). Ekstraksi dilakukan selama 2 jam pada suhu 100ºC untuk menghilangkan kandungan proteinnya. Hasil deproteinasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven dengan suhu 600C. Proses demineralisasi, residu hasil deproteinasi yang telah dicuci sampai pH netral dan dikeringkan dimasukkan ke dalam labu leher tiga dengan penambahan HCl 1N dengan volume tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 1 jam pada suhu 80ºC untuk menghilangkan kandungan mineralnya. Hasil demineralisasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven. Residu hasil demineralisasi yang telah dikeringkan disebut kitin. Proses deasetilasi yaitu mengubah kitin menjadi kitosan, kitin dimasukkan ke dalam labu leher tiga dengan penambahan NaOH 40%-50% dengan volume tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 30 – 90 menit pada suhu 90ºC dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Hasil deasetilasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven. Residu dari hasil deasetilasi inilah yang disebut kitosan. Kemudian hasil dianalisis derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositasnya untuk mengetahui mutu kitosan. 3.
Tahap Pengujian
Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan meliputi analisis bahan baku dan hasil. Analisis bahan baku meliputi analisis kadar air dan kadar abu, sedangkan analisis hasil meliputi analisis derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan vikositas. Dari evaluasi produk kitosan yaitu nilai kadar air, kadar abu, nilai kelarutan/ viskositas, dan derajat deasetilasinya sehingga dapat diketahui proses yang paling optimal untuk hasil kitin dan kitosan yang berasal dari kulit udang.
81
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
E. Hasil Penelitian Proses pengambilan kitin dimulai dengan tahap perebusan menggunakan air selama 2 jam pada suhu 1000C, dengan perbandingan kulit udang kering dan air yang digunakan adalah 1:15 (gram/mL). Proses ini bertujuan untuk melunakkan kulit udang sehingga proses deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi dapat berlangsung lebih sempurna. Kulit udang yang akan diproses dievaluasi kadar airnya dan kadar abu, dari hasil analisa diperoleh kandungan air kulit udang sebesar 6,26% (berat basah) dan kadar abu sebesar 42,6%. Dari proses perebusan 50 gram kulit udang kering diperoleh kulit udang hasil perebusan sebanyak 40,546 gram. Merita, dkk. (2013) telah melaksanakan proses pembuatan kitosan dengan melakukan variasi waktu perebusan kulit udang dengan hasil kitosan dengan derajat deasetilasi tertinggi dihasilkan pada proses perebusan 2 jam dimana menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 85,34% dengan nilai randemen yang diperoleh sebesar 11,62%. Proses ekstraksi kitin dari kulit udang yang sudah direbus melalui dua tahapan proses, yaitu proses deproteinasi dan proses demineralisasi. Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein dalam kulit udang, sedangkan proses demineralisasi merupakan proses yang bertujuan untuk menghilangkan mineral dalam kulit udang. Bahan yang diperoleh setelah melalui dua tahapan ini disebut dengan kitin. Kitin ini selanjutnya dijadikan bahan baku proses deasetilasi untuk mendapatkan kitosan. Pada penelitian ini, dari proses deproteinasi dan demineralisasi yang dilakukan tanpa pengaruh gelombang ultrasonik diperoleh rendemen kitin sebesar 21,26%. Banyaknya kitin yang dapat diperoleh dari kulit udang sangat bervariasi. Misalnya penelitian Dono dan Arifin (2012), dari dua proses tahapan proses yaitu penghilangan mineral dan diikuti dengan proses penghilangan protein, dapat menghasilkan kitin dengan rendemen sebesar 23,30%. Untuk mendapatkan kitosan, maka kitin kemudian dideasetilasi menggunakan larutan NaOH 40% dan dipengaruhi dengan gelombang ultrasonik sebesar 60Hz. Dari hasil percobaan dengan variasi volume NaOH 40% yang digunakan dengan berat kitin yang diproses diperoleh hasil seperti yang tercantum dalam Tabel 2. Dari data penelitian menggunakan variasi jumlah larutan NaOH yang digunakan, maka diperoleh nilai viskositas larutan, derajat deasetilasi kitosan, serta kelarutan kitosan yang optimal pada proses menggunakan perbandingan jumlah kitin yang diproses dengan pelarut yang digunakan sebesar 1:15. Dengan menggunakan perbandingan ini diperoleh nilai viskositas larutan sebesar 5,8 cP, rendemen 22,65%, kitosan yang dihasilkan larut dalam asam asetat 1%, dan nilai derajat deasetilasi kitosan sebesar 78,64%. Tabel 2. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Perbandingan Kitin dengan Volume NaOH 40% Volume NaOH 40%, mL 100 150 200
Rendemen Kitosan, % 22,15 22,65 22,87
Viskositas Larutan Kitosan, cP 3,9 5,8 5,4
Kadar Abu, % 2,34 1,96 1,87
Derajat Deasetilasi 74,01 78,64 78,84
Kelarutan LS L L
Keterangan: LS (Larut Sebagian); L (Larut) Percobaan menggunakan variasi waktu proses deasetilasi menggunakan perbandingan bahan (kitin) dan pelarut NaOH 40% sebesar 1:15. Proses deasetilasi dilaksanakan dengan empat variasi waktu, yaitu 30 menit, 45 menit, 60 menit, dan 90 menit. Dari hasil penelitian, diperoleh hasil sebagaimana tercantum dalam Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Waktu Proses Deasetilasi (Perbandingan Jumlah Kitin yang diproses dengan Volume Larutan NaOH 40% adalah 1:15 (gram/mL))
82
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Waktu Proses, menit 30 45 60 90
Rendemen Kitosan, % 22,675 22,75 22,65 22,55
Viskositas Larutan Kitosan, cP 3,2 4,1 5,8 5,9
Kadar Abu, % 4,34 2,43 1,96 1,91
Derajat Deasetilasi 71, 15 73,33 78,64 79,23
Kelarutan, % TL LS L L
Keterangan: TL (Tidak Larut); LS (Larut Sebagian); L (Larut) Dengan melihat data yang dihasilkan, maka hasil optimal dilihat dari kelarutan kitosan/ viskositas larutan, rendemen kitosan, serta derajat deasetilasi maka waktu proses yang optimal dilakukan selama 60 menit dengan rendemen hasil kitosan 22,65%, viskositas larutan 5,8 cP, dan derajat deasetilasi sebesar 78,64%. Untuk proses deasetilasi dengan variasi konsentrasi larutan NaOH yang digunakan diperoleh seperti tercantum dalam Tabel 4 di bawah ini. Proses deasetilasi pada tahap ini dilakukan selama 60 menit dengan menggunakan perbandingan massa kitin (gram) dan larutan NaOH (mL) sebesar 1:15. Dari hasil penelitian terlihat bahwa penggunaan konsentrasi NaOH yang berbeda dapat menghasilkan kitosan yang dapat larut dalam larutan asam asetat 1%, sedangkan kenaikan konsentrasi NaOH menjadi 45% dan 50% mempunyai pengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan tetapi tidak begitu signifikan. Sebagai perbandingan, dilakukan pembuatan kitosan dengan kondisi proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40%, dengan perbandingan berat kitin dengan larutan NaOH yang digunakan sebesar 1:15, suhu proses deasetilasi 900C selama 60 menit tanpa pengaruh gelombang ultrasonik. Dari percobaan yang dilakukan diperoleh kitosan yang larut dalam asam asetat dengan derajat deasetilasi sebesar 73,55%. Penggunaan gelombang ultrasonik pada 60Hz dapat digunakan dalam proses deasetilasi kitin tetapi peningkatan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan dalam penelitian ini belum begitu besar. Tabel 4. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Konsentrasi NaOH Konsentrasi Larutan NaOH, % 40 45 50
Rendemen Kitosan, % 22,65 21,23 21,01
Viskositas Larutan Kitosan, cP 5,8 5,9 6,3
Kadar Abu, % 1,96 1,85 1,77
Derajat Deasetilasi 78,64 78,87 79,25
Kelarutan, % L L L
Keterangan: L (Larut)
F. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan Dari data percobaan yang dilakukan, diperoleh data kondisi proses deasetilasi menggunakan gelombang ultrasonik dapat menaikkan derajat deasetilasi kitosan yang diperoleh. Data kitosan yang diperoleh dengan proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40%, pada suhu 900C selama 60 menit mempunyai derajat deasetilasi sebesar 78,64%, kadar abu 1,96%, viskositas 5,8 cP, dan kitosan dapat larut dalam larutan asam asetat 1%.
2. Saran dan Rekomendasi a.
b.
Dinas Kesehatan perlunya melakukan pengenalan adanya pengawet bahan makanan yang lebih aman dari sisi kesehatan, yaitu kitosan. Pengenalan ini dapat dilakukan dengan mensosialisasikan kerugian bahan tambahan makanan sintetik, yang merupakan bahan tambahan yang berasal dari zat kimia. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota Yogyakarta dapat mengenalkan masyarakat tentang prospek usaha pengolahan limbah kulit udang untuk diolah menjadi kitosan dengan melakukan scale up proses dan alat yaitu untuk kapasitas produksi 15 kg kitosan setiap bulannya, karena usaha ini dimungkinkan untuk dapat menghasilkan keuntungan dari sisi ekonomi. 83
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 c.
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota Yogyakarta perlu mengadakan program bank sampah limbah kulit udang, sebagai upaya untuk dapat mengumpulkan limbah kulit udang dari pada pedagang makanan hasil olahan udang atau dari rumah tangga untuk dapat memasok industri pembuatan kitosan dari limbah kulit udang. .
Daftar Pustaka Arifin, Z., 2012, “Pemanfaatan Teknologi Sonikasi tak Langsung dalam Rangka Produksi Kitosan”, Konversi, Volume 1 No.1. Bozdemir, O.A., dan Tutas, M., 2003, “Plasticiser Effect on Water Vapour Permeability Properties of Locust bean gum-Based Edible Film”, Turk Journal Chemistry. Cahyadi, W., 2009, “Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan”, ed.2, Bumi Aksara, Jakarta. Casariego, A., Souza, B.W.S., Vicente, A.A., Teixeira, J.A., Cruz, L., and Diaz, R., 2007, “Chitosan Coating Surface and Permeation Properties as Affected by Plasticizer, Surfactant, Polimer Concentration-Application to Vegetables”, Proceeding of The 3rd CIGR Sction VI International Symposium on Food and Agricultural Products: Processing and Innovations. Dono, A. dan Arifin, Z., 2012, “Pemanfaatan GElombang Ultrasonik pada Proses Deasetilasi dalam Rangka Produksi Kitosan Berbasis Limbah Udang”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Soebardjo Brotohardjono, UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya. Fernandez, K., Sun, O., 2004, “Physicochemical and Functional Properties of Crawfish Chitosan as Affected by Different Procesing Protocols”, A Thesis in Department of Food Science, Seoul University. Haryani, K., Hargono, dan Budiyati, C.S., 2007, “Pembuatan Khitosan dari Kulit Udang untuk Mengadsorpsi Logam Krom (Cr6+) dan Tembaga (Cu)”, Reaktor, Vol. 11 No.2, Hal. 86-90. Hartati, F., Tri, S., Rakhmadioni, dan Loekito, A., 2002, “Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Deproteinasi dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan”, Biosain, Vol. 2(1). Hirano, S., 1986, “Kitin and Kitosan”, Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry Republicka of Germany, 5th. ed., A 6: 231 – 232. Mahatmanti, F.W., Sugiyo, W., dan Sunarno, W., 2010, “Sintesis Kitosan dan Pemanfaatannya sebagai Anti Mikrobia Ikan Segar”, Sainteknol 8, no. 2. Meyers, S.P., No, H.K., Prinyawiwatkui, W., dan Xu, Z., 2007, “Applications of Chitosan for Improvement of Quality and Shelf Life of Foods: A Review”, Journal Food Science. Nadarajah, K., 2005, ”Development and Characterization of Antimicrobial Edible Film from Crawfish Chitosan”, Dessertation in Department of Food Science, University of Peradeniya. Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi, 1984, “ Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian”, ed.3, hal. 53, 61, 64, 77, 78, Liberty, Yogyakarta. Swastawati, F., Wijayanti, I., Susanto, E., 2008, Pemanfaatan Limbah Kulit Udang menjadi Edible Coating untuk mengurangi Pencemaran Lingkungan, Jurnal Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, 4(4), 101 – 106. Wardaniati, R.A. dan Setyaningsih, S., 2009, “Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya untuk Pengawetan Bakso”, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang. Widodo, A., Mardiah, dan Prasetyo, A., 2005, “Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil”, Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
84
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
KAMPUNG WISATA ONLINE BERBASIS SIG SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI WARGA DALAM MENGELOLA DAN MEMPROMOSIKAN PARIWISATA KOTA YOGYAKARTA Oleh: Drs. Tedy Setiadi, M.T. & Herman Yuliansyah, S.T.,M.Eng
ABSTRAK Yogyakarta is a city that has a diversity of art and culture which is still alive in the midst of society. These advantages make the Yogyakarta city visited by many tourists. The development of tourism in the city of Yogyakarta will play a major role in determining income (PAD) received by the City of Yogyakarta because 31% of the revenue derived from the city of Yogyakarta comes from tourism sector. One form of activities to improve the tourist attraction is the exploration and innovation to realize the diversity of the objects and tourist attractions. Tourist village is a new variant of attraction of special interest-based potentials in a village area and has a strategic role in the welfare of society and one of the programs to increase tourist arrivals. Based on these issues it is necessary to build a tourist village information system based on web. The hope with this information system can increase citizen participation in managing and promoting the tourism potential of the region as a new object or improvement of existing ones. The method used in this study is the waterfall method in the development of the system / software. This method includes the phases of the system needs analysis, system design, system implementation and system testing. The results of this study is to produce a system of web-based information tourist village in an effort to increase the participation of citizens in managing and promoting tourism Yogyakarta that can pinpoint the location of the tourist village in accordance with the kind of potential that is desired by the user, determines the route based on the location of origin and destination you want to visit the tourist village which then the system will generate information about the distance to be traveled, time taken, and the roads that will be passed by the user to the point of destination. Keywords: tourist village, information system, SIG,online
A. Pendahuluan Kota Yogyakarta memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang tetap terjaga hingga saat. Keunggulan tersebut menjadikan Kota Yogyakarta banyak dikunjungi wisatawan. Pengembangan kepariwisataan di Kota Yogyakarta mengedepankan konsep pariwisata yang berbudaya. Selain itu, potensi obyek wisata, sarana prasarana yang memadai, serta letak geografis yang strategis merupakan aset yang jika dikelola secara baik dapat mendukung keberadaan Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata yang terkemuka [1]. Salah satu bentuk kegiatan untuk meningkatkan daya tarik wisata adalah melakukan eksplorasi dan inovasi untuk mewujudkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata, diantaranya wisata minat khusus, wisata bangunan dan kawasan heritage (pusaka/bersejarah), wisata pendidikan, wisata MICE (Meeting, Incentive, Conference/Convention dan Exhibition), wisata kuliner dan wisata belanja. Menurut Kepala Seksi Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Bysry Romley mengingat luas wilayah Kota Yogyakarta yang terbatas kemungkinannya untuk menambah obyek wisata baru, sehingga salah satu inovasi yang bisa dilakukan adalah dengan mengembangkan kampung sebagai tujuan wisata[2]. Merujuk hal tersebut keberadaan Kampung Wisata merupakan solusi yang sangat tepat karena keberadaan kampung wisata dengan berbagai format yang ada, seperti Kampung Wisata atau Urban Tourism yang didukung dengan aneka macam pertunjukan atraksi budaya serta atraksi kerajinan dan kuliner kini banyak diminati oleh wisatawan. 85
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Kampung wisata merupakan sebuah varian baru Objek Daya Tarik Wisata minat khusus yang berbasis potensi wilayah kampung dan memiliki peranan strategis dalam kesejahteraan masyarakat dan salah satu program untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. Selain sebagai pengembangan pariwisata, kampung wisata juga mengajak masyarakat sekitar untuk melestarikan kebudayaan Jawa dan menjaga alam sekitar. Setiap kampung wisata memiliki produk unggulan yang dapat menambah keunikan budaya Yogyakarta. Dan juga tak kalah penting tentunya dapat meningkatkan ekonomi warga masyarakat. Ada banyak kampung yang akan menjadi tujuan wisata. Beberapa yang sudah dikenal dan sering dikunjungi adalah Dipowinatan, Cokrodirjan, Pandeyan, Basen, dan Sosromenduran. Namun demikian kampung wisata tersebut belum banyak dipromosikan, masih sebatas promosi melalui brosur maupun pamflet. Ini terlihat dalam website kota Yogyakarta[3] yang belum mengulas tentang kampung wisata. Beberapa situs juga mempromosikan wisata desa di Yogyakarta seperti [4] namun mengingat pengelolanya merupakan web personal maka sifatnya masih statis (tidak uptodate) dan fiturnya sebatas deskripsi singkat dan beberapa foto pendukung untuk menjelaskan lokasi wisatanya, belum menjelaskan lebih dalam tentang potensi dan ciri khas dari lokasi. Berdasarkan persoalan di atas maka kami mengusulkan penelitian untuk membangun kampung wisata online berbasis SIG berbasis web. Harapannya dengan sistem informasi ini dapat meningkatkan partisipasi warga dalam mengelola dan mempromosikan berbagai potensi wilayahnya sebagai objek pariwisata baru atau peningkatan dari yang sudah ada. Kampung wisata online diharapkan dapat memberikan informasi secara lengkap dan cepat dan uptodate tentang lokasi kampung wisata berupa nama, alamat, potensi, fasilitas, keunggulan, dan informasi lainnya yang merupakan ciri khas masing-masing kampung.
B. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. 2. 3. 4.
Menghasilkan kebutuhan data dan informasi yang diperlukan untuk pembangunan kampung wisata online Yogyakarta. Menghasilkan rancangan proses, basis data dan antarmuka kampung wisata online kota Yogyakarta Menghasilkan kampung wisata online berbasis SIG berbasis Web yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kota atau warga kampung wisata yang mencakup berbagai informasi tentang kampung yang ada di kota Yogyakarta. Menghasilkan uji sistem yang telah dibangun yang memenuhi kebutuhan dari setiap user.
C. Tinjauan Pustaka Penelitian ini antara lain mengacu pada penelitian Tedy[5]. Pada penelitian ini dihasilkan sistem informasi untuk menentukan daerah pencemaran limbah berbasis SIG yang dapat membantu dalam proses penentuan daerah pencemaran seperti dalam proses menentukan daerah yang mengandung limbah B3, daerah yang tercemar limbah. Selain itu juga sistem ini mampu memberikan informasi besarnya kandungan zat pencemar yang ada dalam limbah. Keterbatasan penelitian ini sistem informasinya berbasis dekstop belum berbasis WEB sehingga masih terbatas penggunaannya. Kemudian mengacu juga penelitian Misbakhul[6]. Pada penelitian ini telah dikembangkan objek wisata di kabupaten Tulung Agung berbasis SIG dengan fungsi utama sebatas pengganti buku panduan wisata. Penelitian ini keterbatasannya juga tidak berbasis WEB sehingga tidak dapat diakses oleh semua pengguna.
D. Metode Penelitian 1. Analisis Kebutuhan Sistem Kegiatan awal yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan nanti oleh sistem. Calon pengguna sistem mencakup pengelola pariwisata di dinas pariwista kotamadya Yogyakarta, pengelola kampung wisata (lokasi). Dan masyarakat umumKegiatan awal yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan nanti oleh
86
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 sistem. Calon pengguna sistem mencakup pengelola pariwisata di dinas pariwista kotamadya Yogyakarta, pengelola kampung wisata (lokasi) dan masyarakat umum.
2. Perancangan Sistem Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah merancang DFD (Data Flow Diagram), merancang basis data, proses digitasi dan merancang antarmuka (user interface).
3. Perancangan Sistem Sistem ini diimplementasikan (dikoding) dengan bahasa pemrograman PHP yang berbasis Framework CodeIgniter
4. Pengujian Sistem Black Box Test adalah metode pengujian yang dilakukan untuk memperoleh gambaran kesesuaian antara input dan output. Pengujian ini dilakukan oleh Pengelola Dinas Pariwisata dan kebudayaan kota Yogyakarta maupun pengelola di kampung wisata. Pengujian Alfa Test yaitu pengujian sistem yang dilakukan oleh pemakai sistem. Pengujian ini dilakukan oleh administrator dinas pariwisata maupun administrator kampung serta beberapa wisawatan (masyarakat) sebagai pengguna umumPengujian Alfa Test yaitu pengujian sistem yang dilakukan oleh pemakai sistem. Pengujian ini dilakukan oleh administrator dinas pariwisata maupun administrator kampung serta beberapa wisawatan (masyarakat) sebagai pengguna umum.
E. Hasil Penelitian 1. Analisis Kebutuhan Berdasarkan hasil analisis kebutuhan dapat ditentukan terdapat 3 stakeholder yang terlibat pada sistem informasi ini yaitu visitor, Admin Dinas dan Admin Kampung. Berikut beberapa kebutuhan berdasarkan jenis stakeholder: a.
Kebutuhan Visitor
Informasi peta digital lokasi kampung wisata di kota Yogyakarta, informasi kampung wisata dan potensi-potensi wisatanya, informasi rute jarak dan arah antar kampung wisata, informasi rute jarak dan arah kampung wisata dengan lokasi fasilitas umum, galeri tentang foto-foto kampung wisata, informasi tentang event di kampung wisata, informasi berita mengenai kampung wisata, form pemesanan untuk memesan paket wisata dan form buku tamu untuk memberikan saran dan masukkan terhadap sistem maupun kampung wisata. b. Kebutuhan Admin Dinas Proses login terhadap sistem, mengolah data kampung wisata, mengolah data potensi wisata, mengolah data kecamatan, mengolah data kategori potensi, mengolah data lokasi fasilitas umum, mengolah galeri, mengolah event, mengolah berita, mengolah buku tamu, mengolah pemesanan, melihat laporan pengunjung dan mengolah user admin kampung. c.
Kebutuhan Admin Kampung
Proses login terhadap sistem, mengolah data kampung wisata, mengolah data potensi wisata, mengolah berita, mengolah pemesanan dan mengolah laporan pengunjung.
2. Perancangan Sistem Perancangan sistem dilakukan dengan merancang Data Flow Diagram dan Entitas Relationship Diagram (ERD). Berikut hasil rancangan Data Flow Diagram (DFD): a.
Diagram Konteks
Diagram konteks merupakan gambaran umum aliran informasi dan data yang terjadi di dalam sistem. 87
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Gambar 1. Diagram Konteks
b. DFD Level 1 Proses yang terjadi pada sistem adalah input data, penyimpanan data, dan pembuatan tampilan data.
Gambar 2. DFD Level 1
c.
Entitas Relationship Diagram
ERD merepresentasikan susunan data entitas dengan relasi antar entitas yang diproses pada sistem.
88
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 id
id
nama
id 1
Id_kampung
Kategori Potensi
nama
punya Kecamatan
deskripsi
deskripsi
N
hit gambar nama
1
milik
N
Kampung
latitude
id
Potensi 1
longitude
N
punya
1
N
punya
deskripsi
Id_kampung
gambar
1
id
id
1
User
nama
tgl
tulis
1
Event
milik Galeri
1
waktu
N
username
nama
id
id password deskripsi
Lokasi
gambar
nama
N
Berita
Pengunjung
tgl_post
latitude jenis
longitude
gambar
Buku Tamu id
tanggal
jumlah
deskriipsi
deskripsi
id email
id
judul
nama
id
Pemesanan
nama
subject
email No telp
isi
status
Gambar 3. Entity Relation Diagram (ERD)
3. Implementasi Sistem a.
Halaman Peta
Pada halaman ini visitor dapat mencari lokasi kampung wisata berdasarkan potensi dan melihat rute serta jarak waktu yang ditempuh antar kampung wisata.
Gambar 4 Halaman Peta
89
isi
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 b. Halaman Input Kampung Halaman ini berisi form untuk memasukkan data kampung wisata yang akan ditampilkan di website.
Gambar 5 Halaman Input Kampung
c.
Halaman Daftar Potensi
Halaman ini berisi daftar potensi wisata yang dimiliki oleh kampung wisata.
Gambar 6 Halaman Daftar Potensi
F. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. 2.
3.
Penelitian ini telah menghasilkan Sistem Informasi Geografis Pemetaan Potensi Kampung Wisata Di Wilayah Kota Yogyakarta Berbasis Web. Adapun kelebihan dari sistem ini adalah dapat menentukan titik lokasi kampung wisata sesuai dengan jenis potensi yang diinginkan oleh pengguna, menentukan rute perjalanan berdasarkan lokasi asal dan tujuan kampung wisata yang ingin dikunjungi yang selanjutnya sistem ini akan menghasilkan informasi tentang jarak yang akan ditempuh, waktu yang ditempuh, dan jalan-jalan yang akan dilewati oleh pengguna menuju titik lokasi tujuan. Sistem Informasi Geografis Pemetaan Potensi Kampung Wisata Di Wilayah Kota Yogyakarta Berbasis Web ini dapat membantu Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam mempromosikan dan memberikan informasi tentang lokasi beserta potensi-potensi kampung wisata kepada masyarakat khususnya calon wisatawan yang ingin berlibur ke Kota Yogyakarta.
Beberapa rekomendasi bagi Pemerintah Kota agar mendukung kampung wisata online berbasis SIG:
90
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 1.
2.
3.
Bagi Dinas Pariwisata a. Perlu menambahkan sub-domain aplikasi kampung wisata ini ke web Dinas Pariwisata Kotamadya Yogyakarta sehingga mampu meningkatan informasi wisata yang ada di Yogyakarta b. Perlu meningkatkan sosialisasi pentingnya konsep kampung wisata ke bawah yakni ke setiap kecamatan, kelurahan, RW dan RT yang ada di wilayah yogyakarta sehingga tumbuhnya kesadaran warga bagaimana menggali inovasi dan potensi pariwisata wilayahnya c. Perlu meningkatkan kemampuan penguasaan Teknologi Informasi bagi admin pengelola web Dinas Pariwisata akan mengelola sistem ini dengan melakukan pelatihan dan pendampingan. d. Perlu menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi untuk meyediakan dosen atau mahasiswa yang melakukan pelatihan dan pendampingan bagi pengelola kampung wisata dan memfasilitasi untuk mengembangkan aplikasi ini dengan berbasis mobile sehingga bisa diakses lebih luas dan familier melalui gadget. Bagi Kampung Wisata a. Perlu mensosialisasikan aplikasi ini ke setiap pengurus RW dan RT sehingga tumbuh kesadaran warga bagaimana menggali inovasi dan potensi pariwisata wilayahnya b. Perlu meningkatkan kemampuan penguasaan Teknologi Informasi bagi admin pengelola web kampung wisata di kampungnya yang akan mengelola sistem ini dengan melakukan pelatihan dan pendampingan. Bagi Perguruan Tinggi Mitra a. Perlu menyediakan bantuan dosen dan mahasiswa yang kompeten dalam aplikasi ini untuk melakukan pelatihan dan pendampingan bagi Dinas Pariwisata maupun pihak kampung melalui program pengabdian masyarakat baik dosen maupun mahasiswa KKN. b. Perlu menyediakan kepakaran dosen untuk melakukan penelitian dan pengembangan aplikasi ini yang mengikuti kebutuhan user yang dinamis.
Daftar Pustaka Pemerintah Kota Yogyakarta, 2007, “Keputusan Walikota Walikota Yogyakarta No. 557/KEP/2007 Tentang Rencana Aksi Daerah Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011”, Walikota Yogyakarta, Yogyakarta. Republika.co.id, 2011, Inilah Lima Kampung di Yogyakarta yang Jadi Tujuan Wisata Mancanegara, [Online], http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/11/07/08/lo06qt-inilah-limakampung-di-yogyakarta-yang-jadi-tujuan-wisata-mancanegara”, Diakses pada tanggal 10 September 2014. Jogjakarta.go.id, 2014, Dinas Pariwisata dan Keudayaan Kota Yogyakarta, “http://pariwisata.jogjakota.go.id/”, Diakses pada tanggal 10 September 2014
[Online],
Jogjatrip.com, Wisata Desa, [Online], http://jogjatrip.com/id/category/wisata-desa, Diakses pada tanggal 10 September 2014. Setiadi, Tedy, 2010, Pengembangan Sistem informasi Untuk Menentukan Daerah Pencemaran Limbah Home Industri Berbasis SIG , Jurnal Informatika Program Studi Teknik Informatika Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Vol. 4 No 2 Juli 2010 Zain, Misbakhul Munir & Taufik, Muhammad, 2012, Pengembangan Potensi Wisata Alam Kabupaten Tulungagung dengan Sistem Informasi Geografis, [Online], http://digilib.its.ac.id/public/ITSUndergraduate-12512-Paper.pdf, Diakses pada tanggal 10 September 2014.
91
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI TAHU BERBASIS KOMUNITAS DI BANTARAN SUNGAI WINONGO KELURAHAN WIROBRAJAN KECAMATAN WIROBRAJAN YOGYAKARTA Oleh: Suharyanto, Hastowiyono, Muhammad Barori
ABSTRACT Home industry has a strategic role in national and regional economic development, because it has a role in reducing poverty, encouraging economic growth and employment. In fact, home industries have many obstacles to develop. To develop home industry enterprises, including "tahu" (tofu) industry, it needs to get the attention of the Government and the community in order to develop more competitiveness with other economic actors. Although the home industries are the micro-scale, but there are relatively many of them, then people's economy unit needs to be viewed as asset of the relevant area to be developed. This study aims to know the characteristics of tofu business, profile of business management, social capital which constructed the tahu craftsmanship and among the obstacles that people experienced, and the involvement of regional government to promote industry enterprises. Research was conducted in RT 35/RW 07 Kelurahan Wirobrajan. The methods of this research use quantitative and qualitative approaches. The respondents are 18 business owners who are determined at random. Descriptive data analysis uses statistics and reinforced by qualitative analysis. This research result indicates: 1) the tofu craftsmen have diverse age characteristics, low education, low working mobility, background as a migrants, and generally constituting the small family; 2) the business is characterized by family business, business skills obtained from parents or others, there is no distribution of work between the owner and workers, small capitals, number of employees is 1-2 people, traditional production technology, small production capacity, do not have business legality, and local marketing scale; 3) the craftsmen manage their business in traditional ways, there is no bookkeeping, business finance mingled with household finance, products marketed without packaging and marketed to the direct consumer (end user); 4) having strong social capital, no competition between craftsmen, each tofu maker has their own market domain, and having good social relations between the craftsmen and the residents. Keywords: development, tofu industry
A. Pendahuluan Usaha industri rumahtangga mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, karena selain berperan dalam mengurangi jumlah kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Pada saat negara kita dilanda krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor usaha industri rumahtangga terbukti lebih tangguh. Mengingat pengalaman tersebut, pengembangan usaha industri rumahtangga, termasuk usaha industri kerajinan tahu, menjadi relevan untuk mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan industri rumahtangga melalui kebijakan yang mendorong terjalinnya kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil/mikro. Secara kuantitas industri rumahtangga memang jumlahnya lebih banyak, tetapi apabila keseluruhan omset dan aset industri rumahtangga di Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya dapat menyaingi satu perusahaan berskala nasional. Lebih jauh, pengembangan usaha industri rumahtangga, mendesak dilakukan mengingat sektor ini memiliki potensi untuk menjaga kestabilan perekonomian, peningkatan tenaga kerja, meningkatkan PDB, mengembangkan dunia usaha, dan penambahan APBN dan APBD melalui perpajakan. (http://www.blogsiffahartas.blogspot.com/2011/05/pengembangan-usaha-mikro-kecil)
92
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS tahun 2003 (dalam Sri Winarni, 2006) menginformasikan bahwa 72,47 % UKM mengalami kesulitan usaha. Bagi UKM yang mengalami kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan 51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %. Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan permodal-an (51.09%). Menyimak problematika yang dialami UMKM tersebut, menjadi menarik untuk meneliti usaha industri tahu yang ada di bantaran sungai Winongo Kelurahan Wirobrajan Kecamatan Wirobrajan Yogyakarta. Di wilayah Kelurahan Wirobrajan terdapat cukup banyak warga masyarakat yang menekuni industri tahu. Usaha industri tahu tersebut termasuk skala usaha mikro. Meski skala usahanya mikro, tetapi karena jumlahnya relatif banyak, maka unit ekonomi kerakyatan ini perlu dipandang sebagai aset daerah yang relevan untuk dikembangkan. Pengembangan usaha industri rumahtangga sangat relevan dilakukan, karena industri rumahtangga diharapkan menjadi cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. Namun demikian perlu disadari, industri rumahtangga berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan industri rumahtangga tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan pembangunan yang lebih luas. Konsep pembangunan yang dilaksanakan harus terintegrasi dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Dengan demikian, pengembangan industri rumahtangga diperlukan strategi yang tepat melalui suatu kebijakan dari Pemerintah Kota Yogyakarta dan peran serta dari semua pihak. Untuk mendukung ketepatan strategi kebijakan pengembangan usaha kerajinan tahu tentu diperlukan data dan informasi yang dapat menggambarkan keadaan yang terjadi pada usaha kerajinan tahu itu. Atas dasar argumen tersebut, penelitian ini menjadi relevan untuk dilakukan.
B. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mendeskripsikan karakteristik pemilik usaha dan profil usaha industri tahu. Mendeskripsikan pola produksi, perilaku pemasaran produk, dan dukungan permodalannya? Mengetahui interakasi antar pemilik usaha industri tahu; antara pemilik usaha dengan tenagakerja/karyawan, tengkulak/pedagang, lembaga kemasyarakatan setempat, dan pemerintah daerah? Mengetahui bentuk-bentuk dan kekuatan modal sosial yang dibangun oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha industri tahu maupun dalam merawat hubungan sosial dengan warga masyarakat setempat. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi pengusaha (pengrajin) dalam mengelola dan mengembangkan usaha industri tahu. Mengetahui efektifitas bantuan-bantuan yang pernah diberikan oleh pihak eksternal, khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta.
Manfaat penelitian: 1. 2.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penentuan kebijakan pengembangan ekonomi lokal, khususnya usaha industri kerajinan tahu di bantaran Sungai Winongo. Hasil penelitian ini sekaligus dapat bermanfaat untuk mempromosikan kepada kalangan luas tentang keunikan usaha ekonomi kerakyatan sebagai kekayaan daerah yang dimiliki Kota Yogyakarta. Lebih lanjut diharapkan dapat mendorong munculnya ”kampung wisata tahu” yang berimplikasi luas bagi kesemarakan gerakan pembangunan daerah Kota Yogyakarta.
93
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
C. Tinjauan Pustaka Industri tahu yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini merupakan bidang usaha ekonomi produktif yang dikelola masyarakat lokal dalam skala usaha rumahtangga. Skala usaha industri tahu ini lebih tepat dikategorikan sebagai usaha mikro. Oleh karenanya pengembangan industri tahu lebih cocok menggunakan pendekatan kebijakan pengembangan UMKM yang sekaligus dapat bermakna sebagai pengembangan ekonomi lokal. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK mendefinisikan pengembangan ekonomi lokal adalah merupakan suatu konsep pengembangan ekonomi yang mendasarkan pada pendayagunaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya kelembagaan lokal yang ada pada suatu masyarakat, oleh masayarakat itu sendiri melalui pemerintah lokal maupun kelembagaan berbasis masyarakat yang ada (Tambunan dan Nasution. eds, 2006). Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tertanggal 29 Januari 2003, usaha mikro yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun. Konsekuensi dari batasan ini, usaha mikro dapat mengajukan kredit kepada bank dibatasi paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). UMKM merupakan sumber penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk rakyat Kota Yogyakarta. Dengan demikian, pengembangan UMKM merupakan langkah bijak untuk menghadirkan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat. Dalam kenyataan UMKM mengalami banyak kelemahan yang menghambat untuk berkembang. Meskipun UMKM masih memiliki banyak kelemahan seperti tersebut di atas, namun disisi lain memiliki kekuatan yang membuat usaha ekonomi tetap dapat berjalan. Kekuatan itu adalah modal sosial. Putnam menyatakan, “dimana kepercayaan dan jaringan kerja sosial tumbuh dengan subur, individu, perusahaan, lingkungan tempat tinggal dan bahkan bangsa menjadi makmur” (Putnam, 2000). Demikianlah pengertian modal sosial ini yang merupakan basis sentral bagi pembangunan ekonomi masyarakat, daerah dan bangsa. Dengan demikian penguatan modal sosial merupakan strategi efektif dalam pengembangan ekonomi lokal (UMKM), terutama untuk menghindari persaingan yang saling merugikan atau bahkan saling mematikan. Menurut Hidayatullah (2011), berdasarkan konsep pengembangan ekonomi lokal dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, bagian-bagian yang harus menjadi perhatian penting dan selalu menjadi pijakan dalam melaksanakan kegiatan antara lain: 1) Masukan, dalam rangka pengembangan ekonomi lokal, masukannya adalah potensi dan kelemahan yang dimiliki masing-masing wilayah; 2) Perencanaan, dalam rangka pengembangan ekonomi lokal dibutuhkan institusi yang diharapkan menjadi perencana program; 3) Program Intervensi, dalam rangka percepatan pengembangan ekonomi lokal, maka diperlukan program intervensi yang diharapkan dapat memacu tumbuh dan berkembangnya aktivitas ekonomi berbasis lokal (UMKM); 4) Metode Kegiatan, dibutuhkan strategi intervensi dalam rangka pengembangan ekonomi lokal (UMKM); 5) Keluaran, yang diharapkan menjadi keluaran, antara lain: a) Produk unggulan wilayah bernilai ekonomi tinggi; b) Jaringan pemasaran produk; c) Tumbuhnya usaha mikro yang handal; d) Manajemen pengelolaan usaha yang baik; dan e) Pertumbuhan ekonomi wilayah. Langkah konkrit yang nampaknya perlu dilakukan antara lain dengan: pelatihan dan pendampingan masyarakat dalam menciptakan atau mengelola usaha ekonomi lokal, memikirkan bentuk-bentuk kemitraan usaha bagi usaha ekonomi, memfasilitasi akses permodalan usaha, penggunaan teknologi tepat guna dan peningkatan kualitas produk dan pelayanan. Dalam konteks pembangunan daerah, Undang-undang no. 20/2008 mengamanatkan kepada pemerintah maupun pemerintah daerah untuk mendorong, memfasilitasi, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan UMKM melalui kebijakan-kebijakan pembangunan daerah. Selain memenuhi amanat undang-undang, kebijakan pengembangan ekonomi lokal melalui programprogram pemberdayaan UMKM sangat relevan dari sisi moralitas pembangunan. Dengan semakin berkembangnya UMKM berarti pula terjadi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Dari berbagai pilihan kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat ditempuh oleh pemerintah, Dillon (1999) mengajukan alternatif pembangunan ekonomi berparadigma people driven. Paradigma ini menghendaki suatu proses pembangunan dimana semua kebijakan, kelembagaan dan teknologi yang kita rakit didorong oleh realitas kebutuhan dan kemampuan rakyat. Melalui people
94
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
driven proses pertumbuhan yang dicapai bersifat growth through equity, secara prinsip akan menyebarkan distribusi pendapatan dan sumberdaya nasional secara lebih baik dan adil, dan akan mengurangi kemiskinan secara berkesinambungan. Hal ini dapat terwujud karena proses pertumbuhan ini menginginkan pencapaian pertumbuhan yang melibatkan kehidupan ekonomi sebagian besar rakyat terutama pada kelompok marjinal. Meskipun pemikiran Dillon tersebut dalam kerangka pembangunan pertanian, namun secara substansial sangat relevan diterapkan untuk pengembangan ekonomi lokal di daerah perkotaan seperti Kota Yogyakarta. Tujuan utama pembangunan daerah adalah untuk menyejahterakan rakyat. Dalam konteks ini, Badrudin (2012:17-18) menyitir pendapat Matsui (2005), bahwa pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Suatu wilayah mengalami pertumbuhan secara ekonomi apabila terjadi peningkatan produksi dari semua kegiatan ekonomi di dalam wilayahnya secara terukur. Selama beberapa dekade, pembangunan daerah selalu berupaya memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa melihat apakah pertumbuhan tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan penduduk secara merata atau tidak. Perkembangan selanjutnya, para pengambil kebijakan pembangunan daerah mulai memperhitungkan manfaat pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat, sehingga tingkat pemerataan mulai menjadi suatu indikator bagi kesejahteraan. Berkaitan dengan spirit pembangunan daerah, hendaknya lebih mengedepan-kan kesejahteraan rakyat, bukan mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembangunan daerah harus diarahkan untuk memperkokoh fondasi ekonomi rakyat, sehingga semangat penarikan retribusi dari rakyat demi PAD harus dikendorkan. Pemerintah daerah harus mampu menghadirkan iklim usaha yang kondusif. Meningkatnya PAD harus ditempatkan sebagai akibat dari meningkatnya ekonomi rakyat. Oleh karena itu, mindset lama dari penyelenggara pemerintah daerah harus diubah agar memiliki wawasan kewirausahaan. Meskipun investasi yang masuk ke daerah tetap penting untuk digairahkan, namun semua itu harus memperkokoh ekonomi rakyat (Muhammad, 2008: 241-253).
D. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sosial yang didisain dengan menggunakan pendekatan metode campuran (mixed methode), yaitu mengombinasikan strategi penelitian kuantitatif dan metode kualitatif. Disain penelitian dengan pendekatan campuran ini merupakan strategi penelitian untuk menghilangkan bias-bias yang muncul apabila hanya menggunakan metode tunggal, yaitu metode kuantitatif atau metode kualitatif saja (Creswell, 2012). Penggunaan metode campuran ini dimaksudkan agar dapat memperoleh data kuantitatif yang lengkap (luas) sebagai evident based dan selanjutnya dilakukan pemahaman makna terhadap fenomena yang menjadi fokus penelitian ini. Dengan demikian, kedua metode ini berfungsi saling melengkapi. Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survei. Metode ini digunakan untuk memperoleh data agregat yang dapat digeneralisasi untuk menggambarkan karakteristik usaha dan pengusaha industri tahu yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan pendekatan penelitian kualitatif dilakukan dengan teknik wawancara dan focus group discussion untuk memperoleh pemahaman makna atas ide-ide, harapan, keinginan, dan cerita-cerita lokal yang biasanya sulit diungkap melalui survei. Dilihat dari skala usaha menampakan gejala yang seragam, yaitu sebagai usaha keluarga sehingga sifat populasinya dapat dikategorikan cukup homogin. Dari 21 unit usaha kerajinan yang ada di lokasi penelitian, diambil secara random 18 unit rumahtangga sebagai sampelnya. Dengan demikian proporsi sampel penelitian ini sebesar 85,71 % dari populasinya. Data primer yang diperoleh dari pengisian kuesioner setelah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data menggunakan piranti lunak SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik deskriptif. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi sehingga memudahkan dalam menginterpretasi makna data. Analisis data survei tersebut kemudian dilengkapi dengan data hasil
95
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
wawancara dan FGD yang dipaparkan secara naratif. Dengan demikian, fenomena yang tidak terakses melalui kuesioner tetap dapat dimanfaatkan untuk memperkaya temuan penelitian.
E. Hasil Penelitian 1. Karakteritik Pengrajin. Usia pengrajin bervariasi, mulai dari usia produktif sampai dengan usia yang tergolong tidak produktif (22 - 80 tahun), dan yang paling dominan adalah usia 45 - 64 tahun. Apabila dilihat dari proporsi pengrajin berdasarkan jenis kelamin, pengrajin laki-laki jumlahnya berimbang dengan jumlah pengrajin perempuan, sehingga tidak terjadi diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam mengelola usaha kerajinan tahu. Tingkat pendidikan pengrajin pada umumnya berpendidikan rendah, tingkat pendidikan yang paling dominan adalah tidak tamat SD sampai dengan tamatan SLTP, dan pendidikan paling tinggi adalah tamatan SLTA. Mobilitas pekerjaan (pergantian jenis pekerjaan) bagi pengrajin tahu rendah, karena usaha kerajinan tahu merupakan pilihan pekerjaan terakhir bagi pengrajin (bukan pekerjaan sementara atau sebagai batu loncatan). Pengrajin tahu memiliki latar belakang sebagai kaum migran yang kemudian menetap dan beranak pinak di Kota Yogyakarta, sebagian terbesar berasal dari daerah Kabupaten Kulon Progo. Pengrajin pada umumnya telah memiliki rumah sendiri di RT 35/ RW 07 Kelurahan Wirobrajan, dan kondisi bangunan rumahnya baik (rumah permanen). Ini menandakan bahwa hasil usaha kerajinan tahu mampu menopang kebutuhan hidup rumahtangga. Rumahtangga pengrajin pada umumnya merupakan keluarga kecil dengan rata-rata jumlah anggota rumahtangga 4 orang. Jumlah angota rumahtangga yang kecil ini tentu meringankan beban ekonomi bagi rumahtangga sehinga dapat hidup lebih sejahtera.
2. Profil Usaha Kerajinan Tahu Keterampilan usaha kerajinan tahu diperoleh melalui belajar dari orang tua atau menjadi buruh tahu pada orang lain, sehingga usaha kerajinan tahu berkembang melalui efek penularan/peniruan atau turun-temurun. Pada umumnya pengrajin tahu belum menerapkan manajemen usaha dengan baik, terutama tidak melakukan pembukuan usaha dan tidak memisahkan antara keuangan usaha dengan keuangan rumahtangga. Ini menandakan bahwa usaha kerajinan tahu dikelola secara tradisional dan belum menerapkan manajemen usaha yang baik. Modal awal sebagian besar pengrajin adalah dari modal sendiri, karena kuantitas tahu yang diproduksi relatif sedikit sehingga tidak memerlukan modal kerja yang besar. Selain itu, teknologi yang digunakan untuk memproduksi tahu masih tradisional, hanya alat penggiling kedelai saja yang menggunakan teknologi lebih maju berupa mesin diesel. Secara umum tenaga kerja yang terlibat dalam setiap unit usaha jumlahnya tidak berubah, mulai dari saat awal membuka usaha hingga saat ini jumlah tenaga kerjanya relatif tetap, yaitu berkisar 1 - 2 orang. Ini membuktikan bahwa usaha kerajinan tahu belum mengalami perubahan. Kalaupun ada perubahan, tetapi perubahannya lebih bersifat kuantitatif, artinya, yang berkembang atau bertambah adalah jumlah rumahtangga yang membuka usaha kerajinan tahu, tetapi secara kualitatif belum melakukan pengembangan usaha, baik kapasitas produksi maupun variasi jenis produk. Keadaan ini dipertegas dengan kapasitas produksi yang dimiliki pengrajin tahu yang tergolong kecil, yaitu setiap pengrajin rata-rata memproduksi tahu sekitar 700 buah/ hari.
96
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
Strategi pemasaran tahu yang dilakukan pengrajin belum optimal sehingga rentan kalah bersaing dengan produk sejenis. Para pengrajin pada umumnya menjual tahu kepada pelanggan langsung dan tanpa kemasan maupun label sehat/halal. Pengrajin tahu enggan memasarkan produknya melalui pasar modern (super market) dengan sistem konsinyiasi, karena keterbatasan modal yang mereka miliki. Temuan ini menggambarkan bahwa kapasitas pengrajin dalam pemasaran masih terbatas/lemah.
3. Modal Sosial Modal sosial yang dibangun oleh komunitas pengrajin tahu merupakan kekuatan penting untuk menjaga keberlangsungan dalam menjalankan usaha bisnis tahu. Bentuk modal sosial tersebut meliputi: a. b.
c.
Kerja sama antar pengrajin dalam penggunaan peralatan dan rumah produksi. Dalam hal ini peralatan dan rumah produksi tidak hanya digunakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi boleh digunakan oleh pengrajin-pengrajin lain yang tidak memilikinya. Aturan main atau kode etik bisnis yang disepakati bersama oleh komunitas pengrajin untuk saling menjaga keberlangsungan usaha, antara lain: tidak bersaing harga, tidak merambah pasar yang telah dimasuki pengrajin lain, dan menjaga kepercayaan konsumen terhadap kualitas produk setempat (misal: tidak menggunakan bahan pengawet). Keharmonisan hubungan sosial antara komunitas pengrajin dengan warga sekitar. Ini tercipta melalui pertemuan rutin antara komunitas pengrajin tahu bersama warga masyarakat lainnya, keterlibatan komunitas pengrajin dalam kegiatan kemasyarakatan (kerja bakti, melayat, menengok orang sakit, dll), dan komunitas pengrajin memberi sumbangan dana untuk kegiatan kampung.
4. Kendala yang Dialami Komunitas Pengrajin Tahu Dalam menjalankan usaha komunitas pengrajin megalami kendala internal maupun eksternal. Kendala internalnya adalah keterbatasan kemampuan memperluas pasar sehingga tidak termotivasi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Sedangkan kendala eksternalnya meliputi: a.
b.
Sering mengalami kesulitan mengakses BBM (solar) untuk mengoperasikan diesel penggiling kedelai, karena mereka tidak memiliki surat rekomendasi dari pemerintah maka mereka sering dicurigai sebagai penimbun BBM. Akibatnya, mereka sering dipersulit oleh pihak SPBU untuk membeli solar menggunakan jerigen. Para pengrajin merasa mengalami kendala psikologis (perasaan tidak enak) terhadap tetangga yang tidak berprofesi sebagai pengrajin tahu. Ini disebabkan karena IPAL mengalami kebocoran dan posisinya kurang rendah sehingga menimbulkan bau busuk, bio gas tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, dan air limbah sering meluap mencemari sungai.
5. Efektifitas Bantuan untuk Pengembangan Usaha Kerajinan Tahu Sebenarnya bantuan dari berbagai pihak akan dimanfaatkan secara optimal oleh komunitas pengrajin tahu sepanjang bantuan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai bukti: seluruh pengrajin tahu membuang air limbah ke IPAL yang dibangun Pemerintah Kota Yogyakarta; bantuan dana hibah dari Pemerintah Daerah DIY telah dikelola untuk simpan-pinjam dan dimanfaatkan oleh warga setempat (termasuk komunitas pengrajin). Sedangkan bantuan ketel uap dari UGM sampai saat ini belum dimanfaatkan oleh komunitas pengrajin tahu, karena ketel uap yang mereka miliki masih berfungsi dengan baik dan mereka masih meragukan kualitas barang bantuan tersebut. Dengan demikian temuan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa keterlibatan pemerintah, terutama Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam pengembangan usaha kerajinan tahu belum optimal. Ini ditandai antara lain: bantuan dari Pemerintah Kota Yogyakarta baru sebatas pembangunan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) dan sekarang mengalami kebocoran, dan Dinas Kesehatan pernah memeriksa kualitas air dan kualitas tahu tetapi belum ditindaklanjuti sampai terbitnya sertifikat.
97
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
F. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan: 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Pengrajin tahu memiliki karakteristik sebagai berikut: umur beragam, pendidikan rendah, mobilitas pekerjaan rendah, berlatar belakang sebagai kaum migran, dan umumnya merupakan keluarga kecil. Profil usaha kerajinan tahu bercirikan usaha keluarga, ketrampilan usaha diperoleh dari orang tua atau orang lain (proses magang), tidak ada pembagian kerja yang jelas antara pemilik dan pekerja, modal kecil, jumlah pekerja 1-2 orang, teknologi produksi tradisional, kapasitas produksi kecil, tidak memiliki legalitas usaha (PIRT), dan wilayah pemasaran berskala lokal. Usaha kerajinan tahu dikelola secara tradisional, tidak ada pembukuan, keuangan usaha bercampur dengan keuangan rumahtangga, produk dipasarkan tanpa kemasan dan dipasarkan ke konsumen langsung (end user); Modal sosial terbangun cukup kuat, antar pengrajin tidak terjadi persaingan harga, setiap pengrajin memiliki domain pasar sendiri, dan hubungan sosial antara pengrajin dengan warga masyarakat terjalin harmonis. Pengrajin mengalami kendala dalam mengakses BBM untuk proses produksi, dan kendala psikologis karena kebocoran IPAL yang mengeluarkan bau busuk yang mengganggu warga masyarakat. Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengembangan usaha kerajinan tahu belum optimal, dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah (terutama IPAL dan dana hibah) telah dimanfaatkan dengan baik oleh komunitas pengrajin tahu.
Rekomendasi 1.
2.
3.
4.
5.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta: a. Menyelenggarakan program-program kegiatan pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan usaha bagi komunitas pengrajin tahu bagi komunitas pengrajin tahu. b. Memfasilitasi surat rekomendasi bagi komunitas pengrajin tahu untuk mengakses bahan bakar mesin diesel (solar) untuk keperluan proses produksi tahu. c. Menyelenggarakan workshop penganekaragaman jenis produksi tahu dan pengolahan limbah produksi tahu agar menghasilkan nilai ekonomi lebih. d. Memfasilitasi promosi produk tahu buatan komunitas lokal Kota Yogyakarta. Misalnya melalui penyelenggaraan event festival kuliner makanan berbahan dasar tahu. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta: a. Menyelenggarakan penyuluhan kepada komunitas pengrajin tahu untuk menghindari penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam memproduksi bahan makanan. b. Melakukan pemeriksaan (kontrol) secara periodik terhadap kualitas tahu, dan memfasilitasi komunitas pengrajin untuk memperoleh sertifikat PIRT. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta: a. Memfasilitas renovasi rumah produksi agar lebih sehat dan bersih melalui pemberian bantuan pemasangan keramik untuk lantai dan dinding rumah produksi. b. Segera memperbaiki IPAL yang saat ini mengalami kebocoran, dan jika perlu membangun IPAL baru yang lebih sempurna. Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta: a. Menyelenggarakan program pengembangan kawasan bantaran Sungai Winongo sebagai kampung wisata tahu. b. Bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memfasilitasi dalam memperluas pemasaran tahu. Misalnya, memfasilitasi komunitas pengrajin untuk membangun networking atau channeling dengan hotel-hotel yang semakin marak di Kota Yogyakarta. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogyakarta:
98
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
a. b.
Menyelenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas komunitas pengrajin dalam mengorganisasi kegiatan usaha kerajinan tahu. Memfasilitasi pembentukan dan pembinaan kelompok pengrajin tahu.
Daftar Pustaka Badrudin, Rudy. 2012. Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Tipologi Klasen Dan Location Quotient. Jurnal Riset Manajemen dan Bisnis, Volume 7, No.1, Juni 2012. ISSN : 1907-7343, Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta: 17-18. Creswell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuntaitatif, dan Mixed. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia) Dillon, H.S. 1999. Pertanian: Membangun Bangsa. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hamidah, Siti, dan Komariah, Kokom. 2008. Pembudayaan Manajemen Berbasis Mutu Produk Dan Layanan Pedagang Lesehan Di Malioboro Yogyakarta. Jurnal Penelitian Vol. 3, Bappeda Kota Yogyakarta: 1-12. Hidayatullah, Syarif, dan Djaka SBW, Thomas. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal (Studi pada UKM Pengrajin di Kota Malang). EKONOMIKA. Jurnal Ekonomi, Vol. 4, No. 1, Juni 2011, ISSN 1978-9998. Airlangga University Press. Surabaya: 33-37. Idris, Indra, dan Sijabat, Saudin. 2011. Model Peningkatan Peran KUMKM Dalam Pengembangan Komoditas Unggulan Di Kawasan Perbatasan. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Vol. 6 – September 2011, ISSN : 1978 - 2896: 89-123. Lee, Everett, S. 2000. Teori Migrasi. Pusat Penelitian Kependudukan-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Matsui, K. 2005. “Post-Decentralization Regional Economies and Actors: Putting The Capacity of Local Governments To The Test”. The Developing Economies, 43(1): 171–189. Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah. Pt. Elex Media Komputindo. Jakarta. Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster. Sri Winarni. 2006. Strategi Pengembangan Usaha Kecil Melalui Peningkatan Aksesibilitas Kredit Perbankan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta. Bandung. Sutanto, Agus. 1996. Keusahaan dan Usaha Kecil di Pedesaan, dalam Buletin Populasi, Volume 7 Nomor 2 Tahun 1996, ISSN: 0853-0262. Pusat Penelitian Kependudukan UGM Yogyakarta: 79-90. Tambunan, Togap, dan Nasution, Paruhuman. eds. 2006. Pengkajian Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah Yang Berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Pengkajian Koperasi Dan UKM Nomor 2 Tahun I - 2006: 26-40. Majalah Prisma Volume 6 1997 – LP3ES Jakarta, hlm 6 http://www.blogsiffahartas.blogspot.com/2011/05/pengembangan-usaha-mikro-kecil. jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sosant/article/download
99
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
PERAN ASRAMA MAHASISWA DALAM MEMBANGUN INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA TERWUJUDNYA KUALITAS MASYARAKAT YOGYAKARTA YANG HARMONIS Oleh: Fadjarini Sulistyowati & Tri Agus Susanto
ABSTRACT Yogyakarta is a miniature of Indonesia. The citizens of Yogyakarta consist of various religions, ethnics and languages. The most important for the society of Yogyakarta is to be able to coexist with them regardless of the differences. The city has a huge appeal for migrants from various regions, especially who want to continue their education in Yogyakarta. The existence of various cultures is not always able to represent the good communication and interaction. This study was to determine the role of the student dormitories as regional representatives in establishing cross-cultural communication with the community and to develop its role to interact with Yogyakarta society harmoniously. A method of qualitative descriptive study was conducted with the interactive analysis. A technique of data collection is done on interviews, focus group discussion (FGD) and observation. Research results assert that the role of a student dormitory in establishing cross-cultural communication can occur when both parties respect to each other as human beings. Efforts to develop the role of dormitory in establishing interaction with the community of Yogyakarta can be done by: 1) Require student dormitory to have a space program as an interaction between students and the community; 2) Government establishes communication with the origin government student and the accomplishment of cooperation programs related to its interaction with the local community and give sanction to the troubled student dormitories; 3) Conducting joint activities to introduce art and culture of Yogyakarta to them, and provide cultural artistic activities from various regions to be displayed together in the community. Keywords: student dormitory, cross-cultural community, interaction
A. Pendahuluan Citra Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan cukup kondang di berbagai wilayah Indonesia. Kota ini dikenal cukup nyaman dan menjadi impian anak muda untuk meneruskan pendidikannya. Citra ini diperkuat realitas sosial yang ada dengan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan dan maraknya kegiatan mahasiswa (Kurniawan, 2012: 139). Seiring dengan makin banyaknya mahasiswa dari luar daerah, bermunculan pula asrama mahasiswa dari berbagai provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Menurut catatan pemerintah, saat ini ada 30 provinsi se-Indonesia yang memiliki asrama mahasiswa di DIY. Jumlah asrama daerah bahkan lebih dari angka itu, sebab beberapa kabupaten dari provinsi tertentu juga ikut mendirikan asrama sendiri. Di Kota Yogyakarta sendiri ada 73 asrama mahasiswa dari sejumlah daerah, (Republika.com: 2013). Pada awalnya kehadirannya, asrama-asrama daerah di Yogyakarta dimaksudkan sebagai sarana pemerintah daerahnya untuk membantu para mahasiswa daerah masing-masing yang belajar di Yogyakarta. Tujuannya agar mereka, mendapatkan tempat tinggal yang jelas dan pantas selama masa belajar, (Zudianto, 2008: 82). Asrama mahasiswa ini memang sangat membantu mahasiswa. Calon pemimpin dan intelektual itu bisa tinggal tanpa membayar sewa di asrama. Mereka hanya diwajibkan memelihara fasilitas, menjaga ketertiban, lama tinggal dan syarat ringan lainnya. Mahasiswa dikondisikan untuk belajar lebih tekun dan diharapkan lulus tepat waktu, sehingga putra-putri daerah yang berikutnya bisa memanfaatkan fasilitas yang ditinggalkan. Menyusul kejadian tindak kekerasan yang berbau atau dikaitkan etnis beberapa waktu, lalu memunculkan wacana untuk membatasi izin pendirian asrama daerah di Yogyakarta. Pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X agar pemerintah daerah memperketat penambahan asrama mahasiswa, (Kedaulatan Rakyat. com). Salah satu alasannya, keberadaan asrama tersebut menghambat pembauran mahasiswa penghuninya dengan masyarakat. Mahasiswa yang datang ke Yogyakarta seharusnya tidak sekadar menuntut ilmu, tetapi juga belajar mengenal dan berbaur dengan masyarakat dan budaya lokal. Sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Herry Zudianto,
100
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 kehadiran asrama daerah semakin lama semakin menimbulkan kesan eksklusif dan dalam konteks tertentu terkesan angker, orang luar tidak berani masuk ke dalam asrama tersebut, (2008:82). Asrama daerah sebenarnya bisa berperan lebih dari sekadar tempat pondokan bagi mahasiswa perantau. Asrama bisa menjadi etalase dalam mengenalkan budaya daerah asal, sekaligus tempat mahasiswa beradaptasi dengan budaya lokal, bahkan lebih jauh bisa menjadi pusat informasi bisnis dan wisata daerah. Kecenderungan terjerumusnya asrama daerah ke dalam eksklusivisme etnik karena berjarak dengan warga sekitar harus dihindari. Eksklusivisme menjadikan para mahasiswa secara tidak sadar memagari diri dengan identitas daerah dan etnik. Di asrama, mereka setiap hari bertemu dengan teman sedaerah, kemudian berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Topik perbincangan tidak lepas dari isu yang berkembang di daerah asal. Bisa dimaklumi apabila ego-daerah atau etnik terus mengental, ementara ketertarikan pada budaya lokal tak juga menebal. Wacana pengetatan pemberian izin dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk pendirian asrama daerah perlu dicermati oleh seluruh penghuni asrama daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se Indonesia, juga warga Kota Yogyakarta. Wacana itu tak akan menjadi realita jika terjalin komunikasi lintas budaya yang baik antara warga kota dan mahasiswa penghuni asrama. Pada hakikatnya Pemerinta kota Yogyakarta sejak jamannya Hery Zudianto telah menggulirkan kebijakan Menyapa Anak Kos dan kebijakan ini menurut Haryadi, saat ini program sambang kos masih berjalan. Instansi pemerintah yang ada di wilayah atau kecamatan diminta menjalin koordinasi dengan perangkat RT dan RW. Sambang kos tersebut, ungkapnya, sudah menjadi program rutin untuk menjalin hubungan persuasif antara penghuni kos, warga sekitar dan tokoh masyarakat, (Kedaulatan Rakayat.Com). Untuk itu, saat ini perlu ditingkatkan peran asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat. Asrama-asrama mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah (IKMD) secara rutin mendapat dana bantuan dari KesBangPor (Kesatuan Bangsa Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta). Namun, program ini tampaknya belum memberikan dampak interaksi yang harmonis antara masyarakat dan asrama mahasiswa. Seharusnya, interaksi antara asrama mahasiswa dan masyarakat dapat terjalin efektif secara formal dan informal sehingga tidak ada kesenjangan antara pendatang dengan masyarakat Yogyakarta. Berkaitan dengan ini penting perlu adanya penelitian tentang peran dan fungsi asrama mahasiswa dalam upaya untuk menjalin interaksi dengan masyarakat kota Yogyakarta. Interaksi yang positif akan mendukung harmonisasi antara masyarakat dengan asrama mahasiswa. Persepsi dan stereotyp negatif dari masyarakat terhadap budaya tertentu tentunya akan semakin berkurang bila asrama mahasiswa membuka diri. Image masyarakat yang baik terhadap asrama mahasiswa juga menjadikan pendatang dari luar daerah akan membuat betah sehingga akhirnya citra kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang nyaman juga akan semakin meningkat. Hal ini tentunya akan berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat kota Yogyakarta.
B. Tujuan dan Manfaat 1. 2.
3.
Untuk mengetahui peranan asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah dalam menjalin komunikasi lintas budaya dengan masyarakat Yogyakarta Untuk mengembangkan peranan asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat Yogyakarta menuju terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta yang harmonis. Untuk memberikan rekomendasi terhadap pihak terkait yakni: Kesbang dan Dinas Pariwisata dalam upaya menjalin interaksi antara mahasiswa dengan berbagai daerah dan warga masyarakat Kota Yogyakarta
C. Tinjauan Pustaka Asrama adalah bangunan tempat tinggal bagi kelompok orang yang bersifat homogen (Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid II). Asrama adalah suatu penginapan yang ditujukan untuk anggota suatu kelompok yang umumnya pelajar (anak sekolah). Asrama biasanya berupa bangunan yang terdiri kamar-kamar yang dapat ditempati oleh beberapa penghuni untuk setiap kamarnya. Para penghuni asrama menginap dalam jangka waktu 101
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 relatif lebih lama daripada di hotel. Alasan untuk memilih asrama karena tempat tinggal si penghuni lebih jauh atau biaya yang terbilang lebih murah, (http://id.wikipedia.org/ wiki/asrama). Asrama mahasiswa dalam penelitian ini adalah asrama mahasiswa daerah, sehingga asrama ini didirikan oleh Pemerintah daerah untuk putera-putera daerah yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta. Walaupun, terkadang pendiriannya bukan diinisiasi pemerintah daerah secara langsung. Pertumbuhan asrama daerah semakin banyak di Kota Yogyakarta. Hal ini dimungkinkan karena jumlah putera daerah yang melanjutkan studi di Kota Yogyakarta semakin banyak dan keberadaan asrama lebih mengefektifkan komunikasi mahasiswa dengan pemerintah daerah yang mendanai perkuliahan mereka. Namun, pendirian asrama mahasiswa daerah juga memunculkan sikap eksklusifisme asrama mahasiswa di hadapan masyarakat sekitar. Kelompok yang se-daerah akan memunculkan arogansi masing-masing daerah padahal untuk menciptakan kehdiupan yang harmonis diperlukan komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya dapat dilakukan bila masing-masing budaya mau memahami dan saling berempati dengan budaya lain. Perbedaan antarbudaya memang mudah memunculkan prasangka dan stereotip yang melekat sehingga menghambat kefektivan komunikasi dan akan berakibat konflik berkepanjangan. Untuk itu, agar terjadi komunikasi lintas budaya yang baik semua pihak dapat memahami budaya dan menghilangkan sikap prasangka dan stereotip yang buruk. Jika suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; dalam budaya hal tersebut dapat dikatakan pluralism budaya (cultural pluralism). Teori Pluralisme budaya pertama kali dikembangkan oleh Horace Kallen yang menggambarkan pluralism sebagai upaya menghargai berbagai tingkat perbedaan dalam rangka menjaga persatuan nasional, (http://pjjgsd.dikti.go.id). Yogyakarta adalah kota yang multikulturalisme seperti yang dikatakan Herry Zudianto, struktur masyarakat Yogyakarta yang sebelumnya secara kultural homogen secara bertahap semakin multikultural, (2008: 5). Untuk menumbuhkan pluralisme dalam masyarakat tentunya dibutuhkan komunikasi yang efektif antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Asrama mahasiswa merupakan suatu kelompok yang dianggap pendatang dalam masyarakat Yogyakarta, untuk dapat terjalin interaksi maka diawali dengan komunikasi yang efektif. Komunikasi dari kelompok masyarakat yang berbeda budaya bukanlah hal yang mudah seperti yang dikatakan oleh Gudykunst dan Kim (dalam Mulyana, 1996: Viii), ketika berkomunikasi dengan orang lain maka dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Sehingga kelompok budaya pendatang tentunya bukan hal yang mudah untuk dapat menjalin komunikasi dengan kelompok budaya yang didatangi. Seperti yang dikatakan oleh Edward T. Hall ( dalam Mulyana, 1996: vi) culture is communication dan communication is culture. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya akan menentukan tujuan hidup yang berbeda. Artinya, cara berkomunikasi akan ditentukan oleh budaya kita; bahasa, aturan dan norma masing-masing Perbedaan dalam berbahasa, norma bahkan perilaku dengan orang lain yang dipengaruhi oleh budaya. Budaya secara pasti mempengaruhi seseorang sejak di ada dalam kandungan hingga mati bahkan setelah mati pun penguburan seseorang ditentukan cara-cara dalam budayanya. Seperti yang disampaikan oleh Porter dan Samovar (dalam Mulyana, 1996: 19), budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya menjadi landasan dalam berkomunikasi. Untuk dapat menjalin komunikasi efektif dengan orang lain , maka seseorang harus dapat mengembangkan beberapa hal sebagai berikut, (DeVito, 1999): 1) keterbukaan; 2) empati; 3) sikap mendukung; 4) sikap kepositivan dan 5) kesamaan. Salah satu hambatan dalam komunikasi antarbudaya adalah sikap etnosentrisme, sikap yang memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya, (Gudykunst dan Kim dalam Mulyana, 1996:5). Sedangkan persyaratan seseorang untuk dapat berkomunikasi lintasbudaya, (Wilbur Schramm dalam Mulyana, 1996: 6): 1. 2.
Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya. Menghormati budaya lain apa adanya bukan sebagaimana yang kita kehendaki, tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya harus dihormati.
102
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 3.
Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Penafsiran seseorang tentang budaya bersifat relatif artinya kita tidak boleh menilai budaya berbeda berdasarkan budaya kita yang terbatas.
D. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu suatu metode untuk memaparkan serta menjelaskan kegiatan atau objek yang diteliti yang berkaitan dengan pengkajian fenomena secara lebih rinci atau membedakannya dengan fenomena yang lain (Denzin dan Lincoln, 2009 :223). Dalam pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran penelitian adalah kehidupan sosial atau masyarakat sebagai satu kesatuan atau sebuah kesatuan yang menyeluruh. Dalam penelitian ini tidak dikenal adanya sampel namun penelitian dilakukan secara mendalam dan menyeluruh untuk mendapatkan gambaran mengenai prinsipprinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum berkenaan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari suatu komunitas yang diteliti sebagai kasus, (Rudito dan Famiola, 2008:79) Teknik pemilihan dilakukan secara purposif, yakni dipilih beberapa asrama dengan pertimbangan asrama tersebut dapat mewakili asrama-asrama dari seluruh wilayah Indonesia dan tergabung dalam Ikatan Pemuda Mahasiswa Daerah Yogyakarta. Pemilihan anggota asrama yang dipilih berdasarkan keragaman subjek penelitian. Di dalam organisasi IKPMDY ada sekitar 73 asrama mahasiswa. Dari sekitar 73 diambil 10 asrama mahasiswa yakni: asrama mahasiswa Kepulauan Riau kabupaten Natuna, asrama mahasiswa Papua (Jl. Kusumanegara), asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, asrama mahasiswa Todilaling (Polewali Mandar), asrama mahasiswa Maluku, asrama mahasiswa Kalimantan Timur, asrama mahasiswa Timur Tengah Selatan NTT,asrama mahasiswa Bundo Kanduang Sumatera Barat dan asrama mahasiswa Ciamis. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan staf Kesbang dan Ketua Ikatan keluarga Pelajar Mahasiswa Yogyakarta dan beberapa warga masyarakat yang tinggal berdekatan dengan asrama di atas. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisa interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Hubermann (dalam Sutopo: 2006), 1) Pengumpulan data; 2) Reduksi data; 3)Penyajian data; 4) Penarikan simpulan dan verifikasi.
E. Hasil Penelitian 1. Peranan asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah dalam menjalin komunikasi lintas budaya dengan masyarakat Yogyakarta. Asrama mahasiswa daerah merupakan asrama yang didirikan dalam rangka menghimpun mahasiswa yang berasal dari daerah yang sama di kota ini dalam rangka untuk memudahkan mereka mendapat tempat tinggal. Di asrama mahasiswa daerah, komunikasi yang dilakukan tentunya lebih banyak dengan bahasa daerah setempat sehingga terkadang mahasiswa yang di daerahnya tidak bisa dan tidak menyukai seni dan budaya daerahnya tetapi karena tinggal dengan orang sedaerah maka muncul perasaan memiliki budaya tersebut sehingga mereka terpacu untuk belajar bahasa, seni dan budaya daerahnya. Untuk itu, dibutuhkan komunikasi lintas budaya, komunikasi ini akan terjadi apabila seseorang dari budaya yang berbeda saling berkomunikasi. Menurut Dood (1991), komunikasi lintas budaya bukan hanya antarpribadi tetapi juga kelompok, sehingga ketika mahasiswa dari luar daerah di asrama berinteraksi dengan masyarakat Kota Yogyakarta yang berlatarbelakang budaya Jawa maka terjadilah komunikasi. Kegiatan komunikasi yang dilakukan mahasiswa dari berbagai daerah dengan masyarakat tidak selamanya berlangsung efektif. Ada beberapa mahasiswa dari daerah tertentu merasa mudah untuk berinteraksi dengan masyarakat namun di sisi lain ada mahasiswa yang mengalami hambatan dalam berinteraksi. Sesuai dengan teori De Vito (DeVito, 1999): 1) keterbukaan; 2) empati; 3) sikap mendukung; 4) sikap kepositivan dan 5) kesamaan. Untuk terwujudnya komunikasi efektif maka pertama, penghuni asrama mahasiswa daerah perlu untuk memiliki sikap terbuka terhadap setiap warga sekitar, keterbukaan akan tampak bila asrama mahasiswa juga selalu mengundang warga sekitar untuk mengikuti kegiatan yang ada dalam asrama misalnya pengajian. Kedua, memiliki 103
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 sikap empati dapat dimunculkan bila penghuni asrama juga peka dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Ketiga, sikap mendukung dan kepositivan yang akan muncul bila penghuni asrama mahasiswa juga selalu berpartisipasi dalam kegiatan warga misalnya dalam perayaan 17 Agustus, pengajian bersama, perayaan keagamaan dan lain-lain. Keempat, kesamaan akan dapat diperlihatkan bila penghuni asrama tidak menonjolkan perbedaan budaya yang ada. Masyarakat Yogyakarta sebagai warga yang didatangi seringkali menganggap bahwa penghuni asramalah yang seharusnya aktif dalam menjalin komunikasi dan interaksi dengan masyarakat sekitar. Hal inilah tentunya akan mempersulit dalam menjalin komunikasi lintas budaya, sesuai dengan teori dari Wilbur Shcramm (dalam Mulyana, 1996: 6), komunikasi lintas budaya akan mudah terwujud bila; 1) Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya;2). Menghormati budaya lain apa adanya bukan sebagaimana yang kita kehendaki, tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya harus dihormati; 3). Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Penafsiran seseorang tentang budaya bersifat relatif artinya kita tidak boleh menilai budaya berbeda berdasarkan budaya kita yang terbatas. Masyarakat haruslah memahami bahwa budaya dari daerah lain memang berbeda dan tidaklah perbedaan ini menjadi suatu hambatan dalam berkomunikasi. Tetapi perbedaan itu harus dimaknai sebagai upaya untuk menghormati budaya yang berbeda tersebut, sama halnya dengan perbedaan agama tidaklah berarti itu menjadi hambatan dalam berkomunikasi tetapi kita dapat menghargai perbedaan agama tersebut Beberapa kelompok mahasiswa masih ada yang mengalami hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi sehingga mereka merasa masyarakat Kota Yogyakarta sebagai masyarakat yang kaku dan feodal. Bahkan beberapa masyarakat dari daerah Timur merasa masyarakat Kota Yogyakarta sebagai masyarakat yang tidak hangat karena mereka mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga seringkali mereka merasa dilecehkan. Hal ini mungkin akan terus terjadi karena seringkali masyarakat dapat mudah menerima pendatang dari daerah tertentu namun kadangkala mereka juga dengan mudah menolak kehadiran pendatang dari daerah lain. Perbedaan ini muncul sesuai dengan konsep Gudykunst dan Kim, seseorang berkomunikasi dengan orang lain maka dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Perbedaan yang terlampau besar dan upaya dari pihak pendatang untuk tidak mengurangi perbedaan dengan lebih bersikap memahami budaya setempat akan mengakibatkan hambatan komunikasi semakin besar. Upaya untuk mengurangi perbedaan dapat dilakukan bila seseorang tidak bersikap etnosentrisme. Kemauan seseorang untuk membuka diri dan mempelajari budaya orang lain akan mengurangi sikap etnosentrisme. Hambatan komunikasi juga seringkali terjadi ketika muncul stereotype dari masyarakat. Sterotype ini mucul karena adanya tindakan dari rekan se-daerah yang buruk pada lingkungan sehingga masyarakat memberikan persepsi yang buruk terhadap semua mahasiswa yang berasal dari daerah mereka. Stereotype dalam komunikasi antarmanusia akan menghambat keefektivan komunikasi bahkan pada gilirannnya akan menghambat integrasi bangsa, (Mulyana: 1996). Masyarakat menjadi curiga akan kehadiran mereka, dan mahasiswa sendiri menjadi takut untuk memulai berkomunikasi. Upaya untuk menghilangkan stereotype akan dapat dilakukan oleh dua pihak yakni dengan menciptakan iklim komunikasi yang positif.
2. Mengembangkan peranan asrama mahasiswa daerah dalam menjalin interaksi dengan masyarakat Yogyakarta menuju terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta yang harmonis Asrama mahasiswa memiliki peranan yang cukup besar karena pada hakikatnya asrama mahasiswa sering menjadi rujukan baik dari pemerintah atau masyarakat apabila ada kasus-kasus yang berkaitan dengan mahasiswa dari daerah tertentu. Namun, peranan asrama ini sulit dilakukan tanpa dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu. perlu adanya upaya yang dilakukan dalam mendorong asrama mahasiswa agar tidak menjadi ruang yang eksklusif. Beberapa mahasiswa dari daerah yang ditemui dalam penelitian mengakui bahwa sebetulnya mereka juga ingin tahu tentang budaya dan tradisi masyarakat Kota Yogyakarta. Untuk itu pemerintah kota dapat mendorong agar komunikasi lintas budaya ini tercipta dengan baik. Hambatan-hambatan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat yang akhirnya membuat mereka memilih untuk menutup dan menarik diri dari masyarakat 104
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 perlu dihilangkan. Penghuni asrama diwajibkan untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Untuk itu, pihak pemerintah kota dalam hal harus selalu melakukan sambang asrama. Program yang sudah rutin dijalankan ini ditingkatkan dengan memilih asrama-asrama yang memiliki kesan tertutup dan tidak ada kegiatan berkomunikasi dengan masyarakat. Kesbang perlu juga untuk mempersuasi asrama-asrama yang selama ini dianggap penghuninya bermasalah dengan masyarakat untuk mengadakan kegiatan bersama dengan masyarakat baik yang berupa kegiatan seni budaya atau kegiatan sosial bersama. Asrama adalah suatu kelompok yang homogen ketika kelompok ini cenderung memilih menutup diri di asrama maka kesan eksklusif asrama akan semakin menguat. Sikap menutup diri dan mencoba tidak memahami budaya masyarakat setempat akan semakin membuat hambatan berkomunikasi. Sikap individu untuk tidak belajar memahami budaya setempat sehingga menutup informasi dirinya dari masyarakat setempat akan memperkuat stereotype yang melekat dalam masyarakat. Masyarakat akan tetap curiga dan berprasangka buruk terhadap kelompok yang menutup diri. Yogyakarta sebagai salah satu kota yang memiliki kondisi multikulturalisme sangat penting untuk mewujudkan kota pluralis, yakni kota yang dapat menghargai berbagai budaya. Asrama mahasiswa memiliki peran yang strategis dalam membuka ruang komunikasi dengan masyarakat setempat. Untuk itu salah yang harus dilakukan adalah meningkatkan peran asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah untuk menjalin komunikasi antarbudaya. Dorongan pemerintah kepada asrama mahasiswa daerah akan semakin efektif apabila pemerintah juga mengikutsertakan para tetua yang dihormati oleh penghuni asrama. Seperti yang kita ketahui masyarakat luar Jawa berkecenderungan lebih menghormati para senior mereka, mereka dianggap sebagai bagian dari keluarga. Selain juga perlu untuk berkomunikasi dengan pihak pemerintah daerahnya agar asrama yang dibantu oleh pendanaan Pemda bukan hanya berupa bangunan fisik, tetapi pihak pemerintah daerah setempat juga perlu bertanggung jawab dalam membina karakter penghuni asramanya. Beberapa upaya yang harus dilakukan: 1) Asrama mahasiswa memiliki program kegiatan yang merupakan ruang untuk berkomunikasi dengan masyarakat misalnya, mengadakan pengajian bersama dengan masyarakat, panggung kesenian terbuka dengan mengundang masyarakat untuk hadir; 2) Perlu adanya aturan yang berupa tata tertib untuk semua penghuni asrama, yang salah satunya mengharuskan anggota untuk menghormati budaya dan norma yang ada dalam masyarakat; 3) Asrama mahasiswa memiliki kegiatan bersama dengan asrama lain yang terprogram untuk mengenal lebih jauh tentang budaya masyarakat Yogyakarta. Dengan beberapa upaya yang harus dilakukan asrama mahasiswa maka instansi pemerintah Kota Yogyakarta juga wajib memantau keberadaan asrama di wilayahnya. Kegiatan pemantauan ini dapat dilakukan dengan mengadakan kunjungan rutin ke beberapa asrama atau mengundang asrama-asrama dalam waktu tertentu. Pemerintah Kota Yogyakarta perlu mengeluarkan kebijakan yang berupa aturan atau tata tertib yang wajib ditaati asrama-asrama. Apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh penghuni asrama maka pemerintah kota wajib untuk memberikan sanksi bahkan bila perlu memberikan tembusan ke daerahnya.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Peranan asrama mahasiswa dalam menjalin komunikasi lintas budaya akan muncul apabila kedua pihak dapat saling menghormati anggota budaya lain sebagai manusia, komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya. Penghuni asrama perlu untuk menghormati budaya lain apa adanya demikian pula dengan masyarakat sehingga kita tidak menilai mereka sebagaiman yang kita kehendaki. Pada prinsipnya tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya harus dihormati. Kedua pihak perlu untuk menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Asrama mahasiswa harus memiliki kepengurusan yang jelas dan aturan yang wajib ditaati penghuni. Dengan adanya aturan dan pengorganisasi yang jelas maka pihak masyarakat dapat dengan mudah menegur penghuni asrama. Pada prinsipnya putera daerah ini adalah saudara kita sebagai satu bangsa sehingga pembentukan 105
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 karakter mahasiswa dengan adanya komunikasi dan dialog bersama akan lebih memungkinkan terjadi komunikasi lintas budaya. Upaya-upaya dalam mengembangkan peranan asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat Yogyakarta akan dapat dilakukan dengan: 1. 2. 3. 4.
Mewajibkan asrama mahasiswa untuk memiliki program yang merupakan ruang interaksi antar mahasiswa dengan masyarakat Menjalin komunikasi dengan pihak pemerintah daerah asrama mahasiswa tersebut agar diwujudkan program kegiatan yang berkaitan dengan interaksi dengan masyarakat setempat. Pihak pemerintah perlu tegas dalam memberikan sanksi bila ada asrama mahasiswa dianggap tidak memiliki organisasi dan mengganggu kenyamanan masyarakat. Mengadakan kegiatan bersama yang juga dilakukan dalam rangka lebih memperkenalkan seni dan budaya Yogyakarta kepada mereka, serta mewadahi kegiatan seni budaya dari berbagai daerah untuk ditampilkan bersama ke masyarakat.
Rekomendasi 1.
2.
3.
4.
Bagi asrama mahasiswa : a. Setiap asrama mahasiswa wajib memiliki program kegiatan yang mengharuskan penghuninya untuk menjalin kegiatan bersama warga masyarakat sekitar dan ini menjadi perjanjian yang mengikat antara pemerintah daerah yang memberikan dana pembangunan asrama dengan warga masyarakat b. Setiap asrama mahasiswa wajib memiliki organisasi dan aturan yang jelas serta wajib memberikan sanksi kepada penghuni asrama yang dianggap melanggar. c. Asrama mahasiswa juga perlu menggandeng mahasiswa asal daerah yang sama untuk melakukan kegiatan dalam program bersama walaupun mereka tidak menjadi penghuni asrama. Bagi pihak pemerintah daerah a. Setiap pemerintah daerah yang membangun asrama mahasiswa di Kota Yogyakarta wajib untuk mengutus salah satu pihak perwakilan pemkab/pemda yang bertugas untuk menjadi wali bagi para mahasiswa di asrama tersebut. Wali mahasiswa ini bisa jadi tidak harus tinggal di asrama namun ia akan selalu berkomunikasi dengan masyarakat sekitar asrama mahasiswa dan pemerintah Kota Yogyakarta mengenai kondisi para mahasiswa di asrama. b. Wali mahasiswa juga bertindak sebagai induk semang para mahasiswa sehingga kontrol terhadap asrama mahasiswa bisa lebih dikoordinasikan. Bagi Kesatuan Bangsa a. Perlu adanya “sapaan dari pemerintah Yogyakarta” melalui kegiatan bersama dengan menggandeng asrama-asrama di Yogyakarta b. Kesbang bukan hanya memberikan wawasan kebangsaan namun mengadakan kegiatan yang mencoba mengenalkan lebih jauh tentang kebudayaan dan keistimewaan Yogyakarta c. Perlu adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan di asrama sehingga tiap asrama juga mewajibkan penghuninya mematuhi tata tertib Bagi Dinas Pariwisata: a. Perlu untuk selalu menggandeng asrama-asrama mahasiswa dalam setiap event budaya b. Mewajibkan setiap asrama untuk mengenalkan budaya daerah mereka ke masyarakat kota Yogyakarta
Daftar Pustaka A., Joseph, DeVito. 1999. Komunikasi Antarmanusia Kuliah dasar.Jakarta: Proffesional Books Denzin, K, Norman. & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Penerjemah: Dariyatno, Badrus Samsul dkk. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Kurniawati, Asti. 2012. Membangun (?) Narasi Menghadirkan Pesona Akar dan Perjalanan Citra “Kota Pendidikan. Penerbit Ombak: Yogyakarta
106
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin (Editor). 1996. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Rosda Karya: Bandung. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT Remadja Rosdakarya: Bandung. Rudito, Bambang dan Famiola. 2009. Social Mapping. Metode Pemetaan Sosial. Bandung: Rekayasa Sains. Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS Press: Solo. Zudianto, Herry. 2008. Kekuasaan sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur. Yogyakarta. http://pjjgsd.dikti.go.id. Sutarno. Modul Multikultur Republika.com. Asrama Mahasiswa Yogyakarta Didata Ulang. 26 Maret 2013 Kedaulatan Rakyat.com. Walikota Galakkan Sambang Kos.1 April 2013
107
Kanisius:
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
TATA KELOLA PROSES DAN PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK JUMPUTAN KAMPUNG CELEBAN YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA EFISIENSI DAN PENINGKATAN DAYA SAING PRODUK Oleh: Purnawan
ABSTRACT Jumputan cloth handicraft industry grows a number of impacts on economic growth and environmental pollution. The economic value generated from Jumputan cloth industry can give contribution to improving the local economy, income and can also give income for country exchange. However, the potential for environmental pollution which is generated by industrial waste of jumputan cloth is quite worrying because the volume of waste is big and waste management requirements are not satisfied. The industrial waste generated from jumputan cloth is still not considered as a problem, because it does not have direct impact or short term effect felt by the society and the environment. Better internal performing management is expected to achieve: efficient use of energy and water to reduce the cost of production, technology planning process for ergonomic and good process control, equipment modification to improve the optimization process, wastewater treatment design with simple technology and low cost waste processing, also make the effort to allow the waste product which can be reused as diversified products. The results of the application design process tool show the average time efficiency of 57.135% and water use efficiency of 16.175%, result in the efficient use of energy and effectiveness from craftsmen’s performance, with the water use efficiency will reduce the waste product. It can reduce the cost of wastewater treatment, with recycling of solid waste as product diversification will provide a significant benefit and it can cover the cost of wastewater treatment with a profit of Rp 4,528, - each time of the process. The results of wastewater treatment applications that have been designed show that the results of waste treatment have met the quality standard in accordance with DIY Governor Regulations No.7 Year 2010. Keywords: Cloth Jumputan, Governance Process, Efficiency.
A. Pendahuluan Potensi Industri batik secara ekonomi cukup memberikan pendapatan yang besar kepada negara, baik dari segi penyerapan tenaga kerja maupun pemasukan devisa dan pajak. Permintaan pasar untuk konsumsi lokal dan luar negeri terbuka luas sehingga memberikan peluang yang besar untuk perkembangan industri ini.Saat ini pemasaran batik selain untuk konsumsi lokal juga telah menembus pasar luar negeri antara lain pasar Eropa dan Amerika. Dalam perkembangannya, masyarakat melakukan modifikasi dan kreasi untuk menghasilkan berbagai ragam industri batik, salah satunya adalah industri batik jumputan namun demikian penamaan batik jumputan sesungguhnya tidak sesuai dengan kaidah karena Batik merupakan seni pewarnaan kain dengan teknik perintang pewarnaan menggunakan malam ( bahasa inggris : wax) atau dalam istilah sehari-hari orang menamakannya "lilin", sedangkan Jumputan pada dasarnya suatu proses pencelupan, dengan sebagian kain diikat rapat menurut pola tertentu sebelum dilakukan pencelupan atau dyeing dengan zat warna, dengan demikian bagian-bagian yang diikat tidak terkena celupan dan pada bagian tersebut terbentuklah motif hias sesuai yang dikehendaki, dengan demikian penamaan yang lebih tepat adalah kain motif jumputan”. Industri kain jumputan pada umumnya dilaksanakan dalam skala rumah tangga dengan penggunaan teknologi yang masih sederhana sehingga ditengarai terjadi In-efisiensi yang dapat menimbulkan pemborosan baik dalam penggunaan bahan baku, proses produksi maupun dalam penggunaan energi. In-efisiensi pada proses produksi ini dapat menyebabkan besarnya volume limbah yang dihasilkan yang berasal dari bahan baku, bahan tambahan (aditif) dan waktu proses produksi. Hal ini akan menimbulkan kerugian baik secara ekonomi maupun lingkungan yang disebabkan oleh biaya produksi dan pencemaran lingkungan 108
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi dan meminimalisasi limbah yang dihasilkan pada proses industri kain jumputan, maka diperlukan Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah agar dapat menghasilkan produk dan jasa secara lebih efisien. Dengan strategi Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah diharapkan akan menghasilkan produk yang kompetitif dan memberi perhatian terhadap aspek lingkungan menuju ecoefisiensi serta bertujuan menyediakan produk dan jasa dengan harga kompetitif, memberikan kepuasan terhadap kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan dengan mengurangi dampak lingkungan dan pemakaian sumberdaya melalui daur hidup (life cycle), serta memperhatikan daya dukung lingkungan. Peluang-peluang Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah yang dapat diterapkan pada proses industri kain jumputan antara lain dalam hal pengaturan dalam perencanaan, perubahan dalam input bahan, perubahan dalam proses produksi, penggunaan tata kerumah tanggaan, dan pengolahan limbah yang efisien. Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah dapat dicermati mulai dari awal proses pembuatan hingga menjadi barang jadi (produk). Aplikasi Tata Kelola Proses dapat dilakukan melalui perencanaan dan penggunaan metode yang tepat dalam proses produksi, memodifikasi peralatan yang ergonomis dan Pengelolaan Limbah ini dalam lokasi proses produksi.
B. Tujuan dan Manfaat Dengan mempertimbangkan efisiensi dengan melakukan pengelolaan internal yang lebih baik diharapkan dapat tercapainya: 1. 2. 3. 4. 5.
Efisiensi penggunaan energi dan air sehingga dapat menekan biaya produksi Tersusunnya tata laksana rumah tangga yang baik (good housekeeping) yaitu perubahan manajemen tata laksana rumah tangga industri dengan tujuan untuk mencegah timbulan limbah dan efisiensi biaya produksi. Merencanakan teknologi proses yang ergonomis dan pengendalian proses dengan memodifikasi peralatan guna peningkatan optimisasi proses Melakukan perancangan pengolahan limbah cair dengan teknologi sederhana serta biaya investasi pengolahan limbah yang rendah, sehingga tidak menimbulkan biaya operasional yang tinggi akan tetapi dapat meminimalisir dampak terhadap pencemaran lingkungan. Melakukan upaya yang memungkinkan limbah padat yang dihasilkan dapat digunakan digunakan kembali atau sebagai diversifikasi produk
C. Tinjauan Pustaka Teknik jumputan pada dasarnya adalah suatu proses pencelupan, yaitu sebagian kain diikat rapat menurut pola tertentu sebelum dilakukan pencelupan atau dyeing dengan zat warna. Dengan demikian bagianbagian yang diikat tidak terkena celupan dan pada bagian tersebut terbentuklah motif hias jumputan yang sangat khas. Jumputan dapat dilakukan dengan cara mengisi kain, mengikat dan melipat kain dengan cara tertentu, kemudian mencelup dalam larutan zat warna yang akan membentuk ikatan reaksi antara serat tekstil dan zat warnanya, sehingga terciptalah suatu motif pada kain tersebut. Perbedaan cara mengisi, melipat, dan mengikat kain akan menghasilkan warna dan motif yang berbeda. Dalam pembuatan kain jumputan terdapat berbagai motif teknik ikat dasar diantaranya: teknik ikatan tunggal, teknik ikatan silang, teknik ikatan konsentris, tekn ik ik a tang ar is , teknik pengerutan (marbing), teknik ikatan ganda, teknik mengikat benda dan teknik jelujur Tata kelola proses atau Good housekeeping merupakan tata kelola internal yang baik yang meliputi rasionalisasi pemakaian bahan baku, air, energi, mengurangi jumlah atau toksisitas limbah serta memperbaiki kondisi kerja dan keselamatan kerja. Implementasi teknik good housekeeping ini serta dapat mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan. Tata kelola proses yang ergonomis mempertimbangkan unsur manusia dalam perancangan objek, prosedur kerja dan lingkungan kerja dengan mempelajari hubungan manusia, pekerjaan dan fasilitas pendukungnya, dengan harapan dapat sedini mungkin mencegah kelelahan yang terjadi akibat sikap atau posisi kerja yang tidak sesuai guna meningkatkan produktivitas kerja manusia untuk mencapai tujuan yang efektif, s ehat, aman dan nyaman (Cormick dan Sanders, 1992). 109
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Tata kelola internal dapat dilakukan dengan menerapkan produksi bersih yang merupakan bagian dari konsep produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Dengan menggunakan metodologi dan tekhnologi bersih diharapkan suatu kegiatan operasional dapat menghasilkan produk akhir yang lebih berkualitas, dapat mendaur ulang sumber daya bahan baku dan dapat memanfaatkan produk samping ( (Kementrian Lingkungan Hidup, 2003) Setiap jenis industri mempunyai karakteristik limbah cair yang spesifik, yang berbeda dengan jenis industri lainnya, walaupun mungkin suatu jenis industri mempunyai beberapa parameter pencemar yang sama dengan industri lainnya. Berdasarkan karakteristik limbah cair industri kain jumputan alternatif pengolahan dapat dilakukan dengan cara: 1. 2. 3.
Ekualisasi: penampungan limbah guna meredam fluktuasi karakteristik air limbahsehingga karakteristik air limbah relatif konstan. Pengolahan fisik-kimia: obyek yang akan dibuang dibuat lebih besar ukurannya dengan menambahkan koagulan dan flokulan polymer. Aerasi: air limbah setelah melalui proses koagulasi dan flokulasi dan sebelum dibuang ke lingkungan ditambahkan udara menggunakan aerator agar oksigen terlarut dalam air limbah semakin besar
D. Metode Penelitian Dalam perancangan yang dilakukan merupakan desain low cost yang berorientasi pada desain teknologi tepat guna namun memiliki kemampuan untuk pengolahan limbah yang optimal dan memenuhi baku mutu serta peralatan proses produksi dengan efisiensi penggunaan energi, air sehingga mengurangi limbah cair yang dihasilkan. Adapun blok diagram penelitian seperti terlihat pada Gambar 1 Pengamatan proses produksi Pencatatan Penggunaan air, bahan baku dan bahan tambahan
Permasalahan Inefisiensi
Limbah Cair
Kajian Penyempurnaan/ Perbaikan Proses Produksi
Kajian Pengolahan limbah
Efisien Produksi Batik Jumputan Ekonomis dan Ramah Lingkungan Gambar 1 : Blok diagram penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian untuk dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan air sehingga dapat menekan biaya produksi serta upaya pengolahan limbah cair maka dilakukan perancangan disain sebagai berikut:
110
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
1.
Disain peralatan proses
Merancang peralatan kerja atau proses guna meningkatkan produktivitas kerja yang efektif, sehat, aman dan nyaman dengan memperhatikan gerakan tubuh manusia dilihat dari aspek biomechanics dengan tujuan untuk menghindarkan manusia melakukan gerakan kerja yang tidak sesuai, tidak beraturan dan tidak memenuhi persyaratan efektivitas efisiensi gerakan.
Gambar 2: Disain peralatan kerja/proses
2.
Disain Pengolahan Air Limbah
Melakukan perancangan unit pengolahan limbah cair dengan teknologi sederhana serta biaya investasi rendah, sehingga tidak menimbulkan biaya operasional yang tinggi akan tetapi dapat meminimalisir dampak terhadap pencemaran lingkungan.
Gambar 3: Disain Pengolahan Air Limbah
111
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
E. Hasil Penelitian 1. Hasil Survey dan Evaluasi Tata Kelola Internal
Lokasi
Tersebar dibeberapa tempat sesuai tempat tinggal
Safety proses
Pengrajin sudah menggunakan APD Penyimpanan bahan kimia belum sesuai Belum dilakukan manajemen bahan Belum dilakukan pencatatan bahan kimia yang dipergunakan
Manajemen bahan proses
Sistem proses
Belum adanya alat proses yang memenuhi standard ergonomis Penggunaan air belum efisien
Pengolahan limbah
Limbah padat belum dimanfaatkan Limbah cair sudah dilakukan pengolahan namun belum optimal
Dampak Berpotensi timbulnya pencemaran di beberapa tempat Dampak telah terminimalisir Untuk bahan kimia yang higroskopis akan berpengaruh terhadap konsentrasinya Untuk bahan pewarna yang mudah teroksidasi akan berpengaruh terhadap kualitas warna Bahan kimia kedaluwarsa akan menjadi limbah Waktu proses belum efisien Timbulnya dampak kelelahan terhadap pekerja Kuantitas limbah menjadi lebih besar Pencemaran akibat limbah padat Masih terbentuknya limbah cair dan berpotensi terhadap pencemaran lingkungan
Rekomendasi Kegiatan yang dilakukan bukan merupakan kegiatan poko, lokasi sudah baik Perlu ditingkatkan pemahamannya Penyimpanan bahan kimia menggunakan tempat yang sesuai (botol coklat) Dilakukan pencatatan bahan untuk mengetahui batas kedaluwarsanya
Dirancang peralatan proses yang ergonomis Dirancang peralatan proses dengan hemat penggunaan air Pemanfaatan limbah padat sebagai diversifikasi produk Dirancang peralatan pengolahan limbah portable yang lebih optimal
Tabel 1: Hasil Survey dan Evaluasi Tata Kelola Internal (sumber : data primer)
112
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
2. Data Hasil Kinerja Proses Jenis Proses Pewarnaan Naphtol Pewarnaan Indigosol
Total waktu proses 35 menit 25 menit
Total limbah padat 12, 3 gram 12,3 gram
Total limbah cair 18,95 liter 14,101 liter
Tabel 2: Hasil Kinerja Proses (sumber: data primer)
3. Data Analisa Limbah Awal Analisa air limbah awal bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan kualitas air limbah yang belum dilakukan pengolahan dan dibandingkan dengan standar baku mutu Parameter pH Warna COD BOD TDS TSS Suhu
Pewarnaan Naphtol 6,5 477 251,0 122,99 139 488 19
Pewarnaan Indigosol 4,5 127 753,0 377 237 424 19
Cucian Naphtol 6,5 477 216 240,5 139 324 19
Cucian Indogosol 6,5 108 653 314 218 376 19
Gabungan 5,5 342 520 254,8 215 488 19
Baku Mutu Per Gub DIY No.7 Th. 2010 6–9 100 50 1000 50 ± 3o C thd suhu udara
Tabel 3. Hasil Analisa Limbah Awal (sumber: data primer) Dari hasil analisa limbah hasil proses menunjukkan bahwa hamper seluruh parameter uji tidak memenuhi persyaratan sesuai baku mutu peraturan Gubernur DIY No. 7 Tahun 2010 dan berpotensi terjadinya pencemaran terhadap tanah maupun air tanah.
4. Efisiensi Penggunaan Peralatan Proses Ergonomis Hasil perancangan alat proses setelah diaplikasikan menunjukkan data sebagai berikut :
Jenis Proses
Total waktu proses Sebelum aplikasi Pewarnaan Naphtol 35 menit Pewarnaan Indigosol 25 menit Tabel 4: Efisiensi Waktu Proses (data primer)
Total waktu proses Sesudah aplikasi 15,2 menit 10,575 menit
Efisiensi Waktu (%) 56,57 57,70
Jenis Proses
Total Limbah Cair Sesudah aplikasi 15,83 11,86
Efisiensi Air (%)
Total Limbah Cair Sebelum aplikasi Pewarnaan Naphtol 18,95 liter Pewarnaan Indigosol 14,101 liter Tabel 5: Efisiensi Penggunaan Air (data primer)
16,46 15,89
Hasil aplikasi rancangan alat proses yang ergonomis menunjukkan bahwa terjadi efisiensi waktu rata-rata sebesar 57,135% dan efisiensi penggunaan air sebesar 16,175%, sehingga terjadi efisiensi penggunaan energi dan efektifitas kinerja pengrajin, dengan adanya efisiensi penggunaan air akan mengurangi limbah yang dihasilkan sehingga mengurangi biaya pengolahan air limbah. 113
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
5. Data Hasil Aplikasi Pengolahan Limbah Hasil uji jar tes diaplikasikan menggunakan peralatan hasil rancangan menggunakan limbah pewarnaan dan pencucian Naphtol Kondisi proses: Volume limbah: 15 liter, Pengadukan Cepat: 500 rpm, waktu: 1 menit, Pengadukan Lambat: 75 rpm, waktu: 5 menit, Volume penambahan NaOH: 180 ml, Konsentrasi NaOH: 20 %, Volume penambahan Tawas: 300 ml, Konsentrasi Tawas: 5 %, Jumlah penambahan Superflok Kation 0,1 %: 120 ml
Tabel 6: hasil uji aplikasi pengolahan limbah
Parameter pH Warna COD BOD TSS TDS Suhu
Satuan
Limbah Awal
PtCo mg/L mg/L mg/L mg/L o C
6,5 477 251,0 122,99 139 488 19
Limbah Akhir 7,0 34 81,74 30,37 34 172 18
Efisiensi (%) 92,87 67,43 75,31 75,54 64,75 -
Keterangan memenuhi baku mutu memenuhi baku mutu memenuhi baku mutu memenuhi baku mutu memenuhi baku mutu memenuhi baku mutu
Dari tabel 6 hasil uji aplikasi pengolahan limbah pewarnaan dan pencucian Naphtol menggunakan peralatan hasil perancangan menunjukkan bahwa hasil seluruh parameter uji telah memenuhi baku mutu sesuai peraturan Gubernur DIY No. 7 Tahun 2010.
6. Analisis Biaya Operasional IPAL Analisis biaya operasional merupakan biaya yang dimbulkan dari biaya penggunaan bahan-bahan kimia sedangkan biaya tenaga tidak diperhitungkan mengingat tidak memerlukan energi listrik. Biaya penggunaan bahan kimia untuk setiap kali proses (15 liter limbah) sebagai berikut : 1. 2. 3.
Soda api(NaOH) : 180 ml x 20 gram/100 ml x Rp 10.000,-/1000 gram = Rp 360,Koagulan (Al2(SO4)3) : 300 ml x 5 gram/100 ml x Rp 18.000/1000 gr am = Rp 270,Super flox kation : 120 ml x 0,1 gram/100 ml x Rp 80.000,-/1000 gram = Rp 9,6,---------------------------Jumlah
= Rp 639,6,-
7. Analisis Keuntungan Pemanfaatan Limbah Padat Analisis keuntungan didasarkan asumsi bahwa limbah padat berupa tali pengikat dimanfaatkan untuk diversifikasi produk, komponen biaya didasarkan atas komponen tenaga dan bahan pembantu. 1. 2.
Jumlah limbah padat setiap kali proses Kebutuhan limbah padat per produk
= 12,3 gram = 44,29 gram (3,6 proses)
114
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 3. 4. 5.
Harga jual produk Biaya Keutungan setiap proses
= Rp 35.000,= Rp 18.700,= (Rp 35.000,- - Rp 18.700,-) : 3,6 = Rp 4.528,-
F. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Belum dilakukan manajemen bahan/pencatatan bahan kimia yang dipergunakan guna meminimalisir bahan-bahan kadaluwarsa Pengrajin telah menggunakan APD guna meminimalisir dampak bahan kimia terhadap pekerja Belum tersedianya alat proses yang memenuhi standard ergonomis serta penggunaan air belum efisien Belum termanfaatkannya limbah padat yang terbentuk untuk diversifikasi produk, untuk limbah cair telah dilakukan pengolahan namun belum optimal Hasil aplikasi rancangan alat proses yang ergonomis menunjukkan bahwa terjadi efisiensi waktu ratarata sebesar 57,135% dan efisiensi penggunaan air sebesar 16,175%, sehingga terjadi efisiensi penggunaan energi dan efektifitas kinerja pengrajin, dengan adanya efisiensi penggunaan air akan mengurangi limbah yang dihasilkan sehingga mengurangi biaya pengolahan air limbah. Daur ulang limbah padat sebagai diversifikasi produk akan memberikan keuntungan signifikan dan dapat menutup biaya pengolahan air limbah dengan keuntungan sebesar Rp 4.528,- setiap kali proses.
Rekomendasi Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing produk, meminimalisir dampak pencemaran serta meningkatkan ekonomi masyarakat perlu dukungan berbagai pihak. Adapun rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat adalah sebagai berikut: 1.
2. 3. 4.
Pemerintah kota melalui Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta untuk melakukan pemantauan secara rutin terhadap aktivitas pengrajin kain jumputan yang tersebar diberbagai wilayah mengingat limbah yang dihasilkan berpotensi menimbulkan pencemaran dan melakukan pembinaan untuk melakukan pengolahan limbah cair dan pemanfaatan limbah padat yang dihasilkan. Balai Besar Batik dan Kerajinan untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada pengrajin berkaitan dengan pelurusan penggunaan nama Batik Jumputan yang lebih tepat atau sesuai Pemerintah kota melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) untuk melakukan pembinaan, pendampingan serta pengembangan pemberdayaan perempuan Dinas Kesehatan kota Yogyakarta untuk melakukan monitoring dan sosialisasi pentingnya melakukan pencegahan dampak penggunaan bahan pewarna sintetik terhadap kesehatan, mengingat pengrajin merupakan kaum perempuan yang rentan terhadap bahan-bahan karsinogenik.
Daftar Pustaka Anonim. 1997. Perencanaan Teknik Pengelolaan Pencemaran Industri Sekala Kecil Sentra Batik DIY. Balai Besar Penelitian dan Perkembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta Cheremisinoff N.Paul, 1995. Handbook of Water and Wastewater Treatment Technology, Marcel Dekker Inc, New Jersey, 1995 Inc, New Jersey. Droste, Ronald L., 1997. Theory and Practice of Water and WastewaterTreatment, John Wiley & Sons, Inc. Freeman, H.M. Hazardous Waste Minimization. Mc. Graw Hill Publishing Co., Singapore, 1990. Parker W. Homer, 1975. Wastewater System Engineering, Prentice-Hall Inc, New Jersey. 115
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Pheasant, S. T., 1988. Anthropometry Ergonomics and Design. London: Taylor and Farncis. Potter, C. et al Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia, Sumber, Pengendalian dan Baku Mutu EMDIBAPEDAL, Project of The Ministry of State for Environment, Republic of Indonesia and Dalhousie University, Canada, Jakarta, 1994. Prasetyo W., Bagas, 2000. Evaluasi Ergonomi dalam Desain. Surabaya: Proceeding Seminar Nasional Ergonomi, Jurusan TI – ITS. Riyanto, Pamungkas, W., dan Muhammad Amin Ja’far. 1997. Katalog Batik Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Proyek Pengembangan dan Pelayanan Teknologi Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta. Sanders, Ms. and Mc. Cormick, Ernest J., 1992. Human Factors in Engineering and Design. New York: Mc. GrawHill Book Co. Sulaeman. 2004. Manfaat Penerapan Produksi bersih pada Industri Batik. Majalah Mitra Lingkungan. Jakarta. Edisi September 2004. Sulaeman. 2006. Kebutuhan Air, Enerji, Zat Warna Dan Zat Pembantu Untuk Pembuatan 1 Meter Kain Batik Dari Mori. Balai Kerajinan dan Batik Yogyakarta. Susanto, S.K. Sewan. 1981. Teknologi Batik Seri Soga Batik. Departemen Perindustrian R.I. Badan Penelitian Dan Pengembangan Industri. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta. Sutalaksana, et al., 1979. Teknik Tata Cara Kerja. Bandung: Jurusan TI – ITB. Sutalaksana, Iftikar Z., 2000. Duduk, Berdiri dan Ketenagakerjaan Indonesia. Surabaya: Proceedings Seminar Nasional Ergonomi, Jurusan TI – ITS. Tchobanoglous, George, 1991. Wastewater Engineering, Treatment, Disposal,and Reuse, 3rd edition, Metcalf & Eddy, Inc. McGraw-Hill, Inc. New York. Tjokrokusumo, KRT. 1995. Pengantar Konsep Teknologi Bersih. Yogyakarta: Sekolah Tinggi teknik Lingkungan YLH.
116
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
ANALISIS PENDAPATAN USAHA PERDAGANGAN INFORMAL (STUDI PADA USAHA PEDAGANG ANGKRINGAN DI KOTA YOGYAKARTA) Oleh: Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si., Tina Sulistiyani, SE, M.M., Deny Ismanto, SE, M.M.
ABSTRACT This research aimed to analyze the income level of “angkringan” vendors in Danurejan, Yogyakarta. The instrument of analysis used was Multiple Regression Analysis. Hypothesis was tested by using T test and F test. T test was used to test the partial regression coefficients and F test was used to test the simultaneously regression coefficients. The result of the research showed the amount of capital, the number of working hours and the amount of labor partially influenced the operating income of angkringan merchants in Danurejan. This result of the regression coefficient simultaneously indicated the variable of capital, the working hours and the amount labor simultaneously affected the income level of angkringan merchants in Danurejan, Yogyakarta. The variable from business capital, the working hours and the amount labor used could explain 19% about the income level. The rest of the percentage is not included in the study. Keywords: Capital, Working hours, labor and operating income
A. Pendahuluan Kegiatan ekonomi informal, atau yang pada umumnya lebih dikenal dengan sebutan sector informal, mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Perkembangan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, baik dari segi kuantitas unit usaha maupun pelakunya. Mengutip data yang berasal dari Biro Pusat Statistik, pada tahun 1980 saja sudah terdapat 36 juta pekerja sektor informal di Indonesia. Sepuluh tahun kemudian jumlahnya meningkat menjadi 43 juta orang atau prosentasenya 69% dari keseluruhan pekerja. Sebagai pembanding, jumlah orang yang bekerja di sektor formal sebesar 19,5% juta orang atau hanya 31% dari total keseluruhan pekerja di Indonesia (Santayani, 1996:6). Menonjolnya peranan perdaganagn informal terutama ditunjang oleh kontribusi kegiatan usaha perdagangan eceran. Diantara bermacam-macam bentuk usaha perdagangan eceran berskala kecil, usaha pedagang angkringan merupakan jenis usaha yang memiliki posisi dan fungsi yang penting dalam melayani kebutuhan makanan dan minuman sehari-hari masyarakat sekitar. Hasil studi Soeratno (2000) menunjukan bahwa usaha pedagang angkringan termasuk golongan pedagang kaki lima dan sebagaian besar pedagang angkringan di kota Yogyakarta berusia produktif. Selain itu, hasil studi Marfai (2005) menunjukan bahwa usaha pedagang angkringan merupakan salah satu usaha yang tidak memerlukan modal yang besar tetapi mampu berkembang dengan baik, sehingga masyarakat kelas bawah dapat membuka usaha angkringan tersebut (Santoso, 2006). Oleh karena itu, usaha pedagang angkringan memiliki urgensi untuk diteliti lebih dalam, karena usaha pedagang angkringan merupakan salah satu alternative yang rasional dapat diandalkan sebagai sarana usaha untuk betahan hidup. Masalahnya adalah bagaimana agar para pelaku ekonomi informal khususnya usaha pedagang angkringan dapat memperoleh pendapatan yang dapat menopang kehidupan social ekonominya. Oleh karena itu diperlukan informasi mengenai faktor-faktor yang menentukan tingkat pendapatan pelaku usaha ekonomi informal khususnya usaha pedagang angkringan di Kota Yogyakarta.
B. Tinjauan Pustaka Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Perdagangan Informal Tingkat pendapatan usaha perdagangan informal dipengaruhi oleh banyak faktor. Identifikasi faktor-faktor dimaksud dapat diketahui melalui wacana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Dari 117
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 beberapa temuan lapangan menunjukkan bahwa ternyata tidak terdapat keseragaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan usaha perdagangan informal. Masing-masing hasil penelitian menunjukkan adanya nuansa perbedaan. Hal ini dimungkinkan akibat sangat bervariasinya unit-unit usaha perdagangan informal dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Beberapa faktor yang secara akademik melalui kajian riset terbukti berpengaruh terhadap tingkat pendapatan usaha perdagangan informal dapat dipaparkan sebagai berikut: a.
Modal
Modal merupakan motor penggerak dari suatu usaha kegiatan ekonomi. Faktor ini berkaitan langsung dengan tingkat pendapatan. Modal yang relatif lebih besar akan memungkinkan suatu unit kegiatan ekonomi menambah variasi mata dagangan. Dengan cara ini berarti pula makin memungkinkan diraihnya pendapatan yang lebih besar. Faktor ini berhasil ditemukan antara lain melalui penelitianpenelitian dari Tjiptoroso (1993). M. Ilham Jafar (1994), dan Santayani (1996). Penelitian Tjiptoroso dilakukan terhadap pedagang kaki lima di Jakarta Selatan. Sedangkan Jafar meneliti wanita pelaku usaha informal di Kotamadya Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Responden penelitian Santayani adalah pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman di Kotamadya Yogyakarta. b. Jam Kerja Lamanya waktu operasi usaha perdagangan informal memiliki hubungan langsung dengan tingkat pendapatan. Jam kerja yang panjang akan memberi kesempatan meraih omzet yang relatif lebih besar. Hal ini juga berarti makin meningkatkan pendapatan usaha. Penelitian Jafar (1994) dan Tjiptoroso (1996) telah membuktikan hal tersebut. c.
Jumlah Tenaga Kerja
Hidyat (1978:426) mengemukakan bahwa pada umumnya unit kegiatan ekonomi informal merupakanuni tusaha yang bentuknya “one man enterprses” dan kalaupun menggunakan tenaga kerja biasanya berasal drai keluarga. Hasil studi Santayani (1996) dan Syahruddin (1987) membuktikan bahwa penggunaan tenaga kerja oleh usaha perdagangan infomral mempengaruhi tingkat pendapatannya. Dengan tambahan jumlah tenaga kerja memungkinkan adanya pelayanan yagn lebih baik dalam arti kualitas maupun kuantitas layanan.
C. Metode Penelitian Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah usaha perdagangan informal yang berbentuk usaha pedagang angkringan di Kota Yogyakarta. Responden penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling. Sampel diambil berdasarkan pertimbangan tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu (Cooper dan Emory, 1995 ; Babbie, 1995). Penentuan sampel didasarkan kriteria sebagai berikut: a. b. c.
Usaha pedagang angkringan yang beroperasi dipinggir jalan raya. Metode operasinya menetap atau tidak berpindah-pindah Jenis mata perdagangannya, yaitu makanan dan minuman.
Jumlah responden ditetapkan minimal berjumlah 100 orang. Penelitian ini direncanakan dilaksanakan di Kecamatan Danurejan di Kota Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena merupakan salah satu wilayah Kota Yogyakarta yang cukup menonjol fenomena unit kegiatan ekonomi informalnya terutama usaha pedagang angkringan yang mendukung kegiatan formal masyarakat sekitarnya.
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer maupun data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan pelaku usaha dan kuisioner. Data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan
118
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 dengan menggali informasi dari buku, jurnal ilmiah, maupun publikasi hasil-hasil penelitian. Data sekunder ini digunakan untuk menyususn rumusan masalah, hipotesis, landasan teoritik, dan pemilahan alat analisis.
Metode Analisis Metode analisis statistik digunakan untuk melakukan pembuktian hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis dilakukan guna membuktikan adanya pengaruh dari modal, jumlah tenaga kerja, dan jam kerja terhadap tingkat pendapatan usaha pedagang angkringan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan model Regresi Berganda. Untuk menguji hipotesis yang dikemukakan, maka digunakan uji t dan uji F. Uji t dimaksudkan untuk mengetahui variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas (terikat) secara individual. Sedangkan uji F digunakan untuk mengetahui apakah secara bersama-sama variabel-variabel bebas tersebut dapat menjelaskan variabel terikat. (Sumodiningrat, 1995)
D. Hasil Penelitian Karakteristik Responden 1. Umur Responden Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan dengan kelompok umur di bawah 29 tahun sebanyak 5%, kelompok umur diatas 29 – 39 tahun sebanyak 32%, kelompok umur diatas 39 – 49 tahun sebanyak 44%, kelompok umur diatas 49 tahun – 59 tahun sebanyak 10% dan kelompok umur diatas 59 tahun sebanyak 9%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan paling besar persentasenya pada kelompok umur di atas 39 – 49 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden termasuk usia produktif. 2. Asal Daerah Hasil penelitian mengatakan bahwa pedagang angkringan yang dijadikan sebanyak penelitian di Kecamatan Danurejan 30% berasal dari Kota Yogyakarta, 25% berasal dari Gunung Kidul, 20% berasal dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta, 12% berasal dari Bantul, 8% berasal dari Sleman dan 5% berasal dari Kulonprogo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 30% berasal dari Kota Yogyakarta dan 70% berasal dari luar Kota Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta merupakan entitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi masyarakat yang berasal dari luar Kota Yogyakarta. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 70% pedagang angkringan yang berasal dari luar kota Yogyakarta maka 60% nya sudah menetap di Kota Yogyakarta, sehingga sudahmempunyai Kartu Tanda Pendukuk (KTP) di Kota Yogyakarta. Dengan demikian 40% dari pedagang angkringan yang berasal dari luar Kota Yogyakarta belum memiliki KTP di Kota Yogyakarta. Hal ini disebabkan antara lain : belum mempunyai tempat tinggal sendiri di Kota Yogyakarta sehingga saat ini masih menyewa tempat tinggal atau menyewa kamar kontrakan. Selain itu, sebagian pedagang angkringan masih bertempat tinggal di rumah saudara yang berada di Kota Yogyakarta serta hidup terpisah dengan keluarga yang masih berada di luar Kota Yogyakarta. 3. Perolehan Barang Dagangan Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang daangan yang berbentuk makanan 95% berasal dari titipan pedagang lain dan 5% memasak sendiri (olahan sendiri). Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang dagangan yang berbentuk minuman 65% berasal dari olahan sendiri dan 35% berasal dari minuman instant seperti milo, coffe mix, nutri sari dan lainlain. 4. Kebersihan Alat Makan Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pedagang angkringan dalam membersihkan alat-alat makan seperti piring, gelas dan sendok makan di warung angkringan Kecamatan Danurejan sebagian besar hanya menggunakan air yang ditempatkan di dalam ember dan belum menggunakan air yang mengalir. Dengan demikian, 119
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 dari faktor kesehatan belum memenuhi syarat, sehingga penggunaan alat-alat makan diwarung angkringan belum terjamin kebersihannya. 5. Tampilan Angkringan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampilan angkringan di Kecamatan Danurejan sebagian besar masih bersifat sederhana, sehingga perlu diupayakan unutk mengembangkan tampilan angkringan yang lebih modern dan menarik. Hal ini membutuhkan pemikiran yang lebih kreatif guna meningkatkan kenyamanan pelanggan dalam membeli makanan dan minuman di warung angkringan. 6. Lokasi Usaha Dalam memasarkan barang dan jasa lokasi usaha mempunyai peran penting dalam rangka meningaktkan penjualan, sehingga lokasi usaha yagn strategis akan meningkatkan pendapatan usaha pedagang. Berman dan Evans (2002) mengemukakan bahwa keunggulan daya saing sebuah ritel ditentukan oleh lokasi, bahkan apabila strategi yang digunakan oleh ritel tersebut biasa saja, asalkan lokasinya berada di daerah yang tepat maka ritel itu akan mendapatkan keuntungan yang maksimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan berada di lokasi yang tepat dan strategis karena berada di pusat perkotaan dan berada di lingkungan Malioboro. Selain itu, pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan berada di pusat pertokoan dan pusat bisnis di Kota Yogyakarta, sehingga mempunyai peluang untuk mengembangkan usahanya serta meningkatkan pendapatan usahanya. Namun demikian, pedagang angkringan yang berada di Kecamatan Danurejan perlu penataan dan pengaturan lokasi yang lebih terencana dari Pemerintah Kota Yogyakarta, sehingga tidak menggangu fasilits umum dan dapat dikelola serta dioperasikan secara mandiri. 7. Analisis Variabel Pendapatan usaha pedagang angkringan dapat dianalisis melalu beberapa variabel analisis yang terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian ini menggunakan pendapatan usaha angkringan sebagai variabel terikat. Sedangkan jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja sebagai variabel bebas. Hasil perhitungan variabel analisis dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Tingkat Pendapatan Pedagang Angkringan Hasil penelitian dari 100 responden pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan menghasilkan pendapatan rata-rata perbulan sebesar Rp. 2.989.000,- atau sebesar Rp. 747.250,- per-minggu. Hal in iberarti rata-rata pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata sebesar Rp. 99.633,33 per-hari.
2.
Jumlah Modal Usaha Jumlah modal usaha yang digunakan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan merupakan jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan warung angkringan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata modal usaha yang digunakan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan sebesar Rp. 726.750,-. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan warung angkirngan di Kecamatan Danurejan rata-rata sebesar Rp. 726.750,Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber modal usaha pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan berasal dari tabungan pribadi, suplier barang dagangan, pinjaman keluarga, Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia, bantuan hibah modal usaha dan bantuan modal usaha KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai komitmen dan dukungna terhadap pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan dalam bentuk pemberitan bantuan modal usaha guna meningkatkan pendapatan usaha pedagang angkringan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
120
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Namun demikian, bentuk komitmen dan dukungan bantuan modal uaha Pemerintah Kota Yogyakarta perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas bantuan. Kualitas bantuan modal usaha dapat dilakukan dengan cara melakukan monitoring dan evaluasi secara kontinue kepada pedagang angkringan yang mendapat bantuan sehingga efektifitas bantuan modal akan tercapai. 3.
Jumlah Jam Kerja Jumlah jam kerja dihitung berdasarkan lamanya waktu yang digunakan untuk menjalankan usaha. Jam kerja dimulai segala persiapan sampai warung angkringan ditutup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja yang dijalankan oleh pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata selama 62 jam per-minggu. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata selama 8,86 jam per-hari.
4.
Jumlah Tenaga Kerja Jumlah tenaga kerja yang digunakan warung angkringan merupakan banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan untuk mengoperasikan usaha warung angkringan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh warung pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata berjumlah 2 orang. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya tenaga kerja yang digunakan untuk mengoperasikan usaha warung angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata berjumlah 2 orang. Dalam penelitian ini tidak dibedakan antara pekerja upahan dengan pekerja keluarga. 8. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Warung Angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta
Fakto-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha warung angkringan di Kecamatan Danureja dapat dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Dalam analisis regresi berganda jumlah modal usaha (𝑥1 ), jumlah jam kerja (𝑥2 ), dan jumlah tenaga kerja (𝑥3 ). Sedangkan tingkat pendapatan usaha warung angkringan (pedagang angkringan) sebagai variabel terikat (y). Hasil analisis regresi linier berganda dapat disajikan melalui tabel sebagai berikut : Tabel Hasil Analisis Regresi Berganda Variabel Koefisien Nilai t Konstanta 1.041.363,44 2,023 Jumlah modal usaha 0,47 2,102 Jumlah jam kerja 16.537,14 2,409 Jumlah tenaga kerja 331.540,97 2,690 R = 0,436 ; R2 = 19 % ; Fhitung = 7,510 ; Sig.F = 0,000
Probabilitas 0,046 0,038 0,018 0,008
Sumber: Data Primer, Diolah Berdasarkan tabel tersebut diatas, model regresi linier berganda dapat dirumuskan sebagai berikut : 𝑦 = 1.041.363,44 + 0,47 𝑥1 + 16.537,14 𝑥2 + 331.540,97 𝑥3
Berdasarkan model regresi linier berganda tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa besarnya konstanta (intersep) menunjukkan angka 1.041.363,44. Hal ini berarti rata-rata tingkat pendapata pedagang angkringan akan mengalami kenaikan sebesar Rp. 1.041.363,44. Apabila variabel jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja sama dengan nol (jika variabel-variabel tersebut tidak dimasukkan dalam model persamaan regresi ini). Koefisien regresi variabel modal usaha sebesar 0,47 menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan variabel modal usaha sebesar Rp. 1,00 ceteris paribus, maka akan menaikkan tingkat pendapatan pedagang angkringan sebesar Rp. 0,47. Koefisien regresi variabel jumlah jam kerja sebesar 16.537,14 menunjukkan apabila terjadi 121
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 kenaikan variabel jam kerja selama 1 jam ceteris paribus, maka akan menaikan tingkat pendapatan pedagang angkringan sebesar Rp. 16.537,14. Koefisien regresi variabel jumlah tenaga kerja sebesar 331.540,97 menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan variabel jumlah tenaga kerja 1 orang ceteris paribus, maka akan menaikkan tingkat pendapatan pedagang angkringan sebesar Rp. 331.540,97. Hasil pengujian koefisien regresi dengan 𝛼 = 5% dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Hasil Pengujian Koefisien Regresi secara Parsial Hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pendapat usaha pedagang warung angkringan.
2.
Hasil Pengujian Koefisien Regresi secara serempak Hasil perhitungan uji F dengan 𝛼 = 5% menunjukkan signifikansi F = 0,000 dengan p < 0,05. Hal ini berarti variabel-vraiabel bebas secara serempak signifikan mempengaruhi variabel terikat. Dengan demikian variabel jumlah modal usaha, variabel jumlah jam kerja dan variabel jumlah tenaga kerja secara serempak signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang angkringan. Hasil pengujian mendukung hipotesis yang dikemukakan.
3.
Koefisien Determinasi (R2) Nilai R2 sebesar 19 % menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, variabel jumlah jam kerja, dan variabel jumlah tenaga kerja dapat menjelaskan variabel tingkat pendapatan pedagang angkringan sebesar 19%. Sedangkan sisanya sebesar 81% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta sebagian besar termasuk usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta merupakan entitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan usaha pedagang angkringan bagi masyarakat yang berasal dari luar Kota Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang dagangan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta sebagian besar berasal dari titipan suplier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan dalam membersihkan alat-alat makan belum menggunakan air yang mengalir, sehingga penggunaan alat-alat makan di Warung Angkringan belum terjamin kebersihannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampilan angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta sebagian besar masih bersifat sederhana Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta berada di lokasi yang tepat dan strategis karena berada di pusat perkotaan dan pertokoan yang berada dekat dengan lingkungan bisnis Malioboro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan dipengaruhi oleh faktor jumlah modal usaha, jumlah yang kerja dan jumlah tenaga kerja. Masing-maisng dari faktor tersebut memiliki derajat pengaruh yang berbeda. Faktor-faktor tenaga kerja mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap tingkat pendapatan pedagang angkringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa kendala yang dihadapi pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan antara lain keterbatasan jumlah modal usaha, ketidakteraturan jam kerja, keterbatasan jumlah tenaga kerja dan masih kurangnya kemampuan manajerial dalam berwirausaha.
122
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 9.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendapatan yang diperoleh pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta sebesar Rp. 2.989.000,00 per-bulan. 10. Hasil pengujian koefisien regresi secara parsial menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan. 11. Hasil pengujian koefisien regresi secara serempak menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas yang meliputi jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja secara serempak berpengaruh terhadap tingkat pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. 12. Hasil pengujian koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlahjam kerja, dan jumlah tenaga kerja mampu menjelaskan tingkat pendapatan pedagang angkringan sebesar 19%. Sedangkan sisanya sebesar 81% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak timasukkan dalam modal penelitian.
Rekomendasi 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Saat ini Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta telah memberikan bantuan modal usaha kepada pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. Namun demikian, komitmen dan dukungan bantuan modal usaha Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas bantuannya. Kualitas bantuan modal usaha dapat dilakukan dengan cara melakukan monitoring dan evaluasi secara kontinue kepada pedagang angkringan yang mendapat bantuan, sehingga efektifitas bantuan modal usaha akan tercapai guna meningkatkan kesejahteraan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan. Besarnya jumlah tenaga kerja mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap tingkat pendapatan pedagang angkringan sehingga perlu diupayakan untuk menambah tenaga kerja. Penambahan jumlah tenaga kerja akan meningkatkan kualitas pelayanan. Peningkatan kualitas pelayanan akan meningkatkan kepuasan pelanggan. Dengan demikian, peningkatan kepuasan pelanggan akan meningkatkan pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. Kemampuan manajerial dalam berwirausaha pedagang angkringan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, perlu adanya pendampingan dan pelatihan kemampuan manajerial dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta. Peningkatan kemampuan manajerial pedagang angkringan akan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dalam berwirausaha sehingga akan meningkatkan peningkatan pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. Untuk menjaga kebersihan barang dagangan dan fasilitas di warung angkringan perlu dilakukan sosialisasi, pendampingan serta penyuluhan kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, sehingga pelanggan yang membeli makanan dan minuman di warung angkringan akan terjamin tingkat kebersihan dan kesehatannya. Pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta perlu mengembangkan tampilan angkringan yang lebih modern dan menarik. Oleh karena itu, perlu pendampingan dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta guna pengembangan kreatifitas dan inovatif tampilan angkringan sehingga meningkatkan kenyamanan pelanggan dalam membeli makanan dan minuman di warung angkringan. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta bekerjasama dengan pemerintah Kecamatan Danurejan untuk menataulang lokasi pedagang angkringan yang terencana di Jl. Suryatmajan dan Jl. Perwakilan. Kedua jalan ini merupakan lokasi strategis yang berada di pusat perkotaan dan pertokoan. Disarankan kepada pedagang angkringan yang berada di trotoar sebaiknya memberikan space untuk pengguna jalan sehingga tidak menggangu fasilitas umum. Untuk penelitian lanjutan perlu digali lebih mendalam faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta seperti faktor lokasi usaha dan lama usaha yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha (setyawan, 2007: Setyawan dan Fatchurrohman, 2005).
123
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
Daftar Pustaka Arjana, IG.B. (1997), Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga. Disertasi Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta (tidak dipublikasikan). Asakdiyah, S. (1992), Peranan Sektor Informal dalam Sistem Distribusi Produk, Yogyakarta : kantor Kopertis Wilayah V. __________ , et al (1995) Analisis Hubungan antar Sektor Formal dengan Sektor Informal. Yogyakarta : kantor Kopertis Wilayah V. Babbie, E. (1995) The Practice of Social Research, 7 th. Ed. Belmonth: Wadsworth Publishing Company. Bromley, R. (1985) “Organisasi, Peraturan, dan Pengusahaan Sektor Informal di Kota: pedagang Kaki Lima di Cali, Colombia”, dalam C. Manning dan T.N. Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor di Kota. Jakarta : Gramedia. Cooper, D.R. dan C.W. Emory (1995) Business Research Methodes, 5 th. ed. Chicago: Irwin. Effendi, T.N. (1995) Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Evers, H.D. (1991) “Ekonomi Bayangan, Produksi Subsistens dan Sektor Informal”, Prisma, No. 5, Mei, h.21-30. Forbes, D. (1985) “Penjaja di Ujung Pandang”, dalam C. Manning dan T.N. Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia. Gujarati, D. (1995) Ekonometrika Dasar, a.b. Sumarno Zain, Jakarta: Erlangga. Hidayat (1978) “ Peranan Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, No. 4, desember, h. 415-445. __________ (1998), “Peranan dan Fungsi Pedagang Pengusaha Kecil dalam Perekonomian Kota”, Widya Pura, No. 6, Th. III, h.11-17. __________ (1987), “Peranan dan Profil serta Prospek Perdagangan Eceran”, Prisma, No. 7, Th. XVI, Juli, h. 3-18. __________ (1998), “Pembinaan Sektor Informal dan Keterkaitannya dengan Sektor Formal: Sub Sektor Perdagangan Eceran”, Makalah Diskusi Pembinaan Sektor Informal, Yogyakarta, 23 Desember. Hugo, G.J. (1985), “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat”, dalam C. Manning dan T.N. effendi (ed), Urbanisasi Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia. Rachbini, D. dan A. Hamid (1994), Ekonomi Informal Perkotaan, Jakarta: LP3ES. Robert, B.R. (1989), “Employment Structure, Life Circle, and Life Chanches: Formal and Informal Sectors in Guadalajara”, dalam A. Portes, et al, (eds.), The Informal Economy: Studies In Advanced and Less Developed Countries. Baltimore : The John Hopkins University Press. Santayani, (1996), Peranan Pendidikan dan Pengalaman Berusaha Pada Sektor Informal: Studi Kasus PKL Makanan dan Minuman di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta (tidak dipublikasikan). Santoso, S. (2006), Kemampuan Bertahan Pedagang Warung HIK di Kota Ponorogo, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, hal. 188-201. Sethuraman, S.V. (1981), The Urban Informal Sector in Developing Countries, Geneva : ILO. Sigit, H. (1989), “Transformasi Tenaga Kerja di Indonesia Selama Pelita”, Prisma, No. 5, Th. XVIII, h.3-14.
124
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Sinungan, J.A. (1987), “Kelemahan dan Kekuatan Retail Business”, Prisma, No. 7, Th. XVI, Juli, h. 19-22. Soeratno (2000), Analisis Sektor Informal: Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta, Jurnal Optimum, Vol. 1, No. 1, September. Sumodiningrat, G. (19950, Ekonometrika Pengantar, Yogyakarta: Erlangga. Swasono, S.E., et al. (1987), Pengembangan Sektor Informal, Padang: PSK Universitas Andalas.
125