No 4/Tahun III/Desember 2014
INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK Indonesia Menghadapi AEC 2015
ASEAN
ECONO
MIC CO 2015 MMUNITY
ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Macroeconomic Dashboard Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
Kata Pengantar Indonesian Economic Review and Outlook (IERO) adalah buletin ilmiah kuartalan yang membahas gambaran umum terkini perekonomian Indonesia disertai prospeknya di masa mendatang, Buletin ini diterbitkan oleh Macroeconomic Dashboard yang merupakan fasilitas laboratorium ekonomi makro yang dikembangkan Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sejak tahun 2012. Dalam melihat prospek perekonomian Indonesia, buletin ini menggunakan Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi dari para akademisi bidang ekonomi dan juga secara khusus mengembangkan Gadjah Mada Leading Economic Indicator (GAMA LEI) sebagai instrumen proyeksi perekonomian yang dikembangkan secara orisinil oleh tim Macroeconomic Dashboard. GAMA LEI yang telah terbukti mampu memprediksikan siklus perekonomian Indonesia secara tepat selama tujuh edisi tetap selalu terus mengalami penyempurnaan pada setiap edisinya agar dapat menjadi alat indikasi siklus perekonomian Indonesia yang semakin dapat dipercaya oleh para penggunanya. Dengan outreach mencapai lebih kurang seribu orang pembaca per-hari baik dalam bentuk fisik maupun versi online serta outreach total yang telah mencapai hingga lebih dari setengah juta pembaca, IERO pada edisi ini mengangkat tema: “Kesiapan Indonesia Menghadapi ASEAN Economic Community 2015”. Tema ini diangkat untuk menangkap harapan besar dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia akan masa depan ekonomi Indonesia yang penuh tantangan terutama dikaitkan dengan menjelangnya kehadiran ASEAN Economic Community 2015, namun di tengah tren pertumbuhan ekonomi nasional, regional dan global yang justru menunjukkan perlambatan. Semoga pemerintahan dan otoritas ekonomi mampu mengubah siklus ekonomi yang menurun, mengubah pengelolaan ekonomi, agar ekonomi Indonesia kembali bangkit, tumbuh, dan berkembang berkelanjutan. Selamat membaca
Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc Head of Researcher Macroeconomic Dashboard
Daftar Isi
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................... 1 A.
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN FISKAL 1. Perekonomian Indonesia masih menunjukkan tren perlambatan......................................................................................................... 3 2. Fiscal space meningkat seiring turunnya subsidi BBM..................... 8
B.
SEKTOR MONETER DAN PASAR KEUANGAN 1. Rupiah masih tertekan.................................................................................... 13 2. Kemampuan membayar pinjaman membaik........................................ 20 3. Tren peningkatan surplus neraca pembayaran dan perdagangan masih berlanjut................................................................................................... 24
C. GAMA LEI DAN KONSENSUS PROYEKSI EKONOMI 1. GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI)................................. 28 2. Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi..................................... 30 D. PERKEMBANGAN EKONOMI REGIONAL.................................................... 32 E. ASEAN: Rapuhnya Perekonomian Kawasan Menjelang AEC 2015.................................................................................................................... 35 F. ISU TERKINI.............................................................................................................. 44 G. ECONOMIC OUTLOOK.......................................................................................... 50
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
iii
Daftar Istilah
iv
AEC ASEAN Economic Community APBN Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara APBNP Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan ASEAN Association of South East Asian Nations BBM Bahan Bakar Minyak BEI Bursa Efek Indonesia BI Bank Indonesia BPS Badan Pusat Statistik bps basis point CAD Current Account Deficit DPR Dewan Perwakilan Rakyat ECB European Central Bank (Bank Sentral Eropa) EDB Ease of Doing Business FFR Fed Fund Rate, Suku Bunga Acuan The Fed GAMA LEI Gadjah Mada Leading Economic Indicator GCI Global Competitiveness Index GST Goods And Service Tax HDI Human Development Index IDR Indonesian Rupiah IHK Indeks Harga Konsumen IHP Indeks Harga Produsen IHSG Indeks Harga Saham Gabungan JPKE Jabatan Perancang Kemajuan Ekonomi kk Kepala Keluarga LHS Left Hand Side (sisi vertikal kiri) LPG Liquified Petroleum Gas LPS Lembaga Penjamin Simpanan Migas Minyak dan Gas Bumi Minerba Mineral dan Batubara
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat Musrembang Musyawarah Perencanaan Pembangunan m-t-m month-to-month NYSE New York Stock Exchange OJK Otoritas Jasa Keuangan Organda Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan PBI Peraturan Bank Indonesia PDB Produk Domestik Bruto PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak PPh Pajak Penghasilan PPn Pajak Pertambahan Nilai PPnBM Pajak Penjualan Atas Barang mewah q-t-q quarter-to-quarter RAPBN Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara RHS Right Hand Side (sisi vertikal kanan) RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional SBI Sertifikat Bank Indonesia SBN Surat Berharga Negara SEZ Special Economic Zone SUN Surat Utang Negara The Fed The Federal Reserve (Bank Sentral Amerika) TTL Tarif Tenaga Listrik USD Dolar Amerika UU Undang-Undang VAT Value Added Tax vs versus y-o-y year-on-year
Indonesian Economic Review and Outlook
RINGKASAN EKSEKUTIF Perekonomian Indonesia masih mengalami perlambatan sebagaimana proyeksi GAMA LEI pada terbitan kuartal-III 2014. Secara year-on-year, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal-III 2014 hanya sebesar 5,01%, tingkat pertumbuhan terendah sejak kuartal IV-2009. Penurunan kinerja ekonomi ini sebagian disebabkan perkembangan ekonomi global yang masih lesu dan rendahnya pembentukan modal tetap bruto. Meskipun demikian, pada kuartal III-2014, surplus Neraca Pembayaran kembali meningkat yang disumbang oleh surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial. Begitu pula pada Neraca Perdagangan Barang yang kembali surplus. Meskipun terjadi perlambatan ekonomi, realokasi subsidi BBM ke sektor produktif diharapkan mampu menunjang kinerja perekonomian mendatang. Apalagi hingga laporan ini ditulis penerimaan perpajakan—yang merupakan sumber utama penerimaan negara—hanya mencapai 75,73% dari target 2014. Selain itu, bagaimana subsidi BBM ini direalokasikan juga turut mendapat perhatian karena hingga saat ini market player masih menanti rencana kerja pemerintah yang tertuang dalam APBN 2015. Pelemahan nilai rupiah, baik dari sisi inflasi maupun nilai tukar, masih terus berlanjut. Bank Indonesia kemudian mengantisipasi pelemahan rupiah ini dengan menaikkan BI rate sebesar 25 bps pada November lalu. Namun demikian, kompensasi kenaikan harga BBM yang diberikan kepada masyarakat miskin diharapkan lebih dari cukup untuk menutupi kenaikan biaya hidup akibat inflasi. Estimasi dari tim Macroeconomic Dashboard menunjukkan jumlah kompensasi yang diberikan pemerintah pada bulan November-Desember 2014 dan Januari-Juni 2015 cukup untuk menutupi kenaikan biaya hidup masyarakat miskin (11,6% vs. 3,2%) hingga 8 bulan mendatang. Pada edisi kali ini GAMA LEI dan konsensus proyeksi indikator makroekonomi memprediksikan masih akan terjadinya penurunan siklus perekonomian. Penurunan ini diperkirakan terjadi akibat situasi makroekonomi nasional dan global yang masih belum kondusif. Namun
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
1
demikian patut diingat bahwa arah perekonomian yang tertuang dalam APBN 2015 masih belum ditetapkan, sehingga perekonomian Indonesia masih sangat mungkin untuk bouncing back di masa mendatang. Perekonomian daerah menunjukkan pertumbuhan yang meningkat di kawasan timur Indonesia yang disumbang oleh meningkatnya ekspor pasca keluarnya izin ekspor mineral. Namun demikian inflasi juga marak terjadi, dimana terdapat 16 provinsi yang memiliki inflasi di atas rata-rata nasional, meningkat dari kuartal-II 2014 dimana hanya ada 12 provinsi yang inflasinya di atas rata-rata nasional. Hal ini patut dicermati terutama oleh Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah yang merupakan ujung tombak pengendali inflasi di daerah. Sementara itu menjelang berakhirnya Tahun 2014, situasi perekonomian ASEAN pada kuartal III-2014 mencatatkan tingkat pertumbuhan sebesar 3,42% dimana lebih rendah dibandingkan capaian serupa pada kuartal II2014 sebesar 4,28% akibat melambatnya pertumbuhan negara-negara utama di kawasan seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina serta tekanan inflasi yang relatif masih tinggi pada produk makanan dan produk impor. Namun sentimen positif para pelaku pasar masih tinggi terhadap kawasan ini yang ditunjukkan dengan pertumbuhan positif sebesar dua digit pada hampir semua indeks pasar saham di kawasan ASEAN, namun sentimen positif tersebut dibayang-bayangi oleh rencana kenaikan basis suku bunga The Fed pada 2015 yang dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya pembalikan arus modal dari kawasan ASEAN kepada negara-negara maju. Isu daya saing pada arus perdagangan internasional masih menjadi kendala di kawasan ini dengan kecenderungan melemahnya mata uang negaranegara di ASEAN diikuti dengan perbaikan yang relatif tidak signifikan pada berbagai indikator daya saing yang dirilis oleh berbagai lembaga internasional terutama ketika kawasan ASEAN memiliki kecenderungan lebih mengandalkan perdagangan ekstra-ASEAN dibandingkan perdagangan intra-ASEAN. Khusus untuk Indonesia yang saat ini sudah mencatatkan neraca perdagangan yang negatif dengan negara-negara utama di kawasan ASEAN bahkan sebelum terlaksananya AEC 2015, harus memberikan perhatian yang lebih serius terkait isu daya saing agar tidak sekedar menjadi “penonton” pada saat AEC 2015 telah terlaksana nantinya.
2
Indonesian Economic Review and Outlook
A. PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN FISKAL
1. Perekonomian Indonesia masih menunjukkan tren perlambatan Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2014 menyentuh angka 5,01% (y-o-y). Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 5,63% (y-o-y). Nampaknya, efek multiplier dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 lalu tidak sebesar yang diharapkan. Namun demikian, melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut sesuai dengan perkiraan GAMA Leading Economic Indicator yang telah lebih dahulu memprediksi adanya penurunan siklus perekonomian Indonesia pada kuartal III-2014. Kian melambatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama beberapa kuartal terakhir ini sejalan dengan melambannya pertumbuhan ekonomi pada dua negara mitra dagang utama Indonesia yaitu Tiongkok dan Jepang. Melemahnya kinerja pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut juga diperburuk oleh harga komoditas global yang masih rendah seiring dengan melemahnya permintaan global. Menurut publikasi Bank Dunia, harga minyak dunia dan harga komoditas non migas pada Oktober 2014 menurun masing-masing sebesar 8,9% (m-t-m) dan 1,0% (m-t-m). Kondisi tersebut turut berdampak buruk bagi kinerja ekspor Indonesia pada kuartal III-2014. S eiring dengan melemahnya kinerja ekspor di Indonesia, SektorIndustri (yang terdiri dari Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih serta Sektor Konstruksi) juga tercatat mengalami perlambatan pada kuartal III-2014. Pertumbuhan Sektor Industri melambat menjadi 4,98% (y-o-y) jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh mencapai 5,32% (y-o-y). Hal serupa juga terjadi pada angka pertumbuhan Sektor Jasa yang turut melambat. Pada kuartal III-2014, Sektor Jasa mencatat pertumbuhan sebesar 6,08% (y-o-y), melambat jika dibandingkan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya yang mencapai 6,24 (y-o-y). Kondisi tersebut disebabkan oleh melemahnya kinerja pada Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa perusahaan seiring dengan melambatnya pertumbuhan kredit pada kuartal III-2014 dimana Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
3
Gambar 1: Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, 2012 - 2014 (y-o-y, dalam %) Pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan tren yang terus melamban selama beberapa kuartal terakhir
Catatan: Sektor Primer: Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; dan Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor Industri: Sektor Industri Pengolahan; Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih; dan Sektor Konstruksi Sektor Jasa: Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan; dan Sektor Jasa-jasa
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Bank Indonesia mengkoreksi proyeksi pertumbuhan kredit di tahun 2014 dari 18,2% (y-o-y) menjadi 14,4% (y-o-y). Penyebab perlambatan tersebut antara lain karena rendahnya permintaan pembiayaan dari nasabah, kenaikan suku bunga dan meningkatnya risiko pemberian kredit. Di sisi lain, Sektor Primer (yang terdiri dari Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan serta Sektor Pertambangan dan Penggalian) mampu tumbuh lebih tinggi pada kuartal III-2014. Menurut data yang dilansir dari BPS, pertumbuhan sektor primer pada kuartal III2014 mencapai 2,56% (y-o-y) lebih tinggi jika dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang hanya mencapai 2,10% (y-o-y). Pertumbuhan sektor primer tersebut terutama didukung oleh pertumbuhan pada S ektor Pertambangan dan Penggalian yang mampu tumbuh menjadi 0,31% (y-o-y) setelah beberapa kuartal terakhir mengalami kontraksi pasca penerapan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada 12 Januari 2014 lalu. Selain itu, musim Lebaran yang jatuh pada bulan Juli 2014 ikut mendorong produksi tanaman pangan dan daging ternak pada Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan. Tercatat pada kuartal III2014, pertumbuhan S ektor P ertanian, P eternakan, K ehutanan dan 4
Indonesian Economic Review and Outlook
Perkembangan Ekonomi Makro dan Fiskal
Gambar 2: Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Pengeluaran, Tahun 2012 - 2014 (y-o-y, dalam %) Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2014 masih ditopang oleh tingginya Konsumsi Rumah Tangga dan Pemerintah
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Perikanan mencapai 3,74% (y-o-y), lebih tinggi dari pertumbuhan pada kuartal sebelumnya yang hanya mencapai 3,43% (y-o-y). Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga mencatat pertumbuhan tertinggi secara year-on-year pada kuartal III-2014. Menurut data yang dilansir oleh BPS, pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga pada kuartal III2014 mencapai 5,31% (y-o-y), lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang hanya mencapai 4,84% (y-o-y). Selanjutnya, pertumbuhan Konsumsi Pemerintah tercatat meningkat signifikan pada kuartal III-2014 yaitu 4,37% (y-o-y) setelah sebelumnya mengalami kontraksi pada kuartal II-2014 hingga mencapai -0,71% (y-o-y). Hal ini terkait dengan peningkatan realisasi belanja barang dan bantuan sosial yang dilakukan pada kuartal III-2014. Selain itu, menurut data Kementerian Keuangan, pola penyerapan belanja pemerintah baik dari belanja barang maupun pegawai juga meningkat pada kuartal III2014. Sementara itu, pertumbuhan pengeluaran Investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB) menunjukkan tren yang terus menurun selama tahun 2014. Pertumbuhan Investasi pada kuartal III-2014 hanya mencapai 4,02% (y-o-y), jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada kuartal I-2014 dan kuartal II-2014 yang masing-masing mencapai 5,99% (y-o-y) dan 5,21% (y-o-y). Hal ini disebabkan oleh perilaku wait and see para investor yang masih mencari aman terutama terkait dengan Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
5
situasi politik di Indonesia pasca Pemilu. Selanjutnya, kinerja Ekspor neto pada kuartal III-2014 masih terbilang cukup lemah. Hal ini disebabkanoleh pertumbuhan nilai Impor yang rendah sebesar -3,63% (y-o-y) dan Ekspor yang masih mengalami kontraksi pada kuartal III-2014 mencapai -0,70% (yo-y). Selanjutnya, BPS melakukan perubahan tahun dasar PDB tahun 2000 menjadi tahun 2010 untuk perhitungan PDB pada tahun 2015 (berlaku per Februari 2015). Menurut BPS, hal ini dilatarbelakangi oleh pengaruh perekonomian global terhadap stuktur perekonomian nasional dalam 10 tahun terakhir. Melalui perubahan tahun dasar ini, maka akan ada penambahan sektor lapangan usaha menjadi 17 lapangan usaha yang digunakan sebagai dasar perhitungan PDB di mana sebelumnya hanya terdapat 9 lapangan usaha. Selain itu, adanya sumber data baru seperti Sensus Penduduk tahun 2010 dan Indeks Harga Produsen (IHP) juga menjadi alasan adanya perhitungan baru tersebut. Pada tahun 2015 mendatang, perhitungan PDB pada sisi pengeluaran pun berubah menjadi 7 skema pengeluaran dengan memasukkan 1 komponen baru yaitu Konsumsi Lembaga Non Profit Rumah Tangga. Seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2014, tingkat pengangguran pada Agustus 2014 juga memburuk menjadi sebesar 5,94% dari Februari 2014 yang mencapai 5,70%. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan angka pengangguran Gambar 3: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka di Indonesia, Agustus 2012 - Agustus 2014 (dalam %) Tingkat pengangguran terbuka memburuk
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
6
Indonesian Economic Review and Outlook
Perkembangan Ekonomi Makro dan Fiskal
Tabel 1: Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Tahun 2012 - 2014 (dalam %) Struktur lapangan pekerjaan di Indonesia pada Agustus 2014 tidak mengalami banyak perubahan dimana Sektor Pertanian masih menjadi sektor yang berkontribusi tinggi dalam penyerapan tenaga kerja
Sumber: BPS dan CEIC (2014, diolah)
pada periode yang sama di tahun sebelumnya, tingkat pengangguran pada Agustus 2014 sedikit mengalami penurunan. Secara keseluruhan, siklus pengangguran di Indonesia pada tahun 2014 cenderung mengikuti musim panen raya yang dimulai pada bulan Februari hingga April. Masa panen raya tersebut ikut mendorong penyerapan tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran ikut membaik pada Februari dan cenderung menurun pada Agustus. Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan kerja pada Agustus 2014 juga menurun menjadi 66,60% jika dibandingkan dengan Februari 2014 yang mencapai 69,17%. Berdasarkan struktur lapangan pekerjaan, Sektor Pertanian masih menjadi penyumbang terbesar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia pada Agustus 2014 dengan kontribusi sebesar 34%. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2014, kontribusi Sektor Pertanian menurun. Menurut data yang dilansir BPS, penduduk yang bekerja pada Sektor Pertanian pada Agustus 2014 mencapai 38,97 juta orang, menurun jika dibandingkan pada Februari 2014 yang mencapai 40,83 juta orang. Hal ini terkait dengan berakhirnya musim panen raya pada April 2014 sehingga mengurangi penyerapan tenaga kerja pada Sektor Pertanian. Selain Sektor Pertanian, sektor-sektor yang berkontribusi tinggi dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia pada Agustus 2014 adalah Sektor Perdagangan dan Jasa Kemasyarakatan yang masing-masing berkontribusi sebesar 21,66% dan 16,07%.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
7
Tabel 2: Perkembangan Kemiskinan di Indonesia 2011 – 2014 Kenaikan harga BBM berpotensi tingkatkan angka kemiskinan di Indonesia
Catatan: * = ukuran hampir miskin adalah 1,2 kali dari garis kemiskinan
Sumber: BPS dan CEIC (2014, diolah)
Sementara itu, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada 18 November 2014 diperkirakan akan meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia. BPS mencatat, garis kemiskinan pada Maret 2014 adalah IDR 302.735 per kapita per bulan dan ukuran hampir miskin mencapai IDR 363.282 per kapita per bulan. Sementara itu, menurut publikasi Bank Dunia yang mengolah data Survei Sosial Ekonomi Nasional per September 2014 27,4% penduduk (sekitar 68 juta penduduk di Indonesia) rentan terhadap kemiskinan. Artinya, apabila terjadi shocks seperti kenaikan harga BBM, kelompok penduduk hampir miskin ini dapat dengan mudah jatuh kebawah garis kemiskinan dan pada akhirnya akan meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia.
2. Fiscal space meningkat seiring turunnya subsidi BBM Subsidi energi pada tahun 2015 mengalami penurunan. Subsidi energi pada APBN tahun 2015 sebesar IDR 344,7 triliun mengalami penurunan bila dibandingkan dengan subsidi energi dalam usulan RAPBN 2015 awal sebesar IDR 363,5 triliun. Penurunan subsidi energi terjadi karena adanya penurunan subsidi BBM sebesar IDR 276 triliun atau turun IDR 15 triliun dari yang direncanakan pada RAPBN 2015 sebesar IDR 291 triliun. Realisasi subsidi BBM tahun ini hingga akhir Oktober 2014, penyaluran BBM subsidi telah mencapai 39,07 juta kl atau 86,1% dari kuota. Oleh karena itu pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di tahun ini, diharapkan memberikan tambahan alokasi anggaran untuk belanja produktif untuk
8
Indonesian Economic Review and Outlook
Perkembangan Ekonomi Makro dan Fiskal
Gambar 4: Perkembangan Subsidi Energi 2011-2015 (IDR Triliun) Subsidi energi mengalami penurunan pada APBN 2015
Sumber: Kementerian Keuangan (2014)
tahun depan. Anggaran tersebut nantinya dapat dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Konsekuensi dari penurunan subsidi BBM adalah penetapan harga baru bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang lebih tinggi. Terhitung 18 November 2014 pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada solar dan premium masing-masing naik sebesar IDR 2000. Dalam APBN-P 2014 telah disepakati besaran subsidi BBM yang besar hingga mencapai IDR 284,7 triliun namun bila dibandingkan dengan subsidi BBM 2015 sudah relatif lebih rendah yaitu sebesar IDR 276 triliun. Pengurangan subsidi yang dilakukan nantinya akan dialihkan pada sektor yang lebih produktif seperti pertanian dan infrastruktur. Namun angka besaran subsidi yang dialihkan ke sektor tersebut belum ada nominal yang jelas dan masih dibicarakan oleh pemerintah. Proporsi penyerapan APBN-P per September kuartal III-2014 tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan APBN-P per September kuartal III2013. Pada kuartal III September 2014, belanja negara sudah mencapai 65,8% bila dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya hanya mencapai 65,4%. Secara nominal, realisasi belanja di tahun 2014 juga lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini dikarenakan persentase realisasi belanja pemerintah pusat pada tahun ini lebih tinggi 3,6%, meskipun realisasi transfer daerah lebih rendah 0,5% dibandingkan persentase realisasi tahun lalu. Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
9
Tabel 3: Realisasi Belanja APBN-P 2014 September 2013:Q3 – September 2014:Q3 Proporsi realisasi belanja dan pencapaian penerimaan APBN-P 2014:Q3 meningkat
Sumber: Kementerian Keuangan, I-account (2014, diolah)
Selain itu, pencapaian realisasi penerimaan APBN-P per September kuartal III-2014 juga lebih tinggi dibandingkan dengan APBN-P per September kuartal III-2013. Realisasi penerimaan negara dan hibah hinggal kuartal III-2014 mencapai 66,1% dari total target penerimaan negara dalam APBN-P 2014. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi penerimaan negara dan hibah dalam APBN-P 2013 yang hanya mencapai 63,3% dari pagu APBN-P 2013. Peningkatan ini disebabkan karena persentase realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lebih tinggi 4,9% meskipun realisasi penerimaan perpajakan lebih rendah 0,7% dibandingkan persentase realisasi tahun lalu. Realisasi penerimaan perpajakan hingga November 2014 masih rendah, tercatat sebesar 75,73% dari target penerimaan pajak. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak – Kementrian Keuangan, realisasi penerimaan pajak dari Januari hingga 14 November 2014 hanya mencapai IDR 812 triliun, atau sekitar 75,73% dari target APBN-P 2014 sebesar IDR 1072,4 triliun. Sehingga penerimaan perpajakan masih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 tercatat sebesar IDR 795,5 triliun atau sekitar 80%. Secara terperinci, penerimaan pajak ini berasal dari PPh Non Migas sebesar IDR 389,16 meningkat dari periode sebelumnya IDR 359,11 triliun; PPN dan PPnBM dari IDR 309,29 triliun meningkat menjadi IDR 328,49 triliun. Selanjutnya dari PPh migas tercatat IDR 74,50 triliun meningkat dari periode sebelumnya IDR 71,69; Pajak lainnya juga mengalami kenaikan dari Rp4,28 triliun menjadi IDR 5,05 triliun dan PBB mengalami penurunan menjadi IDR 14,91 triliun dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya IDR 17,36 triliun. Melihat kondisi ini, pemenuhan target penerimaan pajak APBN-P 2014 masih sulit tercapai. Saat ini APBN 2015 telah disahkan dan sejumlah asumsi makro mengalami perubahan. Beberapa asumsi indikator makroekonomi dalam APBN 2015 yang mengalami perubahan dibandingkan RAPBN 2015 adalah 10
Indonesian Economic Review and Outlook
Perkembangan Ekonomi Makro dan Fiskal
Tabel 4: Perbandingan Asumsi Makro dalam APBN-P 2014, RAPBN 2015, dan APBN 2015 Penyesuaian asumsi makro setelah disahkannya APBN 2015
Sumber: Kementerian Keuangan (2014)
pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari 5,6% menjadi 5,8%, tingkat bunga SPN 3 bulan menurun dari 6,2% menjadi 6,0% dan lifting minyak bumi mengalami kenaikan dari 845 ribu barel per hari menjadi 900 ribu barel per hari. Pendapatan negara dan belanja pemerintah dalam APBN 2015 naik dari target RAPBN 2015. Pendapatan negara dalam APBN 2015 disepakati sebesar IDR 1.762,3 triliun, naik IDR 31,3 triliun dari RAPBN 2015. Pendapatan negara tersebut sebagian besar berasal dari pendapatan dalam negeri sebesar IDR 1.790,3 triliun, terdiri dari perpajakan IDR 1.380 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) IDR 410,3 triliun dan Hibah IDR 3,3 triliun. Sementara itu, belanja negara dalam APBN 2015 juga mengalami kenaikan menjadi Rp2.039,5 triliun. Target tersebut meningkat sebesar IDR 19,6 triliun dari RAPBN 2015. Kenaikan belanja terjadi karena dalam APBN 2015 terdapat kenaikan belanja kementrian dan lembaga (K/L) menjadi IDR 647,3 triliun, meningkat sebesar IDR 46,7 triliun dibandingkan asumsi RAPBN 2015. Adapun rincian belanja negara yang lain diantaranya non kementerian/lembaga IDR 745,1 triliun dan transfer ke daerah IDR 647,0 triliun. Sementara itu, dalam APBN 2015 defisit anggaran disepakati turun menjadi 2,21% dari PDB. Pemerintah dan Badan anggaran DPR telah menyepakati besaran defisit dalam APBN 2015 diturunkan menjadi IDR 245,9 triliun dari usulan dalam RAPBN 2015 sebesar IDR 257,4 triliun (2,32% dari PDB). Penurunan defisit anggaran terjadi dikarenakan pembiayaan anggaran dalam negeri turun dari IDR 281,4 triliun menjadi IDR 269,7 triliun. Adanya penurunan defisit anggaran ini dapat mengurangi rencana penambahan utang yang signifikan dan membantu mengatasi kebijakan tingkat suku bunga di perekonomian secara global terhadap sumber pembiayaan pemerintah. Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
11
Tabel 5: Defisit Anggaran dalam APBN-P 2014, RAPBN 2015 dan APBN 2015 (IDR Triliun) Revisi target defisit anggaran RAPBN 2015 turun 2,21%
Sumber: Kementerian Keuangan (2014)
Masyarakat dan market player sedang menunggu rancangan dan implementasi dari visi misi Presiden Joko Widodo. Khususnya bagi para pemegang kepentingan untuk melihat kondisi Indonesia di masa mendatang dan melihat kesesuain visi misi melalui program rencana kerja pemerintah yang sudah direncanakan. Berbagai kebijakan Presiden Joko Widodo telah dilakukan setelah beliau dilantik tanggal 20 Oktober 2014 seperti diantaranya menaikan harga BBM. Sehingga perlu adanya penyesuaian pada rencana anggaran untuk APBN-P 2015 mendatang. Selain itu rancangan dan implementasi visi dan misi tersebut juga akan dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2014–2019. Namun hingga saat ini RPJMN 2014–2019 masih dalam pembahasan. Sejauh ini pembahasan RPJMN tersebut telah masuk dalam tahapan Musrembang Regional setelah itu penyusunan dan selanjutnya akan dibawa ke tingkat Musrembang Nasional untuk kemudian dipaparkan pada sidang kabinet pada akhir tahun. Sehingga RPJMN 2014-2019 dan APBN-2015 diharapkan sudah bisa ditetapkan pada awal Januari mendatang.
12
Indonesian Economic Review and Outlook
B. SITUASI MONETER DAN PASAR KEUANGAN
1. Rupiah masih tertekan Sempat menurun pada Oktober 2014, pergerakan IHSG pada November 2014 menuju arah positif. Pada penutupan bursa 28 November 2014, IHSG ada pada level 5.149,8, naik 1,19% dibanding bulan Oktober 2014. Sementara itu, pada bulan Oktober 2014 IHSG ditutup melemah 0,93% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini terkait dengan dinamika politik dalam negeri (kisruh DPR–MPR) serta regional Asia (kondisi politik Hong Kong dan pelemahan di beberapa bursa Asia) yang memengaruhi sentimen pasar, sedangkan pertumbuhan pada November 2014 sedikit tertahan oleh isu kenaikan BI Rate. Di sisi lain, pembelian neto oleh investor asing pada kuartal III-2014 tercatat IDR 4,35 triliun, lebih rendah dari kuartal II-2014 yang mencapai IDR 19,5 triliun. Nilai kapitalisasi saham pada November 2014 tercatat mencapai IDR 5.139,7 triliun. Pasar obligasi menunjukkan penurunan imbal hasil obligasi (yield) SUN. Pada Oktober 2014, indeks yield ada pada level 8,16%, menurun 28 bps dibandingkan bulan sebelumnya. Kemudian, pada November 2014 indeks Gambar 5: Pergerakan IHSG (poin) dan Indeks Imbal Hasil SUN Tenor 10 Tahun (dalam %), November 2011 – November 2014 IHSG positif, Yield SUN menurun pada dua bulan terakhir
Sumber: Bloomberg, IDX, dan CEIC (2014)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
13
yield ada pada level 7,83%, menurun 33 bps dari bulan Oktober 2014. Turunnya indeks yield SUN tersebut menandakan investor optimis dengan keadaan perekonomian Indonesia ke depannya. Keadaan pasar juga turut mendukung positifnya sentimen terhadap obligasi negara, diantaranya keputusan ECB untuk memberikan stimulus dan juga perekonomian Tiongkok kuartal III-2014 yang tumbuh diatas perkiraan. Sementara itu, investor asing mencatatkan pembelian neto SBN sebesar IDR 43,79 triliun pada kuartal III-2014, lebih tinggi dari kuartal II-2014 yang tercatat IDR 42,68 triliun. Cadangan devisa kembali menurun. Pada September 2014 cadangan devisa tercatat menurun USD 0,05 miliar dibandingkan bulan sebelumnya, menjadi IDR 111,16 miliar. Sukses penerbitan Global Sukuk senilai USD 1,5 miliar pada September 2014 tidak cukup mampu menopang kebutuhan valas. Pada Oktober 2014, posisi devisa Indonesia berada pada level USD 111,97 miliar, meningkat sebesar USD 0,8 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, pada akhir November 2014, cadangan devisa kembali menurun USD 0,82 miliar dari bulan sebelumnya menjadi USD 111,14 miliar. Di sisi lain, rupiah belum menunjukkan perbaikan signifikan dalam tiga bulan terakhir. Pada akhir September 2014, rupiah tercatat pada level IDR 12.212 per USD (melemah 4,22% m-t-m), pada Oktober 2014 tercatat IDR 12.082 per USD (menguat 1,06% m-t-m), sedangkan pada November 2014 tercatat IDR 12.196 (melemah 0,94% m-t-m). Pelemahan rupiah masih Gambar 6: Cadangan Devisa Indonesia (USD Miliar) dan Perkembangan Nilai Tukar (IDR/USD), November 2011 – November 2014 Cadangan devisa menurun, rupiah kembali melemah
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
14
Indonesian Economic Review and Outlook
Situasi Moneter dan Pasar Keuangan
dipengaruhi oleh sentimen global yang menunggu kejelasan kenaikan Fed Funds Rate (FFR) oleh The Fed. Selain itu, isu domestik terkait dengan defisit Neraca Transaksi Berjalan (CAD) turut memengaruhi sentimen pasar, meski saat ini sudah membaik dengan pengurangan defisit menjadi USD 6,8 miliar pada kuartal III-2014. Untuk memperbaiki kinerja kurs rupiah, BI melakukan upaya pengendalian transaksi valas dan lindung nilai (swap). Pada September 2014 BI mengeluarkan empat PBI sebagai penyempurnaan peraturanperaturan sebelumnya. Empat PBI tersebut antara lain PBI No. 16/16/PBI/2014 (terkait transaksi valas antara bank dan pihak domestik), PBI No. 16/17/PBI/2014 (terkait transaksi valas antara bank dan pihak asing), PBI No. 16/18/PBI/2014 (terkait transaksi swap kepada bank), dan PBI No. 16/19/PBI/2014 (terkait transaksi swap kepada Bank Indonesia). Peraturan tersebut bertujuan untuk mencapai pendalaman pasar keuangan dengan ketersediaan likuiditas, kemudahan transaksi, kewajaran harga, serta peminimalan resiko, dan mulai efektif pada 10 November 2014. Tren kenaikan suku bunga deposito berjangka berhenti, namun masih di atas tingkat suku bunga penjaminan. Suku bunga deposito berjangka mulai menurun pada September (kuartal III) 2014, yang tercatat sebesar 8,48%, lebih tinggi 16 bps dari kuartal II-2014 yang tercatat 8,32%. Pada Oktober 2014, suku bunga depostito berjangka satu bulan tercatat kembali Gambar 7: Perkembangan Tingkat Suku Bunga Penjaminan LPS dan Deposito, 2011 – 2014* (dalam %) Suku bunga deposito berjangka turun, suku bunga penjaminan masih tetap
Catatan: * = Oktober 2014 (deposito berjangka), November 2014 (suku bunga penjaminan)
Sumber: Bank Indonesia, LPS, dan CEIC (2014)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
15
menurun menjadi 8,24%, turun 24 bps dibandingkan bulan sebelumnya. Meski terjadi penurunan suku bunga deposito berjangka satu bulan, suku bunga kredit terus menaik. Rata-rata suku bunga kredit pada Oktober 2014 sebesar 12,93%, lebih tinggi dari September 2014 yang sebesar 12,88% dan Agustus 2014 yang sebesar 12,86%. Akibatnya, penyaluran kredit terus melambat dengan tumbuh sebesar 12,4% (y-o-y) pada Oktober 2014, dibandingkan pada September 2014 (12,6% y-o-y) dan pada Agustus 2014 (13,6% y-o-y). Secara kuartalan, suku bunga kredit pada kuartal III-2014 tercatat lebih tinggi 12 bps dibandingkan kuartal II-2014. Sementara suku bunga deposito menaik, suku bunga penjaminan LPS tetap pada level 7,75%. Hingga saat laporan ini ditulis, LPS belum menaikkan suku bunga penjaminan sejak Mei 2014 dan dipertahankan pada November 2014. Hal tersebut dapat mengindikasikan belum ada perubahan signifikan pada kenaikan suku bunga tabungan agregat setelah evaluasi yang dilakukan LPS. Di sisi lain, kondisi perbankan masih menunjukkan pengetatan likuiditas ditandai masih tingginya suku bunga dan mulai menunjukkan perlambatan siklus keuangan. BI Rate naik 25 bps sebagai respon kenaikan harga BBM bersubsidi. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 18 November 2014 menetapkan BI Rate di level 7,75%. Selain pengendalian lonjakan harga temporer akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, kebijakan tersebut diputuskan dengan pertimbangan penyesuaian pasar terhadap kebijakan Gambar 8: Perkembangan BI Rate, November 2011 – November 2014 (dalam %) Harga BBM subsidi naik, BI Rate merespon naik 25 bps
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
16
Indonesian Economic Review and Outlook
Situasi Moneter dan Pasar Keuangan
Gambar 9: Tingkat Inflasi, November 2011 – November 2014 (y-o-y, dalam %) Tingkat harga umum kembali meningkat selama tiga bulan terakhir, inflasi tercatat 6,23% pada November 2014
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
makroprudensial yang mencakup penyaluran kredit produktif oleh perbankan serta pendalaman pasar melalui kebijakan terkait giro wajib minimum dan loan to deposit ratio , yang digunakan sebagai upaya memperbanyak sumber pendanaan bagi bank. Sampai akhir November, pasar merespon positif terhadap perubahan BI Rate ini yang ditunjukkan positifnya IHSG. Dengan kenaikan BI Rate, BI optimis inflasi dapat terkendali. Selanjutnya, pada edisi IERO kali ini, tim Macroeconomic Dashboard menghitung perbandingan rasio kompensasi terhadap pengeluaran rumah tangga miskin dengan kenaikan inflasi komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kompensasi yang diberikan pemerintah pada bulan November-Desember tahun 2014 dan Januari-Juni 2015 bisa untuk menutupi kenaikan biaya hidup kelompok miskin (11,6% vs. 3,2%) sampai 8 bulan yang akan datang. Inflasi pada komoditas yang dikonsumsi kelompok miskin lebih tinggi daripada inflasi umum karena besarnya bobot komoditas makanan dalam bundle konsumsi rumah tangga miskin dibandingkan rumah tangga pada umumnya (3,2% vs. 1,4%) dan kelompok makanan merupakan sumber inflasi terbesar. Perbandingan ini diakui tidak sepenuhnya tepat karena inflasi yang dijadikan referensi adalah inflasi tahun 2014 sedangkan dampak inflasioner dari kenaikan harga BBM diperkirakan tidak hanya terbatas pada bulan November-Desember 2014 saja namun bisa Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
17
Tabel 6: Perkembangan Inflasi dan Kompensasi Kenaikan Harga BBM di Indonesia, 2013 – 2014 Cash transfer yang sudah dan akan dilanjutkan pada tahun 2015 dinilai bisa memberikan kompensasi atas kenaikan biaya hidup rumah tangga miskin akibat kenaikan harga BBM pada tahun 2014 untuk 8 bulan yang akan datang
Catatan: * periode kenaikan harga BBM ** dihitung dengan menggunakan rumus 2,25 x ∆ Inflasi Umum. 2,25 merupakan asumsi Kementerian Keuangan mengenai angka perbandingan antara inflasi umum dan inflasi barangbarang yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin *** dihitung dengan mengalikan garis kemiskinan dan rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Indonesia yaitu 3,8 **** jumlah bulan kompensasi dikalikan dengan besarnya kompensasi per bulan dimana jumlah kompensasi tahun 2013 adalah sebesar IDR 150.000 per Kepala Keluarga (KK) yang diberikan selama 5 bulan, sedangkan jumlah kompensasi tahun 2014 adalah sebesar IDR 200.000 per KK yang diberikan selama 8 bulan sampai dengan Juni 2015
Sumber: BPS, CEIC dan Kementerian Keuangan (2014, diolah)
terbawa hingga bulan Januari 2015. Selain itu timing antara dampak inflasi yang lebih banyak terjadi pada tahun 2014 dengan dana kompensasi (cash transfer) yang 75%-nya diterima pada tahun 2015 jelas memberikan dampak kesejahteraan yang berbeda dari cash transfer itu sendiri. Efek kenaikan harga BBM bersubsidi pada pertengahan November 2014 cukup nampak terlihat. Inflasi November 2014 tercatat sebesar 6,23% (y-o-y). Jika dilihat dekomposisinya, komponen harga diatur pemerintah mengalami kenaikan 11,39% (y-o-y), turut menyebabkan komponen harga bergejolak naik menjadi 7,96% (y-o-y), sedangkan pada komponen inti bergerak stabil tercatat sebesar 4,21% (y-o-y). Secara bulanan, inflasi umum tercatat 1,5% (m-t-m), komponen harga diatur pemerintah sebesar 4,2% (m-t-m), komponen harga bergejolak sebesar 2,37% (m-t-m), dan komponen inti sebesar 0,4% (m-t-m). Dampak kenaikan BBM tersebut pada November 2014 belum terlalu signifikan, namun akan signifikan pada satu bulan setelahnya. Selain BBM subsidi, penyebab kenaikan pada komponen harga diatur pemerintah adalah tarif angkutan umum darat dan tarif tenaga listrik (TTL). Di sisi lain, inflasi pada November 2014 tersebut lebih tinggi dari Oktober 2014 yang tercatat 4,83% (y-o-y).
18
Indonesian Economic Review and Outlook
Situasi Moneter dan Pasar Keuangan
Tabel 7: Tingkat Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 – 2014 (2012=100, m-t-m, dalam %) Harga BBM bersubsidi naik 30,76%, pengeluaran Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan naik 4,29% (m-t-m)
Catatan: (1) Bahan Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Menurut dekomposisinya, komponen inti tercatat 4,02% (y-o-y), komponen harga diatur pemerintah tercatat 7,57% (y-o-y), sedangkan komponen harga bergejolak tercatat 4,89% (y-o-y) pada Oktober 2014. Setelah sempat menurun, harga kelompok pengeluaran bahan makanan dan transportasi, komunikasi, dan jasa jeuangan kembali meningkat tajam pada November 2014. Inflasi tertinggi November 2014 tercatat pada kelompok pengeluaran transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 4,29% (m-t-m) dan disusul kelompok pengeluaran bahan makanan sebesar 2,15% (m-t-m). Selain imbas kenaikan biaya transportasi, kenaikan harga pada kelompok pengeluaran bahan makanan diakibatkan oleh langkanya pasokan cabai merah berkaitan gagal panen di beberapa daerah. Di sisi lain, kelompok pengeluaran sandang terjadi deflasi sebesar 0,08% (m-t-m) pada November 2014. Sementara itu, inflasi tertinggi pada Oktober 2014 terjadi pada kelompok pengeluaran perumahan, listrik, gas, dan bahan bakar yang tercatat 1,04% (m-t-m) karena kenaikan TTL dan LPG. Sub kelompok transportasi dalam kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan menjadi kelompok pengeluaran yang sangat terdampak terkait dengan kenaikan harga BBM bersubsidi. Merujuk pada Organda, BBM menyumbang sekitar 30–35% dari struktur biaya dan Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
19
ketika harga BBM naik akan menambah biaya operasional sekitar 35–40% pada sektor transportasi. Dengan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 30,76%, maka diperkirakan akan terjadi kenaikan sebesar 10,76–12,3% pada kelompok pengeluaran transportasi. Namun, pada November 2014, kenaikan pada sub kelompok transportasi sebesar 6,03% (m-t-m), lebih rendah dari perkiraan. Secara keseluruhan, kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan naik sebesar 6,58% (y-o-y) atau 4,29 (m-t-m). Secara umum, inflasi terjadi di 82 kota Indonesia yang disurvei pada dalam tiga bulan terakhir. Pada September 2014, inflasi terjadi di 64 kota dengan angka tertinggi tercatat di Pangkal Pinang sebesar 1,29% (m-t-m) dan deflasi di 18 kota dengan dengan angka terendah tercatat di Tual sebesar -0,89% (m-t-m). Pada Oktober 2014, inflasi terjadi di 74 kota dengan angka tertinggi tercatat di Tual sebesar 2,18% (m-t-m) dan deflasi di 8 kota dengan angka terendah tercatat di Sorong sebesar -1,08% (m-t-m). Pada November, inflasi terjadi di seluruh kota dengan angka tertinggi tercatat di Padang sebesar 3,44% (m-t-m) dan angka terendah tercatat di Manokwari sebesar 0,07% (m-t-m).
Gambar 10: Utang Luar Negeri Indonesia, September 2011 – September 2014 (USD Miliar) Total utang luar negeri Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya utang luar negeri swasta, meski utang luar negeri pemerintah dan bank sentral mengalami penurunan
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
20
Indonesian Economic Review and Outlook
Situasi Moneter dan Pasar Keuangan
2. Kemampuan membayar pinjaman membaik Utang luar negeri Indonesia naik menjadi USD 292 miliar pada September 2014. Nilai tersebut mengalami peningkatan sebesar 0,01% dibandingkan Juli 2014 dan sebesar 0,56% dibandingkan Agustus 2014. Sementara secara year-on-year, utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan sebesar 11,19%. Peningkatan utang luar negeri Indonesia disebabkan oleh adanya peningkatan utang luar negeri swasta yang mencapai USD 159 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 0,79% dibandingkan Juli 2014 dan 1,86% dibandingkan Agustus 2014. Peningkatan utang luar negeri oleh swasta dikarenakan masih sulit dan mahalnya sumber pembiayaan dari dalam negeri. Peningkatan utang luar negeri swasta tersebut hendaknya perlu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah baru mengingat saat ini nilai tukar rupiah atas US dolar cenderung terdepresiasi. Hal yang berbeda justru terjadi pada utang luar negeri pemerintah dan bank sentral di mana terjadi penurunan sebesar 0,94% dibandingkan dengan Bulan September 2014 meski secara year-on-year terjadi peningkatan sebesar 7,89%. Utang luar negeri jangka panjang masih menjadi favorit. Utang luar negeri jangka panjang pemerintah dan bank sentral pada September 2014 mencapai USD 120 miliar. Jumlah tersebut menurun sebesar 0, 1% dibandingkan Agustus 2014 meski secara year-on-year mengalami Gambar 11: Utang Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Jangka Waktu (Remaining Maturity), Oktober 2011-Oktober 2014 (USD Miliar) Utang luar negeri jangka pendek masih didominasi oleh swasta sedangkan utang luar negeri jangka panjang didominasi oleh pemerintah dan bank sentral
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
21
peningkatan sebesar 12%, sedangkan utang luar negeri jangka panjang swasta mengalami pertumbuhan sebesar 2,83% dibandingkan secara month-to-month dan sebesar 17,65% secara year-on-year. Sementara itu, utang luar negeri jangka pendek masih didominasi oleh swasta yang mencapai USD 45 miliar pada September 2014 meskipun jumlah tersebut lebih rendah sebesar 0,49% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sedangkan utang luar negeri jangka pendek pemerintah dan bank sentral mencapai USD 11,95 miliar atau turun sebesar 8,69% (m-t-m) dan 23,38% (y-o-y). Daya tarik Indonesia terhadap investor asing masih kuat. Hal tersebut terlihat dari kepemilikan asing atas obligasi negara pada Bulan September 2014 yang mencapai IDR 447 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 3,03% dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan sebesar 52,09% secara year-on-year. Peningkatan kepemilikan asing atas obligasi neg a ra diindikasikan karena besarnya tingkat bagi hasil dari obligasi tersebut sehingga menarik investor asing untuk memiliki obligasi tersebut. Tingginya tingkat bagi hasil juga disebabkan oleh meningkatnya inflasi sebagai akibat gejolak politik dan isu kenaikan harga BBM. Selain itu, kepemilikan asing atas ekuitas juga mengalami peningkatan hingga mencapai IDR 1.846 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 1,17% secara month-to-month dan sebesar 20% dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2013. Hal yang Gambar 12: Kepemilikan Asing atas Surat Berharga di Indonesia, September 2011 – September 2014 (IDR Triliun) Kepemilikan asing atas obligasi pemerintah dan ekuitas terus mengalami peningkatan meskipun kepemilikan atas Sertifikat Bank Indonesia terus menurun
Sumber: Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan CEIC (2014)
22
Indonesian Economic Review and Outlook
Situasi Moneter dan Pasar Keuangan
Gambar 13: Komposisi Surat Berharga Indonesia, Oktober 2011-Oktober 2014 (IDR Triliun) Surat Berharga Negara Outstanding mengalami peningkatan
Sumber: DJPU Kementerian Keuangan dan CEIC (2014)
berbeda terjadi pada kepemilikan asing atas Sertifikat Bank Indonesia yang terus mengalami penurunan terutama pada Bulan April 2014 hingga September 2014. Pada Bulan September 2014, kepemilikan asing atas Sertifikat Bank Indonesia hanya sebesar IDR 1 triliun atau mengalami penurunan sebesar 75,64% secara month-to-month dan 70,21% secara yearon-year. Kondisi tersebut menjadi fenomena yang cukup menarik mengingat nilai tukar rupiah terus melemah namun kepemilikan asing atas Sertifikat Bank Indonesia justru mengalami penurunan. Surat berharga negara outstanding mencapai IDR 1.928 triliun pada September 2014. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 0,5% dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan sebesar 19,09% dibandingkan bulan September tahun 2013. Peningkatan tersebut disebabkan karena peningkatan surat berharga negara outstanding (tradable) yang mengalami peningkatan sebesar 0,73% secara month-to-month dan sebesar 23% secara year-on-year. Hal yang berbeda terjadi pada surat berharga negara outstanding (nontradable) di bulan September 2014 yang mengalami penurunan sebesar 0,91% (m-t-m) dan 0,62% (y-o-y). Kemampuan Indonesia untuk membayar utang menguat. Tingkat debt service ratio pada kuartal III-2014 sebesar 43,44% atau mengalami penurunan sebesar 9,27% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Keadaan tersebut tentu menjadi salah satu indikator membaiknya perekonomian Indonesia meskipun rasio utang luar negeri terhadap ekspor Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
23
Gambar 14: Indikator Beban Utang Luar Negeri Indonesia, September 2011-September 2014 (%) Debt service ratio Indonesia mengalami penurunan meskipun rasio utang luar negeri terhadap ekspor dan PDB meningkat
Sumber: Bank Indonesia (2014)
dan PDB masih relatif tinggi hingga mencapai 135,98% dan 34,68%. 3. Tren peningkatan surplus neraca pembayaran dan perdagangan masih berlanjut Pada kuartal III-2014, surplus Neraca Pembayaran kembali meningkat. Pada kuartal III-2014 surplus tumbuh 50,71% (q-to-q) menjadi USD 6,47 miliar atau secara absolut bertambah sebesar USD 2,18 miliar dari kuartal II2014. Berlanjutnya tren kenaikan surplus tersebut disebabkan karena penurunan defisit Neraca Transaksi Berjalan yang cukup besar. Defisit Neraca Transaksi Berjalan turun sebesar USD 1,85 miliar dari kuartal II2014. Namun demikian perbaikan kinerja Neraca Transaksi Berjalan tidak diikuti dengan kenaikan surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial yang justru turun sebesar USD 0,66 miliar. Neraca Transaksi Berjalan mengalami penurunan defisit di kuartal III2014. Defisit turun dari USD 8,69 miliar di kuartal II-2014 menjadi defisit USD 6,84 miliar. Secara relatif, defisit turun sebesar 21,32% (q-to-q) dan 20,84% (y-o-y). Perbaikan kinerja tersebut ditopang oleh meningkatnya surplus Neraca Perdagangan Barang terutama dari komoditas non migas serta penurunan defisit pada Neraca Jasa-Jasa dan Pendapatan Primer. Defisit Neraca Jasa-Jasa turun sebesar USD 0,38 miliar terutama dipengaruhi oleh menurunnya pembayaran jasa pelayaran yang mengikuti penurunan pada kegiatan impor. Selain itu adanya lonjakan surplus Neraca Jasa 24
Indonesian Economic Review and Outlook
Situasi Moneter dan Pasar Keuangan
Gambar 15: Neraca Pembayaran Indonesia 2011:Q3-2014:Q3 (USD Miliar) Surplus Neraca Pembayaran Indonesia meningkat
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Perjalanan sebesar USD 0,28 miliar juga turut berpengaruh. Adapun penurunan defisit Neraca Pendapatan Primer sebesar USD 0,14miliar lebih disebabkan karena kinerja Neraca Pendapatan Investasi membaik. Surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial menurun tipis pada kuartal III-2014. Surplus turun tipis 4,59% dari sebelumnya sebesar USD 14,33 miliar di kuartal II-2014 menjadi USD 13,67 miliar. Namun demikian secara year on year, surplus justru tumbuh pesat lebih dari dua ratus persen yakni 202,76%(surplus tahun 2013 hanya sebesar USD 4,52 miliar). Memburuknya kinerja Neraca Transaksi Modal dan Finansial dikarenakan banyaknya investasi portofolio yang keluar dari Indonesia. Pada kuartal III2014 aliran masuk investasi portofolio di Indonesia adalah sebesar USD 5,79 miliar, sedangkan di kuartal sebelumnya sebesar USD 9,31 miliar. Hal lain yang juga turut berpengaruh terhadap kinerja Neraca Transaksi Modal dan Finansial adalah menurunnya surplus Neraca Investasi Lainnya sebesar USD 1,06 miliar (q-to-q) yang dipicu oleh defisit pada sisi aset. Indonesia mencatat surplus Neraca Perdagangan Barang sebesar USD 1,55 miliar pada kuartal III-2014. Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada kuartal sebelumnya yang defisit USD 0,13 miliar. Surplus Neraca Perdagangan Barang didorong oleh ekspansi surplus Neraca Non Migas dan Neraca Barang Lainnya. Sementara itu defisit Neraca Migas masih relatif besar dan tidak banyak berubah dibandingkan kuartal sebelumnya. Penurunan subsidi BBM akhir tahun ini diharapkan membawa perbaikan pada Neraca Migas pada kuartal I-2015 nanti. Secara year on year, pada kuartal III-2014 surplus Neraca Perdagangan Barang meningkat sebesar Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
25
Gambar 16: Neraca Perdagangan Barang , 2011:Q3-2014:Q3 (USD Miliar) Kinerja Neraca Perdagangan Barang membaik
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
USD 1,47 miliar, lebih rendah dibanding peningkatan surplus q-to-q sebesar USD 1,68 miliar. Pada kuartal III-2014 surplus Neraca Non migas meningkat dua kali lipat dibandingkan kuartal sebelumnya. Indonesia mencatat pertumbuhan surplus sebesar 102,7% (q-to-q) dari USD 2,72 miliar menjadi USD 4,33 miliar. Ekspansi surplus tersebut disebabkan adanya penurunan impor komoditas non migas sebanyak USD 2,26 miliar di kuartal III-2014. Penurunan nilai impor terbesar terjadi pada komoditas produk logam dasar yang mencapai USD 0,53 miliar. Kemudian diikuti berturut-turut oleh komoditas peralatan listrik, alat ukur dan optik (USD 0,28 miliar) serta komoditas tekstil dan produk turunannya (USD 0,26 miliar). Sedangkan dari sisi ekspor, nilai ekspor komoditas non migas justru turunsekitar USD 0,65 miliar dari kuartal sebelumnya. Defisit Neraca Minyak dan Gas sedikit berkurang di kuartal III-2014 dipengaruhi turunnya nilai impor minyak. Defisit Neraca Migas pada kuartal ini mencapai USD 3,14 miliar. Berkurangnya defisit Neraca Migas dipicu oleh turunnya nilai impor komoditas minyak mentah sekitar 16,64% (q-to-q), meskipun pada saat yang bersamaan surplus Neraca Gas turun sebesar USD 0,05 miliar akibat nilai impor yang tumbuh besar hingga mencapai 14,63%. Ekspor bersih Indonesia bernilai positif pada kuartal III-2014 setelah pada kuartal sebelumnya negatif. Di kuartal III-2014, Indonesia memperoleh surplus dari aktivitas perdagangan internasional sebesar USD 1,56 miliar. Indonesia memiliki surplus perdagangan internasional dengan 26
Indonesian Economic Review and Outlook
Situasi Moneter dan Pasar Keuangan
Tabel 8: Perkembangan Ekspor-Impor berdasarkan Kawasan tahun 2014 (USD Miliar) Ekspor bersih Indonesia positif
Sumber: Bank Indonesia (2014)
semua kawasan kecuali terhadap kawasan Australia-Oseania yang kembali membukukan defisit (dari defisit USD 0,10 miliar pada kuartal II-2014 menjadi defisit USD 0,25 miliar di kuartal III-2014). Pada kuartal III-2014, kenaikan nilai surplus terbesar secara q-to-q terjadi pada aktivitas perdagangan dengan kawasan Asia yakni sebesar USD 1,08 miliar. Terhadap kawasan ASEAN, ekspor bersih Indonesia pada kuartal III-2014 adalah sebesar USD 2,30 miliar dengan pertumbuhan q-to-q 9,54%. Ekspor bersih dengan ASEAN secara persentase mencakup 36,38% dari total ekspor bersih dengan seluruh negara-negara kawasan Asia lainnya. Nilai ekspor Indonesia mengalami kontraksi dengan beberapa kawasan. Kawasan-kawasan tersebut adalah Asia (-2,76%), AustraliaOseania (-15,30%), dan Afrika (-2,98%). Sementara ekspansi nilai ekspor Indonesia terjadi pada perdagangan dengan kawasan Amerika (0,86%) dan Eropa (5,13%). Selain itu dengan kawasan ASEAN, nilai ekspor Indonesia juga turun dari USD 10,05 miliar menjadi USD 9,60 miliar. Secara keseluruhan ekspor Indonesia turun sebesar 1,94% dari USD 44,50 miliar (Kuartal II-2014) menjadi USD 43,64 miliar (Kuartal III-2014). Pada kuartal III-2014 nilai impor Indonesia turun 5,71% (q-to-q). Secara persentase penurunan terbesar dialami oleh kawasan Asia yakni mencapai 7,54%. Kemudian diikuti berturut-turut oleh kawasan Amerika (6,71%), Eropa (-6,08%), dan Australia-Oseania (-5,69%). Kenaikan impor hanya terjadi pada perdagangan dengan kawasan Afrika yakni tumbuh sebesar 0,05%. Adapun dengan kawasan ASEAN, sebagaimana halnya terhadap kawasan Asia lainnya, juga mengalami pertumbuhan negatif 4,71% dari sebelumnya impor sebesar USD 7,95 miliar menjadi USD 7,29 miliar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penurunan nilai impor Indonesia pada kuartal III-2014 yang lebih besar dibanding penurunan nilai ekspor mengakibatkan nilai ekspor bersih Indonesia bernilai positif. Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
27
C. GAMA LEI DAN KONSENSUS PROYEKSI EKONOMI
1. GAMA Leading Economic Indicator Leading Economic Indicator merupakan salah satu model early warning system untuk memprediksi arah pergerakan ekonomi satu kuartal ke depan. Tim Macroeconomic Dashboard FEB UGM mengembangkan model GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI) dengan menggunakan uji kuantitatif dan kualitatif untuk menghasilkan prediksi terbaik. Titik balik serta kenaikan/penurunan pada model GAMA LEI digunakan untuk memprediksi arah pergerakan perekonomian Indonesia satu kuartal ke depan. GAMA LEI disusun dari berbagai macam indikator yang telah melewati uji statistik yang ketat. Kinerja pada variabel makro seperti investasi, konsumsi semen, dan jumlah wisatawan yang datang serta kapitalisasi pasar saham BEI dan indeks komposit NYSE dari pasar modal cukup berpengaruh pada kondisi perekonomian. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa beberapa indikator ekonomi makro lainnya dapat berubah dengan cepat dalam beberapa waktu ke depan. Gambar 17: GAMA Leading Economic Indicator GAMA LEI memprediksikan kecenderungan penurunan siklus perekonomian Indonesia yang masih berlanjut
28
Indonesian Economic Review and Outlook
GAMA LEI dan Konsensus Proyeksi Ekonomi
GAMA LEI mampu menghasilkan perkiraan siklus perekonomian (PDB) Indonesia dengan akurat pada beberapa waktu sebelumnya. GAMA LEI yang dihasilkan edisi-edisi sebelumnya pada tahun 2014 ini telah telah berhasil memprediksi perlambatan ekonomi selama tiga kuartal, yaitu pada kuartal I hingga kuartal III tahun 2014. GAMA LEI juga masih memprediksikan kinerja perekonomian Indonesia yang menunjukkan perlambatan pada kuartal IV tahun 2014. Hal tersebut disebabkan adanya penurunan kinerja pada beberapa indikator kunci perekonomian Indonesia yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun dibandingkan kuartal sebelumnya. Keberagaman pola pada pertumbuhan ekonomi Indonesia serta proyeksi siklus perekonomian dalam model GAMA LEI menghasilkan peramalan yang komprehensif. Peramalan siklus bisnis menekankan pada pergerakan siklus perekonomian apakah berada pada fase ekspansi atau kontraksi dalam beberapa waktu ke depan. Siklus PDB yang dihasilkan dalam model mengalami pergerakan menurun walaupun dalam fase ekspansi (berada di atas nilai 100). Dalam hal ini PDB Indonesia pada kuartal III-2014 secara year-on-year tercatat meningkat, namun dengan pertumbuhan yang melambat. Begitu pula yang terjadi pada Siklus GAMA LEI kuartal III-2014, hal ini berarti pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2014 memiliki arah menurun walaupun berada pada fase ekspansi (berada di atas nilai 100). Hasil prediksi GAMA LEI pada edisi ini menghasilkan adanya kecenderungan penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia. Model GAMA LEI pada kuartal III-2014 menunjukan perubahan arah pergerakan perekonomian yang menurun. Pergerakan GAMA LEI yang menurun menghasilkan prediksi penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia pada kuartal IV-2014. Tahun 2014 diwarnai oleh perhelatan politik dan juga ketidakpastian kondisi ekonomi akibat kenaikan harga BBM. Pemerintah baru kini lebih berpihak pada pengetatan belanja negara, terutama belanja subsidi BBM. Diharapkan dana yang tadinya dialokasikan untuk subsidi BBM dapat dialokasikan kembali untuk hal-hal yang lebih produktif seperti belanja modal. Dalam jangka pendek perekonomian mungkin akan mengalami perlambatan, namun dalam jangka panjang diharapkan perekonomian dapat tumbuh dengan cepat. Jokowi-JK berserta kabinetnya telah mampu memberikan harapan dan optimisme bagi perekonomian Indonesia. Walaupun demikian, masyarakat masih cenderung menunggu ( wait and see ) kinerja yang sebenarnya dari pemerintah baru. Oleh karena itu, pemerintahan harus mampu memanfaatkan momentum dengan menjaga atau bahkan meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia. Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
29
2. Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi Hasil konsensus menunjukkan nilai tiga indikator makro utama Indonesia yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar. Konsensus diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan oleh tim Macroeconomic Dashboard dengan responden dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Secara umum, prediksi pertumbuhan PDB riil (y-o-y) kuartal IV-2014 bergerak memburuk dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan PDB riil kuartal III-2014. PDB riil (y-o-y) diprediksi tumbuh sebesar 4,97% ± 0,15% pada kuartal IV-2014 dan 5,13% ± 0,21% pada kuartal I-2015. Adapun secara tahunan, prediksi pertumbuhan PDB riil 2014 dan 2015 masing-masing sebesar 5,00% ± 0,10% dan 5,3% ± 0.2%. Menurut survei yang dilakukan, tiga faktor utama penentu terjadinya penurunan pertumbuhan PDB riil di tahun 2014 adalah kondisi perekonomian dunia, tingkat investasi domestik dan asing, serta daya beli masyarakat. Inflasi Indonesia tahun 2014-2015 diprediksi berada pada kisaran 6 hingga 7 persen. Tahun 2014, hasil prediksi inflasi Indonesia adalah sebesar 6,50% ± 1,77%. Tahun 2015 nilainya bergerak meningkat menjadi 5,67% ± 1,41%. Sementara itu secara kuartalan, inflasi di Indonesia pada kuartal IV2014 dan I-2015 masing-masing sebesar 6,83% ± 1,41% dan 6,17% ± 3,18%. Menurut survei yang dilakukan, tiga faktor utama penentu terjadinya kenaikan inflasi di tahun 2014 adalah subsidi pemerintah, harga komoditas dunia, dan kondisi kurs rupiah. Nilai tukar rupiah diprediksi masih di sekitar nilai IDR/USD 12.000 pada tahun 2014. Pada kuartal IV-2014 nilai tukar rupiah diperkirakan sebesar IDR/USD 12.100 ± IDR/USD 100. Di kuartal berikutnya, nilai tukar rupiah sedikit menguat menjadi IDR/USD 12.033 ± IDR/USD 58. Sementara itu secara tahunan, nilai tukar rupiah tahun 2014 adalah IDR/USD 12.200 ± IDR/USD 265 dan tahun 2015 menguat menjadi IDR/USD 11.767 ± IDR/USD 252. Menurut survei yang dilakukan, tiga faktor utama penentu terjadinya kenaikan pertumbuhan apresiasi nilai tukar rupiah di tahun 2014 adalah kondisi ekonomi Indonesia, tingat inflasi, dan kinerja neraca pembayaran.
30
Indonesian Economic Review and Outlook
GAMA LEI dan Konsensus Proyeksi Ekonomi
Tabel 9: Estimasi Pertumbuhan PDB Riil (y-o-y, dalam %)
Sumber: Data Primer (diolah, 2014)
Tabel 10: Estimasi Inflasi (y-o-y, dalam %)
Sumber: Data Primer (diolah, 2014)
Tabel 11: Estimasi Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD)
Sumber: Data Primer (diolah, 2014)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
31
D. PERKEMBANGAN EKONOMI REGIONAL
Dari 33 provinsi di Indonesia, 20 provinsi mencatatkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III tahun 2014. Provinsi tersebut adalah Sumut (5,3%), Sumbar (5,8%), Kepri (6,9%), Jambi (6,6%), Lampung (5,57%), Bengkulu (5,14%), DKI Jakarta(6%), Jabar (5,6%), Jateng (5,4%), Jatim (5,91%), Kalteng (5,54%), Bali (6,53%), Sulut (7,01%), Sulteng (6,58%), Sulsel (8,23%), Gorontalo (7,77%), Sultra (7,69%), Maluku (7,33%), Maluku Utara (5,9%), Papua Barat (6,3%). Pertumbuhan ekonomi 20 provinsi di Indonesia tersebut tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional karena provinsi lain seperti NTB bahkan mencatatkan pertumbuhan yang minus (-3,1%). Perekonomian kawasan Indonesia Timur yang meningkat lebih banyak disumbang oleh aktivitas tambang pasca keluarnya izin ekspor mineral. Kenaikan pertumbuhan ini didukung oleh peningkatan kinerja ekonomi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, serta provinsi Kalimantan Timur dan Bali. Akibatnya, kinerja ekspor kembali meningkat. Di sisi lain, Nusa Tenggara Barat mengalami kontraksi pertumbuhan karena izin ekspor mineral yang tertunda. Selain itu, risiko juga datang dari perlambatan ekonomi Tiongkok, dan harga produk tambang yang rendah. Menanggapi kebijakan Minerba, tampaknya pembangunan pabrik pengolahan hasil tambang sudah mulai menggeliatkan perekonomian, terutama untuk daerah Sulawesi. Smelter yang mulai beroperasi di beberapa daerah di Kalimantan, seperti Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, serta peningkatan produksi ferronikel di Sulawesi Tenggara diperkirakan akan mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan dan mendorong peningkatan kinerja ekonomi kawasan Indonesia Timur. Beberapa smelter diperkirakan akan beroperasi pada awal kuartal II tahun 2015. Selain pengolahan nikel, Sulawesi akan membangun pula pengolahan stainless steel di Sulawesi. Hal ini tentu akan meningkatkan nilai tambah produksi pertambangan Indonesia. Setelah pemerintah menaikkan harga BBM untuk menghemat anggaran, inflasi perlu mendapatkan perhatian khusus, terlebih disaat kondisi perekonomian yang semakin berkontraksi. Pengalihan pos 32
Indonesian Economic Review and Outlook
Perkembangan Ekonomi Regional
Tabel 12: Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi di 33 Provinsi Pertumbuhan ekonomi melambat di regional
Sumber: BPS dan Bank Indonesia (2014)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
33
anggaran dari penghematan subsidi BBM perlu untuk disalurkan ke pos yang lebih strategis seperti infrastruktur. Pembangunan infrastruktur sangat penting dilaksanakan untuk meningkatkan daya dukung perekonomian yang diharapkan akan menjaga pertumbuhan di atas 5%. Selain itu, belanja pemerintah daerah diharapkan meningkat pada kuartal IV dan turut menopang perekonomian daerah. Perkembangan inflasi beberapa provinsi di Indonesia hingga kuartal III tahun 2014 cukup mengkhawatirkan di mana 16 provinsi memiliki inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional yang tercatat sebesar 4,53% (y-o-y) pada September 2014. Dampak dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM akan turut menyumbang peningkatan inflasi di beberapa provinsi di Indonesia. 16 Provinsi yang tercatat mengalami inflasi lebih tinggi daripada inflasi nasional adalah Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Bengkulu, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulut, Sulteng, NTB, Maluku Utara, dan Papua Barat.
34
Indonesian Economic Review and Outlook
E. ASEAN: Rapuhnya Perekonomian Kawasan Menjelang ASEAN Economic Community 2015 Memasuki ASEAN Economic Community (AEC) 2015, perekonomian kawasan masih menunjukkan belum adanya fundamental perekonomian yang cukup mapan bagi negara-negara kawasan untuk memasuki kompetisi perekonomian yang lebih terbuka. Situasi perekonomian ASEAN pada kuartal III-2014 adalah potret perekonomian yang menunjukkan masih banyaknya daftar negatif dalam berbagai aspek perekonomian kawasan yang masih harus ditangani oleh pemerintahan nasional di ASEAN. Selain capaian pada upaya perbaikan daya saing yang masih belum menunjukkan perubahan signifikan, beberapa negara utama di kawasan seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Brunei Darussalam bahkan relatif mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih melambat dibandingkan capaian sebelumnya pada kuartal II-2014. Negara kawasan seperti Brunei Darussalam, Laos, Kamboja, dan Myanmar yang masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan fundamental perekonomian seperti struktur ekonomi yang belum terdiversifikasi dengan baik serta keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja yang belum seimbang dan produktif menunjukkan bahwa negara-negara kawasan belum memiliki kesiapan fundamental perekonomian yang seimbang dalam memasuki era komunitas ekonomi bersama. Situasi ini menunjukkan bagaimana kerapuhan perekonomian serta ketidakseimbangan kesiapan harus menjadi catatan penting yang disadari oleh negara-negara anggota ASEAN sehingga dapat menjadi prioritas penanganan dalam masa tenggat lebih kurang 365 hari menuju AEC 2015. Berbagai kebijakan domestik yang diterapkan negara anggota ASEAN juga menjadi tantangan bagi kesiapan kawasan menuju AEC 2015. Selain perekonomian kawasan ASEAN dibayangi secara eksternal terkait rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat pada kisaran 100-115 basis poin yang berpotensi akan memutar balik arus modal dari emerging markets kembali ke Amerika Serikat pada tahun 2015, berbagai kebijakan yang diterapkan secara nasional juga berpotensi menjadi tantangan bagi kesiapaan kawasan dalam menghadapi AEC 2015. Defisit anggaran pendapatan dan belanja negara yang lebih dari 3% pada beberapa negara di kawasan seperti Kamboja, Laos dan Myanmar yang tidak diiringi dengan langkah-langkah yang konkrit untuk menyeimbangkan anggaran serta berbagai kebijakan domestik seperti rasionalisasi harga Bahan Bakar Minyak Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
35
Tabel 13: Pertumbuhan GDP Negara ASEAN, Constant Price, 1998–Q3 2014 (y-o-y, %) Sektor berbasis sumberdaya masih menjadi faktor penentu perekonomian kawasan
Catatan: rata-rata pertumbuhan untuk periode 1998-1999, 2000-20007, dan 2008-2009
Sumber: IMF, CEIC (2014)
(BBM) di Indonesia dan Malaysia, rencana penerapan Goods and Service Tax (GST) baru di Malaysia pada tahun 2015, serta rencana kenaikan Value Added Tax (VAT) sebesar 10% dan gaji pegawai negeri sipil sebesar 8% di Thailand pada tahun 2015 diperkirakan akan memberikan tantangan bagi kawasan dalam mempercepat kesiapannya menghadapi AEC 2015. Melalui gambaran kebijakan yang ada, tantangan perekonomian domestik berpotensi muncul dari tekanan pada pos fiskal pemerintah nasional serta penurunan daya beli masyarakat yang merupakan salah satu sektor utama penopang pertumbuhan ekonomi kawasan serta penurunan kemampuan investasi para pelaku sektor ekonomi swasta-domestik dari masing-masing negara anggota ASEAN. Capaian perekonomian di kawasan masih belum menggembirakan. Negara-negara utama di kawasan ASEAN, atau yang dikenal sebagai negara ASEAN-5 pada akhirnya mencatatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2014 dibawah ekspektasi. Hal tersebut terutama ditandai dengan kontraksi pertumbuhan hampir dua digit yang dialami oleh Brunei Darussalam serta laju pertumbuhan yang melambat sebagaimana dialami Indonesia, Malaysia dan Filipina sebagai “motor” penggerak perekonomian kawasan. Namun karakteristik pertumbuhan pada kuartal ini masih relatif sama pada situasi sebelumnya dimana arah pertumbuhan yang dialami dipengaruhi terutama oleh sektor sumberdaya, sektor jasa dan sektor konstruksi. Sementara itu di sisi lain, Pemerintahan Militer Thailand telah mampu menunjukkan kemampuan mereka dalam menjamin stabilitas perekonomian dan menumbuhkan kepercayaan pelaku ekonomi di Thailand, 36
Indonesian Economic Review and Outlook
ASEAN
sehingga setelah lama mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang melemah, Thailand kembali menunjukkan pertumbuhan perekonomian yang kembali positif dan diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Investasi swasta pada bidang infrastruktur menjadi kunci pertumbuhan ekonomi di negara utama kawasan. Situasi pertumbuhan ekonomi kuartal III-2014 yang tidak terlalu baik jika dibandingkan dengan kinerja serupa pada kuartal II-2014 terutama mampu tetap mencatatkan pertumbuhan pada tingkat tertentu dikarenakan ditopang oleh investasi para pelaku swasta pada berbagai proyek infrastruktur dengan fokus pada sub-sektor yang terkait dengan perdagangan dan sektor konstruksi yang dilatarbelakangi oleh kesiapan untuk proyeksi membaiknya situasi perekonomian global secara umum pada tahun 2015. Investasi tersebut diantaranya seperti investasi pada pabrik garmen dan alas kaki di Kamboja, mega-investasi pada pembangkit listrik bertenaga air di Laos, serta pembangunan kembali berbagai fasilitas publik dan infrastruktur di Filipina pasca bencana alam Topan Yolanda dan Gempa Bumi Bohol di tahun 2014. Perbaikan fundamental ekonomi menjadi pekerjaan rumah penting bagi negara-negara kawasan ASEAN dalam menghadapi AEC 2015. Brunei sebagai satu-satunya negara di kawasan yang mencatatkan kontraksi ekonomi sebesar hampir dua digit (-9,7%) memerlukan restrukturisasi fundamental perekonomian dengan mempercepat diversifikasi sektor perekonomian yang saat ini masih sangat bergantung pada industri minyak bumi dan gas alam. Menurut Jabatan Perancang Kemajuan Ekonomi (JPKE) Brunei, sektor tersebut menguasai lebih kurang 70% PDB dan 90% total ekspor. Pada kuartal III-2014 sektor migas di Brunei Darussalam mencatatkan kontraksi -11,7% sementara di sisi lain, sektor industri Brunei belum mencapai tingkat efisiensi yang memadai yaitu hanya mampu tumbuh sebesar 0,05% pada kuartal berjalan. Permasalahan fundamental ekonomi lainnya seperti defisit anggaran pendapatan dan belanja negara yang terlalu besar dialami oleh Laos (5,8% terhadap PDB) dan Myanmar (3,7% terhadap PDB) akibat kebijakan perlindungan sosial yang terlalu ekspansif, rekrutmen pegawai negeri sipil secara besar-besaran dan anggaran pertahanan yang masih terlalu tinggi sehingga menyebabkan terbatasnya ruang fiskal pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk melakukan stimulus perekonomian sehingga berkelanjutan pada pertumbuhan ekonomi yang belum mampu tumbuh secara optimal. Pentingnya diversifikasi perekonomian serta keseimbangan fiskal yang masih negatif menunjukkan bahwa negara-negara anggota ASEAN harus terus memberikan perhatian kepada perbaikan fundamental perekonomian di kawasan.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
37
Tabel 14: Indeks Harga Konsumen (IHK) Negara ASEAN, 2011-2014* (y-o-y, %) Kenaikan pangan dan ketergantungan pada impor menjadi pemicu utama inflasi kawasan
Catatan: * = Data-data untuk Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura dan Vietnam adalah posisi per-Oktober 2014 (y-o-y). Data untuk Indonesia dan Thailand adalah posisi per-November 2014 (y-o-y)
Sumber: Bloomberg (2014)
Inflasi kawasan terutama disebabkan oleh kenaikan harga pangan serta ketergantungan pada berbagai produk impor. Secara umum negara-negara di kawasan ASEAN mencatatkan pembentukan inflasi tinggi yang disebabkan oleh meningkatnya harga bahan makanan dan minuman non-alkohol serta beberapa komponen konsumtif lainnya seperti garmen dan elektronik yang masih sangat bergantung pada aktivitas impor seiring dengan dibukanya berbagai fasilitas Special Economic Zone/Kawasan Ekonomi Khusus yang terutama terjadi pada negara-negara yang terletak di area Sungai Mekong (Kamboja, Laos dan Myanmar). Bahkan untuk beberapa negara di kawasan ASEAN, penerapan sistem pengawasan bea cukai yang terlalu ketat turut menjadi penyumbang tingginya harga produk-produk impor di pasar. Salah satu penyebab masih tingginya ketergantungan kawasan pada produk impor adalah dikarenakan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara umum di kawasan turut menciptakan lahirnya kaum ekonomi menengah baru yang memiliki permintaan relatif tinggi serta kategori produk yang diminta secara umum belum dapat dipenuhi secara optimal oleh industri dalam negeri. Berbagai kebijakan pengendalian harga pangan dan pembangunan berbagai industri berbasis subtitusi impor perlu menjadi perhatian bagi negara-negara kawasan ASEAN dalam memastikan kesiapan yang lebih baik menuju AEC 2015. Kinerja pasar saham masih didominasi oleh sentimen positif para pelaku ekonomi swasta. Tingkat kepercayaan para pelaku ekonomi swasta 38
Indonesian Economic Review and Outlook
ASEAN
Tabel 15: Indeks Pasar Saham Negara ASEAN, 2009-1 Desember 2014 (y-o-y, %) Sentimen positif pelaku ekonomi swasta mendominasi kinerja pasar saham kawasan
Catatan: Data posisi 2 Januari dan 1 Desember 2014 adalah pertumbuhan berbasis year-to-date
Sumber: Bloomberg (2014)
dan para pelaku pasar keuangan terhadap masa depan perekonomian kawasan masih menjadi faktor utama terdongkraknya indeks harga saham gabungan di berbagai pasar saham di kawasan. Negara-negara utama kawasan seperti Thailand, Filipina dan Vietnam yang secara berturut-turut mencatatkan pertumbuhan pasar saham yang signifikan yaitu sebesar 29,49%, 26,19% dan 22,51% menunjukkan bagaimana investasi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi mengisyaratkan tingkat keyakinan para pelaku ekonomi pada kinerja perekonomian negara-negara bersangkutan di tahun 2015 yang akan datang. Namun pasar saham adalah pasar yang sangat liquid sehingga capaian saat ini dapat serta merta berubah seiring dengan berbagai kebijakan di bidang moneter dan keuangan yang terjadi dalam tataran global, sebagaimana rencana kenaikan basis suku bunga oleh The Fed di tahun 2015 yang dapat mengubah arus investasi global secara signifikan. Tingkat nilai tukar di kawasan masih sangat dipengaruhi oleh keseimbangan perdagangan internasional dan sentimen pelaku bisnis. Secara umum penguatan atau pelemahan pada nilai tukar negara-negara di kawasan ini sangat dipengaruhi pada kinerja keseimbangan perdagangan internasional negara tersebut sebagaimana yang dialami penguatan yang relatif tipis pada mata uang Baht Thailand dan Rupiah Indonesia hingga situasi per-1 Desember 2014. Khusus untuk Vietnam, penurunan nilai mata uang terjadi dikarenakan akibat kebijakan moneter yang ditempuh berupa devaluasi Dong Vietnam sebesar 1% yang dilakukan pada 19 Juni 2014 demi menjaga daya saing produk-produk Vietnam di luar negeri dimana menurut pejabat terkait, kebijakan devaluasi mata uang ini akan terus dilanjutkan sebagai strategi perdagangan di tahun 2015. Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
39
Tabel 16: Nilai Tukar Mata Uang ASEAN Terhadap USD, 2009 – 1 Desember 2014 (y-o-y, %) Nilai tukar mata uang menjadi variabel penting dalam daya saing produk ekspor
Catatan: *= Pada tahun 2012 Myanmar mengalami penyesuaian nilai mata uang Data tersaji pada posisi 29 Agustus 2014 adalah pertumbuhan berbasis year-to-date Angka (+) menunjukkan apresiasi mata uang dan angka (-) menunjukkan depresiasi mata uang.
Sumber: Bloomberg (2014)
Neraca perdagangan intra-ASEAN menunjukkan keseimbangan negatif lebih banyak dibandingkan dengan capaian pada neraca perdagangan ekstra-ASEAN. Perdagangan intra-ASEAN ternyata belum cukup mampu untuk menunjukkan manfaatnya secara optimal pada pemberian nilai tambah bagi perekonomian kawasan. Selain isu klasik mengenai proporsi perdagangan intra-ASEAN yang masih belum cukup tinggi dibandingkan dengan perdagangan intra kerjasama kawasan ekonomi yang ada lainnya di internasional, ternyata secara nilai tambah dan keseimbangan perdagangan intra-ASEAN belum cukup menjanjikan sebagai arus perdagangan yang Tabel 17: Neraca Perdagangan Negara-Negara ASEAN; 2009-2013 (Miliar USD) Neraca perdagangan negatif banyak terjadi pada intra-ASEAN dibandingkan ekstra-ASEAN
Sumber: ASEAN Secretariat (2014)
40
Indonesian Economic Review and Outlook
ASEAN
menguntungkan bagi negara-negara ASEAN. Negara-negara ASEAN lebih berpotensi mencatatkan neraca perdagangan yang positif pada perdagangan ekstra-ASEAN dibandingkan perdagangan intra-ASEAN, kecuali Malaysia sebagai satu-satunya negara yang konsisten pada periode 2009 hingga 2013. Walaupun secara kumulatif, terutama pada rentang waktu 2012 dan 2013 ekspor netto ekstra-ASEAN justru mencatatkan nilai rekapitulasi yang negatif namun sesungguhnya nilai ekspor netto yang positif dalam intraASEAN didominasi oleh segelintir perekonomian saja yaitu Singapura dan Thailand. Untuk itu, para pengambil kebijakan di ASEAN perlu kembali merumuskan kebijakan agar ASEAN tetap mampu menjadi sumber pendorong kesejahteraan bagi negara anggota dan kawasannya terutama dalam aspek perdagangan internasional karena sesungguhnya itulah yang menjadi esensi awal semangat yang mendorong negara-negara ASEAN sepakat untuk membangun kerjasama perekonomian di kawasan. Neraca perdagangan Indoensia tercatat defisit terhadap negara-negara utama di kawasan. Isu daya saing produk Indonesia di tataran ASEAN masih Tabel 18: Neraca Perdagangan Indonesia dengan ASEAN; 2009-2014 (Juta USD) Neraca perdagangan Indonesia defisit terhadap negara-negara utama di kawasan ASEAN
Sumber: ASEAN Secretariat (2014)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
41
perlu menjadi perhatian serius dimana nerara perdagangan Indonesia masih mencatatkan nilai negatif terhadap negara-negara utama di kawasan seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Bahkan apabila dicermati secara lebih lanjut maka sesungguhnya neraca perdagangan Indonesia terhadap negara ASEAN secara umum hingga kondisi per-Oktober 2014 mencatatkan nilai yang negatif sebesar -8164,71 Juta USD. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia walaupun secara kumulatif sudah mulai mencatatkan nilai neraca perdagangan yang positif, namun pada tataran ASEAN, Indonesia masih mengalami masalah serius dalam kinerja perdagangan dan daya saing produk. Hal ini harus menjadi perhatian serius sehingga AEC 2015 tidak menjadikan Indonesia hanya menjadi “penonton pinggir” dari aktivitas perekonomian yang semakin terbuka dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nilai tambah dan peningkatan kesejahteraan secara optimal dari keleluasaan arus perdagangan barang, jasa dan investasi. Perbaikan daya saing negara-negara ASEAN tidak diikuti dengan perubahan penilaian yang signifikan pada berbagai indikator global. Daya saing (competitiveness) menjadi elemen yang penting dalam dinamika persaingan terutama di era globalisasi atau maupun sekedar di tahapan regionalisasi sebagaimana yang dituju oleh AEC 2015 saat ini. Menurut World Bank (2014), negara-negara di kawasan ASEAN perlu memberikan perhatian yang lebih pada upaya-upaya pembangunan daya saing melalui upaya-upaya untuk membangun tingkat produktifitas yang lebih tinggi disertai dengan investasi yang cukup pada pendidikan dan pelatihan generasi muda. Namun ternyata arah pembangunan daya saing berbagai negara di kawasan ini ternyata masih hanya berfokus pada pembangunan yang bersifat operasional dan belum menyentuh pembangunan yang lebih bersifat fundamental, misalkan pembangunan sumber daya manusia. Data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa 50% negara anggota ASEAN masih berada pada tahapan pembangunan sumber daya manusia berkualitas sedang bahkan khusus untuk Myanmar masih dikategorikan sebagai negara dengan pembangunan sumber daya manusia berkualitas rendah. Namun pada dasarnya terdapat berbagai perubahan-perubahan teknis yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan dalam meningkatkan daya saingnya, seperti yang dialami oleh Brunei Darussalam, Indonesia, Singapura, Thailand dan Vietnam yang mulai menerapkan penggunaan teknolog informasi dalam berbagai aktivitas perizinan bisnis dan perpajakan. Bahkan Laos dan Myanmar juga melakukan perbaikan sistem dengan membenahi sistem perpajakan nasional agar menjadi lebih mudah dan efisien. Namun ternyata segala perbaikan yang dilakukan ini belum
42
Indonesian Economic Review and Outlook
ASEAN
mampu mendongkrak peringkat dari negara-negara kawasan ASEAN pada berbagai indikator global, dikarenakan perubahan sistematis yang dilakukan masih terbatas pada aspek-aspek operasional dan mengenyampingkan halhal yang lebih bersifat fundamental seperti pembangunan sumber daya manusia sehingga perubahan tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbaikan daya saing yang optimal. Tabel 19: Perbandingan Indikator Daya Saing Negara Anggota ASEAN: GCI, EDB dan HDI Tidak ada perubahan signifikan pada daya saing negara-negara di kawasan ASEAN
Sumber: World Economic Forum, World Bank, United Nations (2014)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
43
F. Isu Terkini
Menyongsong ASEAN Economic Community 2015 dengan Penuh Keraguan Prof. Tri Widodo, M.Ec.Dev., Ph.D¹ Ganendra Widigdya²
Kesiapan Menuju AEC 2015: Ditengah Tantangan Internal dan Eksternal Sepuluh negara-negara anggota ASEAN (Assosiation of South East Asian Nation) akan segera memasuki tahapan baru dalam perekonomian kawasan yang dikenal sebagai ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015), dimana pada tahapan perekonomian ini menjadi tonggak resmi terjadinya pembebasan arus faktor produksi tenaga kerja terampil dan investasi pada ruang lingkup kawasan Asia Tenggara. Namun dalam menyongsong situasi perekonomian yang sangat ambisius tersebut, masih terdapat banyak indikator perekonomian yang masih belum menunjukkan tanda-tanda positif yang menjanjikan bagi perekonomian kawasan dalam memasuki era awal implementasi AEC 2015. Belum disepakatinya harmonisasi tarif eksternal untuk perdangan non-anggota, sementara akan terjadi aliran bebas faktor produksi tenaga kerja terampil dan modal, akan menyisakan pertanyaan besar terkait masalah-masalah yang mungkin muncul. Salah satu dari indikator utama yang seharusnya menjadi “lampu kuning” bagi kawasan dalam memasuki AEC 2015 adalah dengan tercatatnya perekonomian tiga negara utama penggerak ekonomi kawasan mengalami pelemahan pertumbuhan ekonomi pada Kuartal III-2014 dibandingkan kuartal sebelumnya, seperti Indonesia dari 5,12% menjadi 5,01%, Malaysia dari 6,40% menjadi 5,60% serta Filipina yang pada awal tahun 2014 mencatatkan tingkat pertumbuhan yang menakjubkkan ternyata ikut mengalami perlambatan perekonomian dari 6,40% menjadi hanya 5,30%.
¹ Guru Besar Bidang Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
² Asisten Peneliti Macroeconomic Dashboard Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
44
Indonesian Economic Review and Outlook
Isu Terkini
Situasi ini penting untuk menjadi bagian dari peringatan bagi perekonomian kawasan, karena memahami kinerja negara ekonomi utama di kawasan ASEAN, penting dalam memotret kinerja perekonomian kawasan ASEAN secara menyeluruh dikarenakan terdapat hubungan yang positif antara ukuran dari sebuah negara dan dominasi perannya di dalam perdagangan intra-kawasan di sebuah kawasan kerjasama perekonomian (Widodo, 2010:48). Hal ini bermakna lain bahwa kemajuan dari kinerja perekenomian kawasan dalam kerangka AEC tidak akan terlepas dari kinerja perekonomian utama kawasan atau yang dikenal sebagai ASEAN-5 (Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand). Sebagaimana laporan terakhir Sekretariat ASEAN pada “ASEAN Economic Community Scorecard” pada tahun 2012 serta studi Pillai (2013) dinyatakan bahwa implementasi AEC 2015 pada Tahapan 1 (2008-2009), Tahapan 2³ (2010-2011) dan Tahapan 3 (2012-2013) telah mencapai total pemenuhan terhadap 73,0% dari total target. Hal ini menunjukkan bahwa hingga batas akhir 31 Desember 2015 para pemimpin negara ASEAN harus bekerja keras dalam memastikan bahwa 27,0% target tersisa mampu dicapai di tengah berbagai tantangan yang ada, seperti pergolakan politik di Thailand, hantaman berbagai bencana alam di Filipina seperti topan dan gempa bumi, upaya diversifikasi ekonomi yang sedang dilakukan di Kamboja, Laos dan Brunei Darussalam, konsolidasi politik dan demokrasi yang terjadi di Myanmar, Malaysia dan Singapura, ketegangan Laut Cina Selatan yang melibatkan Vietnam dan Thailand hingga transisi pemerintahan sebagaimana yang sedang dialami Indonesia. Selain itu, makna dari pencapaian persiapan menuju AEC 2015 sebagaimana yang dilaporkan dalam AEC Scorecard oleh Sekretariat ASEAN menunjukkan bahwa agresifitas para pengambil kebijakan di kawasan untuk mengintegrasikan perekonomiannya dengan perekonomian kawasan dan global sehingga mampu memenuhi 85,7% dari total target hanya selama dua tahapan belum diimbangi dengan perhatian yang serius pada upaya membangun basis produksi, pembangunan daya saing hingga
³ Rincian untuk kondisi hingga Tahapan 2 (2010-2011) adalah: Pilar 1 yaitu Pilar Pasar Tunggal dan Basis Produksi telah terpenuhi 65,9% (atau 114 implementasi tercapai dari total 173 target), Pilar 2 yaitu Pilar Daya Saing Perekonomian Kawasan telah terpenuhi 67,9% (atau 53 implementasi tercapai dari total 78 target), Pilar 3 yaitu Pilar Pemerataan Pembangunan Ekonomi telah terpenuhi 66,7% (atau 8 implementasi tercapai dari total 12 target) serta Pilar 4 yaitu Pilar Integrasi Pada Pasar Global telah terpenuhi 85,7% (atau 12 implementasi tercapai dari total 14 target).
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
45
pengarusutamaan terhadap pemerataan ekonomi kawasan. Apabila keseimbangan integrasi dan pembangunan kesiapan perekonomian domestik tidak segera diprioritaskan dalam jangka waktu pendek ini, tidak tertutup kemungkinan justru AEC 2015 akan mendatangkan lebih banyak tantangan bagi perekonomian kawasan di awal implementasinya. Sementara itu, kesiapan kawasan ASEAN dalam menyongsong AEC 2015 perlu diimbangi dengan pemahaman bahwa gejolak eksternal masih akan terus membayangi berbagai pertumbuhan sementara yang sedang dinikmati oleh kawasan ini. Rencana The Fed untuk meningkatkan basis suku bunganya⁴ seiring dengan meningkatnya keyakinan akan perekonomian dunia yang semakin baik, disinyalir akan menyebabkan terjadinya pembalikan arus modal dari negara berkembang (terutama ASEAN) kepada berbagai negara maju sehingga diprediksi akan memberikan pukulan pada sektor keuangan, sektor nilai tukar mata uang hingga cadangan devisa dari negara-negara di kawasan ASEAN sehingga kebijakan mitigasi risiko perlu segera dipersiapkan. Selain itu, arus perdagangan global yang melesu pasca Krisis Global 2008-2009 masih terus membayangi, dimana neraca perdagangan yang positif belum dinikmati oleh semua negara di kawasan secara berkelanjutan. Isu-isu utama perkeonomian yang harus dihadapi oleh perekonomian Asia Timur, terutama ASEAN adalah isu-isu perekonomian yang terutama terkait dengan diferensiasi produk, ongkos transportasi, skala ekonomi dinamis, derajat agregasi produk, distribusi pendapatan, faktor endowment dan variasi produk (Widodo, 2010: 131). Sehingga dalam memastikan kesiapan negara-negara kawasan dalam menghadapi AEC 2015, negara-negara kawasan harus memberikan perhatian yang lebih fokus dan akeseleratif pada aspek-aspek daya saing dan pemerataan ekonomi terutama pada isuisu yang telah digolongkan diatas. Sementara itu, studi Kalra (2013) memperingatkan bahwa perlu adanya fasilitasi yang lebih baik pada pemberian peran yang lebih besar pada para pelaku perekonomian domestik dalam berpartisipasi aktif dalam membangun percepatan kesiapan negara anggota ASEAN dalam menyongsong AEC 2015 dikarenakan secara alamiah, arus perdagangan ASEAN hingga saat ini masih didominasi oleh perdagangan ekstra-ASEAN dibandingkan intra-ASEAN sehingga para pelaku perekonomian swasta
⁴ Menurut Bank Indonesia, diperkirakan The Fed pada awal tahun 2015 akan menaikkan suku bunga pada kisaran 100 hingga 115 basis poin.
46
Indonesian Economic Review and Outlook
Isu Terkini
terutama dari domestik perlu ditingkatkan perannya untuk melihat kerjasama AEC 2015 bukan dalam rangka sekedar mendorong interaksi perekonomian nasional secara eksternal tetapi lebih spesifik daripada itu, yaitu mendorong interaksi perekonomian dalam kerangka intra-ASEAN.
Integrasi Ekonomi “Ala-ASEAN” Perlunya Pengujian Lebih Lanjut Sebagaimana yang selalu diargumentasikan oleh berbagai pihak bahwa integrasi perekonomian ASEAN adalah integrasi yang spesifik dengan berbasis pada karakteristik “ASEAN Way” (Eria, 2012: xi) yang membuatnya secara alamiah menjadi berbeda dengan model integrasi yang dilakukan di kawasan kerjasama perekonomian lainnya, namun kita tidak dapat mengenyampingkan bahwa selain secara historis ASEAN tidak dirancang untuk kerjasama ekonomi melainkan untuk kerjasama politik dan keamanan terutama untuk membendung pengaruh komunisme di kawasan Asia Tenggara sehingga kesadaran kolektif negara-negara di kawasan ASEAN memang sedari awal tidak dirancang untuk membangun kesadaran ekonomi bersama. Walaupun demikian pembentukan ASEAN dalam kerangka AEC 2015 ternyata memiliki mekanisme penyeimbangnya sendiri secara politik dan keamanan, ketika adanya kesamaan relatif pada faktor endowment dari masing-masing negara anggota, memungkinkan tidak adanya negara yang berpotensi untuk mendominasi negara lainnya di kawasan ataupun menjadi negara “pusat” di dalam ASEAN (Widodo, 2010:25) sehingga perlu dipahami bahwa dampak dari keberadaan AEC sendiri sedari awal tidak dirancang untuk kepentingan perekonomian semata namun juga memiliki fungsi strategis dalam menjaga pilar lain dari ASEAN yaitu politik-keamanan dan sosial-budaya. Selain itu secara teoritis langkah integrasi perekonomian yang ditempuh ASEAN tidak mengikuti kaidah teoritis tentang teori integrasi ekonomi sebagaimana yang dikembangkan oleh Balassa (1961)⁵. AEC 2015 adalah
⁵ Menurut Balassa (1961) tahapan dalam integrasi ekonomi dimulai dari Preferential Trade Agreement (PTA), Free Trade Area (FTA), Custom Union, Common Market, Economic Union dan Complete Economic Integration dimana masing-masing tahapan ini seharusnya dilakukan secara berurutan. Menurut Studi Pillai (2013), ASEAN telah berada pada tahapan PTA pada tahun 1977, ASEAN Free Trade Area pada tahun 2010 serta akan memasuki AEC pada tahun 2015.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
47
tahapan integrasi perekonomian yang telah memasuki tahapan integrasi ekonomi berupa Common Market yang sebelumnya ASEAN masih berada pada tahapan “Free Trade Area (FTA)” dalam konsep ASEAN Free Trade Area, dimana artinya AEC telah “melangkahi tahapan” normal yaitu Custom Union. Hingga tulisan ini disusun, belum ada penelitian yang secara komprehensif mengukur mengenai dampak “pelompatan” tahapan teori integrasi ekonomi tersebut. Karena menurut teori integrasi perekonomian, sebelum terjadinya pembebasan terhadap arus barang dan jasa seharusnya setelah melewati tahapan Free Trade Area dimana tarif-tarif perdagangan telah disamakan secara intra-ASEAN, maka pada tahapan Custom Union harus dilakukan penyamaan tarif perdagangan antara kawasan dengan mitra dagang eksternal (ekstra-ASEAN) secara terlebih dahulu. Namun walaupun belum ada penelitian yang komprehensif terkait hal tersebut, situasi ini perlu menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan di negara kawasan ASEAN tetap bersiap-siap untuk kemungkinan terjadinya berbagai potensi distorsi perekonomian yang mungkin muncul akibat akselerasi tahapan tersebut. Namun pada akhirnya di tengah-tengah segala keraguan dan ketidakpastian menyongsong perekonomian masa depan dan AEC 2015 dimana ketidakpastian dan instabilitas sejatinya adalah bagian koheren dalam dalam perekonomian global yang semakin bersifat open economy politics (Johnson, et al, 2013) maka untuk memenuhi komitmen, reputasi serta kepastian dalam beraktifitas dalam perekonomian global maka setiap negara ASEAN harus tetap mempersiapkan berbagai kebijakan-kebijakan yang tidak saja mempercepat kesiapan perekonomiannya dalam memasuki pasar AEC 2015 namun juga kebijakan-kebijakan yang melindungi kepentingan domestik sehingga tingkat kesejahteraan yang optimal tetap dapat diraih di tengah persaingan yang telah disepakati bersama. Waktu untuk melakukan berbagai upaya persiapan dan perlindungan sudah tidak lama lagi, selama rentang waktu tersebut hendaknya digunakan secara optimal oleh para pengambil keputusan di kawasan. Karena perlu kembali diingat bahwa kebijakan domestik pada bidang perekonomian relatif akan berkurang efektifitasnya ketika pasar domestik sudah terbuka (Widodo, 2013:34). sebagaimana penyatuan perekonomian yang akan ditempuh kawasan ASEAN melalui AEC 2015.
48
Indonesian Economic Review and Outlook
Isu Terkini
Referensi ASEAN Secretariat (2012), ASEAN Economic Community Scorecard: Charting Progress Toward Regional Economic Integration, Jakarta: ASEAN. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (2012), Mid-Term Review of The Implementation of AEC Blueprint, Jakarta: ERIA. Johnson, et al (2013), “The Future of International Political Economy: Introduction to the 20th Anniversary Issue of RIPE”, Review of International Political Economy, 20 (5): pp. 1009-1023. Kalra, S . (2013), ASEAN Economic Community: Progress and Global Perspective, Paper Presented at: University of Economics and Business, Vietnam National University, October 11th 2013. Pillai, S. B. (2013), ASEAN and Strategic FTAs, Paper Presented at: NorwayAsia Business Summit 2013, Shanghai, July 5th 2013. Widodo, T (2010), International Trade, Regionalism and Dynamic Market, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Widodo, T. (2013), “Indonesia di Bawah Bayang-Bayang Sindrom Krisis”, Indonesian Economic Review and Outlook, 3 (II): pp. 31-34.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
49
G. Economic Outlook
Ekonomi Indonesia menghadapi permasalahan yang berat karena rendahnya kualitas pembangunan ekonomi sedang mengalami tren penurunan pertumbuhan ekonomi sejak 2011. Kabinet Indonesia Kerja yang dilantik 27 Oktober 2014 yang lalu nampaknya belum bisa memberikan optimisme kepada masyarakat dan pelaku pasar, mengingat masalah, tantangan dan ancaman ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia masih berat. Apalagi pasca kenaikkan harga BBM pada pertengahan November 2014 yang lalu inflasi meningkat menjadi 6,23% dan rupiah mengalami pelemahan 0,94% (m-t-m) pada bulan November 2014. Kondisi tersebut direspon oleh BI dengan kenaikkan BI rate 25 basis poin pada 18 November 2014. Demikian juga laju pertumbuhan ekonomi kuartal 3 tahun 2014 masih menurun menjadi 5,01%, yang banyak ditopang oleh pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga dan Pemerintah. Sementara itu pertumbuhan investasi masih menunjukkan tren yang terus menurun. Dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut membuat tingkat pengangguran pada bulan Agustus 2014 meningkat menjadi 5,94%. Sementara itu Transaksi Berjalan masih defisit meski menurun menjadi USD 6,84 miliar. Oleh karena itu Gama LEI meramalkan kecenderungan penurunan siklus ekonomi masih akan berlangsung jika tidak ada perubahan dalam pengelolaan ekonomi. Untuk itu diharapkan otoritas ekonomi mengubah pengelolaan ekonominya, tidak business as usual agar tren penurunan pertumbuhan ekonomi tidak terus berlangsung. Apalagi akhir 2015 kita akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community. Dimana keberhasilan Indonesia memanfaatkan pembukaan pasar yang luas dalam masyarakat ASEAN akan banyak tergantung kepada kualitas pembangunan ekonomi kita. Kualitas pembangunan ekonomi yang tinggi yang didukung oleh daya saing internasional yang tinggi, kualitas manusia yang unggul, logistik yang efisien, serta kelembagaan yang baik akan membuat Indonesia siap menghadapi MEA. Untuk itu kita berharap agar pemerintah baru serta otoritas ekonomi lainnya mengubah pengelolaan ekonominya, agar tren penurunan pertumbuhan ekonomi dapat dibalik dan pembangunan ekonomi berkualitas, sehingga kita siap menghadapi MEA.
50
Indonesian Economic Review and Outlook
halaman ini sengaja dikosongkan
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
51
INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK TIM MACROECONOMIC DASHBOARD
Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc.
Prof. Dr. Tri Widodo, M.Ec.Dev.
Head of Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Senior Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc. Sc.
Denni P. Purbasari
Senior Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Muhammad Ryan Sanjaya, MIntDevEc.
Rosa Kristiadi, M.Comm
Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Galih Adhidharma, S.E.
Zira Brenda Wiranti, S.E.
Junior Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Junior Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Traheka Erdyas Bimanatya, S.E.
Umi Fitria Ridya Rahmawaty, S.E.
Junior Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Junior Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Dhian Karyantono, S.E.
Ganendra Widigdya
Junior Researcher
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Research Assistant
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Dyah Savitri Pritadrajati
Mohammad Rizki Hutomo, S.E.
Research Assistant
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
Junior Researcher, Web Developer and Layout
[email protected] +62 274 548 517 ext 373
MACROECONOMIC DASHBOARD FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pertamina Tower Lt. 4 Ruang 4.4 Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Telp: +62 274 548 517 ext 373 Fax: +62 274 551 208 Email:
[email protected] Website: www.macroeconomicdashboard.com