54
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Teoritis
3.1.1. Konsep Kebijakan dan Proses Pembuatannya
Menurut Ramdan, et al. (2003), kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran, maupun arahnya yang melingkupi keadaan kehidupan masyarakat umum. Suatu kebijakan memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi ganda, (b) keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem, buruknya sistem politik mempengaruhi keberhasilan kebijakan sehinga perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik, (c) kebijakan mempengaruhi suatu keadaan cenderung tidak mungkin menjadi mungkin, dan (d) kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat. Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik dan kebijakan privat. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan individu atau lembaga swasta, sedangkan kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain (Simatupang, 2003). Berdasarkan hal tersebut kebijakan harga pangan yang merupakan bagian kebijakan pertanian termasuk dalam kebijakan publik dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan petani khususnya dan seluruh masyarakat Indonesia umumnya. Karena pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, maka perubahan di sektor pertanian akan mempengaruhi sektor non pertanian dan sebaliknya.
Upaya-upaya untuk membangun sektor pertanian perlu dukungan
kebijakan di sektor non pertanian. Sebagai contoh, kebijakan harga dasar gabah akan
55 tidak efektif jika tidak diikuti oleh kebijakan tarif impor beras yang optimal dan pengendalian penyelundupan beras. Menurut Ramdan, et al. (2003), kebijakan dibuat untuk mengantisipasi permasalahan yang ada di masyarakat. Karena itu kebijakan disusun dengan tujuan untuk memecahkan masalah yang ada, didukung oleh seperangkat keputusan publik, dibuat oleh sekelompok orang yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan, sehingga kebijakan yang ditetapkan seharusnya merefleksikan pilihan-pilihan sosial. Pembuatan kebijakan dilakukan melalui tahapan-tahapan: perumusan masalah, penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Kebijakan pembangunan pertanian merupakan keputusan politik yang dibuat pada arena pasar politik Para pembuat kebijakan selalu berusaha mempertahankan kedudukannya dengan menawarkan kebijakan dalam rangka meraih dukungan politik dari masyarakat. Sementara itu masyarakat melakukan pendekatan dan penekanan agar para pengambil keputusan membuat kebijakan yang menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing.
Keseimbangan antara permintaan dan
penawaran terhadap kebijakan akan menentukan sosok kebijakan yang dibuat (Simatupang, 2003). Selanjutnya dikatakan, kebijakan publik merupakan salah satu instrumen untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan politik. Berbeda dengan paradigma ekonomi positif yang menganggap bahwa kebijakan publik bersifat eksogen dibuat bebas dari motif kepentingan pribadi/kelompok, paradigma ekonomi-politik menganggap bahwa kebijakan bersifat endogen, ditentukan oleh motif meraih kepentingan pribadi/kelompok. Hasil simulasi Gylfason (1990) menunjukkan bahwa hasil pembuatan kebijakan endogenus dapat memiliki perbedaan yang mendasar dengan kebijakan
56 yang bersifat eksogenus. Kebijakan endogenus hasilnya sangat dipengaruhi oleh tipe pemerintahan, yaitu konservatif, liberal, atau netral. Untuk kasus kebijakan pertanian di Indonesia dapat diartikan sebagai kemana keberpihakan pemerintah, apakah kepada produsen, konsumen atau di antaranya. Gambar 6 berikut mengilustrasikan proses terbentuknya suatu kebijakan perdagangan internasional melalui suatu mekanisme pasar, dimana sumbu datar menunjukkan tekanan pada resrtiksi dan sumbu tegak menunjukkan tarif sebagai harga proteksi. Diasumsikan di dalam pasar melibatkan dua kepentingan golongan masyarakat sebagai konsumen, yaitu kelompok yang menginginkan penurunan tarif (liberalist) dengan kurva permintaan D1 dan kelompok yang menginginkan peningkatan tarif (protecsionist) dengan kurva permintaan D2. Kedua kelompok tersebut berhadapan dengan pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang menawarkan suatu kebijakan S.
t
S
S1
B
t2 t0 t1
S2
E
A
C
F
D2 D1
0
restriksi
Gambar 6. Proses Terbentuknya Suatu Kebijakan Melalui Pasar Politik (Sumber: Mansfield dan Busch, 1995)
57 Seandainya pemerintah menawarkan suatu kebijakan S, maka tarif yang dikenakan adalah t0. Dengan kebijakan tersebut kelompok anti-proteksi menginginkan kurva penawaran bergeser dari S ke S1, atau jika tetap di S mereka menginginkan tarif turun ke t1. Sebaliknya kelompok pro-proteksi menginginkan kurva penawaran bergeser dari S ke S2, atau jika tetap di S mereka ingin tarif naik ke t2. Setiap kelompok berupaya mencapai tujuannya melalui lobby, sehingga kurva penawaran mengarah sesuai dengan yang diharapkan. Lobby dapat dilakukan saat merumuskan suatu kebijakan dan/atau pada saat kebijakan tersebut sudah dihasilkan. Arah kebijakan sangat ditentukan oleh keberpihakan pihak pengambil kebijakan. Hal ini sangat berkaitan dengan kepentingan politik. Menurut Mansfield dan Busch (1995), terdapat bukti bahwa pejabat publik berusaha untuk meningkatkan peluangnya untuk dipilih kembali dengan mendukung proteksi selama periode fluktuasi ekonomi makro (pengangguran dan nilai tukar) dan sektoral. Karena itu, benar apa yang dikatakan De Janvry et al. (1991), suatu paket kebijakan dapat diterapkan dan berkelanjutan hanya jika melalui uji kelayakan politis, kelayakan efisiensi (pertumbuhan) dan kelayakan kesejahteraan yang sering kali bersifat trade off. Untuk menurunkan trade off strategi yang harus dilakukan adalah: (1) meningkatkan fleksibilitas ekonomi, (2) meningkatkan derajat otonomi, (3) melakukan persuasi terhadap publik, dan (4) menggunakan skema kompensasi. Makin layak suatu kebijakan maka efektivitas keberhasilannya diharapkan semakin tinggi. Dari uraian di atas formulasi kebijakan dilakukan melalui berbagai proses dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dilalui atau tidak dilalui semua tahapan proses dengan melibatkan atau tidak melibatkan berbagai lapisan kepentingan sejak dari formulasi kebijakan hingga implementasinya akan menentukan tingkat kelayakan efisiensi, sosial dan politik suatu kebijakan yang selanjutkan akan menentukan efektivitas suatu kebijakan.
58
3.1.2. Kebijakan Harga Pangan
Menurut Fogiel (1992), elastisitas permintaan suatu produk ditentukan oleh: (1) keberadaan produk substitusi, makin banyak produk substitusinya makin elastis permintaannya, (2) pendapatan yang digunakan terhadap suatu produk, makin besar pendapatan yang digunakan untuk suatu produk makin elastis permintaan produk tersebut, dan (3) tingkat kebutuhan terhadap suatu produk, makin tinggi tingkat kebutuhan terhadap suatu produk makin tidak elastis permintaan produk tersebut. Berdasarkan hal itu, produk pangan yang merupakan kebutuhan pokok umumnya permintaannya tidak elastis jika dibandingkan produk non pangan. Sifat ini yang melatar belakangi fluktuasi harga pangan dibanding produk non pangan (Gambar 7). Kondisi awal produksi di Q* dan harga masing-masing komoditas di P*. Jika terjadi perubahan produksi, misalkan Q* turun ke Q1, maka harga pangan meningkat tajam dari P* ke P1p lebih tinggi dibandingkan harga non-pangan P1np. Sebaliknya, jika produksi meningkat dari Q* ke Q2, maka harga pangan menurun tajam dari P* ke P2p lebih rendah dibandingkan harga produk non-pangan P2np. Harga
P1p P1np P* P2np
Non-Pangan
P2p Pangan
0
Q1
Q*
Q2
Q
Gambar 7. Fluktuasi Harga Pangan dan Non Pangan Akibat Perubahan Produksi (Sumber: Nicholson, 2000)
59 Sifat harga pangan yang demikian menyebabkan petani menerima harga rendah saat panen raya dan sebaliknya pada saat produksi rendah. Dua keadaan ekstrim ini dapat menimbulkan kerisauan bagi konsumen pada saat produksi rendah dan bagi produsen pada saat panen raya, sehingga diperlukan peran pemerintah untuk mengendalikan harga pangan ke arah yang lebih stabil dengan tujuan untuk melindungi konsumen maupun produsen. Menurut Ellis (1992), salah satu tujuan kebijakan harga pertanian adalah menstabilkan harga pertanian agar mengurangi ketidakpastian usahatani, dan menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro. Selanjutnya dikatakan, kebijakan harga pertanian dapat dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, dan intervensi langsung. Secara tidak langsung stabilisasi harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari aspek mikro kebijakan harga pangan bertujuan menstabilkan harga pangan dan menstabilkan penerimaan petani. Kedua tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan aktivitas petani untuk tetap berproduksi, sehingga ketersediaan pangan sebagai kebutuhan pokok menjadi stabil dan berkelanjutan. Stabilnya harga pangan dan penerimaan petani akan meningkatkan akses masyarakat terhadap produk pangan. Dari aspek makro, dengan asumsi kontribusi pengeluaran pangan masih signifikan terhadap pengeluaran total rumah tangga, fluktuasi harga pangan dapat menyebabkan fluktuasi inflasi.
Jika ini terjadi stabilitas ekonomi makro akan
terpengaruh yang menyebabkan meningkatnya ketidakpastian untuk berusaha. Adanya kebijakan harga pangan diharapkan dapat menghindari fluktuasi harga pangan dan selanjutnya meredam instabilitas ekonomi makro yang mungkin terjadi.
60
3.1.3. Keterkaitan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Ketahanan Pangan
Untuk komoditas pangan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan permintaan yang progresif. Berdasarkan hal tersebut dan dengan asumsi harga pangan yang dibayar rumah tangga adalah sama, maka menurut Hukum Engel pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan (Deaton dan Muellbauer, 1980). Hukum tersebut dapat dijelaskan berdasarkan Kurva Engel pada Gambar 8. Dengan asumsi harga barang tetap, peningkatan kesejahteraan penduduk yang ditunjukkan oleh garis anggaran dan kurva indeferen yang bergeser ke kanan atas akan meningkatkan konsumsi barang dengan proporsi yang semakin berkurang untuk kasus barang normal (Q1) dan proporsi yang semakin meningkat untuk kasus barang mewah (Q2). Karena harga barang diasumsikan tetap maka pangsa pengeluaran untuk belanja pangan yang merupakan barang normal akan semakin berkurang.
Q2 BL3 KI3 BL2 KI2
BL1
KI1
0
Q1
Gambar 8. Hubungan Pendapatan dan Permintaan terhadap Barang dengan Asumsi Harga Barang Tetap, Kasus Barang Normal (Q1) dan Barang Mewah (Q2) (Sumber: Varian, 1992)
61 Meningkatnya kesejahteraan akan meningkatkan konsumsi pangan individu karena daya beli terhadap pangan makin meningkat. Dengan kata lain menurunnya pangsa pengeluaran pangan akan meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam teori
kesejahteraan, kurva indeferen individu dapat diangkat menjadi kurva indeferen masyarakat, sehingga jika kesejahteraan individu meningkat maka kesejahteraan masyarakat (lokal, regional dan nasional) juga akan meningkat. Dengan demikian ada hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dan ketahanan pangan. 3.1.4. Keterkaitan Kebijakan Harga Pangan dan Ketahanan Pangan
Dengan menggunakan pendekatan garis anggaran dan kurva indeferens (Deaton dan Muellbauer, 1980), dapat dijelaskan keterkaitan antara kebijakan harga pangan dengan tingkat pendapatan dan konsumsi pangan yang mengindikasikan ketahanan pangan.
Untuk menyederhanakan analisis, beberapa asumsi yang
digunakan adalah: (1) hanya ada dua komoditas yang dikonsumsi yaitu kelompok pangan dan non pangan, (2) makin ke kanan kurva indeferens menunjukkan konsumen semakin sejahtera, (3) pangan merupakan barang normal, (4) harga barang non pangan tetap, dan (5) konsumen dibatasi oleh pendapatan m dan bisa memilih bundel komoditas pangan X dan komoditas non pangan Y sehingga persamaan garis anggarannya adalah: m = Px ∗ X + Py ∗ Y
(10)
atau dalam bentuk persamaan garis anggaran sebagai berikut: Y=
dimana
m Px − X Py Py
(11)
m Px adalah intersep dan adalah koefisien kemiringan. Py Py Dampak kebijakan harga pangan bagi produsen (net consumer) dapat melalui
dua jalur. Pertama melalui jalur produksi, subsidi input menyebabkan penggunaan
62 teknologi meningkat sehingga produksi menjadi meningkat. Peningkatan produksi dengan biaya yang disubsidi dan harga output yang stabil menyebabkan pendapatan petani meningkat sebesar k.
Peningkatan pendapatan ini menggeser garis anggaran
ke kanan dari BL1 ke BL2 (Gambar 9), akibat perubahan pendapatan dari m menjadi m+k, sehingga persamaan (10) menjadi : m + k = Px ∗ X + Py ∗ Y
(12)
Y BL3 BL2 KI3 KI1
BL1
0
X1
X2
KI2
X3
X
Gambar 9. Dampak Peningkatan Pendapatan dan Penurunan Harga Pangan terhadap Kesejahteraan dan Konsumsi Pangan Kedua melalui jalur konsumsi, karena sebagian besar produsen pangan adalah net cunsumer maka petani akan menerima juga dampak adanya operasi pasar yang menyebabkan mereka membeli pangan dengan harga murah. Adanya subsidi pangan (quantity subsidy) sebesar s menyebabkan harga pangan Px menjadi lebih murah, efek totalnya (efek substitusi dan efek pendapatan) menyebabkan garis anggaran BL2 berotasi menjadi BL3. Secara matematika persamaan (12) berubah menjadi:
m + k = ( Px − s) ∗ X + Py ∗ Y
(13)
63
sehinga garis anggaran BL2 dengan koefisien kemiringan
kecil yaitu
Px berubah menjadi lebih Py
Px − s dari persamaan BL3 setelah ada subsidi, sebagai berikut. Py
Y=
m + k Px − s − X Py Py
(14)
Kepuasan maksimun yang diperoleh petani sebagai konsumen tercapai saat persinggungan garis anggaran dengan kurva indeferens. Dengan bergesernya garis anggaran ke kanan sekaligus juga menggeser kurva indeferens ke kanan dari KI1 ke KI2 ke KI3.
Pergeseran ini mengindikasikan makin meningkatnya kesejahteraan
petani dan makin meningkatnya konsumsi pangan, sehingga mengindikasikan makin meningkatnya tingkat ketahanan pangan petani. melalui jalur konsumsi.
Dampak bagi konsumen hanya
Dengan menggunakan bagian Gambar 9 dan asumsi
pendapatan nominal tetap, hanya terjadi efek rotasi garis anggaran yang menyebabkan meningkatnya konsumsi pangan, sehingga meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Beberapa kebijakan yang berdampak positif terhadap ketahanan pangan (Von Braun et al. 1992 dalam: Saliem et al., 2003) adalah: (1) kebijakan yang mempunyai dampak positif tinggi dalam jangka pendek adalah subsidi input, peningkatan harga output dan perdagangan pangan termasuk intervensi distribusi, (2) pilihan kebijakan yang mempunyai dampak positif tinggi dalam jangka panjang adalah perubahan teknologi, ekstensifikasi, jaring pengaman ketahanan pangan, investasi infrastrukur, kebijakan makro, pendidikan dan kesehatan, dan (3) kebijakan pembangunan sektor non pertanian memberikan dampak positif medium, kebijakan diversifikasi pertanian dan pekerjaan umum memberikan dampak positif yang rendah pada produksi pangan dalam jangka panjang.
64 Berdasarkan gambaran di atas maka peranan pertanian terhadap ketahanan pangan merupakan keniscayaan.
Peran tersebut dapat berupa upaya peningkatan
produksi maupun kebijakan yang mendukung.
Dari sisi produksi, menurut
Sudaryanto dan Syafa’at (2002), sasaran Program Peningkatan Ketahanan Pangan adalah: (1) meningkatnya produksi beras secara berkelanjutan untuk memantapkan ketahanan pangan nasional, (2) meningkatnya produksi pangan sumber karbohidrat non beras yang berakar pada sumberdaya dan budaya lokal, (3) meningkatnya produksi pangan sumber protein untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, dan (4) meningkatnya keanekaragaman dan kualitas konsumsi pangan dan menurunnya konsumsi beras per kapita.
Dari sisi kebijakan, sebagai pendukung kebijakan
ketahanan pangan ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri melalui serangkaian kebijakan perdagangan (tarif) yang rasional, kebijakan fiskal berupa pajak ekspor dan impor yang fleksibel dan bentuk-bentuk insentif nonmonetary berupa penyediaan teknologi, dan penganekaragaman produksi dan konsumsi (Sudaryanto dan Syafa’at, 2002),. Uraian di atas menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan hanya berkaitan dengan sektor pertanian dan pangan yang berkaitan dengan peningkatan produksi, tetapi juga mencakup masalah pertumbuhan daya beli masyarakat. Selain itu perlu juga didukung oleh pembangunan infrastruktur pertanian, teknologi pertanian, kebijakan makro, kebijakan pendidikan dan kesehatan masyarakat. 3.1.5. Keterkaitan Kebijakan Harga Pangan dan Indikator Ekonomi Makro
Variabel ekonomi makro yang menjadi isu utama adalah pertumbuhan output, laju inflasi, pengangguran dan neraca pembayaran (Stiglitz, 1997; Dornbusch, Fisher dan Startz, 1998). Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui pasar
65 barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar saham yang membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan eksternal. Beberapa studi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian besar pendapatan masih digunakan untuk pangan, sehingga pengaruh perubahan harga pangan terhadap inflasi diduga cukup besar. Indikator ekonomi makro yang terkait langsung dengan kebijakan harga pangan adalah inflasi. Secara mikro inflasi dipengaruhi harga-harga komoditas. Tingkat inflasi akan mempengaruhi keseimbangan di pasar uang, pasar tenaga kerja, pasar barang, dan daya saing produk di pasar internasional yang akhirnya akan mempengaruhi keseimbangan makro. Hubungannnya
dengan
keseimbangan
eksternal,
sukubunga
akan
mempengaruhi net capital inflow dan tingkat harga umum serta nilai tukar akan mempengaruhi balance of trade, dimana keduanya mempengaruhi BOP dengan formulasi sebagai berikut: BOP = (X - M) + (CI – CO)
(15)
BOP = [X(P, E) – M(P,Y,E)] – NCI(i – i*)
(16)
dimana: CI = Capital inflow; E = Nilai tukar ; X = Ekspor;
CO = Captal outflow P = Tingkat harga umum M = Impor
Y = Pendapatan domestik; i = Suku bunga domestik;
NCI = Net capital inflow i* = Suku bunga foreign
Perubahan BOP akan mempengaruhi penawaran dolar di pasar valuta asing domestik. Pada kondisi surplus menyebabkan peningkatan penawaran dolar yang menyebabkan apresiasi rupiah terhadap dolar AS, sebaliknya pada kondisi defisit. Jika terjadi kegagalan panen pada suatu negara dimana kontribusi pengeluaran pangan masyarakatnya lebih tinggi dari pengeluaran non pangan, akan memberikan efek pada ekonomi makro. Menurut Dawe (2002) pengaruh gangguan panen pada
66 variabel ekonomi makro dapat terjadi pada tiga kondisi, yaitu: (1) tidak ada intervensi pemerintah dan ekonomi tertutup; (2) ada intervensi pemerintah berupa kebijakan buffer stock dan perekonomian tertutup dan (3) pada perekonomian terbuka. Berikut akan diuraikan transmisi gangguan panen pada berbagai kondisi tersebut terhadap keseimbangan ekonomi makro. a. Tanpa Intervensi Pemerintah
Jika harga pangan utama berubah akibat hasil panen yang baik atau buruk, pengeluaran untuk pangan utama juga akan berubah sepanjang elastisitas harga tidak elastis. Jika terjadi gagal panen, harga pangan cenderung akan meningkat. Akibatnya pengeluaran untuk pangan juga meningkat, sehingga jumlah uang untuk pembelanjaan non pangan berkurang dan menggeser kurva permintaan non pangan. Sebaliknya, jika pengeluaran untuk pangan menurun karena penen berhasil. Dengan mengasumsikan hanya terdapat dua sektor dalam ekonomi, pangan dan non pangan, jika terjadi kegagalan panen, harga pangan akan meningkat dari P0P dan P1P. Ini berimplikasi pengeluaran untuk pangan meningkat dan akan berimbas ke sektor non pangan berupa penurunan harga dan inflasi akan meningkat (Gambar 10). Sebaliknya, jika ada kenaikan produksi pangan. Dengan demikian, fluktuasi panen akan menyebabkan instabilitas, baik bagi konsumen beras dan petani padi maupun produsen manufaktur. Jika konsumen mempunyai akses ke bank maka kelebihan uang saat harga pangan rendah akan ditabung ke bank untuk membeli ketika harga pangan tinggi. Jika demikian konsumsi barang manufaktur akan kurang dipengaruhi oleh fluktuasi panen.
Jumlah tabungan akan mempengaruhi tingkat suku bunga bank. Terjadi
sebaliknya jika panen mengalami kegagalan. Perubahan suku bunga akan mempengaruhi produsen pada sektor manufaktur. Pengaruh tersebut dapat
67 dihilangkan jika bank memiliki akses dengan level biaya transaksi lebih rendah pada pasar modal internasional yang stabil. Namun demikian, pasar modal internasional tidak selalu stabil.
S 1P
S0 P
S0NP
PP
PNP
P 1P P0NP P 0P
P1NP D0 P
0
Q 1P
Q0 P
QP
D1NP D0NP
0
Q1NP Q0NP
QNP
Gambar 10. Pengaruh Gagal Panen terhadap Harga Pangan dan Harga Non Pangan (Sumber: Dawe, 2002) Jika petani tidak akses ke bank, mereka mungkin akan menanam berbagai jenis tanaman untuk meminimalkan dampak dari kemungkinan cuaca buruk. Strategi ini akan meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi menurunkan output rata-rata dengan mengurangi gain untuk melakukan spesialisasi. Bentuk lainnya adalah konsumen akan menyimpan uang atau emas untuk menghindari pengaruh ketidakstabilan harga. Akibatnya investasi produktif dalam ekonomi akan menderita. Bagaimana keterkaitan dampak kegagalan panen tanpa intervensi pemerintah terhadap variabel ekonomi makro melalui variabel inflasi dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Jika cuaca buruk menyebabkan produksi pertanian menurun, sehingga kurva produksi agregat (Gambar 11a) bergeser ke bawah dari KP0 (N; Ko; Co) ke KP1 (N; Ko; C1). Pada kondisi tenaga kerja dan kapital tertentu, produksi turun dari Y0 ke Y1. Dengan asumsi produk marginal tenaga kerja (MPL) menurun,
68 maka di pasar tenaga kerja permintaan terhadap tenaga kerja menurun sehingga kurva permintaan tenaga kerja (Gambar 11b) bergeser dari WD0 [P0.f0 (N)] menjadi WD1 [P0.f1 (N)]. Akibatnya N menurun dari N0 ke N2 dan menyebabkan Y turun bergerak sepanjang KP1 dari Y1 ke Y2.
Pada harga P0 penurunan output dari Y0 ke Y2
menyebabkan kurva AS bergeser ke kiri atas dari AS0 ke AS1 (Gambar 12c). Akibatnya terjadi excess demand yang menyebabkan kenaikan harga dari P0 ke P3. Pada model Keynessian informasi yang diterima pekerja tidak sempurna (p<1)- kenaikan harga tersebut direspon oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja sehingga kurva WD1 bergeser ke kanan atas menjadi WD2 [P3.f1(N)]. Pada sisi lain pekerja juga merespon dengan menurunkan penawaran tenaga kerja sehingga kurva WS bergeser ke kiri atas dari WS0 [P0e.g(N)] ke WS1 [P3e.g(N)]. Akan tetapi pergeseran WS lebih kecil daripada pergeseran WD, sehingga N naik kembali dari N2 ke N3. Akibatnya Y naik kembali sepanjang kurva produksi yang baru (KP1) dari Y2 ke Y3 dan hal yang sama terjadi pada kurva AS bergerak sepanjang kurva dari Y2 ke Y3. Di pasar uang, kenaikan harga dari P0 ke P3 menyebabkan kurva penawaran uang (Gambar 12a) bergeser ke kiri atas dari MS0/P0 ke MS0/P3 yang menyebabkan LM juga bergeser ke kiri atas dari LM0 ke LM2 (Gambar 12b) sehingga suku bunga naik dari r0 ke r2. Kenaikan r menyebabkan investasi menurun bergerak sepanjang kurva IS0, sehingga output turun dari Y0 ke Y3. Secara keseluruhan keseimbangan makro baru terjadi pada tingkat output Y3 (turun dari Y0 ke Y3), harga P3 (naik dari P0 ke P3), suku bunga r2 (naik dari r0 ke r2) dan tenaga kerja N3 (turun dari N0 ke N3). Atau dengan perkataan lain kegagalan panen tanpa intervensi pemeritah pada perekonomian tertutup menyebabkan stagflasi yang diikuti dengan meningkatnya suku bunga.
69 Pengaruh terhadap tenaga kerja bisa berbeda, tercipta lapangan kerja, yaitu lebih besar dari N0. Ini terjadi jika kurva AD sangat tegak, sehingga kenaikan harga dari P0 ke P3 cukup besar menyebabkan permintaan tenaga kerja meningkat tajam hinga melebihi N0 (WD2 bergerak ke kanan WD0 pada Gambar 11b).
Namun
demikian Y tetap di bawah Y0, karena penurunan kurva produksi dari KP0 ke KP1.
Y KP0
Y0 Y1
KP1
Y3 Y2
0 (a)
N 2 N 3 N0
W WS1
N
WS0
W0 W1 WD2 WD0 WD1 0 (b)
N 2 N3 N 0
N
Gambar 11 Dampak Kegagalan Panen terhadap Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja pada Perekonomian Tertutup (Sumber: Branson, 1979)
70
MS0/P3 MS0/P0
r
r
LM2 LM0
r2 r0
r2 r0
IS0
MD0 L2 L1
0
L
0
(a)
Y 2 Y3
Y0
Y
(b)
P
AS1
AS0
P3 P0 AD0 0 (c)
Y2 Y3 Y0
Y
Gambar 12. Dampak Kegagalan Panen terhadap Keseimbangan Makro pada Perekonomian Tertutup (Sumber: Branson, 1979)
71
b. Fungsi dari Buffer Stock
Dalam kasus gangguan suplai positif, kurva suplai beras bergeser ke kanan dari S0 ke S1, sehingga terjadi ekses suplai Q0Q2. Agar tidak terjadi penurunan harga dari P0 ke P1 dan untuk cadangaan, ekses tersebut perlu dikumpulkan sehingga kurva permintaan begeser ke kanan dari D0 ke D1 dengan harga tetap di P0 (Gambar 13). P S0
S1
P0
P1
D0
0
Q0
Q1
D1
Q2
Q
Gambar 13. Kebijakan Stok Pangan saat Produksi Melimpah Pengumpulan bahan pangan tersebut membutuhkan dana. Di Indonesia digunakan dana Bank Indonesia (BI). Ada dua kebijakan berbeda yang mungkin dijalankan terhadap uang yang digunakan untuk menahan dan/atau mendistribusikan suplai pangan. Kemungkinan pertama, tidak ada “sterilisasi”. Pembelian excess supply menggunakan dana BI akan meningkatkan suplai uang dan level harga agregat Kemungkinan kedua, BI melakukan sterilisasi ,dengan menjual Sertifikat Bank Indonesia, terhadap perubahan pada suplai uang yang digunakan untuk mengumpulkan dan/atau mendistribusikan suplai beras. Jika ini dilakukan berdasarkan satu untuk satu, hasilnya adalah sterilisasi sempurna. Dalam skenario ini, surplus panen tidak menyebabkan peningkatan suplai uang dan level harga agregat.
72 Pada kondisi pemerintah melakukan intervensi tanpa sterilisasi dan ekonomi dalam keadaan tertutup, ganguan panen secara langsung dapat mempengaruhi penawaran uang. Karena pemerintah melakukan intervensi membeli kelebihan suplai beras domestik untuk cadangan menggunakan dana KLBI. Ini berarti BI menambah penawaran uang ke pasar dan akan mempengaruhi keseimbangan di pasar uang. Meningkatnya penawaran uang pada tingkat harga tetap, akan menyebabkan kurva penawaran MS/P bergeser ke kanan dari MS0/P0 ke MS1/P0 (Gambar 14a). Pada tingkat harga yang sama akan menyebabkan ekses penawaran uang. Kelebihan uang ini akan meningkatkan permintaan terhadap Bond. Pada penawaran Bond tetap maka harga Bond meningkat. Untuk memperoleh imbal hasil yang sama maka suku bunga Bond harus menurun. Begesernya MS/P ke kanan yang diikuti dengan menurunnya r dari r0 ke r1 menyebabkan kurva LM juga bergeser ke kanan dari LM0 ke LM1 dan investasi meningkat melalui pergerakan sepanjang kurva IS0 sehingga output meningkat dari Y0 ke Y1 (Gambar 14b). Kenaikan output pada harga tetap di P0 menyebabkan kurva AD bergeser ke kanan dari AD0 ke AD1 yang menyebabkan ekses permintaan. Ekses permintaan ini meningkatkan harga dari P0 ke P1 (Gambar 14c). Kenaikan P dari P0 ke P1 menggeser keseimbangan di pasar uang sehingga MS1/P0 bergeser ke kiri atas menjadi MS1/P1. Hal ini menyebabkan kurva LM1 bergeser ke kiri atas menjadi LM2. Pergeseran ini menaikkan suku bunga yang menyebabkan investasi berkurang, sehingga output turun dari Y1 ke Y2 dan terjadi keseimbangan. Di pasar tenaga kerja, kenaikan harga dari P0 ke P1 menyebabkan pengusaha meningkatkan produksi sehingga butuh tenaga kerja lebih banyak yang ditunjukkan oleh bergesernya
kurva WD ke kanan atas dari WD0 ke WD1.
Dengan
menggunakan asumsi Keynessian (p<1), peningkatan permintaan tenaga kerja tersebut direspon oleh tenaga kerja dengan menawarkan tenaga kerja lebih rendah yang
73 ditunjukkan oleh bergesernya kurwa WS ke kiri atas, namun pergeserannya lebih kecil dari pergeseran WD (Gambar 15b). Keseimbangan makro baru terjadi pada tingkat output Y2, harga P1, suku bunga r2 dan tenaga kerja N2. Intervensi pemeritah dengan adanya kelebihan produksi tanpa sterilisasi pada perekonomian tertutup menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh meningkatnya inflasi, penurunan suku bunga, dan meningkatnya kesempatan kerja.
MS0/P0
r
MS1/P1 MS1/P0 r
r0
r0
r2 r1
r2 r1
LM0 LM2 LM1
MD0 0
(a)
L0 L2 L1
L
IS0 0
(b)
Y0 Y2 Y1
P
Y
AS0
P1 P0
AD1 AD0
0
Y0
Y2
Y1
Y
(c) Gambar 14. Dampak Kebijakan Buffer Stock terhadap Keseimbangan Makro pada Perekonomian Tertutup
74
Y Y2 Y0
KP0
0
N0
(a)
N
N2
W
WS1
WS0
W2
W0 WD0
0 (b)
N0
N2
WD1
N
Gambar 15. Dampak Kebijakan Buffer Stock terhadap Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja pada Perekonomian Tertutup
75
c. Stabilisasi Harga Pangan pada Ekonomi Terbuka
Jika pasar pangan internasional besar dan stabil, setiap perubahan pada produksi domestik dapat dikompensasi ke dalam pasar internasional, sehingga pasar domestik akan secara otomatis terstabilisasikan. Argumen ini sangat logis tetapi asumsi yang mendasari logika ini tidak benar.
Dalam hal padi/beras, pasar
internasional yang besar dan stabil tidak ada (Gambar 16).
P
S0
S1
P
S1
S0
P0 P1
D1
D0 0
Q
0
Q
(a) (b) Gambar 16. Hubungan Gangguan Produksi Pangan Domestik dengan Pasar Internasional Jika terjadi gangguan suplai positif (Gambar 16a) kurva penawaran bergeser ke kanan dari S0 ke S1, sehingga terjadi kelebihan suplai. Jika kelebihan suplai tersebut diekspor kurva suplai S1 kembali lagi ke S0. Demikian juga jika terjadi gangguan negatif (Gambar 16b) kurva penawaran akan bergeser ke kiri dari S0 ke S1, sehingga terjadi kekurangan suplai. Jika kekurangan suplai tersebut dipenuhi dari impor, maka kurva penawaran S1 kembali lagi ke S0 .
Kedua upaya tersebut
menyebabkan harga akan menjadi stabil. Namun dalam prakteknya, struktur pasar beras dunia sangat berbeda dengan struktur pasar pangan lainnya. Bentuk yang paling membedakan adalah sangat kecil produksi beras dunia yang masuk ke dalam pasar internasional (thin market).
76 Menurut Amang dan Sawit (2001) beras yang dipasarkan di pasar dunia hanya 4-7 persen dari total produksi beras dunia yaitu sebesar 15 juta ton. Jika Indonesia menggantungkan impor 10 persen saja dari kebutuhan domestik atau tiga juta ton, berarti akan menyerap 20 persen dari volume beras dunia yang diperdagangkan. Volume beras yang diperdagangkan tersebut dikuasai oleh enam negara eskportir penting yaitu Thailand, Vietnam, Cina, AS, Pakistan dan India. Selain itu, permintaan dan penawaran pasar beras internasional adalah tidak elastis merespon perubahan harga.
Karena produsen di Asia memberikan prioritas tinggi pada
stabilitas suplai domestik, termasuk mengadakan stok untuk cadangan. Jika demikian, negara importir yang kekurangan pangan tidak mudah mendapatkan beras dari pasar dunia, karena produsen mengutamakan untuk stok dan akan megekspor cadangan berasnya jika memiliki produksi baru, sehingga jumlahnya terbatas dan harganya relatif lebih mahal. Bentuk pasar beras internasional yang kecil dan penawaran serta permintaan yang tidak elastis menyebabkan harga menjadi tidak stabil. Menurut Amang dan Sawit (2001), selama periode 1965-1995, koefisien variasi harga beras di pasar dunia adalah 33 persen dibandingkan koefisien variasi harga beras di pasar domestik hanya delapan persen. Artinya harga beras domestik empat kali lebih stabil dibandingkan harga beras di pasar dunia. Dengan demikian, harga beras domestik akan sangat tidak stabil jika pemerintah mengijinkan perdagangan bebas tanpa batasan untuk beras. Ketidakstabilan harga beras akan diterjemahkan menjadi ketidakstabilan untuk komoditas non pangan yang akan memberikan pengaruh pada investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pengendalian penawaran domestik dalam bentuk stok penyangga, pengendalian impor dan peningkatan teknologi diperlukan untuk mencegah ketidakstabilan harga beras domestik.
77 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa gangguan panen atau panen raya dapat mempengaruhi kondisi ekonomi makro melalui berbagai jalur, di antaranya melalui inflasi, suku bunga bank, pertumbuhan ekonomi, investasi, kurva produksi agregat, dan penawaran uang. Untuk mengantisipasi dampak gangguan panen atau panen raya terhadap stabilitas ekonomi makro pemerintah melakukan kebijakan harga pangan. Tujuan utama kebijakan harga pangan adalah untuk meningkatkan ketersedian dan konsumsi pangan yang berkaitan dengan aspek ketahanan pangan. Kebijakan harga pangan juga diharapkan mampu meredam instabilitas ekonomi makro akibat adanya gangguan panen atau panen raya. Namun demikian kebijakan harga pangan yang menggunakan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan APBN yang tidak terkendali juga dapat menyebabkan instabilitas ekonomi. Karena KLBI yang bersumber dari Bank Indonesia merupakan dana segar sehingga jika dana kebijakan harga pangan dari KLBI meningkat berarti penawaran uang meningkat. Demikian juga peningakatan dana APBN akan meningkatkan permintaan agregat. Peningkatan penawaran uang dan permintaan agregat akibat dari kebijakan harga pangan akan memicu terjadinya inflasi. Dengan menggunakan model VECM penelitian ini akan melihat bagaimana dampak dan pengaruh kebijakan harga pangan terhadap stabilitas ekonomi makro. 3.2.
Kerangka Konseptual
3.2.1. Bentuk Kebijakan Harga Pangan
Kenaikan harga merupakan kondisi yang relatif disukai produsen dan akan mendorong produsen untuk berproduksi. Namun, jika peningkatan produksi tidak diikuti dengan kenaikan daya beli konsumen akan menjadi sia-sia.
Sebaliknya
penurunan harga relatif disukai konsumen dan akan meningkatkan daya beli. Akan tetapi peningkatan daya beli tidak ada gunanya jika tidak diikuti peningkatan
78 produksi. Keadaan yang dinginkan adalah terjadi pertumbuhan output dengan tingkat inflasi yang moderat terkendali dan terjaminnya ketahanan pangan.
Inflasi yang
fluktuatif, walaupun diikuti dengan pertumbuhan output yang tinggi kurang disukai, karena menyebabkan ketidakpastian ekonomi, sosial, dan politik.
Berdasarkan
pemikiran tersebut maka stabilisasi harga merupakan suatu opsi kebijakan yang banyak mendapat perhatian. Berdasarkan penyebabnya, kebijakan stabilisasi harga atau stabilisasi harga dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan harga pangan, yaitu kebijakan harga dasar (floor price) dan kebijakan harga tertinggi (ceiling price).
Kebijakan ini
menyebabkan ketidakseimbangan pasar, sehingga diperlukan kebijakan pendukung yaitu melakukan stok atau ekspor saat kebijakan harga dasar ditetapkan dan melakukan operasi pasar saat kebijakan harga atap ditetapkan (Sugiarto et al. 2002). Menurut Ellis (1992), kebijakan harga yang merupakan upaya untuk menstabilkan harga pertanian, khususnya beras, dapat dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, dan intervensi langsung. Selain melalui kebijakan harga, secara tidak langsung stabilisasi harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input (Ellis, 1992). Kebijakan input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan Pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida dan kredit. Di Indonesia, pupuk sebagai input usahatani padi dan tanaman pangan lain mendapat subsidi terbesar, dengan argumen pemberian subsidi pupuk adalah untuk: (1) merangsang penggunaan pupuk oleh petani sebagai bagian dari penerapan teknologi pertanian dan peningkatan produksi pangan, (2) menstabilkan harga di tingkat petani, dan (3) lebih mengefisienkan transfer sumberdaya dari Pemerintah ke petani guna membantu pembangunan di pedesaan (Rusastra, et al. 2002).
79 Dari berbagai bentuk kebijakan yang ada, konsep kebijakann harga yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) kebijakan harga input yang terdiri dari subsidi harga input dan subsidi kredit pengadaan input, (2) kebijakan harga output yang terdiri dari subsidi pengadaan pangan dan subsidi kredit pengadaan pangan, dan (3) kebijakan harga input-ouput yang merupakan gabungan dua kebijakan sebelumnya. Ukuran yang digunakan adalah jumlah dana (milyar rupiah)
yang
digunakan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut Sebenarnya kebijakan perdagangan juga termasuk kebijakan harga. Namun dalam studi ini tidak dianalisis, karena dalam kebijakan pengadaan dan penyaluran pangan sudah termasuk dalam kebijakan harga output.
Dengan demikian kalau
kebijakan perdagangan dimasukkan dengan menilai volume impor pangan, diduga akan terjadi perhitungan ganda. 3.2.2. Konsep dan Status Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia.
Penggunaan pangan tidak
hanya sebagai pemberi zat gizi, tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi dan politik (Buckle, et al. 1987). Karena pentingnya posisi pangan dalam masyarakat, maka diperlukan peraturan dan perundang-undangan tentang pangan. Undang-Undang yang mengatur tentang pangan adalah UU No.7 tahun 1996 Pemerintah Republik Indonesia (1996). Menurut UU tersebut pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. UU No.7/1996 belum menyebutkan status pangan, akan tetapi dalam PP No.68/2002 ada disebut status pangan tertentu yang bersifat pokok, misalnya beras.
80 Dalam kasus pangan pokok, peran pemerintah melebihi peran terhadap pangan lain, yaitu mewujudkan cadangan pangan dan melakukan pengendalian harga. Dari aspek gizi, Hariyadi et al. (2003) mendefinisikan pangan pokok adalah pangan yang dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat/kalori, yang meliputi serealia (beras, jagung jali, sorgum dan sebagainya) umbi-umbian (singkong, ubijalar, talas, kentang, uwi, garut dan sebagainya) dan tanaman pohon (sagu, sukun, pisang dan sebagainya). Namun demikian sampai saat ini kebijakan pangan nasional masih bertumpu pada beras. Kenapa ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan komoditas beras. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut adalah (Amang dan Sawit, 2001) : 1. Beras merupakan pangan pokok utama dengan tingkat partisipasi konsumsi yang paling tinggi dibandingkan bahan pangan lain. 2. Kebijakan diversifikasi pangan dalam upaya memperbaiki mutu gizi masyarakat sudah ditetapkan sejak tahun 1974 dan disempurnakan dengan Inpres No.20/1979, namun hingga kini hasilnya belum efektif. 3. Secara fisik pangan non beras tidak siap untuk dikonsumsi secara langsung. Masih diperlukan industri pengolahan untuk memudahkan dikonsumsi dan disimpan.
Sementara itu
untuk beras mudah disimpan dan diolah untuk
dikonsumsi tanpa melalui proses teknologi yang rumit. 4. Jagung dan umbi-umbian merupakan barang inferior, sedangkan beras barang normal dan permintaannya tidak elastis terhadap perubahan harga. Artinya kenaikan pendapatan menurunkan konsumsi jagung dan umbi-umbian, sebaliknya untuk beras. Kalaupun harga beras naik, permintaanya tidak banyak berubah. 5. Substitusi beras oleh pangan non beras melalui kebijakan harga dan subsidi mengalami kesulitan, karena elastisitas silang beras dan non beras (selain terigu) nilainya relatif kecil.
81 6. Nilai gizi beras, baik kandungan energi mapun proteinnya, relatif lebih tinggi dari bahan pangan pokok lainnya (Tabel 10). 7. Beras terkait erat dengan inflasi dan kestabilan ekonomi makro. 8. Indonesia merupakan negara net importer beras terbesar, sedangkan beras di pasar dunia tipis (thin market) hanya sekitar 4-7 persen dari produksi dunia. Tabel 10. Kandungan Energi dan Protein Beras dan Pangan Non Beras lainnya No. 1 2 3 4 5
Bahan Pangan Beras Jagung kuning Ubi jalar Singkong Gaplek
Energi (Kkal/100gram bahan) 360 307 123 146 338
Protein (gram/100gram bahan) 6,0 7,9 1,8 1,2 1,5
Sumber: Amang dan Sawit, 2001
BPS (2004) mendekomposisi Indek Harga Konsumen yang dikumpulkan dari 45 kota di Indonesia menjadi tujuh kelompok barang, yaitu: (1) bahan makanan, (2) makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, (3) perumahan, (4) sandang, (5) kesehatan, (6) pendidikan, rekreasi dan olah raga, dan (7) transpor, komunikasi dan jasa keuangan. Kemudian bahan makanan didekomposisi menjadi: (1) padi-padian, umbi-umbian dan hasil-hasilnya, (2) daging dan hasil-hasilnya, (3) ikan segar, (4) ikan diawetkan, (5) telur, susu dan hasil-hasilnya, (6) sayur-sayuran, (7) kacangkacangan, (8) buah-buahan, (9) lemak dan minyak, dan (10) bahan makanan lainnya. Berdasarkan indikator dan kriteria kuantitatif obyektif, Simatupang (2004) mengelompokkan komoditas beras, jagung, kedele dan gula sebagai special products. Selanjutnya menurut Sawit et al. (2004) dengan menggunakan metode I-O, dengan indeks daya penyebaran (backward linkages effect ratio) dan indeks daya kepekatan/ketergantungan (forward linkages effect ratio) dan penyerapan tenaga kerja (employment) menyaring special products menjadi 10 kelompok, yaitu: daging, susu,
82 beras, gula, jagung, buah-buahan dan sayur-sayuran, kedele, makanan lainnya, unggas dan hasil-hasilnya dan tepung lainnya. Karena penelitian ini berkaitan dengan kebijakan harga pangan dan tidak semua komoditas pangan melibatkan Pemerintah dalam bentuk kebijakan harga pangan maka tidak semua komoditas pangan akan dianalisis. Untuk itu digunakan kelompok pangan utama yang ada kaitannya dengan program kebijakan harga pangan. 3.2.3. Konsep dan Indikator Ketahanan Pangan
Menurut PP Nomor 68 tahun 2002 (Pemerintah Republik Indonesia, 2002), yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Selanjutnya dijelaskan ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain. Indikator ini masih bersifat makro, karena bisa saja pangan tersedia, tapi tidak dapat diakses oleh masyarakat. Untuk melihat apakah ketersediaan itu bersumber dari dalam negeri atau sumber lain, dapat dilihat dari rasio ketersediaan pangan dalam negeri dengan produksi dalam negeri. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun dinilai belum cukup. Untuk itu diperlukan pemahaman kinerja konsumsi pangan menurut wilayah (kota-desa) dan pendapatan (tinggi-sedangrendah).
Indikator yang dapat digunakan adalah tingkat partisipasi dan tingkat
konsumsi pangan, keduanya menunjukkan tingkat aksesibilitas fisik dan ekonomi tehadap pangan (DKP, 2003). Walaupun pangan tersedia pada suatu wilayah, jika tidak dapat diakses masyarakat maka kinerjanya rendah. Aksesibilitas tersebut menggambarkan aspek pemarataan dan keterjangkauan. Karena menurut PP No.68/2002, pemerataan mengandung makna adanya distribusi
83 pangan ke seluruh wilayah sampai tingkat rumah tangga, sedangkan keterjangkauan adalah keadaan di mana rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses pangan sesuai dengan kebutuhan untuk hidup yang sehat dan produktif. Indikator lainnya adalah mutu pangan, yaitu dapat dinilai atas dasar kriteria keamanan pangan dan kandungan gizi. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Untuk Indonesia, khususnya produk peternakan, dikenal adanya Program ASUH, yaitu Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Aman maksudnya, bahwa hewan atau unggas tidak mengandung penyakit dan menggangu kesehatan manusia.
Sehat
artinya hewan tersebut memiliki zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Utuh artinya, tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal artinya hewan dan unggas tersebut dipotong dan ditangani berdasarkan syariat Islam. Untuk mendapatkan kualitas gizi yang baik, diperlukan variasi konsumsi. Untuk itu telah dikembangkan suatu kebijakan dan instrumentasi diversifikasi konsumsi pangan, yaitu Pola Pangan Harapan (PPH). PPH adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumber energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi tingkat konsumsi. Tujuan utama penyusunan PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa (FAO-RAPA, 1989 dalam: Hariyadi et al. 2003). Pedoman ini dapat berubah sesuai kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemajuan teknologi. Menurut Simatupang (1999), secara hirarki ketahanan pangan dapat pada tingkat global, regional, nasional, lokal (daerah), rumah tangga dan individu. Tingkat ketahanan pangan yang lebih tinggi merupakan syarat yang diperlukan (necessary
84 condition) bagi tingkat ketahanan pangan yang lebih rendah, tetapi bukan syarat yang mencukupi (sufficient condition). Karena tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hal ini ditunjukkan adanya fakta bahwa walaupun ditingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan (Sudaryanto dan Rusastra, 2000; Rachman, 2004). Berdasarkan fakta tersebut, maka beberapa kelemahan mendasar paradigma ketahanan pangan pada masa Pemerintahan Orde Baru yang perlu dipahami sebagai antisipasi rumusan ketahanan pangan berkelanjutan adalah: (a) terfokus pada dimensi ketersediaan pangan (khususnya beras) pada tingkat harga murah, (b) lemahnya upaya peningkatan pendapatan dan aksesibilitas terhadap pangan, yang mengakibatkan krisis pangan tahun 1998, (c) fokus pada ketahanan pangan di tingkat nasional dan mengabaikan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, dan (d) adanya kebijaksanaan yang kontradiktif yaitu upaya peningkatan produksi dalam rangka pemantapan swasembada pangan, namun harga pangan dipertahankan relatif murah agar terjangkau sebagian besar konsumen (Sudaryanto dan Rusastra, 2000). Atas dasar kelemahan tersebut, diajukan paradigma baru ketahanan pangan berkelanjutan dengan mempertimbangkan empat dimensi utama, yaitu: ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), antisipasi risiko kegagalan panen (vulnerability) dan aspek keberlanjutan (sustainability). Menurut Simatupang (1999), vulnerabilitas dalam ketahanan pangan dibedakan menjadi dua elemen. Pertama, stabilitas, yang menunjukkan kerentanan internal pada akses dan ketersediaan pangan terhadap gangguan domestik seperti penurunan produksi pangan domestik dan goncangan ekonomi. Kedua, keandalan atau reliabilitas, mengacu pada kerentanan eksternal pada akses dan ketersediaan
85 pangan terhadap perdagangan internasional. Sementara itu, menurut Saliem et al. (2003) aspek keberlanjutan ketahanan pangan identik dengan kebijakan dan strategi peningkatan kemandirian pangan nasional. Indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian antara lain: (1) ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan domestik, yang diukur dari rasio produksi atau ketersediaan pangan domestik yang dapat dikonsumsi terhadap ketersediaan pangan nasional, (2) ketergantungan kesediaan pangan nasional pada pangan impor dan atau net impor, yang diukur dari rasio impor pangan kotor dan atau net impor terhadap ketersediaan pangan nasional, dan (3) ketergantungan ketersediaan pangan terhadap transfer pangan dari pihak atau negara lain (Simatupang, 2000 dalam: Saliem et al. 2003). Dari dua indikator pertama kemandirian pangan nasional masih tergolong aman, namun dari waktu ke waktu terjadi peningkatan ketergantungan terhadap impor. Menurut Suhardjo (1996), ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain: (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (6) perubahan kehidupan sosial, seperti migrasi, menjual/menggadaikan asset, (7) keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan, dan (8) status gizi. Karena penelitian ini berkaitan dengan kebijakan Pemerintah, maka cakupan penelitian bersifat agregat nasional. Berkaitan dengan cakupan penelitian, beberapa indikator ketahanan pangan yang digunakan peneliti lain dan ketersediaan data maka indikator ketahanan pangan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup lingkup nasional dan tingkat rumah tangga. Untuk mempertajam hasil studi ini,
86 pembahasannya akan dilengkapi dengan hasil penelitian sebelumnya, khususnya yang berkenaan dengan konsep ketahanan pangan di tingkat wilayah dan rumah tangga. Berdasarkan lingkup dan paradigma baru konsep ketahanan pangan maka dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan indikator ketersediaan pangan dan aksesibilitas pangan. Ketersediaan pangan diukur dari ketersediaan untuk konsumsi per kapita yang datanya diperoleh dari Neraca Bahan Makanan Indonesia, Badan Pusat Statistik. Makin besar angka ketersediaan pangan untuk dikonsumsi, makin tersedia pangan di tingkat nasional. Aksesibilitas pangan dapat diproksi dari tingkat konsumsi rumah tangga yang ada dari data Susenas. Makin tinggi konsumsi rumah tangga makin tinggi pula akses rumah tangga tersebut terhadap pangan. Untuk meliput aspek kualitas ketahanan pangan, maka bahan pangan yang digunakan dalam analisis diukur berdasarkan kandungan energi dan protein. Dengan demikian selain dapat mengelompokkan beberapa bahan pangan menjadi satu ukuran, analisis ini juga dapat memilah energi dan konsumsi protein. Dalam hal ini protein dapat merepresentasikan kualitas ketahanan pangan.
Di samping itu untuk
memperkaya hasil penelitian, dengan menggunakan beberapa hasil penelitian terdahulu akan digunakan skor Pola Pangan harapan sebagai reprsentasi kualitas ketahanan pangan, PDRB sebagai proksi pendapatan di tingkat regional. 3.2.4. Indikator dan Stabilitas Ekonomi Makro
Kebijakan harga pangan dapat mempengaruhi indikator ekonomi makro. Indikator ekonomi makro yang dimaksud dalam penelitian ini adalah inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan neraca perdagangan (proksi dari neraca pembayaran) yang merupakan indikator kunci (Stiglitz, 1997; Dornbusch, Fisher dan Startz, 1998). Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui pasar barang,
87 pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar saham yang membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan eksternal (balance of payment-BOP). Selain itu, variabel ekonomi makro lain yang diamati adalah Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, suku bunga bank, penawaran uang dan investasi. Stabilitas ekonomi makro dapat dilihat dari pengaruh guncangan kebijakan harga pangan atau variabel ekonomi makro lainnya terhadap variabel kunci indikator ekonomi makro.
Jika suatu guncangan menimbulkan fluktuasi yang besar pada
variabel ekonomi makro maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro rentan terhadap guncangan tersebut. Sebaliknya jika dampaknya menimbulkan fluktuasi yang kecil, maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro stabil. Ukuran yang digunakan dalam mengukur stabilitas dalam studi ini adalah dampak guncangan/shock terhadap: (1) perbedaan nilai awal dan akhir variabel endogen, (2) besarnya variasi yang dilihat dari amplitudo fluktuasi variabel endogen, dan (3) panjangnya waktu fluktuasi variabel endogen untuk mencapai pada keseimbangan baru, serta (4) koefisien variasi. Suatu guncangan dapat menyebabkan keseimbangan baru kondisinya meningkat, tetap atau menurun dari kondisi keseimbangan saat awal guncangan. 3.2.5. Konsep dan Pengukuran Efektivitas
Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencapai hasil yang maksimal dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Kaitannya dengan kebijakan, menurut Ramdan, et al. (2003) ukuran efektivitas kebijakan adalah: (1) Efisiensi; suatu kebijakan harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya secara optimal, (2) adil; bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil, yakni kepentingan publik tidak terabaikan, (3) mengarah kepada insentif; suatu kebijakan harus mengarah atau merangsang tindakan dalam perbaikan dan peningkatan sasaran yang
88 ditetapkan, (4) diterima oleh publik; karena diperuntukkan bagi kepentingan publik maka kebijakan yang baik harus diterima oleh publik, dan (5) moral; suatu kebijakan harus dilandasi oleh moral yang baik. Masalahnya bagaimana mengukur efektivitas tersebut. efektivitas yang digunakan beberapa peneliti.
Berikut ukuran
Sanim (1998), meneliti efektivitas
pemberian KUT Pola Khusus terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani. Dengan teknik tabulasi, persentase peningkatan produksi dan pendapatan sebelum dan sesudah penerapan KUT Pola Khusus digunakan sebagai ukuran efektivitas. Dengan pendekatan ekonometrika, efektivitas KUT Pola Khusus tersebut dilihat dengan koefisien regresi yang juga merupakan nilai elastisitas dan tingkat signifikansi Variabel independen terhadap Variabel dependen. Menurut Simatupang (2002), pembangunan sektor pertanian paling efektif dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Dengan menggunakan persamaan regresi berganda, efektivitas pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen adalah besar dan tingkat signifikansi koefisien regresi dari variabel independen. Menurut Sudana (2003) suatu kebijakan harga dapat meningkatkan penerimaan nominal, namun kebijakan harga tersebut menjadi tidak efektif jika pendapatan riil petani tidak meningkat akibat kenaikan harga output tersebut. Suparmin (2005) menilai efektivitas kebijakan pemerintah terhadap stabilitas harga gabah dan harga beras menggunakan pendekatan analisis integrasi vertikal antar pasar dengan model kointegrasi dan vector error correction. Jika terjadi integrasi antar pasar maka kebijakan harga yang dilakukan efektif, demikian juga sebaliknya. Dengan kebijakan yang efektif diharapkan masalah atau isu yang muncul pada tingkat publik akan dapat diselesaikan secara baik, berkeadilan, dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya (Ramdan, et al. 2003). Ketidakefektifan suatu kebijakan dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: proses pembuatan
89 kebijakan; konsistensi pelaksanaan kebijakan; antisipasi pihak sasaran kebijakan; dukungan dana untuk implementasi dan pengawasan pelaksanaan kebijakan, perangkat hukum dan kelembagaan. Dalam penelitian ini ada dua ukuran yang digunakan dalam menilai efektivitas kebijakan harga pangan. Pertama, untuk menilai efektivitas kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan yang digunakan analisis dengan Error Correction Model digunakan tingkat signifikansi dan nilai elastisitas variabel tersebut terhadap variabel ketahanan pangan. Jika variabel kebijakan harga pangan secara statistik signifikan mempengaruhi ketahanan pangan dan nilai elastisitasnya lebih besar dari satu maka dikatakan kebijakan harga pangan efektif meningkatkan ketahanan pangan. Kedua, untuk menilai efektivitas kebijakan harga pangan terhadap stabilitas ekonomi makro diukur dari seberapa besar peran guncangan kebijakan harga pangan terhadap variabilitas variabel ekonomi makro yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan neraca perdagangan. Makin besar peran (dalam persen) guncangan kebijakan harga pangan relatif dengan guncangan lain terhadap suatu variabel endogen maka dapat dikatakan kebijakan harga pangan semakin efektif.
Untuk
melihat hal tersebut digunakan metode FEVD (Forecast Error Variance Decomposition). 3.3. Bagan Alur Pemikiran
Penelitian ini terdiri dari tiga bagian yang saling terkait, yaitu pangsa pengeluaran pangan penduduk; ketahanan pangan; dan stabilitas ekonomi makro. Keterkaitan tersebut diilustrasikan dalam Gambar 17. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, diperlukan dua prasyarat penting.
Pertama, ketahanan pangan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia sebagai pelaku dan sasaran dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri.
90 Kedua, stabilitas ekonomi makro untuk menjamin kepastian berinvestasi sehingga mampu menggerakkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja.
Tujuan Pembangunan Nasional
Ketahanan Pangan
Stabilitas
Pangsa Pengeluaran Pangan (Besar)
Stabilisasi Harga Pangan
Pasar Lokal
Fluktuasi Harga Pangan
Pasar Internasional
Kebijakan Harga Pangan: subsidi input ; subsidi output ; perdagangan
Gambar 17. Keterkaitan Kebijakan Harga Pangan dengan Ketahanan Pangan dan Stabilitas Ekonomi Makro
91 Untuk
kasus
Indonesia,
diduga
sebagian
besar
masyarakat
masih
mengeluarkan sebagian besar pendapatannnya untuk belanja pangan sehingga pangsa pengeluaran pangan masih cukup besar. Dengan demikian tingkat harga pangan diduga masih menentukan tingkat ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi makro. Pasar lokal produk pangan yang sifatnya musiman menyebabkan fluktuasi harga dan pasar internasional produk pangan yang relatif tipis (thin market) serta setiap negara lebih mementingkan kebutuhan domestik menyebabkan harga di pasar internasional sangat sensitif jika terjadi gangguan produksi di negara eksportir dan terjadi peningkatan permintaan. Kedua hal tersebut menyebabkan fluktuatifnya harga pangan di pasar domestik. Jika tidak ada upaya pengendalian harga pangan diduga akan mempengaruhi ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi makro. Untuk itu diperlukan upaya menstabilkan harga pangan di antaranya dengan kebijakan harga pangan.
Kebijakan harga pangan yang dilakukan dapat berupa
kebijakan harga input, kebijakan harga output dan kebijakan perdagangan. Sebaliknya jika kesejahteraan masyarakat sudah meningkat dengan indikasi pangsa pengeluaran pangan yang semakin menurun peran pemerintah untuk melakukan kebijakan harga pangan dapat dikurangi. 3.4. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah diutarakan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Makin rendah pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga mengindikasikan meningkatnya ketahanan pangan. Tingkat ketahanan pangan tersebut diukur dari jumlah energi dan protein yang dikonsumsi di tingkat rumah tangga serta keanekaragaman yang dikonsumsi menurut norma gizi berdasarkan skor Pola Pangan Harapan dan tingkat pendapatan.
92 2. Pembangunan yang dilakukan selama ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk dengan demikian seharusnya menyebabkan pangsa pengeluaran pangan penduduk semakin menurun. 3. Makin tinggi peran pemerintah, diukur dari dana yang dikeluarkan dalam kebijakan harga input, kebijakan harga output, dan kebijakan harga input-output makin efektif meningkat ketahanan pangan baik di tingkat nasional maupun rumah tangga. 4. Kebijakan harga pangan, diukur dari dana yang dikeluarkan dalam kebijakan harga input-output, tidak menyebabkan instabilitas ekonomi makro terutama terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan neraca perdagangan. 5. Kebijakan harga pangan, kebijakan moneter, dan kebijakan perdagangan efektif menstabilkan ekonomi makro.