III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu yang akan digunakan dalam penelitian. Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, konsep usahatani, konsep biaya dan pendapatan, fungsi produksi, elastisitas, konsep return to scale, konsep efisiensi penggunaan faktor produksi serta konsep pengukuran keuntungan. 3.1.1. Konsep Usahatani Usahatani adalah setiap kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi di lapangan pertanian (Hernanto, 1996). Usahatani terdiri dari empat unsur pokok yaitu tanah, tenaga kerja, modal, serta pengelolaan. Menurut Soekartawi (1990), usahatani memiliki dua tujuan yaitu memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin, untuk memperoleh keuntungan maksimum, sedangkan konsep meminimisasi biaya berarti bagaimana menekan biaya produksi pada tingkat sekecil-kecilnya dalam suatu proses produksi. Biaya produksi merupakan korbanan yang dikeluarkan selama proses produksi, yang semula fisik, kemudian diberikan nilai rupiah (Hernanto, 1996). 3.1.2. Biaya Usahatani Menurut Hafsah (2003), biaya produksi sering pula disebut dengan biaya usahatani. Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dalam suatu periode produksi. Biaya dapat dibedakan menjadi empat, keempat kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
19
3.1.2.1.Biaya Tetap Biaya tetap ialah biaya yang penggunaanya tidak habis dalam satu masa produksi. Besarnya biaya tetap tidak tergantung pada jumlah output yang diproduksi dan tetap harus dikeluarkan walaupun tidak ada produksi. Komponen biaya tetap antara lain; pajak tanah, pajak air, penyusutan alat, pemeliharaan tenaga ternak, pemeliharaan traktor, biaya kredit atau pinjaman dan lain sebagainya. 3.1.2.2. Biaya Variabel Biaya variabel atau biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya tergantung pada skala produksi. Komponen biaya variabel antara lain; pupuk, benih atau bibit, pestisida, upah tenaga kerja, biaya pemanenan, pengolahan tanah. 3.1.2.3. Biaya Tunai Biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani dalam usahataninya. Biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa pajak tanah dan pajak air, sedangkan biaya tunai dari biaya variabel antara lain biaya pemakaian bibit atau benih, pupuk, pestisida dan tenaga luar keluarga. 3.1.2.4. Biaya Tidak Tunai Biaya tidak tunai adalah biaya yang tidak benar-benar dikeluarkan oleh petani dalam menjalankan usahataninya, namun ikut diperhitungkan. Biaya tidak tunai dari biaya tetap antara lain biaya sewa lahan milik sendiri, penyusutan alatalat pertanian, bunga kredit bank dan sebagainya, sedangkan biaya tidak tunai dari biaya variabel antara lain biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga dalam pengolahan tanah dan pemanenan, serta jumlah pupuk kandang yang dipakai. Selain empat klasifikasi tersebut, dikenal pula biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah semua biaya yang langsung digunakan dalam
20
proses produksi (actual cost), sedangkan biaya tidak langsung meliputi biaya penyusutan dan lain sebagainya. 3.1.3. Konsep Pendapatan Usahatani Hernanto (1996) mengemukakan bahwa kegiatan usahatani pada akhirnya akan dinilai dengan uang yang diperhitungkan dari nilai produksi setelah dikurangi atau memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan. Konsep ini disebut pendapatan usahatani. Pendapatan yang diperoleh petani perlu dianalisis. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), setidaknya ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan yaitu untuk menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha, serta menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan menggambarkan berhasil atau tidaknya suatu kegiatan usahatani. 3.1.4. Konsep Pengukuran Keuntungan dengan Revenue Cost Ratio Penerimaan besar yang diperoleh dari suatu kegiatan usahatani tidak selalu diikuti dengan keuntungan yang tinggi (Soeharjo dan Patong, 1973). Setelah penerimaan dianalisis, pengukuran keuntungan juga perlu dilakukan. Salah satu metode pengukuran keuntungan adalah dengan Revenue Cost Ratio atau R/C Ratio. Revenue per Cost Ratio menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh dengan pengeluaran dalam satu satuan biaya. Apabila nilai R/C > 1 berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar dari unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut, sedangkan nilai R/C < 1 menunjukkan bahwa tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar dari penerimaan yang diperoleh. 3.1.5. Konsep Fungsi Produksi Hubungan fisik antara input dan output dalam proses produksi disebut
21
fungsi produksi (Colman dan Young, 1989). Fungsi produksi menggambarkan tingkat penggunaan input yang akan digunakan untuk proses produksi. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f(X1, X2, X3,....Xn)......................................................................................(3.1) Dimana: Y = output X1, X2, X3...Xn = input-input yang digunakan dalam proses produksi Persamaan tersebut menggambarkan bahwa Y adalah produk (output) yang dihasilkan dari kegiatan produksi, sedangkan X1, X2, X3 dan seterusnya merupakan faktor produksi (input) yang digunakan dalam proses produksi (Colman dan Young, 1989). Faktor produksi yang digunakan dalam suatu proses produksi umumnya berjumlah lebih dari satu. Fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi yaitu The Law of Diminishing Return. Hukum ini menyatakan bahwa jika faktor produksi terus menerus ditambahkan sementara faktor produksi lain tetap maka tambahan jumlah produksi per satu satuan akan semakin berkurang (Colman dan Young, 1989). Guna mengukur tingkat produktivitas dari suatu proses produksi, diguna kan Produk Marjinal (PM) dan Produk Rata-Rata (PR) sebagai tolak ukur (Soekartawi, 2002). Produk Marjinal diartikan sebagai tambahan satu satuan input X yang menyebabkan pertambahan atau pengurangan satu satuan output, Y. Produk rata-rata adalah produk total per satuan faktor produksi (Soekartawi, 2002). Secara matematis produk marjinal dan produk rata-rata dapat digambarkan sebagai berikut: Produk Marjinal (PM): δy/δxi…………………..…...................……….(3.2)
22
Produk Rata-rata (PR): y/xi……………………..…………....................(3.3) dimana : δy: Perubahan jumlah output yang diproduksi δxi: Perubahan jumlah input yang digunakan. y : jumlah output xi : jumlah input ke-i 3.1.6. Konsep Elastisitas Produksi Elastisitas produksi (Ep) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari presentase perubahan input (Soekartawi, 2002). Elastisitas produksi digunakan untuk mengukur efisiensi. Secara matematis persamaan elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 2002) : Ep
= (δy/y)/(δxi/xi) = δy/δxi* xi/y = PM/PR…………..…....……(3.4)
dimana : Ep
= elastisitas produksi
δy
= perubahan output
δxi
= perubahan input ke-i
y
= jumlah output
xi
= jumlah input ke-i
Doll dan Orazem (1984) menjelaskan bahwa berdasarkan nilai elastisitas, fungsi produksi klasik dibagi menjadi tiga daerah (Gambar 1).
23
Gambar 1. Fungsi Produksi Klasik Daerah produksi I menggambarkan nilai Produk Marjinal (PM) lebih besar dari Produk rata-rata (PR). Nilai elastisitas produksi lebih dari satu, yang berarti bahwa penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum masih belum tercapai, karena produksi masih dapat diperbesar dengan menggunakan faktor produksi dalam jumlah yang lebih banyak. Oleh karena itu daerah produksi satu disebut daerah irrasional.
24
Pada daerah II, Produk Marginal menurun lebih kecil dari Produk Rata-rata, namun besarnya masih lebih besar dari nol. Nilai elastisitas produksi pada daerah ini bernilai antara nol dan satu. Hal ini berarti setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol. Penggunaan faktor produksi pada tingkat tertentu dalam daerah ini akan dicapai keuntungan maksimum. Daerah ini disebut daerah yang rasional. Pada Daerah III, Produk Marjinal bernilai negatif. Daerah ini mempunyai nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol, artinya setiap penambahan faktorfaktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah produksi ini mencerminkan pemakaian faktor-faktor produksi yang tidak efisien. Daerah ini disebut daerah irrasional. 3.1.7. Konsep Kondisi Return to Scale Kondisi Return to Scale (RTS) diketahui untuk melihat apakah kegiatan dari suatu usaha yang diteliti tersebut mengikuti kaidah increasing, constant atau decreasing return to scale (Soekartawi, 2002). Ada tiga alternatif yang dapat terjadi, yaitu: 1. Jika ∑bi > 1 maka kondisi usahatani berada pada kondisi increasing return to scale, artinya bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. 2. Jika ∑bi < 1 maka kondisi usahatani berada pada kondisi decreasing return to scale , artinya bahwa proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi.
25
3. Jika ∑bi = 1 maka kondisi usahatani berada pada kondisi constant return to scale, artinya bahwa penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. 3.1.8. Konsep Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Efisiensi ekonomi mengacu pada penggunaan input yang memaksimumkan tujuan individu maupun sosial (Doll dan Orazem, 1984). Menurut Doll dan Orazem (1984), terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai efisiensi ekonomi yaitu syarat keharusan (neccesary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat keharusan (neccesary codition) bagi penentuan efisiensi dan tingkat produksi optimum adalah hubungan fisik antara faktor produksi dengan hasil produksi harus diketahui. Dalam analisis fungsi produksi, syarat ini dipenuhi jika produsen berproduksi pada daerah II yaitu pada saat elastisitas produksinya bernilai antara nol dan satu (0<Ep<1). Penggunaan faktor produksi pada tingkat tertentu di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum, sedangkan syarat kecukupan (sufficient condition) dipenuhi apabila nilai produk marjinal (NPM) sama dengan biaya korbanan marjinal (BKM). Doll dan Orazem (1984) menerangkan bahwa usahatani akan mencapai efisiensi ekonomi jika tercapai keuntungan maksimum. Syarat untuk mencapai keuntungan maksimum adalah turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol. Fungsi keuntungan yang diperoleh
usahatani
dapat
dinyatakan
sebagai
berikut
:
…………………………………………………………………………(3.5)
Dimana:
26
π
= Pendapatan Usahatani
i
= 1,2,3,...,n
Pxi
= Harga pembelian faktor produksi ke-i
xi
= Jumlah Pemakaian faktor produksi ke-i
BTT
= Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total)
Py
= Harga per unit produksi
Y
= Hasil Produksi
Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat tercapainya keuntungan maksimum, maka turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah:
………………………………………………………(3.6)
…………………………………………………………………(3.7) Persamaan tersebut menggambarkan bahwa tingkat penggunaan faktor produksi
ke-i yang efisien merupakan fungsi dari harga output, harga faktor
produksi ke-i dan jumlah output yang dihasilkan. secara matematis dinyatakan sebagai berikut: Xi = f (Py, Px, Y)……………………………………………………………….(3.8) Dengan mengetahui
sebagai Produk Marjinal (PMxi) faktor produksi ke-i, maka
persamaan diatas menjadi : Py.PMx = Pxi……………………………………………………………(3.9) Menurut
prinsip
keseimbangan
marjinal,
bahwa
untuk
mencapai
keuntungan maksium, tambahan nilai produksi akibat adanya tambahan penggunaan faktor produksi ke-i (Py.PMxi) harus sama dengan tambahan biaya
27
yang dikeluarkan untuk pembelian faktor produksi ke-i tersebut (Pxi). Pada saat inilah keuntungan maksimum akan tercapai. Py.PMxi disebut sebagai NPM (nilai produk marjinal), sedangkan Pxi disebut sebagai BKM (biaya korbanan marjinal). Secara matematis, syarat tercapainya keuntungan maksimum dapat dituliskan sebagai berikut:
…………………………………………………………..(3.10) Keterangan: NPMxi
= Nilai Produk Marjinal factor produksi ke-i
BKMxi
= Biaya Korbanan Marjinal (BKM) faktor produksi ke-i
Secara umum, keuntungan maksimum dari penggunaan n faktor produksi akan diperoleh pada saat:
…………………(3.11) Rasio NPM dengan BKM menggambarkan sejauh mana penggunaan faktor produksi telah melampaui batas optimal. Rasio NPM dengan BKM yang kurang dari satu, menunjukan penggunaan faktor produksi telah melampaui batas optimal. Pada kondisi ini, setiap penambahan biaya akan lebih besar dari tambahan penerimaannya. Produsen yang rasional akan mengurangi penggunaan faktor produksi sehingga tercapai kondisi NPM sama dengan BKM. Pada saat rasio NPM dengan BKM lebih besar dari satu, berarti kondisi optimum belum tercapai, karena tambahan penerimaan akan lebih besar dari tambahan biaya sehingga produsen yang rasional akan menambah penggunaan faktor produksi sehingga tercapai kondisi NPM sama dengan BKM.
28
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Ubi kayu merupakan salah satu komoditas sub sektor tanaman pangan yang potensial untuk dikembangkan. Selain bergizi tinggi, tanaman ini juga telah dikenal dengan baik oleh masyarakat. Kabupaten Bogor, khususnya Desa Pasirlaja, merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu. Hal ini terlihat dari jumlah produksi, dan luas panen ubi kayu Desa Pasirlaja yang merupakan salah satu yang terbesar bila dibandingkan desa-desa lain di Kabupaten Bogor. Usahatani ubi kayu di Desa Pasirlaja memiliki prospek yang cerah apabila dikelola secara baik dan efisien. Berdasarkan identifikasi peneliti, pertanian ubi kayu Desa Pasirlaja menghadapi permasalahan menurunya laju pertumbuan ratarata produksi ubi kayu selama kurun waktu tahun 2007 hingga 2009. Permasalahan tersebut terjadi diduga karena kurangnya informasi mengenai metode pertanian ubi kayu yang baik dan efisien. Oleh karena itu, diperlukan penelitian di desa ini mengenai analisis penerapan pedoman usahatani ubi kayu usahatani ubi kayu, analisis efisiensi produksi serta analisis pendapatan agar pendapatan dan efisiensi produksi ubi kayu bisa diketahui, dan petani bisa manjalankan usahatani secara efisien. Faktor produksi yang digunakan dalam usahatani ubi kayu adalah luas lahan, bibit, pupuk urea, pupuk kandang, dan tenaga kerja. Analisis yang dilakukan meliputi analisis penerapan pedoman usahatani ubi kayu, pendapatan usahatani, dan analisis efisiensi produksi. Analisis penerapan pedoman usahatani ubi kayu dilakukan dengan membandingkan antara pedoman usahatani ubi kayu dengan kondisi aktual di desa penelitian. Analisis pendapatan usahatani meliputi pengukuran biaya dan tingkat pendapatan serta R/C rasio.
29
Laju Pertumbuhan Rata-Rata Produksi Ubi Kayu di Desa Pasirlaja dari tahun 2007-2009 Mengalami Penurunan
Usahatani Ubi Kayu Desa Pasirlaja
Faktor-faktor produksi yang berpengaruh: luas lahan, bibit, pupuk urea, pupuk kandang, tenaga kerja.
Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi : Pendugaan dan Pengujian Model Fungsi Produksi CobbDouglas
Analisis Penerapan Prosedur Operasional Baku Usahatani Ubi Kayu
Analisis pendapatan usahatani : Analisis Pendapatan dengan R/C rasio
Efisiensi usahatani ubi kayu Desa Pasirlaja
Keterangan :
: Rekomendasi
Sumber: Penulis (2011) Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
30
Analisis efiiensi penggunaan faktor produksi menggunakan fungsi produksi Cobb-douglas. Variabel yang diestimasi berupa data penggunaan faktor-faktor produksi yang meliputi luas lahan, bibit, pupuk urea, pupuk kandang, serta tenaga kerja. Selanjutnya, dilakukan pengujian terhadap model yang telah diperoleh. Kriteria pengujian fungsi produksi didasarkan pada beberapa kriteria, antara lain dilihat dari R-square, banyaknya variabel yang nyata, goodness of fit, dan kesesuaian dengan asumsi OLS. Dengan menggunakan fungsi produksi tersebut, dilakukan analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dan skala usaha. Kerangka pemikiran operasional tersebut dapat diringkas seperti yang terlihat pada Gambar 2.
31