5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Curah Hujan Curah hujan yang terukur didefinisikan sebagai suatu ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, sebelum menguap, tidak meresap, dan mengalir.
Curah hujan diukur dalam satuan tinggi (mm), atau sebagai volume
air hujan persatuan luas. Dengan asumsi bahwa sebaran hujan yang terjadi merata, tinggi air hujan yang tertampung pada luasan yang kecil (alat penakar hujan) akan sama dengan tinggi air pada daerah yang luas (wilayah yang terwakili oleh penakar hujan). Curah hujan dapat dihitung dari volume air yang tertampung pada penakar hujan dibagi luas mulut penakar hujan atau dinyatakan sebagai : P = 10
V A
(1)
dengan P = curah hujan kumulatif yang terkumpul dalam rentang waktu kumulatif tersebut (mm) V = volume air (cm3) A = luas penampang (cm2) Curah hujan bulanan adalah jumlah curah hujan kumulatif dalam periode satu bulan.
2.2
Tipe Hujan dan Zonasi Musim
Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting bagi wilayah tropik seperti di Indonesia, mengingat negara Indonesia adalah negara agraris. Keragaman curah hujan di Indonesia sangat tinggi, yang dapat digambarkan dalam ruang dan waktu sebagai pola atau tipe hujan, jumlah hujan dalam suatu waktu atau musim, serta panjang suatu musim hujan atau musim kemarau. Di Indonesia, berdasarkan distribusi curah hujan bulanan rata-rata selama 30 tahun (1971-2000) ada 3 tipe hujan yaitu tipe muson, tipe ekuatorial, dan tipe lokal (BMG, 2003). Tipe muson adalah yang memiliki satu puncak tertinggi dan satu puncak terendah dalam distribusi hujan bulanannya selama satu tahun, sedangkan tipe ekuatorial memiliki dua puncak tertinggi atau terendah, dan tipe lokal memiliki periode berkebalikan dengan tipe muson.
6
Berdasarkan pengelompokan tipe atau pola hujan tersebut, dibuat suatu Zonasi Musim (ZOM) yang didefinisikan sebagai daerah yang pola hujan rata-ratanya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan periode musim hujan (BMG, 2003). Daerah yang pola hujan rata-ratanya tidak memiliki perbedaan yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan dikenal dengan Non ZOM. Musim kemarau ditetapkan berdasarkan jumlah curah hujan dalam satu dasarian kering (10 hari) < 50 mm dan diikuti oleh 2 dasarian kering berikutnya atau dalam 1 bulan < 150 mm. Sebaliknya musim hujan terjadi jika dalam satu dasarian basah curah hujan ≥ 50 mm, diikuti 2 dasarian basah berikutnya atau dalam 1 bulan ≥ 150 mm. Di Indonesia terdapat 220 ZOM (Lampiran 5 sampai dengan 10), yaitu ZOM 1 hingga 26 di Sumatera, 27 hingga 120 di Jawa, di Bali hingga Nusatenggara 121 hingga 167, di Kalimantan ZOM 168 hingga 183, Sulawesi ZOM 184 hingga 205, di Maluku ZOM 206 hingga 213, dan di Papua ZOM 214 hingga 220. Luas suatu wilayah ZOM tidak selalu sama dengan luas suatu wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian suatu wilayah ZOM bisa terdiri dari beberapa kabupaten, dan sebaliknya satu wilayah Kabupaten bisa terdiri dari beberapa ZOM.
2.3 Distribusi Curah Hujan Bulanan di Wilayah Jawa Bagian Utara (ZOM 30, 43, 88, dan 90) 2.3.1 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 30 Distribusi rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 30 untuk periode normal 30 tahun (1971-2000) dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Puncak curah hujan tertinggi pada ZOM ini terjadi pada bulan Januari. Dengan kriteria musim kemarau besarnya curah hujan kumulatif dalam 1 bulan < 150 mm, maka periode musim kemarau di ZOM 30 adalah pada periode bulan April hingga Nopember. Puncak musim kemarau di ZOM 30 terjadi pada bulan September, karena curah hujan kumulatifnya paling rendah dalam periode satu tahunnya, yaitu 52 mm. Musim hujan di ZOM 30 dimulai pada bulan Desember hingga Maret, dimana jumlah curah kumulatif bulanannya ≥ 150 mm.
7
Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1971-2000 (milimeter) di ZOM 30
450 400 350
mm
300 250 200 150 100 50 0 Jan
Bulan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
curah hujan
Gambar 1 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 30 Tabel 1 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 30 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
411
293
203
132
105
72
54
53
52
93
113
193
2.3.2 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 43 Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 43 untuk periode normal 30 tahun (1971-2000) dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 2. Puncak curah hujan tertinggi pada ZOM ini terjadi pada bulan Januari sebesar 408 mm. Curah hujan terendah terjadi di bulan Agustus sebesar 34 mm. Periode musim kemarau di ZOM 43 bulan Mei hingga Nopember. Musim hujan di ZOM 43 dimulai pada bulan Desember hingga April.
450
Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1971-2000 (milimeter) di ZOM 43
400 350 300 mm
250 200 150 100 50 0
Bulan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Jul
Agt Sep Okt Nop Des
curah hujan
Gambar 2 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 43 Tabel 2 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 43
8
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
408
256
200
159
92
78
36
34
37
66
148
230
2.3.3 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 88 Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 88 untuk periode normal 30 tahun (1971-2000) dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 3. Puncak curah hujan tertinggi pada ZOM ini terjadi pada bulan Februari sebesar 306 mm. Curah hujan terendah terjadi di bulan Agustus sebesar 29 mm. Periode musim kemarau di ZOM 88 bulan Mei hingga Oktober. Musim hujan di ZOM 88 dimulai pada bulan Nopember hingga April.
Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1971-2000 (milimeter) di ZOM 88
350 300
mm
250 200 150 100 50 0 Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop Des
curah hujan
Gambar 3 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 88 Tabel 3 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 88 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
294
306
294
186
96
81
41
29
69
184
257
279
2.3.4 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 90 Distribusi rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 90 untuk periode normal 30 tahun (1971-2000) dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 4. Puncak curah hujan tertinggi pada ZOM ini terjadi pada bulan Januari sebesar 271 mm. Periode musim kemarau di ZOM 90 terjadi pada bulan April hingga Nopember. Puncak musim kemarau di ZOM 90 terjadi pada bulan Agustus, karena curah hujan kumulatifnya paling rendah dalam periode satu tahunnya, yaitu 23 mm. Musim hujan di ZOM 90 dimulai pada bulan Desember hingga Maret, dimana jumlah curah kumulatif bulanannya > 150 mm.
9
300Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1971 - 2000 (milimeter)
di ZOM 90
250
mm
200 150 100 50 0 Bulan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Jul
Agt Sep Okt Nop Des
curah hujan
Gambar 4 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 90 Tabel 4 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 90 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
271
219
197
134
77
59
33
23
41
75
120
185
2.4 SML dan Hubungannya dengan Curah Hujan Hasil studi tentang adanya hubungan antara fenomena meteorologi seperti curah hujan, tekanan udara dan suhu serta SML sudah dipublikasikan oleh para peneliti. Pada suatu studi dalam hubungannya curah hujan di China dan SML, (Chang et al., 2003) menganalisis hubungan interannual antara East Asian Summer Monsoon dan SML Pasifik tropik dengan data curah hujan di DAS Sungai Yangtze dan menunjukkan bahwa basahnya summer monsoon ditandai dengan panasnya SML Pasifik Timur Equator pada awal musim dingin. Peran El Nino oleh Nicholls (1984) juga diperlihatkan pada interannual variabilitas curah hujan muson India, yang mengadopsi suhu permukaan laut wilayah
Indonesia-Australia bagian utara sebagai prediktor curah hujan muson
India. SML wilayah Indonesia adalah faktor utama terpenting untuk kondisi atmosfer tidak hanya bagi wilayah Indonesia itu sendiri, tetapi juga untuk atmosfer global keseluruhan (Slingo et al., 2005). Proses konveksi yang terjadi sangat tergantung kepada kondisi SML, dan keadaan tersebut sangat dominan bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Aktivitas
10
konveksi ini mengendalikan sirkulasi atmosfer dan kontribusi ke energi global dan keseimbangan kelembaban. Soetamto (2007) juga menunjukkan adanya kecenderungan hujan akan bertambah di wilayah Jawa Timur jika SML di sebagian wilayah timur dan selatan Indonesia naik atau panas. Begitupun akan terjadi sebaliknya, ketika SML mendingin maka curah hujan di wilayah Jawa Timur akan berkurang.
2.5 OLR Matahari sebagai sumber energi bagi bumi mempunyai suhu permukaan 6000º K serta memancarkan energi radiasi sebesar 74,4 juta watt tiap m2 permukaannya. Radiasi yang dipancarkan ini dikenal sebagai radiasi surya, yang merupakan gelombang elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang
0.3 – 4.0 μm
(Geiger et al.,1995). Energi tersebut dipancarkan ke segala penjuru, besarnya energi yang sampai puncak atmosfir berkisar 1360 W/m2, sebelum mengalami pemancaran dan penyerapan oleh atmosfer. Energi radiasi surya tersebut akan diserap oleh bumi (termasuk atmosfer) dan akan digunakan untuk proses fisika atmosfer, seperti pemanasan udara dan penguapan. Radiasi surya disebut juga dengan radiasi gelombang pendek, sedangkan radiasi bumi atau benda-benda alam di bumi yang disebut sebagai radiasi gelombang panjang. Perbedaan panjang gelombang ini dapat dijelaskan dengan Hukum Wien berikut, yang menyatakan gelombang pada energi maksimum berbanding terbalik dengan suhu permukaan benda yang memancarkan radiasi tersebut.
λm = dengan λ m
2897 Ts
(2)
= panjang gelombang energi maksimum dalam μm
Ts = suhu permukaan dalam K Sementara itu rata-rata suhu permukaan matahari yang sebesar 6000º K akan mempunyai panjang gelombang lebih pendek (0.3 – 3.0 μm) dibanding panjang gelombang radiasi permukaan bumi (>3.0 μm) yang mempunyai suhu 300º K.
11
Besarnya energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan dapat dihitung berdasarkan hukum Stefan Boltzman dengan formula : E = Є σ T4
(3)
dengan E = besarnya energi yang dipancarkan (W/m2) Є = emisitas permukaan
σ = tetapan Boltzman (5.67
-8
W/m2 º K4 )
T = suhu permukaan benda Pada benda hitam atau black body radiation Є = 1, semakin tinggi
suhu
permukaan (Ts), radiasi pancaran akan meningkat jauh lebih besar dibanding suhu permukaan. Hubungan antara energi radiasi yang dinyatakan dengan energi foton dan panjang gelombang yang berbanding terbalik ini ditunjukkan oleh Hukum Planck sebagai berikut : hc
E= λ
(4)
dengan E = besarnya energi foton h = tetapan Planck ( 6.63. 10-34 J s-1) c = kecepatan cahaya sebesar 3.108 ms-1.
λ = panjang gelombang Energi radiasi yang datang pada suatu permukaan dapat berbentuk gelombang pendek (Qn) dan gelombang panjang (Ql). Suatu permukaan dapat diasumsikan sebagai suatu bidang yang luas dan tebalnya sama dengan nol. Radiasi gelombang panjang khususnya berasal dari pancaran radiasi benda-benda atmosfer seperti udara, uap air, butir-butir air dan debu. Radiasi gelombang panjang ini disebut sebagai OLR. Sebagian radiasi datang juga akan dipancarkan oleh permukaan, sedangkan permukaan tersebut juga akan memancarkan energi berupa gelombang panjang. Beda antara radiasi yang datang dan yang keluar disebut sebagai radiasi netto (Qn), yang besarnya adalah : Qn = Qsi + Qli – Qso - Qlo dengan Qn = radiasi netto Qsi = radiasi datang dengan gelombang pendek Qli = radiasi datang dengan gelombang panjang
(5)
12
Qso = radiasi keluar dengan gelombang pendek Qlo = radiasi keluar dengan gelombang panjang Penelitian tentang hubungan OLR dengan curah hujan dilakukan oleh Motell dan Weare (1987) yang menyatakan hubungan curah hujan dengan OLR berkorelasi negatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Murakami dan Matsumoto (1994) yang menjelaskan bahwa OLR berkorelasi negatif dengan Inter Tropical Convergence Zone. Penelitian OLR di Indonesia dilakukan pula oleh Visa et al., (2002) yang khusus meneliti hunbungannya dengan Total Precipitable Water (TPW) yang memperlihatkan korelasi negatif antara OLR dengan TPW. Hubungaan pola OLR dan karakteristik curah hujan di Indonesia diteliti Sofiati I (1998) yang menjelaskan bahwa awal dan akhir musim hujan di 3 tipe hujan yaitu
A (satu puncak), B (dua puncak), dan C (kebalikan tipe A) di
Indonesia dapat dideteksi dengan penjalaran OLR, kecuali pada tipe B pengaruh kuatnya adalah Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ).
2.6 Analisis Komponen Utama Analisis kompenen utama (AKU) adalah teknik statistika peubah ganda yang seringkali bermanfaat untuk mereduksi dimensi dari sekumpulan peubah yang tak teratur untuk keperluan analisis dan interpretasi. Dengan teknik ini peubah yang cukup banyak akan diganti dengan peubah yang jumlahnya lebih sedikit tanpa diiringi dengan hilangnya obyektivitas analisis. AKU seringkali disajikan sebagai tahap antara dalam penelitian yang lebih besar. Metode komponen utama merupakan suatu metode yang berbasis pada penyelesaian aljabar linier tentang diagonalisasi dan dekomposisi matriks. Suatu matriks p x p, simetrik dan singular, seperti matriks ragam peragam S (atau matriks korelasi R), dapat direduksi menjadi matriks diagonal L dengan pengali awal dan pengali akhir suatu matriks ortonormal V, berikut : V`SV = L
(6)
Unsur-unsur diagonal matriks L, λ1 ≥ λ2 ≥ … ≥ λp ≥ 0 adalah akarciri-akarciri dari matriks S. Sedangkan kolom-kolom matriks V, v1, v2, ... , vp adalah vektor-vektor ciri dari matriks S. Akarciri λ1 ≥ λ2 ≥ … ≥ λp ≥ 0 dapat diperoleh melalui persamaan akarciri berikut :
13
⏐S −λI ⏐= 0
(7)
dengan I adalah matriks identitas. Pada penerapannya AKU bertujuan mereduksi dimensi peubah asal (i) ke peubah baru (Z). Misal suatu penelitian terhadap n individu akan diteliti sebanyak p peubah, dapat ditulis dalam bentuk vektor X` = (x1 x2 ... xp). Selanjutnya vektor X diasumsikan mengikuti sebaran tertentu (biasanya normal ganda) dengan vektor rataan μ dan matriks ragam peragam S serta matriks korelasi R. Dari p peubah asal tadi dapat diturunkan p buah komponen utama untuk menerangkan ragam total sistem, dan seringkali keragaman total itu dapat diterangkan secara jelas oleh sejumlah kecil komponen utama. Misal k buah komponen dimana k < p. Komponen utama ke-j dari contoh pengamatan berdimensi p peubah merupakan kombinasi linier terbobot peubah asal yang dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut : Zj = v1jx1 + v2x2 + ... + vpjxj
(8)
atau Z = XV dengan Z`Z = (XV)`(XV) = V`X`XV = diag (λ1 , λ2, … λp )
(9)
Atau setara dengan Var(Zi) = λI dan Cov(Zi-1,ZI) = 0. Hal tersebut menunjukkan bahwa komponen utama tidak saling berkorelasi dan komponen utama ke-i memiliki keragaman sama dengan akarciri ke-i. Oleh karena itu bagian total keragaman data yang mampu diterangkan setiap komponen utama adalah proporsi antara akarciri komponen terhadap jumlah akarciri atau teras (trace) matriks peragam S. Dengan demikian keragaman yang dapat dijelaskan oleh komponen utama ke-i adalah
λi
x 100%
p
∑λ j=1
j
(10)
14
Matriks peragam S digunakan apabila semua peubah diukur dalam satuan pengukuran yang sama, tetapi bila peubah tersebut mempunyai satuan pengukuran berbeda, maka diperlukan matriks korelasi. 2.7 Model Prakiraan dengan JST 2.7.1 Arsitektur JST JST terdiri dari beberapa elemen pemroses yang mirip dengan neuron dan sejumlah koneksi terboboti di antara elemen-elemen tersebut. JST memiliki arsitektur paralel yang tersebar dengan sejumlah besar node dan koneksi. Setiap koneksi menghubungkan satu node dengan node yang lain dan memiliki pembobot tertentu.
Gambar 5 Arsitektur JST Sebuah struktur JSTtersusun sebagai berikut: •
Penetapan sifat-sifat jaringan: topologi jaringan, tipe-tipe koneksi dan selang pembobot
•
Penetapan sifat-sifat node: selang aktivasi dan fungsi aktivasi
•
Penetapan dinamika sistem: skema inisialisasi pembobot, rumus perhitungan aktivasi, dan aturan pembelajaran
15
2.7.2 Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik Propagasi balik (backpropagation) merupakan algoritma pembelajaran yang terkontrol dan umumnya dimanfaatkan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada
lapisan
tersembunyinya
(hidden).
Algoritma
propagasi
balik
ini
menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya ke arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error tersebut, tahap perambatan maju (forward propagation) harus dilakukan terlebih dahulu. Pada saat perambatan maju, neuron-neuron akan diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan seperti sigmoid Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik yang digunakan adalah metode pelatihan terarah (Supervised Training). Dengan demikian JST akan diarahkan dalam pembelajaran nilai yang diinginkan sedemikian rupa sehingga JST akan melakukan perubahan-perubahan bobot W agar nilai kesalahan luaran (output) yang dihasilkan kecil atau luaran akan mendekati target. Nilai kesalahan tersebut dinyatakan dalam persamaan :
δ pj = ( t pj − O pj ) f ’j (net)
(11)
δ pj = sinyal kesalahan neuron,
dengan
t pj = target luaran neuron j untuk pola p O pj = nilai luaran sebenarnya dari luaran neuron j untuk pola p.
Kesalahan pada lapisan tersembunyi akan ditentukan secara berulang sedemikian rupa oleh unit-unit dan bobot lain yang berhubungan langsung sebagai berikut :
δ pi = f ’j (net pj )
∑ δpkϖ
k j
(12)
k
dengan:
δ pi = sinyal kesalahan dari neuron post-synaptic i
ϖ kj = bobot koneksi dari hidden neuron ke neuron postsynaptic k
Fungsi f haruslah dapat diturunkan dan karena menggunakan fungsi sigmoid maka dapat dinyatakan dengan mudah sebagai berikut :
16
Oj = f (
∑ϖ
ji
Vi )
(13)
i
d O j / d ∑i ϖ jtVi = Oj (l - Oj )
(14)
Nilai kesalahan akan menentukan perubahan bobot : Δϖ
ji
= ηδtOi
(15)
Learning rate η merupakan indikator dalam menentukan kemampuan JST ini
mencapai nilai target yang diinginkan (convergent). Bentuk ini akan berupa variabel atau konstanta yang berubah setiap kali terjadi pengulangan. Apabila learning rate yang terjadi terlalu besar maka jaringan dapat terjebak ke dalam situasi yang dikenal sebagai Local Minima, yaitu suatu kondisi di mana jaringan mengasumsikan sudah convergent dengan tingkat kesalahan kecil, sesungguhnya masih dapat menghasilkan tingkat kesalahan pengujian yang besar. Bobot W dalam jaringan akan disimpan dan akan dipanggil kembali pada saat diperlukan untuk melakukan pengenalan pola. Walaupun dengan pola-pola pelatihan yang sama dan untuk setiap kali proses pelatihan yang berbeda akan menghasilkan bobot yang berbeda pula.