II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dijelaskan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Pengelolaan perikanan merupakan suatu proses terintegrasi yang meliputi pengumpulan dan analisis informasi, perencanaan, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan perumusan tindakan penegakan peraturan-peraturan di bidang pengelolaan perikanan. Melalui pihak yang berwenang di bidang perikanan dapat mengendalikan perilaku pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjamin kelangsungan produktivitas perikanan dan kesejahteraan sumberdaya hidup (Anonim 2001 diacu dalam Zamany 2002). Memahami makna pembangunan perikanan selain memperhatikan aspek keberlanjutan tidak bisa hanya melihat dari satu atau dua dimensi saja tetapi harus didekati dengan pendekatan menyeluruh yang menyangkut berbagai dimensi dan terpadu. Konsep
pembangunan
berkelanjutan
pertama
kali
diperkenalkan oleh World Commission on Enviromental and Development (WCED) pada tahun 1987. Menurut Young (1992), Reid (1995) diacu dalam Kay dan Alder (1999), bahwa pembangunan berkelanjutan
mencakup 3 hal yang
utama yakni : (a) integritas lingkungan, (b) efisiensi ekonomi, dan (c) keadilan kesejahteraan (equity) memiliki makna bahwa pembangunan harus mampu memperhatikan
generasi
saat
ini
dan
yang
akan
datang
dengan
mempertimbangkan aspek budaya selain aspek ekonomi. Begitu pula pendapat Cicin-Sain dan Knecht (1998) bahwa pembangunan berkelanjutan mancakup 3 konsentrasi yakni:
7 a. Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. b. Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan. c. Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan pembangunan. Bengen (2002) menegaskan bahwa pembangunan
berkelanjutan pada
dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan eksositem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yakni : (a) ekologi, (b) sosial-ekonomi-budaya, (c) sosial politik, dan (d) hukum dan kelembagaan. Konsep lain yang dikemukakan Clark (1996) bahwa pembangunan berkelanjutan yakni konsep pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama. Dahuri
(2003a) mengemukakan bahwa pembangunan wilayah pesisir
harus memenuhi kriteria pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang dikelompokkan menjadi 4 aspek yakni: ekologis, sosial, ekonomis, dan pengaturan (governance). Mubyarto dan Bromley (2002) memberikan gagasan baru dalam pembangunan, yaitu tentang pentingnya peran kelembagaan
dalam
pembangunan.
Selama
aspek
kelembagaan
belum
diperhatikan dengan baik, maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan aktivitas pembangunan yang mendukung terwujudnya pemerataan sosial, pengurangan kemiskinan, dan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya. Aspek kelembagaan ini berperan penting dalam meningkatkan kemampuan
8 ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi yang ada. Sementara itu, Alder et al. (2000); Pitcher (1999); Pitcher dan Power (2000); dan Pitcher dan Preikshot (2001), melakukan penilaian sumberdaya perikanan berkelanjutan dengan mengembangkan program Rapfish yang meliputi 5 dimensi yakni : ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik. Beberapa literatur yang lain menambahkan aspek teknologi, walaupun sebenarnya dapat ditinjau pula dari aspek ekologis, seperti aspek etika yang dapat dimasukkan ke dalam aspek sosial budaya. Barangkali bukan pengelompokkan aspek besar tersebut yang penting, tetapi atribut atau kriteria pada setiap aspek tersebut yang lebih penting sehingga mencakup seluas mungkin atribut yang dapat digunakan untuk menilai status pembangunan wilayah pesisir. Walaupun selama ini konsep keberlanjutan dalam perikanan sudah mulai dapat dipahami, namun dalam menilai secara komprehensif
dan terpadu
nampaknya mengalami kesulitan dalam menganalisisnya. Diharapkan dalam pengambilan kebijakan benar-benar berdasarkan kajian ilmiah secara terpadu dan realistis. Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasional (ekonomi), kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Namun, ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek (Charles 2001) : a. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. b. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan
9 masyarakat
yang
lebih
tinggi
merupakan
perhatian
kerangka
keberlanjutan. c. Community sustainability (keberlanjutan komunitas), mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. d. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini, keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek finansiil dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan keberlanjutan di atas. Berdasarkan definisi yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan perikanan berkelanjutan adalah langkah strategis pembangunan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan secara bijaksana dan konsisten untuk memenuhi kebutuhan manusia saat sekarang dan juga untuk generasi yang akan datang secara berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik. Selama ini kajian stok perikanan, seringkali lebih difokuskan pada status stok relatif dengan acuan biologi, misalkan tingkat kematian, spawning biomass atau struktur umur (Smith 1993), atau untuk mendiagnostik dini tentang kenderungan depletion atau collapse (Pitcher 1995 diacu dalam Pitcher Preikshot
dan
2001). Selanjutnya, penilaian stok didasarkan para prediksi sejumlah
parameter yang cukup banyak dan pengukuran data historis dari perikanan dan dari survey biomassa independent. Bagaimanapun, ada ketidaksepadanan antara kompleksitas dari model penilaian stok dan tingginya tingkat ketidakpastian yang tak terpisahkan di dalam penelitian perikanan (Walters 1998). Pada waktu yang sama, luasnya data yang dibutuhkan menghambat aplikasi dari model ini di dunia perikanan. Lebih dari itu, penilaian stok konvensional berhubungan hanya dengan aspek ekologis saja, atau adakalanya dengan kondisi ekonomi, namun juga perikanan pada kenyataannya merupakan suatu multi-disciplinary usaha manusia yang meliputi aspek sosial, teknologi, dan implikasi etik. Dalam pengelolaan
perikanan yakni bagaimana meningkatkan upaya
manusia untuk memanipulasi ekologi ikan (Jentoft 1998 diacu dalam Fauzi dan Anna 2005), terpisah dari ekonomi, kebanyakan analisa aspek manusia perikanan
10 (sosial) kurang diperhitungkan atau kurang diprediksi. Meskipun demikian, dimensi manusia ini menjadi sangat berkaitan dengan tipe alat tangkap, kapal, pasar, biologi dan ketahanan ekonomi, manajemen, alokasi dan pembangunan kembali stok ikan yang mengalami deplesi atau collapse, bahkan studi perikanan dapat dikaji secara multi-disciplinary dengan sebaik-baiknya. Rapfish adalah suatu teknik penilaian cepat yang dirancang sesuai dengan tujuan, transparan, evaluasi multi-disciplinary, tetapi tidaklah diharapkan untuk menggantikan metode konvensional dalam penilaian stok dalam pengaturan kuota (Pitcher dan Preikshot 2001). Metode ini telah dikembangkan oleh University of British Columbia, Canada.
Hasil Rapfish dapat direplikasi dan bersifat obyektif
secara numerik (Pitcher dan Power, 2000). Rapfish merupakan analisis evaluasi keberlanjutan sederhana namun komprehensif, assessment terhadap sumberdaya dapat dilakukan secara utuh sehingga hasil studi ini dapat dijadikan bahan acuan melakukan assessment terhadap pengelolaan perikanan di daerah lain. Replikasi dapat dilakukan untuk
assessment status perikanan overtime
maupun antar
perikanan di suatu wilayah ataupun antar wilayah untuk assessment yang lebih luas (Fauzi dan Anna 2005). Dengan menggunakan multidimensional scalling (MDS) dan metode ordinansi guna melakukan penilaian secara relatif keberlanjutan perikanan. Rapfish melakukan skoring terhadap sejumlah atribut dari 5 dimensi yang terdiri dari: ekologi, ekonomi, sosial, tehnologi, dan etik. Karakteristik rapid appraisal, merupakan suatu metode pendekatan top down dengan memanfaatkan definisi nilai dan kriteria untuk mengevaluasi sistem perikanan (Adrianto et al. 2005). Beberapa contoh aplikasi Rapfish antara lain: di North Atlantic (Chuenpagdee dan Alder 1999), di Gulf of Marine Fisheries (Pitcher dan Preikshot 2001), di Kepulauan Seribu-Jakarta dengan mengembangkan RapSmile (Susilo
2003), di Provinsi Bengkulu (Masydzulhak 2004), di
wilayah pesisir perikanan Jakarta (Fauzi dan Anna 2005), dan Prawoto (2005) mengembangkan Rapfish dengan pendekatan sistem pakar. Metode analisis dan evaluasi keberlanjutan perikanan
selain dengan
menggunakan metode Rapfish juga dapat menggunakan FAO Code of Conduct
11 Compliance (Pitcher 1999 dan Garcia et al. 1999) dan International Instrument Complience (Chuenpagdee dan Alder 1999) Penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)-FAO, sama halnya dengan Rapfish dengan menggunakan pendekatan MDS. Dalam penyusunan CCRF dalam penelitian ini khususnya merujuk pada artikel 7 yang diuraikan dalam 6 bidang yang terdiri dari: (a) sasaran manajemen, (b) kerangka kerja, (c) pendekatan pencegahan, (d) stok ikan, armada, dan alat tangkap, (e) sosial ekonomi, dan (f) monitoring controlling survailance/MCS (Pitcher 1999). Metode ini sudah diaplikasikan di perikanan Australia (Garcia 1999) dan perikanan Gulf of Maine (Chuenpagdee dan Alder 1999). Metode
International
Instrument
Complience
memfokuskan
pada
pengukuran kualitatif atau kuantitatif pada level pemenuhan dalam pengelolaan perikanan dengan menggunakan beberapa instrumen (Chuenpagdee dan Alder 1999). Dalam metode ini, rentang skor kriteria yang digunakan mulai dari 0 (tidak memenuhi) hingga 3 (sangat memenuhi) dan jumlah kriteria dibatasi hingga 6 per instrumen. Sebagai contoh aplikasi metode ini yang dilakukan Chuenpagdee dan Alder (1999) yang mengambil kasus di perikanan Gulf of Maine. Menurut Adrianto et al. (2004) bahwa metode tersebut di atas relatif lebih memfokuskan pada pendekatan statik (top down approach), dimana sejumlah pertanyaan hanya digunakan untuk obyek yang statik. Metode tersebut juga tidak memasukkan peran stakeholder dalam mengevaluasi perikanan. Sehingga perlu dikembangkan metode pendekatan bottom-up mengingat sistem perikanan sangat dinamis dan komplek dengan menyertakan stakeholder lokal yang disebut ”local accepted”. Berdasarkan pertimbangan dari
stakeholder
setempat dapat ditentukan indikator sustainability yang bersifat lokal, tingkat kepentingan, tingkat interaksi, keterkaitan, dan pola hubungannya. Indikator sustainability dapat mendefinisikan variabel yang dapat mengukur atau menilai status atau kondisi sistem perikanan (Mendoza dan Prabhu 2002), seperti yang telah dilakukan di Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan (Adrianto et al. 2004; 2005).
12 2.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fenomena persepsi yang keliru dari stakeholder terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya ikan (SDI) yang dianggap sebagai sumberdaya yang dapat pulih (renewable resorces) sehingga dapat dieksploitasi secara tak terbatas (infinite). Selain itu, sumberdaya ikan dianggap sebagai sumberdaya milik umum (common property resources) sehingga berlaku rejim open access,
yang
bermakna bahwa sumberdaya ikan tersebut tidak jelas sifat kepemilikannya relatif bersifat terbuka, maka siapapun dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya tersebut. Makanya tidak jarang satu wilayah dimana jumlah tangkap melampaui daya pulih secara alami SDI tersebut atau sering disebut overfishing. Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries), maka harus merubah rejim pengelolaan open access bertanggung jawab
ke arah perikanan yang
seperti yang dianjurkan dalam Code of Conduct forf
Responsible Fisheries. Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (MSY) atau tangkapan lestari
yang diperkenalkan oleh
Schaefer tahun 1957. Konsep ini murni didasarkan pada pendekatan biologi semata. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih atau tida kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable) (Fauzi 2004). Konsep MSY ini menuai kritik karena dianggap terlalu sederhana dan tidak mencukupi, karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek lainnya utamanya sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Menurut Conrad dan Clark (1987) diacu dalam Fauzi (2004)
menyatakan bahwa kelemahan
pendekatan MSY sebagai berikut : a. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset begitu saja bisa mengarah pada pengurasan stok (stok depletion). b. Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non steady state.
13 c. Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (input value). d. Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya. e. Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ragam jenis (multi species). Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik
(logistic
growth
model).
Dalam
persamaan
tersebut
di
atas,
memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan (carrying capacity). xt
F(x)
K r1 r2
0
½K
K
x
0
(a)
t1
t2
t
(b) Gambar 2.1 Kurva Pertumbuhan Logistik
Dari persamaan matematis dan diagram di atas (panel a) terlihat bahwa dalam kondisi seimbang (ekuilibrium)
dimana laju pertumbuhan
sama dengan nol
( ∂x / ∂t = 0 ), tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity. Sedangkan maksimum
pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying
capacity tersebut (K/2). Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sustainable Yield atau MSY. Pada panel (b) dari Gambar 2.1 di atas diperlihatkan bagaimana stok akan mencapai keseimbangan maksimum pada tingkat carrying capacity (K) tergantung tingkat pertumbuhan intrinsik (r); semakin tinggi nilai r (r1>r2 pada panel di atas), semakin cepat carrying capacity dicapai.
14 Meski banyak fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent, salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Fungsi logistik tersebut secara matematis sebagai berikut:
∂x x = rx(1 − ) ∂t K
(2.1)
Kurva pertumbuhan tersebut di atas dibangun dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Model di atas kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor produksi (tangkap) ke dalam model. Untuk mengeksploitasi ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana tersebut dalam literatur perikanan biasa disebut sebagai upaya atau effort (trip, tenaga kerja, kapal, jaring dan sebagainya) yang dibutuhkan dalam aktivitas perikanan. Secara eksplisit, fungsi produksi yang sering digunakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort dengan rumus sebagai berikut:
ht = qEt xt dimana
(2.2)
q dikenal sebagai koefisien kemampuan tangkap atau catchability
coefisient
yang sering diartikan sebagai proporsi stok ikan yang dapat ditangkap
oleh satu unit upaya. Sedangkan Et adalah fungsi dari upaya penangkapan (trip) dan xt adalah biomassa ikan. Dengan adanya aktivitas penangkapan, maka persamaan 2.1 akan menjadi:
x ∂x x = rx (1 − ) − ht = rx (1 − ) − qxE K ∂t K
(2.3)
Fauzi (2004) bahwa dalam model Gordon-Schaefer ini, beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi tersebut antara lain: 1. Harga per satuan output, diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna. 2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan. 3. Spesies sumberdaya bersifat tunggal (single species). 4. Struktur pasar bersifat kompetitif.
15 5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pasca panen dan lain sebagainya). Gambar 2.2 menguraikan inti dari Model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan dalam dua rezim
pengelolaan yang berbeda. Dalam
kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat E ∞ , dimana TR (total revenue) sama dengan TC (total cost). Pada kondisi ini rente ekonomi sumberdaya (economic rent) tidak diperoleh. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam
kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai ”bioeconomic of open access fishery” atau bioekonomik dalam kondisi akses
equilibrium
terbuka.
TC
Rp
TC
Biaya, Penerimaan
B Πmak
C
E0
TR
EMSY
E∞
Upaya (effort)
Gambar 2.2 Kurva Model Gordon-Schaefer Pada setiap tingkat upaya lebih rendah dari E ∞ (sebelah kiri E ∞ ), penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga penerimaan nelayan akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku masuk (entry) ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari (di sebalah kanan E ∞ ) biaya total melebihi total penerimaan, sehingga banyak pelaku perikanan keluar (exit) dari perikanan. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to
16 zero) sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada
perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Pada kondisi ini identik dengan ketiadaan hak kepemilikan (property right) sumberdaya. Keuntungan lestari yang maksimum (maximum sustainable rent) akan diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC= π max ). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimum secara sosial (socially optimum). Kalau dibandingkan dengan kondisi open access
tingkat yang dibutuhkan jauh lebih besar dari yang
semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Hal ini ini berarti terjadi misallocation karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif lainnya. Inilah sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Kondisi E o , tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih kecil dibandingkan untuk mencapat titik MSY ( E MSY ). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih ”conservative minded” (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya.
2.3 Otonomi Pengelolaan Perikanan
Di dalam buku Ringkasan Agenda 21 Indonesia bagian Bab Pendahuluan (KMNLH 1997) juga disebutkan bahwa sebenarnya di dalam Agenda Global, merekomendasikan pentingnya desentralisasi pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Namun, dalam Agenda Indonesia 21 memang tidak ada arahan yang mengisyaratkan pelaksanaan program pembangunan yang bersifat desentralisasi. Agenda Indonesia sebagai advisory document, nampaknya harus menyesuaikan diri guna mengimbangi dinamika dan tuntutan pembangunan saat ini yakni era otonomi daerah. Perubahan dari paradigma pembangunan lama yang sentralistik harus berubah menjadi pendekatan pembangunan yang bersifat
17 desentralistik.
Sejalan dengan kondisi tersebut, maka lahirlah Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (lebih spesifik otonomi daerah), sebagai bentuk implementasi paling kompromis dari desakan federalisme di awal reformasi. Namun dalam perjalanannya dalam waktu yang singkat,
Undang-
Undang tersebut mengalami penggantian (bukan sebagai revisi), maka terbitlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (lebih memfokuskan pada pemilihan kepala daerah/Pilkada). Kinerja pembangunan perikanan dan kelautan nasional pada masa lalu belum seperti yang kita harapkan, salah satu faktor yang terpenting adalah bahwa proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kelautan sangat sentralistik dan “top-down”. Oleh karena itu, lahirnya UU. No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang juga mencakup kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya kelautan merupakan angin segar bagi pembangunan perikanan dan kelautan yang lebih baik. Dalam
pasal 18 disebutkan bahwa
kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan mencakup paling jauh 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota. Kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya laut meliputi : a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. b. Pengaturan
administratif
yang
meliputi
perizinan,
kelaikan,
dan
keselamatan. c. Pengaturan tata ruang. d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. e. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan. f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara berkelanjutan sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya tersebut tidak mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan
18 sumberdaya kelautan yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan masyarakat. Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu
mulai
dari
aspek
perencanaan,
pemanfaatan,
pengawasan
dan
pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah seberapa besar keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya kelautan secara berkelanjutan yang berada dalam wewenang/ kekuasaannya. Pertanyaan di atas penting mengingat tidak seluruh daerah memiliki pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak. Isyarat pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang ini seperti tersirat dalam pasal 17 ayat [1], bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundangan. Oleh karena itu, dalam pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggung-jawab disesuaikan dengan kemampuan daya dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah Daerah dapat
19 melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya kelautan secara terpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya kelautan terpadu dari setiap daerah propinsi, kabupaten/kota, dengan cara menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu. Manfaat langsung dari otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah. 2.4 Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) Analytical Hierarchy Process (AHP) yaitu suatu pendekatan yang
digunakan analisis kebijakan atau analisis jenjang keputusan yang bertujuan untuk memilih/menentukan prioritas kegiatan pada kawasan konflik penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang optimal (Saaty 1999). Menurut Permadi (1992) bahwa AHP merupakan: a. Desain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan suatu permasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif.
20 b. Pendekatan analisis yang bertujuan membuat suatu model permasalahan yang tidak terstruktur, dan biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah secara terukur (kuantitatif). c. Biasanya digunakan untuk pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategistrategi yang dimiliki pelaku dalam suatu konflik. d. Analisis yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan. Saaty (1999) menyarankan sedapat mungkin menghindari adanya penyederhanaan seperti dengan membuat asumsi-asumsi, dengan tujuan dapat diperoleh model-model yang kuantitatif. Untuk memecahkan konflik yang terjadi dan solusi yang diinginkan, maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan dalam pengambilan suatu kebijakan yaitu aspek tujuan utama, sub tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP dapat merinci permasalahan ke dalam komponennya yang selanjutnya diatur dalam bentuk hierarki, dimana hierarki paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen set lainnya, sehingga terdapat elemen yang spesifik yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik. Menurut Saaty (1999), bahwa AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan yang lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki, atau hierarki harus distruktur ulang. Analisis AHP dapat mendesain strategi pembangunan pembangunan yang disusun dalam berbagai skenario-skenario. Strategi merupakan suatu rencana keseluruhan dalam memanfaatkan sumberdaya untuk memperoleh kedudukan
21 yang menguntungkan (Grant 1997). Keputusan strategi secara umum memiliki tiga karakteristik umum yaitu : a. Strategi merupakan hal yang penting. b. Strategi meliputi komitmen yang penting dari sumberdaya. c. Strategi tidak mudah diubah. Grant (1997) juga menyatakan bahwa strategi yang berhasil biasanya memiliki empat unsur utama yakni : a. Strategi tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan yang jelas dan dalam jangka waktu yang panjang. b. Strategi didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap lingkungan eksternal. c. Strategi didasarkan pada pemahaman yang mendalam mengenai kemampuan internal organisasi maupun individu. d. Strategi dilaksanakan dengan resolusi, koordinasi, serta pemanfaatan yang efektif terhadap kemampuan dan komitmen dari semua anggota organisasi.
2.5 Keadaan Umum Perairan Selat Bali
Perairan Selat Bali di sebelah barat dibatasi oleh daratan Pulau Jawa dan di sebelah timur dibatasi oleh daratan Pulau Bali. Selat bali merupakan perairan yang relatif sempit
± 2.500 km2 (Merta et al. 1998). Bagian utara Selat Bali
mempunyai lebar ± 1 mil yang berhubungan dengan Laut Jawa (Selat Madura) dan merupakan perairan yang dangkal (kedalaman ± 50 meter), sedangkan lebar selat bagian selatan sekitar 28 mil yang merupakan perairan yang dalam dan berhubungan langsung dengan Samudera Hindia. Perairan Selat
Bali ini
mempunyai kesuburan yang tinggi, dimana produktivitas tertinggi terjadi pada musim timur karena pada saat itu terjadi upwelling di bagian selatan Selat Bali (DKP Propinsi Jatim 2000b). Adanya penaikan massa air cukup kuat di perairan sebelah selatan Bali akibat bertiupnya angin musson Tenggara yang menyusuri pantai selatan JawaBali. Disamping itu, akibat adanya pengaruh gaya Corolius transport
air di
lapisan permukaan dibelokkan ke tengah laut sehingga terjadi kekosongan air di pesisir Jawa-Bali ini kemudian diisi oleh massa air dari lapisan di bawahnya.
22 Kejadian ini dapat ditunjukkan dari hasil analisis sebaran melintang suhu sepanjang transek di perairan selatan Jawa-Bali dimana terjadi suhu dingin (26oC) di dekat permukaan pada wilayah perairan dekat pantai (Fakultas Perikanan IPB 1997). Pada saat musim timur, konsentrasi nitrat tinggi terjadi di Paparan Bali (Illahude 1975 diacu dalam Wudianto 2001). Zat hara seperti nitrat dan fosfat sangat penting bagi perkembangan fitoplankton. Pada saat musim timur dimana terjadi upwelling mengakibatkan terjadinya peningkatan fitoplankton (Arinardi 1989). Menurut hasil penelitian disertasi yang dilakukan Wudianto (2001) bahwa rata-rata kelimpahan fitoplankton di perairan Selat Bali berdasarkan musim: (a) barat (bulan Januari) sebesar 7,3 x 103 sel/m3, (b) peralihan I (bulan Mei) sebesar 21,9 x 103 sel/m3, (c) timur (bulan Agustus) sebesar 35,5 x 103 sel/m3, dan (d) peralihan II (bulan September) sebesar 24,4 x 103 sel/m3. Subani dan Sudrajat (1981) menyatakan bahwa konsentrasi plankton di perairan Paparan Bali lebih tinggi dibandingkan dengan perairan di bagian tengah selat dan Paparan Jawa.
2.6 Perikanan Lemuru di Selat Bali
Pada tahun-tahun terakhir ini sebutan Sardinella longiceps jarang digunakan sebagai nama ilmiah ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali. Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru yang dilakukan Wongratana (1982) dalam Merta (1992); Gloerfet-Tarp dan Kailola (1984) diacu dalam FAO (2000) mengidentifikasikan jenis lemuru di perairan Selat Bali sebagai Sardinella lemuru Bleeker, 1853.
FAO (2000) mengidentifikasikan jenis Sardinella lemuru ini
dalam bahasa Inggris dinamakan Bali Sardinella. Sedangkan dalam bahasa dagang ikan lemuru dikenal dengan istilah “Indian oil sardinella”. Taksonomi ikan lemuru sebagai berikut (FishIndex 2006): a. Kelas
: Actinopterygii,
b. Ordo
: Clupeiformes,
c. Famili
: Clupeidae,
d. Nama ilmiah
: Sardinella lemuru,
e. Nama ilmiah lain
: S. aurita, S. longiceps, Harengula nymphaea, Clupea nymphaea, Amblygaster posterus, S. samarensis
23 Di Indonesia, istilah ”lemuru” sering digunakan untuk beberapa spesies sardines (Baharuddin et al. 1984) dan dalam publikasi tahunan ”Statistik
Perikanan Indonesia” lemuru meliputi Sardinella longiceps (S.lemuru), S. aurita, S. leiogaster, S. clupeoides. Gambar ikan lemuru yang ditangkap di perairan Selat
Bali lebih detail seperti dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Ikan lemuru (S. lemuru Bleeker, 1853) (Sumber: FAO/SIDP 2006)
Pendugaan besarnya sediaan ikan lemuru di perairan Selat Bali (19731981), baik dengan menggunakan metode akustik maupun model surplus produksi dari data hasil tangkapan dan upaya yang tersedia, memberikan hasil dugaan potensi yang hampir sama yaitu berkisar antara 35.000-66.000 ton (Sujastani dan Nurhakim 1982). Kemudian pada tahun 1986 di perairan Selat Bali diadakan pendugaan sediaan ikan lemuru lagi dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya yang diturunkan dari data ekonomi diperoleh nilai dugaan MSY sebesar 62.00066.000 ton per tahun (Martosubroto et al. 1986) Menurut FAO (1999) yang menyatakan bakwa pendaratan ikan lemuru dari hasil penangkapan di perairan Selat Bali memang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Dimana pada saat mencapai puncak pada tahun 1983 yang mencapai 48.000 ton kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus merosot menjadi 4.600 ton pada tahun 1986. Kemudian mengalami titik produksi puncak lagi pada tahun 1991 yang berhasil didaratkan sebanyak 61.000 ton, kemudian merosot lagi pada tahun 1996 menjadi 13.000 ton. Pada tahun berikutnya 1997 meningkat tajam menjadi 50.000 ton, kemudian turun lagi pada tahun 1998. Sumberdaya ikan pelagis di Selat Bali jauh lebih besar dibandingkan potensi sumberdaya ikan demersal (Amin dan Sudjastani 1981). Hampir 80% dari
24 total produksi ikan yang didaratkan di perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru (S. lemuru) (Budihardjo et al. 1990). Demikian juga Merta (1992) menyatakan bahwa produksi lemuru yang didaratkan dari perairan Selat Bali berkisar antara 65,86-92,89% dari produksi total pada tahun 1984-1989. Berdasarkan data dari Resort Muncar tahun 1998, musim ikan lemuru Selat Bali menurut ukurannya digolongkan seperti dalam Tabel 2.1 Tabel 2.1 Penggolongan ikan lemuru dan periode tangkap No.
Golongan Ikan
Ukuran Panjang (cm)
Periode Bulan
1.
Sempenit
< 11
Agustus-Desember
2.
Protolan
11-15
Januari-Desember
3.
Lemuru
15-18
Mei-Desember
4.
Lemuru Kucing
> 18
Oktober-Desember
Sumber: DKP Propinsi Jawa Timur 2000; Merta 1992.
2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru Selat Bali
Dengan semakin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine
di Selat Bali dan dalam rangka
memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab dengan memperhatikan kelestariannya serta menciptakan ketenangan berusaha bagi para nelayan di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali, maka dikeluarkan kesepakatan antar dua propinsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat Bali tersebut sebagai berikut (DKP Propinsi Jawa Timur 2000): a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Gubernur KDH I Tingkat I Bali Nomor HK.1/39/77/EK/le/52/77 tanggal 20 Mei 1977 tentang pengaturan
bersama mengenai kegiatan
penangkapan ikan di daerah Selat Bali. Dalam SKB tersebut, jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi di Selat Bali sebanyak 100 unit, dengan rincian masing-masing wilayah 50 unit. b. Revisi SKB tahun 1978, dimana alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi sebanyak 133 unit, dengan rincian 73 unit untuk Propinsi Jawa Timur dan 60 unit untuk Propinsi Bali.
25 c. Mengingat SKB tersebut masih tetap dilanggar, dimana jumlah alat tangkap purse seine di Muncar saja pada tahun 1983 sudah mencapai 200 unit. Maka pada tahun 1985 dikeluarkan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor 7 tahun 1985//4 tahun 1985 dengan petunjuk pelaksanannya berdasarkan SKB Kepala Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jawa Timur dan Bali Nomor 02/SK/Utan/I/85//523.41/96/Um/K pada tanggal 14 November 1992. d. Pada tahun 1992 dilakukan penyempurnaan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor 238 tahun 1992//SKB 673 tahun 1992 dengan petunjuk pelaksanannya berdasarkan SKB Kepala Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jawa Timur dan Bali Nomor 10 tahun 1994//02 tahun 1994 yang menetapkan jumlah purse seine
yang boleh beroperasi
sebanyak 273 unit, dengan rincian 190 unit untuk Jatim dan 83 unit untuk Bali.
Gambar 2.4 Perairan Selat Bali (www.encharta.com)
26 2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian
Pada setiap sistem pengelolaan pembangunan perikanan, tentunya memerlukan indikator kinerja (performance indicators). Indikator kinerja tersebut digunakan sebagai panduan dan tolok ukur, apakah kebijakan dan program pembangunan perikanan yang sedang atau yang telah dilaksanakan sesuai atau telah menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pembangunan perikanan yang mengelola keanekaragaman hayati, yang bertujuan antara lain untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumberdaya hayati secara berkesinambungan (sustainable), mampu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi nelayan, serta menjamin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan industri. Pendekatan
holistic
dalam
mengkaji
pembangunan
perikanan
berkelanjutan secara cepat, sederhana, dan komprehensif yang mampu mengakomodasikan berbagai komponen yang menentukan keberlanjutan itu sendiri. Komponen/dimensi tersebut menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, dan etik. Dari setiap komponen atau dimensi ada beberapa atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan sebagai indikator keberlanjutan. Dalam kajian ini, ada lima dimensi/komponen dengan masing-masing atribut yakni: a.
Dimensi Ekologi :
terdiri dari 10 atribut yakni: tingkat eksploitasi,
keragaman recruitment, perubahan tropic level, daerah perlindungan laut, gejala penurunan jumlah ikan, ukuran ikan yang ditangkap, jumlah ikan yang tertangkap sebelum dewasa, jumlah tangkap ikan non target yang dibuang, jumlah spesies yang ditangkap, produktivitas primer. b.
Dimensi Ekonomi: terdiri dari 9 atribut yakni: profitabilitas usaha perikanan, konstribusi perikanan terhadap GDP, pasar, tingkat pendapatan masyarakat nelayan, sumber pendapatan lainnya, sektor ketenagakerjaan, penerima keuntungan, tingkat subsidi, pembatasan jumlah nelayan, nilai pasar usaha.
c.
Dimensi Sosial: terdiri dari 10 atribut yakni: sistem atribut usaha perikanan, tingkat
pertumbuhan
komunitas,
jumlah
rumah
tangga
perikanan,
pengetahuan lingkungan (environmental awareness), tingkat pendidikan, status konflik, tingkat keterlibatan nelayan, tingkat pendapatan usaha perikanan, partisipasi keluarga.
27 d.
Dimensi Teknologi: terdiri dari 10 atribut yakni:
panjang trip, tempat
pendaratan, penanganan pasca panen, penanganan di kapal, pemanfaatan alat tangkap aktif, selektivitas alat, FAD, ukuran kapal, kemampuan alat tangkap, dan efek samping dari alat tangkap. e.
Dimensi Etik: terdiri dari 9 atribut yakni: kedekatan nilai dan kepercayaan, alternatif pekerjaan, pertimbangan kearifan lokal dalam pengusahaan, manajemen pengambilan keputusan, pengaruh aturan pranata sosial, mitigasi terhadap habitat, mitigasi terhadap ekosistem, illegal fishing, dan sikap terhadap limbah dan by catch. Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagai prasyarat terpenuhinya
pembangunan perikanan yang berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries. Apabila
kaidah-kaidah
pembangunan berkelanjutan dan holistic ini tidak dipenuhi, maka pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan dan over exploitation. Rapfish akan
menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif
mengenai kondisi sumberdaya perikanan kita, khususnya perikanan di daerah penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995).
Dalam kaitannya pembangunan berkelanjutan di era otonomi daerah, perlu mengevaluasi bagaimana kinerja pengelolaan perikanan (fisheries management) yang telah dilaksanakan sejak diterapkannya UU. Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam penelitian ini akan mengimplementasikan
the
Code of Conduct for Responsible Fisheries FAO khususnya article 7. Dimana
ada 6 dimensi dan 43 atribut yang digunakan: a. Management objectives (9 atribut). b. Framework (data and procedures) (7 atribut). c. Precautionary approach (9 atribut). d. Stok, fleets, and gear (7 atribut). e. Social and economic (6 atribut). f. Monitoring, control, and surveillance (MCS) (5 atribut).
28 Untuk
mengevaluasi
keberlanjutan
pembangunan
perikanan
menggunakan pendekatan perpaduan antara metode Rapfish dengan multiple criteria analysis (MCA) dan analisis keterkaitan indikator (analysis of indicator linkages), sehingga pendekatan ini lebih ”local accepted” dinamakan Modifikasi
Rapfish (MODRAPF)
Hasil analisis status keberlanjutan pembangunan perikanan akan dipertajam lagi dengan analisis optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dengan menggunakan pendekatan model Bioekonomi Statik. Model ini mengintegrasikan referensi biologi dengan ekonomi, hal ini mengingat sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan open acces. Dalam penelitian ini akan memfokuskan kajian pada potensi dan pemanfaatan yang optimal untuk single species yakni ikan lemuru (S. lemuru Breeker 1853). Akses terhadap
sumberdaya yang tidak efisien serta berdampak terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang terjadi terhadap sumberdaya ikan seperti kelebihan tangkap (overfishing), overcapacity, kepunahan, depresiasi, dan degradasi. Permasalahan tersebut berdampak terhadap tingkat kesejahteraan pelaku usaha perikanan sebagai akibat biaya eksploitasi yang semakin meningkat, produksi yang semakin menurun dan akhirnya menurunnya manfaat/keuntungan dari kegiatan penangkapan. Kajian optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru juga didesain dalam 3 rejim pengelolaan yakni: maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY), dan open acces.
Untuk selanjutnya hasil evaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, maka perlu didesain langkah-langkah strategis yang harus dilakukan guna menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan mampu memenuhi kebutuhan manusia seoptimal mungkin.
Untuk
mengkaji
hal
tersebut
akan
didesain
strategi-strategi
pembangunan perikanan berkelanjutan spesifik lokal Kabupaten Banyuwangi dengan menggunakan metode pendekatan AHP. Dalam penyusunan level-level dan atribut yang digunakan tetap memasukkan 5 dimensi utama tersebut di atas yakni ekonomi, ekologi, sosial, teknologi, dan etik. Struktur hirarki yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.5.
29
Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Ekologi
Ekonomi
Ekplorasi/ Eksploitasi Sumberdaya
Pemerintah
Pelestarian Sumber Daya
Swasta
Peningkatan Kesejatraan Nelayan
Sosial
Pengembangan Ekonomi Rakyat
Masyarakat Nelayan
Peningkatan Kemampuan Armada dan Alat Tangkap
Menjamin Kebutuhan Rakyat dan Industri
Fokus(L-1)
Teknologi
Etik
Penataan Sosial dan Kelembagaan
LSM
Penegakan Hukum
PT
Peningkat an PAD
Komponen/ Dimensi (L-2)
Sub Komponen (L-3)
Stakeholder (L-4)
Strategi (L-5)
Gambar 2.5 Struktur analisis hierarki proses pembangunan perikanan berkelanjutan Kabupaten Banyuwangi
Gambar 2.6 yang menyajikan garis besar kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari 3 bagian yakni: (a) Input (evaluasi sumberdaya ikan lemuru, (b) proses ( identifikasi permasalahan dan pendekatan analisis), dan (c) output (kebijakan pembangunan perikanan berkelanjutan di Perairan Selat Bali)
Input
Proses
Evaluasi Sumberdaya Ikan Lemuru
Identifikasi Permasalahan
Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru 1. Sumber Pendapatan Nelayan 2. Memobilisasi Aktivitas Ekonomi Wilayah 3. Penyedia Bahan Baku industri pengolahan hasil perikanan 4. Sumber PAD
Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi
Output
Pendekatan Analisis
Analisis Rapfish, Multi Criteria Analysis, Analysis of Indicator Linkages (MODRAPF), Analytical Hierarchy Process
Etik
Kebijakan Pembangunan Perikanan Berkelanjutan di Perairan Selat Bali
CCRF Ekstraksi Sumberdaya Ikan Lemuru
1. Ketimpangan Struktur armada 2. Tidak terkontrolnya jumlah armada dan jenis alat tangkap 3. Illegal fishing
Penilaian multidimensional dan komprehensif Overfishing, overcapacity, depresiasi, dan degradasi
Analisis Bioekonomi, Analisis Degradasi, Depresiasi, Pengelolaan sumberdaya optimal, dan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Gambar 2.6 Kerangka pemikiran penelitian
Implikasi Kebijakan