II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PRODUK TEROLAH MINIMAL Teknologi olah minimal adalah seluruh kegiatan pengolahan yang mencakup pencucian, sortasi, pembersihan, pengupasan, pemotongan, dan lain sebagainya yang tidak mempengaruhi sifatsifat mutu bahan segarnya, khususnya kandungan gizinya (Shewfelt, 1987). Menurut Cantwell (1991) salah satu peserta symposium American Chemical Society menyatakan bahwa produk olah minimal adalah potongan buah dan sayur yang mengalami sedikit pengolahan. Menurut Burn (1995), buah dan sayuran segar terolah minimal lebih menawarkan jaminan mutu dibandingkan dengan sayuran segar dengan kondisi utuh tertutup kulit, karena pada sayuran segar terolah minimal konsumen dapat secara langsung melihat kondisi bagian dalam. Huxsoll dan Bolin (1989) dalam Laurila dan Ahvenainen (2002) menyatakan bahwa pengolahan minimal buah dan sayur mentah mempunyai dua tujuan yaitu: 1. Mempertahankan produk tetap segar tanpa kehilangan kualitas nutrisi. 2. Memastikan bahwa umur simpan produk cukup untuk membuat distribusi layak dilakukan dalam wilayah konsumsi. Laurila dan Ahvenainen (2002) selanjutnya menjelaskan bahwa ciri karakteristik pengolahan minimal adalah kebutuhan untuk pendekatan yang terintegrasi, dimana bahan mentah, cara penanganan, pengolahan, pengemasan dan distribusi harus diatur dengan baik untuk membuat umur simpan bertambah selama mungkin. Produk olahan minimal sayur-sayuran lebih mudah mengalami kerusakan dibandingkan dengan sayur-sayuran yang tidak diolah. Pengolahan minimal biasanya meningkatkan derajat kerusakan bahan yang diolah (Krochta et al., 1992). Proses pengupasan atau pengirisan pada tahap persiapan dapat menyebabkan luka pada jaringan sayur. Terbukanya jaringan tersebut akan memperpendek masa simpan sayur yang juga menyebabkan terjadinya hal-hal seperti: mempercepat produksi etilen (Krochta et al., 1992), degradasi membran lemak (Brecht, 1995), peningkatan respirasi (Krochta et al., 1992), oksidasi pencoklatan dan peningkatan laju penghilangan air (Brecht, 1995). Beberapa upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam teknologi olah minimal telah dilakukan oleh para peneliti. Perlakuan yang diberikan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk teknologi olah minimal. Beberapa perlakuan yang diterapkan dalam teknologi olah minimal antara lain penyimpanan pada suhu rendah, perlakuan khusus dalam persiapan sampel, penggunaan bahan tambahan pangan, penyimpanan dengan atmosfir terkontrol/termodifikasi dan penggunaan pelapis edible (Wong et al., 1994).
B. WORTEL Dari family Umbeliflorae, wortel merupakan sayuran terpenting dan yang paling banyak ditanam di berbagai tempat. Kegunaan awalnya hanyalah sebagai obat, tetapi sekarang wortel telah menjadi sayuran utama, dan umumnya dikenal karena kandungan α-karoten dan β-karoten akar tunggangnya. Kedua jenis karoten ini penting dalam gizi manusia sebagai prekursor vitamin A. kultivar yang ditanam di Asia bertekstur agak lunak, kurang manis, beraroma lemah, beradaptasi dengan suhu panas dan umbinya sering berwarna merah terang atau jingga kemerahan (Rubatzky dan Yumaguchi, 1998).
2
Tanaman wortel (Daucus carrota) berasal dari daratan Asia, kemudian berkembang ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di Jawa Barat yaitu daerah Lembang dan Cipanas. Namun dalam perkembangannya menyebar luas ke daerahdaerah sentra sayuran di Jawa dan luar Jawa. Tanaman wortel yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah yang berumbi kuning sampai agak jingga, rasanya agak manis. Berdasarkan bentuk umbinya, wortel dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu: 1. Wortel tipe imperator umbinya berbentuk bulat panjang dengan ujungnya runcing seperti kerucut. Biasanya tumbuh akar serabut pada umbinya. Jenis wortel yang termasuk tipe ini adalah scarlet wonder. 2. Wortel tipe cantenay. Tipe ini umbinya berbentuk bulat panjang dengan ujungnya tumpul. Biasanya pada umbinya tidak tumbuh akar serabut, contohnya royal cross. 3. Wortel tipe nantes bentuk umbinya merupakan peralihan dari kedua tipe wortel. Jenis wortel tipe nantes ialah early marketer. Wortel tipe imperator kurang disukai karena rasanya kurang manis. Varietas lokal lebih disukai karena rasanya enak. Pemanenan biasanya dilakukan pada saat tanaman berumur 2.5 bulan – 4 bulan, dengan garis tengah 2 cm, tergantung pada varietas dan iklim setempat, waktu memanen sebaiknya pada saat masih muda, sebab umbi yang sudah tua terasa keras dan pahit. Jika dilihat dari taksonominya, wortel ternyata masih satu famili dengan parsley, seledri, adas dan lain-lain. Adapun klasifikasi tanaman wortel adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Wortel (Anonim, 2012)
Kingdom divisi sub-divisi kelas ordo genus species
: Plantae (tumbuh-tumbuhan) : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) : Angiospermae : Dicotyledonae : Umbelliferae (Apiaceae) : Daucus : Daucus carrota
Tanaman wortel merupakan sayuran dataran tinggi yang bisa ditanam sepanjang tahun baik musim kemarau maupun musim hujan. Wortel pada permulaan tumbuh menghendaki cuaca dingin dan lembab. Pertumbuhan dan produksi umbi dibutuhkan suhu udara optimal antara 15.6-21.1 0C. Suhu udara yang terlalu tinggi (panas) sering kali menyebabkan umbi kecil-kecil (abnormal) dan
3
berwarna pucat/kusam. Bila suhu udara terlalu rendah (sangat dingin), maka umbi yang terbentuk menjadi panjang kecil. Wortel adalah salah satu sumber makanan detoksifikasi yang mempunyai kemampuan untuk mengatur ketidakseimbangan dalam tubuh. Wortel merupakan komoditas sayuran yang banyak mengandung β-karoten yang merupakan prekursor Vitamin A. Wortel sebagai sumber Vitamin A berfungsi untuk membantu proses penglihatan (Ipteknet, 2009). Wortel mengandung pro-Vitamin A yang sangat tinggi, oleh karena itu sangat baik untuk menjaga kesehatan mata, khususnya pada anak-anak untuk menghindari buta senja dan meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Untuk memperoleh zat antikanker yang lebih banyak maka sebaiknya wortel dikonsumsi dalam keadaan masak. Pemasakan akan meningkatkan karoten dua hingga lima kali lebih banyak. Namun, pemasakan yang terlalu lama justru akan menghilangkan βkaroten tersebut. Ditinjau dari segi organoleptik, wortel memiliki warna yang menarik. Warna merah kekuningan hingga merah jingga menjadikan wortel memiliki daya pikat tersendiri. Selain itu, wortel memiliki rasa yang enak sehingga digemari oleh masyarakat. Tekstur umbi wortel juga sangan baik (renyah), tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek. Bahkan mengonsumsi wortel sangat dianjurkan, terutama untuk menghadapi masalah kekurangan Vitamin A. Dalam setiap 100 gram bahan mengandung 12.00 S.I Vitamin A. wortel merupakan bahan pangan bergizi tinggi, harga murah, dan mudah mendapatkannya. Umbi wortel berwarna kuning kemerahan karena mengandung β-karoten yang tinggi, kulitnya tipis rasanya enak renyah dan manis. Komposisi gizi umbi wortel disajikan pada Tabel 1 . Tabel 1. Komposisi gizi wortel per 100 gram bahan Bahan Penyususun Kandungan gizi 42.00 Kalori (kal) 9.30 Karbohidrat (g) 0.30 Lemak (g) 1.20 Protein (g) 39.00 Kalsium (mg) 37.00 Phosphor (mg) 0.80 Besi (mg) 12.00 Vitamin A (SI) 0.06 Vitamin B (mg) 6.00 Vitamin C (mg) 88.20 Air (g) 88.00 Bagian yang dapat dimakan (%) Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1995). Salah satu karoten yang sangat penting adalah β-karoten. β-karoten berperan penting sebagai antioksidan yang memberikan perlindungan pada tubuh terhadap pengaruh negatif yang merusak dari aktifitas radikal bebas. Kandungan zat gizi utama wortel adalah karoten, selain itu juga mengandung gula, pektin, asparagin, Vitamin B, C, D, E dan Vitamin K, serat lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, sodium, potassium, asam amino, minyak essensial dan β-karoten. Jika biasanya sayur atau buah lebih bermanfaat jika dikonsumsi segar, beda hal nya dengan wortel. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan wortel justru meningkatkan jumlah β-karoten. Itu terjadi
4
karena proses pengolahan akan menghancurkan dinding selnya sehingga β-karoten lebih mudah larut dan dimanfaatkan (Ipteknet, 2009). Selain kandungan vitamin dan mineral, wortel juga merupakan sumber serat yang baik. Serat makanan diakui memberikan pengaruh positif bagi metabolisme zat gizi dan kesehatan tubuh. Peranan serat makanan untuk kesehatan tubuh seringkali dikaitkan dengan penyakit konstipasi, kegemukan (obesitas) serta memberikan efek hipokolesterolemik dengan cara mengikat asam empedu dan membuangnya ke feses. Peranan yang terakhir ini sangat erat kaitannya dengan pencegahan penyakit jantung koroner. Pascapanen merupakan semua kegiatan yang dilakukan terhadap komoditi setelah selesai panen yang bertujuan untuk menjaga kondisi produk agar tetap segar hingga tiba ke tangan konsumen. Kegiatan pascapanen ini meliputi dari pemanenan, ada beberapa urutan persiapan tersebut, meliputi: pembersihan, pemilihan, pencegahan penyakit pascapanen, pengukuran (sizing), pengkelasan (grading), pengemasan (packaging), transportasi dan penyimpanan. Setelah dipanen buah-buahan dan sayur-sayuran segar terus mengalami kegiatan respirasi dan transpirasi, jaringan dan sel masih terus menunjukkan aktivitas metabolisme sehingga selalu mengalami perubahan kimiawi dan biokimiawi (Eskin et al. 1971). Luka-luka ataupun memar selama pemanenan akan memberi pengaruh buruk terhadap komoditas hingga menjadi rusak dan tidak menarik. Pemanenan dan penanganan perlu dilakukan dengan hati-hati agar luka maupun memar dapat ditekan serendah mungkin hingga buah dan sayuran yang dipanen dapat dipertahankan mutunya dalam waktu yang lebih lama. Pemanenan yang keliru dan penanganan yang kasar di kebun dapat mempengaruhi mutu pemasaran secara langsung (Pantastico, 1997). Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak, Vitamin A umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Dalam Vitamin A banyak terkandung β-karoten, tubuh manusia mampu mengubah β-karoten menjadi Vitamin A. sayuran dan buah berwarna hijau atau kuning biasanya banyak mengandung Vitamin A, semakin hijau maka semakin tinggi kadar karotennya. Ada beberapa pro-Vitamin A yang termasuk pigmen karatenoid yang paling penting adalah βkaroten. Kerusakan dapat terjadi pada suhu tinggi jika ada oksigen. Senyawa ini juga rentan terhadap oksidasi oleh lipid peroksidase dan yang mendorong oksidase lipid yang mengakibatkan penguraian Vitamin A. Vitamin A juga sangat rentan terhadap sinar dan cahaya (Deman, 1989).
C. EDIBLE COATING Edible coating merupakan edible lapisan tipis yang dapat dikonsumsi dan menyediakan perlindungan terhadap kelembaban, oksigen, dan perpindahan solute bagi makanan. Bahan ini digunakan diatas atau di antara produk dengan membungkus, merendam, menyikat atau menyemprot untuk memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air dan memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Gennadios dan Weller, 1990). Bahan dasar pembuatan edible coating adalah hidrokoloid (protein, polisakarida), lipid (asam lemak), dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid). Protein dapat diperoleh dari jagung, kedelai, keratin, kolagen, gelatin, kasein, protein susu, albumin telur, dan protein ikan. Polisakarida dapat diperoleh dari selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa, hidroksi profil metil selulosa), tepung dan turunannya, pektin ekstrak ganggang laut (alginate, karagenan, agar), gum (gum arab, gum karaya), xanthan, chitosan, dan lain-lain (Gennadios dan Weller, 1990). Polisakarida yang digunakan untuk edible coating adalah selulosa, pati dan turunannya, pektin dan turunannnya, ekstrak rumput laut, eksudat gum, gum fermentasi, dan chitosan. Polisakarida sangat hidrofilik sehingga kurang baik dalam menahan uap air dan udara. Namun, jenis pelapis ini dapat
5
menjadi agen yang dapat mengurangi kehilangan kelembaban dari bahan pangan. Contoh coating tersebut dapat diperoleh dari campuran pektin (LMP), kalsium klorida, plasticizer, serta asam organik. Umumnya coating dengan polisakarida (termasuk pektin) tidak cukup baik untuk menahan migrasi uap air, bahkan transmisi uap airnya bisa mencapai 7 – 20 kali dibandingkan coating dengan lilin dan minyak (misalnya dengan parafin). Coating ini mampu menghambat gas CO2 dan oksigen sehingga mampu menghambat pematangan pada komoditas klimakterik yang pada akhirnya mampu memperpanjang umur simpan tanpa menimbulkan kondisi anaerob. Hal ini menyerupai penyimpanan dengan CA atau pun MA yang memerlukan lebih banyak biaya misalnya biaya tenaga kerja. Senyawa lipid yang banyak digunakan adalah monogliseril, wax alami, dan surfaktan. Materi yang paling efektif adalah parafin dan beeswax. Fungsi primer film lipid adalah menghalangi transpor uap air karena sifat polarnya yang rendah. Lapisan lipid bersifat hidrofobik. Permeabilitas uap air kan menurun ketika konsentrasi fase hidrofobik meningkat. Lipid-based film sering digunakan pada struktur matrik polimer untuk memberikan kekuatan mekanik. Film yang dibuat dari lipid akan memiliki sifat tebal tapi mudah rapuh. Mampu mencegah kehilangan air, mengurangi tergerusnya permukaan selama penanganan bahan serta mengendalikan pencoklatan pada kulit buah apel. Pada pisang, memberikan kesan mengkilap pada buah serta menurunkan timbulnya bintik pelayuan yang terkait dengan penurunan aktivitas enzim polifenol oksidase. Pada buah tomat, coating tersebut ternyata juga dapat mempertahankan kandungan asam askorbat Kombinasi antara hidrokoloid dan lipid berfungsi untuk meningkatkan sifat-sifat mekanik terterntu dari edible film tergantung fungsi spesifik yang diinginkan. Film komposit ini diaplikasikan dalam bentuk emulsi, suspensi, dispersi, atau dalam bentuk multilayer film. Metode aplikasi akan mempengaruhi kemampuan penghalang dari film yang dihasilkan. Menurut Guilbert (1993), beberapa keuntungan penggunaan edible coating adalah: 1. Dapat dimakan 2. Biaya umumnya rendah 3. Kegunaannya dapat mengurangi limbah 4. Mampu meningkatkan sifat organoleptik, mekanik dan nutrisi pada makanan 5. Mampu menambah nilai nutrisi makanan (terutama oleh film yang terbuat dari protein) 6. Dapat berfungsi sebagai carier atau zat pembawa untuk senyawa antimikroba dan antioksidan 7. Dapat digunakan sebagai pembungkus primer makanan, bersama-sama dengan film yang tidak dapat dimakan Cara-cara pelapisan untuk edible coating adalah pencelupan, penyemprotan atau penuangan. Metode pencelupan dilakukan dengan cara mencelupkan bahan makanan ke dalam edible coating. Untuk mendapatkan permukaan yang rata, dibutuhkan suatu mantel. Setelah pencelupan, kelebihan mantel dialirkan ke produk dan kemudian dikeringkan agar diperoleh teksur yang keras. Metode penyemprotan dilakukan dengan cara menyemprokan edible coating pada bahan pangan pada satu sisinya, sehingga hasilnya lebih seragam dan praktis dibandingkan cara pencelupan. Metode penuangan dilakukan dengan cara menuang edible coating ke bahan yang akan dilapis. Teknik ini menghasilkan bahan yang lembut dan permukaan yang datar, tetapi ketebalannya harus diperhatikan karena berpengaruh terhadap permukaan bahan.
D. PEMBEKUAN Pembekuan adalah pemindahan panas dari bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair ke padat (Tambunan, 1999). Syarief dan Kumendong (1992) menyatakan bahwa pembekuan adalah kegiatan menurunkan suhu bahan pangan di bawah suhu titik bekunya. Dengan membekukan
6
sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun). Maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan sehingga dapat mempertahankan mutu bahan pangan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan dalam keadaan beku yang biasanya dilakukan pada suhu (-12) – (-24)oC. Pembekuan cepat (quick freezing) dilakukan pada suhu -24 sampai -40oC. Pembekuan cepat dapat terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit, sedangkan pembekuan lambat biasanya berlangsung selama 30-72 jam. Pembekuan cepat mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara lambat karena kristal es yang terbentuk lebih kecil sehingga kerusakan mekanis yang terjadi lebih sedikit, pencegahan pertumbuhan mikroba juga berlangsung cepat dan kegiatan enzim juga cepat berhenti. Bahan pangan yang dibekukan dengan cara cepat mempunyai mutu lebih baik daripada pembekuan lambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan selama beberapa hari atau minggu tergantung dari jenisnya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bula atau kadang-kadang beberapa tahun. Menurut Irving dan Sharp (1976), mutu bahan pangan yang dibekukan akan menurun dengan kecepatan yang tergantung pada suhu penyimpanan dan jenis bahan pangan. Pada umumnya sebagian besar bahan pangan akan mempunyai mutu penyimpanan yang baik sekurang-kurangnya 12 bulan bila disimpan pada suhu -18oC, kecuali bahan pangan dengan kandungan lemak tinggi. Bila suhu penyimpanan naik 3oC, maka kecepatan kerusakan akan berlipat ganda. Makanan beku yang mempunyau mutu penyimpanan yang baik selama 12 bulan pada suhu -18oC, akan tahan disimpan masing-masing selama 6 bulan atau 3 bulan pada suhu -15oC atau -12oC. Kandungan air dalam bahan selama pembekuan akan berubah wujud menjadi kristal es. Terbentuknya kristal es dalam bahan pangan dipengaruhi oleh suhu media pembekunya (Fellow, 1992). Faktor penting dalam pembekuan bahan pangan adalah laju pembekuan. Laju pembekuan cepat menghasilkan mutu produk yang lebih baik daripada pembekuan lambat (Tressler, 1981). Pembekuan cepat menyebabkan kristal es yang terbentuk pada produk beku akan lebih kecil dan tidak merusak dinding sel, sehingga ketika dicairkan kembali, tekstur bahan tidak rusak. Dengan demikian, mutu hasil pembekuan masih mendekati bahan pangan segar walaupun tidak dapat dibandingkan dengan mutu hasil pendinginan. Pembekuan merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi kerusakan hasil pertanian, sehingga memiliki umur simpan yang lebih lama. Keunggulan dari teknologi ini cukup sederhana dan tidak menyita waktu serta dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang, khamir yang mempercepat proses kebusukan pada produk pangan. Dibandingkan dengan proses pemanasan, teknologi pembekuan cepat dapat lebih mempertahankan kandungan nutrisi pada bahan pangan apabila dilakuakan dengan benar. Namun, demikian beberapa penelitian menyebutkan bahwa pembekuan lambat yang selama ini banyak dipergunakan dalam preservasi bahan pangan, memiliki banyak kekurangan terutama karena menyebabkan terbentuknya kristal es dengan ukuran yang lebih besar, sehingga jaringan pada bahan pangan tersebut menjadi rusak dan berakibat hilangnya komponen zat gizi. Secara mikrobiologis, pembekuan dapat menghambat pertumbuhan mikroba karena ketika makanan dibekukan, air yang ada berkurang karena pembentukan kristal es, dan Aw menurun karena terjadi peningkatan konsentrasi komponen hidrofilik. Tingginya konsentrasi komponen hidrofilik seperti ion-ion organik dan anorganik dapat membatasi pertumbuhan mikroorganisme melalui efek penarikan air, membatasi transfer nutrien ke dalam sel dan efek terlarut intraseluler (Ibrahim, 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan mikroba terhadap pembekuan adalah jenis dan galur mikroba, komponen bahan pangan (protein, peptide, gula, lemak, dll), fase pertumbuhan,
7
komposisi media pendingin dan pembekuan, laju pendinginan, pengaturan suhu dan waktu pendinginan, laju thawing dan media yang digunakan untuk menentukan jumlah yang hidup Untuk mempertahankan mutu suatu produk beku juga perlu dilakukan pengemasan yang sempurna untuk melindunginya dari dehidrasi yang disebabkan oleh proses sublimasi selama pembekuan. Proses dehidrasi tersebut dapat menyebabkan perubahan warna, rasa, tekstur dan gizi bahan pangan beku selama penyimpanan (Desrosier, 1988).
E. PENGEMASAN Fungsi utama dari pengemasan adalah 1) menjaga produk bahan pangan tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap kotoran dan kontaminasi lain, 2) melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air, dan penyinaran (cahaya), 3) mempunyai fungsi yang lebih baik, efisien dan ekonomis khususnya selama proses penempatan makanan ke dalam wadah kemasan, 4) mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup dan juga memudahkan dalam tahap-tahap penanganan, pengangkutan, dan distribusi, 5). Mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan standar yang ada, mudah dibuang dan mudah dibentuk atau dicetak, dan 6) menampakkan identifikasi, informasi, dan penampilan yang jelas agar dapat membantu promosi atau penjualan (Syarief et al, 1989). Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan atau produk olahan yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan atau getaran). Pengemasan juga berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi, dan dari segi kemasan sebagai alat promosi dan media informasi (Syarief & Halid, 1993). Pengemasan memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil pertanian. Pengemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan dengan cara melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya. Selain itu pengemasan juga dapat melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik. Menurut Suyitno (1986) pengemasan adalah upaya perlindungan hukum, pengawetan, logistik, kepastian hukum, pengamanan dan pemasaran. Pengertian kemasan sendiri adalah konstruksi yang dirancang dengan kekuatan yang mampu melindungi produk secara efektif terhadap penyebab kerusakan fisik, kimiawi dan mikrobiologi. Seleksi bahan pengemas yang tepat dengan sifat barier yang cocok terhadap oksigen, uap air, cahaya dan sebagainya dapat meningkatkan umur produk pangan (Subangsihe, 1993). Menurut Spiess dan Schubert (1990) umur simpan suatu produk pangan dipengaruhi tiga parameter yaitu kemasan, sifat produk dan teknologi prosesnya. Persyaratan pengemas untuk bahan pangan antara lain mempunyai permeabilitas terhadap udara, tidak menyebabkan penyimpangan warna dari produk, tidak bereaksi sehingga tidak merusak bahan maupun cita rasanya. Bahan pengemas harus tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan panas, mudah dikerjakan secara marjinal dan harganya relatif murah. Sementara itu fungsi terpenting dari pengemasan keripik adalah untuk melindungi produk dari ketengikan, kelembaban, kehilangan bau atau masuknya bau asing yang mengganggu produk dan mencegah produk dari kehancuran. Faktor tambahan berhubungan dengan persyaratan dalam penjualan termasuk untuk daya tarik produk, tidak ada noda minyak, mudah dibuka dan kemampuan mesin (Sacharow & Griffin, 1980). Bahan kemasan dapat berupa gelas, kertas, plastik atau kaleng. Bahan kemasan tersebut harus tahan lemak yang bertujuan untuk mencegah penetrasi lemak dari bahan ke luar melalui dinding
8
pembungkus. Penggunaan plastik untuk kemasan makanan cukup menarik karena sifatsifatnya yang menguntungkan seperti luwes, mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah logam serta mudah dalam penanganan. Polipropilen termasuk dalam jenis plastik poliolein dan merupakan polimer dari propilen. Pada mulanya motekul polipropilen berada dalam wujud gas. Bila dibandingkan dengan polietilen, polipropilen (PP) mempunyai kekuatan tarik dan kejernihan yang lebih baik serta permeabilitas uap air dan gas yang rendah (Pantastico, 1997). Sifat-sifat utama propilen diantaranya adalah ringan, mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam keadaan film, permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas gas sedang (Syarief et al.9 1989). Sementara menurut Pantastico (1997), sifat-sifat polipropilen yang lain adalah tidak bereaksi dengan bahan, dapat mengurangi kontak antara bahan dengan oksigen, tidak menimbulkan racun dan mampu melindungi bahan dari kontaminan. Polipropilen lebih kaku, kuat, lebih ringan dari pada polietilen dan stabil pada suhu tinggi. Plastik polipropilen yang tidak mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu tetapi bukan penahan gas yang baik (Buckle & Edwards, 1987). Untuk produk yang sensitif terhadap oksigen dapat diawetkan lebih baik dengan menggunakan kemasan vakum. Kemasan vakum tidak hanya memperpanjang masa simpan tapi juga memberikan efek visual yang lebih baik terhadap kemasan (Subangsihe, 1993). Colby et. al (1993) mendefinisikan kemasan vakum dengan keterbatasan kandungan oksigen dalam suatu lingkungan melalui pengurangan konsentrasinya atau penghilangan seluruhnya. Menurut Wills et al. (1981) kemasan yang memenuhi syarat untuk pengemasan bahan pangan adalah yang mempunyai sifat: 1. Kuat untuk melindungi bahan selam penyimpanan, transportasi dan penumpukan 2. Tidak bereaksi dengan bahan yang dikemas 3. Bentuk sesuai dengan cara penanganan dan pemasaran 4. Sifar permeabilitas film kemasan sesuai dengan laju kegiatan respirasi bahan yang dikemas, dan biaya kemasan sesuai dengan bahan yang dikemas.
9