TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Wortel Tanaman Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk ke dalam Kelas Dicotyledonae (berkeping dua), Ordo Umbeliferae, Genus Daucus, dan Spesies Daucus carota (L.) (Cahyono 2002 dalam Pohan 2008). Susunan tubuh tanaman wortel terdiri atas daun dan tangkainya, batang, dan akar. Secara keseluruhan wortel merupakan tanaman setahun yang tumbuh tegak hingga 30-100 cm atau
lebih. Wortel memiliki daun yang bersifat
majemuk menyirip ganda dua atau tiga dan anak-anak daun berbentuk lanset (garis-garis). Setiap tanaman memiliki 5 sampai 7 tangkai daun yang berukuran agak panjang. Tangkai daun kaku dan tebal dengan permukaan yang halus, sedangkan helaian daun lemas dan tipis (Keliat 2008). Tanaman ini memiliki batang pendek, akar tunggang yang bentuk dan fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan memanjang, dan kulit umbi yang tipis. Umbi memiliki warna seperti kuning kemerahan, jingga, putih, ungu. Kulit luar umbi terlihat tipis, dan jika dimakan mentah terasa renyah dan agak manis. Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur, kaya bahan organik (humus), dan lahan tidak tergenang (pengairan yang baik) (Honggodipuro 2008).
a
b
c
Gambar 1 Tanaman Wortel: (a) Umbi wortel, (b) Bunga, (c) Bagian-bagian penampang wortel (Makmum 2007)
5
Tanaman wortel memiliki pola tumbuh yang bersifat biennial. Tanaman ini memiliki batang yang pendek dan berbentuk seperti piringan pada pertumbuhan awal dan akan memanjang pada pertumbuhan berikutnya. Tandan bunga merupakan karangan karangan bunga yang berbentuk payung. Bunga wortel bersifat hermaprodit dengan sistem penyerbukan melalui menyerbuk silang yang umumnya dibantu oleh serangga (Tindall 1983). Bunga wortel berwarna putih dan terdiri atas masing-masing sepal dan petal yang berjumlah lima. Bakal buah berbulu, buah berbentuk bulat, panjang 3 sampai 4 mm dengan tepi berduri. Kedudukan daun berselang dengan tangkai daun, panjang dan membentuk pelepah pada pangkalnya (Tindall 1983). Tanaman wortel membutuhkan lingkungan tumbuh yang suhu udaranya dingin dan lembab. Menurut Rukmana (1995), di Indonesia wortel umumnya ditanam di dataran tinggi pada ketinggian di atas 1000 m dpl, namun terdapat pula pada ketinggian 700 m dpl seperti di daerah Cipanas, Jawa Barat (Kurniawan 2010). Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah lempung berpasir yang dalam sedangkan tanah yang berat dapat menghambat pertumbuhan umbi wortel. Wortel memerlukan tanah dengan pH 6 sampai 6,5 dan suhu lingkungan 16 sampai 24 0C untuk dapat tumbuh dengan baik. Suhu tinggi mengakibatkan terhambatnya perkecambahan, penurunan kandungan β-karoten, memucatnya warna umbi, dan berseratnya jaringan akar (Tindall 1983). Wortel segar cukup kaya akan nilai gizi karena mengandung β-karoten, protein, dan mineral. Komposisi kimia wortel dalam 100 gram bahan yang dapat dimakan adalah: protein (1,20 g), lemak (0,30 g), karbohidrat (9,30 g), Ca (339 mg), P (37,00 mg), Fe (0,80 mg), vitamin A (12.000,00 mg), vitamiun C (6,00 mg), air (88,20 g). Komposisi kimia utama umbi wortel adalah air sebanyak 88,20 %. Perbedaan komposisi kimia wortel dipengarungi oleh beberapa faktor, seperti iklim, varietas, tingkat kemasakan umbi, dan tanah (Direktorat Gizi 1979).
6
Meloidogyne spp.
Klasifikasi Meloidogyne spp. termasuk dalam Ordo Tylenchida, Subordo Tylencina, Famili Heteroderoidae, dan Genus Meloidogyne (Dropkin 1991). Nematoda ini memiliki sedikitnya 90 spesies (Karsen 2000), dan terdapat lima spsesies yang dipertimbangkan sebagai nematoda parasit penting pada tanaman secara global, diantaranya spesies M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M. chitwood (Kurniawan 2010).
Morfologi Nematoda memiliki ukuran tubuh yang kecil dan tidak dapat dilihat secara langsung dengan mata telanjang sehingga dibutuhkan bantuan mikroskop untuk melihat ciri morfologi yang dimilikinya. Spesies jantan dan betina memiliki bentuk tubuh yang berbeda satu sama lain. Nematoda jantan memiliki bentuk tubuh memanjang seperti cacing, sedangkan nematoda betina pada saat dewasa memiliki bentuk tubuh seperti buah pear atau sferoid (Agrios 2005). Nematoda jantan dewasa memiliki ukuran panjang tubuh antara 887 hingga 1268 µm. Bentuk kepala tidak berlekuk dan memiliki stilet yang lebih panjang dibandingkan dengan betinanya yakni 16 sampai 19 µm. bergerak lambat di dalam tanah dengan ekor pendek dan membulat pada bagian posterior terpilin (Eisenback 2003).
Gambar 2 Morfologi pola perineal Meloidogyne spp. (Sumber: Eisenback 2003)
7
Betina dewasa memiliki ukuran panjang 430-740 µm. Stilet untuk menembus perakaran mempunyai panjang 11,5-14,5 µm. Nematoda betina memiliki stilet lemah melengkung ke arah dorsal dengan knob dan pangkal knob yang tampak jelas. Terdapat pola jelas pada striae yang berada di sekitar vulva dan anus yang disebut dengan pola perineal (perinneal pattern) (Gambar 2). Morfologi umum dari pola perineal jenis Meloidogyne spp. dibagi menjadi dua, yaitu bagian dorsal dan ventral. Bagian dorsal terdiri dari lengkungan striae dorsal, punctuations (tonjolan berduri), phasmid, ujung ekor, dan garis lateral, sedangkan bagian ventral terdiri dari striae ventral, vulva, dan anus. Setiap spesies Meloidogyne memiliki beberapa variasi pola perineal yang menjadi ciri khusus untuk dapat diidentifikasi.
Biologi Nematoda puru akar bersifat obligat tersebar luas di daerah iklim tropik maupun iklim sedang. Perkembangbiakan tanpa individu jantan dalam reproduksi terjadi pada banyak jenis, namun pada jenis yang lain reproduksi seksual masih terjadi dalam perkembangbiakannya. Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina dewasa diletakan berkelompok pada massa gelatinus yang bertujuan untuk melindungi telur dari kekeringan dan jasad renik (Dropkin 1991).
Gambar 3 Siklus Hidup Meloidogyne spp. (Sumber: Eisenback 2003)
8
Massa telur yang baru terbentuk biasanya tidak berwarna dan berubah menjadi coklat setelah tua. Nematoda betina dapat menghasilkan telur hingga 500 butir telur dalam satu massa gelatinus (paket telur). Embrio nematoda berkembang menjadi juvenil 1 (J1) yang mengalami pergantian kulit pertama di dalam telur. Telur menetas dan J1 mengalami perubahan menjadi juvenil 2 (J2) yang muncul pada suhu dan kelembaban yang sesuai dan bergerak aktif di dalam tanah menuju akar yang sedang tumbuh. Juvenil 2 masuk ke dalam akar dan merusak sel-sel akar dengan stiletnya. Selanjutnya, di dalam akar J2 bergerak di antara sel-sel sampai tiba di tempat dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar samping. Juvenil 2 akan hidup menetap pada sel-sel tersebut, mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit hingga menjadi juvenil 3 (J3) dan juvenil 4 (J4) yang selanjutnya menjadi nematoda jantan atau betina dewasa (Dropkin 1991). Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang seperti cacing dan hidup di dalam tanah atau pada jaringan akar, sedangkan nematoda betina yang berbentuk seperti buah pear akan tetap tertambat dan tinggal pada daerah makanannya atau sel awal di dalam stele dengan bagian posterior tubuhnya berada pada permukaan tanah. Selama hidupnya, nematoda betina akan terus-menerus menghasilkan telur hingga mencapai 1000 butir telur. Keberadaan nematoda akan merangsang sel-sel untuk membelah, sehingga terbentuk puru pada akar tanaman (Luc et al. 1995). Proses pembentukan puru ditandai dengan adanya lima sampai tujuh sel di sekeliling nematoda yang menjadi sel raksasa (giant cell) (Agrios 2005).
Mekanisme Infeksi NPA Mekanisme penyerangan oleh Meloidogyne spp. dimulai dengan penetrasi nematoda ke dalam akar tumbuhan melalui bagian-bagian epidermis yang terletak di sekitar tudung akar. Molekul signal nematoda atau elisitor dikeluarkan dari sekresi kelenjar eshopagus nematoda yang diinjeksikan melalui stilet dalam jaringan inang. Sekresi dari kelenjar eshopagus nematoda pada nematoda endoparasit (NPA) berhubungan dengan respon inang yang kompatibel yang kemudian merubah sel inang menjadi feeding site yang spesifik seperti giant cell
9
dan sinsitium sebagai sumber nutrisinya (Vrain 1999; Williamson & Richard 1996). NPA mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan dinding sel tumbuhan terutama terdiri dari protein, polisakarida seperti pektin selulase dan hemiselulase serta patin sukrosa dan glikosid menjadi bahan-bahan lain. Meloidogyne spp. mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa dan enzim endopektin metal transeliminase yang dapat menguraikan pektin. Terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini menyebabkan dinding sel akan rusak dan terbentuk luka. Selanjutnya nematoda ini bergerak di antara sel-sel atau menembus sel-sel menuju jaringan sel yang terdapat cukup cairan makanan. Betina NPA yang bersifat endoparasit sedentari hidup dan berkembang biak di dalam jaringan sel, mengeluarkan enzim proteolitik dengan melepaskan asam indol asetat (IAA) yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga membantu terbentuknya puru (Lamberti and Taylor 1979). Akar tanaman yang terinfeksi NPA dapat mengakibatkan timbulnya puru bulat atau memanjang dengan ukuran yang bervariasi. Apabila tanaman terinfeksi berat oleh NPA, sistem akar yang normal berkurang sampai pada batas jumlah akar yang berpuru berat dan menyebabkan sistem pengangkutan mengalami gangguan secara total. Sistem akar mengalami disfungsi dalam menyerap dan menyalurkan air maupun unsur hara. Tanaman mudah layu, khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil (Luc et al. 1995). Akar yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. Mengalami gangguan diferensiasi xilem dan floem. Sel-sel periskel mengganti beberapa pembuluh kayu dan tapis didalam puru akar yang menyebabkan fungsi akar menjadi berkurang. Akar yang terinfeksi mengalami pertumbuhan baru dan pengangkutan air dan nutrisi dari akar ke bagian permukaan atas tanaman makin berkurang (Dropkin 1991).
Gejala Penyakit Nematoda Puru Akar memiliki kisaran inang yang sangat beragam, yakni lebih dari 2000 spesies tanaman yang sebagian besarnya merupakan tanaman budidaya. Infeksi NPA dapat mengakibatkan tanaman menjadi layu dan mati dengan gejala penyakit berupa pertumbuhan tanaman yang terhambat dan kerdil
10
serta perakaran yang memiliki banyak bintil atau puru akar (Endah & Novizan 2002). Tanaman wortel merupakan salah satu inang bagi nematoda Meloidogyne spp. (Agrios 2005). Infeksi NPA pada tanaman wortel dapat dideteksi dari gejala yang timbul pada tajuk dan perakaran. Lahan yang terinfeksi nematoda dapat terlihat pula dari kondisi tanaman di lahan, ditandai dengan adanya pertumbuhan dan tinggi tanaman yang tidak merata pada pertanaman atau disebut juga dengan gejala botak pada pertanaman.
Gejala pada Tanaman di Lahan Gejala awal pada tanaman yang terinfeksi umumnya terlihat pada tajuk, ditandai dengan menguningnya daun di sekitar tajuk, layu, dan tanaman menjadi kerdil. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal akibat adanya gangguan saluran pengangkut air dan nutrisi (xilem dan floem) (Agrios 2005). Individu tanaman yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal sehingga terlihat berbeda dengan tanaman sehat. Menurut Kurniawan (2010), infeksi ringan nematoda di lahan pertanaman wortel berawal dari infeksi spasial pada pertanaman. Hal ini memungkinkan masih terdapatnya individu tanaman yang bebas NPA pada infeksi awal di lahan. Tanaman yang terinfeksi dan tidak terinfeksi terlihat berbeda pertumbuhannya sehingga tinggi tanaman menjadi tidak merata. Gejala ini merupakan gejala khas dari infeksi nematoda di lahan atau disebut juga dengan gejala botak pada pertanaman. Gejala botak pada pertanaman disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan tanaman, dan infeksi dengan intensitas infeksi yang tinggi dapat menyebabkan benih tanaman mati muda.
Gejala pada Perakaran Gejala infeksi NPA pada perakaran dapat berupa hipertropi dan hiperplasia, yaitu membengkaknya jaringan perakaran yang disebut puru. Puru terjadi karena adanya pembesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada jaringan perisikel, dan juga terjadi perubahan bentuk pada jaringan pengangkutan. Timbulnya puru pada sistem perakaran merupakan gejala awal yang berasosiasi
11
dengan infeksi NPA. Tanaman yang terinfeksi berat oleh NPA dapat menyebabkan sistem perakaran mengalami disfungsi secara total (adanya pengurangan jumlah akar). Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi dan fungsi perakaran terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman (Davis 1981). Akar yang terinfeksi biasanya pendek dan mempunyai sedikit akar lateral dan rambut-rambut akar (Agrios 2005). NPA juga menginfeksi umbi sehingga umbi mengalami malformasi, bentuk umbi menjadi bulat pendek, bercabang, dan berpuru (Nunez et al. 2008). Bentuk lain dari malformasi umbi yang terinfeksi NPA juga terlihat seperti umbi bercabang (forking) (Tanaka et al. 1997), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain and Baker 1980; Vrain 1982). Tanaman wortel yang terinfeksi NPA menyebabkan menjadi lebih rentan terhadap infeksi cendawan (Fusarium, Pythium, Rhizoctonia, dan Sclerotium rolfsii), bakteri (Pseudomonas/Ralstonia solanacearum), dan virus (Tobacco mosaic virus). Sifat interaksi dengan patogen lain adalah sinergistik, artinya keparahan penyakit akan meningkat dengan adanya infeksi ganda. Pada infeksi yang parah, maka stele yang keras merupakan satu-satunya sisa sistem perakaran yang masih utuh (Luc et al. 2005). NPA dapat meningkatkan infeksi oleh cendawan patogen karena kandungan eksudat puru akar diubah dan jumlahnya meningkat, sehingga cendawan pada stadium istirahat yang terjangkau oleh akar menjadi aktif (Agrios 2005).
Spesies Meloidogyne Meloidogyne spp. merupakan jenis nematoda yang tersebar hampir di seluruh dunia dan memiliki kisaran inang yang sangat luas, meliputi gulma dan berbagai tanaman yang dibudidayakan. (Dropkin 1991). Spesies ini memiliki lebih dari 75 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Menurut Karsen (2000), nematoda jenis ini sedikitnya memiliki 90 spesies dengan kisaran inang yang luas. Terdapat 4 spesies Meloidogyne sebagai nematoda penting yang menginfeksi pertanaman wortel, yakni M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla.
12
Meloidogyne incognita Spesies M. incognita merupakan nematoda parasit tanaman yang penting di seluruh daerah tropika. Beberapa tanaman inang spesies ini adalah kapas, kentang, tebu, wortel, tomat, tanaman hias, dan lain-lain (Thomas et al. 2004). Suhu optimum
yang dibutuhkan oleh M. incognita untuk melakukan
reproduksi berkisar antara 18-30 0C, dapat mengalami peningkatan populasi hingga 47% pada suhu optimum pertumbuhannya yakni antara 15-25
0
C
(Eisenback 2003). Spesies M. incognita memiliki ciri khas berupa lengkung striae bagian dorsal yang berbentuk persegi (sudut ± 900), dan lengkung striea dengan pola garis yang bergelombang (Gambar 4). Hal inilah yang menjadi karakter khusus untuk mengenali M. incognita dalam kegiatan identifikasi pola perineal (Eisenback et al. 1981).
Gambar 4 Ciri khusus pola perineal Eisenback 2003)
Meloidogyne incognita (Sumber:
Siklus hidup dari nematoda ini sekitar 30 sampai 60 hari tergantung dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hidup nematoda seperti suhu optimum, ketersediaan inang, dan lingkungan yang sesuai untuk melakukan reproduksi.
13
Meloidogyne javanica Nematoda M. javanica termasuk spesies yang tersebar hampir di seluruh dunia, khususnya di daerah tropika sampai ketinggian 3000 m dpl (Semangun 2006). Tanaman inang dari M. javanica antara lain tomat, kentang, wortel, tanaman hias, tembakau, sayuran, dan buah-buahan (Semangun 2006).
Gambar 5
Ciri khusus pola perineal Meloidogyne javanica (Sumber: Eisenback 2003)
Suhu optimum yang dibutuhkan oleh spesies ini memiliki perbedaan pada setiap setiap stadium daur hidupnya (Southey 1978), namun suhu optimum yang diperlukan untuk berkembang dengan baik berkisar antara 25-30 0C. Munculnya populasi M. javanica terbesar terjadi pada pH antara 6,4 sampai 7 dan akan terhambat pada pH di bawah 5,2 (Southey 1978). Proses identifikasi pola perineal pada spesies ini dilakukan dengan cara melihat ciri khas berupa garis lateral yang memisahkan striae bagian dorsal dan ventral (Gambar 5) (Eisenback 2003). Diantara dua garis lateral tersebut terdapat daerah kosong dan tidak ada striae dorsal dan ventral yang saling berikatan.
Meloidogyne arenaria M. arenaria merupakan spesies yang dapat menyebar bukan hanya di daerah tropik, namun juga terdapat di daerah subtropik (Luc et al. 1995). Karakteristik morfologi dari spesies ini berupa pola perineal yang sangat variabel, ditandai dengan lengkungan tepi yang rendah dan bulat dengan striae yang halus hingga bergelombang (Eisenback dan Triantaphyllou 1991). Pola perineal dari
14
spesies ini merupakan variasi dari spesies M. hapla dan M. incognita. Bagian striae bercabang pada garis lateralnya dan merupakan pola yang dimiliki oleh sebagian besar spesies ini (Gambar 6). Nematoda jantan memiliki bentuk kepala dan stilet yang pendek dan agak bulat (Eisenback et al. 1981).
Gambar 6 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne arenaria (Sumber: Eisenback 2003) Meloidogyne hapla Spesies ini terdapat di daerah beriklim sedang dan kadang-kadang terdapat di dataran tinggi tropik (Luc et al. 1995). M. hapla akan memiliki populasi dan tingkat infeksi yang rendah apabila temperatur dari wilayah tersebut tidak sesuai dengan suhu optimum yang dibutuhkannya. Beberapa tanaman yang memiliki tingkat infeksi M. hapla yang rendah antara lain semangka, kapas, dan jagung.
Gambar 7 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne hapla (Sumber: Eisenback 2003)
15
Gambar 7 memperlihatkan jenis M. hapla yang memiliki ciri khas pola perineal berupa tonjolan-tonjolan seperti duri pada zona ujung ekor (Eisenback et al. 1981). Tonjolan-tonjolan seperti duri membentuk lingkaran atau elips pada ujung ekor. Karakter ini tidak dimiliki oleh spesies Meloidogyne lainnya sehingga menjadi karakter khas M. hapla. Bentuk gejala yang disebabkan oleh infeksi nematoda ini berbeda denga gejala infeksi spesies lainnya, yakni berupa puru kecil, bentuk seperti bola, dan terbentuk akar rambut (hairy roots) yang berasal dari jaringan puru (Luc et al. 1995).
Identifikasi Spesies Meloidogyne Melalui Pola Perineal (Perineal Pattern) Identifikasi pola perineal (perineal pattern) atau pola sidik pantat merupakan salah satu teknik identifikasi nematoda yang diperkenalkan oleh Eisenback et al. (1981). Identifikasi pola perineal atau sidik pantat dilakukan untuk mengatahui spesies NPA berdasarkan ciri morfologi pada nematoda betina. Teknik ini menggunakan individu nematoda betina dewasa sebagai sampel identifikasi. Masing-masing nematoda betina diidentifikasi melalui pola perineal dan dilihat karakter khas yang dimilikinya. Prosedur identifikasi pola perineal yang dilakukan dimulai dari mendeteksi keberadaan nematoda (terutama telur) pada puru akar, proses pembuatan preparat sidik pantat, pengamatan preparat di bawah mikroskop, dan identifikasi. Proses pembuatan preparat dilakukan sesuai dengan acuan kegiatan identifikasi pola perineal yang telah dilakukan Eisenback et al. (1981) dan Shurtleff and Averre (2005), kemudian disesuaikan dengan buku kunci identifikasi A guide to the four most common species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key (Eisenback 2001) Deteksi NPA pada puru di akar dilakukan dengan cara merendam bagian umbi yang bergejala ke dalam larutan Phloxine B. hal ini dilakukan dengan maksud melihat keberadaan paket telur nematoda dan gejala infeksi nematoda berupa nekrosis. Paket telur dari nematoda akan berwarna kemerahan karena massa gelatinus menyerap Phloxine B.
16
Gambar 8
Prosedur pembuatan pola (Sumber: Eisenback 2003)
perineal
NPA
betina
Pembuatan preparat pola perineal nematoda betina mengacu pada proses pembuatan preparat Eisenback et al. (1981), seperti yang terlihat pada Gambar 8. Umbi yang diduga terinfeksi nematoda dijadikan sebagai sampel bedah. Kemudian dari sampel umbi yang bergejala dilakukan pembedahan untuk mengambil individu nematoda betina dewasa. Individu nematoda betina dewasa inilah yang dijadikan sebagai bahan identifikasi spesies NPA dengan cara mengamati bagian perinealnya. Bagian perineal (preparat sidik pantat) diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x dan hasilnya disesuikan dengan kunci identifikasi.
Identifikasi Spesies Meloidogyne Secara Molekuler Identifikasi nematoda dengan pendekatan biologi molekuler berbasis DNA merupakan langkah identifikasi yang lebih maju dan memiliki tingkat kecepatan, akurasi, dan sensitifitas yang terpercaya. Teknik PCR-RFLP (Restiction Fragment Length Polymorphism) diketahui telah berhasil digunakan untuk melakukan identifikasi spesies NPA (Power 1993; Zijlstra 1995; Orui 1998). Terdapat pula teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD-PCR) yang ternyata diketahui lebih sederhana dan lebih cepat dalam pelaksanaannya. Cenis (1993) mengadopsi RAPD-PCR untuk mengidentifikasi 4 spesies NPA, tetapi tidak diuji coba untuk juvenil II NPA kecuali M. javanica. Teknik lainnya adalah PCR ITS rDNA (Internal Transcribed Spacer Ribosomal DNA) berdasarkan sistem kerja
17
pemisahan spesies Meloidogyne dengan amplifikasi gen DNA ribosoma. Amplifikasi bagian tertentu dari genom nematoda merupakan langkah yang efektif untuk melihat karakterisasi dan identifikasi nematoda (Powers dan Harris 1993). Bagian genom yang paling informatif adalah bagian ribosomal DNA repeat unit (r-DNA), yang mengandung Internal Transcribed Spacers 1 (ITS1) dan ITS2. Prosedur yang dilakukan pada teknik PCR untuk identifikasi nematoda dimulai dengan proses ekstraksi DNA NPA yang dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain (1) metode minipreparation yang dilakukan oleh Cenis (1993) untuk mengekstraksi jumlah DNA yang cukup banyak dari nematoda betina dewasa; (2) Metode buffer lisis; (3) Metode air steril yang menggunakan air steril untuk mengekstraksi DNA nematoda. Menurut Muladno (2010), proses amplifikasi DNA nematoda terjadi melalui tahap awal yakni tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada suhu 94 0
C sampai dengan 96 0C, molekul DNA mengalami denaturasi sehingga
strukturnya berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal. Tahap kedua, pada suhu 50 0C sampai dengan 60 0C terjadi proses penempelan atau annealing. Primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi komplemennya. Hal yang sama juga terjadi pada primer reverse yang menempel pada untai tunggal lainnya. Proses berikutnya, setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3” masing-masing primer. Sintesis molekul DNA baru ini disebut juga dengan proses ekstensi yang terjadi pada suhu 72 0C. Setelah proses tersebut, satu untai DNA ganda akan berlipat jumlahnya menjadi dua untai DNA. Proses ini terjadi berulang kali, mulai dari denaturasi, penempelan, dan sintesis. Suhu pada proses denaturasi dan ekstensi bersifat tetap, masing-masing pada suhu 95 0C dan 72 0C, sedangkan suhu penempelan (annealing) bergantung pada panjang atau pendeknya primer (Muladno 2010). Siklus PCR yang dilakukan untuk nematoda (NPA) pada wortel sebanyak 45 kali (Kurniawan 2010).