II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KOPI INSTAN
Kopi instan dibuat dari kopi bubuk yang diekstrak dengan menggunakan air (Clarke, 1988). Di dalam Encyclopedia Britanica (1983), disebutkan bahwa pada pembuatan kopi instan, sejumlah konsentrasi kopi cair dipekatkan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan pengeringan semprot dari konsentrasi kopi tersebut, menggunakan udara panas, mengeringkannya pada keadaan vacuum, atau dengan lyophilization (pengeringan dingin). Operasi dari pembuatan kopi instan lebih kompleks dan beragam pada berbagai perusahaan yang memproduksinya. Kopi instan dapat larut baik pada air panas maupun dingin, tanpa pembentukan buih, serta memiliki aroma dan rasa menyerupai masakan kopi segar (Pintauro, 1975). Siswoputranto (1992), menyatakan bahwa kopi instan dihasilkan dari ekstraksi kopi bubuk, hasil biji kopi yang telah disangrai, melalui percolator-percolator ukuran pabrik yang ukuran diameternya bisa mencapai 6,5 m. Ekstraksi dilakukan dengan air panas dan tekanan. Diperoleh produk agak padat yang disebut liquor yang kemudian disaring melalui filterfilter dan kemudian dikeringkan. Cara ekstraksi ini bisa mencapai rendemen antara 35% - 50% Lebih lanjut Siswoputranto (1992), menyebutkan pengeringan liquor menjadi serbuk-serbuk kopi dilakukan melalui proses spray drying atau freeze drying yang ditemukan dan dipergunakan secara komersial baru sejak tahun 1960-an. Produknya adalah kopi instan yang mudah diseduh.. Komposisi dari kopi instan murni dapat dilihat pada Tabel 1. Kopi instan harus dilindungi dengan pengemasan yang cocok sebelum didistribusikan kepada pedagang ritel atau pasar, pertimbangan utamanya adalah untuk menghindari absorpsi uap air dari lingkungan, yang tidak hanya mengakibatkan penggumpalan, tetapi juga akan mempercepat deteriorasi aroma (Smith, 1989)
Tabel 1. Komposisi kopi instan murni No
Komponen Kimia
Persentase (%)
1
Karbohidrat (3-5% gula pereduksi)
35.0
2
Lemak (beserta asam lemak)
0.2
3
Protein (asam amino dan kompleksnya)
4.0
4
Abu (oksida)
14.0
5
Asam non volatil • Chlorogenic • Cafeic • Quinic • lainnya Trigonellin
13.0 1.4 1.4 3.0 3.5
Kafein • Arabika • Robusta Phenol
3.5 7.0 5.0
6 7
8 9
Komponen volatil lainnya • Sebelum pengeringan • Sesudah pengeringan Sumber : Pintauro (1975)
1.1 -
B. KRIM NABATI BUBUK
Krimer nabati bubuk adalah produk olahan dari lemak nabati ditambah karbohidrat yang sudah ditambahkan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk bubuk, dan dipergunakan sebagai padanan rasa untuk makanan dan minuman (BSN, 1998). Affandi, Iskandar, Aini, dan Habi (2003), menyatakan bahwa produk tersebut disebut juga sebagai krimer non-susu atau krimer nabati karena memanfaatkan minyak nabati sebagai bahan baku seperti halnya pemanfaatan lemak susu dalam produk krimer susu. Affandi, Iskandar, Aini, dan Habi (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga macam bentuk krimer non-susu yang beredar di pasaran, yaitu serbuk, cair, dan beku yang semuanya dibuat dalam bentuk konsentrat emulsi. Diantara ketiga jenis produk tersebut, krimer dalam bentuk serbuk merupakan produk krimer yang paling banyak diminati pasar karena kemudahan dalam
4
penanganan dan penyimpanan. Krimer non-susu memiliki banyak kelebihan bila dibandingkan dengan krimer susu. Kelebihan tersebut antara lain umur produk yang lebih panjang. Selain itu, krimer non-susu juga dapat memenuhi kebutuhan segmentasi pasar dimana terdapat kondisi yang memaksa seseorang tidak dapat mengkonsumsi krimer dari bahan susu. Krimer non-susu dengan asam lemak jenuh yang tinggi diketahui mempunyai ketahanan dan stabil terhadap oksidasi dan ketengikan untuk jangka waktu yang lama.
C. GULA
Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk dalam karbohidrat, punya rasa manis, dan larut dalam air, serta mempunyai sifat aktif optis yang dijadikan ciri khas untuk mengenal setiap gula. (Goutara dan Wijandi, 1985). Frijters (1987) menyatakan, gula merupakan bahan yang penting dalam industri pangan untuk dua alasan. Pertama, gula memiliki berbagai karakteristik fungsional pada berbagai produk pangan. Sebagai contoh, gula dapat berfungsi sebagai pemanis, bahan pengisi, pembentuk tekstur, pengawet, dan substrat dalam fermentasi. Alasan kedua adalah dari seluruh produk pangan yang dapat diperoleh oleh konsumen, produk pangan yang mengandung gula lebih banyak jumlahnya. Hal utama yang dijadikan sebagai penentu kualitas gula secara sensori adalah rasa manis yang ditimbulkan, dimana sangat disukai oleh seluruh budaya dan banyak individu. Gula yang banyak diperdagangkan sebagai bahan makanan adalah gula sukrosa yang berbentuk kristal atau seperti pasir putih yang jernih (Goutara dan Wijandi, 1985). Belitz dan Grosch (1999), menyatakan sukrosa secara alami terdapat secara luas di alam, umumnya pada tanaman hijau, daun, batang, buah, biji, dan pada akar dan rhizoma. Dua sumber utama untuk produksi sukrosa adalah tebu (Saccharum officinarum) dan bit (Beta vulgaris spp.). Sukrosa adalah gula yang secara signifikan sangat ekonomis dan diproduksi secara industri dalam jumlah besar. Sukrosa
bernama
β-D-fructofuranosyl-α-D-glucopyranoside
dan
merupakan gula disakarida non-pereduksi. Sukrosa mengandung delapan grup
5
hidroksil, tiga diantaranya adalah atom karbon primer (C1’, C6 dan C6’) dan lima lainnya dalam ikatan sekunder (Khan, 1979). Lindley (1987), menyatakan bahwa rasa manis dari sukrosa tidak dapat konstan dikarenakan terjadinya reaksi inversi selama masa penyimpanan menjadi glukosa dan fruktosa. Sebagai contoh, pada pH 2,5 sekitar lima puluh persen kandungan sukrosa terinversi setelah 25 hari pada suhu ruang. Selama terinversi, intensitas kemanisan akan berubah. Hal ini disebabkan glukosa dan fruktosa yang merupakan hasil inversi sukrosa, merupakan gula pereduksi. Intensitas kemanisan dari fruktosa cenderung sensitif terhadap suhu dan pH.
D. PENDUGAAN UMUR SIMPAN
Hine (1997), menyatakan bahwa istilah umur simpan mengandung pengertian tentang waktu antara saat produk mulai dikemas sampai dengan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ellis (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan akan umur simpan pada produk pangan sangatlah penting. Termasuk pula pada penanganan akan bahan pangan tersebut. Hal ini berarti pertumbuhan, pemasok bahan-bahan tambahan, produsen, seluruh penjual, retail, dan konsumen temasuk didalamnya. Umur simpan pada produk pangan dapat diartikan sebagai waktu antara produksi dan pengemasan produk dengan waktu saat produk mencapai titik tertentu yang tidak dapat diterima dibawah kondisi lingkungan tertentu. Floros (1993), menyatakan umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS yang sering juga disebut sebagai metoda konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Pendugaan umur simpan produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat lagi diterima oleh konsumen.
6
Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan terbuka pada kondisi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, kandungan oksigen, dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk tersebut. Sebagai konsekuensi dari mekanisme tersebut, produk pangan dapat ditolak oleh konsumen, atau dapat membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu, pemahaman yang baik terhadap reaksi-reaksi yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk pangan menempati prioritas untuk pengembangan prosedur spesifik guna mengevaluasi umur simpan produk pangan. Perubahan secara kimiawi, fisik, dan mikrobial merupakan penyebab pada penurunan mutu produk pangan (Singh, 1994). Ellis (1994), menyatakan bahwa banyak komponen pada produk pangan mengalami perubahan karena oksigen. Kerusakan pada lemak pada produk beremulsi menyebabkan ketengikan. Pigmen alami mengalami perubahan warna seperti pada saus tomat dari warna merah menjadi kecoklatan. Arpah (2001), menyatakan bahwa penyimpangan mutu produk dari mutu awalnya disebut sebagai deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dari persinggungan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya, atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat juga diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi. Lebih lanjut, Arpah (2001), menyatakan bahwa reaksi deteriorasi pada produk pangan juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi didalam produk berupa reaksi kimia, enzimatis, atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari lingkungan. Hal ini akan meyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi, maupun mikrobiologis. Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan
7
dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, serta kemasan keseluruhan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat (Labuza, 1982). Metode Arrhenius merupakan pendugaan umur simpan dengan menggunakan metode simulasi. Untuk menganalisa penurunan mutu dengan metode simulasi diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu yang akan terjadi pada kondisi ini (Syarif dan Halid, 1993). Lebih lanjut Syarif dan Halid (1993) mengungkapkan dalam penentuan umur simpan, metode Arrhenius sangat baik untuk diterapkan dalam penyimpanan produk pada suhu penyimpanan yang relatif stabil dari waktu ke waktu. Selanjutnya laju penurunan mutu ditentukan dengan persamaan Arrhenius berdasarkan persamaan.
k = ko. e-Ea/RT keterangan : k
= Konstanta penurunan mutu
ko
= Konstanta (tidak tergantung pada suhu)
Ea
= Energi aktivasi (kal/mol)
T
= Suhu mutlak (K)
R
= Konstanta gas (1,986 kal/mol K) Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai
besarnya pengaruh temperatur terhadap reaksi. Nilai Ea diperoleh dari slope grafik garis lurus hubungan ln K dengan (1/T). Dengan demikian, energi aktivasi yang besar mempunyai arti bahwa nilai ln K berubah cukup besar dengan hanya perubahan beberapa derajat dari temperatur. Dengan demikian, nilai slope akan besar (Arpah, 2001). Lebih lanjut, besarnya nilai energi aktivasi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : 1. Kecil (Ea 2-15 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan karatenoid, klorofil, atau oksidasi asam lemak.
8
2. Sedang (E a 15-30 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan vitamin, kerusakan pigmen yang larut air dan reaksi Mailard. 3. Besar (E a 50-100 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena denaturasi enzym, inaktivasi mikroba dan sporanya. Labuza (1982), menyatakan penilaian tentang umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (accelerated shelflife test) yang selanjutnya dapat memprediksi umur simpan yang sebenarnya. Metode ini dapat dilakukan dengan mengkondisikan bahan pangan pada suhu dan kelembaban relatif yang tinggi sehingga kadar air kritis lebih cepat tercapai. Penentuan umur simpan dengan metode Arrhenius termasuk kedalam metode akselerasi ini Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan, maka semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pendugaan metode Arrhenius adalah : 1.
Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja.
2.
Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu.
3.
Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat proses-proses yang terjadi sebelumnya.
4.
Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap.
9