2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minuman Instan Produk pangan instan didefinisikan sebagai produk dalam bentuk konsentrat atau terpekatkan dengan penghilangan air sehingga mudah ditambah air (dingin/panas) dan mudah larut (Hartomo dan Widiatmoko 1992). Produk instan paling disukai oleh masyarakat karena kepraktisannya yang bisa dikonsumsi (siap saji) dengan adanya penambahan air hangat atau air panas. Menurut Verral (1984), minuman serbuk (pangan instan) dapat diproduksi dengan biaya lebih rendah daripada minuman cair, minuman instan juga didefinisikan sebagai produk yang tidak atau sedikit sekali mengandung air dengan berat dan volume yang rendah. Serbuk instan yang diperoleh harus memenuhi syarat, yaitu mudah untuk dituang tanpa tersumbat, tidak higroskopis, tidak menggumpal, mudah dibasahi, dan cepat larut. Pembuatan serbuk instan dilakukan dengan penambahan komponen lain atau bahan tambahan pangan, seperti gula. Penambahan gula ini bertujuan untuk mendorong proses kokristalisasi, bahan pengawet, pemanis, serta penambahan energi. Menurut Iskandar dan Tajudin (1990), kokristalisasi adalah suatu proses pemisahan dengan cara pemekatan larutan sampai konsentrasi bahan yang terlarut (solut) menjadi lebih besar daripada pelarutnya pada suhu yang sama. Sampai saat ini teknik yang banyak yang diterapkan dalam skala industri adalah spray dying. Pada dasarnya rangkaian kegiatan dalam teknik tersebut adalah penyiapan bahan inti dan dinding kapsul yang biasanya bercampur dalam bentuk emulsi, pengabutan dalam ruang pengering, pengaturan suhu dari kecepatan udara pengering dan terakhir adalah penampungan produk mikrokristal (Kiswanto 2003). Proses pengeringan terjadi pada saat bahan yang berbentuk emulsi kontak dengan udara kering di ruang pengering dan pada saat tersebut bahan inti terperangkap di dalam dinding kapsul (Kondo 1989). Pada teknik kokristalisasi bahan dinding kapsul yang digunakan dalam pembuatan minuman instan adalah sukrosa (gula). Beberapa keistimewaan sukrosa sebagai dinding kapsul adalah dari segi harga relatif lebih murah, dapat larut dengan cepat, relatif stabil terhadap panas, tidak higroskopis, dan memiliki masa simpan yang cukup lama dalam suhu ruang (Chen et al. 1988). Keunggulan instanisasi dengan gula dibandingkan dengan teknologi (spray drying) adalah mudah, murah, peralatan sederhana, dan tidak dibutuhkan kemampuan operator yang tinggi sehingga bisa diaplikasikan untuk skala rumah tangga dan industri menengah. Menurut Bennion dan Scheule (2004), produk pangan instan dibuat dengan proses kokristalisasi. Kokristalisasi merupakan salah satu teknik dalam mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulasi dapat didefinisikan sebagai langkah atau aktivitas yang secara umum mirip dengan teknologi pengemasan (packaging) yang dalam hal ini pengemasan zat padat, cair, atau gas ke dalam suatu bentuk mikrokapsul (Todd 1970). Secara kimia, kokristalisasi dari berbagai komponen merupakan sintesis supramolekul, yang mana terjadi interaksi antara molekul yang lemah (Boese 2003, Smolka et al. 1999). Mikrokapsul memiliki diameter antara beberapa mikrometer hingga kurang dari 5000 mikrometer (Bakan 1978, Baker 1986). Proses pembentukan kristal adalah larutan dibiarkan sampai suhu tertentu (suhu kritis) hingga larutan akan menjadi jenuh kemudian kristal dari larutan tersebut akan mulai terbentuk. Tahap pembentukan kristal meliputi penjenuhan (saturation), pembentukan kristal (nucleation), dan pertumbuhan kristal (growth). Proses penjenuhan berakhir pada suatu titik dimana pada titik tersebut tidak ada lagi bahan pelarut yang dilarutkan. Titik ini disebut titik jenuh (saturation point). Pendapat lain juga diunkapkan oleh Chen dan Chou (1993), kokristalisasi spontan dapat terjadi dengan adanya pengadukan larutan gula murni superjenuh secara cepat yang akan menghasilkan agregat kristal berukuran mikro. Larutan gula murni (misal sukrosa) ditambahkan sebagai bahan utama untuk membentuk struktur baru, sehingga akan terbentuk aglomerat dengan fungsionalitas yang baru. Larutan sukrosa ini dipekatkan hingga mencapai fasa superjenuh yang dapat dipertahankan pada suhu tinggi untuk mencegah kristalisasi. Larutan gula pekat pun ditambahkan sebagai bahan kedua yang diberi pengadukan mekanis, yang mendorong nukleasi sehingga terbentuk kristal campuran gula dan bahan lain. Begitu larutan gula telah mencapai suhu dimana terjadi transformasi dan dimulainya kristalisasi, sejumlah besar panas mulai dipancarkan. Pengadukan diteruskan untuk mendorong dan memperpanjang transformasi/kristalilsasi hingga aglomerat akan terlepas dari vessel secara cepat dan tersaring menjadi ukuran yang sama. Proses enkapsulasi terjadi karena adanya kristalisai spontan dari larutan sukrosa yang lewat jenuh denga membentuk kristal ukuran mikro yang berkisar 3-30 mikrometer (Antara 1997).
2
Teknik kokristalisasi dikenal pula dengan istilah lain yaitu, teknik kristalisasi gula semut yang biasanya digunakan dalam pembuatan gula semut. Walaupun begitu, proses ini bisa digunakan pula untuk minuman instan berbasis gula. Menurut Cahyono (2005), satu kilogram gula pasir dilarutkan di dalam satu liter air untuk membuat larutan gula. Kemudian dilakukan proses penyaringan, pemekatan larutan dengan pemanasan, dan pendinginan yang disertai pengadukan dengan cepat untuk pembentukan serbuk. Proses ini akan menghasilkan serbuk berwarna kuning kecokelatan dan kadar air maksimum 3 % (BSN 2004). Tabel 1. Pesyaratan Minuman Serbuk Tradisional (SNI 01-4320-2004) Kriteria Uji Persyaratan Warna Normal Bau Normal, khas rempah-rempah Rasa Normal, khas rempah-rempah Air Maksimal 3% Abu Maksimal 1.5% Jumlah gula Maksimal 85% Bahan Tambahan Makanan Pemanis buatan Sakarin Tidak ada Siklamat Tidak ada Pewarna tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995 Cemaran logam Timbal (Pb) Maksimal 0.2 mg/kg Tembaga (Cu) Maksimal 2 mg/kg Seng (Zn) Maksimal 5 mg/kg Timah (Sn) Maksimal 40 mg/kg Arsen (As) Maksimal 0.1 mg/kg Cemaran mikroba Angka Lempeng Total 3 x 103 koloni/gram Koliform < 3 APM/gram
2.2. Minuman Instan Berbasis Jahe Merah Minuman jahe merah instan ini pada awalnya dijual dalam bentuk minuman yang disajikan dengan keadaan panas atau hangat dan pengonsumsiannya tidak praktis. Akan tetapi, sekarang berkembang minuman yang ready to drink dalam bentuk bubuk atau serbuk, yang dapat disajikan kapan pun dan di mana pun. Minuman jahe merah instan ini terdiri dari berbagai macam rempahrempah dan bahan tambahan pangan yang digunakan, diantaranya jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum), cabai jawa (Piper retrofractum Vahl.), dan lada hitam (Piper ningrum L.). Bahan lainnya yang digunakan adalah gula merah atau gula palma dan gula putih. Menurut UNIDO dan FAO (2005), rempah-rempah biasa digunakan untuk flavor, warna, aroma, dan preservative pada makanan dan minuman. Rempah-rempah biasanya dikeringkan secara sempurna untuk digunakan dalam proses.
2.2.1. Jahe Merah Tanaman jahe termasuk famili zingiberaceae yang merupakan tanaman herba menahun, berakar serabut, dan termasuk kelas monokotil atau berkeping satu. Menurut Koswara (1995), tanaman jahe (Zingiber officinale) telah lama dikenal dan tumbuh baik di Indonesia. Jahe merupakan salah satu rempah-rempah penting. Rimpangnya sangat banyak dipakai, antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan, seperti roti, kue, biskuit, kembang gula, dan berbagai minuman. Jahe juga digunakan pada industri obat, minyak wangi, dan industri jamu tradisional. Jahe muda biasanya dimakan sebagai lalab, diolah menjadi asinan, dan dibuat acar (pikel). Di samping itu, karena dapat memberikan efek panas pada perut, maka jahe digunakan sebagai bahan minuman seperti bandrek, sekoteng, dan sirup. Jahe tumbuh subur di ketinggian 0 hingga 1500 meter di atas permukaan laut, kecuali jenis jahe gajah di ketinggian 500 hingga 950 meter. Morfologi jahe secara umum terdiri atas struktur rimpang, batang, daun, bunga dan buah. Batang jahe merupakan batang semu dengan tinggi 30 hingga 100 cm. Akarnya berbentuk rimpang
3
dengan daging akar berwarna kuning hingga kemerahan dengan bau menyengat. Daun menyirip dengan panjang 15 hingga 23 mm dan lebar 8 hingga 15 mm. Berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya ada tiga jenis jahe yang dikenal, yaitu jahe gajah (Zingiber officinale var. Roscoe) atau jahe besar, jahe putih kecil atau jahe emprit (Zingiber officinale var. Amarum), dan jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) atau jahe sunti (Wardana dkk 2002). Jahe gajah berwarna hijau muda, berbentuk bulat, beraroma kurang tajam, dan berasa kurang pedas, sehingga lebih banyak digunakan untuk masakan, minuman, dan asinan. Jahe emprit memiliki ukuran rimpang kecil, berbentuk sedikit pipih beraroma agak tajam, dan berasa pedas, sehingga lebih banyak dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, penyedap makanan, dan bahan minyak atsiri (Sastromidjojo 1997). Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Species
: Plantae : Angiospermae : Monocotyledoneae : Scitaminae : Zingiberaceae : Zingiber : Zingiber officinale Rubrum
Gambar a Gambar b Gambar c Gambar 1. (a) tanaman jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum), (b) rimpang jahe merah saat dipanen, (c) rimpang jahe merah setelah dicuci Jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) termasuk famili Zingiberaceae. Jahe merah merupakan tanaman berbatang semu tegak yang tidak bercabang dan termasuk famili Zingiberaceae. Batang jahe merah berbentuk bulat kecil berwarna hijau dan agak keras. Daunnya tersusun berselangseling teratur. Tinggi tanaman ini 30-60 cm. Jahe merah tumbuh baik di daerah tropis yang beriklim cukup panas dan curah hujannya sedikit. Jika cahaya matahari mencukupi, tanaman ini dapat menghasilkan rimpang jahe lebih besar daripada biasanya (Sudewo 2004). Rimpangnya berwarna merah hingga jingga muda. Ukuran rimpangnya lebih kecil jika dibandingkan dengan kedua jenis jahe lainnya, yaitu panjang rimpang 12.33-12.60 cm, tinggi 5.86-7.03 cm, dan berat rata-rata 0.29-1.17 kg. Akarnya berserat agak kasar dengan panjang akar 17.03-24.06 cm dan diameter akar 5.36-5.46 mm (Herlina et al. 2002). Komposisi kimia rimpang jahe mempengaruhi tingkat aroma dan pedasnya rimpang. Beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi kimia rimpang jahe, antara lain jenis, kondisi tanah, umur panen, cara budidaya, penanganan pasca panen, cara pengolahan, dan ekosistem tempat tanaman ditanam. Rimpang jahe pada umumnya mengandung minyak atsiri 0.25-3.3%. Minyak atsiri ini menimbulkan aroma khas jahe dan terdiri atas beberapa jenis minyak terpenting zingiberene, curcumene, philandrene, dan sebagainya. Jahe juga mengandung gingerol dan shogaol yang menimbulkan rasa pedas. Jahe dapat diolah menjadi berbagai produk olahan jahe seperti simplisia, oleoresin, minyak atsiri, dan serbuk jahe. Jahe memiliki sifat khas, yaitu oleoresin dan minyak atsiri. Minyak atsiri dan oleoresin jahe terdapat pada sel-sel minyak jaringan korteks dekat permukaan kulit (Koswara 1995). Kandungan oleoresin jahe mencapai maksimal pada usia 11 bulan (Koswara 1995). Menurut Nurliana, dkk (2009), kandungan minyak atsiri jahe merah mencapai maksimal (0.82%) pada usia panen 7
4
bulan, dengan kandungan utama geranil asetat. Sementara pada usia panen 8 dan 9 bulan, komponen minyak atsiri utamanya adalah citral.
Tabel 2. Komponen kimia jahe (Zingiber officinale) Komponen
Jumlah
Energi (KJ)
Jahe segar 184,0
Jahe kering 1424,0
Protein (g)
1,5
9,1
Lemak (g)
1,0
6,0
Karbohidrat (g)
10,1
70,8
Kalsium (mg)
21
116
Phospat (mg)
39
148
Besi (mg)
4,3
12
Vitamin A (SI)
30
147
Thiamin (mg)
0,02
-
Niasin (mg)
0,8
5
Vitamin C (mg)
4
-
Serat kasar (g)
7,53
5,9
Total abu (g)
3,70
4,8
-
184
Natrium (mg)
Magnesium (mg)
6,0
32
Kalium (mg)
57,0
1342
–
5
Seng (mg) Sumber: Koswara (1995)
Oleoresin merupakan campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi menggunakan pelarut organik. Menurut Guenther (1952), oleoresin jahe merupakan cairan kental berwarna kuning, mempunyai rasa pedas yang tajam, larut dalam alkohol dan petroleum eter, dan sedikit larut dalam air. Jahe mengandung resin yang cukup tinggi sehingga dapat dibuat sebagai oleoresin. Kelebihan oleoresin adalah lebih higienis dan memberikan rasa pedas (pungent) yang lebih kuat dibandingkan bahan asalnya. Minyak atsiri adalah minyak yang terdiri atas campuran zat yang mudah menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda. Guzman dan Siemonsma (1999), menyebutkan minyak atsiri jahe berbentuk cairan kental berwarna kehijauan sampai kuning dan berbau harum khas jahe. Sebagian minyak atsiri diperoleh dengan cara penyulingan dan hidrodestilasi. Minyak atsiri jahe memberikan aroma harum dan umumnya minyak atsiri rempah digunakan sebagai bahan citarasa dalam makanan. Diantara ketiga jenis jahe, jahe merah lebih banyak digunakan sebagai obat karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya paling tinggi sehingga lebih bermanfaat dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kandungan minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2.58-3.72% (bobot kering), sedangkan jahe gajah 0.82-1.68% dan jahe emprit 1.5-3.3%. Selain itu, kandungan oleoresin jahe merah juga lebih tinggi dibandingkan jahe lainnya, yaitu 3% dari bobot kering (Herlina et al., 2002).
2.2.2. Cabai Jawa Lada panjang (Piper retrofractum Vahl.) atau lebih dikenal dengan cabai jawa atau cabai puyang merupakan tanaman asli Indonesia dan tumbuh menyebar dimana-mana. Cabai jawa tergolong tanaman yang merambat dan melilit dengan panjang 10 m. Buahnya berbentuk silinder dengan
5
panjang sekitar 4 cm dan diameter 6 mm. Buah mudanya berwarna hijau dan keras serta beraroma tajam dan pedas, kemudian berubah warna menjadi kuning gading dan akhirnya berwarna merah (Emmyzar 1992). Rasanya pedas karena mengandung senyawa piperin dengan kadar 4.6% (Syukur dan Hernani 2002).
2.2.3. Lada Hitam Lada hitam (Piper ningrum L.) adalah buah lada yang masih mempunyai kulit warna hitam. Lada hitam berasal dari famili Piperaceae. Lada hitam mengandung sekitar 1.5% minyak volatil dan lebih dari 6% oleoresin (Farrel 1990).
2.2.4. Gula Pasir atau Gula Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman penting yang bermanfaat sebagai penghasil gula. Lebih dari setengah produksi gula berasal dari tebu. Menurut Sudiatso (1982), batang tebu merupakan bagian terpenting dalam pembuatan gula karena mengandung nira. Untuk pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press). Setelah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan menjadi gula pasir. Masa kemasakan tebu ditunjukkan dengan pada akhir dari pertumbuhannya terdapat timbunan sakarosa di dalam batang tebu. Pada tebu yang masih muda, kadar sakarosa di ruas-ruas bawah dan kadar sakarosa di ruas-ruas di atasnya hampir sama besarnya. Sakarosa adalah bahan baku terpenting (Sutardjo 2002). Gula merupakan senyawa organik yang penting sebagai bahan makanan karena gula mudah dicerna dalam tubuh sebagai sumber kalori. Pada umumnya, gula mempunyai rasa manis, tidak berwarna, tidak berbau, dapat mengkristal, dan larut dalam air (Goutara dan Wijandi 1985). Syarat Mutu Gula pasir (SNI 01-3140-1992) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Syarat Mutu Gula Pasir (SNI 01-3140-1992) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
Kriteria Uji Keadaan 1.1. Bau 1.2. Rasa Warna (nilai remisi yang direduksi) Bebas jenis butir Air Sakarosa Gula pereduksi Abu Bahan asing yang tidak larut Bahan tambahan makanan - Belerang dioksida (SO2) Cemaran logam 7.1. Timbal (Pb) 7.2. Tembaga (Cu) 7.3. Raksa (Hg) 7.4. Seng (Zn) 7.5. Timah (Sn) Arsen (As)
Satuan
Persyaratan GKP (SHS)
%b/b Mm %b/b %b/b %b/b %b/b derajat
min. 53 0.8-1.2 maks. 0.1 min. 99.3 maks. 0.1 maks. 0.1 maks. 5
mg/kg
maks. 30
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maks. 2 maks. 2 maks. 0.03 40 40 1
2.2.5. Gula Merah atau Gula Palma Menurut SNI (1995) gula palma adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan nira palma, yaitu aren (Arenga piñata, merr), kelapa (Cocos nucifera, linn), siwalan (Borassus flabellifer) atau jenis palma lainnya dan berbentuk cetak atau serbuk. Syarat mutu gula merah palma berdasarkan SNI (1995) dapat dilihat pada Tabel 4. Menurut Dachlan (1986), pada dasarnya proses pembuatan gula merah adalah proses penguapan nira dengan cara pemanasan. Nira segera dibersihkan dari kotoran-kotoran dengan cara
6
penyaringan dengan menggunakan ijuk, kemudian dituangkan kedalam wadah dan segera dipanaskan. Nira tersebut akan mendidih dan akan menimbulkan buih yang meluap-luap yang berwarna kuning sampai coklat dan semakin lama akan meluap naik.
No. 1. 1.1 1.2 1.3 2 3 4 5 6 7 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 8
Tabel 4. Syarat mutu gula palma berdasarkan SNI 01-3743-1995 Persyaratan Kriteria Uji Satuan Cetak Butiran/granula Keadaan Bentuk Normal Normal Rasa dan aroma Normal, khas Normal, khas kuning kuning Warna kecoklatankecoklatancoklat coklat Bagian yang tidak larut dalam air %b/b maks. 10 maks. 0.2 Air %b/b maks. 10.0 maks. 3.0 Abu %b/b maks. 2.0 maks. 2.0 Gula pereduksi %b/b maks. 10.0 maks. 10.0 Jumlah gula sebagai sakarosa %b/b maks. 77 maks. 90.0 Cemaran logam Seng (Zn) mg/kg maks. 40.0 maks. 40.0 Timbal (Pb) mg/kg maks. 2.0 maks. 2.0 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 10.0 maks. 10.0 Raksa (Hg) mg/kg 0.03 0.03 Timah (Sn) mg/kg 40.0 40.0 Arsen (As) mg/kg 1.0 1.0
Nira merupakan larutan gula, tetapi didalamnya terdapat zat yang tidak larut air dalam bentuk emulsi seperti protein dan lilin. Pada saat dididihkan, butir-butir air akan menempel pada butir-butir emulsi dan mengangkatnya kepermukaan sebagai buih. Bila buih tidak dibuang, pada saat nira menjadi kental, buih akan teraduk kebagian dalam dan karena warnanya lebih muda maka gula yang dihasilkan akan berbintik-bintik putih (Tjiptahadi 1984).
2.3. Pembuatan Minuman Jahe Merah Instan Pembuatan minuman jahe merah instan berdasarkan produksi minuman jahe merah instan yang dilakukan diawali dengan persiapan bahan baku terlebih dahulu. kemudian disiapkan bahan lain dan bahan pengemas. Selanjutnya dilakukan proses produksi minuman jahe merah instan. Persiapan bahan baku utama yang digunakan untuk memproduksi minuman jahe merah instan adalah jahe merah segar yang telah cukup umur untuk dipanen. Menurut Koswara (1995), jahe yang sudah cukup kadar oleoresinnya berumur lebih dari 9 bulan. Selain itu, spesifikasi jahe merah yang akan digunakan dalam produksi diantaranya adalah harus dalam keadaan segar, tidak busuk, berwarna merah di luar dan kuning di dalam. Bahan baku yang dibutuhkan untuk pembuatan minuman jahe merah instan setiap batch-nya sesuai yang telah dilakukan pada IRTP. Bahan lainnya yang digunakan adalah gula pasir, gula merah, cabai jawa, dan lada hitam. Rempah-rempah lain seperti cabai jawa dan lada hitam digunakan dalam bentuk bubuk yang sebelumnya buah utuhnya dikeringkan dengan cahaya matahari. Jahe merah digunakan dalam bentuk segar untuk diambil ekstraknya. Penggunaan serbuk untuk cabai jawa dan lada hitam dimaksudkan agar tidak rusak karena pengaruh suhu yang digunakan selama proses kokristalisasi dan mempermudah untuk larut. Selain itu, serbuk cabai jawa dan lada hitam mudah untuk disalut oleh bahan kapsulnya, yaitu gula pasir pada saat proses kokristalisasi yang akan bersatu dengan aglomerat yang terbentuk. Pengemas yang digunakan pada produksi minuman jahe merah instan terdiri dari pengemas primer (alumunium foil) dan pengemas sekunder (kertas karton warna coklat) dengan kapasitas 5 sachet alumunium foil yang masing-masingnya memiliki berat bersih 20 gram. Semua jenis pengemas didatangkan dari pemasok lokal. Tahapan awal, penghancuran bahan segar (jahe merah) dengan blender dengan adanya penambahan air yang bertujuan untuk mempermudah proses ekstraksi dan meningkatkan total padatan terlarut yang terekstrak. Kemudian diambil filtrannya dengan pemerasan. Filtran yang diperoleh
7
kemudian didiamkan. Proses pendiaman bertujuan untuk mengendapkan pati yang berasal dari jahe agar pada saat pemasakan (pemanasan) tidak menggumpal karena gelatinisasi pati. Selain itu, untuk menghindari terjadinya penggumpalan pada saat penyeduhan minuman jahe merah instan. Produksi minuman jahe merah instan dilanjutkan dengan pemanasan disertai pengadukan secara terus-menerus. Apabila volume larutan jahe tersebut telah mencapai ¼ volume awal (saat pertama dituangkan), maka dilakukan penambahan gula pasir. Selama pemanasan berlangsung dilakukan pengadukan secara kontinu hingga larutan superjenuh dan terbentuk kristal-kristal warna cokelat. Selanjutnya, pemanasan dihentikan dan pengadukan tetap dilakukan agar memperoleh ukuran serbuk yang seragam. Menurut Antara (1997), pengadukan untuk mendapatkan campuran homogen, pengkristalan, pengeringan, dan penyeragaman ukuran. Serbuk kristal tersebut disaring dan bagian yang tidak lolos penyaringan dilakukan pengecilan ukuran kembali menggunakan blender. Kemudian, dikemas kembali menggunakan alumunium foil sebagai kemasan primer minuman jahe merah instan sebanyak 20 gram.
2.4. Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah perusahaan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis (BPOM 2003). Definisi lain yang menjelaskan tentang industri rumah tangga dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2005) yang menggolongkan usaha industri pengolahan di Indonesia ke dalam empat kategori berdasarkan jumlah pekerja yang dimiliki oleh suatu usaha tanpa memperhatikan besarnya modal yang ditanam ataupun kekuatan mesin yang digunakan. Empat kategori tersebut, diantaranya: Industri kerajinan rumah tangga yaitu usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1-4 orang Industri kecil yaitu usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 5-19 orang Industri sedang yaitu usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 20-29 orang Industri besar yaitu usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih Menurut BPOM (2003), apabila diteliti lebih lanjut, masih banyak masalah yang belum dapat terselesaikan mengenai keamanan pangan yang diterapkan di industri rumah tangga pangan, diantaranya (a) masih ditemukannya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan (penggunaan bahan tambahan yang dilarang, cemaran kimia berbahaya, cemaran patogen, masa kadaluarsa, dsb), (b) masih banyak terjadi kasus keracunan pangan, (c) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan, terutama pada industri kecil atau industri rumah tangga, serta (d) masih rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan, terutama karena terbatasnya pengetahuan dan rendahnya kemampuan daya beli untuk produk pangan yang bermutu dengan tingkat keamanan yang tinggi. Hingga saat ini masih terdapat beberapa masalah sistematik yang menghambat pengembangan IRTP. Beberapa masalah yang berkaitan dengan pengembangan IRTP yang berhasil dirangkum oleh Badan POM (2003), antara lain (a) masih rancunya definisi IRTP, (b) terbatasnya sumber daya pembina IRTP yang mengakibatkan belum optimalnya pembinaan IRTP, (c) belum optimalnya pengawasan IRTP, karena terbatasnya tenaga pengawas pangan IRTP, (d) masih rendahnya penerapan prinsip keamanan pangan di IRTP, dan (e) masih adanya persepsi yang berbeda tentang pengaturan IRTP. IRTP minuman jahe merah instan merupakan salah satu desa binaan DKSH-IPB yang bekerja sama dengan SEAFAST Center dan LPPM-IPB yang berlokasi di Desa Benteng, Ciampea, Bogor. IRTP ini masih belum memiliki kelayakan akan produknya, seperti formula minuman jahe merah instan yang digunakan belum konsisten sehingga menghasilkan rasa yang yang tidak konsisten pula. Selain itu, pengetahuan produsen mengenai label pangan masih kurang. Perlu langkah perbaikan agar produk IRTP ini mampu bersaing di kalangan produsen lainnya. Dengan adanya penerapan pengawasan mutu di industri, seluruhnya diarahkan pada pencapaian produk akhir yang sesuai dengan standar mutu yang berlaku dan spesifikasi produk yang diinginkan konsumen. Menurut Hesrchdoefer (1984), pada dasarnya pengawasan mutu yang dilakukan di industri pangan meliputi pengawasan mutu terhadap bahan baku, proses, dan produk akhir. Pengawasan mutu adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu produk yang baik, bermutu tinggi dengan tingkat mutu yang bisa dipertahankan sehingga dapat memuaskan konsumen. Menurut Lukman (2001), GMP (Good Manufacturing Practices) adalah cara produksi
8
yang baik dengan dirancang untuk seluruh jenis operasi pengolahan baik yang tidak ditujukan untuk memonitor pngendalian bahaya tetapi sebagai persyaratan minimal sanitasi dan pengolahan umum yang sebaiknya diterapkan pada semua bangunan pengolahan pangan. Mutu pangan merupakan seperangkat sifat atau faktor pada produk pangan yang membedakan tingkat pemuas/penerimaan produk itu bagi konsumen. Mutu pangan bersifat multi dimensi dan mempunyai banyak aspek. Aspek-aspek mutu pangan tersebut antara lain adalah aspek gizi (kalori, protein, lemak, mineral, vitamin, dan lain-lain), aspek selera (indrawi, enak, menarik, segar), aspek bisnis (standar mutu, kriteria mutu), serta aspek kesehatan (jasmani dan rohani). Kepuasan konsumen berkaitan dengan mutu. Oleh karena itu, konsistensi mutu pada industri rumah tangga pangan harus dijaga agar produk yang dihasilkan dapat bertahan di pasaran. Selain mutu dari produk pangan itu sendiri, diperlukan pula konsistensi dan kejujuran pada label produk pangan. UU No 69 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa setiap label dan atau iklan pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar. Produk pangan hendaknya tidak dinyatakan, dideskripsikan atau dipresentasikan secara salah, menyesatkan (misleading) atau menjurus pada munculnya impresi yang salah terhadap karakter produk pangan tersebut. Pengertian benar dan tidak menyesatkan berarti bahwa istilah yang digunakan pada label dan iklan hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah (untuk keperluan pengawasan), kalangan produsen (untuk keperluan persaingan yang sehat) maupun oleh konsumen (untuk keperluan menentukan pilihannya) (Hariyadi 2005). Kejujuran pada label pangan yang diproduksi industri rumah tangga sangat penting diterapkan. Hal ini diperlukan agar tidak membahayakan konsumen, contohnya apabila produk pangan pada labelnya disertai dengan klaim kesehatan yang berlebihan akan berpotensi membahayakan kesehatan konsumen itu sendiri. Selain itu, konsistensi pada label produk pangan juga diperlukan agar konsumen mudah mengenali produk pangan yang diproduksi. Dalam rangka menciptakan tata cara kerja yang efisien dan sesuai dengan tuntutan keadaan mutakhir, maka perlu dilakukan pemetaan tugas pokok dan fungsi setiap pihak yang berhubungan dengan IRTP. Dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk menerbitkan sertifikasi produksi pangan IRT, melakukan penyuluhan dan pembinaan IRTP secara berkala, serta melakukan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi IRTP. Keamanan pangan, masalah, dan dampak penyimpangan mutu serta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri, dan konsumen, yang saat ini sudah harus memulai sadar akan tanggung jawab dan perannya.
2.5. Cara Produksi Pangan Yang Baik Pada Industri Rumah Tangga (BPOM 2003) Cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT) merupakan salah satu faktor yang penting untuk memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan untuk pangan. CPPB sangat berguna bagi kelangsungan hidup industri pangan baik yang berskala kecil, sedang, maupun skala besar. Melalui CPPB ini, industri pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, layak dikonsumsi, dan aman bagi kesehatan. Dengan menghasilkan pangan yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi, kepercayaan masyarakat niscaya akan meningkat, dan industri pangan yang bersangkutan akan berkembang pesat. Apabila pangan yang dihasilkan bermutu dan aman untuk dikonsumsi, maka masyarakat pada umumnya akan terlindungi dari penyimpangan mutu pangan dan bahaya yang mengancam konsumen. CPPB-IRT bertujuan khusus untuk memberikan prinsip-prinsip dasar dalam memproduksi pangan yang baik. Selain itu CPPB-IRT juga dapat mengarahkan IRT agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi yang baik, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, pengendalian hama, higiene karyawan, pengendalian proses, dan pengawasan. Lingkungan produksi harus dalam keadaan dan kondisi bebas dari sumber pencemaran potensial agar dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang akan diproduksinya. IRT harus berada ditempat yang bebas pencemaran, semak belukar, genangan air, bebas dari sarang hama, dan tidak berada di daerah sekitar tempat pembuangan sampah, baik sampah padat ataupun cair. Lingkungan pun harus selalu dipertahankan dalam keadaan bersih dengan membuang sampah agar tidak menumpuk, tempat sampah selalu ditutup, dan jalan di sekitarnya diperhatikan supaya tidak berdebu serta selokannya berfungsi dengan baik. Bangunan dan fasilitas IRT dapat menjamin bahwa pangan selama proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis, dan kimia serta mudah dibersihkan. Ruang produksi didesain cukup luas dan mudah dibersihkan, lantai dibuat dari bahan kedap air, rata, halus tetapi tidak licin.
9
Dinding dan langit-langit pun harus dibersihkan dari debu dan kotoran agar tidak menjadi sarang penyakit. Pintu, jendela, dan lubang angin dibuat dari bahan yang tidak mudah pecah, rata, halus, berwarna terang, dan mudah untuk dibersihkan. Pintu sebaiknya didisain dapat dibuka ke arah luar agar debu atau kotoran tidak terbawa masuk. Lubang angin harus cukup sehingga udara segar selalu mengalir di ruang produksi. Ruang produksi harus cukup terang sehingga karyawan dapat mengerjakan tugasnya dengan teliti serta selalu disediakan tempat untuk mencuci tangan dan kotak Perlengkapan Pertolongan Pertama Kecelakaan (PPPK). Selain itu, tempat penyimpanan produk akhir dan bahan baku harus terpisah. Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan seharusnya didesain, dikontruksi, dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan. Peralatan produksi seharusnya terbuat dari bahan yang kokoh, tidak berkarat, mudah dibongkar pasang sehingga mudah dibersihkan. Permukaan yang kontak langsung dengan pangan seharusnya halus, tidak bercelah, tidak mengelupas, dan tidak menyerap air. Peralatan produksi diletakkan sesuai dengan urutan proses sehingga memudahkan bekerja dan mudah dibersihkan pula. Semua peralatan yang digunakan seharusnya dipelihara dengan baik dan selalu dalam keadaan bersih. Suplai air yang digunakan selama proses produksi harus cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih atau air minum. Air yang digunakan pada IRT tersebut bersumber dari sumur yang digunakan untuk memenuhi air pada kehidupan sehari-hari. Hal yang harus diperhatikan adalah penggunaan air yang kontak langsung dengan pangan merupakan air yang sudah dimasak terlebih dahulu hingga mendidih. Selain itu, air yang digunakan tidak berbau, berasa, dan berwarna. Adapun fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi juga perlu diterapkan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan. Alat cuci atau pembersih, seperti sikat, pel, deterjen, dan bahan sanitasi lain harus tersedia dan terawat dengan baik. Peralatan tertentu ada juga yang dibersihkan dengan air panas. Fasilitas higiene dan sanitasi pun harus disediakan untuk karyawan, seperti tempat cuci tangan dan toilet tersedia dalam jumlah cukup dan harus selalu dalam keadaan bersih serta pintu toilet harus selalu dalam keadaan tertutup. Pembersihan dapat dilakukan secara rutin dengan dilakukan secara fisik dengan sikat atau secara kimia dengan deterjen atau gabungan keduanya. Apabila diperlukan untuk penyucihamaan dapat dilakukan menggunakan kaporit. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan. Hama (tikus, serangga, dan lain-lain) merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan. Kegiatan pencegahan hama masuk, seperti lubang-lubang dan selokan yang memungkinkan masuknya hama harus selalu dalam keadaan tertutup, hewan peliharaan tidak boleh berkeliaran di pekarangan IRT terutama di ruang produksi, bahan pangan tidak boleh tercecer karena dapat mengundang masuknya hama, dan IRT seharusnya memeriksa lingkungannya dari kemungkinan timbulnya sarang hama. Kesehatan dan higiene karyawan pun harus diperhatikan. Karyawan yang dalam keadaan sakit atau baru sembuh dari sakit tidak diperkenankan bekerja di pengolahan pangan. Selain itu, karyawan pun harus memperhatikan kebersihan badannya. Apabila karyawan sedang bekerja, maka harus menggunakan pakaian kerja dan pelengkapnya (seperti penutup kepala, sarung tangan, dan sepatu kerja). Karyawan pun harus selalu mencuci tangannya dengan sabun sebelum memulai kegiatan mengolah pangan, sesudah menangani bahan mentah, atau bahan/alat yang kotor dan sesudah ke luar dari toilet. Karyawan tidak diperkenankan bekerja sambil mengunyah, makan dan minum, merokok, tidak boleh meludah, tidak boleh bersin atau batuk ke arah pangan, tidak boleh mengenakan perhiasan, seperti giwang, cincin, gelang, kalung, arloji, dan peniti. Tahapan penting yaitu dilakukan pengendalian selama jalannya proses pengolahan agar menghasilkan produk yang bermutu dan aman. Pengendalian proses produksi pangan IRT dapat dilakukan dengan cara penetapan spesifikasi bahan baku, penetapan komposisi dan formulasi bahan, penetapan cara produksi yang baku, penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan. serta penetapan keterangan lengkap tentang produk yangakan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, serta tanggal kadaluarsa. Label yang digunakan harus memenuhi Peraturan Pemerintah No. 69 tentang label dan iklan pangan. Kode produksi pada label pangan perlu dicantumkan untuk penarikan, jika diperlukan. Keterangan label sekurang-kurangnya, terdapat nama produk, daftar bahan yang dihasilkan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat yang memproduksi, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, serta nomor sertifikasi produksi (P-IRT). Penyimpanan yang baik dapat menjamin mutu dan kemanan bahan serta produk pangan yang telah diolah. Tempat penyimpanan dipastikan harus dalam keadaan bersih, kering, dan jauh dari
10
sumber pencemaran. Penyimpanan bahan baku, bahan tambahan, dan produk jadi serta bahan pendukung lain disimpan secara terpisah supaya tidak terjadi kontaminasi silang pada saat penyimpanan. Peralatan pun disimpan di tempat bersih. Sebaiknya permukaan peralatan menghadap ke bawah agar terlindung dari debu, kotoran, atau pencemaran lainnya. Penanggung jawab harus mengawasi secara rutin seluruh tahapan proses produksi serta pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang bermutu dan aman. Semua tahapan proses dicatat dan didokumentasikan dengan baik agar lebih mudah untuk menelusuri masalah yang muncul. Produk pangan dapat ditarik pangan diduga sebagai penyebab timbulnya korban yang lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan.
2.6. Analisis Kelayakan Bisnis Berdasarkan Kriteria Investasi Studi kelayakan bisnis pada dasarnya bertujuan untuk menentukan kelayakan bisnis berdasarkan investasi (Nurmalina et al. 2009). Investasi dinyatakan layak atau tidak ditinjau dari aspek keuangan, maka dapat digunakan beberapa kriteria. Adanya standar layak usaha untuk usaha sejenis dengan cara membandingkan dengan rata-rata industri atau target yang ditentukan. Kriteria yang digunakan untuk menilai kelayakan investasi adalah payback period (PP), net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan profitability index (PI) (Kusnandar et al. 2009). Sedangkan menurut Nurmalina et al. (2009), beberapa kriteria kelayakan usaha diantaranya, nilai bersih kini (Net Present Value=NPV), rasio manfaat biaya (Gross Benefit Cost Ratio= Gross B/C, Net Benefit Cost Ratio=Net B/C), tingkat pengembalian internal (Internat Rate of Return=IRR), dan profitability ratio (PV/K). Jangka waktu pengembalian modal investasi (Payback Period=PP) merupakan metode pelengkap penilaian investasi. Penerimaan dan pengeluaran dalam bisnis merupakan komponen yang sangat penting untuk melihat aktivitas yang berlangsung dalam bisnis tersebut. Aliran penerimaan dan pengeluaran tersebut dikenal dengan istilah aliran kas (cash flow), yaitu aktivitas keuangan yang mempengaruhi posisi/kondisi kas pada suatu periode tertentu. Pada studi kelayakan bisnis, cash flow menjadi bagian terpenting yang harus diperhatikan oleh pihak manjemen, investor, konsultan, dan stakeholder lainnya untuk memperhitungkan kelayakan berdasarkan kriteria kelayakan investasi yang ada. Cash flow disusun untuk menunjukkan perubahan kas selama satu periode tertentu serta memberikan alasan mengenai perubahan kas tersebut dengan menunjukkan dari mana sumber-sumber kas dan penggunaannya (Nurmalina et al. 2009). Langkah penting lainnya yang digunakan adalah menyusun laporan laba/rugi yang berisi tentang total penerimaan, pengeluaran, dan kondisi keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan dalam satu tahun akuntansi atau produksi. Laporan laba rugi menggambarkan kinerja perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya selama periode tertentu.
11