10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Bank Bank berasal dari kata Italia banco yang artinya bangku. Bangku inilah yang dipergunakan oleh para bankir untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada para nasabah. Istilah bangku secara resmi dan populer menjadi Bank (Rivai dan Veithzal, 2008). Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang (Karim, 2007). Bank
konvensional,
yaitu
bank
yang
dalam
aktivitasnya,
baik
penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya, memberikan dan mengenakan imbalan berupa bunga atau sejumlah imbalan dalam presentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu. Presentase tertentu ini biasanya diterapkan per tahun (Triandaru dan Budisantoso, 2007). Hasibuan (2011) menyebutkan bahwa bank memiliki beberapa definisi. Pertama, bank adalah lembaga keuangan berarti bank adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan (financial assets) serta bermotifkan profit dan juga sosial, jadi bukan hanya mencari keuntungan saja. Kedua, bank adalah pencipta uang dimaksudkan bahwa bank menciptakan uang giral dan mengedarkan uang kartal. Ketiga, bank adalah pengumpul dana dan penyalur
kredit
berarti
bank
dalam
operasinya
mengumpulkan
dana
mengumpulkan dana kepada Surplus Spending Unit (SSU) dan menyalurkan kredit kepada Defisit Spending Unit (DSU). Bank secara etimologi memiliki arti tempat untuk menukarkan uang. Bank secara lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya baik hanya menghimpun dan menyalurkan dana, atau kedua-duanya, menghimpun dan menyalurkan (Kasmir, 2000). Usaha bisnis perbankan secara garis besarnya meliputi penghimpunan dana (dari berbagai sumber) dan penyaluran dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya sebagaimana dielaborasi dalam Pasal 6 UU No. 7/1992 jo. UU No. 10/1998.
11
Martono (2010) menyimpulkan bahwa pengertian bank telah mengalami evolusi, sesuai dengan perkembangan bank itu sendiri. Fungsi bank pada umumnya adalah (1) menerima berbagai bentuk simpanan dari masyarakat; (2) memberikan kredit, baik bersumber dari dana yang diterima dari masyarakat maupun berdasarkan atas kemampuannya untuk menciptakan tenaga beli baru; (3) memberikan jasa-jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telan diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatakan taraf hidup rakyat banyak. 2.2. Bank Syariah Bank syariah, yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil. Prinsip utama operasional bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah hukum islam yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadist. Kegiatan operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan dalam Al Quran dan Sunnah Rasul Muhammad SAW (Triandaru dan Budisantoso, 2007). Bank syariah merupakan manager investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dari dana yang dihimpun (dalam perbankan lazim disebut deposan atau penabung), karena besar-kecilnya pendapatan (bagi hasil) yang diterima oleh pemilik dana tersebut sangat tergantung pada pendapatan yang diterima oleh bank syariah dalam mengelola dana mudharabah sehingga sangat tergantung pada keahlian, kehati-hatian, dan profesionalisme dari bank syariah (Wiroso, 2005). Rivai dan Veithzal (2008) menyebutkan bahwa Islamic Banking (iB) adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam ajaran islam, berfungsi sebagai badan usaha yang menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat, atau sebagai perantara keuangan. Prinsip islam yang dimaksud adalah perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank, pihak lain untuk penyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha.
12
Arifin (2009) menyebutkan bahwa bank syariah didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip islam, syariah dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait. Berdasarkan Ketentuan Umum Undang-undang No. 21 Pasal 1 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Islam adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah islam dengan mengacu kepada Al-Qur‟an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah islam (Siamat, 2004). 2.3. Pembiayaan Syariah Kredit atau Credit berasal dari kata credere artinya “kepercayaan.” Apabila kita memahami arti dasar ini maka orang akan berhati-hati dalam menerima atau mengajukan kredit. Karena orang tidak akan sembarangan asal ambil kredit tanpa perhitungan yang matang. Kenapa? Karena apabila si penerima kredit (debitur) tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan secara tertulis dengan kreditur (pemberi kredit), yang bersangkutan berarti sudah wanprestasi (tidak memenuhi kewajiban sesuai pada waktunya). Dengan dmikian “kepercayaan” kepada penerima kredit tersebut sudah mulai berkurang yang tentunya akan merugikan debitur juga (Tamin, 2012). Kedit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta atau pada waktu yang akan datang karena penyerahan barang-barang sekarang (Suyatno dkk, 1990).
13
Hasibuan (2011) menyebutkan bahwa kredit berasal dari kata Italia credere yang artinya kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditor bahwa debiturnya akan mengembalikan pinjaman berserta bunganya sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak. Kreditor percaya bahwa kredit itu tidak akan macet. Menurut Suyatno (1991), kredit adalah suatu kepercayaan, maksudnya adalah seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit dimasa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. Pengertian kredit dalam Buku Seri Manajemen Bank No. 5 (1997: 31) adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Selain itu, kredit juga bisa berarti kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan atau ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang disepakati. Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 10/1998 tentang Perbankan, tidak terdapat perbedaan definisi yang signifikan antara kredit dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Kredit didefinisikan sebagai, “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi uangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Pembiayaan didefinisikan sebagai, “Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” Perbedaan definisi kredit dengan pembiayaan terdapat pada kata kredit yang diganti dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, kata pinjam-meminjam dihilangkan, kata peminjam untuk melunasi utangnya diganti dengan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut, dan akhirnya kata bunga diganti dengan imbalan atau bagi hasil (Karim, 2007).
14
Purnamasari (2011) mendefisinikan pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, yang berupa: 1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah atau musyarakah; 2. Transaksi sewa–menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk Ijarah Muntahiyah bi al–Tamlik; 3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; 4. Transaksi pinjam–meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan 5. Transaksi sewa–menyewa jasa berbentuk ijarah untuk transaksi multijasa. Berdasarkan persetujuan/kesepakatan antara bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan fee/ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Berikut adalah gambar 1. yang menggambarkan skema penyaluran dana (pembiayaan) dan penyediaan layanan perbankan pada bank syariah menurut Purnamasari (2011).
BANK SYARIAH Kegiatan Penyaluran Dana/Pembiayaan (Financing) Prinsip Jual Beli
Fee Based Service (Service/Ujrah)
Murabahah Hawalah
Rahn/ Gadai
Letter of Credit (L/C) Impor Syariah
Bank Garansi Syariah dengan Prinsip Kafalah
Istishna
Prinsip Bagi Hasil/Kerja Sama
Mudharabah
Qardh
Salam
Musyarakah
Prinsip Sewa (Ijarah)
Gambar 1. Penyaluran dana Bank Syariah (Purnamasari 2011)
15
2.3.1 Prosedur Pembiayaan Anggota Koperasi Pembiayaan anggota koperasi adalah pembiayaan yang disalurkan kepada koperasi karyawan untuk memenuhi kebutuhan anggotanya (kolektif) yang mengajukan pembiayaan di koperasi karyawan. Koperasi karyawan (Kopkar) adalah koperasi primer yang berada di lingkungan perusahaan swasta, lembaga pemerintah, maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beranggotakan pegawai tetap yang memiliki standar penggajian baku di perusahaan tempat anggota bekerja. Pembiayaan anggota koperasi merupakan jenis pembiayaan konsumer pola indirect, yakni pembiayaan yang diberikan kepada perorangan (anggota koperasi) melalui Kopkar untuk keperluan konsumsi dan bersifat non komersial, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku,
kesusilaan,
ketertiban
umum,
dan
memenuhi
syarat/ketentuan syariah. Nasabah dari pembiayaan anggota koperasi adalah koperasi karyawan yang telah mendapat persetujuan untuk memperoleh fasilitas pembiayaan anggota koperasi dari bank dan telah menandatangani akad dan dokumen pembiayaan lain yang dipersyaratkan. Dalam konsep produk pembiayaan anggota koperasi, nasabah berperan sebagai executing agent karena bank tidak memiliki hubungan langsung dengan para anggota koperasi karyawan. Proses pembiayaan dari nasabah (Kopkar) kepada anggotanya dilakukan dan menjadi tanggung jawab penuh nasabah sendiri. Sebagai konsekuensi dari skim executing, berlaku beberapa ketentuan terkait dengan tanggung jawab nasabah (Kopkar). Pembiayaan anggota koperasi dengan pola executing menggunakan skim mudharabah, murabahah, dan ijarah multijasa. Skim mudharabah digunakan oleh bank dengan pihak pengelola koperasi karyawan, sedangkan skim murabahah digunakan oleh pengelola Kopkar dengan para anggota yang mengajukan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan barang anggota. Pengelola Kopkar dan anggotanya juga dapat menggunakan akad ijarah multijasa jika tujuan pengajuan pembiayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan jasa anggota, seperti dana pendidikan dan umrah.
16
Tujuan pembiayaan harus dicantumkan dalam usulan pembiayaan anggota koperasi untuk menghindari penyalahgunaan dana yang tidak sesuai dengan prinsip syariah atau tidak sesuai tujuan semula. Penentuan keputusan plafond pembiayaan juga dipengaruhi oleh tujuan penggunaan dana dengan kesesuaian kebutuhan pinjaman. Jika ternyata dana yang diajukan tidak sesuai dengan penggunaan, pihak BMI dapat menurunkan/menyesuaikan plafond pembiayaan sesuai analisis bank. Penentuan besarnya alokasi pembiayaan (plafond) untuk nasabah (Kopkar) disesuaikan dengan kebutuhan pembiayaan
anggota koperasi,
berdasarkan potensi gaji anggota, mengacu pada analisis pembiayaan yang berlaku di BMI, juga skala usaha perusahaan. Limit penyaluran pembiayaan nasabah (Kopkar) kepada anggotanya maksimal adalah Rp 100 juta per anggota dan tidak dipersyaratkan adanya jaminan tambahan dari anggota. Pembiayaan di atas Rp 100 juta per anggota harus disertai dengan jaminan tambahan atas nama Kopkar yang dititipkan ke BMI. BMI menentukan jaminan untuk produk pembiayaan anggota koperasi berupa piutang nasabah kepada anggotanya. Nasabah bertanggungjawab atas kelancaran pembayaran kewajiban di BMI termasuk jika anggota Kopkar melakukan wanprestasi. Kopkar bekerjasama dengan bendahara gaji dalam hal pendebetan atau pemotongan gaji karyawan dalam rangka pembayaran angsuran tiap bulannya. Jika terdapat anggota yang menunggak angsurannya, diputus hubungan kerjanya, keluar/mengundurkan diri dari perusahaan tempat bekerja, meninggal dunia, atau hal–hal lain yang menyebabkan kewajiban angsuran tidak terpenuhi maka Kopkar bertanggungjawab penuh dan wajib melunasi sisa pembiayaannya di BMI. Oleh karena itu, dalam Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan (SP3) dimuat persyaratan bahwa perhitungan nisbah bagi hasil berdasarkan ekspektasi pendapatan yang diperoleh dari total angsuran anggota koperasi setiap bulan. Jika perolehan pendapatan lebih kecil dari ekspektasi pendapatan yang disebabkan kelalaian Kopkar dalam memotong gaji anggotanya untuk membayar angsuran maka nasabah bertanggungjawab tersebut.
untuk
menambah/menutupi
kekurangan
pendapatan
17
Beberapa dokumen jaminan selain Surat Perintah transfer dari karyawan ke rekening Kopkar di BMI adalah dokumen jaminan yang berupa kesanggupan bayar dari pihak–pihak terkait seperti dokumen pemotongan gaji, dokumen jaminan atas kelancaran pembayaran dan pelunasan kewajiban anggota Kopkar kepada BMI, dan dokumen penutupan asuransi. Dokumen pemotongan gaji meliputi tunjangan–tunjangan ataupun hak–hak yang timbul dalam bentuk apapun juga dari anggota Kopkar kepada bendahara gaji perusahaan tempat anggota Kopkar bekerja. Selain itu, dibutuhkan juga dokumen surat pernyataan dari bendahara gaji tempat anggota Kopkar bekerja untuk menjamin kelancaran pemotongan gaji, tunjangan, ataupun hak yang timbul dalam bentuk apapun dalam rangka pembayaran angsuran hutang pokok, margin, denda, dan biaya–biaya lain yang menjadi kewajiban anggota Kopkar, serta untuk pelunasan kewajiban anggota Kopkar jika status anggota sebagai karyawan terputus hubungan kerjanya oleh sebab apapun juga. Pada dokumen jaminan atas kelancaran pembayaran serta pelunasan kewajiban anggota Kopkar kepada BMI terdapat surat pernyataan dan kuasa dari anggota Kopkar kepada pengurus Kopkar untuk menyerahkan semua hak yang timbul kepada pengurus Kopkar untuk selanjutnya langsung diserahkan kepada BMI agar menerima terlebih dulu atas hak–hak anggota tersebut. Misalnya, apabila hubungan kerjanya oleh sebab apapun termasuk tunjangan hari tua, gaji terakhir, serta pesangon. Dokumen lainnya adalah surat pernyataan penjaminan dan kuasa dari pengurus nasbaah kepada BMI untuk kelancaran pembayaran dan pelunasan kewajiban anggota Kopkar kepada BMI. Jaminan dokumen yang lain adalah dokumen penutupan asuransi, minimal berupa polis asuransi jiwa dengan pelunasan PHK dari perusahaan asuransi yang ditetapkan BMI. Manfaat asuransi setidaknya mencakup risiko meninggal dunia dengan minimal coverage 100% dari jumlah kerugian dan risiko PHK dengan coverage 75% dari jumlah kerugian. Kelengkapan dokumen jaminan merupakan salah satu syarat dilakukannya pengikatan antara pihak BMI dengan nasabah (Kopkar). Pengikatan perjanjian pembiayaan (notariil) antara BMI dengan Kopkar dilakukan di depan notaris yang ditunjuk oleh pihak BMI. Fidusia piutang dilakukan secara notariil dan didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF).
18
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam produk pembiayaan anggota koperasi adalah jangka waktu pembiayaan. Jangka waktu pembiayaan kepada Kopkar disesuaikan dengan jangka waktu pembiayaan Kopkar kepada anggotanya. Terkait dengan hal itu, BMI memiliki aturan tersendiri, yakni khusus untuk Kopkar perusahaan swasta dengan aset kurang dari Rp 50 miliar periode pembiayaan hanya berlangsung antara 1 s/d 3 tahun. Periode tersebut dapat diperpanjang hingga 5 tahun jika pemohon pembiayaan adalah Kopkar dari instansi PNS, BUMN, TNI/POLRI, dan perusahaan swasta dengan aset ≥ Rp 50 miliar. Pembayaran angsuran pokok pembiayaan berikut bagi hasil dilakukan secara bulanan sesuai dengan jangka waktu dan jadwal yang telah disepakati antara BMI dan Kopkar. BMI tidak memberikan masa tenggang (grace period) setelah tanggal angsuran ditetapkan. Setelah mengetahui konsep/definisi pembiayaan anggota koperasi di BMI, tahap selanjutnya adalah penjelasan tentang prosedur pembiayaan anggota koperasi yang harus dipahami oleh nasabah/Kopkar. Untuk mengetahui lebih jelas tentang prosedur pembiayaan anggota koperasi di BMI, pada paragraf selanjutnya akan dibahas tentang tahapan pembiayaan anggota koperasi secara umum. Nasabah yang telah memahami persyaratan pengajuan pembiayaan anggota koperasi di BMI, selanjutnya dapat langsung mengajukan permohonan pembiayaan dan mengisi form yang telah disediakan di bank. Pada tahap ini, nasabah (yang diwakili oleh pengurus Kopkar) menyampaikan keinginannya untuk melakukan kerjasama dengan BMI untuk memenuhi kebutuhan komsumtif anggota koperasi. Atas permohonan tersebut, account manager akan menggali informasi dan melakukan wawancara secara umum kepada pengurus koperasi tentang keperluan pembiayaan, jumlah dana yang diperlukan, dan berbagai hal lain yang nantinya akan dituangkan dalam UP. Jika sudah mendapatkan informasi dari pengurus koperasi tentang pembiayaan yang akan disalurkan, AM akan mempersilakan pengurus koperasi mengisi form permohonan dan meminta pengurus koperasi untuk melengkapi seluruh persyaratan yang dibutuhkan. Persyaratan yang harus dipenuhi pada awal pengajuan pembiayaan anggota koperasi ke BMI dibagi menjadi tiga, yakni persyaratan bagi koperasi, anggota koperasi, dan badan usaha.
19
Persyaratan untuk koperasi karyawan antara lain sebagai berikut: 1. Berbadan hukum (Surat pengesahan koperasi sebagai badan hukum dari Departemen Koperasi). 2. Anggaran Dasar koperasi dan Akta Perubahan koperasi. 3. Susunan pengurus koperasi yang sudah disahkan oleh Departemen Koperasi dan profil perusahaan Induk. 4. Mengajukan Surat permohonan pembiayaan ke BMI meliputi total pembiayaan, kegunaan, dan jangka waktu pembiayaan. 5. Merekap daftar
nominatif anggota koperasi yang sudah diseleksi oleh
Kopkar beserta plafond yang diminta oleh anggota koperasi. 6. Fotokopi rekening koran atas nama koperasi 3 (tiga) bulan terakhir. 7. Fotokopi KTP dan SK pengangkatan kepala Divisi SDM/Personnel Department Head Perusahaan Induk. 8. Surat pernyataan dari manajemen perusahaan dan pengurus koperasi untuk menjamin pembayaran atas fasilitas pembiayaan yang diterima oleh koperasi sampai dengan masa pelunasan dan apabila dalam RAT susunan pengurus berubah, kewajiban-kewajiban kepada bank tetap diteruskan oleh pengurus baru (bermaterai Rp 6000). 9. Nasabah yang dimaksud adalah Kopkar dari beberapa lembaga pemerintah, BUMN/BUMD, perusahaan multinasional, perusahaan besar yang telah masuk bursa (go public), atau perusahaaan swasta yang bonafit. 10. Akte Pendirian/Anggaran Dasar Nasabah telah mendapat pengesahan dari pejabat Kementrian Koperasi yang berwenang dan telah memiliki perizinan usaha lainnya seperti SIUP, TDP, dan NPWP. 11. Nasabah sudah merupakan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) atau memiliki Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS). Apabila nasabah belum merupakan
KJKS
atau
belum
memiliki
UJKS
maka
koperasai
dipersyaratkan sudah/sedang mengajukan permohonan KJKS/UJKS kepada Kementrian Koperasi atau Dinas Koperasi setempat, koperasi menempatkan orang yang memahami hukum syariah dalam struktur DPS Koperasi, dan penyaluran piutang nasabah kepada anggotanya wajib menggunakan Akad Syariah.
20
Persyaratan untuk anggota koperasi antara lain sebagai berikut: 1. Tercatat sebagai karyawan tetap dengan masa kerja minimal dua tahun 2. Memiliki kondite yang baik 3. Mendapat rekomendasi dari atasan dan koperasi 4. Fotokopi kartu identitas (KTP suami-istri, KK, surat nikah, dan surat persetujuan suami/istri) 5. Surat kuasa pemotongan gaji dari anggota kepada Kepala Divisi SDM/HRD perusahaan induk 6. Besarnya angsuran/kewajiban anggota tidak melebihi 35% dari take home pay 7. Maksimal umur dan jangka waktu pembiayaan tidak melebihi usia pensiun 8. Pembiayaan karyawan wajib di–cover dengan asuransi jiwa 9. Menyerahkan bukti perjanjian antara karyawan dengan koperasi 10. Cakap hukum, yaitu mampu melaksanakan hal dan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum 11. Usia minimal 21 tahun dan pada saat jatuh tempo fasilitas usia maksimal 55 tahun atau sebelum pensiun 12. Status anggota koperasi adalah minimal 2 tahun sebagai karyawan tetap, dibuktikan dengan menyerahkan asli SK Pengangkatan pertama dan terakhir (atau copy SK dengan menunjukkan aslinya), atau surat keterangan dari instansi pemerintah yang berwenang (bagi PNS), atau Surat Keterangan dari manager personalia tempat kerja anggota yang menyatakan bahwa anggota nasabah masih tercatat sebagai karyawan tetap dan masih aktif (bagi pegawai swasta). 13. Khusus bagi PNS dan TNI/Polri, selain menyerahkan SK Pengangkatan (asli) pertama dan terakhir atau surat keterangan dan instansi pemerintah yang berwenang, juga menyerahkan kartu Peserta Taspen (KPT) atau Kartu Tanda Peserta Asabri (KTPA) dan Kartu Pegawai Negeri Sipil (Karpeg) atau Kartu Tanda Anggota (KTA) untuk disimpan oleh bank selama masa pembiayaan berlangsung. 14. Memperoleh rekomendasi dari pimpinan kantor/atasan yang sah
21
Persyaratan badan usaha yang menaungi Kopkar antara lain: 1. Badan usaha tempat nasabah bernaung telah beroperasi minimal lima tahun. 2. Memiliki citra/reputasi badan usaha yang baik (tidak terdapat informasi negatif) terkait badan usaha tersebut. 3. Bisnis badan usaha yang menaungi Kopkar tidak termasuk ke dalam sub sektor ekonomi yang tidak menarik. 4. Badan usaha sedang tidak dalam proses hukum (baik dalam permasalahan pajak maupun dengan pihak ketiga lainnya). 5. Bagi badan usaha yang berorientasi profit maka harus memiliki prospek usaha yang menguntungkan (profitable) dan minimal dua periode terakhir sudah menghasilkan profit, jika terjadi penurunan profit maka harus dijelaskan penyebabnya, harus memiliki laporan kaungan (minimal dua periode terakhir) dengan kinerja terbaik terkait analisis keuangan badan usaha. Apabila kriteria instansi/perusahaan swasta tempat karyawan/anggota nasabah bekerja tersebut di atas tidak dapat dipenuhi maka account manager wajib memberitahukan kepada Komite Pembiayaan. Namun, sebelum semua dokumen masuk ke level komite, akan dilakukan risk assesment terlebih dulu terhadap proposal pembiayaan yang dibuat account manager. Proposal pembiayaan dengan limit tertentu sesuai ketentuan Risk Management Division wajib diproses oleh bagian Financing Risk, baik oleh Financing Risk Officer (FRO) ataupun oleh Financing Risk Staff (FRS), sesuai dengan limitasi kewenangan pemutusan pembiayaan yang berlaku. FRO/FRS melakukan proses asessment dan memberikan rekomendasi untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan prosedur yang berlaku di Risk Management Division. Semua dokumen persyaratan pembiayaan anggota koperasi yang telah masuk ke BMI akan diperiksa kelengkapannya oleh account manager. Dokumen yang lengkap dan memenuhi syarat tidak langsung membuat pihak BMI percaya begitu saja. Perlu dilakukan trade checking (pemeriksaan lapang) untuk mengetahui situasi dan kondisi koperasi yang mengajukan pembiayaan tersebut.
22
Trade checking ditujukan untuk melakkan analisis kelayakan pembiayaan anggota koperasi. Pemeriksaan lapang sangat penting karena hasil dari pemeriksaan inilah yang nantinya akan dituangkan dalam Usulan Pembiayaan. Aspek–aspek kelayakan pembiayaan yang dianalisis menggunakan format standar Usulan Pembiayaan. Tahap selanjutnya adalah penentuan keputusan pembiayaan berdasarkan hasil analisis pembiayaan menurut prinsip 5C yang dituangkan dalam Usulan Pembiayaan anggota koperasi. Hasil dari analisis pembiayaan yang dimuat dalam Usulan Pembiayaan akan disampaikan kepada Komite Pembiayaan. Komite Pembiayaan terdiri atas business manager, koordinator pembiayaan, dan senior account manager yang ditunjuk oleh kantor pusat sebagai komite pembiayaan. Keputusan pembiayaan dapat berupa penolakan dan penerimaan. Jika pembiayaan ditolak, semua dokumen yang ada di BMI akan dikembalikan ke pengurus koperasi. BMI juga akan mengirim surat penolakan permohonan dan alasan tidak disetujuinya permohonan pembiayaan anggota koperasi. Jika pembiayaan diterima, account manager akan melakukan negosiasi ulang dengan pengurus koperasi berkenaan dengan hasil pemeriksaan dan notifikasi dari Komite Pembiayaan. Penentuan keputusan pemberian pembiayaan dapat ditentukan berdasarkan grading Kopkar dengan kriteria sebagai berikut: Tabel 2. Kriteria Diterimanya Pembiayaan berdasarkan Grading Kopkar Kriteria Maksimum eksposur per Kopkar (Potensi pembiayaaan = end users x estimasi end user limit facility) Kolateral/piutang Maksimum plafond per anggota Anggota di–cover asuransi jiwa Sumber: BMI (2012)
Grade A 80% dari potensi pembiayaan atau 10% dari eksposur pembiayaan Kopkar 100% O/S Rp 100 juta
Grading Kopkar Grade B 70% dari potensi pembiayaan atau 10% dari eksposur pembiayaan Kopkar 100% O/S Rp 100 juta
Grade C 60% dari potensi pembiayaan atau 10% dari eksposur pembiayaan Kopkar 100% O/S Rp 50 juta
Wajib
Wajib
Wajib
23
Ketentuan/keputusan Komite Pembiayaan harus disetujui oleh nasabah agar account manager dapat segera membuat Offering Letter (OL). Dengan dibuatnya OL maka proses selanjutnya adalah pengikatan/akad. Pengikatan merupakan sebuah pertemuan (forum) yang dihadiri oleh beberapa pengurus koperasi, business manager, legal staff, notaris, dan saksi. Pengikatan dilakukan dengan saling berjabat tangan antara wakil dari BMI dan pengurus koperasi terkait dengan persetujuan atas akta–akta yang ditandangani seperti persetujuan pembiayaan dengan akad mudharabah, akta jaminan, dan akta pernyataan pengurus koperasi. Jika proses pengikatan sudah selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah pencairan pembiayaan yang akan dilakukan setelah nasabah memenuhi beberapa syarat pencairan fasilitas pembiayaan seeperti berikut: 1. Akad pembiayaan telah ditandatangani secara notariil oleh para pengurus nasabah (Kopkar) yang tercantum dan sesuai dengan RAT terakhir. 2. Pengurus Kopkar telah menyerahkan Surat Pernyataan Penjaminan dan Kuasa serta perintah pendebetan rekening (standing instruction), guna pembayaran angsuran pokok, nisbah biaya administrasi, biaya notaris, biaya asuransi, serta kewajiban lainnya yang akan timbul. 3. Syarat yang harus dipenuhi oleh para anggota Kopkar yang akan dibiayai meliputi status anggota minimal 2 tahun sebagai karyawan tetap, Cash Ratio (CR) maksimal 35% (bagi PNS) dan 50% (bagi pegawai swasta/BUMN) dari THP setelah dikurangi potongan–potongan yang menjdi kewajiban anggota Kopkar yang bersangkutan, anggota yang bersangkutan telah mendapatkan rekomendasi tertulis dari pimpinan kantor/atasannya, yang bersangkutan telah menyerahkan surat pernyataan dan kuasa yang telah ditandatangani di atas materai Rp 6.000, anggota yang akan mendapatkan pembiayaan wajib menyampaikan data lengkap, anggota yang memperoleh pembiayaan wajib membuka rekening bank (Tabungan Muamalat, tabunganKu,
atau
Giro
Muamalat)
untuk
menampung
penyaluran
pembiayaan dari nasabah. 4. Pencairan fasilitas didasarkan pada permohonan pengurus Kopkar dengan melampirkan bukti pengajuan dari para anggotanya.
24
Hal–hal yang harus diperhatikan dalam penyaluran pembiayaan anggota koperasi seperti unit bisnis yang ditekankan untuk melakukan tindakan antisipasi dan berkewajiban melakukan monitoring terhadap nasabah secara intensif, seperti verifikasi setiap anggota yang mengajukan pembiayaan ke berbagai sumber yang tepat agar tidak terjadi pembiayaan fiktif (dapat dipercaya), serta selalu memonitor kinerja nasabah dan perusahaan tempat para anggota bekerja. Monitoring juga penting untuk mengawasi penggunaan dana yang dipinjam dari BMI yang harus sejalan dengan prinsip–prinsip syariah. Mengingat pembiayaan yang disalurkan adalah pembiayaan syariah, terdapat beberapa prinsip syariah yang harus diperhatikan seperti: 1. Akad antara bank dengan nasabah harus menggunakan skim mudharabah yang secara prinsip merupakan akad kerjasama antara bank sebagai shahibul maal dan nasabah sebagai mudharib, dimana bank menyediakan kebutuhan modal 100% untuk dikelola oleh nasabah untuk disalurkan sebagai pembiayaan kepada anggotanya. Bagi hasil bank dihitung atas dasar expected return bank dari pembayaran angsuran anggota. 2. Nasabah sebagai mudharib harus memenuhi syarat sesuai prinsip dalam skema pembiayaan
mudharabah, terutama dalam hal
pengalaman
manajemen serta keahlian para pengurus dalam mengelola usaha nasabah. 3. Akad antara nasabah dengan para anggotanya harus menggunakan prinsip murabahah/ijarah multijasa, yang pada dasarnya harus memenuhi beberapa prinsip dasar seperti jual beli, barang/jasa yang diperjualbelikan memenuhi syarat halal, harga/jumlah yang harus dibayar pembeli telah disepakati bersama, cara pembayaran bisa sekaligus atau diangsur sesuai kesepakatan kedua belah pihak, dalam hal pembayaran dilakukan dengan cicilan maka uang muka diserahkan oleh para anggota nasabah, unit bisnis dapat memberikan
petunjuk
kepada
pengurus
nasabah
(Kopkar)
yang
bersangkutan dalam menyusun akad murabahah dan ijarah multijasa. 4. Barang–barang yang diproduksi oleh perusahaan tempat para anggota Kopkar bekerja dan barang–barang yang akan diperjualbelikan Kopkar kepada para anggota harus memenuhi syarat halal dan tidak melanggar prinsip syariah.
25
Tahap akhir dari proses pembiayaan anggota koperasi adalah realisasi pembiayaan dengan alur/proses realisasi sebagai berikut: 1
Bank Muamalat
5 Rek. Giro Aktif Kopkar
1
4 Koperasi Karyawan
4
Rek. Giro Escrow Kopkar
3
3 2
Badan Usaha yang Menaungi Kopkar
Anggota Kopkar
2
Rekening Giro /Tabungan Aktif Anggota
Keterangan: Alur realisasi pembayaran angsuran secara teknis Alur realisasi pembayaran angsuran secara garis besar
Gambar 2. Alur proses realisasi dan pembayaran angsuran (BMI 2012) Pada Gambar 2 terdapat panah nomor 1 yang menunjukkan realisasi pembiayaan dari BMI ke Kopkar melalui rekening giro escrow Kopkar. Rekening giro escrow adalah rekening giro penampungan untuk realisasi penyaluran pembiayaan dan penampungan untuk sumber pengembalian pembiayaan. Rekening giro escrow tidak dilengkapi dengan cek dan bilyet giro sehingga pendebetan hanya dapat dilakukan oleh BMI. Panah nomor 2 menunjukkan bahwa BMI melakukan pemindahbukuan dari rekening giro escrow Kopkar ke rekening setiap anggota (berdasarkan daftar normatif anggota Kopkar yang telah ditandatangani pengurus dan diverifikasi BMI). Panah yang diberi nomor 3 menunjukkan pembayaran kewajiban angsuran dari anggota langsung disetorkan/ditransfer ke rekening giro escrow Kopkar oleh bagian personalia perusahaan yang berwenang melakukan pemotongan kewajiban angsuran dari masing–masing anggota Kopkar sebesar kewajiban Kopkar kepada BMI. Panah nomor 4 menunjukkan proses pendebetan rekening giro escrow sebesar kewajiban dari Kopkar, sedangkan panah nomor 5 menunjukkan kwajiban Kopkar untuk mengaktifkan mutasi keuangan usahanya melalui BMI dengan menggunakan rekening aktif Kopkar.
26
2.3.2 Prinsip Penilaian Kelayakan Pembiayaan Anggota Koperasi Hasibuan (2011) menyebutkan bahwa plafond kredit mutlak harus ditetapkan dan disetujui oleh kedua belah pihak (bank dan nasabah) sebelum penyaluran kredit dilakukan. Plafond kredit ditetapkan secara objektif atas hasil analisis asas 5C, 7P, dan 3R oleh analis kredit. Analisis kelayakan Pembiayaan/Kredit Asas 5C 1. 2. 3. 4.
Character Capacity Capital Condition of Economic 5. Collateral
Asas 7P 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Personality Party Purpose Prospect Payment Profitability Protection
Asas 3R 1. Return 2. Repayment 3. Risk Bearing Ability
Gambar 3. Analisis pembiayaan/kredit (Hasibuan 2011) Asas 5C 1. Character (watak) calon debitur perlu diteliti oleh analis kredit apakah layak untuk menerima kredit. Karakter pemohon kredit dapat diperoleh dengan cara mengumpulkan informasi dari referensi nasabah dan bank–bank lain tentang perilaku, kejujuran, pergaulan, dan ketaatannya memenuhi pembayaran transaksi. Karakter yang baik jika ada keinginan untuk membayang (willingness to pay) kewajibannya. Apabila karakter pemohon baik maka dapat diberikan kredit, sebaiknya jika karakternya buruk kredit tidak dapat diberikan. 2. Capacity (kemampuan) calon debitur perlu dianalisis apakah ia mampu memimpin perusahaan dengan baik dan benar. Kalau ia mampu memimpin perusahaan, ia akan dapat membayar pinjaman sesuai dengan perjanjian dan perusahaannya tetap berdiri. Jika kemampuan calon debitur baik maka dapat diberikan kredit, sebaiknya jika karakternya buruk kredit tidak dapat diberikan.
27
3. Capital (modal) dari calon debitur harus dianalisis mengenai besar dan struktur modalnya yang terlihat dari neraca lajur perusahaan calon debitur. Hasil analisis neraca lajur akan memberikan gambaran dan petunjuk sehat atau tidak sehatnya perusahaan. Demikian juga mengenai tingkat likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan struktur modal perusahaan bersangkutan. Jika terlihat baik maka bank dapat memberikan kredit kepada pemohon bersangkutan, tetapi jika tidak maka pemohon tidak akan mendapatkan kredit yang diinginkannya. 4. Condition of Economic atau kondisi perekonomian pada umumnya dan bidang usaha pemohon kredit khususnya. Jika baik dan memiliki prospek yang baik maka permohonannya akan disetujui, sebaiknya jika jelek, permohonan kreditnya akan ditolak. 5. Collateral (agunan) yang diberikan pemohon kredit mutlak harus dianalisis secara yuridis dan ekonomis apakah layak dan memenuhi persyaratan yang ditentukan bank. Jika jawabannya ya maka kredit dapat diberikan, tetapi jika jawabannya tidak maka kredit tidak dapat diberikan. Asas 7P 1. Personality (kepribadian) adalah sifat dan perilaku yang dimiliki calon debitur yang mengajukan permohonan kredit bersangkutan, dipergunakan sebagai dasar pertimbangan pemberian kredit. Jika kepribadiannya baik, kredit dapat diberikan, sebaliknya jika kepribadiannya jelek maka kredit tidak akan diberikan. Alasannya adalah karena kepribadian yang baik akan berusaha membayar pinjamannya, sedangkan kepribadian yang jelek akan sulit membayar pinjamannya. Kepribadian calon nasabah ini dapat diketahui dengan mengumpulkan informasi tentang keturunan, pekerjaan, pendidikan, dan pergaulannya. 2. Party adalah mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu berdasarkan modal, karakter, dan loyalitasnya, dimana setiap klasifikasi nasabah akan mendapatkan fasilitas berbeda. 3. Profitability adalah adalah untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah mendapatkan laba. Profitability diukur per periode, apakah konstan atau meningkat dengan adanya kredit.
28
4. Purpose (tujuan) adalah tujuan dan penggunaan kredit oleh calon debitur, apakah untuk kegiatan konsumtif atau sebagai modal kerja. Tujuan kredit ini menjadi hal yang menentukan apakah permohonan calon debitur disetujui/ditolak. Apabila kredit digunakan untuk kegiatan sebagai modal kerja (produktif) maka kredit dapat diberikan. Jadi, analisis kredit harus mengetahui secara pasti tujuan dan penggunaan kredit yang akan diberikan sehingga dapat mempertimbangkan apakah kredit akan diberikan atau ditolak. 5. Prospect adalah prospek perusahaan di masa datang, apakah akan menguntungkan (baik) atau merugikan (jelek). Jika prospek terlihat baik maka kredit dapat diberikan, sebaliknya jika jelek maka kredit ditolak. Oleh karena itu, analis kredit harus mampu mengestimasi masa depan perusahaan calon debitur agar pengembalian kredit menjadi lancar. 6. Payment (pembayaran) adalah mengetahui bagaimana pembayaran kembali kredit yang diberikan. Hal ini dapat diketahui jika analis kredit memperhitungkan kelancaran penjualan dan pendapatan calon debitur sehingga dapat diperkirakan kemampuannya untuk membayar kembali kredit tersebut sesuai dengan perjanjian. Asas payment ini harus dipergunakan
sebagai
bahan
pertimbangan
pemberian
kredit
agar
pengembalian kredit berjalan lancar. 7. Protection bertujuan agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang, jaminan orang, atau jaminan asuransi. Asas 3R 1. Return adalah penilaian atas hasil yang akan dicapai perusahaan calon debitur setelah memperoleh kredit. Apabila hasil yang diperoleh cukup untuk membayar pinjaman dan sekaligus membantu perkembangan usaha calon debitur maka kredit diberikan. Jika tidak maka kredit tidak diberikan. 2. Repayment adalah memperhitungkan kemampuan, jadwal, dan jangka waktu pembayaran kredit oleh calon debitur, tetapi perusahaannya tetap berjalan.
29
3. Risk Bearing Ability adalah mempertimbangkan besarnya kemampuan perusahaan calon debitur untuk menghadapi risiko, apakah perusahaan calon debitur risikonya ditentukan oleh besarnya modal dan strukturnya, jenis bidang usaha, dan manajemen perusahaan bersangkutan. Jika risk bearing ability perusahaan besar maka kredit tidak diberikan, tetapi apabila risk bearing ability perusahaan kecil maka kredit diberikan. Penilain untuk kredit konsumtif hanya dilakukan pada jumlah gaji yang diperoleh dimana angsuran ditambah dengan bagi hasil nantinya akan ditentukan sebesar take home pay (pendapatan). Umumnya jumlah pembiayaan konsumtif bernilai sekitar 60% dari pendapatan. Penentuan cash ratio fasilitas pembiayaan BMI didasarkan pada tiering berikut: 1. Maksimum cash ratio 35% dari pendapatan dan/atau 70% dari disposable income jika pendapatan ≤ Rp 5 juta. 2. Maksimum cash ratio 40% dari pendapatan dan/atau 75% dari disposable income jika pendapatan > Rp 5 juta s/d Rp 10 juta. 3. Maksimum cash ratio 50% dari pendapatan dan/atau 80% dari disposable income jika pendapatan ≥ Rp 10 juta. 2.3.3 Kualitas Pembiayaan Martono (2010) menyebutkan bahwa hal yang tidak menggembirakan bagi bank sebagai pemberi kredit adalah apabila kredit yang diberikan menjadi bermasalah.
Kredit
bermasalah
disebabkan
sebitur
dalam
memenuhi
kewajibannya yaitu membayar angsuran kredit sekaligus dengan bunganya tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui dalam perjanjian kredit. Beberapa pengertian mengenai kolektibilitas kredit yang dibuat menurut ketentuan Bank Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Kredit lancar, yaitu kredit yang pembayaran pokok pinjaman dan bunganya tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit. 2. Kredit dalam perhatian khusus, yaitu kredit yang pengembalian pokok pinjaman atau bunganya terdapat tunggakan sampai 90 hari.
30
3. Kredit kurang lancar, yaitu kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunganya terdapat tunggakan telah melampaui 90 hari sampai 180 hari waktu yang disepakati. 4. Kredit diragukan,yaitu kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunganya terdapat tunggakan telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari dari waktu yang disepakati. 5. Kredit macet, adalah kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran dan bunganya terdapat tunggakan telah melampaui 270 hari. Berdasarkan pertimbangan kuantitatif dan judgement oleh Account Manager, serta sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional di Indonesia perihal penilaian kualitas aktiva bank umum, maka kualitas kredit digolongkan menjadi lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet menurut tiga kriteria, yakni prospek usaha (perlu juga memerhatikan upaya debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup), kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar. Kriteria tersebut diterapkan dengan pedoman umum yang dicantumkan dalam lampiran 1 skripsi ini. Kredit bermasalah timbul sebagai akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban debitur untuk membayar angsuran pinjaman maupun bunga kredit pada waktu yang sudah disepakati. Kredit bermasalah merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan bunganya telah melewati sembilan puluh hari atau telah melewati jatuh tempo atau pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesenjangan atau karena faktor ekternal diluar kemampuan debitur yang dapat diukur dari kolektibilitasnya. Kredit bermasalah adalah kredit yang kolektibilitasnya tergolong kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet (Dendawijaya, 2005). 2.4. Risiko Pembiayaan Hasibuan (2011) berpendapat bahwa setiap pemberian kredit oleh bank mengandung risiko sebagai akibat ketidakpastian dalam pengembaliannya. Oleh karena itu, bank perlu mencegah atau memperhitungkan kemungkinan timbulnya risiko tersebut.
31
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapatan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, menyatakan bahwa risiko kredit diartikan sebagai risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Berdasarkan counterparty, risiko kredit dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Risiko kredit pemerintahan (sovereign credit risk), yaitu risiko kredit yang berhubungan dengan pemerintah yang tidak mampu membayar pokok dan bunga pinjaman saat jatuh tempo, terutama pinjaman bilateral antar negara. 2. Risiko kredit korporat (corporate credit risk), yaitu risiko gagal bayar dari perusahaan yang menerbitkan surat utang, gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta gagal bayar dari perusahaan memperoleh penyertaan modal. Risiko korporat lebih berisiko dan lebih sering terjadi di bank. 3. Risiko kredit konsumen (retail customer credit risk), adalah risiko kredit yang terkait dengan ketidakmampuan debitur perorangan dalam menyelesaikan pembayaran kreditnya. 2.4.1 Jenis–jenis Risiko Pembiayaan Martono (2010) menyebutkan bahwa risiko usaha bank dapat dibagi menjadi enam, yakni: 1. Risiko kredit (default risk), merupakan suatu risiko akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan atau dijadwalkan. 2. Risiko investasi (investment risk), berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian akibat suatu penurunan nilai pokok portofolio surat–surat berharga, misalnya: obligasi dan surat berharga lainnya yang dimiliki bank. 3. Risiko likuiditas (liquidity risk), adalah risiko yang dihadapi bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya dalam rangka memenuhi permintaan kredit dan semua penarikan dana oleh penabung pada suatu waktu. 4. Risiko penyelewengan (fraud risk), adalah risiko yang berkaitan dengan kerugian yang terjadi akibat ketidakjujuran, penipuan atau moral dan perilaku yang kurang baik dari pejabat, karyawan, dan nasabah.
32
5. Risiko operasional (operational risk), merupakan risiko ketidakpastian mengenai usaha bank yang bersangkutan. Risiko operasional bank dapat berasal dari kemungkinan kerugian dari operasional bank bila terjadi penurunan keuntungan yang dipengaruhi oleh struktur biaya operasional bank dan kemungkinan terjadinya kegagalan atas jasa/produk baru yang diperkenalkan. 6. Risiko fidusia (fiduciary risk), akan timbul apabila bank dalam usahanya memberikan jasa bertindak sebagai wali amanat baik untuk individu maupun badan usaha. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292), risiko perbankan dibagi menjadi delapan, yakni risiko kredit, pasar, likuiditas, operasional, kepatuhan, hukum, reputasi, dan strategik. Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank. Risiko pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif. Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset liquid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank. Risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Risiko kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. Risiko hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap rank. Risiko strategik adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan keputusan strategik.
33
2.4.2 Risiko Pembiayaan dengan Jaminan Cessie Nurhayati (2009) menyebutkan bahwa salah satu jaminan yang tercantum dalam klausula akad pembiayaan al–mudharabah muqayyadah BMI adalah cessie piutang. Jaminan tersebut dibuat dalam bantuk akta notariil yang disebut Perjanjian Pemberian Jaminan Cessie. Oleh karenanya, muncul permasalahan yaitu bagaimana hubungan hukum antara shahibul maal dan mudharib pada pemberian jaminan cessie dalam pembiayaan mudharabah dan apakah perjanjian pemberian jaminan cessie dapat memberikan kepastian hukum bagi shahibul maal dalam upaya mendapatkan ganti rugi jika mudharib wanprestasi. Perjanjian pemberian jaminan cessie merupakan perjanjian accesoir (ikutan) dari perjanjian pembiayaan mudharabah sebagai perjanjian pokoknya. Perjanjian pemberian jaminan cessie tidak memberikan kepastian hukum bagi shahibul maal jika mudharib wanprestasi karena bukan perjanjian kebendaan, bentuk pembebanan jaminannya tidak diatur dalam Undang-undang dan tidak ada prinsip disclosure atau asas publisitas dalam perjanjian tersebut. Menurut Setiadi (2011), cessie (tagihan piutang) sebagai jaminan , pada pelaksanaan perjanjian kredit akan mengalami perubahan karena cessie tagihan piutang yang ada pada debitur akan terus berkurang karena adanya pembayaran dari pihak debitur pemilik tagihan, sedangkan seharusnya nilai jaminan yang ada tidak boleh berubah-ubah dan harus sesuai dengan pokok pokok yang telah di perjanjikan. Cessie tagihan piutang harus sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akta perjanjian pembiayaan. Risiko berkurangnya jumlah tagihan piutang sebagai jaminan tersebut dapat terjadi karena adanya pelunasan dari cessus (debitur) kepada cedent (koperasi), dan bukan karena cedent tidak memenuhi prestasinya (wanprestasi) kepada cessioneries (pemberi kredit). Perubahan nilai jaminan tersebut sangat berisiko bagi pemberi kredit dalam memberikan kredit dengan cessie (tagihan piutang) sebagai jaminan.
34
2.4.3 Manajemen Risiko Bank Muamalat Indonesia Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Muamalat telah melakukan pengelolaan risiko untuk 10 jenis risiko, yaitu risiko pembiayaan, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kepatuhan, risiko strategi, risiko reputasi, risiko hukum, risiko imbal hasil, dan risiko investasi. Khusus untuk risiko imbal hasil (rate of return risk) dan risiko investasi (equity of investment risk), merupakan tambahan atas delapan jenis risiko yang telah ada sebelumnya, sebagaimana diatur terakhir melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 13/23/PBI/2011 perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam hal ini, Bank Mumalat telah melakukan upaya-upaya berupa identifikasi serta pengumpulan data dan informasi secara sistematis mengenai kedua jenis risiko tersebut, namun belum memperhitungkannya dalam penilaian profil risiko bank. Sesuai ketentuan yang ada, sepanjang tahun 2011 Bank Muamalat telah menyampaikan laporan Profil Risiko kepada Bank Indonesia setiap triwulan secara tepat waktu dan sesuai format yang ditetapkan. Laporan Profil Risiko untuk posisi 31 Desember 2011 disajikan pada Tabel 3. berikut. Tabel 3. Profil risiko BMI posisi 31 Desember 2011 No. Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kredit Pasar Likuiditas Operasional Kepatuhan Strategis Hukum Reputasi Imbal Hasil Investasi Agregat
26,30 22,67 38,07 30,32 0,07 0,00 38,83 32,31
Inherent Risk (IR) Skor IR Bobot Skor IR Predikat IR Terbobot (Low to Moderate) 70% 18,41 (Low to Moderate) 5% 1,13 (Low to Moderate) 5% 1,90 (Low to Moderate) 10% 3,03 (Low) 2,50% 0,002 (Low) 2,50% 0,00 (Low to Moderate) 2,50% 0,97 (Low to Moderate) 2,50% 0,81 26,26 (Low to Moderate)
Sumber: Annual Report BMI per 31 Desember 2011
35
Komponen dari profil risiko adalah Risiko Inheren, Sistem Pengendalian Risiko, dan Risiko Komposit. Penilaian untuk profil Risiko Inheren Bank Muamalat pada Triwulan IV tahun 2011 berada pada peringkat Low to Moderate, sementara Sistem Pengendalian Risiko pada peringkat memadai (Satisfactory). Dari hasil matriks antara Risiko Inheren dan Sistem Pengendalian Risiko diperoleh hasil untuk Risiko Komposit yaitu di peringkat Low to Moderate. Divisi Manajemen Risiko merupakan unit yang bertanggung jawab
untuk
melakukan
identifikasi,
pengukuran,
pemantauan
dan
pengendalian atas risiko-risiko yang timbul dari kegiatan usaha BMI, melalui pendekatan berbasis jenis risiko yang ditangani (risk handled approach). Jenis-jenis risiko menurut PBI No. 13/23/PBI/2011 adalah risiko pembiayaan, pasar, likuiditas, operasional, kepatuhan, strategik, reputasi, hukum, imbal hasil, dan risiko investasi. Untuk itu, Bank Muamalat telah melakukan penyempurnaan struktur organisasi Divisi Manajemen Risiko pada tanggal 25 April 2011 sesuai dengan kebutuhan bisnis maupun organisasi BMI. Compliance & Risk Management Director Risk Management Division
Market & Liq. Risk Management Dept.
Operational and Other Risk Management Dept.
Financing Risk Management Dept. East
Financing Risk Management Dept. West
Risk Profile and Monitoring Dept.
Gambar 4. Struktur organisasi divisi manajemen risiko (Annual report BMI per 31 Desember 2011) Divisi Manajemen Risiko adalah independen dari satuan kerja operasional (risk taking unit) maupun terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern. Unit-unit kerja yang ada di bawah Divisi Manajemen Risiko adalah Financing Risk Management Department, Market and Liquidity Risk Management Department, Operational and Other Risk Management Department, dan Risk Profile and Monitoring Department.
36
Financing Risk Management Department bertugas melakukan financing risk assessment, yaitu penilaian secara independen dan transparan atas risikorisiko yang mungkin akan timbul (potential risk) dalam pengajuan pembiayaan. Atas risiko–risiko yang diidentifikasi tersebut kemudian diusulkan langkahlangkah mitigasi risiko yang sesuai. Market and Liquidity Risk Management Department, yang bertugas menjalankan proses identifikasi dan pemantauan risiko pasar dan risiko likuiditas yang timbul dari aktivitas fungsional Bank Muamalat seperti kegiatan tresuri dan investasi dalam bentuk surat berharga dan instrumen pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keuangan lainnya. Departemen ini juga memberikan risk opinion atas setiap pengajuan usulan pembelian suratsurat berharga, pemberian counter-party credit limit untuk transaksi trade finance, valuta asing dan pasar uang antar bank. Operational and Other Risk Management Department, yang menjalankan proses manajemen risiko operasional dan melakukan monitoring terhadap risiko strategik, hukum, reputasi, dan risiko kepatuhan. Departemen ini juga memberikan rekomendasi perbaikan proses operasional, baik untuk tujuan efisiensi
operasional,
mengantisipasi
adanya
keluhan
dari
nasabah,
meningkatkan pengendalian internal, mencegah kemungkinan fraud, maupun identifikasi potensi kelemahan dalam produk-produk baru yang akan diluncurkan. Departemen yang terakhir adalah Risk Profile and Monitoring Department yang membuat laporan profil risiko, memonitor profil risiko dan mereview, mengusulkan Risk Measurement Tools atau SOP Risk Management. Selain Divisi Manajemen Risiko, perangkat manajemen risiko di Bank Muamalat juga dilengkapi dengan struktur Komite Manajemen Risiko, Komite Pemantau Risiko, dan Dewan Pengawas Syariah. Komite Pemantau Risiko merupakan Komite di bawah Dewan Komisaris yang membantu Dewan Komisaris dalam mengevaluasi kebijakan manajemen risiko, kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dan pelaksanaan kebijakan tersebut, serta efektivitas pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Divisi Manajemen Risiko. Dewan Pengawas Syariah mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar senantiasa sesuai dengan prinsip–prinsip syariah.
37
Komite
Manajemen
Risiko
merupakan
komite
eksekutif
yang
beranggotakan seluruh anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif terkait di Bank Muamalat. Tugas, tanggung jawab dan wewenang Komite Manajemen Risiko antara lain adalah dalam penyusunan kebijakan manajemen risiko; perbaikan penerapan manajemen risiko secara berkala maupun yang bersifat insidentil akibat dari perubahan kondisi eksternal maupun internal Bank; serta penetapan (justification) atas hal–hal yang terkait dengan keputusan bisnis yang menyimpang dari prosedur normal (irregularities). Komite Manajemen Risiko mengadakan pertemuan berkala minimal satu kali tiap bulan untuk mengevaluasi perkembangan manajemen risiko di lingkungan BMI. Agenda rapat komite antara lain pembahasan laporan profil risiko bulanan, penjelasan tindak-lanjut unit terkait terhadap isu risiko sebagaimana telah dibahas dalam rapat komite sebelumnya, serta pembahasan kejadian risiko operasional serta analisa dan rekomendasi pengendalian risiko. Bank Muamalat secara berkelanjutan terus mengembangkan dan meningkatkan kerangka manajemen risiko dan struktur pengendalian internal yang terpadu dan komprehensif, sehingga dapat memberikan informasi sedini mungkin akan adanya potensi risiko, dan selanjutnya mengambil langkahlangkah yang memadai untuk meminimalkan dampak risiko. Kerangka manajemen risiko dibuat untuk menyelaraskan antara sasaran–sasaran bisnis dan organisasi dengan penerapannya, sehingga terbentuk tata kelola manajemen risiko yang terarah dalam proses pelaksanaannya. Kerangka ini kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan, prosedur, limit transaksi, kewenangan dan ketentuan lain serta berbagai perangkat manajemen risiko yang berlaku di seluruh lingkup aktivitas usaha. Evaluasi terhadap parameter risiko dalam kerangka manajemen risiko dilakukan secara berkala sesuai dengan perkembangan yang ada dalam bisnis dan lingkungan usaha BMI. Mengingat adanya karakteristik khas pada produk/jasa dan kegiatan usaha perbankan syariah, mitigasi risiko juga senantiasa mempertimbangkan kesesuaian dengan prinsip syariah yang dianut. Pengembangan infrastruktur pengelolaan risiko dilakukan untuk meningkatkan keandalan peran dan fungsi manajemen risiko melalui fokus aspek berikut ini:
38
1. Penyusunan kebijakan dan pedoman manajemen risiko; 2. Evaluasi metodologi pengukuran parameter profil risiko; 3. Peningkatan kompetensi SDI dan pengembangan budaya sadar risiko; 4. Peningkatan peran dari Divisi Manajemen. Pengelolaan risiko di Bank Muamalat mencakup keseluruhan lingkup aktivitas usaha berdasarkan kebutuhan akan keseimbangan antara fungsi operasional bisnis dan pengelolaan risikonya. Melalui pelaksanaan fungsi manajemen risiko yang baik, Divisi Manajemen Risiko akan menjadi mitra strategis bagi unit bisnis dalam mendapatkan hasil optimal dari aktivitas operasional Bank Muamalat yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Evaluasi atas pelaksanaan manajemen risiko dilakukan secara terus-menerus, termasuk juga penyusunan kebijakan dan pedoman atas pengelolaan risiko pembiayaan, risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional. 1. Risiko Pembiayaan Pengelolaan risiko pembiayaan telah dijalankan dengan pelaksanakan financing risk assessment, yaitu penilaian atas risiko yang mungkin akan timbul (potential risk) dari disalurkannya pembiayaan oleh Bank Muamalat kepada nasabah. Untuk memastikan efektivitas hasil risk assessment, dibutuhkan pihak independen yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan pembiayaan. Tujuan utama dari financing risk assessment adalah: a. Mengendalikan risiko pembiayaan dengan identifikasi risiko terkait usulan pembiayaan dan pemberian saran mitigasi terhadap risiko; b. Menerapkan azas pembiayaan yang sehat dengan prinsip kehati-hatian; c. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan risiko pembiayaan; d. Pemenuhan kebutuhan pembiayaan sesuai syariah. Pengambilan keputusan pembiayaan dilakukan melalui mekanisme komite pembiayaan yang berjenjang sesuai limit kewenangan anggota komite pembiayaan yang ditunjuk, dengan mempertimbangkan kemampuan dan pengalaman dari pejabat yang bersangkutan di bidang pembiayaan. Bank Muamalat telah melakukan stress test terhadap skenario terburuk khususnya untuk risiko kredit atau pembiayaan, yang selanjutnya akan dilakukan minimal satu kali dalam setahun.
39
2. Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas Risiko pasar merupakan risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh Bank, yang dapat berpotensi merugikan (adverse movement). Risiko semacam ini antara lain terdapat pada aktivitas tresuri dan investasi dalam surat berharga dan instrumen pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keuangan lainnya. Risiko likuiditas adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan Bank dalam memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Pengelolaan likuiditas sangat penting karena kekurangan likuiditas bukan saja dapat mengganggu Bank namun juga sistem perbankan secara keseluruhan. Pengelolaan risiko pasar dan risiko likuiditas dilakukan pada aspek berikut ini: a. Pemantauan dan pengawasan atas pengelolaan portofolio surat berharga; b. Pemantauan parameter utama risiko pasar dan risiko likuiditas seperti Posisi Devisa Netto, Secondary Reserve, dan Financing to Deposit Ratio; c. Pembuatan pedoman dan prosedur terkait risiko pasar dan risiko likuiditas; d. Memberikan risk opinion dan saran mitigasi risiko atas pengajuan produk/layanan baru, akad, dan hal lain terkait risiko pasar dan risiko likuiditas; e. Mengikuti rapat Komite Aset-Liability (ALCO) yang dilaksanakan secara bulanan. Bank Muamalat juga telah melakukan stress test untuk skenario terburuk terkait dengan risiko likuiditas sebagai antisipasi perkembangan krisis keuangan di Eropa. 3. Risiko Operasional Bank Muamalat secara konsisten melakukan pemantauan terhadap risiko operasional (termasuk di dalamnya risiko stratejik, risiko reputasi, risiko hukum dan risiko kepatuhan). Fokus penerapan menajemen risiko operasional adalah pelaksanaan pengawasan internal yang melekat di dalam setiap proses operasional, peningkatan kesadaran akan risiko, serta penerapan pedoman dan prosedur operasional bank secara konsisten.
40
Kejadian–kejadian risiko operasional yang harus selalu dipantau adalah sebagai berikut: a. Internal fraud, yaitu kerugian operasional yang disebabkan oleh semua perbuatan individu–individu karyawan bank yang bermaksud untuk menggelapkan uang bank dengan cara memanipulasi atau melanggar ketentuan atau kebijakan yang berlaku, sekurang-kurangnya melibatkan satu orang dalam bank; b. Eksternal fraud, yaitu kerugian operasional yang disebabkan oleh adanya penggelapan uang bank dengan cara manipulasi atau melanggar ketentuan atau kebijakan bank, yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar bank; c. Praktik kepegawaian dan keselamatan kerja, yaitu kerugian operasional akibat perilaku karyawan yang menyimpang dari peraturan dan prosedur kerja sehingga mengganggu kelancaran operasional dan kenyamanan lingkungan kerja di bank; d. Klien, produk dan praktik bisnis, yaitu kerugian yang timbul akibat kelalaian atau kegagalan bank dalam memenuhi kewajiban terhadap klien/nasabah, atau karena sifat atau desain suatu produk bank yang melanggar ketentuan; e. Kerusakan terhadap aset fisik bank yaitu kerugian operasional yang timbul akibat hilang atau rusaknya aset fisik bank karena bencana alam atau peristiwa sejenis lainnya; f. Terganggunya bisnis dan kegagalan sistem yaitu kerugian operasional yang timbul akibat gangguan bisnis atau kegagalan sistem; g. Manajemen proses, pelaksanaan dan penyerahan produk dan layanan yaitu kerugian operasional akibat dari kegagalan/ kesalahan proses transaksi atau proses manajemen yang tidak disengaja, atau karena hubungan disambung dengan pihak kedua atau vendor. Khusus untuk pengendalian risiko kepatuhan yang terkait dengan kesesuaian terhadap prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat mengadakan rapat bulanan secara rutin untuk mengevaluasi produk dan transaksi bisnis bank dari aspek syariah.
41
Dalam rangka mendukung pelaksanaan manajemen risiko dalam kegiatan usaha diperlukan Pengurus dan Pejabat Bank yang memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang manajemen risiko. Bank Muamalat bekerja sama dengan Muamalat Institute menyelenggarakan pelatihan untuk persiapan ujian sertifikasi manajemen risiko. Seluruh jajaran pejabat Bank Muamalat secara bertahap wajib mengikuti Ujian Sertifikasi Manajemen Risiko (Level I, II, III, IV, dan V) yang diselenggarakan oleh Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR). Sampai dengan akhir tahun 2011, jumlah pengurus dan pejabat Bank Muamalat yang telah memperoleh sertifikasi manajemen risiko sesuai ketentuan dalam PBI No. 11/19/PBI/2009 mengenai sertifikasi manajemen risiko bagi pengurus dan pejabat bank bmum mencapai 866 peserta. Peningkatan kompetensi sumber daya insani di Divisi Manajemen Risiko dilakukan secara berkelanjutan untuk mengimbangi makin banyaknya risiko yang harus dikelola seiring dengan semakin kompleksnya kegiatan usaha Bank Muamalat. Untuk itu, Divisi Manajemen Risiko pada tahun 2011 antara lain menyelenggarakan Workshop Financing Analysis, serta mengikutsertakan personilnya untuk mengikuti berbagai pelatihan dengan topik-topik seperti Business Continuity Management, Managing Liquidity Risk and Stress Testing Simulation, dan Understanding Credit Risks Loan Product Towards Minimum Capital Charge Using PSAK 50/55, Power Plant, Program Cluster & Value Chain Industri Kelapa Sawit. Bank Muamalat juga secara bertahap dan berkesinambungan melakukan sosialisasi mengenai manajemen risiko ke seluruh satuan kerja operasional (risk taking unit) di lingkungan Bank Muamalat, sehingga diharapkan mampu memberikan output bagi tercapainya efektivitas penerapan manajemen risiko secara menyeluruh. Ke depan, rencana pengembangan Manajemen Risiko adalah untuk mewujudkan fungsi manajemen risiko secara terpadu dan komprehensif dalam seluruh proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian dari masing–masing jenis risiko. Rencana pengembangan tersebut antara lain mencakup:
42
1. Mengembangkan Risk Management Information System (RMIS); 2. Mengkaji-ulang pedoman manajemen risiko untuk disesuaikan dengan ketentuan terbaru Bank Indonesia; 3. Melakukan stress test secara berkala untuk menilai kecukupan modal Bank dalam menghadapi kejadian risiko
yang ekstrim dan berdampak
fundamental bagi Bank; 4. Melakukan evaluasi terhadap sistem pemeringkatan internal melalui Formulir Pemeringkatan Nasabah (FPN); 5. Berkoordinasi dengan Divisi Operasional dan Divisi Teknologi dalam menyusun konsep Business Continuity Management (BCM) untuk melindungi proses bisnis yang kritikal terhadap kegagalan baik akibat bencana alam maupun yang dibuat oleh manusia, dan hilangnya modal dalam kaitannya dengan ketidaktersediaan proses bisnis secara normal; 6. Mengkaji ulang metodologi profil risiko untuk disesuaikan dengan regulasi terbaru BI terkait Pedoman Manajemen Risiko untuk Bank Syariah. 2.5. Pengukuran Risiko Pembiayaan CreditRisk+ adalah suatu model pengukuran risiko portofolio pembiayaan atau lebih dikenal dengan unexpected loss. CreditRisk+ berasumsi bahwa probabilitas distribusi untuk sejumlah default dalam satu periode waktu yang mengikuti distribusi Poisson. CreditRisk+ berasumsi bahwa probability of default pembiayaan adalah independent, Dengan asumsi ini maka distribusi probability of default pembiayaan menyerupai distribusi Poisson (Allen, et al, 2003). Menurut Crouhy et.al. (2001), CreditRisk+ memfokuskan pada kondisi debitur tidak mampu membayar kewajibannya yang dibutuhkan untuk mengestimasi potensi risiko. Model ini membutuhkan data probability of default, exposure (nilai ekonomis klaim kepada debitur pada saat debitur default), dan recovery rate. Kelebihan metode ini adalah mudah diimplementasikan, sedangkan keterbatasan CreditRisk+ terletak pada asumsi yang mengabaikan risiko pasar, besar eksposur setiap debitur dianggap tetap, tidak sensitif terhadap perubahan suku bunga, mengabaikan migration risk (eksposur setiap debitur tetap dan tidak terpengaruh terhadap kemungkinan perubahan di masa mendatang).
43
2.5.1 Data Input Data input yang digunakan dalam Credit Suisse First Boston (CFSB, 1997) adalah sebagai berikut: 1. Credit Exposure, yang timbul dari transaksi yang dilakukan debitur. Model CreditRisk+ dapat mengatasi semua jenis instrumen yang terkait dengan credit exposure, termasuk bonds, loans, commitments, financial letter of credit dan derivativeexposure. Untuk beberapa jenis transaksi ini diperlukan pula adanya asumsi mengenai tingkat exposure pada saat terjadinya default. 2. Default
Rates,
merupakan
persentase
yang
menyatakan
besarnya
pembiayaan bermasalah. Pembiayaan bermasalah merupakan jumlah outstanding pembiayaan debitur yang masuk dalam kategori kolektibilitas kurang lancar, diragukan, dan macet. 3. Default Rates Volatility, adalah jumlah default rates dari rata-rata yang dapat ditunjukan dengan dengan volatility (standar deviasi) dari default rates. Nilai dari standar deviasi dari default rates dibandingkan dengan actual default rates, hal ini menunjukan adanya perubahan dalam kondisi ekonomi. 4. Recovery Rates, adalah kerugian yang ditanggung oleh bank pada saat debitur tidak dapat memenuhi kewajibanya untuk melakukan pembayaran atas pokok pinjaman dan margin keuntungan dikurangi dengan nilai recovery. Nilai recovery merupakan jumlah yang dapat diterima oleh bank atas pembiayaan yang telah dinyatakan default yang berupa penerimaan pelunasan pembiayaan yang default dan penjualan atas nilai barang agunan nasabah yang dijaminkan ke bank. 2.5.2 Frekuensi Default Menurut Crouhy et. al. (2001), distribusi Poisson besarnya mendekati distribusi sejumlah kejadian default. Dalam hal ini, diekspektasikan bahwa standar deviasi tingkat default disamakan dengan square of the mean, dimana λ adalah rata-rata tingkat default.
44
Excluding default Rate Volatility
Probability
Including default Rate Volatility
Number of Defaults
Gambar 5. Distribution of default events (Crouhy 2001) Distribusi Poisson diasumsikan standar mendekati distribusi nomor kejadian default. Harapan deviasi standar dari tingkat kegagalan menjadi kurang lebih sama dengan akar kuadrat dari mean atau λ, di mana λ adalah tingkat standar rata-rata default. Gambar 5. menunjukkan apa yang terjadi ketika kita menggabungkan asumsi ini. Distribusi default menjadi lebih miring dan membentuk "fat tail" ke sisi kanan gambar. Gambar 5. tersebut membandingkan default loss distribution yang dihitung berdasarkan default rate volatility dan tanpa default rate volatility. Titik perhatian grafik tersebut ada pada kedua default loss distribution yang memiliki expected losses yang sama. Selain itu, perbedaan yang terjadi adalah level of losses pada percentile yang lebih tinggi, misalnya untuk percentile 99 pada default rate yang bervariasi (volatility) akan memberikan pengaruh yang lebih tinggi secara signifikan. Dengan demikian akan memberikan kesempatan yang lebih memperhitungkan terjadinya extreme losses. Metode CreditRisk+ mengakomodasi default rate volatility yang dimasukan ke dalam model, yaitu dalam prosedur perhitungan untuk loss distribution dengan variable default rates (Hadrami, 2008). 2.5.3 Distribusi Poisson Levin (1998) menyebutkan bahwa distribusi Poisson merupakan distribusi yang digunakan untuk menggambarkan sejumlah proses kejadian. CreditRisk+ tidak mengasumsikan penyebab terjadinya default.
45
Kejadian default dianggap sebagai peristiwa yang tidak dapat ditentukan secara tepat kapan terjadinya dan berapa jumlahnya. Untuk mempermudah perhitungan dapat digunakan dengan memakai program Microsoft Excel dengan rumus: POISSON (n, λ, 0) untuk perhitungan Probability of Default dan POISSON (n, λ, 1) untuk Cumulative Probability of Default. Dengan menggunakan pola perhitungan seperti ini, maka nilai mean adalah nilai default yang memiliki Probability of Default yang terbesar. 2.5.4 Loss Given Default (Severity of Loss) Crouhy et. al. (2001) menyebutkan bahwa loss given default merupakan tingkat kerugian yang diakibatkan dari peristiwa default. “CreditRisk+ applies an actuarial science framework to the derivation of the loss distribution of a bond/loan portfolio. Only default risk is modeled; downgrade risk is ignored. Unlike the KMV approach to modeling default, there is no attempt to relate default risk to the capital structure of the firm. Also, no assumptions are made about the causes of default: an obligor A is either in default with probability PA, or it is not in default with probability 1 – PA.” “In CreditRisk+, the exposure for each obligor is adjusted by the anticipated recovery rate in order to calculate the "loss given default." These adjusted exposures are exogenous to the model, and are independent of market risk and downgrade risk.” Source: Risk Management, Crouhy et. al. (2001) CreditRisk+ merupakan ilmu aktuaria yang menderivasi distribusi kerugian dari portofolio obligasi/pinjaman. Hanya default risk yang dimodelkan, sedangkan downgrade risk diabaikan. Dalam CreditRisk+, loss given default diperoleh dari setiap ekposur pinjaman debitur yang akan diperhitungkan dengan menilai recovery rate. Eksposur tersebut bersifat exogenous yang independent terhadap tingkat risiko pasar dan risiko penurunan tingkat kualitas kredit. 2.5.5 Distribution of Default Losses Menurut Allen et. al. (2002), distribution of default losses diperoleh dari perkalian probability of default dengan loss given default. Untuk melakukan pengukuran risiko kredit dengan CreditRisk+ atas eksposur yang berupa portofolio, maka portofolio kredit dibagi menjadi beberapa kelompok/band.
46
2.5.6 Expected Loss Menurut Jorion (2005), expected loss adalah kerugian yang dapat diperkirakan akan terjadi. Perkiraan ini timbul berdasarkan data historis munculnya credit events. Untuk mengatasi kejadian expected loss bank telah melakukan pencadangan modal yang diperoleh dari pengenaan provisi kepada debitur dan dari Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). 2.5.7 Unexpected Loss Unexpected loss merupakan kerugian yang mungkin terjadi pada debitur tertentu yang diukur dengan mengambil nilai kerugian maksimum pada tingkat keyakinan yang dipilih, misalnya 95% berarti hanya ada 5% kemungkinan bahwa kerugian akan melebihi nilai unexpected loss dan unexpected loss ini dianggap sebagai ukuran VaR (Saunders, 2002). Sounders (2002) menjelaskan bahwa bila bank sudah memiliki unexpected loss maka bank harus segera meng–cover unexpected loss dengan modal bank. Unexpected loss dihitung dengan menggunakan nilai percentile yang dipilih berdasarkan pilihan proyeksi yang telah ditentukan sebelumnya, misalnya 95%. Untuk mengantisipasi unexpected loss yang mungkin timbul dalam suatu bisnis, diperlukan economic capital. 2.5.8 Economic capital Menurut Credit Suisse First Boston (CSFB, 1997), hasil akhir dari CreditRisk+ dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat economic capital required. Economic capital dapat digunakan untuk menutup risiko akibat unexpected loss. Unexpected loss dapat terjadi dalam kondisi normal dan tidak normal. Kondisi normal adalah keadaan dimana kerugian yang terjadi adalah di bawah rata-rata kerugian yang telah dicadangkan oleh bank. Dalam kondisi tidak normal jumlah kerugian yang terjadi lebih besar dari maksimum kerugian yang telah diperkirakan pada kondisi normal. Menurut Saunders (2002), economic capital adalah modal yang disiapkan dalam mengantisipasi berapa besarnya kerugian yang harus di-cover oleh bank.
47
2.5.9 Validasi dengan backtesting Backtesting adalah suatu model statistik di mana data diverifikasi apakah kondisi aktual sama dengan kondisi yang diproyeksikan. Pengukuran risiko dengan menggunakan internal rating base approach mengharuskan dilakukan pengujian backtesting dan validasi model secara rutin agar ketepatan pengukuran risiko tetap dapat dipertanggungjawabkan (Jorion, 2001). Menurut Jorion (2005), dalam pengukuran risiko dengan menggunakan internal rating base approach, Basel Committee mengharuskan untuk dilakukan pengujian backtesting dan validasi model harus dilaksanakan secara rutin agar ketepatan pengukuran risiko tetap dapat dipertanggungjawabkan, hal ini dilakukan agar dalam penggunaan metode pengukuran risiko dapat diketahui seberapa besar keakuratan suatu model yang dipakai dengan uji statistik. Metode Backtesting ini dilakukan dengan cara menghitung jumlah kesalahan (failure rate) yang terjadi dibandingkan dengan jumlah data. Apabila suatu model yang digunakan setelah dilakukan pengujian, ternyata keakuratan untuk mengukur risiko kredit tidak bisa digunakan maka manajemen perbankan harus menggunakan pendekatan metode yang lain untuk mengukur risiko yang lebih akurat. 2.6. Hasil Penelitian Terdahulu Referensi penelitian sebelumnya berasal dari tesis Rochman (2010) tentang pengukuran
risiko
pembiayaan
murabahah
pada
BNI Syariah
dengan
menggunakan pendekatan metode pengukuran CreditRisk+. Berdasarkan hasil backtesting dengan Loglikelihood Ratio Test dengan tingkat keyakinan sebesar 99%, metode CreditRisk+ ternyata cukup valid digunakan untuk mengukur risiko pembiayaan murabahah BNI Syariah. Referensi tesis lain yang menggunakan metode serupa adalah dari Rahardja (2009) dalam tesis yang berjudul “Analisis Pengukuran Risiko Kredit KPR Consumer Banking Bank X dengan Metode CreditRisk+” disimpulkan bahwa pengukuran risiko dengan CreditRisk+ dapat diterima dan valid dalam mengukur unexpected loss (VaR) untuk kredit KPR Bank X.
48
Perbedaan penelitian Rochman (2010) dan Rahardja (2009) terletak pada range pembiayaan yang dianalisis. Data yang digunakan Rochman (2010) berada pada maksimum range pembiayaan yang relatif kecil, yakni ratusan juta, sedangkan data yang digunakan oleh Rahardja (2009) mencapai maksimum range sekitar satu miliar. Pada penelitian skripsi ini, data yang digunakan oleh penulis adalah data asli dari BMI dengan maksimum range pembiayaan hingga tiga miliar rupiah.