125 IDENTIFIKASI ARENA AKSI, ATRIBUT KOMUNITAS DAN RULES IN USE UNTUK PENGEMBANGAN INSTITUSI Kajian kedua ini ditujukan untuk mengidentifikasi arena aksi dan faktorfaktor eksogen pada variabel atribut komunitas dan aturan yang digunakan (rules in use), yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau sehingga dari informasi tersebut bisa dikembangkan rancangan model institusi pengelolaan SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri, khususnya dalam kegiatan pengelolaan hutan dan kelembagaan untuk penerapan pengembangan insentif dari dana PES dalam kegiatan konservasi dan RHL, agar dapat dicapai performa pengelolaan SWP DAS Arau yang baik. Penggalian informasi akan difokuskan pada lokasi-lokasi yang secara teknis potensial untuk pengembangan kegiatan tersebut, sebagaimana yang telah dibahas pada Kajian 1, melalui penelaahan arena aksi dalam pengelolaan DAS, yang dibatasi pada pengelolaan kawasan lindung, khususnya pengelolaan hutan pada hulu DAS, meliputi insentif pengelolaan lahan, tingkat kesejahteraan masyarakat, pembiayaan konservasi dan RHL, kepastian hak dalam pengelolaan hutan, dan aksi kolektif dalam pengelolaan hutan, termasuk keterlibatan masyarakat dan peran para pihak dalam pengelolaan hutan; atribut komunitas; dan aturan yang digunakan dalam pengelolaan hutan/DAS, baik aturan formal maupun norma adat. Dari 5 (lima) kecamatan yang berbatasan dengan kawasan hutan yang merupakan kawasan resapan air pada SWP DAS Arau, maka untuk kajian kelembagaan ini dipilih satu lokasi pada daerah hulu setiap setiap DAS seperti disajikan pada Tabel 36. Berdasarkan wilayah komunitas masyarakat adat, maka ke tiga lokasi terpilih tersebut berada pada tiga wilayah ke-Nagari-an, yaitu (1) Nagari Koto Tangah; (2) Nagari Limau Manih; dan (3) Nagari Lubuk Kilangan, sehingga penggalian informasi kelembagaan adat difokuskan pada wilayah tiga Nagari tersebut. Dari rangkaian kegiatan penelitian, baik dari wawancara dengan Narasumber, hasil pengamatan dan data sekunder yang didapat maka hasilnya dipaparkan dalam narasi di bawah ini.
126 Tabel 36 Lokasi untuk kajian aspek kelembagaan No
Lokasi
Kelurahan
Nagari
Kecamatan
DAS
1
Indarung; Tarantang
Indarung dan Tarantang
Lubuk Kilangan
Lubuk Kilangan
Batang Arau
2
Lambung Bukit; Limau Manih Selatan
Limau Manih
Limau Manih
Pauh
Batang Kuranji
3
Batu Gadang; Air Dingin
Lubuk Minturun
Koto Tangah
Koto Tangah
Batang Air Dingin
Arena Aksi Pengelolaan Kawasan Lindung pada Hulu SWP DAS Arau Arena aksi dibatasi pada pengelolaan hutan di hulu SWP DAS Arau seperti disajikan pada Gambar 8. Kawasan lindung (KL) pada hulu SWP DAS Arau terdiri dari Hutan Suaka Alam, Hutan Lindung dan lahan masyarakat. Tutupan lahan KL pada hulu DAS didominasi oleh hutan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak belukar, pemukiman dan pada DAS Batang Arau terdapat lahan pertambangan dan industri. Dari hasil pengamatan lapangan, wawancara dan analisis data hasil survey (jumlah responden petani pemilik lahan pada kawasan lindung 120 orang, petugas instansi terkait 15 orang, swasta 5 orang, LSM 3 orang, tokoh adat 9 orang), serta data terkait lainnya, maka kondisi pengelolaan KL pada lokasi kajian disampaikan sebagai berikut.
Gambar 8 Arena Aksi Kehutanan pada SWP DAS Arau
127 Karakter yang menjadi perhatian dalam arena aksi untuk mengembangkan institusi pengelolaan DAS/hutan berkelanjutan adalah : (1) Aspek ruang, pengelolaan DAS dan kawasan hutan meliputi areal yang luas dalam konteks wilayah pengelolaan sehingga perlu kapasitas sumberdaya manusia
(SDM),
waktu
dan
dana
yang
besar
untuk
mengawasi
pengelolaannya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, saat ini, kapasitas pengawasan, pendanaan dan SDM dalam pengelolaan hutan pada SWP DAS Arau oleh Pemerintah Kota Padang masih lemah dan tidak memadai, hanya ada 15 (lima belas) orang tenaga polisi hutan untuk mengawasi hutan seluas hampir 30.000 hektar dengan fasilitas pendanaan yang terbatas, sehingga aliran manfaat hutan tidak terkontrol. Hal ini terlihat dengan adanya ladang-ladang masyarakat dalam kawasan hutan lindung (HL) dan hutan suaka alam dan wisata (HSAW) serta terus berlangsungnya penebangan liar dan pengambilan hasil hutan oleh masyarakat sekitar dan masyarakat dari luar. (2) Aspek waktu, kegiatan pengelolaan hutan berorientasi jangka panjang karena membutuhkan waktu yang lama untuk berproduksi dan mencapai break event point serta menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu harus ada insentif bagi pengelola untuk melaksanakan pengelolaan hutan berkelanjutan. Faktanya, saat ini, tidak ada insentif yang memadai bagi pemilik lahan kawasan lindung pada SWP DAS Arau untuk mengelola lahannya dengan tutupan hutan secara berkelanjutan. Responden menganggap pengelolaan lahan untuk usaha kehutanan tidak menguntungkan karena biaya transaksi yang tinggi dan prosedur perijinan yang rumit dalam pemanenan dan pemasaran hasil hutan kayu, sekalipun berasal dari lahan masyarakat, serta jangka waktu panen yang lama. Adanya kebijakan Walikota yang mengeluarkan himbauan (instruksi lisan kepada Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perkebunan (Distannakhutbun) Kota Padang) untuk tidak menerbitkan surat keterangan angkutan untuk kayu rakyat karena dikhawatirkan akan memicu perambahan HL, kontradiktif dengan upaya pengembangan hutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu yang kian meningkat.
128 (3) Aspek jaminan hak kepemilikan (tenure security) lahan kawasan hutan harus tinggi sehingga aliran manfaatnya terkontrol dan biaya penegakan hak rendah. Kepastian hak mendorong seseorang untuk meningkatkan sediaan (stock) barang modalnya karena adanya jaminan dan rasa aman untuk berinvestasi dalam jangka panjang. Faktanya, saat ini, pada kawasan lindung SWP DAS Arau terjadi konflik tumpang tindih kawasan hutan ulayat dan hutan negara karena
tidak diakuinya hak
ulayat
dalam
kawasan hutan
negara,
mengakibatkan biaya penegakan hak menjadi sangat tinggi, karena aliran manfaat hutan tidak dapat dikontrol akibat terbatasnya kemampuan pengawasan oleh pemerintah, sehingga hutan menjadi sumberdaya dengan akses terbuka karena hak kepemilikannya tidak terkukuhkan dengan jelas. Hal ini terlihat dengan terus berlangsungnya pemungutan hasil hutan dan adanya ladang-ladang masyarakat dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai HL karena menganggap itu tanah ulayat mereka. (4) Memerlukan aksi kolektif
tinggi karena merupakan sumber daya milik
bersama yang cenderung bersifat non excludable dan rivalry bila tidak ada kesepakatan bersama untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Faktanya, saat ini, tidak ada kesepakatan bersama antara para pihak yang berkepentingan dengan hutan (masyarakat nagari, pemerintah dan pemerintah Kota Padang) karena kawasan hutan dikelola pemerintah, yang dilaksanakan oleh Distannakhutbun pada kawasan HL dan oleh BKSDA pada kawasan HSAW, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya, tanpa melibatkan masyarakat secara nyata.
Sistem
perizinan
pemanfaatan hutan sangat
prosedural dan bertumpu pada kebijakan Walikota atau Menteri Kehutanan sebagai subjek pengelola hutan. Institusi adat atau nagari tidak dikenal lagi dalam subjek pemanfaatan hasil hutan, padahal hutan bagi masyarakat adat tidak hanya berfungsi ekonomis belaka, tapi juga memiliki fungsi lingkungan (pelindung dari bencana), fungsi sosial (pengikat kekerabatan kaum/suku) dan budaya (pengikat sako pusako, pengikat generasi).
129 Pengelolaan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Negara Kawasan lindung di luar kawasan hutan negara pada umumnya adalah lahan milik masyarakat terdiri dari tutupan hutan dan pertanian lahan kering (parak dan ladang) atau pertanian lahan kering campur semak. Pemilikan lahan pada KL di luar kawasan hutan negara umumnya adalah lahan komunal Nagari, Suku dan Kaum, sehingga sebagian besar pengelolaannya dilakukan berdasar aturan adat. Hutan bagi masyarakat ke tiga Nagari merupakan bagian dari ulayat yang dipandang tidak hanya sebagai kesatuan ekosistem yang bernilai ekonomis belaka, namun juga bernilai sosial dan kultural serta merupakan kawasan perlindungan terhadap bencana. Hutan merupakan warisan nenek moyang yang harus dijaga untuk
keberlangsungan
lingkungan
dan
pemenuhan
kebutuhan
hidup,
keberlangsungan tali kekerabatan (generasi berikutnya) dan menjadi simbol pengikat hubungan kekerabatan masyarakat Nagari. Secara adat istiadat Minangkabau, Nagari di sekitar hutan mempunyai hak kepemilikan terhadap hutan sebagai : 1) Ulayat hutan tinggi, yakni tanah terbuka yang tidak digarap, disebut tanah Nagari atau Hutan Nagari. Hutan ini yang disebut Hutan Larangan (Hutan Simpanan). Hutan Larangan tidak boleh ditebang karena berfungsi sebagai daerah perlindungan dan sumber air (pengatur air). Hutan Larangan inilah yang dijadikan Hutan Register atau sekarang merupakan HSAW (Hutan Konservasi); 2) Ulayat hutan rendah, yakni tanah yang digarap penduduk Nagari. Hutan ini disebut juga sebagai Hutan Cadangan. Hutan Cadangan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Nagari, dengan demikian kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan konservasi merupakan hutan cadangan masyarakat Nagari. Sehingga terjadi tumpang tindih kawasan hutan Negara pada hutan lindung dan hutan ulayat nagari. Konflik terjadi karena hutan ulayat rendah nagari (hutan cadangan) berdasarkan aturan adat dapat dimanfaatkan masyarakat nagari untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, sedangkan pada aturan formal hutan lindung dilarang pemanfaatannya tanpa ijin resmi dari pemerintah. Pemanfaatan hutan cadangan oleh masyarakat Nagari diutamakan bagi perluasan lahan pertanian dengan mempertimbangkan keberlangsungan dan
130 keseimbangan alam dan pemanfaatan komplementernya yaitu pemanfaatan hutan sebagai sumber mata pencaharian sampingan. Hutan cadangan juga berfungsi bagi Nagari sebagai cadangan perluasan wilayah pemukiman. Dengan kondisi hutan di Nagari yang berada pada wilayah perbukitan (tanah keras = lahan kering ulayat kareh)) atau wilayah dengan topografi agak curam sampai curam pada lokasi kajian, maka perluasan lahan pertanian terhadap
hutan atau pembukaan hutan untuk lahan pertanian hanya
dibolehkan untuk perladangan atau parak. Parak sendiri merupakan bentuk perladangan rakyat yang ditanami dengan berbagai macam tanaman keras seperti kayu meranti, medang, bayur, karet, pinang, kulit
manis, durian,
manggis, pala dan lainnya. Pola parak ini lazim ditemui bagi semua Nagari dalam wilayah penelitian. Pemanfaatan hutan cadangan tidak hanya bagi anggota komunitas Kaum dan Suku, namun juga dapat dilakukan oleh pihak lain di luar Kaum dan Suku sesuai dengan kesepakatan adat, yang bertujuan untuk menghindari lahan-lahan kosong yang tidak produktif. Penggunaan utama Hutan Cadangan oleh masyarakat Nagari dalam wilayah penelitian adalah sebagai hutan produksi (hutan yang boleh diambil hasil hutannya dengan memperhatikan kelestariannya), parak dan ladang. Pemanfaatan hutan secara langsung baik itu hasil hutan kayu maupun non kayu sebagai sumber mata pencaharian bukanlah hal yang utama. Pemanfataan hasil hutan oleh masyarakat merupakan mata pencaharian komplementer, sedangkan mata pencaharian utama adalah pertanian (sawah) dan berladang (tanaman palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau dan sayuran seperti terung, mentimun dan kacang panjang, dan lainnya). Pemanfaatan lahan untuk pertanian, perladangan dan pemungutan hasil hutan yang berada di atas tanah ulayat Kaum, Suku dan Nagari sepanjang untuk kebutuhan sendiri (keluarga, subsisten) bungo.
Namun,
dan
jika pemanfaatan
komersial (diperdagangkan dikenakan bungo.
untuk kepentingan Nagari tidak di
luar
tersebut
ditujukan
komunitas adat
dikenakan (bea)
untuk kepentingan
atau
Bungo dapat dikatakan sebagai semacam
Nagari) pajak
maka atas
pemanfaatan sumber daya alam di Nagari yang berdimensi kepentingan komersil (diperdagangkan), dan sebagai upaya masyarakat Nagari membatasi
131 eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Selain itu bungo merupakan bentuk kompensasi kepada masyarakat Nagari atas pemanfaatan sumberdaya alam yang diperniagakan, dan sebagian dananya dipergunakan untuk memulihkan sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan, kompensasi
sehingga
bungo
bukan
saja
bagi masyarakat Nagari, tetapi juga kompensasi bagi alam itu
sendiri. Dengan demikian bungo merupakan instrumen pengendali pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Bentuk-bentuk bungo yang pernah ada dalam pengelolaan hutan pada daerah penelitian meliputi: (1) bea tanaman pangan atau tanaman keras (bungo ampiang) bagi penggarapan hutan untuk ladang atau parak; (2) bea kayu (bungo rimbo/kayu) bagi pemungutan hasil hutan kayu; (3) bea tambang/emas (bungo ameh) bagi pemungutan hasil tambang dalam kawasan hutan ulayat, misalnya sejumlah dana yang dibayarkan oleh PT Semen Padang kepada masyarakat Nagari Lubuk Kilangan melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Lubuk Kilangan karena lokasi tambang batu kapurnya berada pada hutan ulayat Nagari Lubuk Kilangan. Namun sejak penetapan fungsi kawasan hutan, sebagian besar hutan cadangan Nagari telah ditetapkan sebagai hutan lindung yang dikelola oleh pemerintah melalui Dinas terkait. Masyarakat dilarang melakukan kegiatan perladangan dan pengambilan hasil hutan tanpa ijin dalam kawasan hutan lindung, sehingga saat ini instrument bungo sudah hampir tidak ada lagi dalam ketiga Nagari. Institusi adat tidak berperan lagi dalam pengelolaan hutan ulayat Nagari yang telah dijadikan hutan lindung. Kondisi ini menyebabkan tertutupnya akses masyarakat terhadap hutannya dan berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat sekitar hutan. Di sisi lain, karena tingkat pendapatan yang rendah, pengelolaan lahan masyarakat pada kawasan lindung SWP DAS Arau yang berada di luar kawasan hutan lindung, secara umum belum intensif karena banyak ladang atau parak yang tidak ditanami dengan baik karena kendala modal atau biaya untuk pengelolaan lahan, seperti untuk pembersihan lapangan, pembelian bibit, pemupukan dan pemeliharaan tanaman, sehingga hasil yang didapatkan dari pengelolaan lahan masih rendah. Bagi masyarakat yang cukup mampu, lahannya telah dikelola secara intensif dalam bentuk perkebunan (rakyat) yang ditanami dengan karet, kopi, coklat, kulit manis, pala, pinang dan lainnya.
132 Pengelolaan Kawasan Lindung pada Kawasan Hutan (Negara) Kawasan Lindung pada kawasan hutan (Negara) dalam wilayah kajian terdiri dari Hutan Konservasi (Kawasan Suaka Alam Barisan I, Kawasan Suaka Alam Arau Hilir dan Tahura Bung Hatta), dan Hutan Lindung, selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai kawasan hutan. Pengelolaan kawasan hutan dilakukan instansi pemerintah. Lembaga pengelola hutan pada Kawasan Suaka Alam adalah Balai KSDA Sumatera Barat; pada Hutan Lindung adalah Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan Kota Padang (Distannakhutbun Kota Padang); pada Tahura Bung Hatta adalah Badan Pelaksana Pengelola Tahura yang terdiri dari Distannakhutbun Kota Padang dan Dinas Pariwisata Kota Padang. Pengelolaan Kawasan Konservasi. Kawasan konservasi pada hutan Negara terdiri atas Kawasan Suaka Alam Barisan I, Kawasan Suaka Alam Arau Hilir dan Taman Hutan Raya Dr. M.Hatta. 1. Kawasan Suaka Alam Barisan I dan Arau Hilir Kawasan Suaka Alam (KSA) Barisan I dan Arau Hilir ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 623/Kpts/Um/8/82 tanggal 22 Agustus 1982. Pada awalnya, KSA Barisan I dan Arau Hilir merupakan hutan simpanan, yang menurut Gouvernement Besluit (GB) Nomor 6 tanggal 1 Juli 1921 dan Nomor 32 tanggal 31 Januari 1921, kelompok hutan ini ditetapkan menjadi Hutan Register (Dishut 2004). Hingga saat ini, status KSA Barisan I dan Arau Hilir masih penunjukan yang dalam konteks yuridis formil, belum memiliki kekuatan hukum yang kuat terutama dalam proses peradilan pelanggaran yang berkaitan dengan kawasan. Tata batas kawasan telah dilakukan pada tahun 1983-1986, namun masih ada sebagian yang belum temu gelang. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan adalah (a) kegiatan pengawetan dalam bentuk identifikasi potensi dan pengembangan habitat flora dan fauna; (b) perlindungan dan pengamanan kawasan dalam bentuk pemantauan, patroli rutin dan operasi-operasi, baik fungsional maupun gabungan, koordinasi dengan lembaga pemerintahan dan (kadang-kadang, dalam artian bila anggaran tersedia dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, DIPA) kalangan adat dengan melibatkan tokoh adat sebagai petugas pengamanan swakarsa; dan (c) pembi-
133 naan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan melalui penyuluhan, pemberian bantuan dan bimbingan teknis kepada masyarakat daerah penyangga untuk menanam lahan kosong dengan jenis tanaman MPTS guna merangsang usaha produktif masyarakat dan meningkatkan kesadaran untuk menjaga kawasan konservasi (BKSDA 2008). Untuk mengelola kawasan dengan baik maka diperlukan alokasi dana, sumberdaya manusia (SDM) dan sarana prasarana yang memadai, namun saat ini, biaya pengelolaan, sarana dan prasarana pendukung serta kuantitas dan kualitas SDM tersedia masih sangat kurang. Sehingga aktifitas pengelolaan kawasan masih minim sehingga keberadaan kawasan tidak terkelola dan tersosialisasikan dengan baik. Pengelolaan KSA Barisan I dan Arau Hilir masih mengalami berbagai kendala. Gangguan yang sering terjadi terhadap kawasan dalam bentuk penebangan liar, perambahan, pertambangan liar dan perburuan liar.
Penebangan liar
berdampak berkurangnya basal area, penutupan kanopi dan terganggunya regenerasi yang akhirnya akan mempengaruhi komposisi jenis dan perubahan kelimpahan relatif flora dan kelimpahan satwa yang hidup di dalamnya, sehingga merupakan ancaman bagi kelestarian dan keberadaan kawasan di masa mendatang serta timbulnya konflik satwa dan manusia, yang terlihat dengan pernah dijumpainya harimau masuk ke perkampungan penduduk karena habitat satwa terganggu. Saat ini kondisi kawasan pada bagian inti masih memiliki ekosistem relatif utuh dan asli. Sedangkan pada blok rimba yang pada umumnya merupakan daerah yang berbatasan dengan ladang masyarakat, memiliki tingkat kerusakan relatif tinggi karena adanya penebangan liar dan perambahan untuk perladangan, peningkatan aktifitas untuk perkebunan di beberapa lokasi yang berbatasan dengan kawasan ataupun daerah kawasan yang di klaim sebagai tanah ulayat dan atau daerah enclave di dalam kawasan (BKSDA 2008). Rendahnya apresiasi dan taraf perekonomian masyarakat sekitar kawasan sampai saat ini masih merupakan penyebab terjadinya penebangan liar dalam kawasan hutan.
134 2. Taman Hutan Raya Dr. Muhammad Hatta Taman Hutan Raya Dr. Mohammad Hatta atau yang dikenal dengan Tahura Bung Hatta berada di Kecamatan Lubuk Kilangan, ditetapkan berdasarkan Keppres Nomor 35 Tahun 1986, dengan luas 240 hektar. Kawasan ini sebelumnya merupakan lokasi Kebun Raya Setia Mulya sejak tahun 1955, di bawah pengelolaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Alam (LIPI). Tahun 1961 pengelolaan kawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat dan pada tahun 1981 pengelolaan diserahkan kepada Universitas Andalas. Sejak ditetapkan sebagai Tahura Bung Hatta, pengelolaannya dipegang oleh Pemerintah Daerah Propinsi yang secara teknis ditangani oleh Kantor Wilayah Kehutanan Sumatera Barat. Pada tanggal 31 Januari 1991 pengelolaan kawasan ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Padang, yang membentuk Badan Pelaksana Pengelolaan Tahura Bung Hatta, yang terdiri dari unsur Pemda Tingkat II Kota Madya Padang, Universitas Andalas dan Instansi terkait. Pengelolaan teknis Tahura dilakukan oleh Distannakhutbun Kota Padang, melalui Unit Pelaksana Teknis Tahura Bung Hatta, dengan organisasi setingkat Eselon IV. Untuk mendukung pengelolaan yang lestari perlu tersedia sarana dan prasarana yang memadai. Namun, kondisi sarana dan prasarana yang ada saat ini sangat memprihatinkan. Bangunan yang ada sudah banyak yang rusak karena sejak dibangun tahun 1986 tidak tersedia anggaran yang memadai untuk pengelolaannya. Sebagai contoh, pada tahun 2009, alokasi anggaran untuk pengelolaan Tahura pada Distannakhutbun Kota Padang hanya sebesar Rp 66.000.000.-. (enam puluh enam juta rupiah). Keutuhan kawasan juga mulai terganggu ditandai dengan mulai banyaknya tutupan lahan berupa semak belukar. Oleh karena itu, aktifitas pengelolaan kawasan Tahura Bung Hatta sangat minim sehingga keberadaan kawasan tidak terkelola dengan baik.
135 Pengelolaan
Hutan
Lindung.
Kawasan
Hutan
Lindung ditunjuk
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 422/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Dati I Sumatera Barat, dengan luas wilayah hutan lindung pada SWP DAS Arau sekitar 7.644 hektar. Hutan Lindung masih berstatus penataan batas kawasan hutan dan belum ditetapkan. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan adalah: (a) perlindungan dan pengamanan kawasan dalam bentuk pemantauan, patroli rutin dan operasi-operasi, baik fungsional maupun gabungan, koordinasi dengan lembaga pemerintahan dan kalangan adat dengan melibatkan tokoh adat sebagai petugas pengamanan swakarsa untuk menjaga keutuhan kawasan hutan lindung; (b) rehabilitasi hutan dalam bentuk pembuatan tanaman reboisasi dan pemeliharaannya pada lahan kritis dalam kawasan hutan lindung. Sejak tahun 2002 telah dilakukan kegiatan reboisasi lahan kritis seluas 500 hektar; dan (c) pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan melalui penyuluhan, pemberian bantuan dan bimbingan teknis bagi masyarakat menanam lahan kosong dengan tanaman MPTS guna merangsang usaha produktif dan meningkatkan kesadaran untuk menjaga kawasan hutan lindung. Untuk mengelola hutan lindung dengan baik maka diperlukan alokasi dana, SDM dan sarana prasarana yang memadai, namun, biaya pengelolaan, sarana, prasarana, kuantitas dan kualitas SDM tersedia masih sangat kurang. Oleh karena itu, aktifitas pengelolaan kawasan masih terbatas sehingga keberadaan kawasan tidak terkelola dan tersosialisasikan dengan baik. Pengelolaan Hutan Lindung pada SWP DAS Arau masih mengalami berbagai kendala. Gangguan yang sering terjadi terhadap kawasan dalam bentuk penebangan liar, perambahan hutan untuk ladang dan pertambangan liar, yang menyebabkan degradasi tutupan hutan menjadi pertanian lahan kering dan semak belukar, sehingga mengancam kelestariannya.
Menurut Distannakhutbun Kota
Padang, (2009), luas kerusakan hutan Kota Padang selama tahun 2009 adalah 514 hektar yang disebabkan oleh kebakaran hutan 12 hektar, ladangan berpindah 122 hektar, penebangan liar 30 hektar dan perambahan hutan 350 hektar.
136 Peran Para Pihak dalam Pengelolaan Kawasan Lindung Pengelolaan kawasan lindung menyangkut berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak pihak. Para pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan lindung adalah pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan dan patut diperhitungkan dalam pengelolaan kawasan lindung, terdiri dari pemerintah, masyarakat dan swasta. Peran para pihak dijabarkan dalam fungsi, tugas atau kewajiban, wewenang atau hak, tanggungjawab dan tanggung gugat. Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pemerintah berkewajiban : (a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; (c) meningkatkan daya dukung DAS; (d) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan (e) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Undang-Undang tersebut juga menyatakan semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan tersebut memberi wewenang kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Namun penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dengan demikian perlu digarisbawahi bahwa pengurusan dan pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariaan hutan. Untuk mempermudah pengurusan hutan, maka hutan
137 dikelompokkan atas unit-unit pengelolaan melalui penetapan wilayah pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Selanjutnya UU Nomor 41 Tahun 1999 juga mengatur pemanfaatan hutan dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung ditambah dengan pemungutan hasil hutan kayu pada hutan produksi. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan hutan dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, yang dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS), badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD). Pemegang izin berkewajiban menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, serta dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap BUMN/D/S Indonesia yang memperoleh izin diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. Sedangkan pemanfaatan hutan hak dan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Secara lebih rinci, Undang-Undang Kehutanan menyatakan setiap orang dilarang : (a) merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan; (b) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (c) merambah kawasan hutan; (d) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan 500 meter dari tepi waduk atau danau; 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 meter dari kiri kanan tepi su-
138 ngai; 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai; (e) membakar hutan; (f) menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (g) menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (h) melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (i) mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (j) menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; (k) membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan, menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (l) membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan (m) mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Dalam pelaksanaan rehabilitasi dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM), pihak lain atau pemerintah.
139 Dalam Undang-undang Kehutanan juga dinyatakan masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selain itu masyarakat berhak atau dapat : (a) memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; (c) memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan (d) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Di sisi lain, masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan. Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
140 Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Demikian juga, dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan. Bagi para pihak yang dengan sengaja melanggar ketentuan diancam dengan pidana penjara dan denda dan semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran dirampas untuk Negara. Sedangkan bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang barang rampasan. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa, dengan catatan penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana. Dengan demikian sesuai amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, Pemerintah berfungsi sebagai regulator, fasilitator, mediator dan penyandang dana untuk pembiayaan kegiatan pengelolaan hutan pada kawasan lindung, yang direpresentasikan oleh instansi-instansi sektoral Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan kawasan lindung. Pemerintah mempunyai kewenangan sebagai pemegang otoritas kebijakan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan. Sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten / Kota instansi teknis terkait di dalamnya berperan sebagai koordinator / fasilitator / regulator / supervisor penyelenggaraan pengelolaan kawasan lindung sesuai skala wilayah administrasi dan memberi pertimbangan teknis penyusunan rencana kawasan serta dapat berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Lembaga Pemerintah yang dapat berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan ka-
141 wasan lindung antara lain: Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertanian, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen Kesehatan dan Kementerian negara Lingkungan Hidup (KLH). Departemen
Kehutanan
terutama
berperan
dalam
penatagunaan
hutan,
pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi kawasan lindung. Departemen Pekerjaan Umum berperan dalam pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang. Departemen Dalam Negeri berperan dalam pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah. Departemen Pertanian berperan dalam pembinaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pertanian dan irigasi. Departemen ESDM berperan dalam pengaturan air tanah, reklamasi kawasan tambang. Departemen Perikanan dan Kelautan berperan dalam pengelolaan sumberdaya perairan, sedangkan KLH dan Departemen Kesehatan berperan dalam pengendalian kualitas lingkungan. Masyarakat dapat dipilah atas masyarakat sekitar kawasan dan organisasi kemasyarakatan atau LSM dan Perguruan Tinggi. Masyarakat sekitar kawasan berfungsi sebagai pelaku utama kegiatan pengelolaan kawasan, baik sebagai pelaku usaha kecil dan menengah, tenaga kerja ataupun mitra kerja. LSM dan Perguruan Tinggi berfungsi sebagai pendamping pengelolaan kawasan (management trainne) dan penyedia ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan pihak swasta atau dunia usaha berfungsi sebagai investor, kreditor atau pemberi hibah dalam pengelolaan kawasan lindung. Faktanya, dalam pengelolaan kawasan lindung pada SWP DAS Arau, Pemerintah memiliki peran yang sangat dominan. Institusi pengelola hutan dipegang oleh pemerintah melalui Distannakhutbun Kota Padang pada Hutan Lindung dan Tahura Bung Hatta, serta Balai KSDA Sumbar pada KSA Barisan I dan Arau Hilir, yang berwenang melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan, perlindungan, pengamanan dan mengeluarkan ijin pemanfaatan kawasan dan hasil hutan. Instansi terkait lainnya adalah Dinas Tata Ruang Kota Padang, yang berperan dalam penetapan peruntukan ruang dan pengendalian penggunaan ruang, Dinas Pariwisata Kota Padang sebagai instansi pengelola objek wisata alam yang terdapat dalam kawasan lindung serta Bapedalda Kota Padang yang berperan dalam pengendalian dampak lingkungan dalam pengelolaan kawasan lindung.
142 Masyarakat meliputi masyarakat pemilik lahan pada kawasan lindung, lembaga adat yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Perguruan Tinggi. Dalam pengelolaan kawasan hutan masyarakat umumnya berperan dalam kegiatan reboisasi sebagai tenaga kerja atau pekerja proyek. Masyarakat sekitar hutan dan Lembaga adat seperti KAN belum dilibatkan dalam penyusunan program pengelolaan dan pembangunan kehutanan pada kawasan konservasi dan hutan lindung. Kadangkadang tokoh adat dilibatkan sebagai tenaga pengaman swakarsa, namun masih insidentil, bila alokasi anggaran untuk pengamanan swakarsa tersedia dalam dokumen anggaran (DIPA). LSM kadang-kadang dilibatkan sebagai mitra dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi atau sebagai pendamping masyarakat (kelompok kerja) dalam pelaksanaan kegiatan reboisasi. Belum ada ijin pemanfaatan kawasan hutan yang diberikan kepada masyarakat. Pihak swasta yang terkait dengan pengelolaan kawasan lindung meliputi perusahaan pengada bibit dan konsultan pelaksana reboisasi, pengusaha pengguna air seperti PDAM, PT Semen Padang dan pengusaha pertambangan. Peran swasta dalam pengelolaan kawasan hutan adalah sebagai rekanan pemerintah dalam pengadaan bibit untuk kegiatan reboisasi atau bila ditunjuk oleh pemerintah sebagai pelaksana kegiatan reboisasi dalam kawasan hutan. Ijin pemanfaatan kawasan hutan lindung pada SWP DAS Arau telah diberikan kepada PT Semen Padang untuk kegiatan pertambangan. Sedangkan ijin untuk pemanfaatan hasil hutan lainnya belum ada, namun aktivitas pemanfaatan, misalnya pemanfaatan air oleh perusahaan yang berbasis air masih terus berlangsung. Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, pengelolaan lahan dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Bantuan pemerintah dalam pengelolaan lahan milik untuk kegiatan rehabilitasi lahan kritis, misalnya dalam pemberian insentif untuk mendorong masyarakat melakukan kegiatan RHL pada lahan milik dalam bentuk kegiatan hutan rakyat ataupun penghijauan lingkungan, sifatnya masih terbatas dan insidentil.
Namun, program dan kegiatan yang dimaksudkan sebagai
insentif dirancang dan dijalankan secara top down, bersifat seragam karena telah tertuang dalam dokumen anggaran, tanpa memperhatikan kebutuhan riil di lapangan. Misalnya, kegiatan pembuatan Kebun Bibit Rakyat yang dilaksanakan
143 pada tahun 2010 di Kota Padang tidak melalui perencanaan yang partisipatif, namun bersifat top down dan seragam sehingga hasil yang diharapkan tidak optimal. Pengelolaan kawasan lindung, terutama pada hutan negara lebih dominan mengedepankan peran Pemerintah dan terkadang diwarnai pengaruh dunia usaha serta belum melibatkan masyarakat secara nyata, sesuai amanat Undang-undang Kehutanan. Dalam perkembangannya dominasi peran Pemerintah ini juga diiringi oleh kebijakan yang secara sadar atau tidak, ternyata mengakibatkan terpinggirkannya peran masyarakat. Kalaupun masyarakat tetap terlibat, ia lebih hanya sebagai objek dari suatu kebijakan. Pengelolaan kawasan lindung pada SWP DAS Arau, terpola menjadi suatu sistem dimana Pemerintah meluncurkan berbagai proyek atau program, dan masyarakat melaksanakannya, dengan membentuk kelompok-kelompok pelaksana berupa kelompok kerja atau kelompok tani. Pola seperti ini walaupun ternyata tidak mampu memberikan hasil yang optimal, namun masih tetap berjalan hingga saat ini. Untuk mewujudkan amanat UU nomor 41 Tahun 1999, yaitu pengelolaan hutan pada kawasan lindung yang bertujuan memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat dan menjaga hutan tetap lestari, maka pengelolaan kawasan lindung pada SWP DAS Arau sebagai sumberdaya milik bersama (CPR) harus mempertimbangkan prinsip dasar penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya milik bersama (CPR), yaitu mekanisme penyusunannya dilakukan dengan pengambilan keputusan bersama para pihak terkait atau dilakukan secara partisipatif, mulai dari analisis hingga perumusan rencana. Begitu pula pada kegiatan-kegiatan selanjutnya yaitu pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian hasilhasilnya. Pada wilayah kawasan lindung SWP DAS Arau terdapat banyak pihak dengan masing-masing kepentingan, kewenangan, bidang tugas dan tanggung jawab yang berbeda, sehingga tidak mungkin dikoordinasikan dan dikendalikan dalam satu garis komando Distannakhutbun Kota Padang ataupun Balai KSDA Sumatera Barat. Oleh karena itu harus dikembangkan koordinasi berdasarkan hubungan fungsi melalui pendekatan keterpaduan. Sementara itu, untuk memelihara partisipasi para pihak guna menjaga agar pengelolaan tetap efektif, dapat dilakukan dengan membentuk wadah koordinasi, misalnya berupa forum koordinasi, asosiasi pengelola kawasan lindung atau lembaga sejenis lainnya.
144 Lembaga yang dibentuk harus merepresentasikan para pihak (stakeholders) yang ada, baik dari unsur pemerintah, masyarakat dan swasta. Di antara para pihak yang terlibat harus dikembangkan prinsip saling mempercayai, keterbukaan, tanggung jawab, dan saling membutuhkan. Dengan demikian dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung pada hulu SWP DAS Arau ada kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap pihak (siapa, mengerjakan apa, bilamana, dimana, dan bagaimana). Batas satuan wilayah unit pengelolaan hutan tidak selalu bertepatan dengan batas unit administrasi pemerintahan, sehingga koordinasi dan integrasi antar tingkat pemerintahan, instansi sektoral dan pihak terkait lainnya menjadi sangat penting. Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para pihak, harus dibangun komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Lembaga komunikasi para pihak diarahkan sebagai organisasi yang bersifat independen dan berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah kawasan lindung seperti konflik kepentingan antar pengguna serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama sehingga konflik kepentingan bisa diminimalkan. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan Masyarakat pemilik lahan kawasan lindung pada SWP DAS Arau, sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Petani pemilik lahan di daerah hulu SWP DAS Arau menggunakan lahannya untuk perladangan atau parak, dengan rata-rata pemilikan lahan 1 - 2 hektar per orang (n=120) dan tingkat penghasilan dari hasil usaha tani lahan kering yang rendah, rata-rata kurang dari Rp 500.000,perbulan. Hal ini terjadi karena banyak ladang atau parak yang tidak ditanami dengan baik karena kendala modal (biaya pembersihan lahan, pembelian bibit, pemupukan dan pemeliharaan) ataupun karena pemilikan lahan yang sempit. Sebagian pemilik lahan di daerah hulu tersebut, umumnya adalah juga petani sawah atau buruh tani sawah. Namun, rata-rata pendapatan dari hasil sawah juga rendah, rata-rata kurang dari 1 juta per bulan. Hal ini terjadi karena kecilnya kepemilikan lahan sawah setiap petani karena makin terbatasnya lahan sawah.
145 Pemilikan lahan yang sempit terjadi karena adanya lahan sawah yang telah dialihfungsikan menjadi pemukiman dan peruntukan lainnya atau semakin bertambahnya anggota keluarga sehingga harus dibagi-bagi, akibatnya bagian setiap orang semakin kecil. Dari data yang dihimpun (n = 120 orang), rata-rata satu orang petani sawah hanya memiliki lahan 0,3 hektar sampai dengan 0,5 hektar, sehingga dari analisa ekonomi usaha tani, luasan sawah yang digarap menjadi tidak ideal dan tidak menguntungkan karena tingginya biaya tetap dalam proses produksi. Idealnya seorang petani sawah, harus memiliki lahan minimal satu hektar sehingga layak dan menguntungkan untuk diusahakan secara ekonomi. Pada saat sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, masyarakat yang berpendapatan rendah karena kekurangan lahan dapat memperluas lahan pertaniannya atau menggarap lahan ulayat atau memungut hasil hutan pada hutan cadangan untuk menambah penghasilan rumah tangga. Namun setelah ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan lindung, hal tersebut tidak bisa dilakukan lagi karena adanya aturan negara yang melarang pemungutan hasil hutan tanpa ijin dan pembukaan lahan pada kawasan hutan lindung. Berdasarkan wawancara dengan Distannakhutbun Padang, pada kawasan hutan lindung Kota Padang belum pernah diterbitkan ijin untuk pemanfaatan hasil hutan non kayu walaupun potensinya memungkinkan karena adanya kekhawatiran bila diberikan ijin pemungutan hasil hutan maka hutan akan semakin rusak karena penerima ijin akan cenderung menggunakan ijin yang diberikan untuk merambah hutan, sedangkan Distannakhutbun Kota Padang tidak punya kemampuan yang cukup untuk mengawasi pelaksanaan ijin yang diberikan karena terbatasnya SDM, sarana dan prasarana yang ada9. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagian petani pemilik lahan tersebut terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan membuka warung kecil-kecilan yang dikelola oleh anggota keluarga yang lain, menjadi buruh, mengumpulkan batu dan pasir dari sungai, menjadi pemulung sampah pada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah pada DAS Batang Air Dingin, mencari kayu bakar dan hasil hutan non kayu pada kawasan hutan tanpa ijin atau bahkan 9
Wawancara dengan Bapak Wardimu S.Sos, Kepala Bidang Kehutanan pada Distannakhutbun Kota Padang; Bapal Abdul Muthalib, S.Hut, Kepala Seksi Peredaran Hasil Hutan; dan Rembrant, S.Hut, M.Si, Kepala Seksi Intag pada Distannakhutbun Kota Padang.
146 ada responden yang mengaku menjadi orang upahan untuk menebang kayu atau menjadi penarik kayu yang ditebang secara liar dari hutan lindung yang dimodali oleh para cukong dari luar lokasi tersebut, dengan upah yang cukup menggiurkan, walaupun mereka sadar hal tersebut melanggar aturan Pemerintah.
Menurut
pengakuan mereka, upah menebang kayu satu M3 besarnya Rp 300.000,-. dan upah menarik kayu dari hutan ke pinggir jalan tempat truk pembawa kayu (biasanya jauhnya 2 – 3 km) sebesar Rp 350.000,-. per batang, dan penghasilan ini bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat sekitar kawasan lindung dan karena tekanan kebutuhan hidup cenderung memicu terjadi perambahan terhadap hutan lindung. Dengan demikian, sesuai dengan yang disampaikan Darusman dan Widada (2004) kerusakan kawasan lindung akan berkaitan dengan kemampuan kawasan lindung memberikan manfaat (ekonomi) bagi masyarakat sekitar. Bila pengelolaan kawasan lindung tidak mampu memberikan manfaat (ekonomi) yang memadai bagi masyarakat sekitar sehingga kondisi ekonomi masyarakat marjinal, maka akan menjadi pemicu terjadinya perambahan hutan, karena masyarakat sering „tidak punya banyak‟ pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Atribut Komunitas pada SWP DAS Arau Berdasarkan perspektif sosiologis, kajian mengenai pengelolaan sumber daya alam dalam DAS atau lingkungan hidup secara umum, secara garis besar adalah kajian tentang bagaimana masyarakat mempengaruhi lingkungan hidup dan sebaliknya bagaimana lingkungan hidup mempengaruhi masyarakat. Pembicaraan sosiologis tentang lingkungan hidup bisa dipahami dari berbagai pintu, salah satu pintu pemahaman sosiologis terhadap lingkungan hidup adalah pemahaman aktor lingkungan hidup. Banyak aktor berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada SWP DAS Arau. Kesemua aktor yang terlibat tersebut dapat digabungkan ke dalam 3 kelompok, yaitu masyarakat, negara, dan dunia usaha (Ostrom 2008). Masyarakat merupakan kelompok orang yang membentuk jaringan interaksi atau hubungan sosial yang terpola.
Sebagai suatu sistem interaksi, setiap
masyarakat memiliki kebudayaan. Sebaliknya, setiap kebudayaan yang hidup atau
147 ada memiliki para pengembannya, yaitu masyarakat. Oleh karena itu, antara masyarakat dan kebudayaan ibarat koin mata uang bersisi dua. Kebudayaan yang melekat pada suatu masyarakat merupakan atribut masyarakat tersebut. Aktifitas manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup dapat berupa aktifitas kebudayaan. Kebudayaan memberikan individu seperangkat pemahaman umum tentang sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan kita. Kebudayaan memberikan tuntunan dan arahan bagaimana kita berpikir, merasa, bertindak, dan berperilaku. Berkenaan dengan hal ini, kebudayaan bisa menjadi tuntunan dan arahan bagaimana individu berhubungan dengan lingkungan hidup secara baik dan berkesinambungan seperti pemanfaatan dan pelestarian alam. Ide atau aktifitas budaya yang berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan hidup yang baik, lestari dan berkesinambungan dikenal dengan konsep kearifan lokal (local wisdom). Pada kebanyakan masyarakat lokal ditemukan berbagai macam kearifan (lokal). Dengan kearifan tersebut masyarakat lokal memiliki tuntunan dan arahan bagaimana mereka berpikir, merasa, bertindak, dan berperilaku dalam beradaptasi dengan, menggunakan dan sekaligus melestarikan lingkungan hidup. Kearifan tersebut bukan muncul seketika tetapi melalui proses konstruksi sosial antara kelompok manusia (masyarakat) dan lingkungan hidup. Pengalaman masa lampau berupa ide, perasaan, dan tindakan kelompok manusia (masyarakat) yang berhubungan dengan lingkungan hidup telah teruji berulangkali. Pengalaman masa lampau tersebut mengalami proses objektifikasi, yaitu proses di mana kelompok manusia menciptakan suatu pengalaman tersebut menjadi sesuatu yang objektif, sesuatu yang berada di luar sana. Proses objektifitas mengalami dialektika dengan proses internalisasi, yaitu proses di mana pengalaman objektif yang berada di luar sana tersebut mengalami transformasi internal ke dalam diri individu yang ada dalam kelompok melalui sosialisasi. Masyarakat pada Nagari Koto Tangah, Limau Manih dan Lubuk Kilangan sebagai bagian masyarakat Minangkabau, memiliki karakter dan kondisi sosial budaya yang tentunya berbeda dengan masyarakat adat lainnya. Beberapa atribut komunitas pada masyarakat ketiga Nagari tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
148 Asal-Usul Masyarakat Adat pada SWP DAS Arau.
Daerah
Minangkabau secara geografis dapat dibagi dalam dua lingkungan wilayah yaitu : 1. Wilayah Inti Minangkabau, yang oleh orang Minangkabau disebut daerah dataran (darek), yang terdiri dari tiga (tigo) Luhak, yang disebut Luhak Nan Tigo yaitu Luhak Agam, Tanah Data dan Luhak Limo Puluah Koto. Dalam pengertian geografis administratif sekarang Luhak itu setara dengan Kabupaten. Luhak merupakan federasi longgar dari Nagari-nagari. 2. Wilayah Pengembangan atau Rantau.
Pengertian rantau menurut asalnya
berlaku bagi pertemuan sungai dengan laut. Kemudian berlaku untuk daerah di luar tempat asal. Dalam pengertian Minangkabau, Rantau berarti daerah Minangkabau yang berada diluar Luhak Nan Tigo. Pada hakikatnya Rantau adalah daerah perluasan ke tiga Luhak dalam usaha menampung perkembangan anggotanya, terdiri dari : a) Rantau Luhak Agam meliputi dari pesisir barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman b) Rantau Luhak Limo Puluah Koto meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan dan Rokan Kiri dan Rokan Kanan. c) Rantau Luhak Tanah Data meliputi Kubang Tigo Baleh, Pesisir Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. Berdasarkan uraian di atas maka daerah Kota Padang, sesungguhnya merupakan daerah Rantau Minangkabau yakni Rantau Luhak Tanah Data. Berdasarkan asal usulnya penduduk pada ketiga Nagari dalam wilayah penelitian datang melalui perbukitan, menurut informasi dari Narasumber, orang-orang tersebut berasal dari daerah Solok (Saning Baka untuk Nagari Koto Tangah dan Limau Manih; dan Muaro Labuah untuk Nagari Lubuak Kilangan). Seperti komunitas lainnya di Minangkabau, garis keturunan masyarakat pada ke tiga Nagari menganut sistem matrilineal, yaitu masyarakat yang susunan pertalian darahnya ditarik menurut garis keturunan ibu. Di Minangkabau selama ini berlaku adagium: “Women reign but not rule”, artinya wanita memiliki singgasana dan harta pusaka, tetapi tidak berkuasa dalam mengatur masyarakat. Yang berkuasa tetap adalah laki-laki, yang diwakili oleh Ninik-mamak, Alim-
149 ulama dan Cerdik-Pandai itu. Sejauh ini tidak seorangpun wanita Minang yang jadi Kepala Kaum, Kepala Suku ataupun jadi Ninik-mamak.
Luhak 50 Kota
Gunung Sago Wilayah Inti Minangkabau
Danau Maninjau Luhak Agam Gunung Singgalang
Luhak Tanah Data
Gunung Merapi
Patalian
Padang
Danau Singkarak
Wilayah Pengembangan = Rantau
Gambar 9 Wilayah inti Minangkabau dan wilayah pengembangannya Struktur Adat. Adat Minangkabau bersendikan pada Hukum Adat berdasarkan syara‟/syariat, syara berdasarkan Kitabullah/Al-Qur‟an (Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK)). Hukum tersebut dikompilasikan dalam empat tingkatan adat10 atau tata peraturan perundangan, yaitu :
10
Wawancara dengan Dr. Yuzirwan Rasyid Datuak Gajah Nan Tongga, Ketua IV Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat.
150 1. Adat Nan Sabana Adat Adat nan sabana adat adalah Kaedah Alam, sifatnya sudah “given“ tidak berubah sepanjang waktu disebut tidak akan lekang karena panas dan tidak akan lapuk karena hujan (indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan). Inilah yang disebut “Sunnatullah“ yaitu ketentuan Allah Pencipta Alam Semesta, dalam filsafat ilmu disebut “fenomena alam“.
Dipakai sebagai
timbangan yang asli (cupak usali) karena begitulah sifat alam (manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah, api, angin) diciptakan Allah SWT. Sifat ini tidak akan berubah, dalam tubuh makhluk dibawa oleh “gen“ yang berupa struktur RNA dan DNA (tidak sama di setiap individu). Cupak usali dalam bahasa hukum adalah yurisprudensi yaitu pedoman untuk “memepat“ (atau menara) cupak buatan (hukum yang dibuat manusia). Inilah yang dikenal dengan istilah “alam takambang jadi guru“ dalam bahasa filsafat ilmu disebut “analogi“. Adat nan sabana adat itu dijadikan pedoman dalam penyusunan tata cara dan peraturan yang dipakai sebagai pengatur kehidupan manusia di dunia.
Pengungkapannya dilafalkan dalam pahatan kato (kalimat pendek
yang luas maknanya), itulah “kato dahulu“, nilainya berada pada domain Adat Nan Terdadat. 2. Adat Nan Terdadat Adat nan terdadat adalah dokrin terhadap cupak buatan yang telah dipepat (ditara) dengan cupak usali, dipakai sebagai hukum pokok untuk membuat hukum-hukum lebih lanjut, yang menyangkut interaksi manusia dengan manusia dan interaksi manusia dengan alam sekitarnya.
Interaksi manusia
dengan manusia adalah; bentuk dan susunan masyarakat, dalam aspek : ekonomi, sosial, budaya, dan politik, termasuk hak dan kewajiban, serta tata kelola pemerintahan.
Interaksi manusia dengan alam sekitarnya adalah
bagaimana manusia memperoleh manfaat dari sumberdaya alam tanpa merusak sumberdaya alam itu sendiri, atau bagaimana pembangunan dilakukan berkelanjutan. Adat nan terdadat merupakan kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan. Kebiasaan yang menjadi peraturan ini mulanya dirumuskan oleh Ninik-mamak pemangku adat dalam suatu negeri untuk mewujudkan aturan
151 pokok yang disebut adat yang diadatkan, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu Adat yang terdadat ini dapat berbeda antara satu Nagari dengan Nagari lain menurut keadaan, waktu dan kebutuhan anggotanya. Pengungkapannya dilafalkan dalam pahatan kato (kalimat bersambung yang dalam maknanya), yaitu “kato kudian“, disebut juga dengan “petatah-petitih“ inilah yang disebut dengan “adat sa batang panjang”. 3. Adat Istiadat Adat istiadat adalah cara tentang bagaimana menerapkan cupak buatan yang telah dipepat atau bagaimana cara menerapkan adat nan terdadat secara konsekuen (bertanggung jawab dan bertanggung gugat). Adat istiadat ini tidak berlaku secara umum dan lebih terbatas lingkungannya. Di berbagai Nagari berbeda-beda coraknya, inilah yang disebut dengan “adat sa lingka nagari“ (adat selingkaran/sebatas Nagari). Inilah yang berubah mengikuti kemajuan yang disebut dengan “peradaban“, nilainya berada pada domain syariat. Pengungkapannya dilafatkan dalam pahatan kato (yaitu ungkapan kalimat bersambung yang dalam maknanya), dalam petatah-petitih, disebut “kato ba cari“ berlaku dimana Nagari yang memakainya, ada yang sama dan ada yang tidak, namun nilai hakekat dan nilai makrifatnya sama. 4. Adat Nan Diadatkan Adat nan diadatkan adalah cara tentang bagaimana para penghulu mengundangkan adat istiadat itu dalam Nagari, sehingga ia menjadi keputusan yang mempunyai hukum tetap dan menjadi acuan dalam tata kemasyarakatan di Nagari, mungkin sekarang bisa disebut “peraturan nagari“. Pengungkapannya dilafatkan dalam “pahatan kato “(yaitu ungkapan kalimat bersambung yang dalam maknanya) berupa petatah-petitih yang disebut “kato mufakat“, nilainya berada pada domain tarekat, berlaku dimana Nagari yang memakainya, ada yang sama dan ada yang tidak, namun nilai hakekat dan nilai makrifatnya tidak berubah. Keempat tingkatan adat itu dalam penggunaan sehari-hari dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu: (1) adat, yang tersimpul di dalamnya Adat nan sabana adat dan Adat nan diadatkan; dan (2) istiadat, yang tersimpul didalamnya Adat yang
152 teradat dan Adat istiadat dalam arti sempit. Keseluruhannya menyimpulkan kata “adat istiadat Minangkabau”. Dalam hubungannya dengan pengertian adat dan hukum adat, walaupun keduanya sangat tipis perbedaannya, dua kelompok pertama yang disebut adat, mempunyai daya mengikat dan dijalankan oleh badan yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat, dapat disebut hukum adat. Sedangkan kelompok kedua yang banyak bersifat tuntunan tingkah laku yang baik, tidak dapat disebut hukum, disetarakan dengan tuntunan moral atau etika. Adat Minangkabau dapat menyesuaikan diri dengan suatu perubahan yang terjadi. Namun ada bagianbagian adat yang mengalami perubahan dan ada pula yang tidak mengalami perubahan. Adat nan sabana adat, yaitu ketentuan yang berlaku dalam alam kodrat Illahi dan Adat nan diadatkan yang dirumuskan berdasarkan Adat nan sabana adat, termasuk kepada adat yang tidak mungkin mengalami perubahan, sebagaimana tidak berubahnya Kodrat dan Wahyu Allah. Adapun adat yang dapat mengalami perubahan ialah Adat nan terdadat dan Adat istiadat karena keduanya dirumuskan oleh Ninik mamak pemuka adat sesuai dengan tempat dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, adat seperti ini dapat berbeda dalam Nagari yang satu dengan Nagari lainnya. Karena sifatnya yang tidak tertulis, adat ini dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan masyarakat. Pemeliharaan terhadap adat itu adalah dengan selalu dipakai dan diamalkan. Dengan adanya bagian adat itu yang tidak mengalami perubahan dan ada pula yang terus mengalami perkembangan masyarakat, maka sifat adat Minangkabau disebut tetap dan berubah. Keseluruhan hukum adat Minangkabau tergambar dalam empat macam undang-undang (Undang-Undang Nan Ampek), yaitu : 1. Undang-undang Luhak dan Rantau Mengatur tugas dan wewenang Raja dan Penghulu di tempat masing-masing. 2. Undang-undang Nagari Yaitu ketentuan yang mengatur susunan masyarakat dalam Nagari, syarat terjadinya Nagari dan kelengkapan suatu Nagari.
153 3. Undang-undang dalam Nagari Disebut juga Undang-undang Isi Nagari yaitu ketentuan yang mengatur hubungan anak Nagari dan sesamanya, tentang pandangan hidup atau falsafah, etika dan moral. Undang-undang ini mencakup bidang perdata, pidana dan bidang ekonomi. 4. Undang-undang nan duo puluah Yaitu ketentuan menyangkut berbagai bentuk kejahatan yang harus dihindarkan oleh seseorang dengan sanksi tertentu, bukti terjadinya kejahatankejahatan serta cara pembuktian atau undang-undang tentang hukum pidana (Naim 1990). Undang-undang ini terbagi dua yaitu delapan mengenai hukum materil dan dua belas lainnya menyangkut cara pembuktian. Saat ini pelaksanaan Undang-undang nan ampek pada lokasi kajian yang terkait dengan urusan adat masih dijalankan dalam komunitas masyarakat adat di bawah pengawasan Penghulu yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN), sedangkan untuk urusan pemerintahan Negara, aturan Undang-undang nan ampek tidak berlaku, yang berlaku adalah aturan formal perundang-undangan Negara RI karena adanya pemisahan pemerintah Negara dan urusan adat. Susunan Masyarakat Adat11. Komunitas masyarakat terkecil dalam suatu Nagari adalah komunitas Kaum. Kaum adalah gabungan dari pada saudara sedarah (paruik) yang berasal dari satu Nenek. Setiap Kaum dipimpin oleh Penghulu Kaum. Kumpulan beberapa Kaum yang mempunyai pertalian darah menurut garis ibu membentuk komunitas Suku yang mendiami sebuah kampung (Kampuang). Suku sama sekali tidak terikat pada suatu daerah tertentu. Dimana anggota Suku itu berada mereka akan tetap merasakan pertalian darah dengan segenap rasa persaudaraan se-Suku. Setiap Suku dipimpin oleh seorang Penghulu Suku. Mengingat begitu pentingnya tugas seorang penghulu sebagai pemimpin dalam suatu suku, seorang Penghulu Suku dipersyaratkan haruslah seorang lakilaki dewasa yang berilmu luas, baik dalam pengetahuan adat maupun pengetahuan umum, adil, arif dan bijaksana serta sabar. Pada mulanya suku di Minangkabau berjumlah empat suku yaitu Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Kemudian sesuai
11
Wawancara dengan Bapak Syafii Datuak Basa, Ninik Mamak Suku Guci Nagari Koto Tangah
154 perkembangan zaman dan bertambahnya penduduk maka suku di Minangkabau berjumlah lebih kurang 96 suku diantaranya suku Tanjung, Jambak, Koto, Sikumbang, Guci, Sako dan lain-lain. Setiap orang Minangkabau mempunyai suku. Dalam adat Minangkabau orang yang satu suku umumnya dilarang untuk menikah karena dianggap mempunyai satu keturunan genelogis yang sama. Kumpulan beberapa Suku yang menempati suatu wilayah tertentu membentuk komunitas Nagari.
Lingkungan itu baru sah disebut Nagari bila
terdapat empat Suku yang berbeda, sehingga di dalam suatu Nagari dijumpai sedikitnya empat Suku. Nagari dipimpin oleh seorang Kepala Nagari (Wali Nagari). Setiap Nagari mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai rakyat sebagai anggota masyarakat dan kekayaan sendiri dalam bentuk tanah ulayat Nagari serta mempunyai pimpinan sendiri.
Demikianlah, pada setiap tingkatan komunitas
terdapat pimpinan dengan gelar adat dan peran masing-masing, mulai dari penyelesaian masalah, penyelarasan dan keharmonisan rumah tangga hingga keurusan penyelesaian permasalahan Nagari baik untuk ke luar maupun ke dalam.
Unit Geneologis
Unit Kewilayahan
Paruik
Taratak
Kaum
Dusun
Suku
Kampuang
Konfederasi Suku Nagari Gambar 10 Bagan susunan masyarakat adat Minangkabau Dahulunya penyebutan Suku berarti juga sebutan untuk sebuah Kampuang, karena satu Kampuang didiami oleh satu Suku, baik dalam pengertian administrasi maupun sosial, budaya dan politik. Namun seiring dengan perjalanan waktu, terjadi pergeseran, dimana satu Kampuang tidak lagi hanya didiami oleh
155 satu Suku tetapi oleh banyak Suku. Menurut Narasumber, perubahan ini terjadi sejak kejadian bergolaknya peristiwa PRRI dan G 30 September 1965. Pada dua kejadian tersebut masyarakat banyak kehilangan harta benda baik dalam bentuk terbakarnya rumah maupun habisnya harta materi (uang), sehingga bermula dari situlah masyarakat mulai menggadaikan dan menjual tanah ulayat Kaum kepada Suku lain atau kepada orang di luar Nagari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perkembangan suatu komunitas pemukiman menjadi Nagari melalui empat tahapan yang dikenal juga dengan empat jenis nagari (nagari nan ampek), yaitu : 1. Taratak adalah tempat perladangan dan permukiman sederhana terpencil dari kampung, muncul akibat pembukaan lahan di bukit-bukit atau hutan. Taratak dipimpin oleh seorang Ketua (Tuo), belum mempunyai Penghulu dan rumahnya belum boleh bergonjong. Warga Taratak masih mempunyai hubungan dengan keluarga dari kampung asal, dan masih memakai Penghulu dari kampung asal, pertalian dengan kampung asal masih utuh. Setelah “taratak” makin berkembang maka taratak membentuk “dusun”. 2. Dusun merupakan pemukiman yang telah banyak penduduknya dan telah mempunyai tempat peribadatan seperti mushalla (Surau). Biasanya Dusun mempunyai sekurang-kurangnya tiga Suku dan dapat mendirikan rumah gadang dengan dua gonjong, tetapi belum memiliki Penghulu. Dusun dipimpin oleh Tuo Dusun. Dusun boleh mengadakan kenduri perkawinan, tetapi belum memiliki hak untuk melaksanakan acara pemotongan ternak (besar) sendiri (hak bantai). Perkembangan selanjutnya dari “dusun” adalah “koto”. 3. Koto yaitu pemukiman yang mempunyai hak dan kewajiban seperti Nagari, dipimpin oleh Penghulu, tetapi balairungnya tidak mempunyai dinding. Koto kemudian berkembang menjadi Nagari. 4. Nagari merupakan pemukiman yang telah mempunyai kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurang-kurangnya oleh empat suku dengan Penghulu Pucuk atau Penghulu Tua sebagai pemimpin pemerintahan nagari. Begitulah proses terbentuknya Nagari. Nagari merupakan kesatuan sosial utama yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Nagari merupakan suatu kesatuan hukum adat yang otonom (adat salingka nagari), republik mini
156 dengan teritorial yang jelas bagi anggotanya, mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai adat sendiri yang mengatur tata kehidupan anggotanya.
Sungai Hutan Larangan
Kapalo Koto
Hutan Cadangan Lahan kebun (Parak)
Daerah
KOTO
Inti Nagari
Perkampungan (Hunian)
Lahan usahatani sawah
Uma Koto
Gambar 11 Pembagian wilayah sebuah Koto
Struktur Pemerintahan Adat. Struktur pemerintahan Nagari berbentuk Kelarasan, yaitu stelsel tata pemerintahan Nagari tradisional yang dibagi atas tiga bentuk yaitu ; (1) Bodi-Chaniago dengan karakteristik demokratis; (2) KotoPiliang dengan karakteristik aristokrat, dan; (3) Lareh Nan Panjang dengan karakteristik campuran antara Bodi-Chaniago dan Koto-Piliang. Struktur adat pada masing-masing kelarasan dapat diuraikan sebagai berikut :
157 (1) Kelarasan Adat Bodi Caniago Kelarasan Bodi Chaniago mengikuti susunan Datuk Parpatih Nan Sabatang, aturannya lebih bersifat demokratis. Segala sesuatu yang dilaksanakan datang dari anak kemenakan (anggota komunitas) dan dimusyawarahkan secara bersama. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama dalam musyawarah ini. Dikenal dengan sistem kesetaraan, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi (duduak baiyo, bajalan bamolah). (2) Kelarasan Adat Koto Piliang Kelarasan Koto Piliang mengikuti susunan Datuk Katumanggungan. Segala sesuatu yang dilaksanakan datang dari atas Penghulu Pucuk. Penghulu Pucuk sebelumnya bermusyawarah dengan Penghulu Suku, kalau sudah sepakat baru dilaksanakan oleh anak kemenakan (anggota komunitas). Dikenal dengan model pengambilan keputusan secara bertingkat, naik dan turun secara berjenjang (bajanjang naik, batanggo turun), artinya pengambilan dan pelaksanaan keputusan dalam adat mempunyai jenjang dan tingkatan, sehingga memiliki karakter aristokrat. Struktur kepemimpinan adat dari tingkatan terendah hingga tertinggi dalam suatu Nagari pada Kelarasan Koto Piliang adalah sebagai berikut: a) Panghulu Kaum. Panghulu Kaum adalah pemimpin suatu Kaum, dan disebut juga dengan Ninik-mamak suatu Kaum.
Panghulu Kaum dipilih melalui musyawarah
anggota kaumnya, dan berperan dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga anak, cucu dan kemenakan dalam kaumnya. b) Panghulu Andiko. Panghulu Andiko merupakan Panghulu Kaum yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan Tuo Kampung untuk urusan ke dalam (Suku/Kaum) seperti untuk pelaksanaan setiap keputusan atau sistem adat yang berlaku serta pelaksanaan teknis dalam berbagai acara adat. c) Tuo Kampuang Tuo Kampuang adalah para Ninik-mamak (kumpulan Panghulu Kaum) yang berjumlah dua belas orang dalam setiap Suku. Dalam menjalankan tugas para
158 Datuak (gelar untuk penghulu) yang duduk di dalam Tuo Kampung lebih menekankan musyawarah di tingkatan kaum/sukunya masing-masing d) Bungo Satangkai Jabatan ini hanya dijabat oleh seorang Datuak dalam Tuo Kampung dengan fungsi sebagai penyambung lidah (hasil musyawarah) para Tuo Kampung dalam lembaga permusyawaratan adat (Kerapatan Adat) kepada pemimpin yang lebih tinggi (Panghulu Pucuak). e) Kapalo Suku Kapalo Suku atau Penghulu Suku merupakan pimpinan adat tertinggi dalam satu Suku. Untuk satu gelar Kapalo Suku harus mempunyai dua belas Tuo Kampung.
Kapalo Suku bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan
berbagai permasalahan maupun dalam mengawal keberadaan anggota kaumnya. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah internal Suku dapat diputuskan sendiri oleh Kapalo Suku. Sedangkan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan eksternal Suku dilakukan melalui musyawarah dengan anggota kaumnya. Penghulu Suku mempunyai wewenang untuk membagi ulayat kepada seluruh anggota yang termasuk satu suku, dan pada tingkatan Nagari para Penghulu Suku berkumpul dalam Kerapatan Nagari (pemerintahan Nagari) yang kemudian melembaga menjadi Kerapatan Adat Nagari. Dalam melaksanakan tugasnya, Para Penghulu Suku dibantu oleh empat jenis lembaga (Ampek Jiniah), terdiri atas Manti, Alimulama, Dubalang dan Pandito, yang merupakan unsur yang membantu pelaksanaan roda pemerintahan dalam adat, seperti Manti untuk administrasi pemerintahan adat, Dubalang untuk menjaga keamanan dan Alim-ulama (Malin) yang mengurusi masalah keagamaan. Dalam struktur kelembagaan adat ada yang memiliki Tungganai yaitu orang yang dituakan pada suatu kaum sebagai Mamak Kepala Waris dan secara langsung berkaitan atau berurusan dengan anak kemanakannya. f) Panghulu Pucuak Panghulu Pucuak adalah orang yang pertama memancang hutan (membuka hutan), sehingga garis keturunannya berhak sebagai Panghulu Pucuak. Kelembagaan Panghulu Pucuak lebih berfungsi sebagai tempat bertanya
159 bagi permasalahan-permasalahan Nagari, dan pendapatnya dianggap sebagai rujukan di Nagari. Panghulu Pucuak berfungsi sebagai media musyawarah para Ninik-Mamak dalam sebuah Nagari yang sebelumnya mendapat masukan dari Bungo Satangkai yang diutus oleh hasil musyawarah para Tuo Kampung. g) Pucuak Adat Merupakan jenjang kepenghuluan (kepemimpinan) yang paling tinggi. Pucuak Adat merupakan orang atau pemangku gelar adat yang menguasai tanah ulayat dalam sebuah Nagari. Demikianlah, aturan adat telah mengatur tata pemerintahan Nagari, termasuk aturan perwakilan dan batas yurisdiksi setiap kelompok komunitas dalam Nagari. Sarana Komunikasi.
Beberapa sarana komunikasi dalam keseharian
masyarakat sebagai sarana masyarakat berinteraksi dalam berbagai urusan dalam suatu Nagari dan harus dimiliki oleh setiap Kaum atau Suku antara lain : a) Struktur Adat. Struktur adat bukan hanya dilihat sebagai jenjang kekuasaan, tetapi juga merupakan media penyebaran informasi berbagai kesepakatan Ninik-mamak maupun kebijakan-kebijakan adat dan berbagai urusan kehidupan yang nantinya berlaku untuk anak, cucu dan kemanakan. b) Rumah Adat. Disebut juga Rumah Gadang merupakan tempat berkumpul untuk membicarakan berbagai permasalahan Kaum atau Suku. Hasil pembicaraan di tingkat Kaum ini, nantinya dilanjutkan pada pembicaraan di tingkat Ninik-mamak (pemangku adat) yang dilaksanakan di Balai Adat. Pengaturan penggunaan lahan pada sekeliling Rumah Gadang sebagai tempat tinggal masyarakat ditata sedemikian apik. Tanah yang ada di sekeliling Rumah Gadang luasnya minimal seperempat hektar. Di halaman muka ada halaman tempat bermain, ada tambatan kuda, tempat cuci kaki, dan tanaman bunga. Juga terdapat lumbung padi 2 sampai 3 lumbung yang mempunyai fungsi berbeda, untuk penyimpanan kebutuhan keluarga penghuni rumah gadang, untuk „dagang lalu‟ (keperluan sosial), untuk fakir miskin atau lainnya. Di samping rumah ada tanaman obat-obatan, buah-buahan, kolam ikan. Di belakang rumah ada tanaman sayuran sebagai sumber pangan se-isi Rumah Gadang dan masyarakat sekelilingnya. Pembangunan fasilitas umum
160 dan Rumah Gadang dilakukan secara gotong royong yang membuktikan kehidupan sosial yang tinggi. c) Tabuah Larangan. Merupakan sebuah alat komunikasi yang terpusat pada satu Kaum, Suku dan atau Nagari. Untuk tingkatan suku kerap juga dipakai aguang, cagak, badia dan tabuah. Tabuah larangan tidak bisa di bunyikan sembarangan saja, tapi sesuai dengan aturan yang disepakati dalam adat. d) Surau.
Surau merupakan tempat penempaan ilmu dan beladiri bagi
masyarakat yang mempunyai peranan dan posisi penting. Metode pendidikan Surau terbukti mampu menghasilkan manusia-manusia kritis dan berwawasan tinggi sekaligus memiliki pemahaman agama yang mumpuni. Hal ini dimungkinkan karena berbagai bidang ilmu diajarkan di Surau. Di Surau diajarkan ilmu pemerintahan dan politik dengan mengajarkan tatanan adat dan sistem ber-Nagari. Ilmu pertanian diajarkan dengan membawa anak-anak Surau langsung turun ke sawah dan ladang. Ilmu perdagangan diperoleh dengan banyak berdiskusi langsung dengan para pedagang yang sering pergipulang dengan pedati zaman itu. Pendidikan agama diajarkan secara lengkap, antara lain mengaji, tulis baca Al-quran, kitab kuning, pendidikan moral, akhlak, sopan santun dengan empat jenis perkataan (kato nan ampek). Di samping itu Surau juga menjadi tempat penggemblengan fisik dan mental dengan olah raga sepak rago dan silat (Silek). Selain sebagai seni beladiri, Silek juga bisa berfungsi sebagai sarana mempererat silaturahmi. Hak Penguasaan dan Pemilikan Tanah (Lahan) di Minangkabau Dilihat dari faktor geneologis penguasaan dan kepemilikan tanah di Minangkabau dapat digolongkan atas dua yaitu : (a) Tanah Pusako Tinggi dan; (b) Tanah Pusako Randah. Tanah Pusako Tinggi. Tanah Pusako Tinggi adalah hak milik bersama pada suatu Kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari Nenek Moyang terdahulu. Inilah yang disebut dengan Tanah Ulayat Kaum. Semua anggota Kaum berhak atas tanah itu, yang berhak mewarisi tidak pernah putus, dan selalu dilakukan secara turun-temurun dari saudara laki-laki ibu
161 (Mamak) kepada Kemenakan. Tanah ini berada di bawah pengelolaan Mamak Kepala Waris (lelaki tertua dalam Kaum) dan dipelihara oleh Penghulu. Tanah Pusako Tinggi tidak boleh dijual, yang boleh hanya digadaikan. Gadai hanya dapat dilakukan atas kesepakatan anggota Kaum sebagai pemilik tanah Pusako Tinggi yang bersangkutan. Tanah ulayat sebagai harta pusaka tinggi, yang tidak boleh dipindahtangankan selama-lamanya sangat terkait dengan fungsi tanah bagi Kaum di Minangkabau. Tanah Pusako Tinggi berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kepentingan bersama anggota Kaum, karena kehidupan masyarakat yang agraris yang bersandar pada hasil pertanian, sehingga keberadaan lahan sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup Kaum dan Suku di Minangkabau. Tanah ulayat kaum bisa saja dimiliki oleh Suku atau Nagari apabila diperlukan untuk kepentingan Suku atau Nagari. Dengan demikian, tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan atas : (1) Tanah Ulayat Kaum, berada di bawah pengawasan Penghulu Kaum; (2) Tanah Ulayat Suku, berada di bawah pengawasan Penghulu Suku, dan; (3) Tanah Ulayat Nagari, berada di bawah pengawasan Penghulupenghulu yang bernaung dalam Kerapatan Adat Nagari. Seiring dengan perkembangan zaman, maka hidup dengan mengandalkan hasil tanah ulayat tidak memungkinkan lagi bagi masyarakat kaum adat karena tanah yang dimiliki tidak mengalami peningkatan, sedangkan jumlah anggota kaum semakin berkembang. Hal ini menyebabkan adanya keinginan yang berseberangan dalam anggota kaum. Sebagian anggota kaum menginginkan tetap berpegang teguh pada adat dengan tidak membagi-bagi tanah ulayat tapi mencari alternatif lain dalam pemecahan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti pergi merantau atau berdagang, sedangkan sebahagian lagi menginginkan tanah ulayat yang ada dibagi-bagi, sehingga ada tanah ulayat Kaum yang sudah dibagi-bagi kepada anak kemenakan.
Dengan kondisi ini, dikhawatirkan akhirnya tanah
ulayat sebagai milik komunal bisa habis, digantikan oleh pemilikan pribadi. Hal ini juga terjadi pada ke tiga Nagari kajian, sebagian tanah ulayat kaum sudah dibagi-bagi, sehingga telah terjadi fragmentasi lahan dan penguasaan lahan per keluarga semakin kecil. Walaupun kebanyakan belum bersertifikat secara terpisah, namun masih dalam bentuk sertifikat bersama atas nama Penghulu Kaum
162 atau Suku, namun penguasaan secara pribadi diakui dan diwariskan turun temurun. Hal ini sesuai dengan teori evolusi hak kepemilikan (property right) yang dikemukakan oleh Kasper dan Streit (1998) bahwa tanah ulayat yang awalnya merupakan milik komunal (common good or public good) akan berevolusi menjadi kepemilikan pribadi (private property) karena adanya kelangkaan lahan (scarcity), bertambahnya jumlah anggota komunitas (groups grew) dan peningkatan kapasitas investasi pada lahan tersebut. Tanah Pusako Randah. Harta Pusako Randah adalah harta (tanah) yang didapat dari pewarisan harta pencaharian suami istri dalam rumah tangga atau harta yang didapat dari hasil usaha dan mengolah tanah kosong yang dilakukan oleh orang tua atau Mamak. Harta pusaka rendah adalah warisan yang ditinggalkan oleh seseorang pada generasi pertama, karena ahli warisnya masih sedikit itulah statusnya masih dipandang rendah. Ahli waris dapat melakukan kesepakatan bersama untuk memanfaatkannya, baik dijual atau dibagi di antara mereka. Harta pusako randahlah yang nantinya bisa menjadi tanah milik pribadi dan kebanyakan lahan yang termasuk harta pusako randah telah bersertifikat. Pada umumnya semasa yang punya harta hidup, harta pencaharian itu telah dihibahkan kepada anak-anaknya yang apabila orang tua meninggal, anak-anak tersebutlah yang menjadi pewarisnya. Harta yang termasuk kelompok ini adalah harta yang baru mengalami pewarisan di bawah tiga tingkatan generasi. Tetapi apabila semua ahli waris tetap menjaga keutuhannya tanpa dijual atau dibagi-bagi, lalu pada waktunya diwariskan kepada generasi berikut secara terus menerus hingga melewati tiga generasi, maka ia beralih menjadi harta pusaka tinggi. Tanah Ulayat Kepemilikan dan Penguasaan Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat. Tak sejengkalpun tanah di bumi Minangkabau yang tidak bertuan. Hal ini menggambarkan bahwa seperti apapun kondisi tanah atau jenis tutupan lahan tetap ada yang memiliki, mulai dari puncak gunung, bukit, lembah sungai, hingga pesisir pantai telah ada pemiliknya. Pada dasarnya pola pemilikan tanah menurut adat Minangkabau tidaklah bersifat individual, melainkan milik komunal yaitu milik Kaum, Suku dan Nagari. Tanah milik komunal ini disebut tanah ulayat, dan
163 diwarisi secara turun-temurun, dari Nenek Moyang diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan utuh, tidak terbagi-bagi dan tidak boleh dibagi-bagi. Sebagaimana dalam falsafah adat menyatakan : Birik-birik tabang ka samak (Birik-birik (burung) terbang ke semak) Dari samak tabang ka halaman (Dari semak terbang ke halaman) Hinggok di tanah bato (Hinggap di tanah bata) Dari Niniak turun ka Mamak (Dari Nenek turun kepada Mamak) Dari Mamak turun ka Kamanakan (Dari Mamak turun ke Kemenakan) Pusako baitu juo (Pusaka tetap begitu adanya; tidak berubah) Regenerasi atau proses pewarisan tanah, didasarkan atas sistem kemasyarakatan yang berpolakan menurut garis keturunan ibu (matrilineal) yaitu dari saudara lakilaki ibu (Mamak) kepada Kemenakan. Tanah ulayat berfungsi untuk memenuhi segala kebutuhan anak kemenakan (anggota komunitas Kaum), baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Konsekuensinya adalah bahwa tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan dan atau digadaikan, tetapi anggota komunitas dapat memetik hasilnya. Hal ini sesuai dengan falsafah adat yang menyatakan segala hasil tanah ulayat baik dalam bentuk air dan buah-buahan dapat diminum atau dimakan namun tidak boleh digadaikan (aianyo buliah diminum, buahnyo buliah dimakan; dijual indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando; airnya boleh diminum, buahnya boleh dimakan, apabila dijual tidak (boleh) dibeli, apabila digadaikan tidak (boleh) diterima). Deskripsi ini menegaskan bahwa kepemilikan dan penguasaan tanah ulayat di Minangkabau bersifat ”kolektif”, sehingga tidak mungkin ada pengalihan hak atas tanah. Hal ini didasarkan atas keyakinan bahwa tanah merupakan lembaga pengikat batin sesama komunitas masyarakat adat, dan sekaligus sebagai asset mereka. Jika mereka tidak mempunyai tanah ulayat lagi, maka runtuh atau hilanglah keutuhan masyarakat adat tersebut. Tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan atas : (a) Tanah Ulayat Kaum, berada di bawah pengawasan Penghulu Kaum; (b) Tanah Ulayat Suku, berada di bawah pengawasan Penghulu Suku, dan; (c) Tanah Ulayat Nagari, berada di bawah pengawasan Penghulu dalam Kerapatan Adat Nagari.
164 (1) Tanah Ulayat Kaum Tanah Ulayat Kaum adalah tanah-tanah yang dikelola oleh Kaum secara bersama, dan merupakan harta pusaka tinggi yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan anggota kaum, terutama untuk memenuhi ekonominya. Tanah ulayat kaum yang dimiliki secaral komunal itu merupakan harta simpanan yang sudah jelas peruntukannya (ganggam bauntuak), artinya diberikan haknya kepada anggota kaum untuk mengelola atau memungut hasilnya, sedangkan hak milik tetap atas nama Kaum tersebut. Pengawasan dan penguasaan terhadap tanah ulayat Kaum dilakukan oleh Penghulu Kepala Kaum dan pengelolaannya digunakan untuk kemakmuran semua anggota Kaum. Penghulu Kepala Kaum hanya sekedar menguasai dan mengatur, bukan memiliki. Penggunaan tanah ulayat kaum dibagi menjadi dua bagian besar yang pertama adalah untuk perkampungan dan kedua untuk pertanian. Sekiranya ada permasalahan di tingkat Kaum, yang memerlukan biaya maka tanah ulayat Kaum tidak bisa dijual, namun hanya bisa digadaikan saja.
Hal yang memungkinkan
untuk menggadaikan tanah ulayat kaum
disebabkan oleh empat hal yang dikenal dengan sabab nan ampek, yaitu : a) Kerusakan pada Rumah Gadang (Rumah Gadang Katirisan) Bila terjadi kerusakan pada rumah gadang dan tidak ada dana untuk memperbaikinya, maka hal ini tidak boleh dibiarkan saja. perbaikannya
dapat
diambilkan
dari
dana
yang
diperoleh
Biaya dari
menggadaikan tanah ulayat kaum. Bila hal ini terjadi maka Ninik-mamak lengkap dengan kaumnya melalukan musyawarah dalam memutuskan tanah yanag mana dan kepada siapa akan di gadaikan untuk menutupi biaya perbaikan rumah gadang tersebut. b) Ada anggota komunitas yang meninggal (Mayik Tabujua di Tangah Rumah) Bila ada anggota kaum yang meninggal, dan sekiranya kaum tersebut tidak mempunyai biaya dalam hal melakukan proses penguburan maka tanah ulayat kaum bisa digadaikan untuk menutupi biaya tersebut.
165 c) Upacara Adat Pemberian Gelar Penghulu (Mambangkik Batang Tarandam/Batagak Panghulu) Upacara pengangkatan penghulu atau pemberian gelar adat kepada Penghulu (Datuak) atau Batagak Panghulu, biasanya dilakukan secara meriah dan membutuhkan biaya yang besar. Biayanya dapat diambilkan dari penggadaian tanah ulayat kaum.
Proses penggadaian dilakukan
melalui musyawarah anggota kaum dan hasil dari penggadaian tersebut hanya
boleh
digunakan
untuk
melaksanakan
rangkaian
proses
pengangkatan gelar salah seorang anggota Kaum, mulai dari musyawarah awal hingga kenduri pengangkatan gelar. d) Anak Gadis yang belum bersuami (Gadih Gadang Indak Balaki) Sekiranya terdapat pada Kaum tersebut anak gadis yang seharusnya telah cukup umur namun belum punya suami dan terkendala karena tidak punya biaya yang mencukupi maka Kaum melakukan kesepakatan untuk menggadaikan tanah ulayat untuk membiayai si gadis tersebut. Dalam proses penggadaian tanah ulayat ada berapa hal yang harus diperhatikan. Penerima atau pemegang gadai harus diutamakan orang se kampung. Bila tidak ada orang sekampung yang ingin menerima gadai, maka digadaikan pada orang dalam Nagari, dan bila tidak ada orang dalam Nagari yang ingin menerima gadainya maka baru digadaikan kepada orang di luar Nagari tersebut. Artinya dalam melakukan penggadaian tanah ulayat, kaum yang akan melakukan gadai tidak bisa langsung menggadaikan pada orang luar tetapi harus menawarkan kepada orang terdekat terlebih dahulu. Selain itu, proses gadai harus diketahui oleh semua warga Suku atau Kaum serta tetangga dari tanah yang di gadai tersebut agar tidak menimbulkan konflik di kemudian harikarena ada pameo yang telah melekat di masyarakat mengenai tanah adalah “awak indak tahu tantang tanah awak surang tetapi jiranlah yang tahu”artinya pemilik tanah tidak mengetahui secara pasti batas tanahnya tetapi tetanggalah yang paling tahu dengan batas tanahnya, sebagai cerminan prinsip saling menghargai dalam kehidupan masyarakat nagari.
166 (2) Tanah Ulayat Suku Tanah ulayat Suku adalah tanah yang dikelola anggota Suku di bawah pengawasan Kepala Penghulu Suku. (3) Tanah Ulayat Nagari Tanah ulayat Nagari adalah milik bersama rakyat dalam Nagari, dan berada di bawah pengawasan Kepala Nagari (Wali Nagari). Tanah ulayat Nagari dapat berupa hutan, semak belukar maupun tanah yang berada dalam lingkup dan pengelolaan Nagari. Penggunaan tanah ulayat Nagari biasanya untuk kepentingan umum, seperti pembangunan mesjid, Balai Adat, pasar atau lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Kepemilikan tanah ulayat Nagari tidak dapat diubah, kecuali atas kesepakatan seluruh wakil Suku atau Kaum yang ada dalam Nagari itu. Karena berkembangnya anak kemenakan, kebiasaan tanah ulayat Nagari itu diturunkan derajatnya menjadi tanah ulayat Suku atau tanah ulayat Kaum. Seluruh Suku dan Kaum mendapat bagian yang sama. Kesepakatan pembagian tanah ulayat Nagari menjadi ulayat Suku atau Kaum itu dituangkan dalam suatu surat kesepakatan, pada zaman dahulu ditulis dalam bahasa Melayu dan ditanda tangani bersama. Yang sering menjadi konflik dan sering dipertanyakan saat ini adalah adanya tanah ulayat Nagari yang merupakan tanah erfacht. Tanah erfacht adalah tanah yang dulu disewa VOC pada ninik-mamak atau penguasa wilayah saat itu. Setelah kemerdekaan tanah ini seharusnya dikembalikan haknya pada Nagari. Namun saat ini, umumnya lahan bekas tanah erfacht dijadikan lahan milik negara, dan sering tidak terkelola dengan baik atau terlantar, sementara masyarakat sekitar miskin lahan dan memiliki tingkat pendapatan rendah. Kalaupun lahan tersebut tidak mungkin untuk dikembalikan kepada Nagari atau dibagikan kepada masyarakat, seharusnya pengelolaan lahan tersebut atau hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang betul-betul memerlukan pertolongan dan tidak mempunyai lahan. Setiap Kaum, Suku dan Nagari di Minangkabau memiliki harta pusaka yang dipelihara secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Harta pusaka ini merupakan tanggung jawab dari Mamak Waris untuk memeliharanya. Harta pusaka ada yang berujud material disebut sako yaitu berupa tanah, rumah
167 dan barang-barang berharga lainnya. Disamping itu juga ada harta pusaka yang bersifat immaterial yang berupa gelar kebesaran Suku yang diturunkan dari Mamak ke Kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuan). Pemanfaatan Tanah Ulayat.
Meskipun sifat kepemilikan tanah ulayat
kolektif, namun dalam pemanfaatannya bersifat akomodatif. Hal ini berkaitan erat dengan kekuatan mengikat dari tanah ulayat, yaitu mengikat ke luar dan ke dalam. Kekuatan mengikat ke luar terlihat dengan adanya larangan kepada orang (selain anggota Kaum) untuk menarik keuntungan dari tanah tersebut, kecuali dengan izin dan telah melakukan proses yang dipersyaratkan oleh adat. Sedangkan kekuatan mengikat ke dalam ditandai dengan adanya hak yang diberikan kepada anggota Kaum untuk mendapatkan keuntungan atas tanah, mengolahnya atau mengambil segala yang tumbuh dan hidup di atas tanah tersebut, sehingga timbul hak perseorangan atau kelompok atas tanah tersebut. Namun hak tersebut tetap dibatasi status tanah ulayat, sehingga tidak mungkin dipindah tangankan kepada pihak lain. Realitas penguasaan dan kepemilikan tanah sebagaimana tersebut di atas, tidak berarti menutup kesempatan bagi pihak lain untuk mengambil manfaat dari tanah ulayat, karena falsafah hukum adat Minangkabau memiliki mekanisme pemerataan asset yang akomodatif. Misalnya untuk penguasaan asset yang bersifat jangka panjang, di mana seseorang dari luar dimungkinkan mendapatkan lahan untuk berusaha berikut dengan hak-haknya sebagai anggota baru komunitas Kaum yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan melalui suatu upacara adat, dengan „mengisi adat‟ yang telah ditetapkan oleh Penghulu. Apabila proses telah dilalui, orang bersangkutan akan memperoleh hak untuk menggunakan dan atau menikmati hasil dari ulayat tersebut. Hak ini bersifat sementara dan bisa pula untuk selamanya. Mengingat hak ulayat juga sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat adat dan Nagari, maka pemanfaatan hak ulayat itu baik oleh komunitas masyarakat adat maupun oleh orang luar diatur sedemikian rupa. Apabila pemakaiannya bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya maka berlaku ketentuan adat yaitu dengan membayar sejumlah bunga (bea) atau royalty. Dengan arti kata harus dikeluarkan sebagian hasilnya untuk kepentingan Kaum, Suku atau Nagari.
168 Mengenai berapa persentasenya ditentukan oleh Kaum, Suku atau Nagari yang bersangkutan atas dasar musyawarah. Pengaturan pembayaran royalty ini didasarkan pada falsafah adat berikut : Ka ladang babungo ampiang (Ke ladang berbunga emping; pemanfaatan lahan ulayat untuk perladangan, ada bagi hasil tanaman pangannya); Kasawah babungo padi (Ke Sawah Berbunga Padi; pemanfaatan lahan ulayat untuk sawah, ada bagi hasil berupa padi); Ka rimbo babungo kayu (Ke rimba berbunga kayu; pemanfaatan hutan ulayat dalam bentuk kayu, ada bagi hasil kayunya untuk nagari); Ka ngalau babungo guo (Ke ngalau berbunga gua; pemanfaatan lembah-lembah milik ulayat, ada bagi hasil berupa hasil yang diperoleh dari gua, misalnya sarang burung walet); Ka lauik babungo karang (Ke laut berbunga karang; pemanfaatan laut, ada bagi hasilnya); Ka tambang babungo ameh (Ke tambang berbunga emas; pemanfaatan lahan ulayat untuk pertambangan, ada bagi hasil tambangnya, misalnya emas); Hak danciang pangaluaran (Hak dencing harus dikeluarkan; harus ada alokasi bagi hasil untuk penguasa ulayat) Pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak luar harus memperhatikan prinsip keseimbangan dan keadilan, pengguna atau orang lain mendapatkan hasilnya, namun pemilik lahan juga tidak kehilangan hak milik dan sumberdayanya (samasama menguntungkan) sebagaimana falsafah adat menyatakan “urang mandapek, awak indak kailangan” (orang mendapatkan hasilnya, namun kita/pemilik juga tidak rugi). Selain itu prosesnya harus terbuka sebagaimana falsafah adat menyatakan “bagalanggang di mato urang banyak, basuluah matoari, indak basulluah batang pisang” (terlihat oleh khalayak ramai, diterangi matahari, bukannya diterangi batang pisang, artinya prosesnya transparan dan akuntabel, tidak ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan). Lagi pula menurut “mitos” dalam masyarakat hukum adat, bagi penguasa ulayat yang melanggar prinsip pemanfatan tanah ulayat akan terkena “Sumpah Pasatiran”, yaitu laksana pohon yang ke atas tidak tumbuh pucuknya, ke bawah tidak berakar, di tengah dimakan kumbang (ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek, di tangah digiriak kumbang). Sehingga orang yang kena sumpah pasatiran ini hidupnya akan merana sepanjang masa. Kemudian setelah tanah ulayat dimanfaatkan dan atau dinikmati hasilnya,
169 bila tidak dimanfaatkan lagi, maka tanah tersebut kembali kepada penguasanya. Hal ini dapat kita lihat dalam falsafah adat yang menyatakan : Kabau tagak kubangan tingga (Kerbau berdiri, tinggal kubangan) Pusako pulang ka nan punyo (Pusaka pulang kepada pemiliknya) Nan tabao sado lulak nan lakek dibadan (Yang dibawa (kerbau) hanya lumpur yang melekat di badan) Penyelesaian Sengketa Pemanfaatan Tanah Ulayat. Dalam pemanfaatan tanah ulayat, sebagai tanah milik bersama, tentu kadang terjadi konflik dan sengketa, baik berasal dari pihak internal Kaum, Suku atau Nagari maupun dari pihak luar. Untuk menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi di Minangkabau, dilakukan penyelesaian secara bertingkat, menurut pepatah adat dengan cara “bajanjang naik, batanggo turun” (berjenjang naik, bertangga turun) yaitu penyelesaian konflik yang terjadi awalnya harus dibawa pada lembaga adat yang terendah sampai ke lembaga adat yang tertinggi. Lembaga adat yang ada, dalam hal ini berfungsi untuk menyelesaikan perkara yang kusut, dan menjernihkan perkara yang keruh (kusuik manyalasaikan, karuah manjanihkan).
Proses
penyelesaian sengketa awalnya dilakukan pada tingkat lembaga Kerapatan Kaum, kemudian Kerapatan Suku sampai ke tingkat yang lebih tinggi yakni Kerapatan Adat Nagari. Penyelesaian sengketa dilakukan dengan perundingan dan tawar menawar di antara orang-orang terlibat, sampai tercapai mufakat, kesepakatan atau satu bahasa (sakato), suatu bentuk penyelesaian perselisihan yang ideal. Mufakat merupakan jaminan utama pengambilan keputusan yang ideal dan benar. Batas Tanah Ulayat.
Batas pemilikan tanah
ulayat secara fisik di
lapangan sudah tertata dengan jelas, walaupun secara administrasi (surat menyurat, sertifikat) ada yang sudah bersertifikat dan yang belum. Batas tanah ulayat dapat dilihat berdasarkan pembagian tanah ulayat (Ulayat Kaum, Suku atau Nagari). Tanah Ulayat Nagari biasanya berada di batas Nagari. Batas tanah ulayat Nagari (wilayah Nagari) biasanya berupa padang baduo atau padang rajo, yaitu suatu areal dengan luas tertentu yang tidak boleh ditanami/diolah namun dijadikan hutan muda (hutan sekunder) atau areal penggembalaan yang disepakati oleh
170 kedua Nagari yang bertetangga. Padang Baduo juga biasanya selalu diapit oleh banda (parit), dan di sepanjang pinggir parit ditanami aur (bambu). Selain sebagai batas nagari, Nagari juga memiliki Hak Kula atas Padang Baduo, yaitu lahan tersebut boleh digarap oleh anak kedua nagari yang ditanam secara bergilir berdasarkan kesepakatan dalam rangka mempererat silaturahmi nagari yang bertetangga. Batas tanah Kaum biasanya berupa tanaman, batanam batu atau banda (parit). Batanam batu adalah batas yang dibuat dengan menyusun batu-batu untuk menentukan batas tanah diantara dua kaum yang biasanya terdapat rumah penduduk suatu Kaum
dengan Kaum lainnya. Biasanya diantara batas batu
tersebut juga ditanami tanaman bunga puring (pudiang).
Tanaman pudiang
sengaja ditanam diantara batu-batu batas ini karena pudiang sifat tanamannya tidak tinggi, batangnya tidak besar dan tidak banyak memakan tempat dan dapat memperjelas batas tanah. Pudiang umurnya juga panjang. Selain itu tanaman ini juga bermanfaat untuk obat peluruh buang air besar. Agar batas tersebut tetap permanen dan tidak dipindahkan oleh anak-anak atau orang-orang lainnya, maka kadang-kadang dikeramatkan dengan mengatakan batu itu sakti Aturan Yang Digunakan (Rules in Use) Aturan formal dalam pengelolaan hutan Pengelolaan hutan oleh pemerintah dijalankan berdasarkan konsep kebijakan yang dijabarkan dari UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Kehutanan serta berbagai aturan pelaksana turunannya, termasuk kebijakan daerah yang mendukung kebijakan tersebut. Secara ringkas aturan yang berlaku pada masing-masing kawasan hutan akan diuraikan sebagai berikut. Kawasan Suaka Alam (KSA). UU Nomor 5 Tahun 1990, Pasal 11 mengatur pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Lembaga pengelola KSA Barisan I dan Arau Hilir adalah Balai KSDA Sumatera Barat, yang operasional di lapangan dilaksanakan oleh Seksi Konservasi
171 Wilayah II, dengan luas wilayah kerja 120,324 hektar, meliputi Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kota Bukit Tinggi, dan Kota Padang Panjang, berkedudukan di Tanah Datar. Tugas dan fungsinya mengacu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam. Seksi Konservasi Wilayah, dengan 17 personil, mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan anggaran, evaluasi dan pelaporan, bimbingan teknis, pelayanan pemberdayaan masyarakat, pengelolaan kawasan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan lestari, pengamanan dan pengendalian kebakaran hutan, pemberantasan penebangan dan peredaran kayu, tumbuhan dan satwa liar secara illegal serta pengelolaan sarana prasarana, promosi, bina wisata alam dan bina cinta alam dan penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kerjasama bidang pengelolaan kawasan di dalam dan di luar kawasan dan kerjasama rehabilitasi kawasan di wilayah kerjanya Kegiatan yang dapat dilakukan dalam KSA hanyalah untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya (UU Nomor 5/1990, Pasal 17 ayat 2). Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan KSA, kecuali untuk kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka margasatwa (UU Nomor 5/1990 Pasal 19). Pada Pasal 21, dinyatakan setiap orang dilarang untuk mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; dan setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa atau bagian-bagian satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati. Bila ketentuan ini dilanggar maka dapat dikenakan sanksi pidana (UU No 5/1990 Pasal 40). Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi, sesuai Pasal 37 UU Nomor 5/1990 diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna, dengan menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
172 Taman Hutan Raya. Pada Pasal 34 UU Nomor 5/1990 dinyatakan pengelolaan Taman Hutan Raya dilaksanakan oleh Pemerintah.
Tahura berfungsi
sebagai : (a) kawasan yang dapat dimanfaatkan potensi alamnya untuk koleksi tumbuhan dan/atau satwa baik yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, dan wisata alam; (b) sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan; dan (c) sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan, satwa, dan keunikan alam. Di dalam zona pemanfaatan Tahura dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi. Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan Tahura dengan mengikut sertakan rakyat. Hutan Lindung. Pengelolaan HL mengacu pada UU Nomor 41 Tahun 1999 dan aturan pelaksana turunannya. Pada Pasal 26 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan pemanfaatan HL dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan (kepada perorangan dan koperasi), izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (kepada perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah) dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (perorangan dan koperasi). Dalam kawasan hutan lindung diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan tradisionil berupa hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan. Sesuai fungsinya, dalam kawasan HL dapat ditempatkan alat pengukur klimatologi, misalnya penakar hujan dan stasiun pengamat aliran sungai (SPAS) dan dapat dibangun sarana dan prasana pengelolaan, penelitian, dan wisata alam secara terbatas. Namun dalam kawasan HL tidak dapat dilakukan kegiatan yang bersifat merubah bentang alam. Jika dijumpai adanya kerusakan vegetasi dan penurunan populasi satwa yang dilindungi undang-undang, dalam hutan lindung dapat dilakukan kegiatan (a) rehabilitasi kawasan dengan jenis tumbuhan yang cocok dengan kondisi dan tipe tanah; (b) pembinaan habitat dan pembinaan kawasan untuk kepentingan peningkatan fungsi lindung; (c) pengurangan atau penambahan jumlah populasi suatu jenis, baik asli atau bukan asli ke dalam kawasan hutan lindung. Pada Pasal 42 UU Nomor 41/1999 dinyatakan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka me-
173 ngembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Peningkatan peran serta masyarakat secara positif, aktif dan saling menguntungkan dalam rangka peningkatan pemanfaatan hutan lindung dititikberatkan pada pengembangan usaha ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam hutan lindung sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pada Pasal 43 UU Nomor 41Tahun 1999, dinyatakan bahwa setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi. Dalam pelaksanaan rehabilitasi, setiap orang dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada LSM, pihak lain atau pemerintah. Kegiatan perlindungan hutan diatur pada Pasal 48 UU Nomor 41 Tahun 1999, yang menyatakan Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah. Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang optimal, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor : 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung menyatakan pengelolaan HL melalui prinsip pendayagunaan potensi HL untuk kegiatan pemanfaatan air, pemuliaan, pengkayaan, dan penangkaran, penyediaan plasma nutfah untuk kegiatan budidaya oleh masyarakat setempat, wisata alam, pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian dan wisata alam, diupayakan sedemikian rupa agar tidak mengurangi luas dan tidak merubah fungsi kawasan. Terkait dengan potensi pengembangan PES, maka pemanfaatan jasa lingkungan hutan juga diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan pada
Bab IV tentang
Pemanfaatan Hutan, yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat, yang dilakukan melalui kegiatan : pemanfaatan kawasan; pemanfaatan jasa lingkungan; pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pada Pasal 25 (hutan
174 Lindung) dan Pasal 31 (hutan produksi) dinyatakan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan hutan produksi dilakukan melalui kegiatan usaha : pemanfaatan jasa aliran air; pemanfaatan air; wisata alam; perlindungan keanekaragaman hayati; penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Kegiatan usaha pemanfaatan jasa
lingkungan pada hutan lindung/hutan produksi, dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; atau tidak mengubah bentang alam; dan tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan. Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada hutan lindung/hutan produksi, harus membayar kompensasi kepada Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung/produksi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri. Pada bagian penjelasan dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "kompensasi" dalam ketentuan ini adalah membayar dengan sejumlah dana atas pemanfaatan air dan jasa aliran air untuk pemeliharaan dan rehabilitasi daerah tangkapan air.
Dana kompensasi yang berasal dari
pemanfaatan air dan jasa aliran air disetor ke Kas Negara dan diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah kriteria, pedoman, tata cara pemanfaatan jasa lingkungan dan pengenaan serta pemungutan dana kompensasi. Norma-norma Adat Minangkabau dalam Pengelolaan SDA Adat Minangkabau, sebelum Islam masuk, menjadikan alam sebagai guru, tempat belajar tentang kehidupan. Terdapat fatwa adat yang menegaskan alam sebagai guru bagi orang Minangkabau (Navis 1984), yaitu: “Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, Salodang ambiak ka nyiru, Nan satitiak jadikan lauik, Nan sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru.” (Penakik pisau seraut, ambil galah batang lintabung, Selodang jadikan nyiru. Yang setitik jadikan laut, yang sekepal jadikan gunung, Alam terkembang jadikan guru). Oleh karena alam dijadikan guru oleh masyarakat Minangkabau, maka banyak fenomena alam dijadikan sebagai tuntunan kehidupan dalam masyarakat
175 Minangkabau. Dengan demikian, adat Minangkabau merupakan nilai, norma, simbol dan tuntunan hidup yang dikonstruksikan dari realitas alam. Alam terkembang jadi guru merupakan falsafah hidup yang muncul dari proses belajar pada alam. Sebagai guru bagi yang belajar kepadanya, alam tidak pernah berbohong atau berdusta kepada muridnya. Alam menyampaikan banyak pesan mulia, bijaksana, dan kearifan tentang segala aspek kehidupan, termasuk aspek ekologi atau lingkungan hidup yang terkait erat dengan pengelolaan DAS. Alam menyampaikan pesan hidup damai, harmonis, selaras, seimbang, lestari, saling bekerjasama dan saling menguntungkan di antara sesama makhluk hidup. Pesan yang disampaikan oleh alam tersebut dirangkai dalam untaian kata yang indah jalinannya seperti pada pepatah petitih, pantun, gurindam serta petuah adat. Adat Minangkabau memberi tuntunan kepada masyarakatnya untuk mengelola SDA secara lestari tanpa merusak lingkungan untuk mendapatkan manfaat ekonomi bagi kesejahteraan lahir dan bathin12. Ini tertera dalam petuah adat : Bumi sanang (Bumi senang/menunjukkan lingkungan yang lestari); Padi masak (Padi menguning baik/menunjukkan manfaat ekonomi); Jaguang maupiah (Jagung bernas/mengacu pada manfaat ekonomi); Taranak bakambang biak (Ternak berkembang/ manfaat ekonomi); Bapak sati (Bapak sakti/menunjukkan adanya kepemimpinan); Mande batuah (Ibu bertuah/menunjukkan adanya kepemimpinan); Mamak disambah urang (Penghulu dihormati dan disegani masyarakat/ menunjukkan adanya kepemimpinan); Kamanakan dipinang urang pulo (Anak kemenakan dipinang orang pula/menunjukkan adanya masyarakat yang berkualitas); Nagari aman santoso (Nagari aman sentosa/menunjukkan adanya kamtibmas/sadar hukum) Para pemangku adat (Ninik Mamak ampek jinih dan jinih nan ampek di bawah payung Kerapatan Adat Nagari) bertanggung jawab untuk mewujudkan petuah
12
Wawancara dengan Dr. Yuzirwan Rasyid Datuak Gajah Nan Tongga, Ketua IV Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat
176 adat ini dalam kehidupan nagari secara berkelanjutan bersama-sama dengan pemerintah. Bila dicermati lebih lanjut, pada aspek ekologi atau pengelolaan SDA, khususnya pengelolaan lahan / tanah, hutan dan air, ternyata tuntunan adat Minangkabau tersebut terbukti sangat berkesesuaian dengan teori-teori ilmiah dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan, yang banyak dibicarakan saat ini. Bahkan konsep-konsep adat ini terbukti lebih adaptif bagi masyarakat lokal, karena sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal bersumber dari pengetahuan-pengetahuan lokal yang diperoleh dari interaksi mereka dengan lingkungannya yang membentuk sistem pengetahuan tersebut, sebagai hasil pengalaman dari generasi ke generasi, diwariskan secara turun temurun dan berkembang secara dinamis bersama interaksi dari dunia luar. Secara umum, norma-norma adat yang berlaku pada masyarakat Nagari Koto Tangah, Limau Manih dan Lubuk Kilangan, khususnya dalam pengelolaan SDA (lahan, hutan dan air), dapat dikatakan sama karena masih satu rumpun. Dari hasil wawancara dengan Narasumber (Ketua KAN dan Niniak Mamak pada ke tiga Nagari), sejak zaman nenek moyang, masyarakat pada nagari-nagari tersebut telah memiliki kearifan dalam mengelola SDA lahan, hutan, dan air. Kearifan-kearifan tersebut jika diuji secara ilmiah ternyata telah terkandung di dalamnya kaidah-kaidah konservasi dan pelestarian SDA, sekaligus tidak mengabaikan fungsi SDA itu sendiri sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat yang mengelolanya. Kearifan lokal telah menuntun masyarakat untuk mengambil manfaat dari SDA tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan ekologisnya. Berikut ini beberapa potensi kearifan lokal yang dapat diungkap dari hasil wawancara dengan para Narasumber dan barangkali bisa direvitalisasi untuk menyempurnakan tatanan hidup bernagari dalam konteks kekinian sehingga bisa mendukung pengelolaan DAS, khususnya pengelolaan lahan, hutan dan air.
177 Kearifan di bidang Pengggunaan Lahan (Tata Guna Lahan). Pengetahuan lokal tentang jenis tanah dan fungsinya juga merupakan kearifan lokal yang bersumber dari belajar kepada alam.
Dalam konsep masyarakat
Minangkabau, semua tanah memiliki manfaat ekonomi, tidak ada sepetak tanah pun yang dipandang tidak memiliki kegunaan. Apapun jenis, bentuk, dan posisi tanah memiliki kegunaan ekonomi bagi masyarakat : “nan tunggang tanami padi, nan lereang tanami bambu, nan gurun jadikan parak, nan padek ka parumahan, nan munggu jadikan pandam, nan gauang ka tabek ikan, nan padang tampek gubalo, nan lacah kubangan kabau, nan rawang ranangan itiak” (lahan datar tanami padi, lahan yang miring tanami bambu, lahan terbuka jadikan kebun, lahan yang padat untuk perumahan, lahan yang berada di ketinggian jadikan pekuburan, lahan yang berlubuk jadikan tambak ikan, lahan padang rumput jadikan tempat gembala, lahan berlumpur tempat kubangan kerbau, lahan rawa tempat itik berenang”). Untaian kalimat di atas telah ada sejak berabad-abad silam. Berarti semenjak itu pula masyarakat Minangkabau telah hidup secara harmonis dengan alam, menerapkan konsep pengelolaan lahan berdasarkan kesesuaian lahan dengan memperhatikan keseimbangan ekologi dan ekonomi masyarakat. Penggunaan lahan dalam suatu Nagari terbagi atas : (1) Tanah Pemukiman Lahan diperuntukkan untuk lokasi pembangunan rumah anggota kaum beserta sarana prasarana sosialnya. Pada pusat pemukiman, penggunaan tanah dibagi lagi berdasarkan beberapa bagian sesuai peruntukannya, yakni perumahan, jalan, surau dan masjid, makam/kuburan dan tapian untuk pemandian umum. (2) Lahan Pertanian Penggunaan lahan untuk pertanian dapat dibagi tiga bagian berdasarkan jenis tanaman yang ditanam, yaitu : a) Lahan Untuk Tanaman Pangan Digunakan untuk sawah dan ladang yang ditanami dengan padi.
178 b) Lahan Untuk Tanaman Harian Penggunaan lahan untuk penanaman tanaman sayur-sayuran dan palawija, untuk memenuhi dan melengkapi pangan harian. c) Lahan Untuk Tanaman Tua dan Buah-buahan Lahan digunakan untuk menanam tanaman yang bisa dinikmati untuk hari ini dan seterusnya. Biasanya disebut Parak atau Paladangan, ditanam dengan jenis tanaman keras dan tanaman buah-buahan, yang berguna bagi ekonomi dan tabungan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Selain itu ada juga lahan semak belukar yang dijadikan sebagai lahan pertanian dengan sistem tanam bergulir. Filosofi pengelolaan lahan pertanian adalah “tanam nan bapucuak, paliharo nan banyawo” (tanam yang ada pucuknya, pelihara yang ada nyawanya) ini lebih mengarah pada bagaimana sebuah rumah tangga atau rumah Kaum di Minangkabau mempunyai lahan pangan dan ternak sebagai pendukung gizi keluarga dan tabungan untuk keperluan yang bersifat seremonial (pesta pernikahan, pesta adat) dan keperluan hidup lainnya serta untuk masa depan anak, cucu dan kemenakan. (3) Salasar Salasar adalah tebing di tepi bandar (sungai kecil) yang berkemiringan 30 sampai dengan 45 derajat ataupun tebing yang ada di tepi sawah. Lahan ini digunakan untuk penanaman tanaman keras (seperti enau, bambu, tarok, dan lain-lain). Selasar merupakan daerah resapan air dan berguna untuk penahan dan penyimpanan air. Pada selasar ini berlaku “hak kula”, yaitu hak pengelolaan berada pada nagari, terhadap kiri kanan aliran air, baik banda, tali banda (sungai maupun anak sungai). Biasanya ditanami dengan tanaman buah-buahan dan kayu-kayuan. (4) Hutan Hutan diperuntukkan sebagai daerah perlindungan dan daerah penyangga, persiapan perluasan kebun, sumber kayu api dan areal buah-buahan liar yang berkembang biak secara alami oleh binatang liar. Areal tanah hutan ini juga bisa untuk perluasan nagari untuk mengantisipasi perkembangan nagari dan pertambahan penduduk serta untuk memenuhi kebutuhan
179 anggota kaum. Hutan dibagi atas Hutan Larangan dan Hutan Cadangan. Hutan Larangan merupakan hutan yang dilarang untuk menebangnya serta harus dijaga kelestariannya. Pada saat ini dapat disetarakan dengan hutan konservasi dan hutan lindung. Hutan cadangan adalah hutan ulayat Kaum dan Suku, dan dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan anak nagari, biasanya terletak setelah hutan larangan. Pengelolaan hutan cadangan diatur oleh Penghulu Kaum atau Suku dan pada saat ini dapat disetarakan dengan hutan produksi. Terkait dengan pengelolaan lahan maka pengaturan pengelolaan lahan diserahkan pada Penghulu Kepala Kaum atau Suku. Fungsi Penghulu Kepala Kaum atau Suku hanya sebatas mengelola dan mengatur lalu-lintas pengelolaan lahan, bukan menguasai dalam artian memiliki. Dalam hal teknis pengolahan lahan, dapat diolah sendiri oleh pemilik lahan atau digarap oleh orang lain dengan sistem bagi hasil. Pada sistem garapan, kesepakatan dibuat antara pengolah dengan siempunya tanah, dengan sistem bagi hasil yang berkeadilan. Bila kita kaitkan dengan pengelolaan lahan dalam kegiatan pengelolaan DAS, maka bisa kita lihat bahwa aturan adat telah mengatur pola tata ruang yang bertingkat dari hulu ke hilir dan telah pula terbukti dapat mempertahankan kestabilan lahan, karena dikelola dengan mengedepankan kaidah konservasi. Bagian hulu dibiarkan menjadi hutan alam. Kawasan penyangga antara hutan alam dengan areal budidaya persawahan berbentuk “parak” atau kebun campuran. Masyarakat sangat berkepentingan dengan pola keruangan seperti ini, sebab, jika tidak dipertahankan maka akan menimbulkan longsor, pencucian hara, berkurangnya sumber air bagi areal persawahan dan usaha perikanan. Selanjutnya, dari pola penggunaan lahan yang telah diuraikan di atas, bila kita cermati, secara umum penggunaan tanah di Nagari dapat dikelompokkan atas dua kelompok besar sesuai dengan konsep tata ruang pada UU No. 26 tahun 2007, yaitu : (1) Kawasan lindung, penggunaan berupa hutan (hutan larangan, setara dengan kawasan konservasi dan hutan lindung) dan selasar (setara dengan kawasan lindung di luar kawasan hutan); (2) Kawasan budidaya, berupa lahan hutan cadangan (setara dengan hutan produksi), lahan pertanian dan lahan
180 pemukiman (setara dengan areal penggunaan lain). Demikianlah, aturan adat telah mengatur tata guna lahan sedemikian rupa untuk berbagai kepentingan yang menunjukkan
pengaturan
tata
ruang
yang
bertingkat,
memperhatikan
keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial. Jadi jauh sebelum Undang-undang Tata Ruang lahir, aturan itu telah termaktub dalam norma-norma adat Minangkabau. Seharusnya dalam pengaturan tata ruang wilayah, pola pengaturan berdasar aturan adat dapat diadopsi dan tidak harus mencari pengaturan baru atau introduksi dari luar, karena aturan tersebut telah melembaga dalam masyarakat, hanya perlu revitalisasi dan komitmen (good will) dari pengambil kebijakan untuk dituangkan dalam aturan formal dalam bentuk RTRW. Kearifan di bidang Pengelolaan Hutan. Hutan, tanah, air dan sumber daya alam lainnya merupakan bagian integral dari ulayat dalam ruang lingkup Nagari yang menjadi
simbol pengikat hubungan
kekerabatan
masyarakat
Nagari. Ulayat tidak hanya berfungsi ekonomis belaka namun juga berfungsi lingkungan, sosial dan budaya. Prinsip inilah yang kemudian menjadi landasan bagi pengelolaan hutan oleh masyarakat Nagari. Dalam hal pengaturan hubungan antara masyarakat Nagari dengan hutan terdapat 2 (dua) ketentuan utama yaitu “pantangan” dan “larangan.” Pantangan dan larangan diterapkan sesuai dengan asas hukum adat, yaitu; asas kepatutan dan tingkat kebutuhan masyarakat untuk menciptakan tertib sosial di Nagari. Selain itu, larangan dan pantangan diukur dari pengaruhnya terhadap nilai-nilai sosial, budaya, religi bahkan nilai-nilai ekologi. Terminologi pantangan terkait dengan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam nilai-nilai kultural dan religi, sedangkan larangan mengacu kepada hal-hal yang tidak diperbolehkan yang berhubungan dengan kepentingan langsung masyarakat, karena dianggap berdampak atau berpengaruh besar bagi kepentingan masyarakat. Dalam pengelolaan hutan, berlaku azas : (a) kelestarian (tata ruang); (b) keadilan ekonomi (bagi hasil); dan (c) kepatutan pemanfaatan hutan (tebang pilih)13. Pertama, azas kelestarian tertuang dalam pengaturan tata ruang dalam 13
Wawancara dengan Dr. Yuzirwan Rasyid Datuak Gajah Nan Tongga, Ketua IV Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat
181 pengelolaan hutan, yang tertuang dalam petuah adat “nan lereng ka ditanam kayu” (lahan yang miring ditanami kayu-kayuan).
Dalam peruntukkannya ka-
wasan hutan dibagi lagi : “nan di ulu aie ka jadi hutan simpanan, nan di hilie aie ka jadi hutan panabangan, nan di sasok ka paladangan. (yang di hulu sungai jadikan hutan simpanan (setara dengan hutan lindung dan hutan konservasi), yang di hilir sungai jadikan hutan yang boleh ditebang (setara dengan hutan produksi), yang di bagian setelahnya jadikan perladangan (setara dengan hutan konversi)). Hutan simpanan dan hutan panabangan adalah hutan milik Nagari dimana kewenangan pengelolaannya berada di bawah kendali Kerapatan Adat Nagari. Sedangkan sasok (hutan yang dapat dijadikan ladang) berada di bawah kendali Penghulu dalam Suku dan Kaum, yang nantinya akan diperuntukkan bagi kaumnya dan seterusnya akan menjadi harta pusaka tinggi dalam kaum masing-masing. Kedua, azas keadilan ekonomi tercermin dari pengaturan bagi hasil dalam pengelolaan hutan, seperti petuah adat yang berbunyi “ka rimbo ba bungo kayu” (ke rimba berbunga kayu), artinya ada royalty yang harus dikeluarkan dari hasil hutan yang diberikan kepada Penghulu dan Raja sebagai sumber pendapatan Penghulu dan Raja dalam menjalankan fungsinya mengatur wilayah dan masyarakatnya. Besarnya royalty ditentukan oleh keputusan sidang Kerapatan Adat Nagari dan ketentuan yang ditetapkan oleh raja dan perangkat-perangkatnya. Untuk penyelenggaraannya maka Penghulu menempatkan petugas lapangan yang disebut dengan istilah “tuo rimbo“, yang bertugas menyeleksi hutan yang boleh ditebang atau tidak, kayu yang boleh dipotong atau tidak. Ketiga, Azas kepatutan pemanfaatan hutan tercermin dari pengaturan tebang pilih dalam pengelolaan hutan, seperti yang tercermin dalam petuah adat : “nan batang ka tonggak tuo, nan dahan ka kasau rumah, nan rantiang ka kayu baka“ (batang untuk tiang utama, dahan untuk kasau (kayu rangka atap) rumah, dan ranting untuk kayu bakar). Artinya pohon yang patut boleh ditebang adalah yang sudah matang (siap panen) dan yang belum matang dibiarkan agar bisa tumbuh dewasa. Jadi teknik penebangannya sama dengan konsep tebang pilih. Selain itu ada juga larangan menebang kayu di daerah aliran sungai (DAS) sampai jarak sekitar 100 meter. Ada juga larangan menebang kayu di hulu sungai dan pinggir tebing curam. Demikian juga dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu,
182 pada masing-masing nagari terdapat
ketentuan
yang berbeda, misalnya
dilarang menebang kayu sualang yaitu kayu tempat lebah madu bersarang. Pemanfaatan rotan atau manau dilakukan ketika tidak ada lagi sumber pendapatan, baik karena kemarau panjang atau kejadian lainnya. Dalam pemanfaatan madu lebah dilarang membakar lebah ketika mengambil madu guna mejaga kelestarian sarang lebah. Demikianlah, hutan dalam Nagari terbagi dua, yaitu hutan simpanan atau disebut juga hutan larangan dan hutan panabangan dan sasok atau disebut juga hutan cadangan. Hutan simpanan tidak boleh ditebang karena berfungsi sebagai daerah perlindungan dan sumber air (pengatur tata air). Sedangkan hutan cadangan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Nagari. Pemanfaatan hutan cadangan oleh masyarakat Nagari sendiri diutamakan bagi perluasan lahan pertanian dengan mempertimbangkan keberlangsungan dan keseimbangan alam dan pemanfaatan komplementernya yaitu pemanfaatan hutan sebagai sumber mata pencaharian sampingan, dan juga sebagai perluasan wilayah pemukiman bila penduduk semakin banyak. Hutan cadangan biasanya berada pada wilayah perbukitan, sehingga pembukaan hutan untuk perluasan lahan pertanian hanya dibolehkan untuk perladangan atau Parak, baik pada tanah ulayat Kaum, Suku ataupun Nagari. Pemanfaatannya dapat dilakukan oleh anggota Kaum atau Suku, namun juga oleh pihak lain di luar setelah memenuhi aturan adat yang berlaku, yang bertujuan untuk menghindari lahan-lahan kosong yang tidak produktif. Fungsi utama hutan cadangan adalah sebagai parak dan ladang. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan secara langsung baik itu hasil hutan kayu maupun non kayu sebagai sumber mata pencaharian (gathering forest product) bukanlah hal yang utama, namun hanya sebagai mata pencaharian komplementer, sedangkan mata pencaharian utama adalah pertanian (sawah) dan perladangan. Penggunaan lahan ulayat (pusaka tinggi) untuk perladangan dan pemungutan hasil hutan sepanjang untuk kebutuhan sendiri (keluarga, subsisten) dan kepentingan Nagari tidak dikenakan (bea, royalty) bungo. Namun, jika pemanfaatan tersebut ditujukan untuk kepentingan komersial (diperdagangkan di luar komunitas adat atau nagari) maka dikenakan bungo. Bungo dapat dikatakan sebagai semacam pajak atas pemanfaatan sumber daya alam di
183 Nagari yang berdimensi kepentingan komersil (diperdagangkan), sehingga bungo merupakan instrumen pengendali pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, sebagai upaya
masyarakat
nagari membatasi eksploitasi
sumberdaya alam yang berlebihan. Selain itu bungo merupakan bentuk kompensasi kepada masyarakat nagari atas pemanfaatan sumberdaya alam yang diperniagakan. Bungo juga dipergunakan untuk memulihkan sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan, sehingga bungo juga merupakan kompensasi bagi alam itu sendiri. Kearifan di bidang Pengelolaan Air. Sumber mata air Nagari umumnya berada dalam kawasan tanah ulayat ataupun yang bersumber dari hutan namun masih dalam kawasan ulayat yang dikelola guna keberlangsungan kehidupan masyarakat nagari dalam mencapai kesejahteraan (bukan ekonomis semata). Sumber air dimanfaatkan oleh anak nagari untuk standar kehidupan yang layak, yaitu sebagai sumber air bersih untuk rumah tangga, masjid, pemandian umum serta sumber pengairan untuk sawah. Untuk mengelola sumberdaya air dalam nagari ditunjuk seorang petugas pengelola air yang disebut Tuo Banda. Tuo Banda bertugas mengelola air mulai dari hulu sampai dimanfaatkan untuk sawah dan mengatur distribusi air sehingga setiap areal yang memerlukan air mendapat bagian secara proporsional, sehingga tidak ada anggota masyarakat yang mempunyai sawah yang tidak kebagian air. Berdasarkan sejarah, Tuo Banda adalah orang yang awalnya mengelola saluran air dari sumber air sehingga bisa sampai ke sawah. Pengaturan pemanfaatan air dalam Nagari didasarkan pada fungsi sosialnya karena dari fungsi sosial akan berdampak pada sisi lainnya. Dalam memanfaatkan air dikenal istilah pengelolaan dengan sistem ampang (sistem pembendungan air). Ada tiga jenis ampang (bendung), yang dikenal dalam aturan adat, yaitu : a) Ampang Kasiak Air yang di-ampang (dibendung) dengan kasiak (pasir) pada sungai guna dialirkan ke sawah-sawah dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat nagari. Penggunaan istilah ampang kasiak ini adalah disebabkan kasiak (pasir) mudah dibawa oleh arus, sehingga air masih bisa lewat disela-sela kasiak yang di-
184 ampang-kan, atau aliran air tidak terhenti, sehingga walaupun dibendung masih bisa digunakan oleh masyarakat Nagari. b) Ampang Tanah. Air yang di-ampang (dibendung) dengan tanah dan hanya untuk dialirkan ke suatu lokasi dan tidak bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat yang berada di aliran sungai karena aliran air yang dibendung dengan tanah berhenti mengalir atau tidak bisa menembus bendungan. Pada musim kemarau, sungai bisa kering, sedangkan bila terjadi hujan lebat, bisa terjadi banjir dan air bah dari luapan air pada bendung atau ampang jadi bobol, sehingga dapat menjadi bencana bagi masyarakat di sekitarnya. Pengelolaan dengan sistem ampang tanah tidak dibenarkan oleh hukum adat. c) Subuluah Aur Yaitu pengelolaan air dengan mengalirkan air dari sumber air menggunakan sepotong aur (sejenis bambu dengan batang yang licin dan tidak berduri, besarnya kira-kira seukuran betis) untuk mengaliri sawah atau ladang yang melewati banda atau anak sungai. Dalam pengelolaan air, yang dibolehkan dalam aturan adat adalah ampang kasiak, artinya jika kita membendung air di suatu tempat, air tadi masih bisa mengalir pada aliran semula dan tidak mati. Sedangkan yang tidak boleh adalah ampang tanah, yang berarti membendung air pada suatu tempat yang mana aliran air tidak mengalir lagi sehingga mengganggu kehidupan di sepanjang aliran air tadi apakah itu sawah ataupun makhluk hidup lainnya.
Ampang tanah
ini tidak boleh
dilakukan walaupun oleh si pemilik ulayat atau pemilik lahan tempat sumber air berada.
Selain itu juga dikenal istilah tempat pembuangan air dan paraku.
Sedangkan untuk sumber air bisa dilihat dari sumber air yang berasal dari mata air dan sumber air yang merambas dari banyak sisi atau dikenal dengan aie taserak. Pembagian dan pemakaian air dilakukan dengan beberapa cara dan aturan, baik untuk sawah, kolam (tabek), pancuran (pincuran), tempat pemandian (pamandian). Jika terjadi sengketa diselesaikan secara adat, baik diselesaikan oleh niniak mamak, tuo banda ataupun penyelesaian melalui perdata adat oleh hakim adat. Juga terdapat lembaga penyelesaian sengketa air di Nagari.
185 Demikianlah, dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, diterapkan aturan adat dan dapat dirasakan bersama dengan instrumen pengendali eksploitasi sumberdaya alam sehingga penggunaannya tetap memperhatikan keseimbangan ekologis dan tidak sampai melebihi daya dukung alam, seperti terlihat dalam aturan pengelolaan hutan, aturan pemakaian dan giliran air, aturan sawah, salesar, jalan, tabiang, dan lain-lain. Semuanya diatur dengan mengutamakan fungsi sosial bagi kemakmuran masyarakat Nagari.
Hal ini
tergambar dari berbagai aturan dan pola kehidupan masyarakat dengan berbagai kekayaan moril dan material yang ada di sekitarnya. Kemakmuran ini secara materil bisa dilihat dengan adanya tanah ulayat Kaum, Suku dan Nagari. Masyarakat hidup serba berkecukupan sebagaimana tergambar pada petatah petitih “padi manjadi, jaguang maupiah, taranak bakambang biak, rakyaik aman santoso” (tanaman padi berhasil baik, jagung subur, ternak berkembang biak dan rakyat hidup aman dan sentosa). Dari uraian tentang atribut komunitas dan aturan main yang dipergunakan pada masyarakat adat pada lokasi penelitian, tergambar suatu pola bahwa untuk menciptakan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang mensejahterakan masyarakat (sumberdaya alam tetap lestari dan masyarakat dapat memetik manfaatnya untuk peningkatan kesejahteraan) maka institusi pengelolaan sumberdaya alam, paling tidak harus memiliki : (1) Pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam (aturan main) berlandaskan pada tuntunan moral (etika) yang sesuai dengan kondisi setempat (adat) dan mengutamakan fungsi fisik (lingkungan), sosial dan ekonomi sumberdaya alam tersebut bagi masyarakat sekitar serta dapat dilakukan berbagai bentuk pemanfaatan SDA (multi fungsi) sesuai kemampuan dan daya dukung lingkungan. (2) Lembaga pengelola sumberdaya alam (organisasi) harus memiliki kekuatan atau kekuasaan (power) untuk memberikan penghargaan dan sanksi kepada para pengguna sumberdaya alam tersebut, yang dijalankan oleh pemangku kekuasaan yang diakui dan dihormati masyarakat. (3) Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam bersifat spesifik lokasi. Institusi yang lebih tinggi dengan cakupan wilayah yang lebih luas hanya mengatur
186 aturan/hal-hal yang bersifat umum atau rambu-rambu umum, sedangkan untuk aturan operasionalnya (aturan yang lebih rinci atau detil) diatur oleh institusi pengelola yang lebih rendah, yang lebih mengetahui kondisi real dan kesesuaian dan kemungkinan keberhasilan penerapan peraturan. (4) Batas sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas dan disepakati bersama dalam institusi pengelola SDA dan otoritas lokal. (5) Aturan main dibuat secara partisipatif, mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan keberadaan sumberdaya alam tersebut; (6) Adanya pengakuan dan kesetaraan hak pengguna SDA untuk membentuk organisasi pengguna dan diakui otoritas lokal. (7) Ada insentif ekonomi bagi pemilik atau penguasa dan bagi pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. (8) Ada instrument pengendali penggunaan berkelanjutan yang disepakati oleh pihak yang berkepentingan dengan keberadaan SDA. (9) Pengawasan pemanfaatan SDA dilakukan oleh petugas yang berasal dari komunitas lokal dan bertanggung jawab pada pengguna melalui wakilnya dalam institusi pengelola SDA. Sanksi bertingkat dan disepakati bersama (10) Resolusi konflik melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan. Dengan demikian untuk pengelolaan sumberdaya alam lestari, maka aturan formal dari pemangku kekuasaan atau institusi pengelola sumberdaya alam (de jure) harus sejalan dengan tuntunan moral (etika) atau adat istiadat yang berlaku pada masyarakat setempat sehingga akan mendapat pengakuan masyarakat setempat (de facto) dan spesifik lokasi. Ini berarti dalam pengaturan institusi pengelola sumberdaya alam, kekuasaan institusi formal (pemerintah, power) harus sejalan atau tidak bisa dipisahkan dengan kekuatan tuntunan moral masyarakat setempat (adat, etika) sehingga aturan yang dijalankan terinternalisasi dan mendapat pengakuan atau diterima oleh masyarakat setempat, dan dengan dukungan kekuasaan (pemerintah) akan menjamin penegakan aturan dan kepatuhan penggunanya. Kasper dan Streit (1998) menyatakan institusi tanpa sanksi tidak akan bermanfaat. Seiring dengan perkembangan zaman, pertanyaan kritis yang muncul adalah: mampukah kita mempertahankan kearifan lokal yang ada terhadap berbagai tekanan yang ada agar tidak menjadi sebuah mitos? Berbagai kearifan adat
187 dalam mengelola SDA perlu terus digali dan diimplementasikan dalam pengelolaan DAS terpadu, sehingga kearifan lokal digabungkan dengan ilmu pengetahuan modern akan dapat meningkatkan kapasitas pengelolaan DAS yang terpadu, mandiri dan berkelanjutan. Tidak dapat dihindari lagi, pengelolaan hutan harus melibatkan masyarakat setempat yang merupakan komponen utama dan terbesar dalam pengelolaan DAS. Aturan Formal Versus Aturan Adat dalam Pengelolaan Hutan Pergeseran Pelaksanaan Hukum Adat dalam Nagari Perkembangan zaman, ikut mempengaruhi
tata pemerintahan
dan
pelaksanaan hukum adat pada ke tiga Nagari. Nagari di Sumatera Barat sejak zaman Belanda hingga awal Orde Baru memiliki fungsi yang khas, yaitu di samping menjalankan pemerintahan Negara juga berfungsi menjalankan keputusan adat nagari yang disebut “adat salingka nagari” (adat yang berlaku dan disepakati dalam nagari).
Semenjak diberlakukannya UU Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa di seluruh Indonesia, telah melahirkan destruksi (perubahan sturuktur) fatal pada komunitas-komunitas lokal di Sumatera Barat. Destruksi dasar tersebut dilakukan dengan meletakkan Kepala Desa sebagai penguasa tunggal, menggantikan peran Wali Nagari dan perangkat adat yang diakomodir dalam bentuk pemerintahan Nagari. UU Nomor 5/1979 menjadikan Kepala Desa dan sekretaris Desa sebagai ketua dan Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa (LMD), menjadikan Kepala Desa sebagai ketua umum (ex officio) Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), serta mendefinisikan desa sebagai sebatas unit pemerintahan bukan sebagai organisasi sosial. Kondisi ini melumpuhkan peran Nagari, misalnya kurangnya peran ninik mamak sebagai pemimpin dalam kaumnya dan melemahkan partisipasi masyarakat dan akhirnya melemahkan kekuatan lokal sebagai pengikat masyarakat. Kebijakan baru dari Pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sering bersifat searah (top down) dan seragam ikut berpengaruh menjadikan struktur adat yang awalnya kokoh dan mendarah daging dalam masyarakat akhirnya menjadi pudar bahkan cenderung hancur. Menurut Naim (1990) hilangnya Nagari sebagai unit pemerintahan yang efektif terbawah menyebabkan hilangnya pula prinsip keterpaduan unit pemerin-
188 tahan adat dengan pemerintahan formal yang menjadi ciri khas sistem pemerintahan nagari. Ternyata desa di Sumatera Barat tidak mampu melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri, sehingga laju pembangunan di desa menjadi lambat karena minimnya partisipasi masyarakat. Dengan keluarnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dilaksanakannya otonomi daerah, maka Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007, tentang semangat kembali ke Pemerintahan Nagari. Dengan Perda tersebut maka pemerintahan terkecil di Propinsi Sumatera Barat kembali berbentuk Pemerintahan Nagari. Alasan utama Sumatera Barat “kembali ke Nagari” adalah karena Nagari dipandang efektif dan berpengalaman untuk menciptakan ketahanan tradisional dan kearifan lokal masyarakat Sumatera Barat. Kelembagaan Nagari telah berpengalaman dalam menjaga harta komunal termasuk tanah dan hutan. Hal ini merupakan peluang bagi Nagari untuk menjaga kelestarian alam. Aturan Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang kembali ke pemerintahan Nagari sudah dijalankan di berbagai Kabupaten di Sumatera Barat, namun Pemerintahan Kota Padang belum menjalankan aturan tersebut dan pemerintahan terendahnya tetap dalam bentuk Kelurahan yang dipimpin oleh seorang Lurah. Lurah adalah pejabat yang diangkat oleh Walikota Padang, dan penunjukkannya tidak terkait sama sekali dengan ikatan hukum adat masyarakat dalam Nagari. Sehingga kepemimpinan seorang Lurah tidak mengakar dalam Nagari. Dengan demikian terjadi dualisme kepemimpinan dalam Nagari di Kota Padang, yaitu urusan pemerintahan di pegang oleh Lurah dan urusan adat dipegang oleh Penghulu yang tergabung dalam lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN). Keberadaan KAN merupakan pengukuhan kembali lembaga adat yang sudah ada sejak zaman Belanda melalui Peraturan Daerah Pemerintah Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 1983, dan merupakan salah satu upaya untuk memperkuat peran Ninik Mamak, yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dalam komunitas adat Minangkabau. KAN berfungsi sebagai lembaga peradilan adat, untuk menyelesaikan berbagai permasalahan adat, misalnya menyelesaikan sengketa tanah dan warisan.
189 KAN beranggotakan “Tungku Tigo Sajarangan” yang merupakan perwakilan masyarakat yang ada di Nagari, yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum intelektual), dan ninik mamak para pemimpin suku dalam Nagari. Sistem perwakilan yang dipakai dalam lembaga KAN tergantung kelahiran dan suku yang ada pada Nagari tersebut. Setiap suku diwakili oleh para penghulu sukunya di dalam KAN. KAN Nagari Lubuk Kilangan terdiri dari enam suku; KAN Nagari Koto Tangah terdiri dari 12 Suku; dan KAN Nagari Limau Manih terdiri dari 7 Suku. Semua sengketa anak kemenakan yang ada diselesaikan secara “bajanjang naik batanggo turun”, artinya, setiap permasalahan yang ada diselesaikan mulai dari bawah, bila tidak ditemukan pemecahannya baru di bawa ke tingkat yang lebih tinggi, dan terakhir ke Lembaga KAN. Namun apa yang diputuskan oleh KAN tidak memiliki kekuatan hukum formal, sehingga bila keputusannya tidak dilaksanakan maka tidak ada sanksi formal, hanya ada sanksi sosial dari masyarakat adat, misalnya dikucilkan oleh warga dari pergaulan14. Dalam era otonomi daerah di Kota Padang, hukum adat atau kearifan lokal belum difungsikan kembali dan belum dijadikan wacana dalam pembangunan Nagari, termasuk belum menjadikannya sebagai tolak ukur pembangunan masyarakat. Hukum Adat sebagai dasar peletakan kearifan lokal dalam pembangunan Nagari belum diimplementasikan oleh pimpinan pemerintahan terendah. Pemerintahan, mulai
dari satuan terkecil Kelurahan ataupun Nagari hingga
tingkat Propinsi baru menjalankan sebatas wacana dan belum sampai pada implementasi hukum adat dalam tata pemerintahan. Padahal hukum adat seharusnya sangat mungkin dijalankan karena ia bersifat wajar. Hukum inilah yang asli, karena merupakan adat kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Para pemangku adat melalui Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM, semacam lembaga permusyawaratan adat yang beranggotakan para pimpinan adat) Sumatera Barat dan LKAAM Kota Padang telah mengusulkan agar Pemerintah Kota Padang menerapkan Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang kembali ke Nagari tersebut, namun belum ada respon dari Pemerintah Kota Padang.
14
Wawancara dengan Bapak Basri Datuak Rajo Sani (Ketua KAN); Masran Rajo Nan Putiah, Mamak Suku Caniago; dan Bachtiar Rajo Johan, Malin pada KAN Nagari Lubuk Kilangan
190 Menurut Von Savigny (1979) dalam Firmansyah (2008) dalam masyarakat terdapat dua hukum, yaitu hukum negara dan hukum adat, hukum yang asli adalah hukum adat, yaitu hukum yang berbeda menurut tempat dan waktu. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat, sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Saat ini, terjadi dualisme cara memandang hukum itu sendiri karena kita juga diatur oleh undang-undang negara yang kadang-kadang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan bertentangan dengan kenyataan sehari-hari. Menurut Julius Binder (1990) dalam Firmansyah (2008), jika isi undang-undang melawan rasa keadilan maka undang-undang itu tidak dapat disebut hukum yang benar. Perubahan struktur pemerintahan Nagari pada SWP DAS Arau telah menyebabkan lunturnya adat, budaya dan etika dalam kehidupan keseharian masyarakat ber-Nagari, termasuk dalam pengelolaan hutan.
Hukum adat
kendatipun hingga saat ini sebagian masih dipergunakan, tetapi sudah banyak yang tidak dipakai lagi. Pada umumnya, di Kota Padang hukum adat hanya dipakai dalam pengurusan masalah adat, serta tidak lagi dipakai dalam pengaturan urusan pemerintahan.
Kearifan-kearifan aturan adat ini kadangkala sengaja
dihilangkan karena kepentingan pribadi, golongan, politik atau kekuasaan. Dari wawancara dengan Narasumber tokoh adat (penghulu), berbagai indikator hilangnya budaya dan kearifan dalam masyarakat ber Nagari dapat diukur dengan mulai pudarnya budaya musyawarah dalam pengaturan pemerintahan dan pembangunan Nagari. Menurut Narasumber, walaupun setiap tahun ada kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan (musrenbang) di tingkat kecamatan, namun tokoh adat yang tergabung dalam KAN tidak dilibatkan dalam penyusunan rencana pembangunan tersebut. Kalaupun KAN diundang dalam acara musrenbang tersebut, hanya formalitas belaka, karena rencana kegiatan pembangunan telah disusun secara top down. Indikator lainnya, Mamak tidak berkuasa lagi menegur kemenakan, kemenakan yang tidak lagi menghormati Mamaknya, pudarnya semangat gotong royong, pergaulan muda-mudi yang tidak lagi memperhatikan sopan santun karena terlindas globalisasi sehingga tidak sesuai lagi dengan adat budaya Minangkabau.
191 Berdasarkan hasil wawancara dengan Narasumber, maka penyebab luntur atau hilangnya hukum adat dan kearifan budaya antara lain karena : pertama, pelaksanaan sistem pemerintahan; eksekutif, legislatif dan yudikatif. kekuasaan ini tidak mengakomodir
Ke tiga
hal asal usul masyarakat Minangkabau
sehingga menghilangkan tatanan dan peran budaya asli seperti peran Penghulu, alim ulama dan cerdik pandai. Misalnya dari wawancara dengan Narasumber adanya kasus ketika seorang Mamak menegur kemenakannya yang tidak sopan atau yang telah membuat kesalahan, kemenakan bisa melaporkan Mamak ke polisi tentang delik perbuatan tidak menyenangkan, sehingga akhirnya Mamak harus berurusan dengan polisi, dan untuk selanjutnya Mamak menjadi enggan menegur kemenakan yang salah. Atau jika seseorang telah tersangkut perkara pidana yang sudah ada penetapan hukumnya (inkracht), kemudian keluar dari penjara dan dapat kembali memegang jabatan penting di masyarakat walaupun secara hukum formal tidak salah tapi menurut prinsip adat Minangkabau alue jo patuik (tuntunan moral dan kepatutan) perlu dipertimbangkan, hal tersebut sangat tidak patut dilakukan. Pada zaman dahulu, aturan-aturan adat yang sejalan dengan aturan pemerintahan nagari berjalan dengan baik, karena para pemangku adat dan masyarakat melaksanakan dengan baik. Setiap perilaku, tingkah dan kehidupan tidak terlepas dari hukum adat dan bagalanggang di mato rang banyak (terlihat oleh masyarakat; transparan). Hukum adat bajanjang naiak batanggo turun (penerapannya bertingkat) dengan adanya struktur adat dan Penghulu Kaum berjalan konsisten. Mulai dari Pucuak Suku, Tuo Kampuang, Andiko dan berurut ke bawah sampai pada Manti, Dubalang, Malin dan Pandito. Peradilan adatpun sangat berwibawa dan sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari. Hakim, penuntut, panitera adat sudah tersusun sedemikian rapi dalam menjaga kelestarian hukum adat. Aturan dan peraturan dijalankan secara bersama karena adanya kesadaran hukum yang begitu mengikat. Setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. Tatanan ini dirasakan bersama dan bergerak bersama denyut nadi kehidupan Nagari. Terjadinya degradasi kearifan tradisional masyarakat Nagari karena pengaruh kearifan lokal “kamanakan baraja ka mamak, mamak baraja ka
192 panghulu, panghulu baraja ka nan bana, nan bana badiri sandirinyo (manuruik alua jo patuik berdasarkan prinsip musyawarah)” (Kemenakan berguru kepada Mamak; Mamak berguru kepada Penghulu; Penghulu berguru pada kebenaran; Kebenaran berdiri sendiri (kebenaran didapat berdasarkan prinsip kepatutan dan musyawarah) tidak dipakai lagi, tetapi digantikan kekuasaan formal berdasar konstitusi murni yang ternyata belum sepenuhnya teruji sebagai alat pengatur sosial budaya di Minangkabau, sehingga terjadinya kelunturan moral, luntur budaya, luntur adab sopan santun yang sebelumnya telah diatur oleh adat Minangkabau. Kedua, penguasaan sumberdaya alam.
Hukum tanah ulayat dan tanah
pusako tinggi pada SWP DAS Arau tidak mendapat peranan lagi, walaupun dalam Undang-Undang keberadaannya diakui tetapi dalam implementasi tidak terukur. Dengan adanya sertifikasi tanah membuat masyarakat secara pribadi menjadi aman dan terlindungi. Namun jika dihubungkan dengan ketersediaan sumberdaya alam, terutama tanah (di Kota Padang), hanya dapat dimanfaatkan sebesar 48% saja, selebihnya kawasan hutan lindung, pegunungan dan perairan yang memerlukan konservasi untuk mengurangi bencana. Dengan adanya program sertifikasi (sebagian besar tanah telah bersertifikat) akan terjadi ekploitasi tanah termasuk tanah ulayat secara berlebihan oleh pemilik tanah. Misalnya, banyak pemilik tanah di daerah perbukitan Nagari Koto Tangah, yang merupakan daerah hulu DAS Batang Air Dingin, menjual tanah yang berbukit pada tanah ulayatnya untuk tanah timbunan sehingga merusak lingkungan di sekitarnya, air sungai menjadi kotor karena erosi dan sedimentasi. Apalagi saat ini pembangunan sedang gencar di laksanakan di sepanjang koridor by pass, yang tadinya daerah rawa sehingga membutuhkan banyak timbunan, yang diambil dari tanah perbukitan di Koto Tangah, sehingga Padang rawan bencana banjir dan longsor karena hutannya kian rusak. Ketiga, Sistem kepemimpinan. Demokrasi saat ini, rata-rata hanya melahirkan pejabat-pejabat bukan pemimpin. Pejabat adalah orang yang diberi jabatan oleh sekelompok eksekutif dan sekelompok legislatif untuk menjalankan program kegiatan rakyat melalui pemilihan, satu orang satu suara (one man one vote).
Sedangkan pemimpin di Minangkabau yang dikenal dengan sebutan
193 Penghulu, dilahirkan melalui kata mufakat dan musyawarah dengan syarat pemimpin adalah orang yang mempunyai jiwa yang jujur, dapat dipercaya, bijaksana dan seorang penyampai kebenaran (sidik, amanah, fatanah dan tabligh), kemudian disepakati bahwa pemimpin tersebut berada di depan sebagai pemrakarsa dan penunjuk jalan (didahulukan selangkah) dan dihormati (ditinggikan serantiang). Pertanyaan sederhananya adalah jika pejabat mewakili siapa? Maka jawabnya sering berdalih untuk rakyat bukan golongannya, kaumnya atau mewakili diri sendiri.
Tetapi jika ditanya penghulu mewakili siapa, maka
jawaban secara empiris dilihat dari penampilan penghulu tersebut, dimana seorang penghulu bajunya tidak mempunyai saku untuk menyimpan uang dan emas, bercelana besar dan berbalut kain kecil dan berkeris menyamping ke kiri menandakan penghulu tersebut mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan anggota kaum dibanding diri sendiri. Aturan Formal dan Aturan Adat dalam Pengelolaan Hutan Perbedaan tataran kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah dan masyarakat adat pada ketiga Nagari telah menimbulkan konflik yang berdampak pada kelestarian hutan.
Dari hasil penelusuran, observasi lapangan dan hasil
wawancara dengan berbagai sumber, maka dapat diuraikan sebagai berikut. Keterlibatan masyarakat dalam Pengelolaan Hutan.
Sebelum tahun
1916, semua hutan adalah hutan ulayat yang pengelolaannya diatur oleh Penghulu dalam Nagari sesuai dengan aturan adat. Pada tahun 1916, terjadi kesepakatan antara tokoh adat dengan pemerintah Belanda tentang pembagian kawasan hutan, yaitu hutan pemerintah Belanda yang bernama hutan Register dan hutan yang terletak di luar hutan register adalah hutan ulayat. Hutan Register dikelola oleh Pemerintah Belanda, sedangkan hutan ulayat dikelola oleh Penghulu berdasarkan aturan adat. Berdasarkan Gouvernement Besluit (GB) Nomor 6 tanggal 1 Juli 1921 dan Nomor 32 tanggal 31 Januari 1921, kawasan hutan register pada SWP DAS Arau, terdiri dari Register 6 dan Register 10. Sejak kemerdekaan diproklamirkan kedaulatan raja-raja di Nusantara berakhir dan berubah menjadi kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh Pemerintah In-
194 donesia yang dipilih oleh rakyat. Setelah Indonesia merdeka, Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Dengan lahirnya UU tersebut maka dilakukan penunjukkan fungsi kawasan, yang terbagi atas Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Areal Penggunaan Lain serta membagi kepemilikan hutan atas Hutan Negara dan Hutan Milik. UU Nomor 5/1967 hanya mengakui hutan rakyat sebagai hutan yang berada di atas hak milik (Pasal 2 UU No. 5/1967), sedangkan hutan adat (hutan di atas hak ulayat) dengan sistem penguasaan bersifat komunal tidak dikenal lagi dalam UU ini. Sehingga hak masyarakat adat atas hutan mereka dinafikan. Penunjukkan kawasan hutan yang diikuti dengan penataan batas kawasan hutan tidak melibatkan masyarakat Nagari dan tokoh-tokoh adat sebagai penguasa hutan ulayat. Kendatipun dalam prosedurnya penataan batas dilakukan melalui konsultasi dan koordinasi dengan masyarakat sekitar hutan, namun dalam implementasinya sering tanpa melibatkan masyarakat dan tokoh adat sebagai penguasa hutan ulayat. Dengan penunjukkan kawasan hutan, maka menurut masyarakat adat, menurut kesepakatan berdasarkan peta hutan Register, terdapat sebagian hutan ulayat Nagari pada lokasi penelitian yang dijadikan kawasan hutan Negara (Hutan lindung dan Hutan Konservasi)
Respon masyarakat ke tiga
Nagari seputar tumpang tindihnya hutan ulayat dan kawasan hutan negara serta ketidakjelasan hak ulayat mereka di kawasan hutan (yaitu hutan ulayat yang ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan konservasi) adalah berupa penolakan, kekecewaan dan kegelisahan atas kebijakan kehutanan yang tidak mengakui hak mereka atas hutan ulayatnya, yang dimanifestasikan dalam bentuk pencabutan patok batas dan pengabaian larangan berladang di kawasan hutan Negara yang diakui sebagai hutan ulayat nagari. Penetapan kawasan hutan “secara sepihak” oleh pemerintah berdampak langsung kepada eksistensi pengelolaan hutan oleh masyarakat Nagari dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Hal
ini
menyebabkan :
(1) Ketidakpastian hak ulayat dalam pengelolaan hutan karena kaburnya atau tidak diakuinya status hutan ulayat di kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan negara; (2) Berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan karena tertutupnya akses masyarakat dalam pengelolaan hutan di Nagari; dan (3) Lun-
195 turnya aksi kolektif dalam perlindungan hutan karena hilangnya
kontrol
masyarakat terhadap hutan ulayat di kawasan hutan, sehingga perambahan hutan maupun penebangan liar di luar kendali institusi Nagari (Kerapatan Adat Nagari). Berikut ini akan dijabarkan lebih lanjut masalah dan dampak tumpang tindih kawasan hutan ulayat dan hutan Negara terhadap pengelolaan hutan oleh masyarakat Nagari. (1) Tidak diakuinya status hutan ulayat di kawasan hutan Negara menimbulkan ketidakpastian hak ulayat dalam pengelolaan hutan Legitimasi pengelolaan sumberdaya alam oleh negara adalah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketentuan ini kemudian melahirkan konsepsi hak
menguasai negara (HMN) atas sumberdaya alam. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria menjabarkan konsepsi HMN lebih lanjut, yaitu Negara sebagai (a) Penguasa sumberdaya alam (resource lord), b) pengusaha sumberdaya alam (government resource investment institution), (c) institusi yang memproteksi sumberdaya Penafsiran
tersebut
hingga
alam saat
(resource protection institution). ini menjadi mindset
pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia. Menurut Firmansyah (2008), paradigma
pengaturan dan
pengelolaan
sumberdaya alam yang berbasis Pemerintah tersebut berimplikasi terhadap terciptanya
model
hukum
yang represif, yang
mengandung
ciri-ciri
sebagai berikut: (a) berisi norma-norma yang mengabaikan, memarjinalisasi, dan bahkan menggusur hak-hak rakyat (khususnya hak masyarakat adat) atas penguasaan
dan pemanfaatan
sumberdaya
alam;
(b) mengutamakan
pendekatan keamanan (security approach); (c) menonjolkan sanksi-sanksi hukum yang hanya ditujukan untuk rakyat yang melakukan
pelanggaran
hukum; dan (d) memberi stigma kriminalisasi bagi pelanggar hukum sebagai perusak SDA, penjarah kekayaan alam, peladang liar, perambah
hutan,
perusuh keamanan hutan, dan lain-lain stigma yang bermakna sama. Lebih lanjut, Firmansyah (2008) menyatakan turunan paradigma tersebut berlaku juga pada sektor kehutanan. UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang
196 Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Undang-Undang Pokok Kehutanan, UUPK) adalah kebijakan kehutanan komprehensif pasca kemerdekaan. UUPK memutus mata rantai penguasaan hutan yang dinilai kolonialistik di era penjajahan dan beragam penguasaan hutan oleh rakyat dengan semangat penguasaan oleh Negara. Namun, UUPK belum mampu mengoreksi penguasaan hutan oleh Pemerintah Kolonial di masa penjajahan yang telah mengambil alih hak-hak masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan. UUPK secara tegas menyatakan bahwa hutan dan segala sumberdaya alam yang ada di dalamnya yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh negara. Hak menguasai dari negara tersebut
memberi
perencanaan,
wewenang untuk : (a) Menetapkan
peruntukan,
penyediaan dan
dan
penggunaan
mengatur
hutan
sesuai
dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara; (b) Mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas; (c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. HMN oleh UUPK ditafsirkan bahwa Menteri berwenang membagi hutan berdasarkan kepemilikannya yaitu (a) hutan negara ialah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik; (b) hutan milik ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Hutan milik ini kemudian dikenal dengan “hutan rakyat”. Hal penting lainnya adalah bahwa UUPK menyatakan kawasan hutan adalah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Kawasan hutan tersebut ditentukan melalui proses pengukuhan kawasan hutan, sehingga muncullah kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, dan/atau hutan wisata. Pengukuhan kawasan hutan selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. PP ini menyebutkan bahwa pengukuhan hutan merupakan bagian dari perencanaan hutan yang terdiri atas: (1)
Rencana umum, (2)
penatagunaan hutan,
dan
Rencana (4)
pengukuhan
Rencana
penataan
hutan, (3) Rencana hutan.
PP
ini
menggariskan bahwa rencana yang memuat kegiatan pemancangan dan
197 penataan batas untuk memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan. Pada masa itu pengukuhan kawasan hutan dilakukan oleh Menteri Pertanian yang membawahi Direktorat Jenderal Kehutanan. Untuk melaksanakan pengukuhan tersebut, Menteri Pertanian kemudian menunjuk Panitia Tata Batas yang tata kerjanya akan diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah hutan yang dikukuhkan oleh Menteri Pertanian tersebut menjadi kawasan hutan, begitu juga sebaliknya perubahan batas kawasan yang telah ditetapkan dengan berita acara tata batas harus dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian.
PP Nomor 33 Tahun 1970, memberi
kewenangan kepada Menteri Pertanian untuk menetapkan manakah kawasan hutan negara dan yang bukan. Aturan pengukuhan kawasan hutan kemudian dikeluarkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 85 Tahun 1974
tentang
pertengahan
Pedoman
1980-an
Penataan
Batas Kawasan
hampir tiga perempat dari
Hutan.
Pada
keseluruhan
tanah
Indonesia ditunjuk oleh Departemen Kehutanan yang baru sebagai kawasan hutan. Proses tersebut dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan melalui
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). TGHK dalam kerjanya
melakukan survei dan pemetaan vegetasi berdasarkan penginderaan jauh dan ditentukan oleh proses penilaian biofisik dengan kriteria pemberian nilai (scoring) dan mengabaikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 422/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Dati I Sumatera Barat, 52,57% (36.539 hektar) wilayah Kota Padang merupakan Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW, 23.655 hektar) dan Hutan Lindung (12.850 hektar). Sedangkan pada SWP DAS Arau, luas kawasan hutan mencapai 60,86% (32.098 ha, terdiri dari 23.454 ha HSAW dan 7.644 ha HL). Ternyata penunjukkan kawasan hutan oleh TGHK menuai respon negatif dari para pihak lainnya. Pemerintah Daerah banyak yang menentang batas dan kekakuan penggunaan ruang yang berhubungan dengan pilihan-pilihan pembangunan, termasuk Pemerintah Kota Padang, sehingga kemudian terjadi kolaborasi di tahun 1999, yang menghasilkan sinkronisasi antara TGHK
198 dengan
RTRWP
(Rencana Tata
Ruang
Wilayah Propinsi)
sehingga
menghasilkan kawasan hutan melalui pemaduserasian antara TGHK dan RTRWP. Selain itu, masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan yang sebahagian besar adalah masyarakat adat menolak penetapan sepihak kawasan hutan, yang berimplikasi pada hilangnya ruang-ruang masyarakat adat terhadap hutannya. Dengan proses penetapan kawasan hutan yang sentralistik dan tidak partisipatif tersebut menimbulkan hilangnya akses masyarakat adat terhadap hutan, dengan kata lain hilangnya hak masyarakat adat (hak ulayat) terhadap hutan, setidaknya pengaburan hak ulayat masyarakat adat terhadap hutannya.
Berdasarkan padu serasi RTRW
dan TGHK, maka luas kawasan hutan pada SWP DAS Arau menjadi 56,35% (29.720 ha, terdiri dari 23.382 ha HSAW dan 6.338 ha Hutan Lindung). Pada era reformasi, UUPK Nomor 5 Tahun 1967 diganti dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK). UUK membagi status hutan atas 2 macam, yaitu Hutan Negara dan Hutan Hak. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak, sedangkan Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Setidaknya
terdapat
kemajuan
dalam
UUK
yang mengakomodir
keberadaan hutan adat dalam ruang lingkup hutan negara. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Namun, pengaburan hak ulayat masyarakat adat terhadap hutannya tidak mengalami perubahan berarti. Perubahan terhadap UUPK hanya pada memasukkan klausul baru berupa kewenangan pemerintah untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan
kawasan hutan
dan penguasaan
hutan
oleh
Negara
tetap
memperhatikan hak masyarakat adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannnya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pengaburan hak masyarakat adat selanjutnya dipertegas dengan tidak adanya perubahan secara utuh hutan adat dari domain hutan negara oleh UUK.
Sehingga ambiguitas pengakuan terhadap hutan adat tersebut
tidak memberi pijakan hukum yang berarti bagi keberadaan hutan adat. Dampak penetapan kawasan hutan dengan penetapan hutan lindung dan
199 HSAW yang tumpang tindih dengan hutan ulayat, dalam prakteknya mendapat penolakan masyarakat Nagari, yang termanifestasi dengan aksi sebagian masyarakat mencabut patok hutan lindung sehingga saat ini banyak patok batas yang sudah hilang, berakibat batas kawasan hutan tidak jelas dan tetap berladangnya masyarakat dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Berdasarkan data Distannakhutbun Kota Padang, pada tahun 2009 telah terjadi perambahan HL seluas 350 ha dan perladangan berpindah 122 ha. (2) Menurunnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan karena tertutupnya akses masyarakat dalam pengelolaan hutan di Nagari Kaburnya status hutan ulayat Nagari atas hutan negara menimbulkan implikasi negatif terhadap keberadaan hutan ulayat, diantaranya tertutupnya akses masyarakat
Nagari terhadap
hutannya.
Dampak nyata
tersebut
adalah larangan pemanfaatan kayu untuk kebutuhan dalam Nagari sendiri. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup besar, sehingga pembatasan dan atau penutupan akses mereka dalam pengelolaan hutan berdampak langsung
bagi
ekonomi masyarakat.
Selain
itu,
kondisi
ini
juga
berdampak terhadap pola pengelolaan hutan berdasarkan nilai-nilai adat, dan bahkan hilangnya hak ulayat masyarakat nagari terhadap hutan mereka. Pembatasan pemanfaatan hutan oleh masyarakat bukan hanya melarang pemanfaatan kayu, tetapi juga terhadap pemungutan hasil hutan non kayu, yaitu dengan tidak ada ijin yang diberikan untuk pemungutan hasil hutan non kayu pada hutan lindung. Bahkan ada himbauan (instruksi lisan) dari Walikota Padang agar Distannakhutbun tidak mengeluarkan ijin pemungutan hasil hutan pada hutan lindung dan SKAU untuk kayu rakyat karena dikhawatirkan akan memicu perambahan hutan lindung. Himbauan ini dipatuhi oleh Distannakhutbun dengan tidak mengeluarkan ijin pemungutan hasil hutan pada hutan lindung.
Larangan dan pembatasan-pembatasan
tersebut
sebenarnya secara tidak langsung menutup akses masyarakat Nagari untuk mengelola hasil hutan non kayu dan mengembangkan hasil hutan kayu pada lahan milik rakyat di luar kawasan hutan Negara. Bentuk-bentuk pengaturan yang menutup akses masyarakat Nagari dalam mengelola hasil hutan non kayu pada hutan lindung dan hasil hutan kayu pada lahan milik rakyat adalah:
200 (1)
tidak
dikenalnya
institusi
adat
atau
Nagari
sebagai subjek
pemanfaatan hasil hutan; (2) sistem perizinan pemanfaatan yang sangat prosedural dan bertumpu pada kebijaksanaan Walikota sebagai satusatunya subjek pengelola hutan; dan (3) tidak dikenalnya hutan ulayat (hutan adat). Kebijakan Walikota yang mengeluarkan himbauan (instruksi lisan) untuk tidak menerbitkan SKAU bagi kayu rakyat kontradiktif dengan upaya pembangunan kehutanan melalui pengembangan hutan rakyat di luar kawasan hutan Negara untuk memenuhi kebutuhan kayu yang kian meningkat. Karena kendala prosedur perijinan pasca panen dan pemasaran tersebut, masyarakat enggan menanam kayu pada lahan miliknya sehingga kebijakan tersebut menjadi kontraproduktif bagi pengembangan hutan rakyat di Kota Padang. (3) Lunturnya aksi kolektif dalam perlindungan hutan karena hilangnya kontrol masyarakat terhadap hutan ulayat di kawasan hutan Pembatasan pengelolaan hutan terhadap masyarakat Nagari menimbulkan “efek domino” terhadap kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Rentetan dampak tersebut dirasakan masyarakat berupa melunturnya nilainilai kebersamaan/komunal yang merupakan semangat dasar pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat Nagari dalam pengelolaan hutan, dan kontras dengan menguatnya nilai-nilai individualisme seiring dengan fenomena cukong-cukong kayu yang memanfaatkan masyarakat di sekitar hutan dalam mengeruk hasil hutan secara tidak bertanggung jawab. Kondisi tersebut juga berakibat menipisnya peran institusi lokal (adat) sebagai pengelola sekaligus pengawas penerapan nilai-nilai adat memberikan andil terhadap pergeseran nilai-nilai kearifan dalam pengelolaan hutan. Dari aspek
ekonomi, terjadi proses pemiskinan terhadap
masyarakat
Nagari dengan beralihnya pola tradisional masyarakat yang selama ini mengelola dan menggantungkan pencaharian komplementernya kepada hasil hutan kepada aktivitas lain dan mengakibatkan lemahnya kemampuan masyarakat tersebut dalam menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Ternyata penerapan kebijakan kehutanan bukan hanya menutup akses masyarakat
Nagari
atas
hutannya,
namun
juga
berimplikasi
pada
hilangnya kontrol masyarakat Nagari terhadap hutan. Fenomena ini terlihat
201 dari lemahnya kontrol masyarakat Nagari atas praktek pencurian kayu yang
dilakukan
oleh “cukong”
kayu
dengan
melibatkan
oknum
masyarakat lokal sebagai orang terdepan dalam operasional kegiatannya. Dari pengakuan salah satu responden yang pernah jadi buruh tebang kayu, kendatipun penebangan kayu di hutan lindung tidak dibolehkan, namun kegiatan itu terus berlangsung hingga saat ini. Pada umumnya buruh tebang dan angkutnyanya adalah oknum masyarakat lokal, dengan upah buruh tebang Rp 300.000,-. se kubik dan upah buruh untuk membawa kayu dari hutan ke pinggir jalan, dengan jarak lebih kurang 2 km sebesar Rp 350.000,-. Dia mengaku melakukannya karena kebutuhan hidup, walaupun tahu hal itu melanggar aturan Pemerintah. Dari hasil wawancara dengan responden, 63% responden menyatakan mengetahui adanya penebangan liar (illegal logging) dalam kawasan hutan lindung dan 37% menyatakan tidak tahu adanya penebangan liar dalam hutan lindung (Lampiran 7), namun 52% responden menyatakan mereka tidak akan melakukan apa-apa karena hutan lindung adalah milik Negara dan selama ini mereka dilarang memanfaatkannya sehingga mereka tidak peduli bila ada yang mencuri kayu di sana. 30% responden lainnya menjawab mereka akan menegur pelaku penebangan liar tersebut karena akibat yang ditimbulkan oleh penebangan liar tersebut akan merugikan masyarakat di sekitar hutan. Sedangkan yang lainnya menyatakan mereka akan melaporkan kepada penghulu dan atau kepada polisi hutan. Demikianlah, penebangan liar, tidaklah melulu masalah penegakan hukum belaka, tetapi juga berkaitan dengan tumpang tindihnya status hutan, seberapa besar manfaat yang bisa diperoleh masyarakat dari hutan tersebut dan kepedulian serta partisipasi masyarakat sekitar.
Masalah
ini
kemudian
diiringi dengan ketimpangan pola pengelolaan hutan antara masyarakat Nagari dengan pemerintah pada satu sisi dan pemilik modal di sisi lainnya. Kondisi
ini mendorong terjadinya pencurian kayu secara masif
sehingga kerusakan hutan terus berlanjut.
202 Institusi Adat dan Institusi Formal dalam Pengelolaan Hutan Hutan adalah sumberdaya milik bersama (common pool resources, CPR), yang rentan terhadap eksploitasi yang berlebihan sehingga akan mengancam kelestariannya. Berdasarkan pembelajaran dari sejumlah tempat, Ostrom (1990) mendesain 8 (delapan) prinsip yang menjadi ciri konfigurasi aturan yang digunakan oleh institusi pengelola sumberdaya milik bersama (CPR) yang lestari (bertahan lama), yang melibatkan aksi kolektif.
Dari penelitian yang dilakukan
Gautam dan Shivakoti (2005) pada pengelolaan hutan Dhulikhel dan Jyalachitti, di Middle Hills Nepal, mereka merekomendasikan bahwa 8 (delapan) prinsip desain Ostrom dapat diterapkan dalam kegiatan pengelolaan hutan dengan penyempurnaan pada prinsip 2,4 dan 7 (disajikan pada Tabel 4). Dalam pengelolaan hutan pada SWP DAS Arau ini, kami mencoba menganalisis pemenuhan prinsipprinsip untuk pengelolaan hutan lestari pada institusi pengelolaan hutan yang ada, dengan membandingkan pengelolaan hutan berdasarkan institusi formal yang dijalankan pemerintah Kota Padang dalam pengelolaan hutan lindung, yang dilakukan oleh Distannakhutbun Kota Padang dan institusi adat melalui aturan dan normanorma adat dalam pengelolaan hutan ulayat. Prinsip desain Ostrom-GS (2005) juga akan dibandingkan dengan pola-pola pengelolaan hutan yang diperoleh dalam pengelolaan hutan berdasar norma-norma adat yang telah diterangkan sebelumnya. Diharapkan hasil analisis dapat digunakan untuk pengembangan konsep pengelolaan hutan sebagai sumberdaya milik bersama secara lestari dan dapat memecahkan konflik pengelolaan hutan dan tumpang tindihnya hak kepemilikan hutan pada SWP DAS Arau. Hasil pengumpulan data dan pengamatan lapangan menunjukkan kondisi kawasan HL pada SWP DAS Arau dengan pola pengelolaan yang diterapkan pemerintah seperti yang diuraikan sebelumnya, menyebabkan kondisi HL semakin menurun dan semakin meluasnya lahan kritis serta menyimpan potensi konflik dengan masyarakat sekitar HL. Penurunan kondisi HL SWP DAS Arau yang dirasakan warga saat ini terjadi karena meningkatnya ekstraksi hasil hutan “illegal” (kayu, dan non kayu), baik oleh penduduk sekitar kawasan hutan dan dari luar serta adanya jalan dan pondok-pondok peladang di dalam HL, kendatipun adanya larangan total terhadap pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan pada HL.
203 Pengaturan tata kelola pada pengelolaan hutan lindung oleh Pemerintah Kota Padang dan berdasarkan norma-norma adat memiliki perbedaan yang cukup besar. Bagian ini akan menganalisis pengaturan institusi antara kedua pola tersebut menggunakan modifikasi prinsip desain Ostrom-GS (2005) sebagai kerangka evaluasi, untuk melihat model institusi pengelolaan yang lebih memenuhi syaratsyarat bagi institusi pengelola CPR hutan yang lestari pada SWP DAS Arau. 1. Prinsip Desain 1: Tata batas ditentukan secara jelas a) Sumberdaya hutan Sistem pengelolaan hutan berdasar norma adat dan pengelolaan hutan lindung oleh Pemerintah Kota Padang, dalam hal ini oleh Distannakhutbun, mempunyai batas yang jelas, namun di lapangan kenyataannya berbeda. Batas Hutan Ulayat umumnya menggunakan batas alam seperti sungai, jalan atau tanda-tanda alam lainnya dan batas hutan antara hutan dan non hutan disepakati serta diketahui oleh anggota komunitas. Batas Hutan Lindung berupa patok batas dari beton atau plat seng, pada saat peñataan batas tidak melibatkan masyarakat sekitar, sehingga sebagian besar pengguna hutan dan masyarakat sekitar hutan tidak mengakui dan tidak mengetahui batas-batas tersebut. b) Pengguna Hutan Pada Hutan Ulayat definisi pengguna dengan hak hukum atas sumber daya diatur secara jelas dalam aturan adat. Dalam pengelolaan Hutan Ulayat, institusi adat, lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) memiliki daftar atau identitas Suku atau Kaum yang menggunakan Hutan Ulayat dengan jelas. Sedangkan pada pengelolaan Hutan Lindung oleh Distannakhutbun, tidak ada definisi pengguna dan hak hukumnya. Walaupun UU Nomor 41 Tahun 1999 mengatur tentang hak pemanfaatan hutan pada Hutan Lindung, namun kebijakan Pemerintah Kota Padang yang tidak memberikan ijin pemanfaatan Hutan Lindung kontradiksi dengan hal tersebut. Walaupun tidak ada pengguna yang sah pada kawasan Hutan Lindung, faktanya Hutan Lindung telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak walaupun tanpa ijin resmi. Oleh karena itu pengguna Hutan Lindung tidak teridentifikasi dengan jelas. Distannakhutbun menganggap masyarakat yang mengguna-
204 kan kawasan dan memanfaatkan hasil hutan dari HL sebagai pengguna liar atau disebut sebagai perambah hutan. Sementara itu, masyarakat Nagari yang menggunakan HL tanpa ijin resmi Distannakhutbun mengklaim bahwa itu adalah Hutan Ulayat mereka dan telah menggunakan hutan ini selama beberapa generasi, sebelum penetapan sebagai HL. Dengan penetapan sebagai HL, walaupun ada larangan, pengambilan hasil hutan tetap berlangsung, pengambilan hasil hutan tidak saja terjadi oleh masyarakat sekitar tapi juga oleh orang luar. 2. Prinsip Desain 2: Kesesuaian a) Distribusi keuntungan dari pengaturan larangan proporsional dengan biaya yang dikenakan pada aturan yang diterapkan. Kesesuaian antara pelarangan dan pengaturan atau antara hak dan kewajiban, menunjukkan bahwa pengguna yang berkontribusi lebih banyak untuk pembangunan dan pemeliharaan sistem sumber daya harus menerima lebih banyak manfaat dari sistem. Poin penting di sini adalah bahwa aturan-aturan ini harus mempertimbangkan keadilan dan diakui oleh para peserta sendiri (McGinnis dan Ostrom 1996). Kondisi ini ditemukan dalam Hutan Ulayat, pada azas keadilan ekonomi tercermin dari pengaturan bagi hasil dalam pengelolaan hutan, melalui instrument bungo yang dikenakan kepada setiap pengguna hutan. Pengguna hutan menanggung biaya perlindungan hutan secara tidak langsung melalui bungo, semacam pajak atau royalty yang dibayar kepada pemerintah Nagari. Dana bungo tersebut sebagian digunakan untuk pengelolaan hutan, yaitu untuk menggaji penjaga hutan adat atau tuo rimbo. Selain itu, para Penghulu setiap Suku yang tergabung dalam institusi KAN berkewajiban melakukan pemantauan hutan ulayatnya masing-masing dan mengawasi kegiatan para penjaga hutan adat (tuo rimbo). Imbal baliknya, mereka menikmati banyak manfaat dari hutan, seperti daerah aliran sungai yang relatif utuh, ketersediaan air yang stabil sepanjang tahun dan hutan yang hijau. Dengan demikian, dalam pengelolaan Hutan Ulayat, secara umum ada kesesuaian antara aturan pelarangan dan penetapan aturan. Semua pengguna berkontribusi terhadap perlindungan hutan dan
205 pemeliharaan dengan membayar bungo dan ada sistem yang jelas untuk panen dan distribusi produk-produk hutan, yang dianggap adil dan diakui oleh pengguna hutan. Pada Hutan Lindung, pengguna hutan (liar), tentu saja tidak mengeluarkan biaya untuk perlindungan hutan; dan juga tidak akan menerima manfaat optimal dari hutan seperti manfaat yang akan diperoleh bila diberikan ijin pemanfaatan yang legal. Pengguna Hutan Lindung umumnya mengakui upaya Pemerintah Kota untuk melindungi hutan, tapi mereka menganggap bahwa penetapan aturan-aturan yang dipaksakan oleh Pemerintah Kota, yaitu aturan yang melarang pemanenan hasil hutan, bahkan untuk hasil hutan non kayu adalah tidak wajar atau tidak sah, karena bagi mereka hutan juga merupakan sumber ekonomi. Sebaliknya, Distannakhutbun merasa bahwa masyarakat Nagari sekitar hutan mengambil keuntungan secara liar dari hutan tanpa mengeluarkan biaya untuk perlindungan hutan. b) Aturan pelarangan membatasi waktu, tempat, teknologi dan/atau jumlah unit sumberdaya yang terkait dengan kondisi lingkungan lokal, sosial budaya dan ekonomi Kondisi Hutan Lindung pada beberapa bagian hutan, sebenarnya cocok untuk pengelolaan hutan aktif (multi fungsi) yang dapat memenuhi kebutuhan yang beragam baik untuk perlindungan tata air maupun untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi subsisten masyarakat sekitar, dan pada saat yang sama menjaga integritas sumberdaya hutan dan DAS seperti yang diinginkan oleh pemerintah. Dalam pengelolaan Hutan Ulayat, aturan-aturan penyisihan sebagian hutan (pencadangan hutan) disesuaikan dengan kondisi lokal, yang tercermin dari azas tata ruang dan azas tebang pilih dalam pengelolaan hutan serta aturan tentang pantangan dan larangan, misalnya larangan menebang kayu di daerah aliran sungai (DAS) sampai jarak sekitar 100 m atau pada hulu sungai dan pinggir tebing curam. Demikian juga dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu, misalnya dilarang menebang kayu sualang yaitu kayu tempat lebah madu bersarang. dilakukan ketika tidak ada lagi sumber
Pemanfaatan rotan atau manau pendapatan,
baik
karena
206 kemarau panjang atau kejadian lainnya. Dalam pemanfaatan madu lebah dilarang membakar lebah ketika mengambil madu yang guna mejaga kelestarian sarang lebah agar tidak punah. Pemeliharaan hutan dan aturan silvikultur dalam aturan adat (misalnya pembukaan lahan pada daerah perbukitan (topografi curam) hanya diperkenankan untuk parak) telah memberikan beberapa pertimbangan untuk kondisi lingkungan mikro setempat dan selaras dengan konsep pengelolaan hutan berkelanjutan. Dalam konteks sosial budaya, dan yang menyangkut mata pencaharian penduduk desa, aturan pengelolaan Hutan Ulayat memberikan hak-hak adat kepada masyarakat Nagari untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu, misalnya pengumpulan tanaman bawah, madu, cabang pohon tumbang dan ranting untuk kayu bakar, dan pakan ternak dari hutan. Pada pengelolaan Hutan Lindung, Pemerintah Kota memberlakukan larangan total terhadap pemanfaatan hutan lindung, sehingga tidak memenuhi kondisi prinsip desain 2 (dua) ini.
Aturan melarang
penebangan kayu, ketika hutan memiliki persediaan ukuran pohon kayu yang relatif baik atau siap tebang, tidak sesuai dengan kondisi hutan, bahkan menjelaskan bahwa aturan sangat kaku karena hutan merupakan sumber daya yang sangat langka. Dalam konteks sosial budaya, dan yang menyangkut mata pencaharian masyarakat sekitar hutan, hak-hak masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu tidak diakui oleh Pemerintah Kota. Harus disadari bahwa produk-produk hutan ini sangat penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem hidup masyarakat Nagari yang agraris. 3. Prinsip Desain 3: Pengaturan Pilihan Kolektif Dalam pengelolaan Hutan Lindung, struktur aturan operasional kompleks. Ada tiga jenis aturan yang berlaku untuk sistem hutan : (a) aturan formal yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berlaku dalam lingkup Nasional, yang memerlukan izin dari Pemerintah Kota Padang (Distannakhutbun) sebelum memanen produk hutan; (b) aturan informal dari pemerintah kota Padang yang memaksakan larangan total untuk memanen setiap produk hutan dari kawasan Hutan Lindung; dan (c) adat
207 istiadat setempat atau norma-norma sosial, yang memungkinkan memanen hasil hutan untuk penggunaan subsisten masyarakat Nagari. Tidak ada metode yang jelas bagi anggota masyarakat untuk terlibat dalam pembentukan atau perubahan aturan pengelolaan Hutan Lindung, bahkan jika masyarakat sekitar merasa aturan tersebut tidak sesuai dan tidak kondusif untuk pengelolaan hutan lestari. Karena ada konflik antara aturan informal yang dipaksakan oleh Pemerintah Kota dan kebutuhan subsistensi penduduk sekitar hutan, dan karena tidak ada mekanisme untuk menyelesaikan konflik ini, masyarakat Nagari banyak yang mengabaikan aturan yang dipaksakan oleh Pemerintah Kota dan mengambil hasil hutan kapan saja mereka bisa. Tidak adanya hak kepemilikan yang jelas karena tumpang tindihnya kawasan hutan dan tanggung jawab atas sumber daya merupakan faktor penting lain yang berkontribusi terhadap perilaku penduduk sekitar hutan, yang mungkin muncul sebagai akibat proses pengambilan keputusan yang tidak partisipatif. Dalam pengelolaan Hutan Ulayat, aturan operasional yang dibuat oleh institusi KAN, diputuskan melalui konsensus di antara anggota komunitas melalui Penghulu Suku, sebagai wakil anggota Kaum dalam lembaga KAN, disesuaikan dengan kebiasaan setempat dan norma-norma sosial. Aturan ini dapat diubah melalui konsensus di antara Penghulu Suku dalam KAN. 4. Prinsip Desain 4: Monitoring a) Pengawas, aktif mengawasi kondisi CPR dan perilaku pengguna, bertanggungjawab kepada pengguna dan/atau pengguna sendiri. Pemantauan yang diatur dalam rezim CPR jelas penting karena selalu ada kondisi yang menggoda beberapa individu untuk menipu untuk mendapatkan sesuatu, dan merugikan orang lain (Ostrom 2000). Dalam pengelolaan Hutan Lindung, polisi hutan, yang bertugas secara teratur memonitor hutan, berasal dari luar masyarakat sekitar hutan, dan tidak bertanggung jawab kepada sebagian besar pengguna hutan. Sebaliknya, polisi hutan bertanggungjawab kepada Distannakhutbun Kota Padang yang mempekerjakan mereka. Bahkan petugas Distannakhutbun Kota Padang, yang kadang-kadang memantau kondisi hutan, tidak bertanggung jawab kepada pengguna hutan. Masyarakat
sekitar hutan tidak
208 bertanggung jawab untuk menangkap orang lain yang melakukan 'pelanggaran‟ terhadap aturan Pemerintah Kota karena : (1) Masyarakat sekitar hutan tidak mengakui penetapan batas kawasan Hutan Lindung, (2) Masyarakat sekitar hutan menganggap bahwa sebagian besar pelanggaran tidak mengurangi manfaat yang akan mereka dapat dari hutan, dan (3) kebutuhan subsistensi bersama mereka dan kewajiban sosial lebih besar daripada manfaat mematuhi aturan yang ditetapkan Pemerintah Kota Padang. Dalam pengelolaan Hutan Ulayat, KAN mempekerjakan tuo rimbo untuk pemantauan hutan secara rutin, yang bisa berasal dari kelompok pengguna hutan dan bertanggung jawab kepada pengguna hutan. Di samping itu, anggota KAN, yang terdiri dari pimpinan suku bertanggungjawab memantau kondisi hutan, paling tidak penggunaan hutan pada Suku atau Kaum masing-masing. b) Tidak ada tekanan eksternal, yang efektif mengendalikan upaya pemantauan lokal Efektivitas pemantauan polisi hutan berkurang karena adanya tekanan eksternal, dengan terbukanya sebagian kawasan hutan karena dibangunnya jalan baru Padang - Solok, yang melewati hutan ini. 5. Prinsip Desain 5: Sanksi Menurut Ostrom (2000), kebutuhan untuk memiliki sanksi timbul karena dua alasan: pertama, untuk memberikan pesan kepada pengguna bahwa kecurangan apapun akan diperhatikan dan dihukum, dan kedua, untuk menunjukkan bahwa mereka yang melanggar aturan berulang kali akan menghadapi hukuman berat, membuat biaya melanggar peraturan lebih tinggi daripada manfaat yang akan diterima sehingga melanggar aturan akhirnya menjadi pilihan yang tidak menarik bagi pengguna. Hal ini penting bagi lembaga CPR karena memungkinkan fleksibilitas dalam sistem dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan perubahan (Morrow dan Hull 1996). Pada pengelolaan Hutan Lindung, hukuman melanggar aturan terbatas pada peringatan secara lisan oleh polisi hutan atau petugas kehutanan lainnya atau dalam beberapa kasus perampasan produk yang dipanen dan peralatan yang
209 digunakan. Jarang ada kasus yang sampai di bawa ke pengadilan, walaupun pemanfaatan kawasan dan hasil hutan secara liar (illegal)l banyak terjadi dalam kawasan Hutan Lindung, karena otoritas hukum yang lemah dan berurusan dengan pengadilan membutuhkan prosedur yang lebih rumit dan biaya yang besar. Sebagian besar hukuman bagi pelanggaran bergantung pada kebijaksanaan polisi hutan yang bertugas atau aparat Distannakhutbun yang menerima laporan. Ketentuan untuk memberikan sanksi ada pada Undangundang 41 tahun 1999, tetapi sangat sedikit kasus yang dihukum oleh aparat Distannakhutbun karena melanggar peraturan Pemerintah Kota dalam HL. Dalam pengelolaan Hutan Ulayat, institusi KAN memiliki ketentuan yang jelas untuk memberikan sanksi. Untuk pertama kali, pelanggar aturan mendapat peringatan lisan dan menyita produk dan peralatan yang digunakan dalam pemanenan liar, tetapi jika orang yang sama tertangkap melanggar aturan untuk kedua kalinya, KAN menjatuhkan hukuman denda tunai atau sanksi lain sesuai jenis pelanggaran atau pencabutan ijin pemanfaatan lahan. Sistem ini efektif mengendalikan pemanenan liar dan kepatuhan pengguna sangat tinggi. 6. Prinsip Desain 6: Mekanisme Penyelesaian Konflik Prinsip desain ini mengasumsikan bahwa beberapa jenis konflik pasti akan terjadi pada pengaturan di lapangan, bahkan ketika aturan yang jelas dan tidak ambigu, karena mungkin ada perbedaan dalam penafsiran peruntukan aturan di antara pengguna. Jika konflik ini tidak bisa diselesaikan dengan biaya rendah dan tertib, maka pengguna dapat semakin tidak bersedia mematuhi aturan-aturan (Ostrom 2000). Hutan mempunyai peran multi fungsi, dalam arti, berpotensi untuk mengakomodasi kepentingan yang banyak dan sering bertentangan. Dengan demikian, efisiensi penanganan konflik penting dalam pengelolaan hutan. Dalam pengelolaan Hutan Lindung, terdapat beberapa faktor yang membuat resolusi konflik menjadi rumit dan memerlukan biaya yang mahal. Pertama, tataran kebijakan pengelolaan hutan di tingkat masyarakat lokal dan Pemerintah Kota menyebabkan adanya perbedaan pemahaman satu sama lain terkait masalah dan prioritas pengelolaan hutan. Kedua, tujuan penggunaan sumber
210 daya antara berbagai aktor yang mengakibatkan adanya konflik kepentingan (Masyarakat Nagari, Distannakhutbun, Pemerintah Kota, Swasta) telah membuat inisiatif apapun yang dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik menjadi sangat mahal. Ketiga, mekanisme tradisional untuk menghadapi konflik internal yang bekerja selama berabad-abad telah terkikis akibat perubahan fatal struktur pemerintahan Nagari. Kelembagaan yang mengatur sistem Hutan Lindung juga gagal memberikan biaya rendah, yaitu arena lokal untuk menyelesaikan konflik karena penyelesaian konflik dilakukan melalui litigasi yang membutuhkan biaya yang besar. Dalam pengelolaan Hutan Ulayat, terdapat tiga jenis ketentuan untuk resolusi konflik dan dapat diselesaikan di tingkat lokal, sehingga biayanya lebih murah. Bila terjadi konflik dalam penggunaan hutan, diselesaikan secara bertingkat, dari lembaga Kaum, Suku dan Kerapatan Adat Nagari. Dari kedua model pengelolaan, mekanisme penyelesaian konflik yang efektif ditemukan pada Hutan Ulayat, tetapi tidak dalam Hutan Negara. 7. Prinsip Desain 7: Pengakuan Hak Berorganisasi a) Hak pengguna untuk merancang kelembagaan mereka sendiri tidak ditentang atau dihambat oleh faktor eksternal atau otoritas lokal yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan kelembagaan pengguna Konsep di balik prinsip desain ini adalah bahwa ketika hak-hak kelompokkelompok pengguna untuk merancang peraturan sendiri diakui oleh Undang-undang yang relevan, maka peraturan lokal akan tidak sering berubah (Ostrom 1990). Undang-undang Kehutanan Nasional (UU Nomor 41 Tahun 1999) mendukung hak-hak kelompok pengguna untuk merancang peraturan mereka sendiri. Dalam Hutan Lindung, hak-hak pengguna untuk merancang lembaga mereka sendiri terhambat, secara tidak langsung ditentang oleh Pemerintah Kota. Kalaupun ada kelembagaan adalah dalam bentuk kelompok kerja proyek yang bersifat searah dari atas ke bawah (top down). Pada Hutan Ulayat, meskipun hak pengguna untuk merancang kelembagaan mereka sendiri tidak ditentang otoritas eksternal, tapi ada pengaruh Suku selama proses merancang aturan.
211 b) Tidak ada kekuatan tunggal kelompok pengguna yang dapat mencegah pengguna lain mengorganisasi diri dan merancang kelembagaan. Masyarakat Nagari, pada kenyataannya (de facto) ditolak haknya untuk mengelola hutan oleh Pemerintah Kota disebabkan perbedaan tujuan pengelolaan antara Pemerintah Kota dan masyarakat Nagari. Pada pengelolaan Hutan Ulayat, pengguna hutan dapat berpartisipasi dalam merancang kelembagaan pengelolaan hutan melalui wakil-wakil mereka dalam institusi KAN. Kondisi pemenuhan prinsip desain pada kedua model pengelolaan diringkaskan pada Tabel 37. Tabel 37 Pemenuhan prinsip desain pada kedua model pengelolaan hutan No 1.
Prinsip Desain Batas terdefinsi dengan jelas (a) Sumberdaya (b) Pengguna
2.
3 4
Kesesuaian (a) Distribusi keuntungan dan biaya proporsional (b) Aturan membatasi waktu dan aspek fisik yang terkait kondisi lingkungan lokal, sosekbud Pengaturan pilihan kolektif
5
Monitoring (a) Pengawas aktif mengaudit CPR, bertanggungjawab pada pengguna (b) Tidak ada tekanan eksternal yang mengendalikan pemantauan lokal. Penerapan sanksi
6
Mekanisme resolusi konflik
7
Pengakuan hak berorganisasi (a) Hak pengguna merancang kelembagaan tidak dihambat oleh faktor eksternal atau otoritas lokal. (b) Tidak ada kelompok pengguna yang dapat mencegah pengguna lain mengorganisasi diri melembaga.
MPHU
MPHL
Batas jelas, diketahui dan disepakati bersama (Ya) Terdaftar pada KAN (Ya)
Sudah tata batas, patok batas banyak yang hilang (Sebagian Ya) Tidak ada ijin pengguna hutan, terjadi ekstraksi liar (Tidak)
Ada bagi hasil yang disepakati dengan pengenaan bungo (Ya) Dapat dilakukan pemanfaatan hutan sesuai kemampuan hutan (hutan multifungsi) (Ya)
Tidak ada bagi hasil atau kontribusi dari pengguna liar (Tidak) Ada larangan total terhadap pemanfaatan hasil hutan terhadap masyarakat lokal (Tidak)
Aturan dibuat oleh wakil komunitas dengan musyawarah (partisipatif) dalam KAN (Ya)
Aturan ditetapkan Pemerintah, tidak partispatif, topdown, tidak melibatkan masyarakat (Tidak)
Diawasi tuo rimbo yang dipilih dari komunitas lokal (Ya)
Diawasi Polisi Hutan dari luar komunitas ( Sebagian Ya)
Nagari punya otoritas independen terhadap hutan (Ya) Sanksi bertingkat dan dipatuhi (Ya) Perundingan (Ya)
Pembukaan hutan bagi pembuatan jalan atau penggunaan hutan oleh sektor lain (Sebagian Ya) Sanksi dalam aturan ada tapi minim penerapan (Sebagian Ya) Ligitasi (pengadilan), biaya mahal, tidak efektif (Sebagian Ya)
Setiap Suku punya hak sama untuk berkelompok (Ya)
Tidak ada kelompok pengguna hutan, tapi kelompok pekerja proyek (Sebagian Ya)
Prinsip pemerataan asset, keadilan pemanfaatan dan berkelompok (Ya)
Tidak ada kelompok pengguna, kelompok pekerja top down, tidak independent (Tidak)
Keterangan: MPHU=Model Pengelolaan Hutan Ulayat; MPHL=Model Pengelolaan Hutan Lindung (Pemerintah)
212 Dalam pengelolaan Hutan Lindung, tidak ada kesepakatan bersama untuk pemanfaatan hutan, pemantauan, pemeliharaan, atau pengembangan aturan. Pemerintah Kota Padang memberlakukan larangan total pemanenan hasil hutan, yang bertentangan dengan aturan adat setempat dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kendatipun ada 15 (lima belas) orang polisi hutan pada Distannakhutbun Kota Padang untuk memonitor hutan secara rutin, namun, efektivitas pemantauan dan kepatuhan pengguna terhadap aturan sangat rendah, karena faktanya pemanenan hasil hutan ''ilegal” oleh masyarakat sekitar dan orang luar terus berlangsung. Dalam pengelolaan hutan berdasar norma adat, hutan boleh dimanfaatkan untuk pemanenan hasil hutan dan dikendalikan dengan instrument bungo, yang membatasi jumlah hasil hutan yang dapat dipanen dan frekuensi panennya, diawasi oleh tuo rimbo (petugas kehutanan adat) sesuai aturan adat. Untuk pemantauan, selain tuo rimbo, pada setiap Suku kegiatan pemanen hasil hutan diawasi oleh para Penghulu Suku yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari. Secara de facto dan de jure aturannya sejalan, dan efektivitas penegakan aturan serta kepatuhan terhadap peraturan akan lebih tinggi. Degradasi kawasan hutan SWP DAS Arau terjadi karena hutan sebagai sumberdaya milik bersama tidak dikelola dengan pengambilan keputusan bersama antara para pihak yang berkepentingan dengan keberadaan hutan. Tidak adanya pemanfaatan hutan, pemantauan, dan rencana pemeliharaan yang disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah, menyebabkan terjadinya ekstraksi hutan secara liar, dan lemahnya penegakan peraturan kehutanan nasional di tingkat lokal membuat hutan mendapat tekanan yang lebih berat dan degradasi meluas menuju daerah yang masih bersisa hutannya hingga memasuki wilayah hutan konservasi. Kurangnya layanan penyuluhan bagi masyarakat sekitar hutan, ikut mempengaruhi kegagalan pengelolaan hutan. Layanan penyuluhan hanya disediakan bagi anggota masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani pelaksana proyek konservasi dan RHL. Hasil evaluasi terhadap institusi pengelola hutan menggunakan modifikasi prinsip desain Ostrom-GS (2005) menunjukkan institusi pengelola hutan berdasarkan norma adat Minangkabau relatif lebih unggul dibandingkan institusi
213 pengelola hutan yang diterapkan Pemerintah Kota Padang saat ini. Semua faktor yang diperkirakan berpengaruh positif terhadap keberlanjutan institusi pengelola hutan berdasarkan modifikasi prinsip desain Ostrom-GS (2005) ditemukan dalam pengaturan pengelolaan hutan berdasarkan adat Minangkabau, sedangkan pada pengaturan pengelolaan hutan yang dijalankan Pemerintah Kota Padang yang dilaksanakan Distannakhutbun Kota Padang, sebagian besar tidak dipenuhi. Institusi adat memiliki potensi aksi kolektif yang lebih besar dari institusi pemerintah sehingga lebih cocok dengan karakteristik pengelolaan CPR yang membutuhkan pengelolaan bersama dalam bentuk aksi kolektif. Bila kita bandingkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam prinsip desain Ostrom-GS (2005) dengan pola-pola pengelolaan hutan adat seperti yang diuraikan sebelumnya (Tabel 38) maka untuk pengelolaan hutan lestari pada lokasi kajian, yang mengalami ketidakjelasan hak kepemilikan (property right) akibat tumpang tindih lahan hutan, karena peran dominan pemerintah, yang menetapkan kawasan hutan secara sepihak dan tidak mengakui hak ulayat dalam kawasan hutan negara, padahal hutan memiliki nilai penting bagi masyarakat nagari (nilai lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya) maka pengaturan prinsip desain Ostrom-GS perlu diperluas yaitu : 1. Memasukkan komponen landasan atau dasar pengaturan pengelolaan hutan (CPR), yaitu : “Pengaturan pemanfaatan CPR (aturan main) berlandaskan tuntunan moral (etika) yang sesuai dengan kondisi setempat (adat) dan mengutamakan fungsi fisik (lingkungan), sosial dan ekonomi CPR tersebut bagi masyarakat sekitar”. Fungsi hutan (CPR) bagi masyarakat sekitar sangat penting dipertimbangkan dalam aturan main pengelolaan CPR yang akan diterapkan agar keberadaan CPR memberi manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar sehingga masyarakat berkepentingan untuk menjaganya agar tetap mendapatkan manfaatnya secara berkelanjutan. Bila aturan main pengelolaan menerapkan nilai-nilai yang tidak mengakomodir fungsi CPR bagi masyarakat sekitar maka CPR akan rentan terhadap gangguan yang mengancam kelestariannya, seperti yang terjadi pada lokasi kajian. Menurut Kartodihardjo et al. (2004) keberhasilan pengelolaan SDA dalam DAS (hutan sebagai CPR) akan lebih mudah dicapai jika : (a) Sumberdaya tersebut menghasilkan manfaat
214 yang besar; (b) Peluang pendapatan masyarakat lokal sejalan dengan aktivitas konservasi dan RHL DAS; (c) Hak atas lahan jelas, terjamin dan terdistribusi secara adil.
Darusman dan Widada (2004) juga menyatakan ekonomi
merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dapat dipastikan program konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli, dan sebaliknya konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan, tanpa adanya konservasi sumberdaya maka pembangunan ekonomi akan terhenti karena hancurnya sumberdaya alam. 2. Pada prinsip desain (1), yang mengatur tentang batas yurisdiksi dan hak kepemilikan terhadap sumberdaya, yang berbunyi : “Batas sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas”, perlu ditambahkan, yaitu : “Batas sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas dan diakui serta disepakati bersama dalam institusi pengelola CPR dan otoritas lokal”. Kendatipun hak-hak masyarakat adat dalam bentuk hutan ulayat terdefinisi dengan jelas, baik batas maupun penggunanya, namun karena tidak diakui pemerintah, akhirnya menimbulkan konflik yang mengancam kelestarian hutan. Menurut North (1990) agar hak dapat ditegakkan maka diperlukan persyaratan tertentu, diantaranya yaitu: (a) Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya; dan (b) Memperoleh perlindungan komunitas dan negara.
Menurut Nugroho
(2009) perolehan hak yang berasal dari pengaturan administrasi negara rentan menimbulkan konflik dan salah sasaran. Oleh karena itu, sumber hak yang paling terjamin yaitu sumber hak yang mendapat legitimasi lokal yang kuat. 3. Dalam prinsip ke 4, pengaturan pilihan kolektif perlu ditambahkan yaitu : “Pengaturan pilihan kolektif (aturan main) dibuat secara partisipatif, mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan keberadaan CPR tersebut” . Dengan demikian aturan yang dibuat dapat diterima semua pihak, tidak bertentangan satu sama lainnya dan terinternalisasi dalam masyarakat sehingga diharapkan tingkat kepatuhan terhadap penegakan aturan akan tinggi, dan aturan bisa berjalan efektif.
217 Tabel 38 Perbandingan modifikasi prinsip desain Ostrom oleh Gautam Shivakoti dan prinsip pengelolaan CPR berdasar norma adat No 1
Uraian Landasan / dasar pengaturan pengelolaan
2 3
Batas Yurisdiksi dan hak kepemilikan Insentif pengelolaan
4
Pembuatan aturan
Pengaturan pilihan kolektif
5
Pengendalian pengelolaan
6 7 8
Penerapan sanksi Resolusi konflik Legitimasi lembaga
Monitoring (1) Pengawas aktif mengaudit CPR, bertanggungjawab pada pengguna (2) Tidak ada tekanan eksternal yang mengendalikan pemantauan lokal. Penerapan sanksi bertingkat Ada mekanisme resolusi konflik
9
Hak pengguna membentuk kelembagaan
10
Pembagian kewenangan lembaga pengelola
Modifikasi Prinsip Desain Ostrom oleh Gautam-Shivakoti
Batas sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas Kesesuaian (1) Distribusi keuntungan dan biaya proporsional (2) Aturan membatasi waktu dan aspek fisik yang terkait kondisi lingkungan lokal, sosial ekonomi dan budaya lokal
Pengakuan hak berorganisasi (1) Hak pengguna merancang kelembagaan tidak dihambat oleh faktor eksternal atau otoritas lokal (2) Tidak ada kelompok pengguna yang dapat mencegah pengguna lain mengorganisasi diri dalam lembaga. Kelompok pengguna inti (untuk CPR yang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar) : penyisihan, penetapan, monitoring, penegakan, resolusi konflik dan aktivitas pemerintahan diorganisasikan dalam lapisan berbagai kelompok pengguna.
Prinsip Pengelolaan Hutan Adat (CPR) pada Lokasi Kajian Pengaturan pemanfaatan CPR (aturan main) berlandaskan tuntunan moral (etika) yang sesuai dengan kondisi setempat (adat) dan mengutamakan fungsi fisik (lingkungan), sosial dan ekonomi CPR bagi masyarakat sekitar Batas sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas dan disepakati bersama dalam institusi pengelola CPR (KAN) dan otoritas lokal (nagari) (1) Ada insentif ekonomi bagi pemilik atau penguasa dan bagi pengguna dalam pemanfaatan CPR melalui pengenaan royalty /bungo. (2) Dapat dilakukan berbagai bentuk pemanfaatan CPR (hutan) (CPR multi fungsi) sesuai kemampuan dan daya dukung lingkungan dengan mengutamakan fungsi fisik, sosial dan ekonomi CPR bagi masy. sekitar Aturan main dibuat secara partisipatif, mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan keberadaan CPR tersebut (1) Ada instrument pengendali penggunaan berkelanjutan yang disepakati oleh pihak yang berkepentingan dengan keberadaan CPR tersebut (2) Diawasi tuo rimbo dan pimpinan komunitas (penghulu) yang dipilih dari komunitas lokal dan bertanggung jawab pada pengguna melalui wakilnya dalam institusi pengelola CPR Penerapan sanksi bertingkat dan disepakati bersama Resolusi konflik dilakukan melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan. Lembaga pengelola CPR (organisasi) memiliki kekuatan (power) untuk memberikan penghargaan dan sanksi kepada para pengguna CPR, dijalankan oleh pemangku kekuasaan yang diakui dan dihormati masyarakat. Pengakuan dan kesetaraan hak berkelompok (1) Setiap Suku punya hak sama untuk berkelompok dan diakui otoritas lokal (Nagari) (2) Prinsip pemerataan asset, keadilan pemanfaatan dan berkelompok (berorganisasi) Pengaturan pengelolaan CPR bersifat spesifik lokasi. Institusi yang lebih tinggi dengan cakupan wilayah lebih luas hanya mengatur aturan umum, sedangkan aturan operasional (aturan yang lebih rinci atau detil) diatur oleh institusi pengelola yang lebih rendah, yang lebih mengetahui kondisi riil dan kesesuaian serta kemungkinan keberhasilan penerapan peraturan.
215
216 4. Perlu ditambahkan prinsip pengaturan legitimasi lembaga pengelola CPR, yaitu : “Lembaga pengelola CPR (organisasi) memiliki kekuatan/kekuasaan (power) untuk memberikan penghargaan dan sanksi kepada pengguna CPR, yang dijalankan oleh pemangku kekuasaan yang diakui dan dihormati masyarakat”. Menurut Kasper dan Streit (1998) institusi tanpa sanksi akan sia-sia atau tidak berguna (institution without sanction is useless), dan penerapan sanksi hanya akan efektif bila dijalankan oleh institusi yang diakui dan dihormati masyarakat. 5. Pada prinsip desain Ostrom-GS ke (8) perlu ditambahkan : “Pengaturan pengelolaan CPR bersifat spesifik lokasi. Institusi yang lebih tinggi dengan cakupan wilayah lebih luas hanya mengatur aturan umum, sedangkan aturan operasional (aturan yang lebih rinci) diatur oleh institusi pengelola yang lebih rendah, yang lebih mengetahui kondisi riil dan kesesuaian serta kemungkinan keberhasilan penerapan peraturan”. Jadi aturan pengelolaan di tingkat lapangan, tidak hanya sekedar diorganisasikan dan dimplementasikan dalam lapisan berbagai kelompok pengguna berdasarkan aturan main umum, tapi juga memberikan kewenangan kepada organisasi pengelola di tingkat lapangan untuk merancang aturan sesuai spesifikasi lokasi sehingga lebih dapat diimplementasikan. Hal ini juga untuk mengatasi konflik yang mungkin diakibatkan oleh pengambilan keputusan yang membuat satu aturan untuk semua, padahal kenyataannya kebutuhan setiap lokasi berbeda-beda karena adanya keberagaman kepentingan dan preferensi pengguna pada setiap lokasi pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata‐ratakan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kelestarian Hutan Lindung pada SWP DAS Arau akan sangat tergantung pada kemampuan institusi pengelola hutan dalam mengatur pemanfaatan, pemantauan dan pemeliharaan hutan bagi masyarakat sekitar hutan. Implikasinya adalah pengakuan dan penggabungan institusi lokal dalam perumusan kebijakan pengelolaan hutan sangat penting untuk meningkatkan tata kelola hutan lestari. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penyelesaian konflik dan membantu merancang pengembangan institusi pengelolaan hutan atau memperbaiki tata-kelola hutan pada SWP DAS Arau.
217 Revitalisasi Norma-norma Adat (Kearifan Lokal) dalam Pengelolaan Hutan Dari hasil pengamatan, wawancara dan pengumpulan data terkait, banyak contoh membuktikan bahwa masyarakat adat pada wilayah SWP DAS Arau telah memiliki kearifan tersendiri dalam mengelola lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di sekitarnya.
Kearifan-kearifan tersebut jika diuji secara ilmiahpun
ternyata telah terkandung di dalamnya kaidah-kaidah konservasi dan pelestarian sumber daya alam, sekaligus tidak mengabaikan fungsi sumber daya alam itu sendiri sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat manusia yang mengelolanya. Kearifan lokal telah menuntun masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan ekologisnya. Secara filosofi kearifan-kearifan tersebut diakui oleh seluruh masyarakat yang terikat oleh adat Minangkabau pada SWP DAS Arau. Roh dan semangat (spirit) nya sama di seluruh Nagari, kendatipun pada tataran pelaksanaannya mungkin akan berbeda pada masing-masing Nagari. Namun banyak di antara kearifan tersebut tereduksi dan tereliminasi karena ketidaktepatan manajemen pengelolaan hutan yang dilaksanakan pemerintah. Peran masyarakat dinafikan dan berada pada posisi yang subordinat. Kebijakan pengelolaan hutan akhirnya seringkali dijalankan tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat dan menyimpan potensi konflik dan perlawanan dari masyarakat. Akibatnya hutan semakin rusak, sedangkan masyarakat sekitar hutan tetap dalam kondisi yang memprihatinkan, tak berdaya, bahkan tercabut dari akar budaya mereka yang sangat mengedepankan pentingnya menjaga hutan tetap lestari. Sangat disayangkan, potensi kearifan lokal yang ada diberbagai Nagari ini belum digunakan oleh pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Dari hasil wawancara dengan responden dari instansi terkait (antara lain Distannakhutbun Kota Padang, BP DAS Agam Kuantan, Balai KSDA Sumbar, Dinas PSDA, Bappeda Kota Padang), sebagian besar petugas menyatakan sangat sedikit sekali atau bahkan belum ada program dan kegiatan pengelolaan hutan yang dijalankan dengan mengakomodir potensi-potensi kearifan lokal dalam pengelolaan
SDA
tersebut
di
wilayah
kerja
mereka.
Kenyataan
ini
mengindikasikan bahwa paradigma pengelolaan DAS (hutan, tanah dan air) berbasiskan masyarakat seperti yang diamanatkan UU Nomor 41 Tahun 1999 dan
218 kearifan yang dimiliki masyarakat adat belum mewarnai secara nyata pola pelaksanaan pekerjaan kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS ataupun pengelolaan hutan pada instansi-instansi pemerintah dan pemerintah daerah di Kota Padang. Masyarakat SWP DAS Arau kaya dengan kearifan, namun, saat ini tidak berdaya untuk mengaktualisasikannya dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS yang dimotori oleh institusi formal. Sebagai akibatnya, masyarakat Kota Padang harus “membayar mahal” dengan munculnya berbagai masalah lingkungan, sehingga sudah saatnya kembali ke nilai-nilai kearifan dalam mengelola lingkungan. Untuk itu, berbagai pihak terkait, pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang tergabung dalam lembaga – lembaga adat seperti Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Kerapatan Adat Nagari (KAN), serta lembaga lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan SDA kiranya dapat merevitalisasi dan mengaktualisasikan berbagai bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan DAS, khususnya dalam pengelolaan hutan, tanah dan air. Kearifan-kearifan lokal yang ada dalam masyarakat merupakan modal sosial yang besar. Karena itu perlu dipertahankan keberadaannya untuk kemudian dilakukan upaya-upaya penguatan kembali. Potensi kearifan lokal akan sangat menunjang keberhasilan kegiatan pengelolaan hutan dan DAS, konservasi dan RHL jika potensi tersebut kembali terrevitalisasi. Tantangan terbesar untuk revitalisasi kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan pada SWP DAS Arau adalah kelembagaan berbasis adat yang diharapkan mampu kembali memperlihatkan perannya juga seolah telah terdegradasi dan kehilangan ”roh” karena masyarakat terlalu lama tercabut dari kearifan-kearifan lokal yang selama berabad terbukti mampu memberi kehidupan bagi masyarakat sekitar hutan tanpa mengabaikan aspek ekologi dari sumber daya hutan tersebut. Dari pengumpulan data melalui questioner yang dibagikan pada ke tiga Nagari, 94 % responden menyatakan bersedia melakukan konservasi dan RHL serta berkepentingan dalam upaya konservasi dan RHL tersebut.
90 % responden
meyakini bahwa pengelolaan hutan yang berbasiskan pengalaman, pengetahuan dan teknologi lokal, mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, tetap terjaganya fungsi ekologi dan tidak eksploitatif. Pengelolaan hutan yang bertumpu pada komunitas lokal akan mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan demokratis
219 karena pada dasarnya komunitas lokal memiliki kearifan tradisional yang bernuansa sosial, ekologi dan ekonomi dan mampu menyelenggarakan pengelolaan hutan secara lestari. Untuk menata institusi dalam pengelolaan kawasan lindung yang berbasiskan kearifan lokal maka beberapa hal perlu dilakukan terlebih dahulu, yaitu : 1. Reinventarisasi Hutan Ulayat Keberadaan hutan ulayat bagi masyarakat Nagari sangat penting, baik sebagai sumber ekonomi, identitas kultural, status sosial dan perekat sosial. Namun dalam proses pembangunan dewasa ini keberadaan hutan ulayat terancam oleh semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk pembangunan, khususnya di perkotaan seperti Padang. Walaupun menurut hukum adat tanah ulayat tidak dapat diperjual belikan namun dalam realitanya hal itu tetap dilakukan sehingga mengancam keberadaan tanah ulayat tersebut. Hasil penelitian Agustar (2009) menunjukkan bahwa di Kota Padang masih terdapat tanah adat dan kekayaan nagari berupa tebat (kolam), hutan adat, tanah lapang, pasar, gelanggang pamenan (tempat menggelar acara adat atau tempat bermain anak nagari), medan nan bapaneh (tanah lapang terbuka tempat menggelar acara-acara dalam suatu nagari), dan yang lainnya seluas 38.302 hektar. Untuk mempertahankan keberadaan tanah ulayat itu perlu dilakukan aturan pelarangan penjualan dan meningkatkan keberadaannya sebagai basis ketahanan ekonomi dan sosial budaya masyarakat hukum adat di Kota Padang. Di samping itu perlu dilakukan penataan riil tanah ulayat dari jual lepas kepada pengusaha dan investor. Prinsip hukum pusako tinggi berbunyi, “tajua indak dimakan bali, tasando indak dimakan gadai”, maksudnya bahwa tanah pusako tinggi tidak dapat diperjualbelikan atau dipindah tangankan “hak miliknya”, namun boleh dipindahtangankan “hak pakainya” sesuai dengan prinsip gadai yang secara modern diterjemahkan dengan dapat dibangun, dioperasikan atau dipindah tangankan (build, operation, transfer, BOT). Pertahanan terhadap hancurnya sumberdaya alam tersebut sebenarnya telah diakomodir adat sistem matrilineal, yaitu garis pewarisan suku dari Ibu (kalau basuku ka ibu), garis pewarisan gelar kebesaran adat dari Mamak (babasa ka mamak) dan garis ke-
220 turunan nasab/darah dari Bapak (banasab ka bapak), sehingga sumberdaya alam tanah dapat dijaga dan dilindungi keberadaannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nugroho (2003) yang menyatakan pengelolaan lahan (hutan) dalam bentuk hak komunal/hak adat lebih menguntungkan karena : a) Hak komunal sulit untuk dipecah-pecah, baik karena dijual atau pewarisan individual, sehingga keutuhannya dapat terjaga. Apabila diberikan dalam bentuk hak individual (private property), kemungkinan penjualan aset sangat besar, hal ini akan sangat potensial menyebabkan masyarakat menjadi miskin lahan (landless society). b) Masuknya pihak di luar komunitas baik yang bertujuan ingin mengambil manfaat maupun hak akan segera terdeteksi oleh anggota kelompok, sehingga gangguan terhadap sumberdaya dapat diketahui secara dini. c) Tingkat partisipasi masyarakat dalam mengamankan hutan dapat dibangun, baik pengamanan dari perambahan maupun dari kebakaran hutan serta gangguan-gangguan lainnya. d) Dengan hak komunal para anggota kelompok dapat memanfaatkan sumberdaya hutan, sehingga kesejahteraan sosial dapat lebih ditingkatkan. e) Ekses sumberdaya tanpa pemilik (open access resources) seperti mahalnya biaya eksklusi dan ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan ketertiban, dapat dihindari. 2. Kembali ke bentuk pemerintahan terkecil pemerintahan Nagari. Pada pemerintahan Nagari terdapat 2 lembaga yang berperan yaitu Walinagari
dan
Badan
Perwakilan
Rakyat
Nagari
(BPRN) yang
beranggotakan para Penghulu Suku. Walinagari dipilih oleh warga Nagari, sedangkan BPRN untuk pertama kali, diangkat berdasarkan utusan dari masing-masing kampung. Dalam tatanan hukum nasional yang berlaku saat ini, hal tersebut sangat mungkin dilakukan karena telah diakomodir dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Dalam UU tersebut Peraturan Desa/Nagari diakui sebagai bagian dari Peraturan Daerah yang merupakan salah satu tata urut peraturan perundang-undangan nasional kita. Terlebih lagi, berdasarkan Peraturan
221 Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Pemerintah Propinsi Sumatera Barat telah mencanangkan semangat kembali ke Pemerintahan terkecil berbentuk Pemerintahan Nagari, yang telah diterapkan pada semua kabupaten di Sumatera Barat. Oleh karena itu kekhasan sistem bernagari bisa dituangkan dalam bentuk hukum positif yang tentunya memiliki kekuatan hukum. Sehingga akan dapat dilahirkan kembali pejabat yang pemimpin, yang dikenal dengan sebutan Penghulu, dilahirkan melalui kata mufakat dan musyawarah dengan syarat pemimpin adalah orang yang mempunyai jiwa yang jujur, dapat dipercaya, bijaksana dan seorang penyampai kebenaran (sidik, amanah, fatanah dan tabligh), kemudian disepakati bahwa pemimpin tersebut berada di depan sebagai penunjuk jalan (didahulukan selangkah) dan dihormati (ditinggikan serantiang), yang mendahulukan kepentingan anak kemenakan dibanding diri sendiri.
Keadaan ini sesuai tujuan utama
pemerintah, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sejahtera dalam arti holistik seperti ekonomi, budaya, politik, hukum, keamanan. Salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan tersebut dapat dilaksanakan dengan cara tidak melepas masyarakat tersebut dari hak asal usulnya sehingga keluar dari struktur budaya yang sudah mapan dan menjadi terasing. Karena itu di masa depan diperlukan prinsip pengembalian struktur sosial budaya Minangkabau ke asalnya, tetapi tidak keluar dari sistem konstitusi. Perubahan baru ini mungkin tidak akan sulit diterapkan karena sudah adanya Perda kembali ke pemerintahan Nagari dan para pemimpin di Minangkabau rata-rata juga sebagai penghulu, cerdik pandai dan juga alim ulama. 3. Mengakomodir Norma Adat (kearifan lokal) dalam pengelolaan hutan Seperti yang telah dideskripsikan di atas, hutan bagi masyarakat Nagari bukan hanya sekedar tegakan kayu, tapi hutan merupakan bagian dari sistim hidup dan kehidupan dan menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya. Hutan sebagai benteng untuk melindungi dari bencana ekologi seperti banjir, galodo, longsor dan lainnya.
Hutan harus
diupayakan secara baik pengelolaanya agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya.
Pemanfaatan hutan tidak hanya didasari pada kegiatan
222 eksploitatif,
tetapi
dilandasi
pada
keseimbangan dan keberlanjutannya.
usaha-usaha
untuk
memelihara
Melindungi hutan bukan berarti tidak
boleh memanfaatkan hutan. Dari hasil survai terhadap responden masyarakat sekitar kawasan hutan, fungsi dan manfaat hutan yang diharapkan masyarakat menyangkut berbagai aspek kehidupan (hutan multi fungsi), seperti : a) Perlindungan sumber-sumber mata air dan hulu sungai b) Penyedia bahan baku untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana sosial Nagari, sarana untuk kepentingan masyarakat nagari c) Penyedia bahan baku pendukung usaha industri barang jadi rumah tangga dan konstruksi rumah tangga d) Penyediaan sumber benih dan bibit tumbuhan untuk kepentingan budidaya e) Sumber bahan baku obat-obatan tradisional f) Sumber energi yang hijau, seperti mikro hidro maupun pembangkit listrik tenaga air. g) Perlindungan keanekaragaman jenis tumbuhan dan dan hewan liar untuk memelihara proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur alam h) Mempertahankan dan mengangkat kembali peran dan kedudukan serta wewenang lembaga Nagari dalam melaksanakan fungsinya sebagai kontrol sosial masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam dalam kehidupan masyarakat nagari i) Pemerataan kesempatan bagi masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat adat secara berkelanjutan Untuk mewujudkan peran multi fungsi hutan yang diharapkan masyarakat tersebut, 90 % responden yakin bahwa konsep pengelolaan hutan secara tradisional, dengan mengedepankan norma-norma adat lokal dalam pengelolaan hutan dapat memberi jawaban atas berbagai masalah yang menimbulkan konflik dalam pengelolaan hutan pada SWP DAS Arau. Perlu ditekankan bahwa revitalisasi kearifan lokal atau norma-norma adat dalam pengelolaan hutan bukan berarti melakukan duplikasi bentuk yang ada di masa lampau pada masa sekarang, karena pasti telah terjadi banyak perubahan akibat perkembangan zaman sehingga kondisi saat ini tidak akan sama dengan
223 aslinya pada masa lalu. Bila dipaksakan maka kita dapat terjebak pada romantisme masa lalu yang justru berpotensi menimbulkan masalah lainnya. Namun revitalisasi dimaksudkan sebagai replikasi nilai-nilai kearifan atau pola-pola pengelolaan yang ada dalam norma adat yang telah terbukti dapat melestarikan hutan pada masa lalu. Pola-pola pengelolaan hutan lestari yang mensejahterakan masyarakat, seperti yang telah diuraikan di atas, kemudian diaktualisasikan kembali dan disandingkan dengan struktur dan kondisi yang ada saat ini, dengan modifikasi sesuai kebutuhan, sehingga kearifan lokal digabungkan dengan tekonologi dan ilmu pengetahuan modern akan dapat meningkatkan kapasitas pengelolaan hutan dan DAS yang terpadu, mandiri dan berkelanjutan. Tidak dapat dihindari lagi, pengelolaan hutan harus melibatkan masyarakat setempat yang merupakan komponen utama dan terbesar dalam pengelolaan hutan dan DAS. Kondisi ideal yang diharapkan adalah: menuju pengelolaan hutan yang berkelanjutan secara adil, bernilai ekonomi dan mengakui, melindungi serta menghormati hak-hak masyarakat adat pada SWP DAS Arau, dengan jaminan kepastian hak dan regulasi atau pengaturan yang efisien dan efektif oleh pemerintah yang disegani para pihak, sehingga tingkat kepatuhan terhadap aturan tinggi.