IDENTIFIKASI DAN ANALISIS PERMASALAHAN INSTITUSI DALAM KOMPLEKSITAS PENATAAN KAWASAN PUNCAK (Studi Kasus Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor)
Oleh : EMI MARSUSANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan tesis yang berjudul :
Identifikasi dan Analisis Permasalahan Institusi dalam Kompleksitas Penataan Kawasan Puncak (Studi Kasus Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor)
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
Emi Marsusanti, S. Hut NRP : P10500047
ABSTRAK Identifikasi dan Analisis Permasalahan Institusi dalam Kompleksitas Penataan Kawasan Puncak (Studi Kasus Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor) Emi Marsusanti, Hadi S. Alikodra, Hariadi Kartodihardjo
Menurunnya kualitas lingkungan akibat perubahan fungsi lahan dari areal konservasi/hutan menjadi pemukiman di kawasan Puncak Bogor merupakan akibat dari lemahnya fungsi institusi dalam mengendalikan kawasan Puncak. Penelitian ini bertujuan untuk pertama mengungkapkan penyebab terjadinya perubahan lahan di kawasan Puncak Bogor, kedua mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan-permasalahan institusi menyangkut batas yurisdiksi, property right dan aturan representasi dalam penataan kawasan Puncak Bogor. Metode penelitian ini bersifat kuantitatif-kualitatif dengan menggunakan kuesioner, wawancara serta overlay peta dalam proses pengumpulan data-datanya. Hasil penelitian menunjukan bahwa institusi yang diharapkan dalam pengelolaan kawasan puncak Bogor merupakan institusi yang mampu mengendalikan penggunaan lahan di kawasan ini. Pemerintah kabupaten Bogor seharusnya diberikan wewenang penuh dalam mengelola kawasan Puncak Bogor berikut komitmen finansial sehingga aturan representasi lebih efisien karena dibuat melalui proses dan mekanisme internal. Penegasan akan kepemilikan lahan (property right) akan menurunkan tekanan perubahan lahan ke fungsi lahan lainnya sehingga penciptaan ruang yang seimbang dan serasi dapat segera terpenuhi
ABSTRACT Identification and Analysis of Institution’s Problem in Puncak Area Managing Complexity (Case Study : Kelurahan Cisarua and Tugu Utara Village, Bogor District) Emi Marsusanti, Hadi S. Alikodra, Hariadi Kartodihardjo
Declining of environment’s quality caused by land function transforming from conservation or woods area to housing complex at Bogor Puncak area, is the result of the institution’s function weakness in managing Puncak area. This research attempts to first reveal the grounds of land transforming at Bogor Puncak area, second, identify and analyze the institution’s problems including the jurisdiction’s border, property right and representation’s rule in transforming Puncak area. The method of this research is quantitative-qualitative by using questionnaire, interview and map overlay in data collecting process. The research shows that institution which has big role and is really expected to restructure Puncak area is an affordable institution which can direct the use of land in Puncak area. Government’s of Bogor district should be given full authority in managing Puncak area includes the financial commitment so that representation’ rule run effectively as it is made through process and internal mechanism. Affirmation of land’s property rights will descend the pressure of land transforming to others functions. Therefore, the creating of balance and harmony area can be accomplished quickly.
ANALISA DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN INSTITUSI DALAM KOMPLEKSITAS PENATAAN KAWASAN PUNCAK (Studi Kasus Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor)
EMI MARSUSANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Identifikasi dan Analisis Permasalahan Institusi dalam Kompleksitas Penataan Kawasan Puncak (Studi Kasus Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor)
Nama Mahasiswa
: Emi Marsusanti, S. Hut
Nomor Pokok
: P10500047
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Hadi S. Alikodra, MS Ketua
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota
Mengetahui, 2. Plh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Etty Riani, MS
Tanggal Ujian :
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk :
RABBku, sebagai bentuk pertanggungjawaban akademisku.
Ayah dan emak serta seluruh keluarga di Pontianak, Abati dan ibu serta seluruh keluarga di Palembang dengan doa dan segenap harapan
Suamiku, sahabatku bang ifan bersama doa, semangat, dukungan, cinta dan kasih sayang
Anak-anakku Nadia, Ulfa dan Bintang , semoga dapat mewariskan budaya keilmuan pada generasimu.
Yun, Bi Cik Ita, D’ Ta, Dani, Sopi HD, Yudi PPLH, Eti PSL, Bu Ade dan Pak Ujang di Desa Tugu Utara, Pak Khairul di Cisarua, Hermin dan Evi Bojong, Guru-guru TPA Masjid Almuhairi, Mas eko rental Computer Blem dan mas wiwid Prima printing. Trimakasih untuk segala bantuan
Akhirnya, .......... pada semua yang menghargai sebuah karya
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak kemudahan dalam setiap proses penyelesaian tugas akhir Pasca Sarjana ini. Tesis ini berjudul Analisa dan Identifikasi Permasalahan Institusi dalam Kompleksitas Penataan Kawasan Puncak (Studi Kasus Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor). Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr H Hadi S Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku anggota komisi dan Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulis dalam merumuskan hasil penelitian ini. Kepada semua pihak yang telah membantu selama penulisan tesis ini penulis berikan penghargaan atas segala bantuan dan kerjasamanya. Tesis ini masih jauh dari sempurna, saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis ini. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2007
Emi Marsusanti
RIWAYAT HIDUP
Emi Marsusanti, dilahirkan pada tanggal 4 September 1969 di Pontianak Kalimantan Barat. Ibu bernama Fatimah dan ayah bernama H. Abdul Madjid. Penulis adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Penulis menamatkan sekolah dasar di Madrasah Ibtida’iyah pada tahun 1982 kemudian meneruskan ketingkat sekolah menengah pertama di Muhammadiyah Pontianak pada tahun 1985, kemudian pada tahun yang sama melanjutkan ke SMAN 2 Pontianak. Pada tahun 1988 penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Tanjungpura di Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan dan selesai pada tahun 1994. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
vii
DAFTAR TABEL..........................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
ix
I.
II.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................
5
1.4. Manfaat Penelitian .....................................................................
5
1.5. Kerangka Pemikiran ...................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Institusi
..................................................................................
8
2.2. Penataan Ruang ..........................................................................
10
2.3. Permasalahan dalam Manajemen Kawasan ................................
11
2.4. Penggunaan Lahan .....................................................................
13
2.5. Alih Fungsi atau Perubahan Penggunaan Lahan ........................
14
III. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 3.1. Kelurahan Cisarua ....................................................................... 3.1.1
17
Letak, Luas dan Batas Wilayah .....................................
17
3.1.2. Biofisik dan Hidrologi ....................................................
17
3.1.3. Kependudukan ................................................................
17
3.2. Desa Tugu Utara .........................................................................
19
3.2.1
Letak, Luas dan Batas Wilayah .....................................
19
3.2.2. Biofisik dan Hidrologi ...................................................
19
3.2.3. Kependudukan ..............................................................
20
IV. METODOLOGI PENELITIAN
V.
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................
21
4.2. Pengumpulan Data ......................................................................
21
4.3. Analisis Data ...............................................................................
23
4.3.1. Analisis Spasial ...............................................................
24
4.3.2. Analisis Deskriptif ...........................................................
24
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan .....................................
28
5.1.1. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kelurahan Cisarua .......................................................
30
5.1.2. Analisa Perubahan Penggunaan Lahan di Desa Tugu Utara .........................................................
31
5.2. Analisis dan Identifikasi Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan 32 5.2.1. Kelurahan Cisarua ...........................................................
32
5.2.1.1. Pemerintahan .............................................................
32
5.2.1.2. Status Kepemilikan Lahan (Property Right) .............
34
5.2.1.3. Kawasan Hutan .........................................................
37
5.2.2. Desa Tugu Utara .............................................................
38
5.2.2.1. Pemerintahan .............................................................
38
5.2.2.2. Status Kepemilikan Lahan (Property right) .............
41
5.2.2.3. Kawasan Hutan .........................................................
41
5.2.2.4. Status Tanah Hak Guna Usaha .................................
43
5.3. Aturan Representasi ...................................................................
46
5.4. Sistem Pengendalian Pembangunan di Kawasan
VI.
Puncak Bogor ..............................................................................
49
5.5. Nilai Jual Objek Pajak ................................................................
51
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dan Saran .........................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
54
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Kerangka Pemikiran Penelitian Identifikasi Permasalahan Institusi dalam kompleksitas Penataan Kawasan Puncak ..........
Gambar 2
7
Struktur Aktivitas Sosial Ekonomi dengan Penggunaan atau Penutupan lahan .................................................................. .....
16
Gambar 3.
Peta Kecamatan Cisarua ...........................................................
18
Gambar 4.
Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif ............
25
Gambar 5.
Peta Lokasi Penelitian ..............................................................
25
Gambar 6.
Diagram Alir Penelitian ...........................................................
26
Gambar 7.
Perbandingan Perubahan Lahan tahun 1994-2004 ...................
29
Gambar 8.
Susunan Organisasi Pemerintahan Kelurahan Cisarua Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor .....................................
Gambar 9.
34
Susunan Organisasi Kelurahan Cisarua Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor .....................................................................
35
Gambar 10. Sebaran Hutan di Kelurahan Cisarua .......................................
38
Gambar 10. Peta Wilayah Desa Tugu Utara ................................................
44
Gambar 11. Skema Penataan Ruang ...........................................................
48
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Jenis Data dan Metode Pengumpulannya .....................................
23
Tabel 2.
Perubahan Fungsi Lahan Bopunjur .............................................
27
Tabel 3.
Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1994-2004 di Kelurahan Cisarua Kabupaten Bogor.............................................
Tabel 4.
30
Rekapitulasi Data Perubahan Status Penguasaan Lahan Dari Tahun 1994 – 2004 di Kelurahan Cisarua ....................................... 31
Tabel 5
Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1994-2004 di Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor ..................................................... ..
Tabel 6
32
Rekapitulasi Data Perubahan Status Penguasaan Lahan Dari Tahun 1994 – 2004 di Desa Tugu Utara .......................................
32
Tabel 7
Status penguasaan lahan di Kelurahan Cisarua Kabupaten ...........
37
Tabel 8
Status penguasaan lahan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor .......
41
Tabel 9
Jumlah Bangunan Fisik di Desa Tugu Utara s.d. tahun 2006 ........
45
Tabel 10 Jumlah dan tingkat personil Sat Pol PP Kabupaten Bogor ............
50
Tabel 11 NJOP Lahan pada Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara.........
51
Tabel 12 Deskripsi Singkat Permasalahan Institusi dalam Pengelolaan Kawasan Puncak Kabupaten Bogor ..............................................
53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Data Distribusi Perubahan Penggunaan Lahan Kelurahan Cisarua ........
61
2.
Data Distribusi Perubahan Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara...........
63
3.
Skema Masalah Pertanahan PT. Sari Sumber Bumi Pakuan (Desa Tugu Utara-Kecamatan Cisarua) ..................................................
65
4.
Peta NJOP Kelurahan Cisarua ................................................................
66
5.
Peta NJOP Desa Tugu Utara ...................................................................
67
6.
NJOP Kelurahan Cisarua .......................................................................
69
7.
NJOP Desa Tugu Utara ..........................................................................
70
8.
Surat Keterangan Tidak Sengketa...........................................................
72
9.
Surat keterangan Riwayat Tanah ............................................................
73
10.
Letter C
74
12.
Kantor Desa Tugu Utara
.....................................................................
75
13.
Beberapa Villa di Desa Tugu Utara ........................................................
76
....................................................................................
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan bagian dari kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor. Kawasan ini memiliki beragam fungsi strategis, antara lain sebagai kawasan lindung dan tata air, sumber plasma nutfah, kawasan penyangga dan budidaya pertanian dan non pertanian. Dikarenakan posisi geografis yang signifikan dari kawasan ini, kawasan Puncak juga dianggap sebagai kawasan hinter land yang menjaga kehidupan penduduk di sekitarnya seperti Depok, Bogor dan Ibukota negara DKI Jakarta. Eksistensi kawasan ini sangat diperhitungkan karena dampak permasalahan di dalamnya mempengaruhi kawasan-kawasan penting lainnya. Selain itu kawasan ini memiliki keindahan alam dan udara yang sejuk karena didominasi oleh pegunungan dengan hamparan perkebunan teh yang terletak pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut sehingga menjadi andalan wisata Jawa Barat dan trade mark bagi Bangsa Indonesia di forum pariwisata internasional. Beberapa keunggulan diatas, menjadikan kawasan ini memiliki daya tarik yang cukup tinggi sehingga banyak pihak yang memanfaatkannya tidak hanya sebagai alternatif tempat pariwisata untuk menikmati keindahan alam di akhir pekan, tetapi lebih pada keinginan untuk menguasai lahan dan tempat investasi, mulai dari investasi skala kecil hingga skala besar, sehingga jumlah penduduk di kawasan ini meningkat pesat dan membawa konsekuensi pada penggunaan lahan yang meningkat pula. Menurut sensus penduduk pada tahun 1980 dan 2000 terjadi peningkatan jumlah penduduk dari 5,7 menjadi 11,7 juta jiwa (Alihar, 2002). Apalagi sejak tahun 1960, dengan terbukanya jalur intensif JakartaBandung, perkembangan pembangunan di kawasan ini sulit dikendalikan. Dominasi pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan telah menyebabkan perubahan perkembangan fisik dan kehidupan sosial yang pesat dan terkadang destruktif. Kondisi ini mengakibatkan perubahan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan fungsi peruntukannya. Sebagai contoh, kawasan hutan, daerah pertanian, dan daerah resapan air telah berubah menjadi kawasan perumahan bahkan untuk
industri. Akibat dari perubahan fungsi ini bermunculan persoalan-persoalan lingkungan yang memiliki dampak ekologis seperti banjir, erosi dan lain-lain, yang tidak saja terjadi di kawasan Puncak Kabupaten Bogor tapi juga pada kawasan-kawasan di sekitarnya. Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ini adalah memperketat aturan main (perundang-undangan) di kawasan Puncak. Melalui Keppres 114/1999, pemerintah menetapkan kawasan Puncak sebagai kawasan konservasi dengan pembangunan terkendali dan terkontrol di dalamnya. Sebelumnya, telah terbit PP no 13/1963, Keppres 48/1983, Keppres no 79/1985 dan PP no 47/1997, yang dijadikan sebagai landasan operasional penataan di Kawasan Puncak, namun semuanya dianggap tidak relevan dengan dinamika pembangunan di lapangan, karena peraturan yang ada tidak menggambarkan kondisi rill di lapangan. Hingga saat ini Keppres 114/1999 masih diberlakukan. (Pemda kabupaten Bogor, 2000). Meskipun aturan hukum telah tersedia, permasalahan-permasalahan di kawasan Puncak belum dapat terselesaikan. Permasalahan-permasalahan khusus dalam upaya mempertahankan fungsi Kawasan Bogor Puncak Cianjur, yang diidentifikasi oleh Bappeda Pemda Kabupaten Bogor dan disampaikan dalam Forum Sosialisasi Keppres Nomor 114 Tahun 1999 antara lain adalah : 1. Menurunnya kualitas lingkungan yang berdampak pada tata air di kawasan Bopunjur, khususnya pada Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Mega Mendung sebagai “Kawasan Prioritas”. 2. Kurangnya pemahaman akan fungsi kawasan dan penanganannya oleh pemerintah pusat dan swasta. 3. Rendahnya
komitmen
untuk
mematuhi
peraturan/ketentuan
dalam
pengendalian pembangunan di kawasan Bopunjur baik di tingkat pusat maupun daerah. 4. Masih tingginya permintaan penggunaan lahan untuk pembangunan perumahan, pariwisata, dan industri. 5. Rendahnya dukungan dana sektoral untuk penataan ruang. 6. Adanya permohonan hak atas tanah terhadap tanah-tanah negara yang HGUnya telah habis masa berlakunya. Selain itu, terjadinya mutasi tanah garapan
atas tanah negara (ex HGU). Di samping hal-hal di atas, pengelolaan di kawasan Puncak semakin kompleks dikarenakan sifat kepemilikan lahan yang dikuasai secara turun temurun yaitu sebagai tanah adat, yang memiliki kelemahan dalam kontrol penggunaannya. Dewasa ini, kepemilikan lahan secara adat dikarenakan alasan ekonomi dialihkan kepada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan keuangan. Mutasi kepemilikan ini menyebabkan pemerintah sulit menghentikan pihak yang menguasai lahan tersebut dalam merubah lahan milik mereka menjadi perumahan (pemukiman) dan industri dikarenakan peruntukannya lebih menguntungkan secara ekonomi (Barlowe, 1986). Interdependensi dalam penggunaan sumber daya alam berupa lahan tidak hanya menjadi masalah individu. Lahan-lahan milik negara pun memiliki konsekuensi terjadinya perubahan fungsi lahan karena berbagai kepentingan sektor-sektor pembangunan lainnya dalam kepemilikan (ownership) lahan yang telah ada. Dari uraian tersebut diketahui bahwa, munculnya permasalahan dalam penggunaan lahan di Kawasan Puncak didominasi oleh faktor kelembagaan. Sejalan dengan itu Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (2003) mengungkapkan bahwa faktor kelembagaan (institusi) berpengaruh 70% terhadap perubahan fungsi lahan sedangkan non kelembagaan hanya berperan 30%. Dalam hal ini institusi dipahami sebagai instrument yang mengatur hubungan orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajiban dalam pemanfaatan sumber daya (Basuni, 2003). Suatu institusi dicirikan oleh tiga hal penting yaitu, batas yurisdiksi, property right, dan aturan representasi. Oleh karena itu penelitian ini ditinjau dari tiga aspek tersebut, untuk mengungkapkan permasalahan-permasalahan institusi dalam penataan Kawasan Puncak Bogor. Penelitian dilakukan di dua desa di kawasan puncak Bogor yaitu Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara. Kelurahan Cisarua mewakili pusat kota dari Kecamatan Cisarua dengan dinamika masyarakat yang cukup tinggi sedangkan Desa Tugu Utara mewakili wilayah yang memiliki beragam fungsi kawasan.
1.2. Perumusan Masalah Kawasan pariwisata Puncak yang memiliki luas 18.298,918 ha terdiri dari tiga
kecamatan
yaitu
Kecamatan
Cisarua
(7.460,565
ha),
Kecamatan
Megamendung (6.012,430 ha) dan Kecamatan Ciawi (4.825,923 ha), yang semula peruntukannya adalah sebagai kawasan non budidaya, diperuntukkan bagi pengaturan air, pencegahan erosi dan banjir, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah (Dinas Tata Ruang, 2004). Akan tetapi, pada saat ini cenderung menjadi kawasan dengan fungsi pengembangan perkotaan, dengan meningkatnya berbagai macam pembangunan. Pesatnya pembangunan di kawasan ini menyebabkan berkurangnya kawasan hutan lindung dan meningkatnya luas kawasan lahan kritis. Dari wilayah Kabupaten Bogor dengan 11 kecamatan yang masuk wilayah Bopuncur terdapat 1.733,13 ha lahan kritis dan hutan lindung yang tergerus sebesar 4.475 ha (Natsir, 2005). Perkembangannya, kawasan-kawasan ini mengalami perubahan fungsi lahan yang mengarah pada perusakan lingkungan yang berdampak secara ekologis seperti banjir, erosi dan lain-lain, yang tidak saja terjadi di kawasan Puncak Kabupaten Bogor tapi juga pada kawasan-kawasan di sekitarnya. Berbagai aturan telah banyak diterbitkan, seminar, lokakarya, dan rapatrapat telah banyak dilakukan, namun tiga unsur pengendalian penataan ruang yakni perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tidaklah efektif. Selain itu penegakan hukum yang lemah, serta koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antar lembaga yang masih rendah, menyebabkan kawasan Puncak sulit dikendalikan. Dapat dikatakan kebijakan dalam pengelolaan kawasan Puncak selama ini belum sepenuhnya berhasil, terbukti dari masih sulitnya pengendalian pendirian bangunan yang semakin hari semakin bertambah. Permasalahan institusi dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Pengelolaan kawasan Puncak merupakan upaya untuk mengendalikan penggunaan lahan agar lebih kompatibel dengan fungsi peruntukan semula. Kenyataan yang ada penyimpangan penggunaan lahan untuk pemukiman, industri dan budidaya terus terjadi. 2. Salah satu faktor pendorong keberhasilan dalam menjaga integritas ekologis kawasan Puncak adalah meneguhkan struktur property rights akan lahan yang
ada. Kenyataannya, alokasi pemanfaatan lahan tidak dapat efisien karena struktur kepemilikan lahan yang berubah-ubah. 3. Efektifitas pengelolaan kawasan Puncak dapat terwujud ketika setiap kelembagaan
yang
terlibat
dapat
konsisten
dan
tegas
dalam
mengejawantahkan berbagai kebijakan baik produk pemerintah pusat maupun kelembagaan daerah kemudian secara bersama-sama memiliki komitmen dalam kelestarian kawasan. Kenyataannya kebijakan hanya bersifat parsial dan komitmen pelestarian hanya milik lembaga tertentu. 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui dan menganalisis perubahan penggunaan lahan di kawasan Puncak kabupaten Bogor. 2. Mengetahui dan menganalisis penyebab terjadinya perubahan fungsi lahan di kawasan Puncak. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan-permasalahan institusi (batas yurisdiksi, property right, aturan representasi) yang dihadapi dalam melaksanakan pengelolaan kawasan Puncak. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Pemerintah daerah, dalam memetakan tata ruang Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor sehingga memiliki cukup informasi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di lapangan. 2. Dunia akademis, sebagai referensi bagi penelitian sejenis atau penelitian lanjutan yang berkaitan dengan penataan kawasan Puncak di kabupaten Bogor. 3. Perkembangan ilmu pengetahuan, semoga dapat memberikan sumbangsih khususnya bagi manajemen tata ruang Indonesia.
1.5. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam skema yang disajikan dalam Gambar 1, uraian berikut ini merupakan penjelasannya, diawali dengan
pengukuhan Kawasan Puncak Bogor sebagai kawasan yang memiliki berbagai fungsi strategis seperti fungsi lindung atau konservasi, tata air, budidaya pertanian maupun budidaya non pertanian. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara, yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Cisarua. Ada empat faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumber daya alam yaitu sumber daya alam (natural capital), sumber daya manusia (human capital), sumber daya buatan manusia (man made capital) serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital) (Kartodihardjo dkk, 2000). Pengelolaan sebuah kawasan tidak akan efektif jika faktor institusi tidak sesuai dengan yang diharapkan, dan pada Kelurahan Cisarua dan desa Tugu Utara telah terjadi pola panggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi peruntukkannya. Hal ini disebabkan individu, kelompok masyarakat dan pihakpihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan sangat ditentukan oleh gugus kesempatan yang tersedia yang oleh Nort, (1991) gugus kesempatan tersebut sangat tergantung pada aturan main baik formal maupun informal. Aturan main ini merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi antar individu dan kelompok masyarakat yang terlibat, dan institusi pula yang mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan dan dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Dalam hal penggunaan lahan, institusi mengatur individu dan kelompok masyarakat dalam penetapan hak kepemilikan (property right), batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) dan aturan representasi (rule of representasi). Jika ketiga hal ini tidak berjalan baik maka pola penggunaan lahan tidak akan terkendali.
Fungsi-fungsi Kawasan Puncak : 1. Fungsi Lindung/Konservasi 2. Fungsi Penyangga Tata Air 3. Fungsi Budidaya Pertanian 4. Fungsi Budidaya Non Pertanian
Kawasan Puncak Kabupaten Bogor (Kel Cisarua & Desa Tugu Utara)
Peraturan Perundang-undangan
Perubahan Penggunaan Lahan
Institusi Non Formal
Permasalahan Institusi : - Batas Yurisdiksi - Property Right - Aturan Representasi
Institusi Formal
Pengendalian Penggunaan Lahan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Identifikasi Permasalahan Institusi dalam kompleksitas Penataan Kawasan Puncak
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Institusi Pengertian lembaga atau institusi dapat ditelusuri melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan bahasa, budaya, dan negara (state). 1. Pendekatan Bahasa. Lembaga merupakan terjemahan dari dua istilah atau kata yaitu : institute dan institution. Keduanya mempunyai arti yang berbeda. Institute merupakan wujud kongkrit atau nyata dari sebuah lembaga. Sedangkan institution merupakan wujud abstrak dari suatu lembaga sebab merupakan sekumpulan norma-norma pengatur prilaku dalam aktifitas hidup tertentu. 2. Pendekatan Budaya. Lembaga dapat diartikan sebagai tingkah laku (behavior) orang-orang. Pengertian ini dipertegas oleh John Lewis Gillin & John Philip Gillin yang dikutip oleh Kolopaking dan Tommy (1994) sebagai social institution yang merupakan suatu konfigurasi fungsional daripada pola-pola kebudayaan berupa perbuatan ide, sikap dan perlengkapannya serta perabotan kebudayaan yang permanen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Batasan lembaga menurut John R. Commons adalah : collective action in control of individual action. Inti lembaga adalah aksi atau tindakan positif berbuat sesuatu yang dibenarkan atau tidak berbuat sesuatu, yaitu menahan diri, mengekang diri untuk tidak berbuat sesuatu yang dilarang. Collective action diartikan sebagai pengawasan; lembaga dapat pula berarti peraturan yang mengendalikan atau mengawasi tindakan bersama-sama. In control artinya mengawasi. Prinsip umum adalah pengawasan, pengendalian, pembatasan perbuatan perseorangan atau tindakan kolektif dengan pemberian sanksi bagi orang yang melanggar.
3. Pendekatan State atau Negara Sugiyanto (2002) menjelaskan perbedaan antara lembaga dengan institusi didasarkan pada penemuan kosa kata baru yang diambil dari bahasa Inggris
Institution=institusi=pranata
dan
institute=lembaga=organisasi.
Selanjutnya
Bertrand yang dikutip oleh Sitorus dan Utomo (1998) mengartikan kelembagaan (institution) sebagai abstraksi yang lebih tinggi dari grup organisasi dan sistem sosial lainnya. Shaffier yang dikutip oleh Kolopaking dan Tommy (1994) lebih melihat kelembagaan sebagai sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Dalam hal ini dipandang sebagai bagian dari individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktifitasnya. Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu: 1. Batas yuridiksi 2. Property right 3. dan Aturan-aturan representasi Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung kedua makna tersebut. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi. Dalam istilah pemerintah pusat atau pemerintah daerah, misalnya terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalaam mengatur alokasi sumber daya. Perubahan batas yurisdiksi dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja yang diharapkan ditentukan oleh perasaan sebagai satu masyarakat (sense of community), eksternalitas, homogenitas dan skala ekonomis (Shaffer dan Schmid, 1979 yang dikutip Pakpahan, 1989). Konsep aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat. Oleh karena itu, aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumber daya (Pakpahan, 1989). Menurut Kartodihardjo (1998) Property right dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal, management, exclusion dan alienation. Access adalah hak untuk memasuki suatu batas fisik sumber daya yang teleh ditetapkan, sedangkan withdrawal adalah hak untuk memanfaatkan produk dari sumber daya yang telah ditentukan. Management adalah hak untuk mengatur pemanfaatan dan mengubah bentuk sumber daya menjadi produk tertentu. Exclusion diartikan sebagai hak untuk menentukan siapa yang mendapatkan akses dan bagaimana hak
tersebut dapat dialihkan. Sedangkan alienation adalah hak untuk menjual atau menyewakan salah satu atau lebih hak-hak sebelumnya. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya milik negara seperti tanah dan hutan.
2.2. Penataan Ruang Tata ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang, baik di rencanakan maupun tidak direncanakan. Sedangkan rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang, yaitu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ruang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam perencanaan pembangunan wilayah, dimana wilayah perencanaan merupakan kesatuan geografis, beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional. Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan, sedangkan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional dikategorikan menjadi dua kawasan yaitu : (1) kawasan atau wilayah yang fungsi utamanya melindungi kelestarian lingkungan termasuk di dalamnya sumber daya alam dan sumber daya lingkungannya, untuk kemudian disebut kawasan lindung, (2) kawasan atau wilayah yang tetap dengan fungsi utamanya untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia dan potensi hutan disebut kawasan budidaya (Rustiadi, 2003). Sementara itu Direktorat Jendral Cipta Karya dan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (1997) mendefinisikan penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan, tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang berazaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu berdayaguna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan serta keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Sedangkan menurut UU Nomor 24/1992 penataan ruang adalah rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Pokok-pokok kebijakan Penataan Ruang Kawasan Bopunjur dalam Keppres RI No.114/1999, meliputi : perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyimpangan tata ruang yang sering terjadi di lapangan antara lain : a. Perencanaan tata ruang yang pola penyusunannya tidak mengikuti kaidah yang semestinya, sehingga produk tata ruang tidak berhasil guna (blue print planning). b. Pemanfaatan tata ruang yang tidak mengacu pada perencanaan ruang yang telah dirumuskan (banyak penyimpangan). c. Pengendalian tata ruang yang dianggap belum berjalan dan belum berkembang. Penataan ruang yang berjalan selama ini banyak mengalami penyimpangan, dan sejauh ini kita lebih terpaku pada upaya perbaikan pola, konsep dan struktur penataan ruang sendiri, padahal walaupun kebijakan tata ruang itu sendiri belum sempurna. Namun pada dasarnya rumusan penataan ruang telah mengarah pada keinginan terwujudnya pembangunan yang terpadu, seimbang dan berkelanjutan. Sehingga dari sisi ini kita memang perlu menemukan kembali rumusan penataan ruang yang ideal dan applicable (Kementrian Lingkungan Hidup, 2001). 2.3. Permasalahan dalam Manajemen Kawasan Kawasan Puncak merupakan salah satu kawasan konservasi yang akan dipertahankan guna fungsi hidrologi bagi kelangsungan hidup manusia. Permasalahan yang muncul dalam manajemen kawasan ini dibagi tiga, yaitu : 1. Pertimbangan-pertimbangan biologi, yaitu menempatkan kawasan konservasi bagi proteksi proses-proses ekologi, suatu biota yang utuh atau yang khusus dan subset biota tertentu. Tujuan ini membutuhkan pertimbanganpertimbangan lokasi, ukuran, dan bentuk geometri kawasan, ketergantungan dan hubungan-hubungan spatialnya dengan daerah lain di sekitarnya. Ukuran populasi dibutuhkan untuk mempertahankan spesies kritis, kolonisasi lokal, dinamika kepunahan biota pada tingkat yang lebih tinggi, dinamika ekologi
kawasan
konservasi
serta
ancaman-ancaman yang
ditimbulkan
oleh
penggunaan lahan di sekitar kawasan. 2. Pertimbangan pengaruh-pengaruh antropologis. Diharapkan manajemen kawasan konservasi tidak mengganggu budaya lokal, tidak menghalangi pemanfaatan tradisional yang berkelanjutan dari masyarakat setempat. Dukungan sosial dari penduduk lokal terhadap kawasan konservasi serta kesediaan membayar bagi masyarakat umum yang berkunjung secara signifikan membuka peluang berhasilnya manajemen kawasan konservasi. 3. Manajemen kawasan konservasi perlu bekerja dalam kendala-kendala keterbatasan lahan. Lahan dan produknya merupakan sumber daya terbatas bagi populasi manusia yang terus bertambah. Biasanya ada trade-off antara pemenuhan akan konservasi alam dengan pembangunan. Disamping itu manajemen kawasan konservasi harus menghadapi berbagai kepentingan atas lahan dan pertentangan beberapa kelompok yang berbeda dalam penggunaan lahan Basuni (2003). Dalam hal manajemen institusi, Ramdan et al (2003) menyatakan suatu kebijakan (institusi) harus cocok dengan permasalahan yang dihadapi dan harus efektif dalam mencapai tujuannya. Kecocokan suatu kebijakan ditentukan oleh sifat-sifat : workability, efisiensi, derajat kepastian hasil, keluwesan, konsistensi dan ketepatan waktu. Kelemahan yang sering terjadi adalah dalam sifat workability. Dalam konteks ini, suatu kebijakan tidak akan efektif jika badan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya tidak mampu. Sumoprawiro (2002) dalam Ottorella (2003) menyatakan kemampuan suatu organisasi publik (birokrasi) ditentukan oleh kondisi sumber daya birokrasi yang meliputi konfigurasi struktural nomenklatur, sumber daya manusia aparatur, proses
manajemen
publik,
tekhnologi
organisasi
dan
kapasitas
proses
pengambilan keputusan, sedangkan ukuran efektifitas kebijakan yang perlu diperhatikan meliputi efisiensi adil (fair), mengarah kepada insentif, penegakan hukum (enforcability), diterima publik (public acceptability) dan berlandaskan moral.
2.4. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) didefinisikan sebagai setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan guna memenuhi kebutuhan hidupnya baik dari segi materi maupun spiritual (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan secara umum dibagi dalam dua hal : 1. Penggunaan lahan pedesaan, dengan menitik beratkan
pada produksi
pertanian, termasuk pengelolaan Sumber Daya Alam dan kehutanan. 2. Penggunaan lahan perkotaan, dengan menitik beratkan pada tempat tinggal sentra ekonomi, jasa & pemerintahan. Dari pembagian penggunaan lahan di atas, maka Janudianto (2004) mengklasifikasikan penggunaan lahan menjadi sembilan kategori, diantaranya, hutan lebat, hutan semak/belukar, kebun campuran, pemukiman, sawah. Lebih jauh Barlowe (1978) yang dikutip Saefulhakim et al (2003) menjelaskan, penggunaan lahan tidak terlepas dari pemahaman dinamika sosial ekonomi dan kelembagaan yang berkembang dalam tatanan kehidupan masyarakat. Selanjutnya Barlowe menjelaskan ada tiga hal penting yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan lahan yaitu : 1. Kesesuaian Bio-fisik (bio-physical suitability) 2. Kelayakan sosio-ekonomi (socio-economical feasibility) 3. Kelayakan kelembagaan (institutional acceptability)
2.5
Alih Fungsi atau Perubahan Penggunaan Lahan Wahyunto et al (2001) menerangkan bahwa alih fungsi atau penggunaan
lahan adalah bertambahnya sesuatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lain yang diikuti dengan berkurangnya penggunaan lahan yang lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya atau berubahnya fungsi lahan pada suatu daerah pada kurun waktu yang berbeda. Berdasarkan hasil studi di tujuh propinsi di Indonesia yang dikemukakan oleh Lembaga Penelitian IPB (1996) secara umum terdapat dua faktor penting yang berperan dalam perubahan penggunaan lahan yaitu : 1. Faktor kelembagaan 2. Faktor non kelembagaan
Faktor kelembagaan yang berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah, memberikan pengaruh 70% dalam mendorong alih guna lahan. Sedangkan faktor non kelembagaan termasuk di dalamnya kualitas sumber daya lahan hanya berperan 30%, sehingga bobot kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi proses alih guna lahan sangat besar. Struktur yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan yaitu : 1. Struktur permintaan 2. Struktur penawaran 3. Struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktifitas sumber daya lahan. Pemahaman ketiga struktur utama yang berkaitan langsung dengan pembahasan penggunaan lahan tersebut merupakan syarat perlu (necessary condition) yang dapat memodelkan perubahan penggunaan lahan secara utuh. Agar lebih mendalam ketiga struktur tersebut dijabarkan dalam suatu sistem yang saling terkait dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya (dapat dilihat pada Gambar 2). Permintaan akan lahan di dalam aktivitas masyarakat antara lain untuk menunjang ketersediaan pangan sandang, papan dan fasilitas kehidupan dasar lainnya dalam kuantitas, kualitas dan tingkat keragaman tertentu. Kebutuhan akan lahan ini meningkat dari waktu ke waktu dipicu oleh pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan perekonomian sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Permintaan terhadap sumber daya lahan menjadi faktor pendorong proses perubahan penggunaan lahan yang dibagi dalam tiga kelompok utama : 1. Deforestasi baik ke arah pertanian intensif maupun non pertanian 2. Konversi lahan terutama ke non pertanian. 3. Penelantaran lahan Ketiga kelompok utama permintaan penggunaan lahan tersebut merupakan gambaran permasalahan penggunaan lahan yang mengakibatkan konflik sesuai ekonomi dan kelembagaan serta politis (Saefulhakim et al, 2003). Janudianto (2004) menambahkan bahwa masalah kompetisi antara lahan perkotaan dengan lahan pertanian di pinggiran kota menyebabkan lahan-lahan
dengan produktivitas tinggi terkonversi menjadi lahan perkotaan. Perubahan penggunaan lahan umumnya dapat diamati dengan menggunakan data-data spasial dari peta penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data-data penginderaan jauh (remote sensing data) seperti citra satelit, radar dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan.
Perkembangan Penduduk
Perkembangan Demand terhadap Barang dan Jasa
Perkembangan Kesejahteraan R&D
Perkembangan Demand terhadap Penggunaan lahan l h h
Perkembangan Kinerja Aktifitas Sosial Ekonomi
Struktur Harga-Harga
Perubahan Kualitas Lingkungan
Inovasi Manajemen
DINAMIKA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN Perkembangan Supply Penggunaan lahan h
POLICY
Elastisitas Supply Penggunaan Lahan
Inovasi Teknologi Inovasi Institusional
Pengendalian Konversi
Konservasi
Luas Lahan Konstan
Rehabilitasi Reklamasi Variasi dan Persebaran Spasial Kualitas Alamiah h
Intensifikasi Konsolidasi Tata Kepemilikan
Sumber : Saefulhakim et al, 2003
Tata Ruang
Gambar 2. Struktur Aktivitas Sosial Ekonomi dengan Penggunaan atau Penutupan Lahan
III. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
3.1. Kelurahan Cisarua 3.1.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Kelurahan Cisarua merupakan salah satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Cisarua di Kabupaten Bogor. Batas wilayah Kelurahan Cisarua adalah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Desa Leuwimalang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibeureum, sebelah barat berbatasan dengan jalan raya Puncak dan Desa Citeko serta sebelah timur berbatasan dengan Desa Jogjogan dan Desa Batu Layang. Sedangkan luas wilayah kelurahan Cisarua sekitar 200 hektar dengan jarak dari Kabupaten Bogor 36 kilometer.
3.1.2. Biofisik dan Hidrologi Secara geografis Kelurahan Cisarua merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian dari permukaan laut 800 meter dan memiliki suhu maksimum rata-rata 26°C dan suhu minimum 14 °C. Jumlah hari dengan curah hujan cukup banyak dalam sebulan sejumlah 22 hari.
3.1.2. Kependudukan Jumlah penduduk Kelurahan Cisarua hingga pendataan tahun 2004 berjumlah 6.848 orang dengan kepadatan penduduk 3.424 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang cukup tinggi ini dikarenakan posisi wilayah yang merupakan pusat kota. Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk Kelurahan Cisarua tercatat 2.465 orang tidak sekolah, 80 orang tidak tamat SD atau sederajat, 409 orang tamat SD, 2.636 orang tamat SLTP, 1.228 orang tamat SLTA, serta yang mencapai jenjang universitas dan akademi sebanyak 30 orang. Melihat kondisi pendidikan penduduk Kelurahan Cisarua yang sebagian besar berpendidikan sekolah dasar, hal ini berpengaruh dalam kemampuan penduduk untuk dapat mempertahankan lahan milik mereka. Selain itu tingkat pendidikan memberikan gambaran tentang kehidupan ekonomi masyarakat yang masih rendah. Sedangkan mengenai mata pencaharian penduduk di Kelurahan Cisarua didominasi di bidang jasa. Hal ini menarik karena penduduk Puncak tidak
bertumpu pada bidang pertanian atau perkebunan. Dari 6.848 jumlah penduduk, 898 bekerja di bidang hotel dan restoran, 235 bekerja di bidang angkutan, 5.396 bekerja di bidang jasa, 2.591 bekerja di bidang pertanian dan 40 orang bekerja di bidang industri. Perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non-pertanian membuka kawasan Puncak lebih berkembang menjadi sebuah kota baru. Masyarakat desa yang bermata pencaharian sebagai petani beralih ke mata pencaharian lain yang lebih menjanjikan dari segi pendapatan. Pekerjaan di bidang jasa mendominasi pekerjaan masyarakat di kelurahan Cisarua. Hal ini bisa dipahami karena sebagian lahan pertanian perkebunan mereka sudah berubah menjadi pemukiman dan bukan milik si petani lagi. Profesi di bidang jasa merupakan gambaran nyata bahwa masyarakat lebih memilih berusaha di luar bidang sektor pertanian.
Gambar 3. Peta Kecamatan Cisarua
3.2. Desa Tugu Utara 3.2.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Tugu Utara merupakan salah satu desa di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur di sebelah timur dan memiliki sumber mata air yang merupakan hulu dari sungai Ciliwung. Luas wilayah Desa Tugu Utara sebesar 1.703 ha merupakan desa terluas kedua di Kecamatan Cisarua setelah Desa Tugu Selatan. Di sebelah selatan, Desa Tugu Utara dibatasi oleh areal perkebunan teh Gunung Emas dan jalan raya Puncak yang bersebelahan dengan Desa Tugu Selatan, sedangkan di sebelah utara merupakan kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan Desa Jonggol dan di sebelah baratnya berbatasan dengan Desa Batu Layang. Waktu tempuh untuk mencapai Desa Tugu Utara adalah sekitar 45 menit dengan jarak 40 kilometer dari pusat kota Bogor, sedangkan untuk mencapai pusat ekonomi terdekat yaitu pasar Cisarua hanya memerlukan waktu 10 menit.
3.2.2. Biofisik dan hidrologi Sebagaimana halnya kawasan Puncak pada umumnya, sebagian besar daerah Tugu Utara berupa perbukitan dengan ketinggian 800-1200 m dpl dan suhu udara rata-rata sekitar 180C dengan curah hujan sebesar 200-300 mm/bulan. DAS Ciliwung terbagi menjadi tiga bagian : DAS Ciliwung Hulu, DAS Ciliwung Tengah dan DAS Ciliwung Hilir. DAS Ciliwung bagian hulu terbagi menjadi empat sub DAS yaitu : (1) sub DAS Ciesek seluas 3.745 ha dengan anak sungai Cinangka, Cirangrang, Ciguntur, Ciesek dan Cipaseban. (2) Sub- DAS Cibogo/Cisarua seluas 4.463 ha dengan anak sungai antara lain Citeko, Cisarua, Cijulang dan Cibogo. (3) Sub DAS Ciliwung hulu seluas 3.883 ha dengan anak sungai
Cilembar,
Cimandala,
Cimegamendung,
Cikoneng,
Cicambana,
Citameang, Cisampay, Ciliwung. (4) Sub DAS Ciseuseupan/Cisukabirus seluas 2.785 ha dengan anak sungai antara lain Cigadog, Cijambe, Ciseuseupan dan Cisukabirus. (Data Sub Balai RLKT Ciliwung-Ciujung, 1986). Desa Tugu Utara berada dalam DAS Ciliwung Hulu. Bentuk DAS Ciliwung Hulu menyerupai bentuk setengah radial atau kipas, dengan anak-anak sungai yang berhulu di sekitar daerah Kecamatan Ciawi. Bentuk DAS Ciliwung di sekitar
Ciawi–Katulampa menyerupai corong dan menyempit membentuk bottleneck yang merupakan aliran ciliwung hulu menuju ke bagian tengah dan seterusnya ke hilir secara alami. Kondisi ini menyebabkan daerah Katulampa menjadi rawan banjir. Kondisi torpografi seperti ini mengharuskan pengelolaan kawasan dengan tepat. Mempertahankan kondisi hutan lindung merupakan solusi terbaik untuk mencegah derasnya air pada musim hujan dan mencegah kekeringan pada musim kemarau, karena hutan dapat menyimpan cadangan air. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi menyebabkan fungsi lahan tidak sesuai dengan fungsi semula.
3.2.3. Kependudukan Desa Tugu Utara termasuk desa dengan tingkat kepadatan sedang dan masih di bawah rata-rata Kecamatan Cisarua dengan tingkat pertumbuhan 0,039. Tahun 1998 jumlah penduduknya tercatat sebanyak 6.872 jiwa dari 1.489 KK. Pada tahun 2006 jumlah tersebut meningkat menjadi 10.129 jiwa (laki-laki sebanyak 5.336 orang dan perempuan 4.793 orang) dari 2.589 KK. Dari penjelasan tersebut di atas diketahui bahwa Desa Tugu Utara paling kecil tingkat kepadatan penduduknya, sedangkan tingkat kepadatan penduduk Kelurahan Cisarua cukup padat. Selain diakibatkan karena tingkat aksesibilitas, Cisarua juga merupakan pusat pemerintahan kecamatan. Dilihat berdasarkan komposisi kelas umur, Desa Tugu Utara didominasi oleh penduduk jumlah produktif sehingga beban tanggungan bagi pekerja tidak terlalu tinggi. Selain bekerja di perkebunan teh, warga Desa Tugu Utara juga ada yang bermata pencaharian sebagai buruh tani dan bekerja di bidang perdagangan dan jasa. Perekonomian Desa Tugu Utara ditopang oleh adanya areal perekonomian teh PT. Sari Sumber Bumi Pakuan. Perkebunan tersebut menyediakan lapangan kerja, kurang lebih 800 karyawan bekerja diperusahaan teh tersebut dan sebagian besar merupakan warga setempat. Namun secara tidak langsung PT Sari Sumber Bumi Pakuan juga memberikan lahan garapan bagi masyarakat pada areal yang tidak produktif.
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2005 hingga Maret 2006 bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian lapangan dilakukan di kelurahan Cisarua dan desa Tugu Utara kabupaten Bogor dan overlay peta dilakukan di laboratorium analisa spasial lingkungan PPLH IPB. Penelitian ini secara umum dibagi menjadi dua tahap yaitu: (1) tahap persiapan dan pengumpulan data (2) tahap analisis data dan diagram alir penelitian yang disajikan pada Gambar 4. 4.2. Pengumpulan Data Data terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan data spasial yang berupa peta rupa bumi kelurahan Cisarua dan desa Tugu Utara, citra landsat ETM+ 1994 dan 2004, peta penggunaan lahan Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara, RTRW Kabupaten Bogor dan data statistik berupa NJOP untuk Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara serta kepustakaan lain yang berhubungan dengan penelitian. Data primer berupa data perubahan penggunaan lahan, data status penggunaan lahan dikumpulkan dengan cara overlay peta, sedangkan data primer yang berupa sebab-sebab perubahan lahan dikumpulkan dengan wawancara dan observasi di lapangan. Jenis data dan metode pengumpulannya akan dijelaskan dalam Tabel 2. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara, mendalam (indepth interview) terhadap informan kunci (key informan) yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) dalam jumlah yang tidak dibatasi (Bungin, 2003) Penentuan informan kunci (key information) biasanya dilakukan dengan metode snowball sampling dengan menentukan informasi awal yang sangat terkait dengan fokus penelitian. Untuk selanjutnya ditentukan informan lanjutan guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada. Pemilihan informasi lanjutan akan dihentikan bila tidak dijumpai lagi variasi informasi. Pada penelitian ini informan kunci yang diwawancarai antara lain:
1.
Staf Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor serta Staf Dinas Cipta Karya.
2.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor.
3.
Kepala Bappeda Kabupaten Bogor.
4.
Staf Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor.
5.
Kepala Sat Pol. PP Kabupaten Bogor.
6.
Pemerintah kecamatan dan desa, antara lain Camat Cisarua, Kepala Desa Tugu Utara dan Lurah Cisarua.
7.
Beberapa informan kunci yang berasal dari dunia pendidikan dan LSM.
8.
Masyarakat Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua.
Tabel 1. Jenis Data dan Metode Pengumpulannya No A 1
2
3 4
5
B
Jenis Data Data Sekunder Data Spasial a. Peta Topografi Kab. Bogor 2001 skala 1 : 300.000 b. Citra Landsat tahun 1994 c. Citra Landsat tahun 2001 RTRW Kabupaten Bogor
Laporan penelitian yang terkait dengan topik penelitian Data statistik a. PDRB dari aspek wisata tahun 2003 b. NJOP lahan di Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara c. Potensi desa Kabupaten Bogor tahun 1999 dan tahun 2003 d. Kabupaten Bogor dalam angka e. Kelurahan Cisarua dalam angka f. Desa Tugu Utara dalam angka g. Geologi dan Geomorfologi h. Tingkat aksesibilitas lahan Produk perundang-undangan
Data Primer Pengolahan data dan kuesioner
Parameter
Metode
Penggunaan lahan dan penutupan lahan Studi literatur
Luas lahan Larakteristik lahan Jenis tanah
Studi literatur
Studi literatur
- Tupoksi - Produk hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan penataan kawasan puncak
Studi literatur
- Data perubahan penggunaan lahan - Data status penggunaan lahan
Interpretasi citra landsat
- Karakteristik penduduk umur, pendidikan dan pendapatan - Sebab-sebab perubahan lahan - Harga penjualan tanah - Faktor-faktor penyebab perubahan lahan - Mekanisme perizinan penggunaan lahan - Kesesuaian antara perencanaan dan pemanfaatan lahan - Institusi pemerintah dalam penataan kawasan puncak - Batas yuridiksi penataan kawasan
Wawancara dan observasi
4.3. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis spasial dan analisis deskriptif. Analisis spasial dilakukan dengan menginterpretasi dan overlay peta landsat untuk mengetahui tipe penggunaan lahan yang berubah sedangkan analisis deskriptif untuk mengetahui penyebab perubahan fungsi lahan.
4.3.1. Analisis Spasial Analisis spasial yang dilaksanakan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Interpretasi Citra Landsat ETM+ Interpretasi citra dilakukan secara visual langsung pada monitor komputer dengan melakukan cropping atau pemotongan citra terlebih dahulu sesuai batas wilayah penelitian. Interpretasi citra menggunakan unsur-unsur interpretasi dan bantuan peta rupa bumi. Unsur rona, warna, teratur, pola, situs dan asosiasi merupakan unsur interpretasi yang sangat membantu dalam mengenali objek-objek dalam citra satelit. Proses interpretasi dilakukan dengan membatasi daerah-daerah yang memiliki karakteristik unsur interpretasi yang berbeda, hal ini menunjukkan adanya peta penggunaan atau penutupan lahan. 2. Operasi tumpang tindih (overlay) Operasi tumpang tindih dilakukan menggunakan data digital peta penggunaan atau penutupan lahan dengan bantuan Endas 8.4. Operasi tumpang tindih dilakukan antara peta penggunaan lahan tahun 1994 dengan 2004 untuk melihat arah dan pola pengolahan penggunaan lahan. Selain itu, operasi tumpang tindih juga dilakukan antara peta penggunaan lahan tahun 2004 dengan peta NJOP kedua desa untuk mendapatkan batas ZNT(Zona Nilai Tanah) pada status dan penggunaan tanah untuk masing-masing desa.
4.3.2. Analisis Deskriptif Dalam penelitian kualitatif, logika yang digunakan adalah induktif abstraktif. Suatu logika yang bertitik tolak dari khusus ke umum. Konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi dikembangkan atas dasar kejadian (incidence) yang diperoleh ketika kegiatan lapangan berlangsung. Teori yang memperlihatkan bagaimana hubungan antara kategori juga dikembangkan atas dasar data yang diperoleh ketika kegiatan lapangan berlangsung, sehingga kegiatan pengumpulan data analisis data tidak dapat dipisahkan keduanya berlangsung secara simultan. Hiberman dan Miles (Bungin, 2003) menggambarkan proses ini sebagai berikut :
DATA COLECTION
DATA DISPLAY
DATA REDUCTION
CONCLUTION DRAWING & VERIFYING
Gambar 4. Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif Gambar 5 memperlihatkan sifat interaktif koleksi data atau pengumpulan data dengan analisis data. Pengumpulan data ditempatkan sebagai komponen yang merupakan bagian integral dari analisis data.
Sumber : Janudianto (2003) Gambar 5.
Peta Lokasi Penelitian
Gambaran analisis data dijelaskan dalam bagan alir seperti pada Gambar 6. Citra Landsat 1994 Citra Landsat 2004
Koreksi Geometrik
Klasifikasi
Sementara 1994
Peta Rupa Bumi
Batas Adm Desa Tugu Utara + Kelurahan Cisarua
Sementara 2004
Cliping (di potong)
Landsat Desa Tugu Utara + Kelurahan Cisarua
Interpretasi Klasifikasi
Peta Perubahan Tutupan Lahan 1994
Peta Perubahan Tutupan Lahan 2004
Overlay
Data Perubahan Lahan 1994 - 2004
Overlay Dengan Batas Status Lahan
Data Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan Status Penggunaan Lahan 1994 - 2004
Diagram Alir Penelitian Lanjutan Data Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan Status Penggunaan Lahan 1994 - 2004
Analisis deskriptif perubahan penggunaan lahan
Permasalahan Institusi : - Batas Yuridiksi - Property Right - Aturan Representasi
Kesimpulan
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil penelitian dari Janudianto (2004) diketahui bahwa perubahan fungsi lahan Bopunjur dari tahun 1994 ke tahun 2001 (Tabel 2) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan terjadi pada seluruh tipe penggunaan lahan. Secara umum, perubahan penggunaan lahan ini akan mengancam keberlangsungan kawasan Bopunjur sebagai kawasan andalan dan kawasan tertentu. Lebih spesifik, penelitian ini dilakukan pada kelurahan Cisarua dan desa Tugu Utara yang merupakan wilayah Bopunjur, dan diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan terjadi pada seluruh tipe penggunaan lahan, yaitu : hutan, semak, kebun campuran, kebun teh, ladang atau lahan kering, sawah, lahan terbuka dan pemukiman. Perubahan tipe penggunaan lahan juga terjadi pada tanah berstatus HGU, hak milik dan kawasan hutan.
Tabel 2. Perubahan Fungsi Lahan Bopunjur No. 1 2 3
Penggunaan Hutan Lebat Hutan Semak / Belukar Kebun Campuran
Tahun 1994 Luas (Ha) %
Tahun 2001 Luas (Ha) %
Perubahan Luas (Ha) %
3.143,02
21,07
2.993,53
20,06
-149,49
-1,01
512,06
3,43
278,69
1,87
-233,37
-1,56
1.586,41
10,63
1.582,01
10,60
-4,40
-0,03
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3.759,16
25,20
3.094,77
20,74
-664,39
-4,46
44,44
0,30
11,70
0,08
-32,74
-0,22
4
Kebun Karet
5
Kebun Teh
6
Ladang Terbuka
7
Pemukiman
3.016,01
20,21
3.954,88
26,51
938,87
6,30
8
Sawah
2.490,25
16,69
1.363,73
9,14
-1.126,52
-7,55
9
Tegalan / Ladang
368,77
2,47
1.640,83
11,00
1.272,06
8,53
14.920,12
100,00
14.920,14
100,00
0,02
0,00
Jumlah
Sumber : Janudianto, 2004
Gambaran perubahan fungsi lahan tahun 1994-2004 dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Perbandingan Perubahan Lahan Tahun 1994 dan Tahun 2004
5.1.1. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kelurahan Cisarua Data menunjukkan pada kelurahan Cisarua perubahan penggunaan lahan yang tertinggi terjadi pada tipe penggunaan lahan untuk pemukiman yang bertambah dari 43.135 hektar pada tahun 1994 menjadi 75.337 pada tahun 2004 (dapat dilihat pada Tabel 3). Perubahan ini terjadi sebagian besar pada status tanah adat (dapat dilihat pada lampiran 1). Penambahan pemukiman didapat dari perubahan tipe penutupan lahan berturut-turut dari semak 3.058 ha, kebun campuran 5.487 ha, ladang 13.942 ha, sawah 9.265 ha, dan lahan pemukiman sendiri yang bertambah di tahun 2004 menjadi 75.337. Hal ini dikarenakan kelurahan Cisarua merupakan pusat kecamatan yang memiliki fasilitas pendukung untuk pengembangan ekonomi masyarakat sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Suatu hal yang cukup menarik, penambahan luasan pemukiman disertai dengan meningkatnya luasan sawah sebesar 10.995 hektar, hal ini menandakan sebagian penduduk Kelurahan Cisarua masih mempertahankan tradisi bercocok tanam padi untuk kesinambungan pangan keluarga, walau perkembangan daerah cenderung menjadi sebuah kota baru, sedangkan kawasan hutan di kelurahan Cisarua dalam rentang waktu 10 tahun, tidak mengalami perubahan dengan luasan 0,989 hektar.
Tabel 3. Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1994-2004 di Kelurahan Cisarua Kabupaten Bogor Tipe Penggunaan Lahan Hutan Semak Kebun campuran Ladang/lahan kering Sawah Lahan terbuka Pemukiman Total
Tahun
Perubahan
(%)
1994 0.989 13.852 21.117
% 0.493 6.898 10.516
2004 0.989 0.000 29.959
% 0.493 0.000 14.919
0 -13.852 8.842
0.000 -6.898 4.403
45.335
22.576
34.901
17.380
-10.434
-5.196
48.447 27.843 43.135 200.718
24.170 13.866 21.481 100
59.442 0.090 75.337 200.718
29.646 0.045 37.517 100
10.995 -27.753 32.202 0
5.475 -13.821 16.036 0
Sumber : Hasil overlay peta penutupan lahan Kelurahan Cisarua, 2006
Status penguasaan lahan pada Kelurahan Cisarua terdiri dari tanah instansi milik negara, tanah yang dikenai hak bangunan, hak pakai, hak adat dan hak milik. Tanah hak adat merupakan tanah yang dikuasai masyarakat secara turun temurun dan hak keperdataannya diakui serta dibuktikan keberadaannya.Tanah ini menduduki posisi tertinggi seluas 188.755 hektar, hal ini yang memicu percepatan alih fungsi lahan karena tanah adat umumnya dikuasai perseorangan.
Tabel 4. Rekapitulasi Data Perubahan Status Penguasaan Lahan Dari Tahun 1994 – 2004 di Kelurahan Cisarua Tipe Penggunaan lahan Hutan Semak Kebun Campuran Ladang Sawah Lahan terbuka Pemukiman Total
Tanah Instansi 0.000 0.630 0.270 0.900 0.989 0.180 0.54 3.509
(Luas dalam HA) Hak Guna Tanah Hak/ Bangunan Adat 0.000 0.989 0.090 12.413 0.000 20.398 0.450 42.996 0.540 46.378 1.259 25.954 1.619 39.627 3.958 188.755
Hak Milik 0.000 0.720 0.450 0.987 0.540 0.450 1.349 4.496
Total 0.989 13.853 21.118 45.333 48.447 27.843 43.135 200.718
Sumber : Hasil overlay peta penutupan lahan Kelurahan Cisarua, 2006
5.1.2. Analisa Perubahan Penggunaan Lahan di Desa Tugu Utara Di Desa Tugu Utara perubahan lahan yang tertinggi terjadi pada tipe penggunaan lahan hutan, yang berkurang sebesar 123.447 Hektar yang diikuti dengan bertambahnya semak sebesar 113.474 dan pemukiman sebesar 69.440 hektar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6, dengan arah perubahan tipe penggunaan lahan dari tahun 1994 - 2004 yang dijelaskan pada Lampiran 2. Kawasan hutan yang berubah menjadi semak terjadi pada status tanah negara dengan luasan 35.441 hektar, diikuti dengan tanah status HGU sebesar 25.906 hektar. Kemudian hutan yang berubah menjadi kebun campuran, yang berada pada tanah negara sebesar 3.868 hektar dan yang berada pada tanah berstatus HGU sebesar 7.016 hektar, sedangkan hutan yang berubah menjadi kebun teh di tanah berstatus HGU 3.328 hektar. Hutan tidak ada yang berubah menjadi sawah, sedangkan yang berubah menjadi lahan terbuka cukup besar
luasannya sekitar 9.175 hektar dan yang berubah menjadi pemukiman kurang lebih 1 hektar pada tanah berstatus HGU. Tabel 5. Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1994-2004 di Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor Tahun
Tipe Penggunaan Lahan
1994
%
Hutan Semak Kebun Campuran Kebun Teh Ladang/Lahan Sawah Lahan terbuka Pemukiman Total
836.964 144.205 277.956 123.621 42.437 23.367 148.506 106.421 1,703.477
49.133 8.465 16.317 7.257 2.491 1.372 8.718 6.247 100,000
2004 713.517 257.679 291.101 121.762 29.305 32.603 81.649 175.861 1703.477
% 41.886 15.127 17.089 7.148 1.720 1.914 4.793 10.324 100.000
Perubahan -123.447 113.474 13.145 -1.859 -13.132 9.236 -66.857 69.440 0.000
Sumber: Hasil overlay peta penutupan lahan di Desa Tugu Utara, 2006
% -7.247 6.661 0.772 -0.109 -0.771 0.542 -3.925 4.076 0.000
Tabel 6. Rekapitulasi Data Perubahan Status Penguasaan Lahan Dari Tahun 1994 – 2004 di Desa Tugu Utara Tipe Penggunaan l ahan Hutan Semak Kebun Campuran Kebun teh Ladang Sawah Lahan terbuka Pemukiman
(Luas dalam HA) Tanah Instansi 514.578 58.519
Hak Guna Usaha 189.161 73.470
Tanah Hak/ Adat 25.285 2.235
Hak Pakai 11.850 2.646
Hak Guna Bangunan 1,610 0.460
Tanah Garapan 91.347 5.976
Hak Milik 3.452 0.898
32.907
109.885
69.817
11.580
0.755
51.072
1.840
277.686
31.384 1.132 0.691 27.381 2.531
87.659 5.357 0.000 69.717 10.240
0,000 21.373 13.692 17.488 39.461
0,000 2.933 1.266 1.381 2.531
0,000 0.679 0.460 0.230 1.151
4.564 9.711 6.672 31.268 47.860
0,000 1.245 0.576 1.036 2.646
123.596 42.430 23.357 148.501 106.420
669.123
545.489
189.351
34.187
1613.735
248.47
11.693
1703.477
TOTAL 837.282 144.205
Sumber: Hasil overlay peta penutupan lahan di Desa Tugu Utara, 2006
5.2. Analisis dan Identifikasi Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan 5.2.1. Kelurahan Cisarua 5.2.1.1. Pemerintahan Pada tahun 2004 status desa Cisarua berubah menjadi kelurahan, perubahan status ini menjadikan wilayah ini tidak lagi dipimpin oleh seseorang kepala desa melainkan oleh seorang lurah yang diangkat oleh Bupati Kabupaten Bogor dengan Perda 41/2000. Dalam operasionalnya lurah dibantu beberapa kepala seksi antara lain kepala seksi pemerintahan, tramtib, ekonomi dan pembangunan serta kesejahteraan sosial. Dalam perannya seorang lurah dituntut dapat melaksanakan pemerintahan, menjaga wilayah dan lingkungannya serta mensejahterakan penduduknya. Secara administrasi wilayah Kelurahan Cisarua dipahami sebagai wilayah yang dikembangkan dengan konsep pengembangan perkotaan, sehingga pembangunan diarahkan untuk memenuhi segala fasilitas atau infrastruktur khususnya di bidang pariwisata. Dominasi wilayah terbangun berupa hotel, villa dan rumah peristirahatan menjadi bukti perwujudan konsep itu, sehingga penggunaan lahan ke arah itu terus terjadi dan mengurangi sumber daya lahan yang semestinya dipertahankan secara proporsional. Walau luas wilayahnya kurang lebih 200 hektar namun wilayah ini juga ikut memberikan sumbangan bagi pelestarian lingkungan di
kawasan Puncak sebagai kawasan lindung dan tata air. Kebijakan ini tidak terlepas dari wewenang pemerintah desa yang meluluskan beberapa peralihan kepemilikan lahan dengan begitu mudah. PP No. 10/1961 diganti dengan PP 24/1997 memberi wewenang kepada lurah untuk menerbitkan surat keterangan tidak sengketa, riwayat tanah dan letter C sebagai syarat terbitnya SPPT oleh PBB (SPPT pengganti girik yang telah dihapus sejak 1994) sebagai bukti kepemilikan lahan. Begitu pula dalam proses pembuatan sertifikat, KTP sebagai syarat pengurusan sertifikat dapat dibuat ganda bagi setiap pembeli lahan yang akan melakukan transaksi walau berdomisili di luar wilayah kelurahan Cisarua. Selain itu, lurah tidak memahami secara persis peraturan yang membatasi perorangan untuk dapat memiliki lahan di kelurahan Cisarua. KDB (Koefisien Dasar Bangunan) sebagai ukuran proporsi bangunan yang harus di penuhi untuk setiap bangunan di kawasan Puncak hanya dalam sosialisasi tanpa pengawasan. Sekilas peran pemerintah desa dan PBB dalam menerbitkan SPPT sebagai bentuk pelayanan publik, namun hal tersebut memiliki dampak besar terhadap berkurangnya sumber daya lahan. Basuni (2003) menyatakan bahwa pelayanan kepala desa dan kantor PBB tersebut merupakan tindakan rent seeking (pencarian penyewa lahan).
Susunan Organisasi Pemerintahan Kelurahan Cisarua Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor Lurah
Sekretaris Kelurahan
Kelurahan Jabatan Fungsional
Pelaksana
Kepala Seksi Pemerintah
Kepala Seksi Trantib
Pelaksana
Pelaksana
Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan Pelaksana
Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial Pelaksana
Keterangan : ______ garis instruksi ---------- garis koordinasi
Gambar 8. Susunan Organisasi Pemerintahan Kelurahan Cisarua Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor
Lurah
Kepala Bagian I
Kepala Bagian II
Ketua RW 1
Ketua RW 2
Ketua RW 3
Ketua RW 4
Ketua RW 5
Ketua RT
Ketua RT
Ketua RT
Ketua RT
Ketua RT
RT 1 RT 2 RT 3
RT 1 RT 2 RT 3 RT 4
RT 1 RT 2 RT 3
RT 1 RT 2 RT 3 RT 4
RT 1 RT 2 RT 3 RT 4
Gambar 9.
Susunan Organisasi Kabupaten Bogor
Kelurahan
Cisarua
Kecamatan
Cisarua
5.2.1.2. Status Kepemilikan Lahan (Property Right) Pola penggunaan lahan tergantung pada property right atas lahan. Property right (hak pemilikan) atas asset terdiri dari hak, atau kekuasaan, untuk mengkonsumsi, mendapatkan pendapatan, serta melakukan transfer hak-haknya atas asset (Barzel, 1991 dalam Basuni 2003). Selanjutnya Kartodihardjo (1995) menjabarkan property right dalam lima hak antara lain : access, withdrawal, management, exclusion dan alienation. Hak dalam access adalah hak untuk memasuki suatu batas fisik sumberdaya yang telah ditetapkan, sedangkan withdrawal adalah hak untuk memanfaatkan produk dari sumberdaya yang telah ditentukan. Management adalah hak untuk mengatur pemanfaatan dan mengubah bentuk sumber daya menjadi produk tertentu. Exclusion diartikan sebagai hak
untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan akses dan bagaimana hak tersebut dapat dialihkan. Sedangkan alienation adalah hak untuk menjual atau menyewakan salah satu atau lebih hak-hak sebelumnya. Property right (status kepemilikan lahan) di kawasan Puncak sangat beragam antara lain status tanah adat, tanah yang sudah terdaftar atau bersertifikat dengan jenis hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Pengelompokan status lahan dan pengertiannya adalah sebagai berikut : a. Tanah Adat/Tanah sertifikat disingkat dengan TAS adalalah tanah yang diakui dan dikuasai sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-dasar Pokok Agraria : -
Tanah Milik/Adat adalah tanah yang dikuasai masyarakat secara turun temurun dan hak keperdataannya diakui serta dibuktikan keberadaannya. Tanah milik dapat dikuasai perorangan atau kelompok orang atau berupa tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.
-
Tanah Sertifikat adalah tanah yang telah terdaftar status hak atas tanahnya sesuai ketentuan dalam UUPA dan telah mempunyai legalitas hukum yang kuat berdasarkan bukti yang syah atas kepemilikan lahannya.
b. Tanah Negara dikuasai disingkat dengan TND adalah tanah negara yang penguasaanya berada pada pihak lain, yang dapat dikuasai secara : -
Legal, dimana pengelolaannya diserahkan kepada instansi, lembaga keagamaan (wakaf) atau badan hukum berupa izin lokasi.
-
Tidak Legal atau ilegal, dimana penguasaan tanahnya dilakukan oleh orang atau kelompok orang tanpa izin.
c. Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam hal ini dibedakan menjadi Tanah negara yang dikuasai dan tanah negara bebas. d. Tanah Negara belum dilekati sesuai hak disingkat TNB. Hak menguasai negara atas tanah bukan berarti bahwa tanah seluruh wilayah Republik Indonesia adalah milik negara, akan tetapi disini berarti memberikan kewenangan bagi negara untuk mengatur dan memlihara tanah. Hak menguasai dari negara tersebut berlaku terhadap bidang tanah yang sudah
maupun yang belum ada haknya. Hak menguasai dari negara memberikan kewenangan untuk : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi air, dan ruang angkasa tersebut. 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi,air, dan ruang angkasa. Property right (suatu kepemilikan lahan) di kelurahan Cisarua terdiri dari: a) Tanah negara (kawasan hutan), b) tanah hak guna bangunan dan c) Tanah adat atau tanah milik yang dikuasai masyarakat secara turun temurun. Status kepemilikan lahan berikut luasannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Cisarua Kabupaten Bogor Status lahan
Luas (Ha)
Tanah Negara
8,724
Hak Guna Bangunan
3,191
Hak Adat
190,515
Hak Milik
3,563
Total
205,993
Sumber : Kantor Kelurahan Cisarua, 2004
5.2.1.3. Kawasan Hutan Dari data yang dikemukakan sebelumnya, diketahui bahwa luasan hutan di Kelurahan Cisarua tidak lebih satu hektar. Hutan yang sangat kecil ini, luasannya tidak berubah dari tahun 1994 sampai 2004 dan pengelolaannya tidak diserahkan pada Perum Perhutani. Luasan hutan yang diketahui satu hektar ini merupakan semak yang ditumbuhi pohon tinggi dengan vegetasi tertentu, seperti pinus, dan tersebar di beberapa tempat dengan luasan yang berbeda-beda. Hutan
ini dimiliki masyarakat setempat dan dipertahankan oleh pemiliknya, bahkan untuk beberapa tempat merupakan hutan dengan vegetasi yang tumbuh liar. Sebaran hutan-hutan kecil di Kelurahan Cisarua dapat dilihat pada Gambar 10.
Ket :
Gambar 10. Sebaran Hutan di Kelurahan Cisarua
5.2.2. Desa Tugu Utara 5.2.2.1. Pemerintahan Desa Tugu Utara dalam pemerintahan desanya dipimpin oleh kepala desa yang dibantu oleh sekretaris desa dan para kaur (kepala urusan) serta kepala wilayah dusun, RW dan RT. Perangkat desa yang berperan dalam pemerintahan desa adalah Badan Perwakilan Desa (BPD) yang terdiri dari 9-15 orang tokoh masyarakat. BPD berperan dalam mengesahkan peraturan desa yang menjadi acuan bagi kepala desa dalam menjalankan program programnya. Berbeda dengan kelurahan Cisarua, desa Tugu Utara bertanggung jawab kepada BPD dalam
kondisi seperti ini. Rakyat desa semestinya dapat menjadi kontrol bagi kinerja pemerintahan desa. Desa Tugu Utara merupakan desa terbesar di Kecamatan Cisarua dan merupakan desa yang ditetapkan sebagai kawasan lindung dan tata air, serta kawasan budidaya pertanian, namun dalam perkembangannya desa ini mengarah kepada kawasan pengembangan perkotaan karena pemukiman yang semakin bertambah. Perubahan fungsi lahan yang cukup tinggi di desa ini tidak terlepas dari peran kepala desa. Seperti kelurahan Cisarua, dalam proses jual beli tanah dan penetapan status tanah, kepala desa mengeluarkan surat keterangan tidak sengketa, riwayat tanah dan letter C yang akan diajukan ke PBB, namun di wilayah yang memiliki areal kebun teh cukup luas ini proses peralihan lahan tidak saja terjadi di tanah status hak adat atau hak milik tetapi juga di tanah berstatus HGU yang notabene milik negara. Lewat Surat Pelepasan Hak (SPH) rakyat dapat memiliki lahan walau di tanah berstatus milik negara atau HGU dan melalui mekanisme yang tidak rumit, kepala desa mempermudah proses tersebut. Hal ini yang membuat semakin banyaknya bangunan di kawasan ini, karena lahan yang telah terjual digunakan untuk peruntukan yang tidak mendukung pelestarian kawasan. Kasus dibawah ini menunjukkan lemahnya proses pengendalian dan mekanisme kontrol penggunaan lahan di Kawasan Puncak. Berdasarkan hasil rapat Interdept tanggal 31 Juli 1989 telah diputuskan : “Bahwa bangunan yang terdapat dalam areal HGU PT. Sumber Sari Bumi Pakuan harus dilakukan penertiban melalui pembongkaran dan mengembalikan peruntukan lahannya untuk perkebunan dengan komoditi teh.” Sebagai tindak lanjut Keputusan rapat Interdept tersebut, Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat melalui suratnya Nomor 593.4/6382/Binprod tertanggal 21 September 1989 memerintahkan Bupati KDH Tingkat II Bogor untuk melaksanakan penertiban bangunan/villa di atas areal HGU PT. Sumber Sari Bumi Pakuan melalui pembongkaran. Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat (Hasil Rapat Interdept) tersebut, Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor Nomor XII/PU.071/DPRD/X/1977 dan Nomor 11 Tahun1986 telah mensyaratkan : a.
bahwa setiap bangunan harus memiliki Ijin Mendirikan Bangunan dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bogor. b. Bangunan Tanpa Ijin mendirikan Bangunan dapat dibongkar. Pemerintah Kabupaten DT. II Bogor yang dalam hal ini Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bogor secara terkoordinasi dengan Dinas/Instansi terkait akan melaksanakan penertiban bangunan di Kawasan Puncak sebanyak 51 bangunan yang dimiliki oleh 41 orang pemilik. Dari 51 bangunan tersebut, 23 diantaranya telah diterbitkan melalui pembongkaran. Bersamaan dengan pelaksanaan penertiban (pembongkaran) timbul beberapa gugatan dari pemilik bangunan kepada Bupati KDH tingkat II Kabupaten Bogor melalui Pengadilan Negeri Bogor. Gugatan yang diajukan oleh para penggugat tersebut, saat ini sedang dalam pemeriksaan Mahkamah Agung (Lembaga Yudikatif), bahkan saat ini untuk perkara
Nomor
110/Pdt/G/1989/Pn.Bgr,
04/Pdt/G/1990/Pn.Bgr,
Nomor
05/Pdt/G/1990/Pn. Bogor telah mendapatkan Putusan Mahkamah Agung RI yang salah satu amarnya menyatakan : “Bupati KDH Tingkat II Bogor telah melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad). Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung RI di atas, maka : b. Kecenderungan manjamurnya bangunan-bangunan di Kawasan Puncak akan semakin tinggi dan hal ini tidak menutup kemungkinan rusaknya lingkungan yang lebih luas dan berubahnya fungsi Kawasan. c. Menurunnya kewibawaan pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten DT. II Bogor dalam melaksanakan dan mengamankan berbagai Peraturan Perundangan yang berlaku/kebijaksanaan Pemerintah. Laju perubahan lahan di kawasan ini semakin tinggi dengan ikut terlibatnya makelar tanah, yaitu orang yang menjadi penghubung antara pembeli dan penjual tanah dan ikut mempromosikan tanah yang akan dijual. Makelar tanah mengambil keuntungan yang cukup besar dari transaksi, sebesar 50 persen dari harga jual. Keberadaan mereka dilindungi oleh pejabat yang memiliki lahan di wilayah ini, sehingga selalu lepas dari jerat hukum.
5.2.2.2. Status Kepemilikan Lahan (Property right) Di Desa Tugu Utara status kepemilikan lahan (property right) terdiri dari (a) tanah negara atau kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani (b) tanah dengan hak guna usaha yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan teh swasta PT. Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) (c) tanah dengan hak guna pakai (d) tanah adat (e) Tanah garapan dan (f) tanah hak milik. Status kepemilikan lahan di Desa Tugu Utara berikut luasannya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Status penguasaan lahan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor Status lahan
Luas (Ha)
Kawasan Hutan
695,151
Hak Guna Usaha
533,925
Hak Guna Bangunan Hak Guna Pakai
5,003 37,291
Hak Adat
150,649
Hak Milik
11,596
Hak Garapan Total
270,713 1704,273
Sumber : Kantor Desa Tugu Utara, 2004
5.2.2.3. Kawasan Hutan Di Desa Tugu Utara kawasan hutan telah mengalami konversi lahan menjadi lahan terbuka, kebun campuran dan pemukiman sehingga luasannya menurun 123.447 hektar dari 836.964 hektar menjadi 713.517 hektar. Tanah dengan status kawasan hutan, semestinya relatif aman dari gangguan hak lainnya, karena menurut Basuni (2003) selain diberi hak pengelolaan permanen, Perhutani juga diberi kewenangan untuk mengamankan hak-haknya berupa kewenangan kepolisian khusus (Pasal 51 Undang-undang
Nomor
41/1999) tentang Kehutanan, Pasal 16 PP Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Akan tetapi tanah dengan status ini tidak cukup aman dari konversi lain yang digunakan diluar fungsi sebenarnya, bahkan untuk beberapa wilayah telah dibangun villa-villa mewah milik orang Jakarta. Bangunan villa ini sebagian bersertifikat dan ada yang tidak bersertifikat. Kawasan hutan di Desa Tugu Utara berdasarkan rescoring departemen kehutanan ditetapkan sebagai hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani (PP 30/2003), sebagai badan usaha milik negara yang menangani hutan produksi di wilayah Jawa dan Madura, Perhutani merupakan perusahaan profit di bidang kehutanan yang mengelola kawasan hutan dengan 3 tujuan : sosial, ekonomi dan ekologi, namun sejak ditetapkannya KepPres 114/1999 tentang Penataan Ruang Bopunjur, yang menetapkan kawasan Puncak Bogor sebagai kawasan konservasi dan tata air, maka penebangan pohon di Desa Tugu Utara tidak pernah dilakukan lagi, perubahan hak ini menyebabkan penyikapan pada kawasan ini juga berubah. Informasi akan kepastian hak dalam pengelolaan kawasan hutan merupakan hal yang penting, tanpa adanya kepastian hak dalam penguasaan sebuah kawasan hutan, kewenangan dapat berjalan tanpa objek yang jelas sehingga penyelenggaraan kewenangan tidak akan efektif (Kartodihardjo, 2006). Selain itu Kartodihardjo (2006) menyatakan dalam tipologi barang dan jasa, hutan merupakan barang yang dapat bersifat private goods, commond pool goods, club goods dan public goods, yang akan menentukan bentuk pengelolaannya, menyangkut pula perolehan hak-haknya akan hutan. Di pihak lain masyarakat bukan pemilik hutan (ownership rights) tetapi masyarakat dapat menikmati manfaat hutan baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan pemerintah dianggap pemilik hutan (state property) yang diberikan kewenangan mengatur dan menetapkan serta mengontrol berjalannya kebijakan. Semakin tidak jelas hubungan pemerintah dan masyarakat terhadap sumber daya hutan dengan hak-hak yang jelas, kedua pihak tersebut semakin mengandalkan satu terhadap yang lainya. Pada taraf tertentu kondisi tersebut menjadikan hutan sebagai barang tanpa pemilik (open access resources). Lebih jauh, perolehan suatu hak tidak cukup menjadi landasan timbulnya rasa memiliki. Kepemilikan diwujudkan dalam bentuk upaya penjagaan, oleh karena itu pilihan hak-hak sangatlah penting yang akan menentukan hubungan
antar pihak serta prilaku pemegang hak akibat kuat lemahnya rasa memiliki terhadap sumber daya hutan.
5.2.2.4. Status Tanah Hak Guna Usaha Lainnya halnya dengan tanah kehutanan, tanah negara dengan status hak guna usaha (HGU) adalah status tanah yang diberikan pada pihak swasta dalam jangka waktu 25 sampai 30 tahun untuk kemudian dapat diperpanjang lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (UU PA pasal 29 tahun 1960). Permasalahan akan hak kepemilikan atas lahan-lahan HGU akan muncul ketika tanah-tanah HGU tersebut jatuh kembali ke tangan negara karena diterlantarkan oleh pemilik hak, masa HGU habis dan tidak diperpanjang atau sedang dalam proses perpanjangan HGU. Tanah negara tanpa pembebanan hak ini termasuk dalam katagori tanah negara (sumberdaya open access) sehingga memungkinkan masuknya berbagai hak atau kepentingan (Basuni,2003). Di desa Tugu Utara tanah status HGU diberikan pada PT. Sari Sumber Bumi Pakuan (SSBP) yang semula bernama PT. Tomiyama CO.LTD pada tanggal 14 april 1970 dengan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 5/HGU/BA/1970 seluas 827.877.6 hektar meliputi areal perkebunan teh dan pabrik (Kelurahan Cisarua tidak ditemui tanah berstatus HGU). Setelah 30 tahun tepatnya pada tahun 2000 diukur ulang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk proses perpanjangan HGU baru didapatkan pengurangan luasan yang signifikan sehingga luasan yang tertinggal 562 hektar, sebesar 260 hektar tanah ini telah beralih fungsi dan telah dimiliki oleh perorangan. Perubahan ini disebabkan antara lain konflik intern dalam perusahaan SSBP sehingga mempengaruhi pengelolaan lahan HGU ini dalam rentang waktu 1972-1979 banyak lahan yang tidak tertangani sehingga ditumbuhi pohon-pohon besar. Oleh masyarakat tanah tersebut digarap untuk menjadi lahan pertanian dan pemukiman dan dikuasai beberapa tahun, karena desakan ekonomi disamping permintaan akan lahan untuk villa cukup tinggi maka penjualan lahan tidak dapat dihindari walau sejatinya lahan ini tidak dapat dimiliki apalagi dibangun. Jika melihat luasan wilayah Desa Tugu Utara sebesar 1.703 Hektar maka PT. Sari Sumber Bumi Pakuan (SSBP) menguasai hampir 50 persen dari luasan
wilayah Desa Tugu Utara dengan perkebunan tehnya. Dari 24 RT 6 RW dan 3 dusun serta 21 kampung dalam administrasi pemerintahan Desa Tugu Utara, maka tanah yang dikuasai HGU PT. Sari Sumber Bumi Pakuan mencakup sebagian besar Kampung Cisuren (RT 4/RW4), Kampung Pondok Rawa (RT3/RW4), Kampung Rawa Gede (RT 1/RW6), Kampung Cikoneng (RT3/RW6), Kampung Cibulao(RT2/RW2) seluruh Kampung Neglasari(RT4/RW4), Kampung Pondok Caringin(RT2/RW4) dan Kampung Sukatani (RT6/RW4). Hal ini dapat dilihat pada peta wilayah Desa Tugu Utara (Gambar 11).
Gambar 11. Peta Wilayah Desa Tugu Utara
Pada areal PT SSBP telah berdiri bangunan-bangunan baik yang ber-IMB ataupun tidak ber-IMB dan terjadi kecenderungan pembangunan di tanah status HGU semakin meningkat. Data yang menunjukkan jumlah bangunan fisik di Desa Tugu Utara dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah Bangunan Fisik di Desa Tugu Utara s.d. tahun 2006 NO
RT/RW
Bangunan Fisik
1
RT 01/01
113
2
RT 02/01
60
3
RT 03/01
63
4
RT 01/02
79
5
RT 02/02
150
6
RT 03/02
126
7
RT 01/03
79
8
RT 02/03
103
8
RT 03/03
115
10
RT 04/03
41
11
RT 01/04
85
12
RT 02/04
117
13
RT 03/04
50
14
RT 04/04
111
15
RT 05/04
74
16
RT 06/04
80
17
RT 01/05
111
18
RT 02/05
123
19
RT 03/05
77
20
RT 04/05
241
21
RT 05/05
54
22
RT 01/06
40
23
RT 02/06
175
24
RT 03/06
32
JUMLAH Sumber : Kantor Desa Tugu Utara
2289
Lebih ironis lagi PT. Sari Sumber Bumi Pakuan (SSBP) selaku pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang semestinya menjaga lahan mereka agar tetap utuh, malah ikut bekerja sama dalam proses penjualan lahan milik negara tersebut dengan melepas SPH atau Surat Pelepasan Hak yang digunakan untuk menerbitkan surat girik sebagai bukti kepemilikan lahan, selain dua faktor di atas, kebijakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) hendaknya perlu dikritisi, bahwa kebijakan dalam mengukuhkan status tanah yang semula dikenai hak guna pakai (HGP) setelah 10 tahun dapat berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB)
kemudian dapat diubah menjadi hak milik dengan mengganti kepada negara sejumlah nilai tanah yang ada berdasarkan NJOP tanah tersebut. Inkonsistensi dalam implementasi keputusan Mentri Agraria atau Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1998 dalam penetapan hak ini mempercepat laju perubahan fungsi lahan.
5.3.Aturan Representasi Konsep aturan refresentasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan refresentasi menentukan jenis keputusan yang dibuat dan aturan refresentasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka (Pakpahan, 1989 dalam Basuni, 2003). Beberapa keputusan yang dibuat dalam penataan kawasan Puncak, antara lain : No Jenis Peraturan
Perihal
1
Peraturan Presiden Penertiban Pembangunan baru di sepanjang jalan Nomor 13 Tahun antara Jakarta - Bogor - Puncak - Cianjur di luar batas - batas Daerah khusus Ibukota Jakarta Raya, 1963 di luar batas - batas kota Bogor dan di luar batas batas kota Cianjur.
2
Penanganan khusus penataan ruang dan penertiban Keputusan Presiden Nomor 48 serta pengendalian pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Daerah Khusus Tahun 1983 Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administrasi Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong.
3
Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Keputusan Presiden Nomor 79 Puncak dengan tujuan untuk mengoptimasikan pemanfaatan ruang secara serasi, seimbang dan Tahun 1985 lestari dlam rangka mencegah kerusakan lingkunagn hidup yang lebih parah.
4
Tentang penataan ruang wilayah Bogor-PuncakKeputusan Presiden Nomor Cianjur (Bopunjur). 114 Tahun 1999
5
Keputusan Menteri Tentang tata laksana penertiban dan pengendalian Dalam Negri pembangunan di Kawasan Puncak. Tahun 1989
6
Peraturan Daerah Tentang rencana detail tata ruang (RDTL) Kawasan Tingkat II Bogor Puncak di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor dan
Nomor 3 Tahun 1988 dan Peraturan Daerah Tingkat II Cianjur Nomor 3 Tahun 1988 SK Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat Nomor 413.21/SK/222HUK/1991
Kabupaten Daerah Tingkat II Cianjur.
8
SK Bappenas Nomor 2002/MK4/1996 (Kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat
Tentang tindakan yang harus dilakukan untuk memfungsikan kembali Kawasan Bopunjur sebagai kawasan konserfasi tanah dan air dan upaya perlindungan di enam kecamatan prioritas yaitu megamendung ciawi dan cisarua untuk kabupaten bogor pacet, sukaresmi dan cugenang untuk kabupaten cianjur.
9
Peraturan Daerah Tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kabupaten Bogor Bogor. Nomor 17 Tahun 2000
7
Tentang kriteria lokasi dan standar teknis penataan ruang di Kawasan Puncak serta mengatur ketentuan teknis bangunan.
Banyak pihak merasa kebijakan-kebijakan penataan kawasan Puncak tidak memenuhi kaidah tata ruang yang komprehensip dan koordinatif, sehingga kebijakan tersebut tidak applicable dan proses pembangunan di lapangan terus berlanjut. Saefulhakim et al (2001) menjelaskan untuk menjamin terbangunnya koordinasi kebijakan ruang lintas sektoral, maka sistem perencanaan tata ruang sebaiknya berada pada otorisasi pemerintah, sehingga memungkinkan terbangun kerjasama lintas sektoral dan kemudahan dalam menciptakan dukungan peraturan perundang-undangannya. Untuk menjamin koordinasi dan tersedianya dukungan peraturan perundang-undangan, maka setiap lembaga di tingkat lokal maupun regional (termasuk SDMnya) harus memiliki kapasitas kerja yang menunjang pada dogma-dogma kelestarian lingkungan hidup. Lebih jauh Saeful hakim dkk (2001) mengilustrasikan permasalahan penataan ruang yang lebih komplek dalam skema berikut ini :
Masalah Penataan Ruang di Indonesia Menemukan rumus pola P
t0 (saat ini)
f t
Penataan Ruang
SDM dari Development Stakeholdres Belum siap untuk menunjang pelaksanaan tata ruang yang
Lemah dalam perencanaan, pemanfaatan dan d li Perbaikan
Peningkatan
Penataan Ruang
SDM dari Development Stakeholders
]]
Penataan ruang yang mendukung terwujudnya sustainable spatial planningdan
Stakeholders yang sadar dan mampu untuk terlibat/dilibatkan d l ti
tx (Masa depan)
Pembangunan Yang Berkelanjutan Kegiatan sosial-ekonomi tumbuh dan kelestarian lingkungan terpelihara
Gambar 12. Skema Penataan Ruang
Perjalanan tata ruang di Indonesia selama ini banyak mengalami penyimpangan, yang menyentuh bagian-bagian dari proses penataan ruang, yaitu : a) Perencanaan tata ruang yang pola penyusunannya tidak mengikuti kaidah yang semestinya, sehingga produk tata ruang tidak berhasil guna (blueprint planning); b) Pemanfaatan tata ruang yang tidak mengacu pada perencanaan ruang yang telah dirumuskan (banyak penyimpangan); dan c) Pengendalian tata ruang yang dianggap belum berjalan dan belum berkembang. Di Indonesia pada saat ini telah terjadi suatu fenomena menarik dalam pola pemanfaatan lahan secara nyata di lapangan. Walaupun setiap pemerintahan di daerah telah memiliki suatu guidance pemanfaatan berupa Rencana Umum Tata Ruang (RTRW), akan tetapi pada kenyataannya produk ini masih merupakan
produk yang cenderung bersifat bargainable. (Kementrian Lingkungan Hidup, 2001).
5.4. Sistem Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak Bogor Dalam Kepres 114/1999 proses pengendalian pemanfaatan lahan di kawasan Bopunjur dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan menertiban. Proses pengendalian ini dilaksanakan oleh Bupati melalui aparat yang ditunjuk dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Dalam struktur organisasi perangkat daerah Kabupaten Bogor, aparat yang diberi wewenang dalam proses pengendalian itu diserahkan pada Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP). Pada Perda nomor 9/2004 secara struktural Sat Pol PP berada di bawah kepemimpinan Bupati dan kedudukannya sejajar dengan lembaga teknis dan dinas daerah. Posisi ini seharusnya dapat memaksimalkan fungsi dan peran Sat Pol PP dalam Pengendalian kawasan Puncak. Namun kenyataannya dalam PP nomor 38/2002 mengenai pembentukan Sat Pol PP, tindakan pengendalian didasarkan pada : 1. Tindakan pengendalian yang bersifat Justicial Tindakan
pengendalian
yang
bersifat
Justicial
merupakan
tindakan
pengendalian yang langsung dilakukan tanpa harus menunggu instruksi Bupati, misalnya penertiban kaki lima, Prostitusi, Penertiban galian liar dan lain-lain. 2. Tindakan pengendalian yang bersifat Non Justicial Tindakan pengendalian yang bersifat Non Justicial merupakan tindakan pengendalian yang dilakukan setelah ada instruksi atau perintah dari Bupati atau setelah ada putusan dari pengadilan, misalnya pembongkaran villa liar di kawasan Puncak. Berkaitan dengan itu, sejak tahun 2000 hingga sekarang kebijakan untuk melakukan pembongkaran villa-villa liar di kawasan Puncak tidak pernah dilakukan lagi karena tidak ada instruksi Bupati untuk melakukan itu. Proses penertiban yang dilakukan sampai saat ini hanya penertiban pedagang kaki lima yang berdiri tanpa izin di kawasan Puncak.
Hambatan struktural lainnya yang dirasakan dalam proses penertiban adalah terbitnya Perda No. 23/2000 tentang IMB, memberikan wewenang pengendalian kepada Dinas Cipta Karya melalui Unit Teknis Daerah (UPTD) Bangunan yang berkududukan di Ciawi. Selain UPTD bangunan, ada unsur pengawas lainnya yaitu UPTD Dinas Tata Ruang dan Dinas Bina Marga. Hal ini mengakibatkan tumpang tindih peran yang berakibat pada kinerja masing-masing unsur pengendalian dan pengawasan pembangunan kawasan Puncak. Selain hambatan struktural, hambatan teknispun dirasakan sebagai kendala yang tidak ringan. Hambatan teknis tersebut antara lain : (a) Medan pengawasan yang sulit karena keterbatasan sarana untuk menjangkaunya. (b) Terbatasnya personil pengawasan dibanding dengan areal pengawasan yang luas. (c) Insentif dari pemerintah untuk aparat pengawas yang sangat kecil sehingga menimbulkan peluang untuk kolusi. (d) Skill aparat pengawas yang sangat terbatas terutama dalam menguasai alat berat. Berikut data personil (tabel 10) Sat Pol PP Kabupaten Bogor. Tabel 10. Jumlah dan Tingkat Personil satpol PP Kabupaten Bogor No 1 2 3 4
Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA Universitas
Jumlah 5 9 64 6
Jumlah
85
Sumber : Kantor Sat Pol PP Kabupaten Bogor, 2004
5.5. Nilai Jual Objek Pajak Nilai suatu lahan digambarkan dengan nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan pajak yang ditentukan melalui kegiatan penilaiain atas objek pajak. Dalam kegiatan penilaian itu digunakan data primer, pendekatan data pasar, pendekatan biaya dan pendekatan kapasitas pendapatan dengan tehnik secara individu dan massal. Saat ini penentuan NJOP di lakukan dengan sistem ZNT, yaitu zona geografis yang terdiri atas sekelompok objek pajak yang mempunyai satu
nilai
indikasi
rata-rata
(NIR)
yang
dibatasi
oleh
batas
penguasaan/kepemilikan objek pajak dalam satu satuan wilayah administrasi pemerintahan desa atau kelurahan tanpa terikat pada batas blok nilai jual. (Direktorat PBB, 2000).
Pada penelitian ini nilai jual objek pajak pada daerah penelitian bervariasi, hal ini dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. NJOP lahan pada Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara No
NJOP
1
Terkecil (m2)
2
Terbesar (m2)
Tahun
Kelurahan
Desa Tugu
Cisarua
Utara
2000
36.000
20.000
2005
48.000
27.000
2000
285.000
285.000
2005
464.000
464.000
Sumber : Kantor PBB kabupaten Bogor Dari tabel 11 kita ketahui bahwa nilai lahan di kedua daerah penelitian sangatlah murah, apalagi untuk sebuah kawasan konservasi dan tata air. Hal ini memungkinkan setiap orang dapat memiliki lahan di kawasan ini. Jika instrumen pajak dapat mengendalikan laju penjualan lahan, hendaknya harga NJOP ini dapat ditingkatkan sebesar mungkin. Menurut lembaga penelitian Universitas Indonesia (1997) Pajak bumi dan bangunan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang RI nomor 12 tahun 1985 yang diubah dengan UU nomor 12/1994 lebih berorientasi pada peningkatan penerimaan negara dibanding sebagai upaya pengendali pemilikan dan atau penguasaan tanah. Hal ini tampak jelas dari pertimbangan undang-undang tersebut yang lebih mementingkan penggalian sumber-sumber pajak dari bumi dan bangunan yang digunakan untuk pembangunan. Oleh karena itu pengendalian pemilikan lahan melalui pajak bumi dan bangunan dirasa belum optimal sehingga dibutuhkan beberapa perangkat peraturan misalnya peraturan pemungutan pajak atas kenaikan nilai tanah (landvalue increment tax) dan pengenaan pajak atas tanah tanah kosong (pacant land tax). Penentuan harga NJOP ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan no. 523/KMK 04/1998. tentang penentuan klasifikasi dan besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan yang ditetapkan setiap tahun (nilai NJOP secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran 6, 7, 8 dan 9). Selain itu pada lampiran 6 dan 7 diketahui bahwa NJOP yang memiliki nilai tinggi berada di lokasi yang berdekatan dengan akses jalan raya dan kondisi lahan
cenderung datar, sedangkan NJOP yang murah berada pada lokasi yang jauh dari jalan atau lahan tersebut memiliki kelerengan tinggi. Menurut Kasman (1999) telah terjadi pergeseran nilai lahan, dari lahan yang tinggi nilainya dikarenakan kesuburannya (ricardian rent) beralih ke nilai tanah yang aksessibilitas (location rent). Ungkapan yang menguatkan dikemukakan oleh Pearce and Turner, 1990 bahwa perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga lahan yang bersangkutan. Semakin bertambah baiknya lingkungan maka harga lahan akan meningkat. Hal ini menunjukkan makin meningkatnya konflik penggunaan lahan antara fungsi pertanian dengan non pertanian dan fungsi pertanian menjadi pihak yang lemah karena land rent sektor ini lebih rendah dibanding penggunaan non pertanian. Penentuan harga NJOP ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan no. 523/KMK 04/1998. tentang penentuan klasifikasi dan besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan yang ditetapkan setiap tahun. Tabel 12. Deskripsi Singkat Permasalahan Institusi dalam Pengelolaan Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Institusi
Bagian dari Unsur Institusi
Kasus
Lembaga
Pelanggaran terhadap kewenangan lembaga
Camat dan Kepala Desa ikut berperan dalam proses pengalihan lahan dengan mempermudah surat penertiban riwayat tanah, letter C, dan surat keterangan tidak sengketa, serta surat pengantar pembuatan IMB
Camat dan Kepala Desa
Kurangnya mekanisme kontrol dalam penertiban surat-surat tersebut
Pengaturan alokasi sumber daya
Camat dan Kepala Desa tidak memahami koofisien dasar bangunan dan besaran luas tanah yang diperbolehkan untuk dimiliki perorangan
Camat dan Kepala Desa
Pemahaman dan komitmen akan fungsi kawasan masih rendah
Pelanggaran terhadap kewenangan lembaga
Pembuatan KTP ganda untuk pendatang yang akan membeli tanah di kelurahan Cisarua dan Tugu Utara
Camat dan Kepala Desa
Pelanggaran administrasi
Pengaturan alokasi sumber daya
Sarana yang tidak mendukung dalam operasional pengawasan
Batas Yurisdiksi
Aparat Pengawas atau Pengendalian Pembangunan
Permasalahan
Infrastruktur pengawasan yang
(terutama alat berat)
Institusi
Property Right
(Satpol PP, UPTD Bangunan, UPTD Lingkungan)
minim
Pengaturan alokasi sumber daya
Lokasi pengawasan yang jauh dan sulit terjangkau
Aparat Pengawas atau Pengendalian Pembangunan (Satpol PP, UPTD Bangunan, UPTD Lingkungan)
Infrastruktur pengawasan yang minim
Pengaturan alokasi sumber daya
Terbatasnya personil pengawas dibanding dengan areal pengawasan
Aparat Pengawas atau Pengendalian Pembangunan (Satpol PP, UPTD Bangunan, UPTD Lingkungan)
Infrastruktur pengawasan yang minim
Pengaturan alokasi sumber daya
Minimnya skill aparat pengawas
Aparat Pengawas atau Pengendalian Pembangunan (Satpol PP, UPTD Bangunan, UPTD Lingkungan)
Infrastruktur pengawasan yang minim
Pengaturan alokasi sumber daya
Pendatang mendirikan villa atau rumah tinggal di kawasan hutan dan di kawasan yang berstatus HGU
Pendatang
Pendatang tidak boleh mendirikan bangunan
Bagian dari Unsur Institusi Pemberian hak yang diatur atas konsensus terhadap kepentingan sumberdaya
Kasus
Lembaga
Permasalahan
Penerbitan SPH (Surat Pelepasan Hak) oleh PT. Sari Sumber Bumi Pakuan sebagai penyerahan ilegal penguasaan tanah pada masyarakat yang telah menggarap lahan HGU yang tidak produktif
PT. Sari Sumber Bumi Pakuan
PT. Sari Sumber Bumi Pakuan tidak berhak mengeluarkan SPH karena status tanah adalah milik negara
Perolehan hak yang diatur berdasarkan tradisi
Masyarakat menggarap lahan dan melakukan over alih lahan yang tidak produktif milik PT. SSBP (HGU)
Masyarakat Desa Tugu Utara
Masyarakat tidak memahami status tanah yang digarap
Perolehan hak yang diatur berdasarkan hukum
Berkurangnya area hutan karena penggarapan oleh masyarakat dikarenakan ketidakjelasan hak pengelolaan oleh Perum Perhutani
Masyarakat Desa Tugu Utara
Ketidakjelasan penetapan hak pengelolaan
Perolehan hak yang diatur berdasarkan hukum
Reward dari pemerintah yang sangat kurang, memungkinkan praktek penyuapan (gaji personil
Pemerintah Daerah
Minimnya insentif pengawasan
Rp.150.000 per bulan)
Institusi
Aturan Representasi
Bagian dari Unsur Institusi
Kasus
Lembaga
Permasalahan
Kantor Pajak Bumi dan Bangunan
Ketidaksesuaian harga dengan nilai eksklusif lahan
Terdapat perbedaan fungsi delinilaisi kawasan antara Kepres No. 114/1999 dengan Perda No. 17 tahun 2000
Presiden dan Pemerintah daerah
Koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
Inkonsistensi dari implementasi Keputusan Menteri Agraria atau Kepala BPN No. 5 tahun 1998 yang dapat meningkatkan hak status penguasaan lahan dalam rentang waktu tertentu (hak pakai menjadi HGB, HGB menjadi hak milik)
Badan Pertanahan Nasional
Partisipasi BPN dalam implementasi keputusan
Penetapan biaya dalam pengalokasian sumberdaya langka
Kebijakan nilai NJOP lahan jauh lebih rendah dari harga transaksi lahan di lapangan. (Hal ini mempercepat proses pengalihan lahan)
Pengaturan partisipasi dalam mengambil keputusan Perolehan hak yang diatur berdasarkan hukum
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1. Perubahan penggunaan lahan terjadi pada seluruh tipe penggunaan lahan (hutan, sawah, pemukiman, kebun campuran, lahan terbuka dan ladang). Begitu pula pada status penggunaan lahan seperti kawasan hutan, tanah HGU, hak milik dan tanah adat. 2. Pada Kelurahan Cisarua perubahan penggunaan lahan yang tertinggi terjadi pada tipe penggunaan lahan untuk pemukiman dari 43,135 hektar pada tahun 1994 menjadi 75,337 hektar pada tahun 2004. Sedangkan di Desa Tugu Utara perubahan penggunaan lahan terjadi pada berkurangnya areal hutan seluas 123,447 hektar. 3. Kejelasan hak pada satu kawasan sangat menentukan pola pengelolaan sehingga mempengaruhi keberlanjutan kawasan tersebut. 4. Penerbitan surat keterangan tidak sengketa, riwayat tanah dan letter C sebagai syarat penerbitan SPPT oleh lurah dan kepala Desa, mempercepat proses alih guna lahan. 5. Surat Pelepasan Hak (SPH) yang dikeluarkan oleh PT Sari Sumber Bumi Pakuan sebagai penyerahan wewenang pengelolaan kepada masyarakat yang menggarap lahan tidak produktif, merupakan tindakan yang melemahkan property right atas lahan dan bertindak diluar otoritas pengelolaannya. 6. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk lahan-lahan di Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara masih sangat rendah. Hal ini memicu peningkatan daya beli lahan. Sejatinya nilai eksklusif lahan di kawasan ini, tak terukur dengan nominal finansial.
6.2. Saran Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat diberikan, antara lain : 1. Pengendalian tata ruang hendaknya menyentuh pemanfaatan ruang hingga di tingkat masyarakat. 2
Untuk mengembalikan fungsi kawasan hendaknya pemerintah daerah melakukan relokasi terhadap penduduk yang menempati kawasan lindung atau resapan air.
3
Dalam konteks kekinian, hendaknya wacana megapolitan dapat dikaji secara mendalam baik secara yurisdis maupun teknis, agar tercipta pengelolaan
kawasan yang terintegrasi.
4. Memfungsikan kembali TKPR dan BKTRN sebagai badan koordinasi lintas
sektor dalam pemanfaatan ruang.
DAFTAR PUSTAKA Alihar, F. 2002. Rencana Tata Ruang Kawasan Bopuncur: Sebuah Tinjauan Aspek Demografi. Makalah Pada Workshop Pengembangan Konsep Bioregional sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan Berkelanjutan. Caringin Bogor. Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Cetakan ketiga. IPB Press.Bogor. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 2000. Bahan Masukan Propenas. Rapat Kerja Teknis Lingkungan Hidup Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI. Jakarta. Bapeda Pemda Kabupaten Bogor. 2001. Pengalaman Pemerintah Kabupaten Bogor dalam Upaya Penanganan Masalah di Kawasan Bopuncur. Disampaikan dalam sosialisasi Keppres nomor 114/1999. Bogor. Barlowe, R. 1972. Land Resource Economic: the Economic of Real Estate. Prenti Hall Inc.New Jersey. Basuni, S. 2003. Inovasi Institusi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat. Disertasi Program Pasca Sarjana S3 IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Bungin,B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta. Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Bekerja sama dengan Ikatan Ahli Perenanaan Indonesia.1997. Kamus Tata Ruang Edisi I.Jakarta. Hardjosoemantri, K. 1993. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Janudianto. 2004. Analisis Perubahan penggunaan/Penutupan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Debit Maksimum-Minimum di Sub Das Ciliwung Hulu. Skripsi Program Studi Ilmu Tanah S1 Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB.Bogor. Tidak dipublikasikan. Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan hutan Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Poertanian Bogor, Bogor. Kartodihardjo, H.,K. Murtilaksono, Hadi S.P, U. Sudadi dan Nunung, N. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Kelompok Pengkajian Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan (K3SB). Bogor. Kartodihardjo, H. 2006. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan: Telaah lanjut kebijakan usaha kehutanan. Ideals. Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. 2000. Agenda 21 Sektoral Agenda Pemukiman untuk pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Kementrian Lingkungan Hidup RI. Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Himpunan Peraturan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan RI. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup. 2001. Harmonisasi Tata Ruang Sumberdaya Alam dan Penggunaan Lahan. Kementrian Lingkungan Hidup RI. Jakarta Kolopaking, L. , M dan F. Tommy. 1994. Aspek Kelembagaan dan Partisipasi dalam pengelolaan DAS secara Terpadu. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Bogor. Lembaga Penelitian IPB.1996. Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian. Lembaga penelitian IPB. Bogor. Lembaga Penelitian UI.1997. Studi Pengendalian Pemilikan Tanah dengan Instrumen Perpajakan. Embaga Peneitian UI Jakarta.
Maulana, L., H. 2003. Analisis Daya Dukung Lahan terhadap Faktor-faktor Pendukungnya di Kawasan Puncak. Disertasi Program Pasca Sarjana S3 IPB. Bogor.Tidak dipubikasikan Natsir,I. 2005. Bopunjur Makin kritis Pikiran Rakyat. Jakarta. Nasir. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi dalam Prosiding Patanas : Evolusi Kelembagaan Pedesaan di tengah Perkembangan Tekhnologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi Badan Litbang Pertanian, Bogor. Ramdan, H., Yusran, dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Penerbit Alqa Print. Sumedang. Saefulhakim, S. Dyah, R.P., E. Rustiadi. Dan Dyah. T.S. 2003. Pengembangan Model Sistem Interaksi Antar Aktifitas Sistem Ekonomi dengan Perubahan Penggunaan Lahan. Jurnal Penelitian Fakultas Pertanian Jurusan Tanah Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rustiadi. 2003. Perencanaan Pengembangan Wilayah Konsep Dasar dan Teori. Laboratorium Perencanaan Wilayah Jurusan Tanah . Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Rohmad, Z. 1998. Peran Pemuda dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Disertasi Program Pascasarjana S3 IPB. Bogor. Sitorus, M.T.F dan B.S. Utomo. 1998. Sosiologi Umum. Diktat Mata Kuliah Sosiologi Umum. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Bogor. Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Soemarwoto, O. 2001. “Atur-Diri-Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Pada Rakyat, Ekonomis Berkelanjutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sugiono. 1993. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Sugiyanto. 2002. Lembaga Sosial. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Wahyunto, M. Zainal Abidin, A. Priyono dan Sunaryo. 2001. Studi Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Garang, Jawa Tengah. Seminar Nasional multifungsi Lahan Sawah. ASEAN SecretariatMAAF Japan-Puslitbang Tanah dan Agroklimat.Bogor.