PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI1 Sigit Supadmo Arif2 dan Dede Sulaeman3 PENGANTAR Dari banyak pustaka telah banyak diketahui bahwa irigasi telah menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia termasuk masyarakat Indonesia yang beriklim tropis. Dari tinjauan kesejarahan dapat diketahui bahwa sistem irigasi pada awal mulanya dibangun masyarakat dengan satu sistem sangat sederhana baik infrastruktur maupun institusi pengelolanya. Tetapi dengan semakin maju kehidupan manusia maka pengelolaan sistem irigasi tidak lagi hanya sebagai satu sistem yang berakitan dengan produksi pangan saja tetapi juga telah berkaitan dengan persoalan pengembangan masyarakat, pengembangan wilayah bahkan juga dengan persoalanpersoalan sosial, ekonomi dan politik suatu negara (Arif, 2009). Dengan demikan persoalan yang muncul dalam pengelolaan irigasi akan lebih kompeks dan tidak hanya berkaitan dengan pembangunan infrastruktur saja karena infrastrktur hanya merupakan satu bagian saja dari pengelolaan sistem irigasi secara keseluruhan. PENGEMBANGAN INSTITUSI IRIGASI DARI ZAMAN KE ZAMAN4 Dari satu prasasti yang diketemukan di daerah Tugu, di Jakarta Utara telah diketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak banjir sepanjang kurang lebih 10 km. Apabila kita telaah lebih lanjut tentang ilmu dasar keteknikan, pembangunan sistem pengelak banjir tentu lebih sulit dibandingkan dengan pembangunan sistem irigasi. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa kemampuan nenek moyang kita membangun satu sistem irigasi beserta tata cara pengelolaannya telah berlangsung lama sebelum abad ke 5. Sebagai satu negara yang terletak di wilayah tropis basah maka Indonesia mempunyai watak klimatik sangat khas, yaitu dicirikan dengan banyak hujan dan hampir merata sepanjang tahun, meski secara garis besar terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Karakteristik klimat tersebut telah menyebabkan tanaman padi menjadi pilihan utama masyarakat untuk dikembangkan sebagai tanaman pangan pokok dengan budidaya sawah sangat khas. Perkembangan budidaya sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya jaringan irigasi gravitasi pada abad-abad berikutnya. Jaringan irigasi dibangun untuk Bahan Pelatihan “Peningkatan Kemampuan Perencanaan Teknis Irigasi, Air Baku, dan Air Tanah”, Direktorat Irigasi dan Rawa, Kementerian Pekerjaan Umum tanggal 23-15 Maret 2014 di Yogyakarta 2 Guru Besar Teknik dan Manajemen Irigasi. Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta 3 Kementerian Pertanian dan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 4 Bahasan tentang pengembangan insititusi irigasi dari zaman ke zaman ini sebagian telah ditulis dalam Arif (2009) dan Arif dkk (2010) 1
1
mengantisipasi kegagalan panen akibat terjadinya banjir ataupun kekeringan. Pengetahuan ini diperoleh masyarakat berdasarkan pengalaman empiris. Pembangunan sistem irigasi ataupun prasarana bangunan air secara utuh seperti telah dilakukan oleh raja Purnawarwan membutuhkan banyak tenaga kerja. Sudah barang tentu tenaga-tenaga kerja itu perlu diatur oleh suatu sistem kepemimpinan terpusat yang menjadi sumber kekuasaan sehingga dapat mengorganisasikan secara sepadan. Masyarakat berbudaya hidrolika tersebut disebut dengan masyarakat hidrolika (Wittfogel, 1975). Demikianlah manusia Indonesia hidup sejak ratusan tahun yang lalu dalam suasana agraris berbasis padi telah membentuk suatu budaya masyarakat hidrolika yang sangat kental dengan budaya agraris. Lebih lanjut dikatakan oleh Wittfogel (1975) bahwa masyarakat hidrolika tersebut selalu dibangun oleh pemerintahan otoriter. Teori Wittfogel ini mungkin benar untuk masyarakat di belahan dunia lain tetapi tidak untuk masyarakat Indonesia (Arif, 2009). Pendapat Arif (2009) ini didasarkan fakta bahwa sistem irigasi di Indonesia dikembangkan pertama kali oleh masyarakat dengan luas relatif kecil dan biasanya pelaksanaan pembangunanya dipimpin oleh tetua desa. Pembangunan sistem irigasi secara tradisional tersebut masih dapat ditelusuri jejaknya di banyak tempat di seluruh Indonesia. Apabila sejak awal pembangunan sistem irigasi dilakukan masyarakat secara mandiri, pertanyaannya adalah sejak kapan pemerintah ikut teribat dalam pembangunan dan pengelolaan irigasi. Dari fakta empiris pembangunan sistem irigasi secara utuh dapat ditelusuri tahapan pembangunan sistem irigasi di Indonesia. Paling tidak secara garis besar evolusi pengembangan irigasi dapat dipilah menjadi empat tahapan, yaitu: (i) tahap awal, (ii) pembentuk akhir, (iii) pengembangan kawasan, dan (iv) penguasaan oleh negara (Lombard,1996; van der Meer. 1979). Pada masa terbentuknya suatu kerajaaan, semua tahapan pembangunan jaringan irigasi dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa bantuan pemerintah sama sekali (P3PK, 1995; Windya, 1993). Baru pada tahap keempat setelah terbentuk sistem pemerintahan yang kuat, negara baru ikut dalam proses pembangunan sistem irigasi. Dalam pembangunan sistem irigasi sering dijumpai suatu kolaborasi antara pemuka agama, masyarakat dan penguasa kerajaan. Kerjasama terjadi karena masing-masing pihak saling berkepentingan dan saling menguntungkan serta mempunyai nuansa politik dan ekonomi. Masyarakat memperoleh keuntungan karena adanya pertambahan produksi pangan dan pendapatan, sedangkan negara akan mendapat pengakuan kekuasaan wilayah serta memperoleh tambahan pendapatan pajak dari penduduk (FTP-UGM, 2006). Namun sering terjadi apabila masyrarakat desa dianggap berjasa pada negara maka desa tersebut dapat diberikan keringanan pajak atau bahkan dibebaskan sama sekali. Desa bebas pajak tersebut disebut dengan Sima atau sekarang berubah manjadi Siman. Dalam pelaksanaan pembangunan sistem irigasi tersebut pemerintah hampir tidak pernah mencampuri urusan pembangunan dan pengelolaan suatu sistem irigasi. 2
Pemerintah hanya memberikan fasilitasi, hampir semua urusan dikerjakan masyarakat sendiri meski terdapat pejabat negara yang ditugasi untuk mengurusi. Kemandirian ini menyebabkan bahwa institusi irigasi beserta infrastrukturnya masih berfungsi dengan baik meskipun sistem kerajaan dan pemerintahannya telah berganti beberapa kali (van der Meer. 1979; Prasodjo. 2004). Adanya fakta keberhasilan nenek moyang kita dalam pengelolaan aset irigasi disebabkan oleh adanya beberapa hal, yaitu: (i) masyarakat menganggap hakekat pemilikan air sebagai milik bersama, (ii) adanya kearifan lokal sehingga masyarakat berkemampuan membangun infrastruktur yang berkeseimbangan dengan lingkungannya, (iii) adanya institusi partisipasif yang kuat dalam penyelenggaraan irigasi secara mandiri, serta (iv) tidak adanya dominasi oleh suatu pihak termasuk negara dalam penguasan teknologi irigasi. Fenomena ini terjadi selama masa kerajaan Hindu-Budha bahkan kerajaan Islam sebelum masa kolonial datang, meskipun demikian jejak-jejak keempat fenomena tersebut masih dapat dijumpai sampai sekarang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai melakukan kebijakan pembangunan sistem irigasi teknis di Indonesia pada abad ke 19 dan bagian dari pelaksanaan kebijakan Sistem Tanam Paksa untuk memacu ekspor komoditi perkebunan ke pasar Eropa. Kebijakan ini diambil karena pemerintah kolonial mengalami kesulitan keuangan akibat perang Diponegoro. Pengembangan sistem perkebunan itu membutuhkan suatu sistem irigasi teknis untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman perkebunan terutama tebu dan tembakau. Pembangunan irigasi di masa kolonial Belanda itu tidak dilakukan secara serentak. Para Insinyur kolonial Belanda yang terbiasa dengan iklim empat musim tidak serta merta dapat melakukan pembangunan sistem irigasi tropis untuk komoditi perkebunan. Pembangunan itu dilakuan secara bertahap melalui proses belajar yang panjang. Seperti halnya pada masa kerjaaan, paling tidak terdapat tiga tahap periode pentahapan, yaitu: (i) masa tahun 1830-1885, merupakan masa pembangunan fisik bangunan utama, (ii) masa tahun 1885-1920, tahap pembangunan jaringan irigasi secara utuh, dan (iii) periode 1920–1942 merupakan pelaksanaan operasional sistem secara mantap. Pada masa-masa awal, pemerintah Kolonial baru mengembangkan fasilitas bangunan utama (head work) yang dilakukan masih secara empiris dan mengadopsi bangunan irigasi yang telah dibangun penduduk asli. Tak jarang timbul persoalan akibat tidak sempurnanya rancangbangun. Tetapi semuanya itu selalu dapat diselesaikan melalui perbaikan secara in-situ (van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001). Tahapan-tahapan pembangunan irigasi yang dilakukan pemrintah kolonial Belanda selama kurang lebih 150 tahun telah memberikan banyak sekali pembelajaran bagi pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Sistem operasi dan pemeliharaan (O&P), faktor K ataupun Nilai Palawija Relatif (NPR), sistem golongan dan ulu-ulu, sistem pengelolaan irigasi bersama antara pemerintah di jaringan utama dan petani di tersier, sistem pengelolaan irigasi berbasis wilayah sungai -semuanya merupakan sistem pengelolaan dan institusi irigasi yang berlaku sampai sekarang, merupakan peninggalan dari masa pemerintahan kolonial Belanda. 3
Memasuki zaman kemerdekaan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno hampir tidak ada pembangunan irigasi yang dilakukan karena pemerintah disibukkan dengan masalah politik dan keamanan yang banyak menguras energi menyebabkan sistem sosial politik dan ekonomi tidak berkembang. Pembangunan sistem irigasi sebagai masukan produksi pangan juga tidak berkembang. Indonesia memasuki tahap kritis karena kemiskinan dan kekurangan pangan. Dengan mengacu pada fenomena-fenomena empiris yang muncul, maka pemerintahan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno memfokuskan pembangunan Indonesia pada pembangunan sektor sumberdaya air terutama pembangunan irigasi. Adapun tujuan pembangunan itu adalah agar segera dapat memotong garis kemiskinan melalui peningkatan produksi pertanian. Untuk mencapai tujuan, maka pembangunan irigasi dilakukan dengan memakai tiga strategi, yaitu: (i) pembangunan infrastruktur, (ii) pemberian insentif pada petani, dan (iii) pengembangan institusi, termasuk penyusunan hukum perundangan dan organisasi pengelolaannya (Afif, 1992). Sebagai bagian dari pengembangan institusi, pada tahun 1974 dikeluarkan Undang-undang tentang Pengairan sebagai pengganti aturan kolonial AWR 1936 menyusul kemudian penetapan Peraturan Pemerintah (PP) tentang irigasi tahun 1982 (Wirosumarto, 2001). Kebenaran pelaksanaan strategi pembangunan tersebut dapat dilihat dari kecepatan pembangunan lahan beririgasi di Indonesia, sampai dengan tahun 1990 telah tercetak lebih dari 4,0 juta ha (Moohtar, 1992) hampir separuhnya terletak di Pulau Jawa. Pada masa Oder Baru asas-asas pengelolaan irigasi pada masa kolonial masih tetap dipakai. Tetapi desentralisasi O&P kepada daerah yang dulu pernah dilakukan pemerintah kolonial tidak diberlakukan lagi. Hampir semua kewenangan dalam pembangunan dan pengelolan irigasi dimiliki pemerintah pusat (Arif, 2001). Meskipun pembangunan irigasi dilakukan berbasis pembangunan insfrastruktur, tetapi secara normatif masalah pembinaan masyarakat mulai menjadi perhatian pemerintah. Pada tahun 1969 dikeluarkan suatu Instruksi Presiden tentang pembentukan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan disusul dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pembinaan P3A. Dengan demikian secara legal berakhirlah peran ulu-ulu sebagai pengelola irigasi di aras tersier maupun ulu-ulu golongan tanam dan digantikan oleh suatu organisasi petani. Tiga strategi pembangunan irigasi masa Orde Baru sebetulnya menganut paham modernisasi dan dekolonisasi yang muncul pada dekade 60’an. Keberhasilan pelaksanaan konsep pembangunan diukur dengan adanya laju pembangunan ekonomi yang cepat. Untuk mencapai tujuannya maka digerakkanlah mesin birokrasi sehingga dominasi pemerintah akan sangat besar. Konsep ini secara global berlangsung sampai akhir dekade 80’an. Pada dekade pertengahan mulai muncul paradigma pembangunan yang berbasis kemanusiaan dan pertisipasi serta demokratisasi (Shepherd, 1998; van Ufford, Giri dan Moos, 2004; Pieterse, 2001). 4
Perubahan paradigma pembangunan global itu ternyata juga berimbas pada kebijakan irigasi secara nasional. Pada tahun 1987 dikeluarkan kebijakan pemerintah tentang O&P yang berisi: (i) penyerahan irigasi kecil pada petani (PIK), (ii) penetapan Iuran Pelayanan Irigasi (IPAIR) untuk daerah irigasi (DI) yang lebih besar dari 500 ha, (iii) pelaksanaan efficient operation and maintenance (EOM). Pada tahun yang sama juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Di Bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah. Urusan O&P irigasi diserahkan pada pemerintah provinsi sedangkan pemerintah kabupaten diserahi tugas kewenangan pemberdayaan. Hampiran yang dipakai dalam pengelolaan irigasi masa Orde Baru ini disebut sebagai manajeman produksi. Asas ini mengedepankan monosentrisitas dengan menekankan pemerintah bertindak pelaksana manajemen irigasi di semua aras dan menentukan tujuan manajemen. Dengan demikian manajemen irigasi secara keseluruhan akan bersifat manajemen produksi. Salah satu ciri pelaksanaan manajemen produksi ini adalah pelaksanaan manajemen dengan fokus pada pendekatan teknis dan finansial (Huppert et al. 2001). Namun dengan segala kelebihan dan kekurangannya Indonesia berhasil mencapai swa sembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan ini juga diuntungkan dengan adanya revolusi hijau. Banyak hal terjadi menyebabkan prestasi itu tidak berlangsung lama. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman budaya pemeliharaan kental di kalangan birokrasi pelaksana irigasi. Mereka sebih senang membangun dari pada memelihara maka munculah paradok O&P. Semua orang mengatakan O&P penting tetapi selalu mengabaikannya. Akibatnya ialah terjadinya suatu kemerosotan kinerja sistem irigasi yang berlangsung sangat cepat (FTP-UGM, 1992, 2001). Perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya air berjalan lebih cepat seiring dengan adanya aksi reformasi sosial politik pada tahun 1998. Pada bulan April 1999 dikeluarkan sebuah Instruksi Presiden (INPRES) no 3/1999 tentang pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi (PKPI). Kebijakan menyangkut lima kebijakan yang intinya melakukan redefinisi tugas dan peran lembaga pengelola irigasi, pemberdayaan organisasi petani pemakai air, penyerahan pengelolaan irigasi kepada organisasi petani, terbentuknya sistem pembiayaan pengelolaan irigasi termasuk iuran air dari petani, dan tercapainya keberlajutan sistem irigasi. Dua tahun kemudian INPRES ini dikukuhan dengan sebuah PP no 77/2001 tentang Irigasi menggantikan PP no 23/1982. Melalui PP 77/2001 maka sifat manajemen irigasi gabungan antara pemerintah dan petani digantikan oleh menajemen tunggal oleh petani. Peran pemerintah dibatasi pada pemberian fasilitasi O&P serta rehabilitasi apabila petani tidak dapat melakukannya. (Arif, 2003). Pada periode ini bagi sebagian pelaksana birokrasi irigasi merupakan satu kemunduran dalam pengelolaan irigasi. Pada masa-masa itu pergulatan pikiran terus terjadi sampai terbitnya Undangundang no 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan untuk Irigasi diterbitkan Peraturan Pemerintah no 20 tentang Irigasi pada tahun 2006. Inilah babak baru dalam pengelolaan irigasi di Indonesia. 5
PENGELOLAAN IRIGASI DENGAN UU 7/2004 dan PP 20/2006 Pemahaman tentang pengelolaan irigasi dari perspektif kesejarahan juga memberikan pemahaman bahwa negara dapat melakukan intervensi secara politik melalui serangkaian kebijakan untuk kepentingan para penguasa. Pada masa pembaharuan ini pelaksanaan pengelolaan irigasi harus dikembalikan pada tujuan yang sebenarnya yaitu untuk melayani petani. Begitu pentingnya keberadaan sistem irigasi bagi kehidupan masyarakat, maka banyak teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan keberadaan irigasi, salah satunya dengan memakai analisis sistem. Sebagai bagian dari sistem pembangunan masyarakat dan poltik suatu negara, keberadaan sistem irigasi dapat dipandang sebagai sistem berkalang, yaitu : (i) pengelolaan irigasi, (ii) sistem pertanian beirigasi, (iii) pembangunan pedesaan, (iv) pembangunan wilayah, dan (v) irigasi sebagai bagian dari kebijakan politik nasional (Small dan Swendsen, 1992). Dengan melihat karakteristik jumlah dan mutu air dalam suatu sistem pengelolaan irigasi, maka sistem irigasi juga dapat dipandang sebagai suatu sistem polisentrisitas dan common pool resouces (CPR). Pedekatan CPR dan polisentrisitas ini mengatakan bahwa jumlah dan mutu air semakin ke hilir akan semakin berkurang karena banyak para pihak terlibat dalam pelaksanaan irigasi Hampiran ini sangat penting untuk ditahui bagi para pelaku irigasi karena pengeloaan irigasi merupakan sesuatu yang rumit dan apabila tidak dilakukan secara bijak akan menimbulkan koflik antar pelaku. Satu hampiran sistem yang sangat penting juga disampaikan oleh Pusposutarjo (1995) yang mengatakan bahwa sistem irigasi merupakan transformasi sistem sosio kutural masyarakat dan digambarkan pada Gambar 1. KEBIJAKAN
Lingkungan strategis Aturan & budaya org.
FISIK
Finansial Ekonomi
Artefak EKOLOGI
Non human
Lingkungan strategis
SOS-EK
Gambar 1. Irigasi sebagai sistem tranformasi sosio kultural masyarakat
6
Hampiran ini muncul karena pada masa lalu pembanguanan dan pengelolaan sistem irigasi hanyalah dipandang sebagai masalah infrastrktur saja. Dalam Gambar 1 terlihat bahwa sistem irigasi terdiri atas: (i) pola pikir masyarakat yang menimbulkan budaya masyarakat, (ii) artefak termasuk teknologi, (iii) sosial ekonomi, dan (iv) sistem non human termasuk pilihan pola tanam. Keempat subsistem tersebut akan saling berkaitan dan berkesesuaian dengan lingkungannya baik lingkungan ekologis maupun lingkungan stategisnya. Masing-masing subsistem mempunyai peran sendiri dan tidak dapat diabaikan. Bahkan Subekti (2013) menyatakan bahwa subsistem sosial ekonomi dan perubahan lingkungan strategis seperti adanya kebijakan otonomi daerah sangat berperan terhadap baik buruknya kinerja pengelolaan sistem irigasi. Sebagai bentuk pengaliran air untuk memproduksi tanaman PP no 20/2006 tentang irigasi memuat lima pilar irigasi, yaitu berturut-turut: (i) ketersediaan air irigasi, (ii) infrastruktur, (iii) pengelolaan irigasi, (iv) institusi irigasi, dan (v) manusia pelaku. Sesuai dengan keberlanjutannya maka lima pilar ini ditambahkan lagi dengan satu pilar pembiayaan dan norma hukum yang berlaku., seperti di gambarkan pada Gambar 2. Norma hukum
institusi
penglolaan
Lingkung an
Ketersed iaan air
infrasruktur pe
Produksi pertanian
Manusia pelaku
pembiayaan
Kesejah teraan petani
Gambar 2. Konsep lima pilar irigasi + 1 dalam PP no 20/2006 (Arif dan Subekti, 2013) Menunjukkan konsep lima pilar + 1 dalam PP no 20/2006 dan setiap daerah irigasi akan mempunyai permasalahan sendiri-sendiri tergantung pada beberapa unsur sebagai sebuah sistem transformasi sosio-kultral masyarakat. Di dalam suatu sistem irigasi keberlanjutan lima pilar tersebut akan dapat berbentuk siklik seperti terlihat pada Gambar 3.
7
ketersedi aan air
manusia pelaku
institusi irigasi
infrastru krtur
pengelola an irigasi
Gambar 3 Konsep lima pilar dalam keberlanjutan irigasi yang bersifat siklik
Dalam Gambar 3 tersebut terlihat meskipun bersifat siklik tetapi masing-masing pilar dapat menjadi penyebab atau memicu ketidak berlanjutan suatu sistem irigasi dan arah putaran siklik akan dapat juga berbalik arah. Apabila manusia pelaku kurang dapat berperan maka institusi juga menampilkan kinerja yang bagus pula dan demikian seterusnya. Gambar-gambar 1, 2, dan 3 juga memberikan arti penting bahwa di dalam pengelolaan irigasi masing-masing pilar mempunyai arti sama penting. Bahkan di masa depan persoalaan institusi dan manusia pelaku irigasi akan menjadi sangat penting jauh dari masalah infrasruktur dan ketersediaan air, karena krisis ketersediaan air yang terjadi selama ini sebagian besar disebabkan oleh lebih pada kelajakan manusia. Pembangunan infrastrktur secara sepadan akan dapat dilakukan apabila manusia dan institusi pelaku irigasi juga dapat berlaku secara baik sesuai dengan tata aturan yang berlaku. Mencermati karaktersistik PP no 20/2006 tersebut untuk dapat mencapai tujuan yang dicita-citakannya sebetulnya merupakan satu proses dan cukup rumit seperti ditunjukkan Gambar 4. Dalam Gambar 4 tersebut terlihat bahwa pelaksanaan PP no 20/2006 sampai tujuannya tercapai melibatkan banyak pihak dan suatu koordinasi yang sangat kuat dalam pelaksanaaanya. Padahal pelaksanaan koordinasi antar intitusi di Indonesia merupakan suatu tindakan yang mahal. Kesulitan akan bertambah dalam karena tidak ada satupun institusi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan koordinasi pembangunan dan pengelolaan irigasi di aras nasional.
8
hujan manusia Sikap lajak manusia Kebuth.lahan dan sumberdaya lain
Pengelolaan DAS
air sungai Kebut. Sektor lain Sumber air irigasi
Hak atas air
Ketersedia an lahan
Pengelolaan sistem jaringan utama
Pola & luas tanam
Kesejah petani
SDM dan institusi
Kondisi dan fungsi Prasarana irigasi
Kebij.. pemeri nta
Ketersediaan air irigasi di petak tersier
Kebutuhan belanja petani Fakt. Peng aruh
Pendapat an petani
harga a
teknologi
Pengelolaan sistem jaringan tersier
lain Kebij.. pemeri nta pasar
Produk si Pengelolaan sistem pertanian
Kondisi dan fungsi Prasarana irigasi
SDM dan institusi
teknologi
Ketersediaan air irigasi di petak sawah
Gambar 4. Pelaksaksanaan PP no 20/2006 yang kompleks (Arif, 2007)
Terbitnya PP no 20 tahun 2006 tentang irigasi memberikan satu babak baru dalam pengelolaan irigasi di Indonesia. Meski masih merupakan pengelolaan gabungan antara pemerintah dan petani seperti pada masa kolonial dan orde baru tetapi pada pengelolaan irigasi menurut PP no tahun 2006 dilakukan secara partisipatif atau lebih 9
dikenal dengan Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP). Satu syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pengeloaan irigasi adalah masing-masing pihak harus setara. Tidak boleh satu pihak mendominasi pihak lain. Sebagai dasar hukum pelaksanaan pengelolaan irigasi partisipatif adalah PP no 20 tahun 2006 pasal 26, 27, dan 28. Sesuai dengan pasal 28 ayat 1 dan 2 maka sebagai pelaksana penyusun strategi dan pelaksanaan pemberdayan adalah pemerintah kabupaten, meskipun pemerintah provinsi dan pusat sesuai dengan kewenanganya dapat memberikan bantuan kepada pemerintah kabupaten untuk dapat melakukan tugasnya. Mengacu pada ketiga pasal tersebut dan takrif tentang partisipasi yang telah disebutkan oleh Okley (1991) maka partisipasi yang disebutkan dalam Pasal 26 PP 20/2006 tersebut termasuk kategori partisipasi sebagai mobilisasi sumberdaya dan sebagai bentuk organisasi. Tetapi sebagai bagian dari azas good governance yang mengacu pada pelaksanaan demokratisasi dan hak azasi manusia, PP 20/2006 pasal 4 sampai dengan pasal 6 maka bentuk partisipasi dalam pengelolaan irigasi harus terus ditingkatkan menjadi bentuk pemberdayaan masyarakat. Bentuk pemberdayaan masyarakat tersebut akan dapat dicapai apabila petani memahami dan mengetahui manfaat langsung keuntungan pelaksanaan irigasi di wilayahnya masing-masing. Salah satu persyaratan pelaksanaan partisipasi adalah adanya kasetaraan antara dua pihak pelaku dalam hak dan kewajiban serta adanya keuntungan yang akan diperoleh melalui kegiatan bersama Setelah PP no 20 tahun 2006 diterbitkan maka Menteri Pekerjaan Umum pada tahun 2007 mengeluarkan beberapa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum secara berturut-turut, yaitu Permen PU no 30/2007 tentang pedoma Komisi Irigasi, Permen PU no 31/2007 tentang PPSIP, Permen PU no 32/2007 tentang O&P irigasi dan PP no 33/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan IP3A/GP3A/P3A. Keempat peraturan menteri PU tersebut nenjadikan bukti keseriusan pemerintah terhadap pelaksanaan PPSIP. Selain itu pemerintah juga memberikan ruang bagi daerah untuk dapat mengembangkan partisipasi sesuai dengan kearifan lokal.
TEORI PARTISIPASI Partisipasi merupakan hal sangat penting dalam pembangunan pertanian dan perdesaan, dan salah satu komponen penting dalam rangka kesuksesan pengelolaan sumber daya alam. Pengambilan keputusan dalam partisipasi petani diibaratkan sebagai tuntunan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam produksi pangan dan pembangunan (Alam et al., 2012). Berdasarkan definisinya, partisipasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk ada dan bertindak bersama dengan yang lain tanpa kehilangan jatidirinya ketika bergerak bersama (Mejos, 2007), menggabungkan kepentingan dan harapan para pihak (Savva, 2002), terlibat aktif dalam proses-proses dan kegiatan (Wiyono dkk, 2012), 10
berbagi, berkontribusi dan bertindak dengan saling bertanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama (Alam, et. al, 2012). Partisipasi masyarakat di tingkat lokal dapat dianalisa menjadi tiga bagian yaitu siapa yang berpartisipasi, institusi yang terlibat, dan tujuan serta fungsi dari partisipasi (Chambers. 2007). Pada pengelolaan irigasi maka bagian dalam partisipasi masyarakat meliputi petani, perkumpulan petani pengguna air (P3A/GP3A), dan tujuan yang ingin dicapai oleh petani sebagai individu dan institusi petani ketika berpartisipasi. Sebagai seorang individu, untuk dapat berpartisipasi petani juga harus siap untuk suatu perubahan. Perubahan dimaksud adalah kebiasaan dalam sikap, perilaku, dan tindakan pada kondisi awal menjadi sikap, perilaku dan tindakan yang sesuai dengan objek partisipasi. Untuk mencapai perubahan tersebut, perlu ada suatu kesiapan. Kesiapan (readiness) didefinisikan sebagai “prepared mentally and physically for an experience or action” atau “preparation of a gun for immediate aim and firing” (MerriamWebster, 2005 dalam Walinga, 2008). Pada pengelolaan irigasi, sikap petani untuk bertisipasi berkaitan dengan berbagai aspek seperti persepsi petani terhadap proyek (Khalkheili & Zamani, 2008), kemampuan diri, perhitungan untung rugi (Warsito, 1977 dalam Supadi. 2008), dan apa manfaat langsung yang dapat diperoleh petani (FAO, 2001). Merujuk pada Alam et al. (2012), berdasar berbagai literatur dan penelitian manajemen irigasi partisipatif (participatory irrigation management/PIM), diperoleh alasan mengapa petani berpartisipasi atau tidak berpartisipasi pada pengelolaan irigasi, meliputi: a. b. c. d. e. f.
Ketergantungan kehidupan pada skema irigasi. Kehandalan dan efisiensi penyaluran air melalui irigasi. Tingkat keuntungan dengan memanfaatkan skema irigasi. Adanya desakan dan percaya pada kepemimpinan. Pemahaman tentang hak, kewajiban dan pentingnya partisipasi. Rasa memiliki dalam kelompok.
Berbeda dengan partisipasi petani sebagai individu, bila partisipasi dilakukan pada tataran organisasi petani pemakai air (P3A), maka harus dibangun basis kemandirian (develop a self-reliant basis) organisasi yang dipengaruhi oleh tindakan, perilaku organisasi dan kepemimpinan dalam kelompok (Pradhan and Bandaragoda, 1997 dalam Abernethy CL. 2001). Karena merupakan tindakan bersama, organisasi sebagai lembaga juga harus secara nyata membentuk tindakan anggotanya pada tingkat individu maupun kolektif (Hagedorn, 2008 dalam Wanga et. al, 2013). Sehingga memang ada keterkaitan dan hubungan timbal balik antara partisipasi sebagai individu dan partisipasi yang dilakukan oleh organisasi yang mengelola partisipasi secara kelompok, dan hal ini dipengarui oleh tujuan yang ingin dicapai oleh individu maupun kelompok. Untuk itu maka, tujuan dari dilakukannya tindakan partisipasi oleh kelompok harus berbasis pada kebutuhan para anggota kelompoknya. Karena bila tidak bersesuaian maka anggota kelompok dapat mengambil sikap sebagaimana digambarkan 11
oleh Mejos (2007), yaitu tidak menyetujui atau berseberangan, menyesuaikan diri, atau memilih tidak terlibat. Menetapkan tujuan partisipasi petani bukan hal yang mudah. Perlu dikemukakan alasan yang cukup kuat, logis, dan mampu mengungkit atau membangkitkan emosi positif terhadap apa yang menjadi persoalan bersama. Partisipasi yang ditunjukkan oleh petani di Bantul melalui kegiatan Gerakan Irigasi Bersih bermula dari bangkitnya emosi petani menghadapi sampah yang menyumbat dan mencemari saluran irigasi.
GERAKAN IRIGASI BERSIH SEBAGAI WUJUD PARTISIPASI DENGAN KEARIFAN LOKAL Beragam hampiran dapat digunakan dalam partisipasi masyarakat. Hampiran berbasis budaya dan kearifan lokal merupakan salah satu yang dapat dikembangkan dalam peningkatan partisipasi pengelolaan irigasi. Mengacu pada Satria (2011) dapat diidentifikasi hampiran partisipasi masyarakat berbasis budaya dan kearifan lokal meliputi (Tabel 1): (a). Aturan adat; (b). Reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya setempat yang telah pudar; dan (c). Internalisasi dan adaptasi budaya luar, yang implementasinya berupa tindakan regulatif dan tindakan kognitif. Tabel 1. Hampiran Partisipasi Masyarakat Pengelola Irigasi Berbasis Budaya Hampiran Aturan adat
Reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya setempat yang telah pudar
Internalisasi dan adaptasi budaya luar
Tindakan Regulatif - Kodifikasi aturan adat - Pengembangan kapasitas kelembagaan - Penguatan jaringan - Sarana dan prasarana - Identifikasi, inventarisasi, dan revitalisasi nilai budaya lama yang telah pudar - Pengembangan kapasitas kelembagaan - Penguatan jaringan - Sarana dan prasarana - Pengembangan kapasitas kelembagaan - Penguatan jaringan - Pembelajaran dari kisah sukses komunitas lain
Tindakan Kognitif - Identifikasi, inventarisasi, dan formulasi secara tertulis aturan adat yang ada - Kerjasama dengan sains - Identifikasi, inventarisasi, dan formulasi secara tertulis pengetahuan lokal yang dulu pernah ada - Kerjasama dengan sains - Pendidikan dan pembelajaran dari kisah sukses komunitas lain
Sumber: adopsi dari Satria (2011) Mencermati munculnya Gerakan Irigasi Bersih (GIB) di Kabupaten Bantul, dapat diketahui bahwa gerakan ini dilandasi oleh protes terhadap belum optimalnya pengelolaan irigasi oleh instansi pemerintah daerah dan minimnya kesadaran serta budaya masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Kedua kondisi itu menyebabkan saluran irigasi di Kabupaten Bantul dipenuhi sampah dan menyumbat aliran air ke sawah petani. Bentuk protes itu diejawantahkan dalam suatu gerakan sosial dan budaya untuk membangun kesadaran kolektif yang luas yang pada akhirnya diharapkan mampu 12
memperbaiki kondisi yang ada. Sulaeman, dkk (2013) menyebut gerakan itu sebagai gerakan partisipasi masyarakat berbasis kebudayaan khas masyarakat Jogja (Jogja Culture) yang secara simbolik mengajak masyarakat luas untuk mengembangkan budaya bersih. Secara konseptual memang terdapat berbagai cara individu atau masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya secara khas, dan pilihan masyarakat Kabupaten Bantul mambantu menyelesaikan masalah irigasi melalui GIB perlu dipahami sebagai respon atas kondisi yang ada yang mungkin berbeda dengan masyarakat di tempat lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Marten (2001) bahwa perbedaan persepsi perlu diakui untuk membantu memahami mengapa individu dan masyarakat yang berbeda memberikan respon terhadap lingkungan dengan cara-cara yang sangat berbeda pula. Bila mengambil hampiran yang disampaikan olah Satria (2011), maka Gerakan Irigasi Bersih masuk pada konteks “reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya setempat yang telah pudar”. Sulaeman, dkk (2013) mengidentifikasi adanya 4 (empat) tipologi aktifitas partisipasi petani dalam pelaksanaan GIB pada saluran irigasi sekunder dan primer (Tabel 2). Pada tipologi pertama, aktifitas dilakukan untuk memperlancar aliran air pada saluran irigasi. Pada tipologi ini, saluran irigasi masih dapat mengalirkan air namun terhambat oleh sedimen dan sampah. P3A/GP3A melakukan aktifitasnya agar pada saat memulai musim tanam mendapatkan air yang lebih tepat jumlah, waktu dan kualitas. Tipologi ini masih menerapkan hampiran teknis dan artificial culture ketimbang hampiran budaya secara utuh. Tipologi kedua yaitu aktifitas yang dilakukan untuk mengalirkan air irigasi pada lokasi yang kesulitan mendapatkan aliran irigasi. Pada tipologi ini, P3A/GP3A melakukan aktifitasnya karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan air melalui saluran irigasi yang telah ada namun tidak berfungsi untuk mengalirkan air pada lahan mereka. Tipologi ini murni menerapkan hampiran teknis. Tabel 2. Tipologi Kegiatan GIB-MTA Pada Saluran Irigasi Sekunder Dan Primer No 1.
Tipologi Memperlancar aliran air pada saluran irigasi
2.
Mengalirkan air irigasi pada lokasi yang kesulitan mendapatkan air irigasi
3.
Mengagitasi dan memotivasi petani/P3A/GP3A
4.
Memperkenalkan budaya mencintai air
Pencetus Saluran irigasi masih dapat mengalirkan air namun terhambat oleh sedimen dan sampah Keinginan untuk mendapatkan air melalui saluran irigasi yang telah ada namun tidak berfungsi untuk mengalirkan air pada lahan pertanian Minimnya perhatian instansi pengelola irigasi, sampah dan lingkungan hidup dalam pengelolaan irigasi bersih Masyarakat belum menjalankan budaya mencintai air
Tujuan Mendapatkan air yang lebih tepat jumlah, waktu dan kualitas
Hampiran Teknis dan artificial culture
Mendapatkan air irigasi
Teknis
Menumbuhkan semangat dan kedisiplinan petani
Kerjasama institusi
Mencari bentuk budaya mencintai air
Kesenian dan ritual
Sumber: Sulaeman, dkk (2013) 13
Tipologi ketiga yaitu aktifitas dilakukan dengan melibatkan institusi sebagai cara mengagitasi dan memotivasi petani/P3A/GP3A. Pada tipologi ini, GIB-MTA melibatkan institusi Kodim 0729/Bantul untuk secara bersama-sama melakukan pembersihan saluran irigasi. Pelibatan institusi militer tidak dimaksudkan sebagai bagian untuk melibatkan militer dalam aktivitas masyarakat sipil, namun dimaksudkan sebagai cara untuk menumbuhkan semangat dan kedisiplinan petani sebagaimana diterapkan oleh anggota militer. Sedangkan tipologi keempat adalah aktifitas GIB-MTA yang mulai memperkenalkan budaya mencintai air. Pada tipologi ini, P3A/GP3A memperlihatkan aktifitas yang bukan sekedar upaya untuk membersihkan saluran irigasi secara fisik, namun mulai memperkenalkan dan menggunakan suguhan budaya mencintai air melalui kesenian dan ritual budaya setempat. Partisipasi petani melalui GIB dalam pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder tidak dimaksudkan untuk mengambil alih peran Pemerintah dan pemerintah daerah. Partisipasi petani justru harus menjadi pemicu bahwa modal manusia sangat berarti dalam pengelolaan irigasi dan masyarakat membutuhkan kehadiran negara dan perangkat organisasinya untuk memberikan pelayanan yang sepadan atas kerja keras petani memproduksi pangan. MENATAP MASA DEPAN Sebetulnya pada masa pergantian abad yang lalu, telah muncul pula suatu paradigma baru dalam pelaksanaan ekonomi pembangunan yaitu munculnya pemahaman terhadap knowledge economy, yaitu sistem ekonomi berbasis pengetahuan. Hampiran ini mengatakan aset paling penting dalam sistem kerja suatu organisasi pada abad 21 adalah pentingnya peran aset manusia dan nilainya jauh melebihi aset wujud. Dengan hampiran knowledge economy tersebut manusia tidak lagi hanya dianggap sebagai masukan dalam proses produksi saja tetapi dianggap sebagai manusia yang utuh dan manusia dianggap sebagai modal yang dapat diinvestasikan untuk masa depan dan disebut sebagai human capital. Banyak sekali pustaka lainnya yang mentakrifkan tentang konsep human capital dan kadang-kadang juga disebut sebagai modal virtual. Tetapai satu takrif yang dapat dipakai dalam pengelolaan irigasi adalah takrif yang diberikan oleh Tjakraatdmadja dan Lantu (2006): Modal manusia (human capital) menganggap manusia sebagai makhluk khalifah Allah di muka bumi yang mempunyai kecerdasan intelektual, emosional dan sosial-spritual secara utuh. Dengan apa yang dimilikinya maka manusia akan dapat mengembangkan kecerdasan dan pengetahuannya untuk berkreasi dan berinovasi. Pengembangan human capital menuntut pengembangan manusia agar dapat mencapai fitrahnya sebagai pemberi makna, sebagai sumber pengungkit dan penghela organisasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua pihak. 14
Investasi
Investasi
Konsep tentang human capital ini sedang dirumuskan untuk dipakai dalam kebijakan pengelolaan irigasi di masa depan. Meskipun masih dirasakan penting namun kebijakan yang bersendikan pembangunan infrastuktur tidak lagi menjadi fokus utama dalam PPSIP masa depan Gambar 5.
Waktu
Waktu
Investasi pembangunan infrastruktur
Investasi manajerial
Masa lalu
Masa depan
Gambar 5. Perkembangan inventasi irigasi dengan hampiran infrastruktur dan manajerial
CATATAN PENUTUP Dari bahasan kesejarahan dapat diketahui bahwa peran irigasi sebagai satu masukan kebijakan pangan menjadi sesuatu faktor penentu dalam sistem politik suatu negara. Di masa lalu bahkan negara melakukan intenvensi sangat besar untuk menjadikan pengelolaan irigasi di bawah dominasi pemerintah sehingga melakukan hakekat dari pengelolaan irigasi adalah memberikan satu masukan air yang sangat dibutuhkan untuk produksi bahan pertanian demi peningkatan kesejahteraan petani. Di masa depan situasi tersebut tidak akan dapat ditoleransi lagi. Sesuai dengan azas partisipasi sebagai satu pemberdayaan masyarakat maka petani harus memperoleh manfaat dalam pengelolaan irigasi. Partisipasi masyarakat dalam bingkai kearifan lokal seperti yang ditunjukan oleh Gerakan Irigasi Bersih (GIB) di Kabupaten Bantul dapat dipakai sabagai salah satu alternatif pelaksanaan PPSIP. Pemakaian hampiran pemberdayaan manusia pelaku irigasi dapat dilakukan di masa depan karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk paling sempurna diciptakan Allah di muka bumi.
15
ACUAN Abernethy CL. 2001. Managing irrigation systems in preparation for management transfer. ICID 19th European Conference, Brno, June 2001 Afiff, S. 1992. Keynote address. Dalam Proceeding the International Seminar on Water resources for sustainable use in Indonesia, Sponsored by National Planning Agency and Ministry of Public Works. Bogor, Cisarua, 29 Oktober-1 November 1992. Alam, A., Kobayashi, H., Matsumura, I., Esham, M., Faridullah, and Siddighi, BB.. 2012. Factors Influencing Farmers’ Participation in Participatory Irrigation Management: A Comparative Study of two Irrigation Systems in Northern Areas of Pakistan. Mediterranean Journal of Social Sciences Vol. 3 (9) April 2012 Arif. S.S..2003. Menggagas kembali kebijakan I Pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi, PKPI : redefinisi tugas dan peran kelembagaan irigasi. Dari telaah akademis ke pelaksanaan. Makalah disampaikan dalam sarasehan terbatas Fakultas teknologi Pertanian, UGM, 3 Oktober 2003. Arif. S.S. 2009. Mengembalikan irigasi untuk kepentingan rakyat. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Univerisitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tidak dipublikasikan. ................. 2013a. Pemberdayaan pelaku irigasi. Makalah disampaikan pada lokakarya pemberdayaan petani WISM II. BAPPENAS. Jakarta, 17 Oktober 2013 ……………2013b. Sistem pertanian beririgasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekarang dan masa depan. Bagian dari buku Pokok-pokok pikiran anggota Dewan Riset, DIY (draft) .............. E. Subekti. 2013. Roadmap partisipasi generasi muda dalam bidang pertanian: kasus sistem irigasi subak. Makalah disajikan pada Konggres Kebidayaan Bali24-25 September 2013. Denpasar, Bali ............... A. Prabowo. H. Ahimsaputra, C. Cahyono. 2010, Sumberdaya air: Budaya dan teknologi pada masa kolonial sampai reformasi, studi kasus masyarakat Jawa. Bappenas RI. 210 p. Chambers, R. 2007. Ideas for Development. Earthscan UK. FAO. 2001. Guidelines For Participatory Training & Extension in Farmers’ Water Management (PT&E-FWM) FTP-UGM 1992. Kajian evaluatif pelatihan PTGA di sepuluh provinsi. Laporan akhir.Tidak dipublikasikan. ............ 2001. Pengembangan Perencanaan Manajemen Aset irigasi. (Laporan Akhir) Kerja sama dengan Direktorat Jenderal Sumberdaya Air. Dept. KIMPRASWIL. ............2006. Laporan akhir Kajian teknologi dan budaya: studi kasus masyarakat Jawa. Laporan diserahkan pada BAPPENAS (tidak dipublikasikan). Huppert.W.; M. Svendsen and D. Vermillion. 2001. Governing maintenance provision in Irrigation. A Guide to institutionally viable maintenance strategies. IWMI, IFPRI, GTZ. Wiesbaden.
16
Khalkheili, TA and GH Zamani. 2008. Farmer participation in irrigation management: The case of Doroodzan Dam Irrigation Network, Iran. Agricultural Water Management (AGWAT) 2716 Lombard, D. 1976. vol. 3. Nusa Jawa: Silang budaya. Warisan kerajaan-kerajaan konsentris. Terjemahan . Cetakan ke 2. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. 346 p. Marten, GG. 2001. Human Ecology - Basic Concepts for Sustainable Development, Earthscan Publication Mejos, DEA. 2007. Against Alienation: Karol Wojtyla’s Theory of Participation. Kritikē Volume One Number One (June 2007) 71-85 Pieterse. J.N. 2001. Development theory: Deconstruction/reconstructions. Vistaar Publications.195 p. Prasodjo, T. 2004. “Kemajuan Teknologi Masa Airlangga: Contoh Kasus Pembangunan Tambak Atau a uhan Dalam Prasasti Kamalagyan 1037 M”. Disampaikan dalam: Diskusi Panel “Airlangga Sebagai Tokoh” diselenggarakan: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala bekerjasama dengan Pemda Tingkat II Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur, hlm.3-4. Satria, A. 2011. Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya Alam. Dalam Satria, A., Rustiadi, E., Purnomo, A.M. (ed). Menuju Desa 2030. Crestpent Press. Bogor Savva, AP, Frenken, K. 2002. Irrigation Manual Module 1. Irrigation Development: a Multifaceted Process Social, Economic, Engineering, Agronomic, Health and Environmental Issues to be Considered in a Feasibility Study. Dalam Irrigation Manual: Planning, Development, Monitoring and Evaluation of Irrigated Agriculture with Farmer Participation. Volume 1. Module 1-6. FAO. Harare. 2002 Small, L.E dan M. Svendsen. 1992. A framework for assessing irrigation performance. Working papers on irrigation performance I. IFPRI. Washington D.C. August 1992. Sulaeman, D., Arif, S.S., Bayudono, Sigit, E.T.N. 2013. Gerakan Irigasi Bersih Sebagai Gerakan Khas Partisipatif Pengelolaan Irigasi dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional Komite Nasional Indonesia-ICID: Securing Water For Food And Rural Community Under Climate Change, Semarang 30 November 2013 Supadi. 2008. Menggalang Partisipasi Petani Untuk Meningkatkan Produksi Kedelai Menuju Swasembada. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 van Mannen, T.D. 1978. Irrigasi di Hindia Belanda (Irrigation in Netherland-Indie). Terjemahan. PROSIDA. Jakarta. van Setten van der Meer. 1979. Sawah cultivation in ancient Java: Aspects of development during the Indo-Javanese period, 5th to 15th century. Monogram, Australian National University. Canberra. van Ufford. P. Q, A.K. Giri, D. Moose. 2004. Pendahuluan: Intervensi pembangunan. Dalam: Etika dan moral pembangunan. N. Ufford dan A.K. Giri (eds). Kanisius Yogyakarta. Wanga, X., Ottoa, IM., Yub, L.. 2013. How physical and social factors affect village-level irrigation: An institutional analysis of water governance in northern China. Agricultural Water Management 119 (2013) 10-18
17
Walinga, J. 2008. Toward a Theory of Change Readiness: The Roles of Appraisal, Focus, and Perceived Control. Dalam The Journal of Applied Behavioral Science Vol. No. Month. NTL Institute Windya. I.W. 1993. Intervensi pemerintah terhadap subak. Dalam Subak sistem irigasi tradisional di Bali: Sebuah Canangsari. I G. Pitana (Editor). PT. Upada Sastra. Denpasar. Bali Wirosoemarto. S. 2001. Perkembangan Pembangunan Pengairan di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengairan, 2001. Wittfogel, K. 1975. Oriental despotism, a comparative study of total power. New Haven: Yale University Press. Wiyono, A., Legowo, S., Nugroho, J., Nugroho, CA. 2012. Kajian Peran Serta Petani Terhadap Penyesuaian Manajemen Irigasi untuk Usaha Tani Padi Metode SRI (System of Rice Intensification) di Petak Tersier Daerah Irigasi Cirasea, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Jurnal Teknik Sipil, Jurnal Teoritis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil. Vol. 19 No. 1 April 2012
18