27
I. PENGANTAR
A. Permasalahan
Saat ini sumber energi yang paling banyak digunakan adalah sumber energi yang berasal dari senyawa hidrokarbon, terutama adalah bahan bakar fosil yang merupakan sumber bahan bakar tak terbarukan. Data pada Departemen Pertambangan dan Energi (2004) menunjukkan cadangan gas alam cukup untuk 87 tahun ke depan, sedangkan batubara masih cukup untuk 167 tahun lagi. Pemanfaatan batubara sebagai salah satu sumber energi telah banyak dilakukan. Dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya dan ketersediaannya yang melimpah, serta penyebaran cadangan yang relatif merata di seluruh dunia, batubara merupakan sumber energi primer yang menjanjikan. Pemanfaatan batubara sebagai salah satu sumber energi telah banyak dilakukan. Indonesia merupakan negara eksportir batu bara terbesar di dunia dan diperkirakan memiliki sekitar 61,366 miliar ton cadangan batu bara. Cadangan batubara di beberapa daerah di dunia ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Cadangan batubara di beberapa daerah di dunia (BP Statistical Review of Energy, 2004) Daerah
Prosentase (%)*
Eropa dan Eurasia 36 Asia Pasifik 30 Amerika Utara 26 Afrika 6 Amerika Selatan dan Tengah 2 Timur Tengah <1 * Prosentase terhadap total cadangan dunia
Pada masa mendatang, produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (domestik), tetapi juga untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor). Hal ini mengingat sumber daya batubara Indonesia yang masih melimpah, di lain pihak
28
harga BBM yang tetap tinggi, menuntut industri yang selama ini berbahan bakar minyak untuk beralih menggunakan batubara. Adanya rencana pembangunan PLTU baru di dalam dan luar Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.000 MW, meningkatnya produksi semen setiap tahun, dan semakin berkembangnya industri-industri lain seperti industri kertas (pulp), industri tekstil dan industri baja merupakan indikasi permintaan dalam negeri akan semakin meningkat. Demikian pula halnya dengan permintaan batubara dari negara-negara pengimpor mengakibatkan produksi akan semakin meningkat pula. Pemanfaatan batubara di dalam negeri meliputi penggunaan di PLTU, industri semen, industri kertas, industri tekstil, industri metalurgi, dan industri lainnya. Produksi batubara nasional pada tahun 1992 sudah mencapai 22,951 juta ton, tahun 2005 mencapai 151,594 juta ton, dan pada tahun 2013 telah mencapai 332 juta ton (Kamandanu, 2013). Perkembangan produksi batubara nasional tersebut tentunya tidak lepas dari permintaan dalam negeri (domestik) dan luar negeri (ekspor) yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sebagian besar produksi tersebut untuk memenuhi permintaan luar negeri, yaitu rata-rata 72,11% dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Dengan meningkatnya produksi batubara, maka diperkirakan akan semakin meningkat pula penggunaan batubara sebagai bahan baku alternatif pengganti minyak bumi, antara lain dalam pembuatan gas kota, kokas dan briket batubara. Salah satu proses yang penting dalam pengolahan awal batubara, baik sebelum dibakar, digasifikasi, maupun dilikuifaksi adalah proses dekomposisi termal atau pemanasan batubara (Casal dkk, 2008). Proses ini bertujuan untuk mengurangi kadar air sekaligus menaikkan nilai karbon dari batubara. Proses dekomposisi termal batubara yang umum dilakukan adalah pemanasan batubara hingga mencapai suhu tinggi atau dikenal juga dengan istilah pirolisis batubara. Pirolisis batubara selain menghasilkan batubara dengan nilai karbon yang tinggi, ternyata juga menghasilkan produk samping berupa tir, yang masih mengandung hidrokarbon rantai panjang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan penanganan lebih lanjut agar bisa menghasilkan senyawa-senyawa yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Umumnya, tir batubara dihasilkan dari proses pirolisis pada rentang suhu 400-600oC. Tir yang dihasilkan dari proses pirolisis batubara jumlahnya bervariasi namun dapat mencapai 15,8% berat, bergantung pada suhu operasi pirolisis dan peringkat batubara (Casal dkk, 2008). Jumlah ini cukup
29
signifikan mengingat produksi dan penggunaan batubara di Indonesia sangatlah besar. Sebagai contoh data Kementerian ESDM pada tahun 2005, penggunaan batubara di Indonesia mencapai 35 juta ton dengan konsumsi terbesar adalah untuk keperluan pembangkit listrik yang mencapai 25 juta ton. Jika misalnya ratarata 5% saja, dari setiap pembakaran batubara di PLTU setiap tahunnya akan dihasilkan tir batubara sebesar 1,25 juta ton. Jumlah yang sangat besar untuk dimanfaatkan dan cukup disayangkan jika hanya dibuang sebagai limbah. Tir merupakan hasil reaksi primer dari pirolisis batubara yang merupakan senyawa polinukleus yang sangat komplek serta merupakan produk samping proses karbonisasi yang mempunyai nilai guna tinggi, namun sampai sekarang masih terabaikan. Tir batubara juga merupakan cairan seperti minyak yang dihasilkan dari produk samping industri baja, PLTU, semen, dan lain-lain. Tir batubara ini mengandung lebih dari 348 jenis senyawa kimia. Beberapa di antaranya merupakan senyawa-senyawa kimia yang sangat berharga. Senyawa aromatik benzoid (benzena, toluena, xylena, naftalena, dan antrasena) dan senyawa fenolik (fenol, kresol, xylenol, cathecol, dan resorsinol) yang mempunyai potensi multi guna sebagai bahan baku atau intermediet pada berbagai industri kimia (anti oksidan, antiseptik, resin, bahan pelunak pada industri plastik, cat, parfum, obat, dan lain-lain) banyak terdapat dalam tir batubara. Selain itu, tir batubara juga mengandung senyawa nitrogen heterosiklik (piridin, quinolin, isoquinolin, dan indol), senyawa hidrokarbon homosiklik (benzena, fenol, toluena, etilbenzena, xylena, dan naftalena) dan senyawa oksigen heterosiklik (dibenzofuran) (Egashira dkk, 2005). Senyawa-senyawa parafinik dan olefinik yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar cair juga terkandung dalam tir batubara. Hal ini akan mendorong penelitian mengenai tir batubara, namun karena baunya yang tajam dan tidak enak, maka sering dianggap sebagai limbah. Bila diolah lebih lanjut, senyawa-senyawa komplek tersebut akan terpecah menghasilkan bentuk-bentuk sederhana dengan nilai ekonomis lebih tinggi (Hayashi dkk, 1995). Dalam penelitian ini diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih jauh terhadap batubara, khususnya penelitian terhadap tir batubara sehingga pada akhirnya didapatkan komponen-komponen yang sebenarnya masih mempunyai nilai ekonomis tinggi. Penelitian-penelitian terhadap batubara telah banyak dilakukan, tetapi khusus terhadap tirnya masih sangat sedikit. Beberapa peneliti
30
telah mempelajari pirolisis batubara dan pemisahan komponen tir batubara, antara lain: Matsumura dkk, 1998; Elina dkk, 2004; Kodera dkk, 1989; Catherine dkk, 1994; Jianfang dkk, 2007; Setiaji dkk, 2005; Sediawan dkk, 2000; Rokhati dkk, 1999; Egashira dkk, 2001 dan 2005; Egashira dan Saito, 2007; serta Egashira dan Salim, 2006. Meskipun ekstraksi merupakan proses yang penting dalam proses pemisahan senyawa-senyawa dalam tir batubara, para peneliti tersebut belum mempelajari kesetimbangan fasa cair-cair sistem multi-solutnya dan belum mengambil senyawa fenol, o-kresol dan p-kresol. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengambil senyawa fenol, o-kresol dan p-kresol yang memiliki beberapa manfaat di antaranya fenol sebagai komponen utama pada pembuatan antiseptik, triklorofenol atau dikenal sebagai TCP (trichlorophenol), produksi washing oil, hidrogenasi katalitik untuk produksi gasoline dan minyak diesel (Jianfang dkk, 2007) dan kresol sebagai desinfektan (komponen utama pada desinfektan dagang, lysol), sebagai bahan baku dalam pembuatan deodorizer, dan antiseptik. Fenol dan senyawa fenolik pada dasarnya dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri kimia, seperti produksi polimer, obat-obatan, bahan peledak, pestisida, stabilizer, dan antioksidan (Caramao dkk, 2004). Adapun keunggulan dari golongan fenol adalah sifatnya yang stabil, sedangkan kerugiannya antara lain susah terbiodegradasi, bersifat racun, dan korosif. Konsumsi fenol akan semakin meningkat dengan bertambahnya industri di dunia, khususnya industri resin sintetik, bahan perekat, kosmetik, obat-obatan, antiseptik, dll. Pada tahun 2004 produksi fenol sebanyak 24.047.200 kg dan pada tahun 2005 produksi fenol mencapai 50.139.872 kg sedangkan ekspor fenol pada tahun 2005 hanya 1.635.137 kg, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kebutuhan fenol di dalam negeri sangatlah besar (BPS, 2003 –2007). Sejak tahun 2001, permintaan fenol telah berkembang rata-rata 5% per tahun. Perkiraan produksi global fenol terus meningkat rata-rata 4% per tahun pada periode 2008-2012. Di Cina, Kingboard mulai memproduksi fenol 125.000 ton per tahun pada tahun 2008 dan kapasitas baru akan direncanakan untuk tahun 2009 dan 2010. Pertumbuhan permintaan fenol di US diproyeksikan menjadi 2% per tahun sampai 2011. Nilai impor fenol di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 77,9% per tahun, selama tahun 1991 hingga tahun 1995, pada tahun 1993 yaitu sebesar 13.156 ton kemudian melonjak 327% menjadi
31
56.183 ton pada tahun 1994, nilai impor fenol turun 65,4% menjadi 19.414 ton pada
tahun
1995.
(http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-7785-
2306030071-bab1.pdf). Tabel 1.2 dan Tabel 1.3. menunjukkan data ekspor dan impor fenol Indonesia dari tahun 2003 – 2007. Tabel 1.2. Data ekspor fenol di Indonesia (BPS, 2003 – 2007) Tahun
Satuan
Jumlah
2003 2004 2005 2006 2007
Kg Kg Kg Kg Kg
552.870 884.349 1.635.137 720.263 1.466.594
Tabel 1.3. Data impor fenol di Indonesia (BPS, 2003 – 2007) Tahun
Satuan
Jumlah
2003 2004 2005 2006 2007
Kg Kg Kg Kg Kg
38.959.677 24.775.101 24.701.105 6.758.581 11.317.687
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa nilai ekspor sebagian besar mengalami kenaikan dikarenakan semakin banyak industri yang menggunakan fenol sebagai bahan baku atau bahan penolong. Pada tahun 2006 nilai ekspor mengalami penurunan karena produksi fenol di dalam negeri mengalami penurunan. Industri pemungutan fenol dari tir batubara sangat berpotensi untuk dikembangkan. Dengan demikian, inovasi teknologi pemungutan fenol dari tir batubara di dalam negeri harus segera dikembangkan. Inovasi IPTEK yang ingin dikembangkan pada penelitian ini adalah teknologi yang secara ekonomi menguntungkan untuk diadopsi negara, teknologi yang efisien energi serta ramah lingkungan sesuai semangat green technology. Perancangan alat proses dan produk dapat dilakukan dengan baik, dan operasi dapat dilakukan secara
32
optimum bila nilai parameter dalam dinamika proses pengolahan itu diketahui dengan tepat. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendeskripsikan
secara
kuantitatif
kesetimbangan ekstraksi cair-cair pemungutan komponen-komponen berharga dalam tir batubara yang merupakan kesetimbangan multi-solut, multi diluen, dan multi solven. Penelitian ini sudah menggunakan multi solven yaitu solven campuran metanol-air dan campuran aseton-air. Kesetimbangan termodinamika
yang
multi-solut mengandung
perlu
diprediksi
banyak
sekali
dengan
persamaan
parameter
sehingga
pengolahan data secara langsung untuk mencari sekaligus nilai parameterparameter interaksi masing-masing solut akan sulit dilakukan. Untuk itu, penelitian ini akan mengembangkan metoda prediksi kesetimbangan multi-solut dengan 3 tahapan. Langkah pertama adalah mencari parameter-parameter solut tunggal berbasis percobaan menggunakan larutan tir batubara artifisial dan diikuti analisis
termodinamis.
Langkah
kedua
mengembangkan
model
untuk
memprediksi kesetimbangan multi-solut berdasarkan parameter-parameter solut tunggal. Pada langkah ketiga hasil prediksi model kesetimbangan multi-solut diverifikasi dengan percobaan laboratorium. Jika ternyata metoda yang diusulkan cocok berarti dapat digunakan untuk memprediksi kesetimbangan multi-solut. Tahapan selanjutnya dari penelitian ini adalah mencari parameterparameter solut tunggal komponen-komponen tir batubara yang lain. Jika sudah lengkap, berarti prediksi kesetimbangan multi-solut dalam tir batubara riil dapat dijalankan dengan baik. Pada kenyataanya, komponen-komponen tir batubara yang akan diambil terlarut dalam diluen yang merupakan campuran sejumlah diluen (multi-diluen) yang umumnya senyawa-senyawa alkana. Untuk mendekatinya pada penelitian ini sistem multi diluen itu didekati dengan kerosen yang juga merupakan campuran senyawa hidrokarbon jenis alkana yang mempunyai interaksi yang mirip. Adapun roadmap penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.
33
Model prediksi kesetimbangan multi-solut berbasis parameter solut tunggal
Percobaan ekstraksi solut tunggal
Parameter-parameter solut tunggal
Model
Kalkulasi
Prediksi kesetimbangan multi-solut
Data Percobaan Multi-solut
Tidak cocok
Verifikasi
Cocok
Selesai
Gambar 1.1. Roadmap Penelitian untuk Mengembangkan Metoda Prediksi Kesetimbangan Multi-solut
Perhitungan model matematik kesetimbangan cair-cair akan dikembangkan berdasarkan teori-teori termodinamika. Model matematik kesetimbangan cair-cair yang didapatkan dapat digunakan untuk generalisasi hasil pada proses ekstraksi dan bermanfaat untuk perancangan alat skala besar serta memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap proses ekstraksi cair-cair. Metoda pemodelan kesetimbangan fasa dilakukan dengan cara mengestimasi koefisien aktivitas menggunakan persamaan semiteoritik seperti persamaan Van Laar, persamaan Margules, persamaan Wohl, atau metode-metode gugus seperti UNIFAC.
34
Dari penelitian ini, diperoleh data karakterisasi tir batubara, data dan nilainilai parameter model kesetimbangan sistem solut tunggal, dimana nilai-nilai parameter komponen tunggal tersebut diharapkan dapat digunakan pula pada model kesetimbangan multi-solut. Selanjutnya kesesuaian model sistem multisolut berdasar nilai parameter-parameter sistem solut tunggal diverifikasi dengan data eksperimen. Model kesetimbangan sistem multi-solut berdasar parameterparameter solut tunggal akan sangat bermanfaat pemakaiannya terutama untuk tir batubara dengan berbagai komposisi. Data dan model kesetimbangan yang diperoleh dapat juga digunakan dalam pemilihan jenis solven yang lebih efektif dan mempunyai selektivitas tinggi.
B. Keaslian Penelitian
Dewasa ini, penelitian tentang tir batubara sudah banyak dilakukan. Lappas dkk (1990) menunjukkan bahwa tir batu bara mengandung banyak komponen senyawa organik baik alifatis ataupun aromatis. Hesley dkk (1986) telah melakukan pemisahan komponen tir yang terdiri dari banyak jenis komponen mulai komponen hidrokarbon fraksi ringan sampai fraksi berat. Kodera dkk (1989) telah melakukan penelitian pemisahan senyawa fenol dari batubara cair dengan solven metanol, air dan campuran metanol-air. Hasil terbaik ditunjukkan pada proses pemisahan dengan menggunakan solven campuran metanol-air. Chaterine dan Richard (1994) telah melakukan penelitian kesetimbangan cair-cair pada sistem terner tir batubara–solven–air dengan menggunakan pemodelan termodinamika NRTL dan UNIFAC. Solven yang digunakan dalam penelitian ini adalah asetonitril, benzena, dan n-heptana. Dalam penelitian ini tir batubara dianggap sebagai satu komponen, banyaknya komponen-komponen yang terkandung didalamnya diabaikan, sehingga sistem kesetimbangannya adalah terner bukan sistem multikomponen. Matsumura dkk (1998) telah melakukan penelitian pemisahan senywa fenol dari batubara cair Tanito Harum (yang mengandung 19,6% b/v senyawa fenol dan 6,8% b/v senyawa nitrogen) dengan solven campuran metanol dan air. Dengan proses ekstraksi ini diharapkan dapat melakukan recovery terhadap
35
produksi minyak yang masih mengandung 6,4% b/v senyawa fenol dan 15,6% b/v crude fenol. White dkk (1999) telah melakukan penelitian ekstraksi komponenkomponen dengan berat molekul rendah dari tir batubara dengan menggunakan pelarut campuran biner satu fase karbon dioksida dan toluena. Fraksi massa fase ekstrak ditentukan sebagai fungsi suhu ekstraksi (25-75°C), tekanan (8.7- 14,9 MPa), dan komposisi pelarut (40-70 % b/b toluena) dengan menggunakan factorial experimental design. Sebanyak 44% b/b komponen-komponen dengan berat molekul rendah dari tir batubara berhasil diekstrak dengan pelarut ini. Rokhati dkk (1999) telah melakukan pengolahan tir batubara dengan cara pirolisis dan mempelajari kinetika reaksi pirolisis tir batubara secara sinambung dengan variasi pengaruh kecepatan umpan, suhu dan katalisator. Sebagai acuan adalah hasil pembentukan benzena, toluena, dan xylena (BTX) dan gas hidrokarbon ringan yang terbentuk dari pirolisis tir batubara. Penelitian ini juga tidak melakukan pemisahan lebih lanjut terhadap komponen-komponen tersebut. Sediawan dkk (2000) telah melakukan perengkahan termal parafin-parafin rantai panjang dari tir batubara dengan cara pirolisis dan menentukan model matematis proses perengkahan termal tir batubara. Dari analisis GC-MS menunjukkan bahwa penyusun terbesar tir batubara adalah kelompok fenol, kresol, dan xylenol (70%), sisanya merupakan alkohol dengan berat molekul tinggi dan parafin-parafin rantai panjang. Penelitian ini belum memisahkan komponen-komponen yang terkandung dalam tir batubara. Elina dan Iraja (2004) telah melakukan penelitian analisa kuantitatif terhadap kandungan fenol dan alkilfenol dalam tir batubara Brasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa fenol banyak terkandung dalam tir batubara. Setiaji dkk (2005) telah melakukan pemisahan komponen tir batubara dengan kolom fraksinasi menggunakan fasa diam zeolit-Mn dan variasi fasa gerak CCl4, aseton, dan etanol, dan analisis komponen dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fasa gerak non polar (CCl4) menghasilkan pemisahan yang relatif lebih baik daripada fasa gerak sedikit polar (etanol) atau fasa gerak polar (aseton). Penelitian ini belum memisahkan komponen-komponen yang terkandung dalam tir batubara menjadi komponen yang lebih spesifik lagi.
36
Egashira dkk (2001 dan 2005), Egashira dan Saito (2007), serta Egashira dan Salim (2006) melakukan pemisahan senyawa nitrogen heterosiklik yang terkandung dalam absorption oil tir batubara dengan ekstraksi solven menggunakan pelarut campuran metanol-air dan sulfolan-air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran metanol-air merupakan pelarut yang lebih baik dibanding
larutan
sulfolan.
Dalam
penelitian
ini
belum
mempelajari
kesetimbangan ekstraksi multikomponennya. Kashimura dkk (2006) melakukan penelitian ekstraksi batubara peringkat rendah yaitu sub-bituminus pada suhu 360oC dengan menggunakan solven campuran metanol-air dan HCl-air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa yield ekstraksi mengalami peningkatan sebanyak 20-30% jika digunakan solven polar dibandingkan solven polar industri crude methyl-naphtalene oil. Solubilitas solven dalam solven campuran metanol-air mengakibatkan yield ekstraksi lebih besar dibandingkan dalam solven campuran HCl-air. Jokić dkk (2010) melakukan penelitian ekstraksi padat-cair polifenol dari kedelai dengan variabel jenis solven, suhu, dan waktu ekstraksi. Yield ekstraksi polifenol maksimal diperoleh pada suhu 80oC, waktu ekstraksi 120 menit dengan pelarut campuran etanol-air 50%. Villamaňán dkk (2010) melakukan penelitian kesetimbangan uap-cair sistem terner di-isopropil eter + 2-propanol + benzena dengan model Wohl dan sistem biner 2-propanol + benzena dengan model Margules pada suhu 313,15 K. Model
Wilson,
NRTL,
dan
UNIQUAC
juga
digunakan
untuk
prediksi
kesetimbangan kedua sistem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Margules dan Wohl menunjukkan prediksi yang lebih baik dibanding ketiga model lainnya. Gao dkk (2010) melakukan penelitian prediksi kesetimbangan uap-cair sistem terner metanol + asam etanoat + asam propionat dengan menggunakan tiga konstituen sistem biner: metanol + asam etanoat, metanol + asam propionat, dan asam etanoat + asam propionat. Data T-x percobaan digunakan untuk mengestimasi parameter-parameter model Wilson, NRTL, Margules, dan van Laar dan parameter-parameter ini digunakan untuk menghitung komposisi uapcair Yi. Data VLE sistem terner dapat diprediksi dengan baik dari parameterparameter interaksi sistem biner model Wilson, NRTL, Margules, dan van Laar termasuk perhitungan komposisi uap-cair yi dan bubble point. Bubble point hasil
37
perhitungan dengan parameter-parameter model koefisien aktivitas hampir sama dengan bubble point hasil eksperimen. Hismath
dkk
(2011)
melakukan ekstraksi fenol dari
daun neem
(Azadirachta indica). Hasil penelitian menunjukkan bahwa solven metanol dan aseton memberikan hasil ekstrak yang lebih banyak (sebesar 3800 mg fenol/ 100 g sampel kering) dibandingkan solven etanol, distillied water, dan boiling water. Naredi dkk (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh tanpa dan adanya CO2 pada proses pirolisis dan oksidasi batubara bituminus (high volatile coal dan low volatile coal) dengan menggunakan drop tube reactor (DTR) pada berbagai suhu (1173-1673 K). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya CO2 meningkatkan energi aktivasi proses pirolisis. Sun dkk (2011) melakukan penelitian ekstraksi tir batubara (low temperatur coal tar) dari proses karbonisasi suhu rendah (low temperature carbonization) di Shanbei China. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut petroleum eter dan metanol. Hasil analisa GC-MS dan FTIR menunjukkan bahwa hasil ekstrak mengandung beberapa komponen utama antara lain CO2, senyawa fenol, H2O, hidrokarbon jenuh, senyawa aromatik, senyawa anhidrida, oksigen heterosiklik dan piridin. Zeng dkk (2011) melakukan penelitian pirolisis batubara dari Xinjiang Jimusaer China dengan menggunakan proses gasifikasi 2 tahap yaitu fluidizedbed pyrolyzer dan downdraft fixed-bed gasifier. Penelitian ini dilakukan dalam kondisi tekanan atmosfer dengan adanya oksigen dan steam pada suhu hingga 900oC. Yield gas hasil pirolisis (H2 dan CO) meningkat dengan adanya kenaikan suhu
dan
rasio
massa
steam/batubara,
sedangkan
penambahan
O2
meningkatkan pembentukan CO dan CO2 tetapi menurunkan pembentukan H2. Hasil analisa dengan Thermogravimetry – FTIR menunjukkan bahwa tir batubara mengandung lebih banyak hidrokarbon alifatik dibandingkan senyawa aromatik, senyawa fenol, dan keton. Rogosic dkk (2012) melakukan penelitian kesetimbangan cair-cair pada sistem H2O + Fenol + 2-Butanon dan H2O + Fenol + 2-Propanol pada suhu kamar 25oC dengan metode kombinasi titrasi turbidimetri dan refraktometri. Pemodelan termodinamika dilakukan dengan model UNIFAC, UNIQUAC, dan NRTL. Hasil penelitian menunjukkan model UNIFAC yang paling cocok memprediksi kesetimbangan dua sistem tersebut.
38
Ute dkk (2012) melakukan proses pirolisis terhadap tir pada suhu rendah (600-630oC) dan gasifikasi fluidized bed pada suhu tinggi (700-870oC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suhu rendah dihasilkan banyak senyawa fenol dan pada suhu tinggi dihasilkan banyak senyawa poliaromatik hidrokarbon (PAH). Zhichao dkk (2012) melakukan penelitian proses hidropirolisis katalitik terhadap 5 jenis batubara China (Shenmu-Fugu sub-bituminus, Tongchuan subbituminus, Wulumuqi sub-bituminus, Shaotong lignit, dan Huolinhe lignit) dengan variasi katalis MoS2 dan ZnCl2. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa katalis MoS2 lebih efektif dibanding ZnCl2 terhadap yield benzena, toluena, dan xylena (BTX) yang diperoleh. Shui dkk (2012) melakukan ekstraksi batubara China (Shengfu Coal) menggunakan solven campuran karbon disulfida/N2-metil-2-pirolidinon (CS2/NMP = 1:1 v/v). Proses ektraksi dilakukan dengan perlakuan hidrotermal dengan dan tanpa penambahan CaO pada berbagai suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan hidrotermal (kenaikan suhu 150-250oC) dengan penambahan CaO menunjukkan peningkatan yield ekstraksi dan nilai Caking Index (GRI). Deeb dkk (2012) melakukan pemisahan senyawa polifenol dari air limbah pabrik minyak zaitun Yordania. Proses pemisahan menggunakan teknik kolom kromatografi dengan pelarut n-heksana dan etil asetat. Hasil penelitian dianalisa komposisi dan konsetrasinya dengan menggunakan GC-MS dengan hasil antara lain ferulic acid (93,6 mg/L), trans-cinnamic acid (105,3 mg/L), p-coumaric acid (117,0 mg/L), vanillic acid (128,7 mg/L), caffeic acid (140,4 mg/L), tyrosol (210,6 mg/L), and hydroxytyrosol (315,9 mg/L). Gao dkk (2012) melakukan penelitian korelasi dan prediksi kesetimbangan uap-cair sistem terner dietil eter + metanol + 1-butanol dan sistem biner konstituennya pada 101,325 kPa dengan menggunakan model Wilson, Nonrandom Two-Liquid (NRTL), Margules, van Laar, dan UNIQUAC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model sistem terner dapat diprediksi dengan baik menggunakan parameter sistem biner dengan menggunakan model-model tersebut dengan nilai deviasi yang kecil. Shi dkk (2013) melakukan penelitian karakterisasi tir batubara hasil proses gasifikasi suhu
(Middle-Temperature
Coal Tar
MCTC)
sedang dengan
menggunakan Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS) dan
39
Negative-Ion Electrospray Ionization (ESI) Fourier Transform Ion Cyclotron Resonance Mass Spectrometry (FT-ICR-MS). Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa fenol (fenol, m-kresol, dan p-kresol) merupakan senyawa yang paling banyak terdapat dalam tir batubara lignit dari produksi gasifikasi batubara Lungi. Jia dkk (2013) melakukan penelitian terhadap produk volatil hasil pirolisis batubara Huainan dan Yima China. Hasil analisis dengan Synchrotron Vacuum Ultraviolet Photoionization Mass Spectrometry (SVUV-PIMS) menunjukkan bahwa senyawa aromatik merupakan komponen yang paling dominan dalam produk pirolisis batubara dibanding senyawa alifatik. Batubara Huainan mengandung lebih banyak struktur aromatik dibanding batubara Yima. Yang dkk (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh ukuran partikel batubara dan suhu pirolisis terhadap distribusi produk dan waktu devolatilisasi. Hasil
penelitian
peningkatan
menunjukkan
yield
zat
volatil
bahwa
peningkatan
sedangkan
suhu
peningkatan
mengakibatkan ukuran
partikel
mengakibatkan penurunan yield zat volatil karena terjadinya reaksi sekunder antar partikel. Sakimoto dkk (2013) melakukan penelitian hubungan antara yield ekstraksi dengan polaritas solven dan gugus fungsi oksigen dalam batubara. Yield ekstraksi dapat ditingkatkan dengan menggunakan solven polar untuk memecah ikatan hidrogen. Solven polar yang digunakan adalah campuran indole (0, 10, 20% b/b) dengan 1-metil-naftalena. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas solven polar akan meningkat dengan adanya peningkatan kandungan gugus hidroksil senyawa fenol. Hal ini membuktikan bahwa terdapat korelasi yang cukup bagus antara efektivitas solven polar dan kandungan gugus hidroksil senyawa fenol dalam batubara. Maximo dkk (2013) melakukan penelitian kesetimbangan sistem biner triolein + 1-heksadekanol dan triolein + 1-oktadekanol dengan menghitung nilai koefisien aktivitas dengan persamaan Two-suffix Margules dan Three-suffix Margules serta model UNIFAC. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ketiga model memberikan prediksi yang baik terhadap sistem kesetimbangan biner tersebut. Zuber dkk (2013) melakukan penelitian model kesetimbangan cair-cair termodinamis untuk sistem Air + DMSO + THF (293,15 K) dan sistem Air + Aseton + Fenol (323,15 K; 333,15 K; 353,15 K; 393,15 K; 413,15 K; 433,15 K;
40
dan 453,15 K) dengan model NRTL dan UNIQUAC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua model mampu memprediksi kesetimbangan cair-cair kedua sistem tersebut. Nezhaad dkk (2014) melakukan penelitian tentang aplikasi metode Genetic Algorithm (GA) untuk menghitung parameter-parameter Three-suffix Margules dalam sistem terner ekstraksi larutan ionik. Dalam penelitian dilakukan penghitungan parameter-parameter model Three-suffix Margules untuk berbagai sistem terner antara lain propilbenzena-hexadecana-[mebupy][BF4], benzenahexana-[3-mebupy][DCA], toluena-heptana-[bmim][SCN], dll. Dari hasil optimasi parameter dengan metode aplikasi GA menunjukkan bahwa nilai rmsd untuk model Two-suffix Margules = 0,0195; model Three-suffix Margules = 0,0091; dan NRTL = 0,0039. Hal ini menunjukkan bahwa model Three-suffix Margules lebih baik dibandingkan model Two-suffix Margules, dan model NRTL merupakan model yang paling baik digunakan untuk memprediksi sistem kesetimbangan cair-cair yang mengandung ILs (Ionic Liquids). Meskipun model NRTL yang paling baik, akan tetapi model ini bukan merupakan model paling sederhana seperti model Two-suffix Margules dan model Three-suffix Margules yang mempunyai 2 dan 6 parameter, hal ini menunjukkan bahwa model Three-suffix Margules memberikan prediksi sistem kesetimbangan cair-cair yang lebih teliti dan akurat dibanding NRTL. Meng dkk (2014) melakukan penelitian ekstraksi fenol dan kresol dari larutan model tir batubara dengan menggunakan beberapa jenis pelarut antara lain mono -, di - , dan trietanol amina (MEA, DEA, TEA) , kolin klorida, glikol, dan gliserol dengan berbagai variabel operasi. Hasil ekstraksi menunjukkan efektivitas dari pelarut yaitu MEA > DEA > TEA > glikol > gliserol. Zhang dkk (2014) melakukan penelitian pirolisis batubara menggunakan fixed bed reaktor pirolisis batubara dengan pemanasan tidak langsung yang divariasi desain internal reaktor untuk meningkatkan transfer panas dan mengatur aliran gas masuk secara langsung kedalam reaktor. Penelitian dilakukan dengan membandingkan yield dan kualitas produksi tir dengan reaktor yang diberi desain internal dan tanpa desain internal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reaktor dengan desain internal meningkatkan efisiensi panas dari dinding reaktor ke tumpukan batubara sebanyak 2x lebih besar dibanding reaktor tanpa desain internal. Yield tir batubara sub bituminus Yilan
41
juga meningkat sebanyak 80% dengan kandungan fraksi tar light oil sebanyak 65%
dari massa total tir
batubara.
Kenaikan suhu 600-1000oC juga
mengakibatkan kenaikan yield tir batubara sebanyak 8,5-10,64% sedangkan jika digunakan reaktor konvensional tanpa design internal justru yield tir batubara mengalami penurunan 7,98-4,77%. Dari para peneliti sebelumnya dimungkinkan untuk dilakukan proses pemisahan lebih lanjut terhadap tir batubara yang dihasilkan dari proses pirolisis batubara khususnya batubara Kalimantan sehingga didapatkan komponenkomponen utamanya diantaranya adalah fenol, o-kresol dan p-kresol. Penelitian ini mempelajari proses ekstraksi senyawa tersebut dengan menggunakan berbagai macam pelarut. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat terbatasnya data tentang kemungkinan ekstraksi solven pada komponen-komponen utama tir batubara.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mencari jenis pelarut yang cocok untuk ekstraksi fenol, o-kresol, dan p-kresol dari tir batubara.
2.
Mencari komposisi air-pelarut, suhu, dan perbandingan umpan-pelarut pada ekstraksi fenol, o-kresol dan p-kresol dari tir batubara yang dapat memberikan nilai koefisien distribusi dan yield yang baik.
3.
Mendapatkan data kesetimbangan sistem cair-cair pada berbagai variasi variabel proses ekstraksi.
4.
Melakukan generalisasi hasil percobaan dengan mengkorelasikan data kesetimbangan cair-cair dengan model-model termodinamika serta sekaligus mendapatkan nilai parameter-parameter yang ada pada model-model tersebut.
5.
Mencari model kesetimbangan dan nilai parameter sistem solut tunggal berdasar data eksperimen, untuk berbagai jenis solut dan solven.
6.
Mengembangkan model kesetimbangan sistem multi-solut berdasar nilai parameter-parameter solut tunggal yang telah diperoleh.
42
7.
Melakukan verifikasi kecocokan model kesetimbangan sistem multi-solut berdasar parameter-parameter dari solut tunggal dengan data eksperimen sistem multi-solut.
C. Manfaat
Hasil kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1.
Kepentingan Nasional: memberikan kontribusi untuk pengembangan sistem pemanfaatan tir batubara dalam hal pemilihan solven yang lebih efektif dan mempunyai selektivitas tinggi serta dalam perancangan alat untuk proses pemungutan komponen-komponen utama dalam tir batubara dengan proses ekstraksi cair-cair.
2.
Ilmu Pengetahuan: pengembangan ilmu termodinamika yang terkait kesetimbangan fasa cair-cair untuk sistem solut tunggal dan sistem multisolut dalam proses pemungutan komponen-komponen utama dalam tir batubara dengan proses ekstraksi cair-cair.