1 BAB I PENDAHULUAN
A. Permasalahan 1. Latar Belakang Permasalahan Konsep iman seseorang yang menyerahkan hidupnya untuk terus berpaut pada Kristus Sang Juruselamat tidak selamanya dapat diterjemahkan di dalam budaya rasional1 melalui bukti dan fakta. Ada hal-hal di dalam kehidupan yang membuat jemaat membutuhkan pegangan yang semakin erat dalam menghadapi segala pergumulan dan tantangan. Apalagi untuk menghadapi pengaruh zaman, amat jelas ada kebutuhan untuk memiliki pegangan kuat yang patut diperoleh dari gereja sebagai tempat di mana mereka bisa bersekutu dengan Allah, Sang Penyelamat hidup mereka dan juga sesama orang beriman.
Salah satu dari sekian banyak pergumulan jemaat adalah tentang keadaan setelah kematian. Ada bermacam-macam tanggapan mengenai hal ini. Beberapa menanggapi dengan acuh tak acuh bahwa yang terpenting adalah kenyataan saat ini dan tidak perlu memusingkan yang akan datang. Namun, patut disadari bahwa meski sudah menjadi anggota gereja, masih saja ada orang yang takut menghadapi kematian. Beberapa pandangan mengenai kematian yaitu :2 1. Kematian adalah bagian dari kejadian yang natural dan bukan karena kejahatan / keburukan dari manusia tersebut. 2. Kematian adalah pengingat yang penuh makna akan keberadaan kita selaku makhluk ciptaan dan hal ini harus diterima dengan segala kerendahan hati. 3. Kematian adalah pernyataan bahwa di dalam kehidupan manusia ada sebuah garis batas yang tidak dapat diingkari.
1
Budaya rasional adalah sebuah hasil dari perngaruh tantangan zaman yang mau tidak mau terlibat di dalam kehidupan jemaat. Saat ini, tantangan zaman dan globalisasi cenderung menyeret jemaat ke arah sekularisasi. Sekularisasi adalah sebuah bentuk dari modernisasi dalam kehidupan beragama. Di dalamnya terdapat tiga konsekuensi terhadap kehidupan manusia yaitu penurunan pengaruh agama dalam kehidupan sosial, makin berkurangnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia serta dalam relasinya dengan manusia yang lain dan membawa proses yang berbeda dalam perkembangan dari agama itu sendiri ( lih. Sterkens C, Interreligious Learning. The Problem of Interreligious Dialogue in Primary Education, Leiden : Brill, 2001, p 20 ). Nilai-nilai keagamaan yang dimengerti dan diyakini sudah mulai bergeser, dari yang tadinya dianggap kudus dan sakral sekarang dapat dimengerti sebagai hal yang biasa saja, yang duniawi dan dapat dijelaskan secara rasional melalui bukti dan fakta. Pengaruh sekularisasi menyempitkan orang untuk berpikir hanya pada apa yang kelihatan dan dapat ditangkap oleh indranya. 2 John H. Leith, Basic Christian Doctrine, p 293
2 4. Manusia yang bersentuhan dengan kematian tidak pernah mengalaminya sebagai sesuatu yang sederhana yang menjadi bagian dari fakta alami. 5. Kematian adalah upah dari dosa. 6. Dalam peristiwa kematian, tidak bisa lepas dari pemahaman bahwa Tuhan masih tetap memelihara orang-orang yang menaruh iman percaya kepadaNya sampai kepada kesudahan usia mereka. Dari beberapa pendapat di atas, ada yang memberikan kekuatan bagi anggota gereja untuk menghadapi kematian namun juga tak terhindar dari beberapa pendapat dapat menimbulkan prasangka dan perasaan bahwa kematian adalah momok yang menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi dan dirasakan. Ketakutan jemaat inilah yang membuat mereka sering kali bertanya tentang bagaimanakah kematian itu. Apakah yang akan terjadi setelahnya ?
Situasi semacam ini juga ditunjang dengan makin maraknya media elektronik menayangkan tayangan-tayangan yang berbau mistis bahwa kita sebagai manusia yang masih hidup, dapat berhubungan dan berkomunikasi dengan orang-orang yang telah meninggal dengan berbagai macam medium. Sebenarnya hal itu merupakan animisme dan dinamisme modern yang lebih dikenal dengan nama spiritisme. Spiritisme adalah faham yang mempercayai bahwa manusia dapat melakukan hubungan dengan roh-roh orang mati baik secara langsung, melalui pertolongan medium, maupun dengan cara-cara lain.3 Hal ini semakin membuat jemaat takut, bingung, ragu dan mempunyai banyak pertanyaan. Belum lagi, ayat – ayat di Alkitab yang sedikit banyak terkesan mereferensikan dalam benak mereka tentang adanya keadaan seperti itu, contohnya di dalam I Samuel 28 : 7 yang menceritakan tentang raja Saul yang mengadakan kontak dengan arwah Samuel melalui perempuan petenung.
Sehubungan dengan pertanyaan dan pergumulan jemaat yang seperti itu, di Bandung, sekitar tahun 1999, ada sebuah gerakan yang diberi nama Penginjilan Orang Mati. Berbagai jenis kebaktian dan seminar yang kebanyakan dilakukan oleh kalangan Kharismatik sempat mewarnai kota Bandung untuk menjawab pergumulan tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa alam roh lebih nyata dari alam materi.4 Meskipun saat ini, semua gerakan penginjilan Orang Mati telah dianggap sesat, namun penyusun mencermati permasalahan 3 4
Yayasan Bina Awam,”Spiritisme dan Pengajaran Dunia Roh” ; Makalah Sahabat Awam no 51, Juli 1999, p 3 scn 3, p 2
3 ini tetap menjadi sebuah pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Sebenarnya hal ini merupakan salah satu fenomena yang timbul ketika ada beberapa jemaat yang merasa tidak puas dan tidak pasti tentang jawaban yang mereka terima. Mereka terus mencari nilai yang bukan berasal dari dunia ini untuk memuaskan rasa keingintahuannya.
Tetapi, apakah yang dikatakan ajaran / dogmatika gereja mengenai hal ini ? Dogmatika sendiri melihat bahwa ada masa antara yang mengantarai akhir hayat / kematian dengan akhir zaman di mana orang percaya akan hidup kekal bersama Allah Bapa. Hal ini didasari bahwa kebangkitan orang mati dan anugerah hidup kekal diperoleh pada saatnya, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan Allah. Kristus datang membangkitkan orang mati dan menjadi Hakim yang Adil bagi seluruh manusia. Kedua hal ini, yakni kebangkitan orang mati dan saat akhir hayat seringkali diajarkan secara praktis kepada jemaat dalam keadaan tercampur baur sehingga ketika ada fenomena pengajaran yang baru akan sedikit banyak membawa implikasi di dalam kehidupan berjemaat. Salah satu contoh adalah seperti diungkapkan di atas yaitu tentang kondisi masa antara atau dalam bahasa awam seringkali disebutkan sebagai dunia orang mati. Tetapi dalam arti harafiahnya sebenarnya tidak dapat ditujukan pada keadaan orang beriman. Hal ini
dikarenakan Kristus sendiri telah
mengalahkan dunia orang mati / dunia kegelapan. Fakta yang demikian memberikan peluang untuk membawa percikan-percikan keingintahuan dan kepastian bagi jemaat itu sendiri.
Bagaimana persepsi dan fakta dari dunia medis / kedokteran mengenai kehidupan setelah kematian ? Dalam hal ini, penyusun mencoba melihat dari pengalaman yang cukup menarik dan diungkapkan oleh Raymond A Moody, seorang filsuf kedokteran, dalam bukunya yang berjudul Hidup Setelah Mati5. Ia menceritakan pengalaman dari 150 orang yang diwawancarainya mengenai pengalaman mereka tentang mati suri6. Memang untuk mendeteksi apa dan bagaimana seseorang pasca kematian amatlah tidak mungkin bagi seseorang yang masih hidup. Namun dengan adanya keterbukaan dari orang-orang yang mengalami mati suri, kita dapat mengambil sedikit bayangan tentang apa yang terjadi di sana.
5
Raymond A. Moody, Hidup Setelah Mati, Jakarta : AlvaBet,2000 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mati suri adalah kondisi tampak sudah mati. Dan dapat diintepretasikan di sini bahwa orang tersebut telah mencicipi pengalaman kematian itu walau belum sepenuhnya. 6
4 Dengan pengalaman mereka, orang-orang tersebut mencoba menjabarkan apakah arti sebuah kematian. Berbagai istilah kemudian dipergunakan untuk menjelaskan hal tersebut. Pengalaman sejumlah orang menyebutkan bahwa kematian adalah sebuah perpindahan. Perpindahan dari sebuah ruang kehidupan masa kini kepada suatu keadaan kehidupan yang berbeda. Berbeda karena menurut mereka, mereka tidak lagi mengenakan apa yang mereka pakai saat ini. Dalam kondisi ‘kematian’, ada beberapa ciri yang mereka alami yaitu :7 1. Berada di luar jasad fisiknya dan dapat melihat secara jelas baik tubuhnya maupun orang-orang di sekitarnya. Sekalipun dalam keadaan yang seperti itu, mereka tidak dapat berkomunikasi maupun memegang orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka hanya dapat menjadi penonton dari kejadian yang sedang terjadi. Hal ini menunjukkan adanya ruang bagi mereka namun juga ada batas yang tidak bisa ditembus di antara mereka dengan orang-orang yang masih hidup di dunia ini. 2. Bertemu dengan Cahaya atau dalam penyebutan yang lain Makhluk Cahaya. Bertemu dengan Cahaya merupakan suatu pengalaman yang menyenangkan bahkan ada responden yang menyebutkan bahwa Cahaya itu adalah Almasih. Di dalam pertemuan mereka, juga diungkapkan perasaan – perasaan penuh kasih dan juga pengungkapan seluruh peristiwa hidup yang pernah dialami oleh orang tersebut, termasuk segala kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukannya. Namun, hal ini bukan dengan tujuan menghukum ataupun menghakimi tetapi lebih merupakan penekanan akan pembelajaran tentang hidup dan arti penting dari cinta kasih. 3. Perasaan damai dan tenang. Dari beberapa ciri yang diungkapkan di atas tidaklah nampak adanya tanda-tanda yang menyebutkan tempat atau sebuah lokasi perhentian akhir yang sering kita sebut sebagai Rumah Bapa Surgawi. Apa yang ada hanyalah sebuah tempat / ruang bagi mereka di mana mereka bertemu dengan Cahaya dan melihat kilas balik dari kehidupan mereka. Melalui hal ini, dapatkah kita katakan bahwa ada suatu ruang / waktu antara yang dialami setiap orang yang meninggal sebelum ia bertemu dengan Bapa di Surga ? Tentunya di dalam prespektif ini amat berbeda dengan kondisi spiritisme yang menyatakan bahwa kita, sebagai manusia yang masih hidup, dapat berhubungan dengan segala roh orang yang meninggal. Baik spiritisme yang makin marak di media-media dan fenomena yang diungkapkan di atas keduanya hendak menunjukkan adanya suatu kondisi tertentu pasca kematian.
7
Raymond A. Moody, Hidup Setelah Mati, p 15 - 56
5
2. Rumusan Masalah Masalah yang hendak diangkat adalah tentang intermediate state ( status intermedius / status antara ). Kata sifat “intermediate”
mengacu pada suatu kurun waktu tertentu
sedangkan kata benda “state” berarti suatu kondisi manusia di bawah keadaan tertentu. Jadi bisa dikatakan kedua kata ini menyatakan keadaan orang-orang mati dalam masa antara kematian dan kebangkitan mereka.8
1. Apakah benar bahwa ada status antara akhir hayat dan akhir zaman dan bagaimana keadaannya ? 2. Apakah pemahaman mendasar dan sikap dari jemaat tentang status antara akhir hayat dan akhir zaman ? 3. Apakah pemahaman dan sikap dari lembaga gereja tentang status antara akhir hayat dan akhir zaman ?
Ketiga pertanyaan di atas muncul ketika ada polemik di dalam jemaat bahwa ada warga jemaat yang mempertanyakan tentang hal tersebut. Jemaat ingin mengetahui / memuaskan keingintahuannya akan apa yang sebenarnya ada di balik teks-teks Alkitab tentang intermediate state atau di dalam bahasa orang awam adalah kondisi pasca kematian. Pertanyaan jemaat muncul dalam berbagai bentuk mulai dari benarkah tayangan media elektronika dan media cetak yang menampilkan sosok-sosok roh orang mati bergentayangan dan tidak kembali ke alam baka melainkan tetap ada di dunia ini. Juga dalam hal mengkritisi berbagai tafsiran ayat Alkitab yang bersinggungan dengan hal tersebut. Apalagi kalau kemudian dikaitkan dengan penghakiman baik orang yang masih hidup maupun orang yang sudah meninggal pada akhir zaman kelak. Sayangnya keingintahuan jemaat ini kemudian seringkali ditanggapi dengan biasa saja oleh para pejabat gerejawi dengan cukup mengatakan bahwa pasca kematian orang berada bersamasama dengan Kristus di surga. Dan hal ini adalah dianggap pasti benar dan diterima begitu saja ( taken for granted ) tanpa ada penjelasan yang mendalam dan lebih lanjut.
8
Benny Solihin, “Dimanakah orang-orang yang telah meninggal dunia berada?: Sebuah Studi mengenai Intermediate State”, dalam Veritas; Jurnal Teologi dan pelayanan vol 4 no 2, Malang : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Oktober 2003
6 Berdasarkan pertanyaan jemaat dan sikap taken for granted inilah, penyusun berusaha mencermati pandangan GKI melalui Tata Gereja GKI ataupun pegangan ajaran gereja yang dimiliki. Hal ini dilakukan untuk dapat melihat pemahaman yang tegas dan pasti sebagai bahan acuan bagi para pendeta dalam melakukan pengajaran di dalam katekisasi dan pemberitaan Firman Tuhan / khotbah dalam kebaktian penghiburan. Ada beragam istilah yang sering dipakai untuk menerangkan keadaan tersebut antara lain : di alam baka, di surga, bersama Yesus, di Kerajaan Allah.
Dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan umum yang hendak diangkat dan menjadi perhatian dari penyusun adalah mengenai GKI yang belum mempunyai pegangan ajaran yang tegas tentang keadaan antara ini yang justru menjadi pertanyaan dasar yang sering diungkapkan oleh jemaat. Padahal pegangan ajaran inilah yang menurut penyusun adalah juga sebuah identitas dari suatu gereja. Identitas inilah yang selalu dinantikan oleh para anggota jemaat agar mereka mendapatkan suatu gambaran yang jelas akan arti kehidupan iman kristen mereka.
B. Judul dan Alasan Pemilihan Judul 1. Rumusan Judul Keadaan Orang Beriman Pada Status Antara Akhir Hayat dan Akhir Zaman : Suatu Studi Dogmatis tentang Status Antara di Lingkungan GKI
2. Alasan Pemilihan Judul Dari uraian judul inilah, penyusun menaruh harapan bahwa kelak tulisan ini akan mendatangkan manfaat, khususnya bagi para pendeta GKI sebagai suatu masukan untuk mempertegas ajaran yang sesuai dengan pemahaman bergereja dalam menghadapi berbagai pertanyaan jemaat tentang keadaan sesudah kematian. Dari tulisan ini, diharapkan mereka dirangsang secara teologis untuk berteologi dalam menghadapi berbagai pertanyaan konseptual dari anggota jemaat.
Penyusun berpendapat bahwa judul tersebut cukup aktual dalam menggambarkan secara ringkas arah penulisan dari skripsi ini. Judul ini akan menuntun pada pemahaman dasar bahwa sebagai sebuah pegangan ajaran, ia dapat berfungsi sesuai dengan konteks dan kebutuhan. Karena itu ia disajikan dalam bentuk yang tidak kaku melainkan yang terbuka
7 sebagai stimulus-stimulus dasariah yang merangsang para pendeta selaku teolog untuk terus berteologi secara kontekstual dalam lingkup jemaatnya mengenai pertanyaanpertanyaan yang timbul khususnya mengenai keadaan orang beriman setelah kematian. Dikatakan aktual karena berdasarkan keadaan di masyarakat di mana jemaat selalu bersinggungan dengan problematika semacam ini. Dan secara tidak langsung mendoktrinasi jemaat bahwa roh-roh orang meninggal itu masih berada dan berkeliaran di dalam dunia ini. Apalagi jika dilihat bahwa belum banyak paparan / tulisan gerejawi yang mengkaji tentang hal ini.
Judul ini dipilih sebagai sebuah keinginan untuk memahami kondisi tentang status antara akhir hayat dan akhir zaman. Suatu cakupan yang belum banyak ditekuni oleh banyak teolog. Hal mendasar adalah karena topik ini merupakan suatu topik eskatologis yang dapat dikatakan cukup sulit untuk dibahas tetapi inilah yang justru menantang penyusun. Meskipun begitu, tetap saja ada aplikasi atau hal-hal praktis yang penyusun kira dapat dipetik bagi kehidupan kita sekarang ini. Beberapa hal ini antara lain bahwa jemaat tidak perlu ragu-ragu lagi akan keadaannya setelah kematian, dan bahkan mereka tidak perlu terpengaruh oleh budaya spiritisme yang kian merasuk dalam alam pikir masyarakat Indonesia saat ini. Itulah alasan saya memilih judul tersebut.
C. Metode Penulisan Untuk memenuhi standar uraian yang akurat terhadap permasalahan yang diajukan untuk skripsi ini, maka penyusun memakai metode deskriptif – analitis. Adapun yang dimaksud dengan metode deskriptif adalah cara yang dipakai untuk menuturkan dan menafsirkan data yang ada dan bertujuan untuk pemecahan masalah yang ada sekarang.9 Di dalam metode ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan tetapi penyusun memilih teknik analisa sebagai teknik yang akan dipakai untuk memproses data yang diperolehnya. Analisa yang dipergunakan di sini adalah analisa kualitatif untuk memperoleh arti / pemahaman yang ada dan berkembang pada saat ini di dalam jemaat.
Dan untuk pencarian bahan kajian digunakan : i. 9
Studi literatur
Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Research : Pengantar Metodologi Ilmiah, Bandung:Penerbit Tarsito, 1975, p131
8 ii.
Studi lapangan Studi ini dilakukan untuk mendapatkan data-data kualitatif terhadap pemahaman tentang status antara. Adapun narasumber utamanya adalah majelis jemaat, dan pendeta di lingkungan GKI Bandung dan sekitarnya. Sedangkan untuk jemaat sidi / mengaku percaya akan diambil beberapa contoh data sebagai pembanding hasil dari narasumber utama Majelis Jemaat. Standar pemilihan narasumber utama adalah seluruh Majelis Jemaat GKI di lingkungan klasis Bandung. Untuk jemaat diambil secara acak dari GKI Klasis Bandung. Kuisioner Isi dari kuisioner untuk jemaat dan majelis jemaat adalah curahan pemikiran tertulis tentang pergumulan yang dihadapi dan bagaimana keyakinan/iman percaya mereka akan keadaan setelah kematian. Sedangkan untuk para pendeta meliputi apa ungkapan pemahaman mereka akan ajaran mengenai kematian dan konsepsi iman apa yang mereka ajarkan/berikan pada jemaat yang datang dengan pergumulan akan hal tersebut. Dalam rangka penggalian data untuk para pendeta, diupayakan melalui forum Konven Pendeta10. Pengamatan Penyusun juga mengupayakan untuk melakukan pengamatan lapangan baik di dalam kebaktian-kebaktian penghiburan, tutup peti, kremasi / pemakaman maupun mencermati kebaktian umum. Diharapkan dari sana, ada data-data konkret tentang bagaimanakah isi khotbah untuk memberikan penghiburan dan kekuatan mengenai orang beriman yang telah meninggal.
D. Sistematika Penulisan Bab I
Bab II
: Pendahuluan berisi paparan tentang : •
permasalahan yang timbul
•
tujuan penulisan
•
batasan judul, judul dan alasan pemilihan judul
•
metodologi penggalian data
•
sistematika penulisan
: Jemaat dan konsepsi mereka tentang status antara •
10
Pergumulan dan ungkapan iman kristen jemaat GKI di Bandung dan
Forum Konven Pendeta adalah sebuah forum tempat bertemunya pendeta-pendeta GKI di kota Bandung satu bulan satu kali untuk membahas isu-isu aktual yang ada dalam jemaat.
9 sekitarnya tentang Status Antara. •
Kajian konsepsi ajaran tentang keadaan sesudah kematian dari para pendeta GKI di Bandung dan sekitarnya
•
Penggalian pemahaman dari Pegangan Ajaran GKI
Bab III
: Tinjauan teologis terhadap status antara akhir hayat dan akhir zaman
Bab IV
: Relevansi status antara bagi kehidupan bergereja di lingkungan GKI