BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan) adalah gereja pribumi yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Gereja yang bersifat sinodal tersebut sampai saat ini telah memiliki 12 Majelis Daerah (dahulu bernama Klasis), 150 Jemaat dan 134.000 warga.
1
Untuk menjadi gereja besar di Jawa Timur
sampai seperti saat ini, ada banyak perjuangan yang harus dilewati. Perjuangan itu bisa dilihat dari sisi historis GKJW, mulai dari cikal bakal, semenjak berdiri sampai kondisi saat ini. Adapun cikal bakal GKJW sebagai gereja Jawa memang tidak dapat dilepaskan dari peranan tradisi dan kebiasaan masyarakat Jawa Timur. Masyarakat pertanian tradisional Jawa Timur telah menjadi kebun bibit bagi pertumbuhan pertama orang-orang Kristen Protestan (selanjutnya akan disebut Kristen saja).
2
Pertanianlah yang kemudian menjembatani antara pergumulan iman beberapa
masyarakat Jawa Timur, yang tidak secara sengaja bertemu dengan tradisi Kekristenan.
Sebagai masyarakat pertanian tradisional, warga Jawa Timur saat itu sangatlah bergantung pada luas lahan pertanian. Hal tersebut sudah barang tentu karena belum adanya teknologi yang memadai saat itu untuk meningkatkan kualitas pertanian. Demikian juga dengan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat mengakibatkan terbatasnya jumlah tanah yang tersedia untuk lahan pertanian. Keadaan yang mendesak karena kebutuhan hidup, memaksa beberapa orang mencari cara untuk mendapatkan tanah baru sebagai tempat bermukim dan juga lahan pertanian. Akhirnya, beberapa orang berinisiatif untuk mengembara mencari lahan yang bisa diusahakan nantinya sebagai sumber mata pencaharian. Di bawah pimpinan orang yang dipandang sukses dan memiliki keberanian serta kekuatan rohani yang melebihi orang pada umumnya, dimulailah babak baru pembukaan hutan.
3
Pembukaan hutan ini diharapkan mampu untuk menjawab
kebutuhan mereka akan lahan pemukiman dan lahan garapan.
1
Bambang Ruseno, GKJW Menghadapi Transformasi Sosial dan Alih Generasi, GKJW Kini dan Masa Depan. Malang, 2007, hlm 1, makalah tidak diterbitkan 2 Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, Jakarta: Gunung Mulia, 1994, hlm 67 3 Scn 2, hlm 168
1
Di tahun 1827, Coolen
4
mendapatkan ijin dari pemerintah Belanda untuk membuka dan
mengerjakan hutan Ngoro seluas 2000 bau atau + 1.420 ha, selama 30 tahun.
5
Dengan
keberanian yang tinggi, ia bersama beberapa orang membabat hutan Ngoro dan mengubahnya menjadi lahan-lahan pertanian. Banyak orang yang tertarik datang ke Desa Ngoro untuk ikut mengadu nasib di sana. Sementara itu Coolen menyewakan beberapa tanah kepada para pendatang tersebut.
Pada kenyataannya, orang-orang yang datang ke Desa Ngoro tidak hanya ingin mencari lahan pemukiman dan garapan, tetapi banyak juga di antara mereka yang ingin mencari ketenangan hidup. Untuk menjawab pergumulan beberapa pendatang tersebut, pada akhirnya setiap hari Coolen mengajak para penduduk untuk memperbincangkan suatu elmu yang sudah ia kuasai. Demikianlah permulaan pengabaran Injil di Desa Ngoro, yang menjadi sebuah jawaban terhadap pergumulan iman beberapa warga yang datang ke desa tersebut.
Pada suatu hari, beberapa murid Coolen bertemu dengan beberapa orang Kristen Wiyung yang telah menerima baptisan. Kemudian mereka menanyakan masalah baptisan tersebut kepada Coolen yang sudah mereka anggap sebagai guru ngelmu mereka. Tetapi pada saat itu Coolen tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu para pengikut Coolen datang ke Surabaya untuk mendapatkan jawaban yang mereka inginkan tentang arti sebuah baptisan. Pada tanggal 25 September 1844, murid-murid Coolen seperti : Singotaruno, Ditotaruno, Kunto dan Anip, menerima baptisan dari Emde.
6
Mengetahui bahwa murid-muridnya telah menerima
baptisan, Coolen marah besar karena para murid mencari sesuatu yang tidak ia ajarkan. Kejadian tersebut mendorong Coolen untuk mengusir para murid yang telah menerima baptisan tersebut.
Setelah diusir, para murid yang dimotori oleh Ditotaruno, pergi ke selatan Ngoro dan membuka hutan Kracil (yang terkenal angker). Dan pada tahun 1847 tempat itu diberi nama Mojowarno, sebagai tempat pemukiman baru. Dari tahun ke tahun penduduk Desa Mojowarno bertambah pesat. Dan muncullah seorang tokoh penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan iman penduduk Desa Mojowarno yaitu Paulus Tosari. Dia salah satu orang yang ikut memelihara 4
Coolen adalah keturunan Rusia-Jawa yang mendapatkan petunjuk dari wahyu Ki Gede Ngoro sebagai seorang pendiri Desa Ngoro melalui anaknya yang bernama Damar. Pada akhirnya menetap di Ngoro dan menyebarkan Injil kepada para pendatang yang datang tidak hanya mencari lahan pertanian, tetapi juga mencari elmu. Handoyomarno, Benih yang Tumbuh 7 GKJW, GKJW: Malang, 1976, hlm 24-25 5 Scn 4, hlm 25 6 Seorang Jerman yang datang ke Indonesia untuk membuktikan bahwa di negara ini tidak ada musim dingin. Melalui istrinya yang adalah orang Jawa, ia mengenal budaya Jawa dan pada akhirnya tergerak untuk mengabarkan Injil. Melalui dialah orang-orang mengenal baptisan. Scn 4, hlm 32-33
2
iman penduduk dengan pengajaran-pengajarannya, sehingga penduduk Mojowarno berkembang pesat terutama dalam hal kehidupan keimanan. Pada tahun 1848, dibabtiskan 56 orang oleh Pdt. Jellesma 7 di Mojowarno. Menurutnya, baptisan di Mojowarno ini merupakan kelahiran spontan gereja Kristus di tengah-tengah orang-orang Jawa.
8
Dari kehidupan masyarakat Mojowarno, nampaklah suatu kehidupan masyarakat
pertanian tradisional, yang di dalamnya juga hidup suatu persekutuan orang-orang percaya. Mereka senantiasa menyelenggarakan pelajaran agama, ibadah atau kebaktian secara teratur serta melakukan sebuah sakramen. Di dalam perkembangannya, Jemaat Mojowarno menjadi sebuah pemukiman padat penduduk yang mandiri, dalam hal mencukupi kebutuhannya sendiri. Dan tidak hanya sebatas itu, Jemaat Mojowarno juga berdikari dalam pengabaran Injil ke daerahdaerah lain. Dari proses inilah terbentuklah pemukiman-pemukiman Kristen yang lainnya di kawasan Jawa Timur khususnya.
Dari sinilah awal terbetuknya suatu komunitas baru dengan identitas yang berbeda dengan komunitas-komunitas lain di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur. Komunitas Kristen tersebut menjadi berbeda dengan komunitas yang lain karena warna keagamaan yang kental, yang pada akhirnya mempersatukan mereka dalam sebuah keluarga besar di sebuah desa Kristen. Hal tersebut dapat dilihat di dalam kehidupan mereka, baik dalam kehidupan keseharian maupun dalam kehidupan kerohanian. Sebagai masyarakat yang tergolong dalam masyarakat yang menjunjung nilai sakral, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktifitas yang lain, baik yang bersifat ekonomis, politik, kekeluargaan. 9 Keduanya tidak dapat dipisahkan, dan pada akhirnya menjadi ciri khas sebuah desa Kristen.
Semakin lama, desa Kristen semakin bertumbuh pesat. Dan pertumbuhan desa Kristen tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua faktor. 10 Yang pertama adalah bertambahnya jumlah anggota baru di dalam keluarga melalui pernikahan atau pun melalui keluarga-keluarga lain yang ikut berdomisili di desa
Kristen tersebut. Yang kedua, desa-desa Kristen sebagai pemukiman
memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak orang, untuk ikut bergabung menjadi bagian dari 7
Seorang Misionaris, di tahun 1848 menjadi seorang Pendeta Gereja Kristen Protestan Surabaya. Scn 4, hlm 37 Scn 4, hlm 37 9 Elisabeth K Nothingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta : RaJawali, 1985, hlm 5. 10 Scn 4, hlm 21 8
3
penduduk desa Kristen. Ketertarikan para pendatang dimungkinkan karena keteraturan yang telah tercipta, khususnya di bidang pertanian dan juga faktor tidak ditinggalkannya budaya setempat, tetapi tetap budaya tersebut tetap mengakar kuat dan ikut mempengaruhi keteraturan ritme pola hidup para penduduknya. Ditambah lagi kemampuan warga untuk memenuhi kebutuhan pangan, dibangunnya sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, menambah ketertarikan orang untuk juga ikut tinggal di sebuah desa Kristen. Kemandirian-kemandirian tersebut pada akhirnya lebih memperkuat ciri khas dari keberadaan desa-desa Kristen di Jawa Timur.
Akan tetapi, kemandirian-kemandirian yang merujuk pada suatu kondisi telah terpenuhinya penyediaan pangan, sarana- prasarana pendidikan dan kesehatan serta pemeliharaan persekutuan iman, nampaknya mempersempit ruang gerak bagi mobilitas para penduduk di desa-desa Kristen. Agaknya kondisi semacam inilah yang pada akhirnya menimbulkan kesan adanya pola hidup persekutuan yang eksklusif yaitu kehidupan yang terpisah, tertutup dan menyendiri dari komunitas-komunitas yang lain. 11
Di dalam perkembangannya saat ini, desa-desa Kristen pun mengalami banyak pergeseran dan perubahan. Pergeseran yang nampak terlihat adalah adanya pergesesan dalam hal kehidupan kemasyarakatan. Sekitar 40 jemaat pemukiman (desa-desa Kristen) di Jawa Timur yang tersebar baik di wilayah Surabaya, Kediri, Madiun, Besuki dan daerah Malang Selatan, sudah tidak lagi 100 % penduduknya beragama Kristen. Meskipun tidak lagi murni penduduknya beragama Kristen, tetapi dalam hal kepercayaan, saat ini pemeluk agama Kristen masih menjadi mayoritas di desa-desa Kristen tersebut.
12
Kehidupan plural beragama inilah yang tidak bisa dipungkiri
oleh siapapun, termasuk juga oleh warga Kristen yang hidup berkoloni dalam sebuah desa Kristen sekali pun. Pergeseran-pergeseran tersebut akibat terjadinya desakan kebutuhan baik itu kebutuhan ekonomi, kebutuhan sosial, sehingga membuat laju mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena itu orang-orang Kristen yang hidup di dalam rutinitas kehidupan homogen 13, mau tidak mau harus mempersiapkan diri untuk
11
Scn 2, hlm 81 Scn 2, hlm 164 13 Homogen memiliki makna terdiri atas jenis, macam, sifat, watak yang sama. Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm 407. 12
4
bisa hidup heterogen
14
di segala bidang kehidupan termasuk dalam hidup bertoleransi antar
umat beragama.
Sebagai desa dengan pemeluk agama mayoritas, dan telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, warga di desa Kristen memiliki suatu pemahaman tertentu akan cara pandang mereka terhadap komunitas mereka sendiri. Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah, apakah ketika struktur kemasyarakatan desa Kristen mulai bergeser menjadi heterogen, identitas sebagai komunitas Kristen yang mereka miliki tetap seperti yang mereka pahami semenjak awal. Atau justru mulai bergeser mengikuti pergeseran konteks kemasyarakatan yang mengalami perubahan. Pemahaman ini penting karena mempengaruhi kesiapan warga Kristen menghadapi adanya pemeluk agama lain di Desa Kristen Wonorejo. Pergeseran kemasyarakatan yang tidak dapat dihindari lagi terjadi di pemukiman-pemukiman Kristen.
2. Deskripsi Masalah Desa Wonorejo adalah sebuah desa Kristen yang berada di wilayah Malang Selatan. Dalam kehidupan keseharian, pada awalnya warga Kristen Wonorejo tidak termasuk dalam kategori majemuk/ plural. Hal tersebut bisa dilihat dari jenis pekerjaan dan juga kehidupan keagamaan di awal pendirian Desa Wonorejo.
15
Hanya saja keadaan juga tidak 100 % sama mulai dari awal
Desa Wonorejo terbentuk sampai sekarang. Ada banyak pergeseran yang telah dan akan terus terjadi, baik dalam kehidupan sosial dan kehidupan keagamaan. 16
Seperti halnya desa Kristen lain, Desa Wonorejo juga memiliki kemandirian-kemandirian terutama dalam hal penyediaan pangan dan juga dalam hal pendidikan. Hal tersebut nampaknya menjadi salah satu daya tarik bagi warga di luar Desa Wonorejo untuk berlomba-lomba tinggal di Desa Wonorejo. Alasan utama yang pada akhirnya membawa warga di luar Desa Wonorejo untuk berdomisisli di Desa Wonorejo adalah karena adanya kesan rasa aman, tentram dan damai yang terlihat di Desa Wonorejo. Hal tersebut lama-kelamaan akan membawa Desa Wonorejo untuk tidak lagi menjadi koloni tunggal, tetapi menjadi masyarakat yang lebih majemuk dalam segala bidang kehidupan termasuk juga dalam kehidupan keagamaan.
14
Heterogen memiliki makna terdiri atas berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis; beraneka ragam. Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm 397. 15 Scn 2, hlm 170-173 16 Scn 2, hlm 177-182
5
Fenomena bertambahnya jumlah penduduk telah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda, yang diduga warga di luar Desa Wonorejo yang beragama Islam meminta perlindungan dari warga Kristen Wonorejo yang memiliki hubungan yang baik dengan pemerintahan Belanda pada waktu itu.
17
Pertambahan jumlah pemeluk agama lain di Desa Wonorejo, juga masih terjadi sampai
saat ini, meski dalam skala kecil. Dimungkinkan bahwa kedatangan pemeluk agama lain di Desa Wonorejo sangat berpengaruh terhadap kehidupan kemasyarakatan desa Kristen yang pada awalnya telah teratur, baik secara sosial maupun keagamaan.
Sebagai desa dengan pemeluk agama mayoritas, apalagi telah ada berpuluh-puluh tahun lamanya, warga di desa Kristen termasuk juga warga Kristen Wonorejo, memiliki suatu pemahaman tertentu akan cara pandang mereka terhadap umat beragama lain, apalagi jika disertai dengan pengalaman-pengalaman persinggungan antara warga Kristen dengan pemeluk agama lain tersebut. Sikap yang biasanya cenderung nampak pada kelompok masyarakat mayoritas terhadap suatu perubahan adalah munculnya sifat eksklusif dan juga fanatik.
18
jika
dilihat dalam kehidupan beragama, sikap eksklusif dan fanatik ini, merujuk pada suatu perilaku yang tidak terbuka dan tidak toleran kepada kelompok lain yang berbeda identitas dengan kelompoknya. Diri atau kelompoknya dianggap sebagai yang paling benar, paling suci, paling baik, dan paling sah untuk melakukan berbagai hal.
Sikap eksklusif dan fanatik ini nampaknya juga dimiliki oleh warga Kristen Wonorejo sebagai suatu kelompok mayoritas, yang nampak ketika muncul beberapa isu antar agama yang sempat beredar di kalangan warga Desa Wonorejo selama mereka hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Salah satunya yang baru saja terjadi pada bulan Mei tahun 2007 yang lalu. Pada saat itu, muncul isu akan dibangun sebuah mushola di tengah-tengah Pedukuhan Kampung Asri (salah satu, dari tiga Pedukuhan yang ada di Desa Wonorejo), yang mayoritas warganya beragama Kristen. Masalah ini sempat membuat warga Kristen resah. Warga Kristen di Wonorejo menganggap tindakan ini adalah tindakan yang tidak benar dengan berbagai alasan. Tetapi tanggapan warga masih sebatas ‘rasan-rasan’ saja, tidak sampai pada tindakan yang anarkis. Dan nampaknya sikap ‘nggrundel’ (berbicara dibelakang) adalah sikap warga yang cenderung muncul saat ini dalam menyikapi masalah keseharian, termasuk juga dengan pemeluk agama lain di sekitar mereka. Demikian juga ketika penyusun melakukan praktek kejemaatan di GKJW Jemaat Wonorejo pada bulan Mei-Agustus 2006 yang lalu. Beberapa warga Desa tersebut 17 18
Scn 2, hlm 181 Haryanto Ignatius, Terbuka Terhadap Umat Beragama. Yogyakarta: Kanisius. 2004, hlm 13-15.
6
mengaku merasa kurang nyaman dengan kehadiran pemeluk agama lain di sekitar mereka. Beberapa beralasan karena desa mereka yang terkenal sebagai desa Kristen sudah tidak lagi murni sebagai 100 % desa yang penduduknya beragama Kristen Protestan.
Bagi penyusun, kondisi dimana letupan-letupan kecil permasalahan keagamaan dalam suatu kesatuan masyarakat bisa merupakan cikal bakal adanya potensi perpecahan yang lebih luas jika dibiarkan tanpa adanya pemahaman akan sebuah perbedaan kepada warga Kristen di Desa Wonorejo. Ditegaskan juga oleh Franz Magnis Suseno bahwa komunitas yang baik sekalipun dengan sedikit hasutan dan rekayasa saja bisa menjadi terpecah belah.
19
Oleh karenanya perlu
adanya kesiapan di antara berbagai pihak, baik itu warga Desa Kristen, pihak gereja dan juga aparat desa sendiri dalam menyiapkan warganya hidup dalam pluralitas agama yang lebih luas dari pada saat ini.
Dari sini muncul beberapa pertanyaan sehubungan dengan masalah : 1. Bagaimana cara pandang warga GKJW Wonorejo akan adanya pemeluk agama lain yang telah, sedang dan akan terus masuk dan berdomisili di pemukiman Desa Kristen Wonorejo? 2. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh pihak GKJW Jemaat Wonorejo untuk lebih memantapkan warga jemaatnya dalam hal hidup berdampingan dengan umat beragama yang lain di desa mereka? 3. Pola-pola pendekatan apa saja yang bisa disumbangkan untuk lebih memantapkan kesiapan warga Kristen menghadapi semakin banyaknya pemeluk agama lain yang berdomisili di Desa Kristen Wonorejo?
3. Batasan Masalah Di Desa Wonorejo ada dua persekutuan orang percaya yang berdiri di bawah dua lembaga gerejawi yang berbeda. Yang pertama adalah GKJW Jemaat Wonorejo dan yang kedua adalah GPdI. Dan dalam tulisan ini sebagai bagian dari GKJW, penyusun akan memfokuskan diri untuk melihat kesiapan warga GKJW Jemaat Wonorejo menghadapi semakin banyaknya pemeluk agama lain yang berdomisili di Desa Wonorejo. Sehingga di dalam tulisan selanjutnya disebuntukan warga Kristen, berarti yang dimaksudkan oleh penyusun adalah warga GKJW Jemaat Wonorejo. 19
Sumartana, dkk. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia,Yogyakarta: Institude DIAN. 2001, hlm 66.
7
4. Judul Kesiapan Warga Jemaat GKJW Wonorejo Menghadapi Adanya Pemeluk Agama Lain yang Berdomisili di Desa Kristen Wonorejo
5. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Menggali bagaimana cara pandang warga GKJW Wonorejo akan adanya pemeluk agama lain yang telah, sedang dan akan terus masuk dan berdomisili di pemukiman Desa Kristen Wonorejo. 2. Menggali usaha apa saja yang telah dilakukan oleh pihak GKJW Jemaat Wonorejo untuk lebih memantapkan warga jemaatnya dalam hal hidup berdampingan dengan umat beragama yang lain di desa mereka. 3. Memberikan usulan-usulan mengenai pola-pola pendekatan yang bisa disumbangkan untuk lebih memantapkan kesiapan warga Kristen menghadapi semakin banyaknya pemeluk agama lain yang berdomisili di Desa Kristen Wonorejo.
6. Metode Penulisan Adapun metode yang akan digunakan penyusun adalah metode penulisan deskriptif analitis. Pertama-tama penyusun akan memaparkan/mendiskripsikan data yang diperlukan secara menyeluruh mengenai desa Kristen dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan bersama dengan pemeluk agama lain. Adapun metode penelitiannya adalah penelitian eksploratif yang berusaha menggali pengalaman warga Kristen dalam bergaul dan bermasyarakat dengan pemeluk agama lain, yang ada di lingkungan mereka dengan jalan mewawancarai beberapa orang yang dianggap mewakili suara seluruh warga. Adapun penyusun memilih metode wawancara, bukan hanya memperhatikan kalimat demi kalimat, tetapi juga dapat menangkap perasaan, emosi, dari seorang responden. 20 Hal ini dimaksudkan agar dalam menggali informasi dapat lebih lengkap dan mendalam, apalagi sebelumnya penyusun pernah melakukan praktek kejemaatan, sehingga akan sedikit lebih memudahkan dalam proses wawancara. Adapun datadata yang lain yang berhubungan dengan kehidupan pluralitas dan kehidupan desa Kristen yang lain diperoleh dari studi literatur.
20
W Gulo, Metodologi Penelitian, Jakarta: Gramedia. 2002, hlm 119.
8
Penelitian penyusun lakukan selama kurang lebih tiga minggu, tertanggal 12 September – 30 September 2007. Adapun metode yang penyusun lakukan dalam mengumpulkan data adalah dengan mewawancarai 100 responden dari segala jenis umur, baik dewasa dini, dewasa madya dan lanjut usia. Sengaja penyusun memberi batasan usia ini, karena menurut penyusun golongon usia di atas sangat rentan terhadap permasalahan keagamaan. Hal ini dikarenakan pada usia-usia tersebut, warga lebih banyak bersinggungan dengan pemeluk agama lain, baik di bangku sekolah, maupun di tempat bekerja. Adapun responden diambil dari dua Pedukuhan yang memiliki penduduk mayoritas beragama Kristen, yaitu di Pedukuhan Krajan dan Pedukuhan Kampung Asri.
7. Sistematika Penulisan BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan berisi tentang latar pelakang masalah, diskripsi masalah, batasan masalah, judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
Kesiapan Warga Jemaat GKJW Wonorejo Menghadapi Adanya Pemeluk Agama Lain di Desa Wonorejo
Dalam Bab ini, penyusun memaparkan bagaimana gambaran kesiapan warga Kristen Wonorejo, akan adanya pemeluk agama lain yang telah, sedang dan akan berdomisili ke Desa Wonorejo. Hal tersebut tercermin dalam cara pandang warga Kristen Wonorejo terhadap pemukiman Desa Kristen, cara pandang warga Kristen terhadap pemeluk agama lain dan harapan warga Kristen terhadap Desa Kristen Wonorejo di masa yang akan datang serta peran gereja dalam membantu warga Kristen Wonorejo untuk hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Dengan demikian, penyusun akan menyajikannya melalui dua hal. Yang pertama, berupa pemaparan secara deskriptif yang terekam dalam literatur yang memadai dan yang kedua melalui pemaparan hasil penelitian.
9
BAB III
Analisa Kesiapan Warga Jemaat GKJW Wonorejo
Dalam Bab ini dipaparkan analisa yang mengacu pada temuan penelitian yang telah dipaparkan pada Bab II. Yang didasarkan pada beberapa pandangan yang berhubungan dengan hasil penelitian.
BAB IV
Usulan-Usulan untuk Memantapkan Kesiapan Warga Kristen Wonorejo
Berisi usulan-usulan konkret bagi warga jemaat GKJW Wonorejo, agar lebih meningkatkan kesiapan mereka dalam menghadapi banyaknya pemeluk agama lain yang berdomisili ke desa Kristen Wonorejo.
BAB V
Penutup
Berisi kesimpulan dan saran
10