BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan “JAKARTA, KCM--Roy kembali berurusan dengan pihak kepolisian lantaran kasus serupa yang pernah dialaminya hingga masuk bui. Seperti diberitakan KCM, Roy kembali ditangkap pihak berwajib dalam sebuah penggerebekan di Hotel Novotel, Surabaya, Selasa (13/11) pagi. Aktor yang laris-manis menikmati masa kejayaannya di tahun 70-an itu, menurut Kepala Satuan Reserse Kombes Wilayah Kota Besar Surabaya Abi Darin, ditangkap bersama teman-temannya tengah mengkonsumsi narkotika jenis shabu. Penangkapan Roy, tentu saja membuat prihatin. Mengingat ini merupakan kasus kedua yang sama buat Roy. Pada tanggal 2 Februari 2006 lalu, suami Anna Maria itu, diciduk aparat di daerah Ulu Jami, Bintaro, Jakarta Selatan. Dalam pengakuannya yang sempat terlontar kepada Ketua Gerakan Nasional Antinarkotika (Granat) Henry Yosodiningrat yang menjenguknya saat berada di tahanan Polda Metro Jaya, Roy sempat mengatakan syukur atas penangkapan dirinya. Saat itu, Roy mengatakan penangkapan itu boleh jadi membuatnya kapok dan tobat untuk tidak mengulanginya di kemudian hari. Tapi apa boleh dikata, Roy kembali harus berurusan dengan kasus serupa. "Tuhan masih sayang saya. Saya berjanji setelah menjalani hukuman akan mengabdi dan berjuang untuk menyelamatkan generasi bangsa dari bahaya narkoba," kata Roy seperti dituturkan Henry kala itu.”1
Akhir-akhir ini memang kita mengetahui dari berbagai media massa, baik koran, televisi maupun tabloid, bahwa beberapa selebriti di Indonesia ini terlibat kasus Narkoba, yaitu shabu-shabu2. Salah satu kasus yang sedang booming saat ini adalah kasus Wicaksono Abdul Salam alias Roy Marten. Memang banyak masyarakat yang tidak menyangka bahwa Roy Marten terlibat dalam kasus Narkoba. Karena selama ini ia dikenal sebagai aktor yang selalu tersenyum, sabar dan terlihat begitu arif sebagai ayah dan suami. Bahkan ia juga dipandang sebagai penganut Kristen Orthodox yang saleh dan taat beribadah. Nah, disinilah yang menarik. Mengapa sampai terjadi hal yang demikian? Melihat kasus Roy Marten ini memang kita tidak boleh asal menyimpulkan bahwa ia adalah orang yang salah 100%. Sebab banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab ia terjerumus ke dalam kasus Narkotika kembali. Mungkin saja karena faktor pergaulan. Sebab Psikiater Profesor Doktor Dadang Hawari di Jakarta pernah mengatakan bahwa Sekitar 80 persen penyebab para artis terseret 1
Lih. www.kompas.com Shabu-shabu alias crystal meth adalah sebuah turunan dari amphetamine yang tidak sebanding dengan ekstasi, membuat sakit kepala dan adiksi serta dapat menyebabkan depresi dan schizophrenia. Efek psikis dari pil ini menurunnya ego; hilang rasa takut secara neurotik; tumbuhnya rasa cinta dan empati terhadap sesama; juga kemudahan berkomunikasi. Efek demikian bisa diraih dalam 30 – 60 menit setelah dikonsumsi, bisa bertahan selama 2 – 3 jam, jika digunakan secara repetitif / berulang, efeknya bisa bertahan sampai 6 jam. 2
1
mengkonsumsi narkoba adalah pergaulan artis yang seringkali berhura-hura dan bersenangsenang.3 Banyak diantara selebriti yang menghabiskan waktu untuk bersenang-senangnya di tempat clubbing. Clubbing, sebuah kata kerja yang berasal dari kata Club, yang berarti pergi ke Club-club untuk mendengarkan musik (biasanya bukan livemusic); untuk melepaskan kepenatan dan semua beban ritual sehari-hari. Di Indonesia, clubbing sering juga disebut Dugem (Dunia Gemerlap)4, karena tidak lepas dari kilatan lampu disko yang gemerlap dan dentuman musik techno yang dimainkan oleh para DJ (Disk Jockey)5 handal yang terkadang datang dari luar negeri. Dugem telah menjadi tempat kaum penganut hedonisme6 serta sudah menjadi rahasia umum, bahwa di tempat-tempat Dugem sangatlah mudah bagi pengunjung untuk mendapatkan narkoba. Sebab sudah ada pengedar yang siap melayani pengunjung sesuai dengan permintaan. Pengunjung tidak perlu khawatir, akan ada pemeriksaan oleh pihak kepolisian atau tidak. Sebab biasanya pihak pengelola tempat-tempat Dugem sudah bekerjasama dengan pihak yang berwajib, istilahnya main belakang.
Tempat-tempat Dugem sudah terlanjur dilabeli dengan tempat berbuat hal-hal yang negatif. Oleh sebab itu, penulis teringat dengan Irawan (kakak penulis) yang pernah mengatakan “Kamu kalau di Jogja jangan pernah masuk ke tempat Dugem, karena di sana tempat orang-orang ga bener”. Pernyataan ini muncul ketika Irawan dan penulis melihat sebuah tayangan Televisi yang menyajikan kehidupan malam di sebuah tempat Dugem di salah satu kota besar di Indonesia. Kebetulan, acara yang kita tonton adalah acara yang biasa menampilkan dan membahas fenomena gaya hidup7 yang saat ini sedang menjamur di masyarakat Indonesia. Disebut menjamur karena fenomena yang
3
Lih. www.kapanlagi.com ; Kamis, 29 November 2007 Untuk selanjutnya, penulis akan memakai Istilah Dugem (Dunia Gemerlap). 5 DJ (Disk Jockey) adalah sebutan bagi seseorang yang memainkan musik house, R n B ataupun techno dari seperangkat alat elektronik. 6 Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang pesta pora dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebasbebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan inilah muncul nudisme (gaya hidup telanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuros yang menyatakan “Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati”. (http://id.wikipedia.org/wiki/hedonisme) 7 Fenomena gaya hidup merupakan ciri integral dari perkembangan modernitas, tidak hanya pada gagasan bahwa gaya hidup merupakan representasi yang teristimewa penting bagi pencarian identitas individual, tetapi juga semacam karakteristik pendefinisi modernitas. (David Chaney, Lifestyles, Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 1996) 4
2
ditampilkan biasanya tidak hanya terdapat di kota-kota metropolitan saja namun juga kota semimetropolitan. Saya tidak heran mendengar kata-kata itu. Karena sepertinya memang ada stereotipe yang berkembang, yang tidak bisa menerima budaya “baru” ini. Istilah “baru” adalah bukan dalam artian “dulunya (dianggap) tidak ada”. Sebab menurut Atdi Suseno: “...dulunya tidak ada mengindikasikan tidak adanya kesinambungan dan hubungan apapun antara konteks dan latar belakang seseorang dengan budaya baru yang diserapnya itu. Konsep baru dengan arti dulunya tidak ada, merupakan konsep yang tidak diverifikasikan lebih lanjut. Memang ekspresi potensialitas yang terkandung dalam konteks dan latar belakang seseorang dapat dihayati sebagai 8 “kebaruan”, setidaknya dalam penghayatan psikologis...”
Namun stereotipe ini ternyata tidak hanya ada diantara masyarakat luas, namun juga berkembang pada warga gereja. Bahkan tidak jarang juga ada pandangan yang bersikap ekstrim, menganggap bahwa setiap orang yang datang ke tempat Dugem adalah manusia berdosa. Pernyataan ini didasari dengan pemikiran bahwa semua orang yang berada di tempat Dugem pasti berbuat maksiat dan sudah barang tentu tidak sesuai dengan adat ketimuran kita.
Dugem begitulah istilah yang dipakai oleh masyarakat Indonesia dewasa ini untuk menyebut kegiatan mereka yang gemar menghabiskan waktu malamnya untuk berpesta pora di tempat Dugem baik bersama pasangan mereka masing-masing maupun bersama dengan koleganya. Dengan kata lain, istilah Dugem ini identik dengan mereka yang menggandrungi pesta dan hiburan malam. Biasanya, Dugem dilaksanakan di Club-club malam9, Café10, Diskotik11, maupun Bar12 dengan berbagai suguhan menu makanan dan minuman serta acara yang menggiurkan. Jika dikategorikan menurut pengunjungnya, ada dua macam jenis Dugem yaitu Dugem di Café-Café atau Bar yang biasa dihadiri oleh remaja dan masyarakat kelas menengah, biasanya cukup dengan menyuguhkan band-band lokal dan sesekali mendatangkan group band musik papan atas serta musik DJ (Disc Jokey) yang menggiringi pengunjung menari. Banyak Club di wilayah Kota, seperti Studio East, Color’s pub, Cangkir dan Station Top Ten (yang terletak di atas Plaza Tunjungan Lt.IV) sangat 8
Atdi Susanto, Selera Budaya, Deskripsi Tebal-Tipis Atas Aktifitas Budaya dan Teologi, p.20 Club malam adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk menari dan diiringi musik, pertunjukan lampu dan menyediakan jasa pelayanan makanan dan minuman serta pramuria. (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pariwisata Kota Surabaya, Surabaya: Pemerintah Kota Surabaya, 2007, p.x) 10 Café adalah suatu usaha usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk menari dan musik yang disajikan secara live oleh band. 11 Diskotik adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk menari dengan diiringi musik yang disertai atraksi pertunjukan cahaya lampu tanpa pertunjukkan lantai yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum. 12 Bar adalah setiap usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menghidangkan minuman keras (mengandung alkohol), minuman campuran (cocktail) dan minuman lain ditempat usahanya. 9
3
digandrungi, isinya para pengunjung di bawah umur. Sedangkan Café-café atau Bar bergengsi yang hanya bisa dihadiri orang-orang kelas menengah ke atas dan para eksektif muda, tidak jarang dengan menghadirkan para penari sexy (sexy dancer) dan berbagai bentuk acara menarik lainnya. Para DJ terkenal di Eropa juga pernah tampil di Van Java Café, Hugo’s Café, Vertical Six, dan Red Boxx. Diskotek-diskotek baru seperti Blowfish, Z 21, dan Club Q juga menambah panjang deretan nama tempat-tempat hiburan malam di kota Surabaya. Meskipun ada perbedaan, namun pada dasarnya kedua tempat Dugem ini, baik Café kelas menengah hingga Café bergengsi, memiliki kesamaan. Yaitu biasanya disana disediakan berbagai jenis minuman beralkohol hanya saja kualitas dan harganya yang berbeda. Selain itu, kesamaan lainnya adalah bahwa Café-café ini sangat identik dengan hura-hura, pergaulan bebas, menghamburkan uang, mabuk-mabukan, erotisme, narkoba serta membuang-buang waktu, sebab biasanya pesta itu dilaksanakan semalaman suntuk. Maka tidak jarang, aparat kepolisian mengadakan operasi mendadak di tempat-tempat tersebut.
Kehidupan malam yang hingar-bingar dengan lantunan suara musik yang keras, dansa dengan saling berpelukan antara lawan jenis yang diselingi canda tawa yang mengumbar aroma alkohol tidak hanya melanda kota-kota besar saja, tapi juga kota semi metropolitan dan telah menjadi bagian gaya hidup ala selebriti. Tampaknya realitas semacam ini oleh sebagian pecinta kehidupan malam atau Dugem sudah dianggap sebagai tradisi yang biasa. Tidak jarang juga kehidupan seperti ini disebut dengan kehidupan ala “selebritis”13 . Karena kata “celebrity” sebenarnya berasal dari kata celebrate yang artinya “rayakan” ,“merayakan”. Maka tak heran jika seringkali kehidupan seorang selebriti di kaitkan dengan kehidupan ekslusif, glamour, dan dekat dengan dunia pesta (hura-hura). Selebriti sebenarnya adalah suatu kategori sosiologis yang unik, dimana mereka dapat menjadi ekspresi diri dan sekaligus pembangkit aspirasi bagi para konsumen14. Jadi ada kecenderungan dari masyarakat untuk meniru segala hal yang dilakukan oleh selebriti. Mulai dari gaya hidup, cara berpakaian, jenis musik kesenangan. Darimana masyarakat dapat mengetahui itu semua? Media massa (televisi, koran, majalah) berperan penting dalam meletakkan landasan bagi gaya hidup yang meng-global ini. Oleh sebab itu tidak heran jika ada satu pernyataan dari seorang akademisi periklanan, Prof. Thomas C.O’Guinn yang mengatakan bahwa Twenty-first century society is all about celebrity (Masyarakat
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Selebritis
14
David Chaney, Lifestyles, Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 1996. p.20
4
abad ke-21 segalanya adalah mengenai selebriti)15. Dimana Image (citra) telah menjadi sesuatu yang lebih utama ketimbang nilai. Di tengah masyarakat yang menghadirkan sebuah sistem keyakinan baru, kamu bergaya, maka kamu ada, Gaya Hidup (lifestyle) telah menjadi segalanya. Sehingga citra (image) selalu lebih penting di atas segalanya. Dalam dunia modern, gaya hidup selalu mendefinisikan sikap, nilai-nilai, kelas, dan stratifikasi sosial seseorang. Segalanya selalu dilihat tampak luar. Sebab image yang ditampilkan, atau citra yang direfleksikan, selalu dianggap mendefinisikan eksistensi kita. 1.2 Diskripsi Masalah Di era globalisasi16 ini, sepertinya Dugem sudah menjadi sebuah lifestyle (gaya hidup) yang sedang trend dikalangan sebagian masyarakat perkotaan. Dan biasanya lifestyle ini sudah tidak asing lagi di dalam komoditas Indonesia. Namun yang menjadi permasalahannya ialah bagaimana jika kebiasaan Dugem ini juga sudah merebak sampai ke dalam kehidupan jemaat Kristen, khususnya jemaat kaum muda. Misalnya saja sampai ada seorang pemuda Kristen yang pergi ke tempat-tempat Dugem. Apakah ada korelasi antara aktifitas gereja dengan aktifitas Dugem yang dilakukan pemudapemuda khususnya di GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya. Sejauh mana aktifitas satu mempengaruhi lainnya. Dan berdasarkan temuan tersebut, selanjutnya akan dilihat sejauh mana kesadaran dan respon Warga Jemaat dan Pemimpin Jemaat, yang juga berada di tengah-tengah masyarakat yang ada dewasa ini? Bagaimana Pendekatan Pengajaran / Teologi, Pendekatan Pastoral serta Pendekatan Ritual Peribadatan yang dilakukan di dalam GPIB Jemaat Eben Haezer? Kemudian dari segi jemaat, apakah warga jemaat serta merta meng-klaim negatif semua orang atau sekelompok orang yang pergi ke tempat-tempat Dugem, yang akhirnya dapat menimbulkan sikap yang tidak mampu memandang bahkan tidak dapat menerima orang atau sekelompok orang tersebut secara apa adanya.
15
Atdi Susanto, Selera Budaya, Deskripsi Tebal-Tipis Atas Aktifitas Budaya dan Teologi, p.20 Globalisasi adalah meluasnya pengaruh-pengaruh modernitas ke seluruh dunia dan penyempitan waktu dan ruang semuanya terjadi pada waktu yang sama. Hal yang paling tampak adalah dalam segi ekonomi dunia, yaitu dengan adanya paham kapitalisme. Namun selain di bidang ekonomi, globalisasi juga merambah ke dalam kebudayaan hidup masyarakat dunia, maksudnya kebudayaan-kebudayaan kuno pun mulai terguncang oleh banjir informasi yang memasuki pikiran manusia dengan begitu deras sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang sangat cepat. Akhirnya banyak, masyarakat yang terserabut dari akar budayanya sendiri. (Ranto G. Simamora, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi, Teologi Misi dalam Konteks Globalisasi di Indonesia, Bandung: Ink Media, 2006, p.8)
16
5
Setidaknya ada kenyataan merebaknya fenomena Dugem di kalangan jemaat perkotaan, jemaat GPIB Eben Haezer Surabaya. Penyusun tertarik membahas permasalahan atas dasar pertanyaanpertanyaan yang muncul seperti di bawah ini: •
Bagaimana cara pandang atau asumsi teologi warga jemaat GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya ketika diperhadapkan dengan fenomena kegiatan Dugem?
•
Upaya atau kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemimpin jemaat di GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya dalam menghadapi fenomena kegiatan Dugem?
•
Pola-pola pendekatan apa saja yang bisa disumbangkan untuk membangun sikap pastoral dan pembinaan yang kontekstual.
2
Judul Berdasarkan upaya pemahaman masalah tersebut, maka judul yang penulis pilih untuk skripsi ini adalah: Pandangan Warga Jemaat GPIB Eben Haezer Surabaya mengenai Dugem : Sebuah Tinjauan Etika Teologis
3
Batasan Permasalahan Dengan memperhatikan latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis membatasi subyek gereja. Yakni penulis memakai konteks kepada GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya. Pertimbangan penulis memilih GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya sebagai sampel adalah karena mengingat warga jemaat ini merupakan bagian dari masyarakat kota modern yang Diaspora17. Maksudnya adalah warga jemaat gereja di Indonesia hidup di tengah-tengah masyarakat modern perkotaan dan industri yang memiliki gaya hidup yang berbeda dengan suasana pedesaan dan agraris. Gaya hidup masyarakat perkotaan adalah mobilitas tinggi dan kesibukan yang padat ditambah dengan arus modernisasi, dimana sikap individualisme begitu tinggi. Dan juga selain itu, masyarakat perkotaan tentu saja sudah banyak berbagai pengaruh gaya hidup yang ada di sana.
17
Y.B. Mangunwijaya, Gereja Diaspora, Yogyakarta: Kanisius, 1999, p.35
6
4
Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai dengan penulisan ini adalah: •
Menggali cara pandang atau asumsi teologi warga jemaat GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya ketika diperhadapkan dengan fenomena kegiatan Dugem.
•
Menggali upaya atau kebijakan apa saja yang telah dilakukan pihak GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya dalam menghadapi fenomena kegiatan Dugem.
•
Memberikan usulan-usulan konkret mengenai pola-pola pendekatan yang bisa disumbangkan untuk membangun sikap pastoral dan pembinaan yang kontekstual.
5
Metode Penulisan Pendekatan penelitian Metode penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kualitatif.18 Bodgan dan Biklen memaparkan bahwa ciri-ciri penelitian kualitatif, antara lain adalah mempunyai latar alami karena yang merupakan alat penting adalah adanya sumber data yang langsung dan perisetnya. Selain itu, penelitian kualitatif bersifat deskriptif, lebih memperhatikan proses (dari suatu fenomena sosial) ketimbang hasil atau produk (fenomena itu) semata. Periset kualitatif cenderung menganalisis datanya secara induktif. Serta “Makna” (bagaimana subjek yang diteliti memberi makna hidupnya dan pergumulannya) merupakan soal esensi untuk ancangan kualitatif19. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami (understanding) dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri.20 Dan sesuai dengan karakteristiknya, disain penelitian kualitatif biasanya sederhana, simpel dan sewaktuwaktu dapat berubah (simple, emergent, evoluting dan developing).21 Sebab rancangan penelitian kualitatif akan berkembang dengan sendirinya setelah peneliti memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang latar, subyek dan sumber data-data lainnya melalui pemeriksaan secara langsung. Dengan demikian, penelitian kualitatif ini sesuai digunakan guna menggali bagaimana cara pandang Jemaat GPIB Eben Haezer Surabaya mengenai fenomena Dugem.
18
Penelitian Kualitatif biasa disebut juga sebagai penelitian narulis, dimana pendekatan ini berasal dari seseorang yang. menganggap dirinya naturalis yang menyelidiki fakta-fakta alami yang muncul di padang rumput, ladang, kolam, pantai, (Andreas Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif , Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004, p. 62) 19 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Rosdakarya, 2003, p. 122 20 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Rosdakarya, 2003, p. 9 21 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Rosdakarya, 2003, p. 120
7
Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu wawancara informal dan membagikan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada informan (jemaat GPIB Eben Haezer Surabaya). Wawancara informal dilakukan dengan harapan antara peneliti dan informan (jemaat GPIB Eben Haezer Surabaya) dapat terjadi sikap saling terbuka. Penyusun memilih cara wawancara karena salah satu sifat wawancara adalah untuk menggali struktur kognitif dan dunia makna dari perilaku subyek yang diteliti.22 Dengan wawancara ini diharapkan dapat diperoleh penjelasan dari responden yang mewakili penghayatan atas pengalamannya. Jenis wawancara yang akan diterapkan adalah wawancara semiterstruktur, yaitu wawancara kreatif (wawancara yang dilakukan berdasarkan situasi yang dihadapi) serta wawancara post-modern (wawancara yang menekankan kenetralan atau keminiman pengaruh pewawancara terhadap wawancara).23 Sedangkan angket / kuesioner dilakukan untuk mempermudah efisiensi waktu pengumpulan data.
Populasi dan Sampel Yang akan menjadi populasi dari penelitian ini adalah sejumlah 50 orang jemaat GPIB Eben Haezer Surabaya. Dipilih 50 orang jemaat, baik anggota jemaat biasa maupun pemimpin jemaat (pendeta dan anggota Majelis), dimana dari segi jumlah lebih banyak warga dewasa , yaitu yang berusia 17-35 tahun karena kebiasaan Dugem lebih merebak di golongan usia ini. Sehingga diharapkan penulis dapat menggali bagaimana jemaat di usia ini, baik yang menjadi Dugemers ataupun bukan Dugemers menanggapi fenomena Dugem ini. Selain itu, dipilih warga dewasa karena menurut tingkat perkembangan iman, orang dewasalah yang telah mencapai tahap refleksi individu. Menurut Fowler, pada masa dewasa (adulthood), orang mulai bisa mencapai tahap individuatif-reflektif24. Pada tahap inilah refleksi iman berkaitan dengan fenomena Dugem juga mungkin dilakukan. Sampel akan dipilih secara acak (random sampling) dengan perhitungan bahwa sampel tersebut mewakili populasi (representatif).
22
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Rosdakarya, 2003, p. 172 Andreas Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif , Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004, p. 228 24 Tahap ini terjadi pada usia sekitar 18-35 tahun. Orang mulai mempertanggungjawabkan iman yang masuk akal/logis, merenungkan peristiwa hidup secara kritis (Lih. Shelton Charles, Spiritualitas Kaum Muda, Yogyakarta: 1987, p. 60). 23
8
Metode penulisan Metode penulisan yang dilakukan adalah deskriptif analisis, yaitu memaparkan data-data yang didapat kemudian menganalisanya. a. Deskriptif Pada bagian ini, penulis akan mendeskripsikan atau memaparkan secara menyeluruh dan mendalam tentang fenomena kegiatan Dugem. b. Analisis Pada bagian ini, penulis akan menganalisa data yang telah dideskripsikan di atas, dalam hal ini yang berbicara adalah data dan peneliti mulai melakukan penafsiran. 6
Sistematika Penulisan
Bab I.
Pendahuluan Pada bab ini berisi uraian mengenai latar belakang, pokok permasalahan, batasan permasalahan, rumusan masalah, pemilihan judul dan alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II.
Kebiasaan Dugem (Dunia Gemerlap) Pada bab ini dimulai dengan penjelasan tentang istilah Dugem itu sendiri, yang kemudian dilanjutkan dengan perkembangan tempat-tempat Dugem di Surabaya. Setelah itu kita bersama-sama akan melihat aspek-aspek apa saja yang terkait dengan kegiatan Dugem. Dan terakhir akan dijelaskan tentang gambaran problematika yang terjadi di sekitar kebiasaan Dugem.
Bab III.
GPIB Eben Haezer Surabaya dalam menanggapi fenomena Dugem. Pada bab III ini akan di bagi menjadi tiga yaitu : Pertama, konteks Surabaya yang menyimpan
keunikan
tersendiri
disetiap
sudut
kotanya.
Keragaman
etnis
menghasilkan beraneka warna yang luar biasa pada ragam budayanya. Perpaduan unsur historis dengan kemodernan menyiratkan kedinamisan tanpa meninggalkan sejarah kotanya. Kemudian akan dibahas juga secara detail, Kota Surabaya menurut luasnya, secara geografis, secara etnografis, serta semua hal yang menyangkut Kota Surabaya. Kedua, gambaran umum GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya yang 9
meliputi: sejarah singkat GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya, wilayah pelayanan secara geografis, kondisi warga jemaat GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya dan aktivitas bergereja di GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya. Ketiga mengenai Hasil dan Analisa penelitian cara pandang jemaat GPIB Eben Haezer Surabaya mengenai kebiasaan Dugem serta Analisa terhadap GPIB Eben Haezer Surabaya dalam kaitannya dengan program-program atau pelayanan yang selama ini dikembangkan. Bab IV.
Tinjauan Teologis Pada bab ini penulis akan mengemukakan pendapat H. Richard Niebuhr mengenai perjumpaan antara iman dan kebudayaan. Kemudian selanjutnya penulis akan melakukan evaluasi teologis berdasarkan pendapat H. Richard Niebuhr guna melihat sikap GPIB Eben Haezer Surabaya terhadap kebiasaan Dugem, termasuk ke dalam sikap radikal, akomodatif, sintetik, dualistik atau tranformatif.
Bab V.
Penutup Pada bab ini berisi kesimpulan dan usulan-usulan konkrit
mengenai pola-pola
pendekatan yang bisa disumbangkan untuk membangun sikap pastoral dan pembinaan yang kontekstual bagi jemaat dan juga gereja dalam hal ini GPIB Jemaat Eben Haezer Surabaya.
10