BAB I PENDAHULUAN
A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Permasalahan. Keadaan Indonesia beberapa tahun terakhir ini sering mengalami masa krisis, misalnya saja krisis di bidang ekonomi, politik, keamanan serta yang berkaitan dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Krisis di berbagai bidang tersebut mengakibatkan kehidupan masyarakat Indonesia terasa sangat sulit. Hal ini tentunya menimbulkan penderitaan dalam bentuk pengalaman atau situasi kesedihan, kemalangan, dukacita, kehilangan, penindasan, kekerasan, ketidakadilan dan sebagainya. Pengalaman penderitaan tersebut merupakan realitas yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan manusia. Fakta ini muncul dan dapat ditemukan di mana-mana, bahkan di dalam kehidupan orang yang saleh sekalipun.
Dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen, khususnya Protestan yang merupakan kelompok agama minoritas, tidak jarang kita menemukan perlakuan yang bersifat diskriminasi dari kelompok mayoritas. Sebagai contoh, peristiwa pembakaran gedung gereja di daerah Jawa Barat, bulan Mei tahun 1998, perombakan secara paksa gedung gereja, penutupan gereja-gereja dan larangan untuk beribadah serta penembakan pendeta di Poso tahun 2005. Peristiwa-peristiwa yang sudah disebutkan dapat dikatakan sebagai bentuk “serangan” dari luar terhadap keKristenan di Indonesia dewasa ini. Di mana dapat menimbulkan penderitaan, ketakutan dan perasaan kesedihan bagi orang-orang Kristen.
Selain berbagai tantangan yang harus dihadapi dari pihak luar, ternyata di dalam tubuh persekutuan Kristen sendiri terjadi banyak sekali perpecahan. Dewasa ini kita melihat, bahwa ada banyak bermunculan berbagai aliran gereja dengan teologinya masing-masing. Ditambah dengan munculnya aliran-aliran kharismatik di luar gereja yang mengklaim bahwa ajaran merekalah yang benar sedangkan yang lain tidak, bahkan perlu untuk “dilahirkan kembali”. Hal ini rupanya telah menimbulkan persoalan sendiri di dalam tubuh gereja. Sehingga gereja juga perlu mengambil suatu tindakan yang tepat bagi setiap persoalan yang dihadapinya. Tindakan tersebut tidak hanya berkaitan dengan persoalan yang dihadapi di dalam persekutuan Kristen (antara protestan dan kharismatik) tetapi juga dengan agama lainnya. Namun pada umumnya yang terjadi adalah gereja justru jatuh pada pandangan atau perasaan superioritas terhadap aliran agama lainnya. Artinya gereja hanya berkutat pada persoalan ‘selamat atau 1
tidaknya orang-orang di luar keKristenan (-di luar gereja-)’ karena tidak dapat dipungkiri bahwa paham ‘di luar gereja tidak terdapat keselamatan’ masih sangat kental di dalam kehidupan keKristenan dewasa ini. Dan akibatnya gerejapun berlomba-lomba untuk mendapatkan sebanyak mungkin pengikut yang tidak jarang juga berasal dari gereja yang lain. Hal ini pada akhirnya menyebabkan banyak orang Kristen menjadi bingung dan bertanya-tanya “sebenarnya ajaran mana yang benar dan harus diikuti?”
Kedua contoh permasalahan di atas sebenarnya disadari atau tidak oleh gereja, merupakan faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu pecahnya persekutuan Kristen. Dan jika gereja hanya berkutat pada persoalan selamat atau tidak selamat orang-orang di luar gereja tanpa mengingat kembali tugas dan panggilannya di dunia ini, maka apa yang menjadi amanat Kristus agar dilakukan gereja tidak akan pernah tercapai. Karena itu menurut penyusun, gereja atau orang Kristen perlu melihat kembali apa sebenarnya peran mereka ditengah-tengah dunia ini.
Keadaan hidup yang demikian pelik ini ternyata tidak hanya dialami oleh keKristenan pada masa ini, sebab sejarah mencatat bahwa penderitaan hidup yang demikian dialami juga oleh orangorang Kristen pada abad pertama. Menurut sejarah 1 , dunia tempat gereja mulai tumbuh adalah di wilayah kekaisaran Romawi (pada masa itu Palestina telah berada di bawah kekuasaan Romawi). Pada awal perkembangannya, gereja perdana ini mengalami banyak sekali hambatan dan tantangan. Di mana pada mulanya pemerintah Romawi pada masa itu menganggap keKristenan sebagai bagian dari agama Yahudi, sehingga mereka bebas menjalankan ibadah keagamaannya. Tetapi dengan adanya berbagai konflik yang terjadi di antara keKristenan dengan agama Yahudi, akhirnya memperlihatkan bahwa ternyata keKristenan bukanlah bagian dari agama Yahudi -sebagai suatu agama kebangsaan yang diizinkan-, melainkan keKristenan adalah sebuah agama yang baru. Hal ini tentu saja menyebabkan keberadaan keKristenan berada dalam status yang membahayakan, sebab pada masa itu terdapat kecurigaan yang sangat besar terhadap sebuah agama baru. Apalagi nyata bahwa agama Kristen ini dianggap sebagai sebuah agama yang pendirinya adalah seorang yang mati tersalib oleh pengadilan Romawi sendiri. Dengan demikian semakin besarlah kecurigaan dari pihak pemerintah Romawi terhadap agama Kristen pada abad pertama.
1
Dr. H. Berkhof., disadur oleh Dr. I.H. Enklaar., Sejarah Gereja., BPK Gunung Mulia 2001., hal.2
2
Situasi yang telah disebutkan diatas merupakan faktor yang dapat membuat umat Kristen pada abad pertama hidup dalam ketakutan, sehingga bisa jadi banyak diantara mereka yang kemudian mengingkari imannya demi untuk keamanan diri mereka. Menurut banyak ahli, selain permasalahan tersebut ada hal lain juga yang terjadi pada masa itu (abad pertama sampai abad yang ketiga) yang menimbulkan perkara maut terhadap jemaat Kristen, yaitu berkembangnya ibadat kepada dewa-dewa asing di seluruh kekaisaran (dewa-dewi itu antara lain: dewi Isis dan dewa Osiris di negeri Mesir, Baal di Siria, dewa Mitras di Persia dan dewi Kybele di Asia Kecil) dan juga penyembahan kepada kaisar sebagai dewa. Penyembahan kepada kaisar pada masa itu dianggap sebagai tanda dan bukti bahwa penduduk setia kepada sang kaisar. Barang siapa yang tidak mau berbakti kepada kaisar dianggap sebagai musuh negara. Pengecualian tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang berakar pada ethnic tradition dan diakui di daerah tersebut seperti halnya agama Yahudi, sedangkan agama Kristen sebagai suatu agama yang baru yang tidak memiliki tradisi kuno (ancient tradition) dan juga tidak memiliki identitas nasional (national identity), tidak mendapat pengakuan dari pemerintahan Romawi sehingga mereka juga wajib melaksanakan ibadah kepada kaisar.2
Akan tetapi dewa-dewi itu semuanya ditolak oleh keKristenan, sebab bagi mereka hanya ada satu Allah saja yang patut di sembah. Penyembahan kepada kaisar sebagai dewa juga dianggap oleh orang Kristen sebagai penghujatan kepada Allah, karena itu mereka dengan tegas menolak bentuk penyembahan kepada kaisar tersebut. Di dalam pergaulan hidup biasa, sikap dan tindakan orang-orang Kristen pun sangat berbeda dengan orang kafir. Misalnya saja, mereka menjauhkan diri dari persundalan, sandiwara dan arena (gelanggang tempat pertunjukkan perkelahian antara binatang atau pahlawan), dan akibat dari sikap mereka tersebut akhirnya mereka dicurigai. Penolakan orang Kristen dalam hal penyembahan kaisar, oleh pihak pemerintah Romawi ditafsirkan sebagai pemberontakan kepada pemerintah 3 Akibatnya orang-orang Kristen pada masa itu di buru, disiksa dan dianiaya karena iman mereka.
Permasalahan yang dihadapi oleh orang-orang Kristen pada masa itu tidak berhenti sampai disitu saja, sebab dari dalam tubuh keKristenan sendiri muncul berbagai persoalan-persoalan yang pelik. Persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan pemahaman teologis yang menyimpang di kalangan jemaat Kristen sendiri. Yang dimaksud dengan paham yang menyimpang adalah aliran
2
Adela Yarbro Collins., Crisis and Chatarsis: The Power of the Apocalypse., Philadelphia, The Westminster Press, first edition. 1984., hal.85 3 Dr. H. Berkhof ., s.c.n., 1., hal 15.
3
bidat yang dianut oleh para pengikut Bileam, Nikolaus dan Izebel. Dengan adanya pemahaman teologi yang berbeda tersebut, maka menimbulkan permasalahan yang serius dalam jemaat.
Di tengah-tengah penderitaan dan kesulitan hidup, orang-orang Kristen pada masa itu kemudian mempertanyakan pengharapan akan kehidupan yang lebih baik seperti yang dijanjikan Allah. Kapankah harapan-harapan akan pemulihan oleh Allah itu terwujud dalam kehidupan mereka? Bagaimana tanda-tandanya? Apakah pemulihan itu mencakup semua harapan yang ada? Apakah pemulihan Allah hanya terjadi di masa yang akan datang saja ataukah juga terjadi pada saat ini?. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan kesemuanya itu mengharapkan adanya sebuah jawaban yang sesegera mungkin terwujud.
Berkaitan dengan situasi yang dihadapi oleh jemaat saat itu, maka sebagai seorang nabi Yohanes merasa terpanggil untuk memberikan penghiburan dan penguatan kepada jemaat di Asia Kecil. Ia kemudian menempatkan dirinya sebagai saudara seiman yang turut merasakan penderitaan yang dialami oleh jemaat Kristen masa itu, dan kemudian menuliskan kitab Wahyu yang sarat dengan nuansa apokaliptik dalam rangka pastoralnya. Kitab Wahyu sendiri merupakan kitab yang sangat sulit untuk dipahami oleh para pembaca masa kini, karena selain terdapat banyak sekali uraian-uraian mengenai keadaan di masa yang akan datang (eskaton), kitab ini penuh dengan simbol-simbol dan gambaran-gambaran yang asing serta menakutkan. Hal ini dikarenakan kitab Wahyu tersebut memang tidak ditujukan untuk umum, melainkan kepada golongan tertentu (kepada jemaat Kristen masa itu). Karena kesulitan itulah maka kitab Wahyu menjadi salah satu kitab yang jarang dibaca oleh orang Kristen dewasa ini.
Di dalam kitab Wahyu ini, Yohanes banyak kali memuji dan menegur jemaat. Ia juga terus menerus memberikan penguatan kepada jemaat berkaitan dengan situasi yang sedang mereka hadapi. Salah satu bentuk penguatan yang di berikan oleh Yohanes kepada jemaat di Asia Kecil adalah meyakinkan mereka bahwa segala penderitaan yang mereka alami sekarang ini akan segera dihapuskan oleh Allah dan Anak Domba. Allah akan menghukum setiap orang yang telah menganiaya umat-Nya dan Ia akan mengaruniakan kepada mereka Yerusalem yang Baru.
Dalam keKristenan sendiri memang terdapat pengharapan akan Yerusalem Baru. Pengharapan akan Yerusalem Baru ini biasanya merujuk pada gambaran Yerusalem Baru dalam kitab Wahyu, dan oleh orang Kristen lebih dimaknai sebagai sesuatu yang lebih bersifat eskhatologis, yang 4
akan datang dan masih sangat lama, yang akan terjadi pada saat kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali itu. Akan tetapi jika kita membaca dengan teliti kitab Wahyu, kita akan menemukan adanya dua bentuk ide mengenai Yerusalem baru yang berbeda satu dengan yang lainnya. Yang satu berbicara mengenai Yerusalem baru sebagai sesuatu yang akan datang ketika dunia ini telah dihancurkan oleh Allah (Why 21 :1-8), sedangkan yang lain berbicara mengenai Yerusalem baru yang berada di dunia sekarang ini (Why 21:9-22:2, 14-15, 17). Lalu berkaitan dengan permasalahan yang sedang dialami oleh jemaat Kristen di Asia Kecil dan tujuan penulisan kitab Wahyu –yaitu sebagai pastoral kepada jemaat-, maka penyusun hendak menggali lebih dalam mengenai makna Yerusalem Baru dalam kitab Wahyu 21 : 9–22:2, 14-15, 17. Sebab menurut penyusun, bagi jemaat yang sedang berada dalam situasi terhimpit persoalan dari dalam dan dari luar, maka tentunya sangat penting juga untuk berbicara mengenai suatu bentuk pengharapan yang dinanti-nantikan oleh jemaat untuk terjadi pada kehidupan nyata masa itu. Selain itu penyusun juga hendak melihat bagaimana konsekwensinya dalam kehidupan jemaat Kristen masa kini dan masa yang akan datang
A.2. Permasalahan: 1. Apa makna Yerusalem baru dalam kitab Wahyu dalam rangka pastoral masa itu? 2. Bagaimana konsekwensinya bagi jemaat Kristen masa kini dan masa yang akan datang?
B. Alasan Pemilihan Judul Tema Yerusalem Baru dalam kitab Wahyu memiliki peranan yang sangat besar. Tema tersebut merupakan suatu bentuk pengharapan dan penguatan bagi orang-orang percaya pada masa itu dalam menghadapi tantangan berat atas kehidupan iman mereka. Berangkat dari permasalahan yang telah di uraikan di atas, maka skripsi ini diberi judul:
Makna Yerusalem Baru Dalam Wahyu 21: 9–22 :2,14–15,17
C. Tujuan Penulisan Melalui skripsi ini hendak digali gagasan mengenai makna Yeruslem Baru di dalam kitab Wahyu, yang mana berbicara mengenai pengharapan pada masa yang lalu dari Jemaat Kristen yang sedang menderita. Hal tersebut dilakukan dengan cara menggali dan memberi perhatian kepada teks Kitab Wahyu, khususnya pasal 21:9–22 :2,14–15,17. Hasil proses tafsir penggalian 5
makna Yerusalem Baru ini akan diaplikasikan dalam kehidupan berjemaat di Indonesia. Dan diharapkan hasil penulisan skripsi ini dapat memberikan pemahaman baru bagi jemaat Kristen di masa sekarang dalam rangka melihat kembali bentuk pengharapan di dalam ajaran keKristenan.
D. Metode Pendekatan Metode eksegese yang digunakan oleh penulis dalam rangka penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode historis kritis. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisa latar belakang penulisan kitab dan juga menyelidiki bahasa-bahasa simbolis dalam kitab Wahyu yang tidak dimengerti oleh pembaca sekarang tetapi dimengerti oleh pembaca zaman itu.
E. Sistematika Penulisan BAB I
Pendahuluan Bagian ini berisi tentang latar belakang masalah, Alasan Pemilihan Judul, Metode Penulisan dan Sistematika Pembahasan.
BAB II
Gambaran Umum Kitab Wahyu Bab ini
berisi tentang gambaran umum kitab Wahyu sebagai kitab
Apokaliptik.
Tercakup
di
dalamnya
penjelasan
mengenai
corak
Apokaliptis kitab Wahyu, kritik redaksi, serta berbagai metode yang digunakan untuk mengkaji kitab Wahyu dan juga metode yang dipakai oleh penyusun. Selanjutnya di dalam bab ini juga dibahas mengenai konteks historis kitab Wahyu yang berisi permasalahan umum sekitar penulisan dan situasi jemaat penerima.
BAB III Makna Yerusalem Baru Dalam Wahyu 21:9-22:2,14-15,17 Bab ini berisi tentang sejarah singkat Yerusalem, pemahaman tentang Yerusalem dalam Perjanjian Lama dan dalam kitab Wahyu sendiri. Selanjutnya penyusun melakukan studi Eksegetis terhadap Wahyu 21:9– 22 :2,14 –15,17.
BAB IV Kesimpulan dan Relevansi Bagian ini berisi kesimpulan terhadap masalah yang diangkat, dan relevansinya yang diharapkan bisa memberi jawab bagi kehidupan dan pergumulan keKristenan saat ini. 6