BAB I. PENDAHULUAN A. Latarbelakang Permasalahan
1.
Pengembangan Kawasan Pesisir dan Kepulauan Peraturan perundang-undangan
kawasan
pesisir dan kepulauan
lebih
berorientasi pada eksploitasi sumber daya pesisir dan kepulauan tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara kesadaran terhadap
nilai
strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat masih relatif kurang. Hal ini menggambarkan kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan kepulauan seperti sasi, mane‟e, panglima lao‟, dan awig-awig. Terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan kepulauan menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk pulih secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain. Oleh sebab itu penetapan prioritas pemanfaatan suatu kawasan dilakukan berdasarkan fungsi pemanfaatan, meliputi : fungsi ekonomi, yaitu kawasan perairan ditetapkan sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi; fungsi pertahanan dan keamanan, sebagai upaya menempatkan fungsi pulau-pulau kecil di kawasan perairan dan titik pangkal teritorial maupun basis pertahanan negara; fungsi konservasi, yaitu langkah mempertahankan kelangsungan kondisi alam, sosial, budaya, maupun kearifan lokal pada kawasan perairan dan pulau.
2.
Perubahan Kebudayaan dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat Terjadinya perubahan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain perubahan
komposisi penduduk, ideologi maupun difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat, teknologi, kultural, komunikasi dan informasi, kesadaran akan keterbelakangan dan perkembangan pendidikan (Leibo, 1986; Pasaribu dan 1
Simanjuntak,
1986).
Perubahan
kebudayaan
dipengaruhi
oleh
tingkat
pengetahuan, informasi, kondisi alam, aksessibilitas maupun penguasaan teknologi (Suparlan, 1986; Aprianty, 1998; Poerwanto, 2006). Proses perubahan terbagi dalam tiga tahap yaitu : Invention, yaitu perubahan suatu ide baru diciptakan dan dikembangkan; Diffusion, yaitu proses dimana ide baru disampaikan melalui sistem hubungan sosial tertentu; Consequence, yaitu proses perubahan yang terjadi didalam sistem masyarakat, sebagai hasil adopsi maupun penolakan terhadap ide-ide baru (Rogers dalam Leibo, 1986). Rapoport (1969) mengemukakan bahwa budaya akan selalu berubah, sehingga secara fisik makna suatu bangunan maupun permukiman dapat berubah. Perubahan tidak terjadi secara serentak pada seluruh elemen ataupun fisiknya, tetapi ada unsur yang berubah dan yang tetap. Dalam konteks ini, jika budaya dan pandangan hidup berubah, maka berbagai aspek terkait menjadi berubah, walau berbagai elemen tetap dipertahankan, karena kecenderungan untuk berubah lebih kuat daripada mempertahankannya. Ada 3 (tiga) wujud kebudayaan (Koentjaraningrat, 1985; 2002), yakni cultural system (sistem nilai, norma-norma dan seperangkat aturan), social system (kumpulan aktivitas), dan physical system (benda hasil karya manusia). Ketiga wujud kebudayaan tersebut merupakan satu kesatuan, dan mencari keseimbangan diantara sub-sistemnya. Lingkungan binaan sebagai wujud fisik kebudayaan merupakan sekumpulan gagasan/ide, satu kesatuan sistem budaya, tercermin pada kompleksnya aktivitas dalam keseluruhan sistem sosial masyarakat, yaitu „kebudayaan fisik‟. Lingkungan permukiman sebagai lingkungan binaan manusia, proses dan komponen penyusunannya tidak terlepas dari masalah kondisi sosial budaya masyarakatnya, sehingga jika sosial budaya masyarakatnya berubah akan mengubah lingkungan permukimannya.
3.
Pembangunan Wilayah Pesisir Keseimbangan ekosistem pesisir merupakan
hasil interaksi sejumlah
komponen lingkungan wilayah pesisir. Keterpaduan menjadi prinsip pengelolaan perairan pesisir sebagai upaya melestarikan fungsi lingkungan hidup (Undang2
undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009). Upaya pengelolaan terpadu memiliki tujuan membangun fungsi-fungsi lingkungan hidup (termasuk didalamnya permukiman) secara berkelanjutan. Siregar (2004) mengemukakan makna pembangunan berkelanjutan yaitu pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dapat memperlambat degradasi lingkungan global yang mengganggu fungsi lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan dan kesinambungan sebuah tradisi. Hal ini berhubungan dengan polapola budaya seperti nilai-nilai spiritual, gaya hidup sehari-hari, teknologi dan informasi yang digunakan. Refleksi pada budaya dapat dilakukan melalui artefakartefak untuk menghadapi perubahan iklim, berdasarkan interpretasi yang tidak hanya pada kemajuan jaman, tetapi juga keluhuran nilai-nilai tradisional pada masa lalu. Pembangunan mendorong tumbuhnya kapitalisme terutama di bidang ekonomi, sehingga menyebabkan bencana global dan menjauhkan masyarakat dari alam dan kehidupan sosial (Thompson, 2000). Walaupun pembangunan dilakukan untuk perbaikan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan fisik tetapi sering mengorbankan manusia yang menghuninya. Membangun hendaknya berdasarkan pemaknaan kegiatan dalam ruang, dibatasi oleh unsur geografis (alam) dan iklim. Hal ini sering menyebabkan terjadinya bencana, sehingga menyadarkan kita untuk mempelajari makna pembangunan terutama pada kawasan rawan bencana.
4.
Kekhasan Permukiman Perairan Suku Bajo a.
Sejarah dan asal-usul suku Bajo
„Orang laut‟ dikenal sebagai orang yang mengembangkan suatu cara hidup yang unik dan bersifat maritim. Lingkungan hidup mereka begitu dekat dengan laut menyebabkan penghuni memanfaatkan laut bagi kelangsungan hidupnya. Mereka bertempat tinggal di perahu, senang berlayar dan mengembara di perairan propinsi Riau dan pantai Johor Selatan, sehingga disebut juga orang Bajau (Lapian, 2009). Orang Bajau (sering dinamai orang Bajo) ditemukan di perairan Selat Makassar (pulau Laut, pantai timur Kalimantan), teluk Bone (pulau Bajoe), Nusa Tenggara Timur (pulau Alor dan sekitarnya), di kepulauan Banggai, teluk 3
Tomini, kepulauan Bacan dan Halmahera Maluku Utara, perairan laut Sulawesi baik di pantai Sulawesi Utara, Kalimantan Timur maupun kepulauan Sulu Filipina Selatan. Desa pantai Labuanbajau di pulau Simeulue Aceh, Labuhanbajo Sulawesi Tengah dan Labuhanbajo Manggarai Flores merupakan bukti jangkauan pelayaran orang Bajau. Disamping itu Bajau atau Bajo juga ditemukan sebagai nama tempat di kepulauan Anambas laut Cina Selatan, di bagian timur pulau Sumbawa dan pantai timur Kalimantan hingga kini tetap lestari (Oppenheimer, 2010). Saat ini terdapat ± 90.000 (kurang lebih sembilan puluh ribu) populasi suku Bajo di Indonesia, dan 40.000 (empat puluh ribu) diantaranya hidup dan menetap di pesisir pantai Sulawesi Tenggara (Mead dan Lee, 2007). Ada beberapa pendapat mengenai asal usul suku Bajo antara lain keturunan pelaut Johor, budak bajak laut Moro serta berasal dari orang laut di kepulauan Sulu Filipina Selatan (Peribadi, 2000), dan di Luwu-Malili Sulawesi Selatan (Hafid et al, 1996). Ciri kehidupan komunitas suku Bajo, yaitu menempati suatu kepulauan yang dikelilingi laut, menangkap ikan sebagai pencaharian utama yang dilakukan secara turun temurun; serta memiliki dialek bahasa yang sama (Hamid, 1986; Mattulada, 1977; Peribadi, 2000; Oppenheimer, 2010). Suku Bajo dikenal mempunyai sikap statis, suka hidup di laut, kurang berinovasi, bersikap tertutup dan tidak mampu beradaptasi secara fisik geografis, sosial dan budaya dengan penduduk yang hidup di darat. Akibatnya suku Bajo kurang terlibat didalam proses dan menikmati hasil pembangunan. Nenek moyang suku Bajo dikenal sebagai masyarakat laut, hidup secara nomaden (berpindahpindah) atau manusia perahu (seanomedic) (Sopher, 1971) atau sea gypsies (Brown, 1993). Sebutan Bajo dipakai untuk orang-orang yang menggunakan perahu (orang juga menyebutnya bido‟ atau palema) sebagai tempat tinggal. Umumnya, tempat tinggal mereka dinamai „Negeri di Atas Karang‟, yaitu permukiman yang terletak di atas laut.
Suku Bajo merupakan komunitas atau
masyarakat di Indonesia, dan meyebar ke berbagai pulau-pulau. Mereka menempati lahan di sepanjang pesisir pantai bahkan hingga ke arah lautan bebas, sehingga permukimannya pun berada diatas air, tempat mereka mencari dan menjalani penghidupan (Alena, 1975; Bettarini, 1991; Haris, 1991; Nasruddin, 4
1996; Sembiring, 1993; Zacot, 1979). Orang Bajo menyebut dirinya sebagai orang „Sama‟, karena mempunyai cara hidup dan nilai-nilai yang sama (Zacot, 2007 : hal ini ditemukan di Teluk Tomini, pulau Nain dan di pulau Laut Kalimantan). Orang „Sama‟ telah mengenal permukiman setelah „menetap‟ pada suatu tempat, tempat tinggal-tempat tinggal dibangun menggunakan tiang-tiang di air, sedang perahu mereka ditempatkan di bawah tempat tinggal. Suku Bajo menyebut tempat tinggalnya „palemana‟ atau tempat tinggal yang berada di atas perahu, mereka dikenal sebagai pelaut ulung, sehingga hidup dan matinya berada di atas lautan. Perkampungan berada jauh menjorok ke arah laut bebas, karena berfungsi sebagai tempat mencari penghidupan. Laut adalah tempat utama dalam kehidupannya, dan hasil laut diperoleh secara tradisional. Penghuni menempati daratan pantai tidak lagi menyebut kelompoknya sebagai „sama laut‟ (tetapi masyarakat „bagai‟ karena berbagai-bagai), berbeda dengan suku sama yang masih tinggal di perahu (Alena, 1975; Haris, 1991; Nasruddin, 1996; Zacot, 1979). Meskipun mempunyai cara hidup yang khas yakni bermukim di perahu dan mudah berpindah-pindah tempat, mereka tidak terisolasi dari penduduk daratan, sehingga muncul berbagai dialek Bajau sesuai dialek masyarakat sekitar tempat bermukimnya (Suyuti, 2011). Proses peralihan dari laut ke darat berjalan terus, dimulai abad ke-XVI (Lapian, 2009) dengan mendirikan tempat tinggal panggung diatas permukaan laut sampai permukiman darat dan telah meninggalkan identitasnya sebagai orang Bajau atau orang Sama atau orang Laut. Penamaan ini juga berkaitan erat dengan korelasi antara tahap proses pendaratan dengan tingkat islamisasi, yaitu makin „mendarat‟ makin tinggi pula tingkat pengIslaman mereka. Selain itu masyarakat Bagai menganggap lebih beradab (superior) dibanding suku Sama, karena telah mengenal susunan kemasyarakatan sebagaimana masyarakat yang hidup di daratan dengan norma dan nilai-nilai peradaban (Ahimsa-Putra, 2001). b.
Suku Bajo di Sulawesi
Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga masyarakat 5
lain di pulau Sulawesi atau di luar pulau Sulawesi. Warga Bajo menyebut dirinya sebagai masyarakat „Same‟ atau „Sama‟ dan warga di luar kelompoknya sebagai masyarakat „Bagai‟. Permukiman suku Bajo banyak tersebar di perairan Sulawesi dan kepulauan sekitarnya. Populasinya menyebar dari Sabah Malaysia, kepulauan Filipina dan laut Cina Selatan, antara lain di perairan Menado, Kendari dan kepulauan yang ada di Sulawesi Tenggara, kabupaten Bone dan kepulauan Selayar di Sulawesi Selatan. Suku Bajo di Sulawesi Tengah ditemui di kepulauan Togian Tojo Una-Una, Banggai Kepulauan, kabupaten Morowali, kabupaten Buol, pesisir kabupaten Toli-toli, Parigi Moutong dan Poso Pesisir (Lebar, 1975; Sather, 1995; Spillet, 1993; Soesangobeng, 1977; Suyuti, 2011; Zada Ua,1996).
5.
Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang
menekankan penghormatan terhadap lingkungan, mempunyai nilai positif dalam usaha pelestarian lingkungan dan konsep pembangunan berkelanjutan (Gadgill, et al dalam Mitchel, et al, 2000). Masyarakat mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka bertempat tinggal. Eksploitasi lingkungan biofisik diatur oleh manusia berdasarkan pengalaman empirik. Berdasarkan peraturan tersebut, dapat dihindari eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan biofisik seperti eksploitasi sumberdaya laut. Pengaturan ini menumbuhkan kearifan ekologi, sebagai pilar utama kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan. Kearifan lokal merupakan sistem nilai dan norma, dianut, dipahami dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman, pengalaman mereka dalam berinteraksi dan berinterrelasi dengan lingkungan (Tjahyono et al, 1999; Prijono, 2000). Bentuk-bentuk budaya baik yang „tangible‟ (bentuk permukiman, cara penataan tempat tinggal dan halaman, acara-acara perkawinan, perayaan keagamaan, dan lain-lain) maupun „intangible‟ (cerita rakyat, mitos, lagu, tarian, dan lain-lain) dapat dipelajari, karena bentuk-bentuk budaya ini tidak statis, tetapi mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu nilai-nilai kearifan lokal hendaknya dipelajari kemudian dikembangkan untuk membentuk sebuah budaya baru. Bentuk budaya akan selalu dikembangkan dengan baik jika 6
memperhatikan geografis lokasi, sehingga mampu menciptakan sebuah pola baru yang peka terhadap lingkungan lokal yaitu budaya dan iklim (Arifin, 2009) Hubungan antara manusia dan laut memperlihatkan adanya hubungan saling ketergantungan sejak awal peradaban, karena laut menyediakan kebutuhan dasar yang diperlukan manusia untuk kehidupan seperti energi, makanan, protein, udara bersih dan perlindungan. Laut merupakan sumber inspirasi budaya (Sudiyono dan Tambunan, 1995) karena lingkungan biofisik laut sebagai sumber kehidupan (Suparlan, 1995), ketahanan pangan dan bermakna religius (Mulyaningsih, 1999). Laut tidak saja menjadi sumberdaya kehidupan, tetapi mengandung nilai sakral yang berpengaruh terhadap sistem budaya dan sosial. Selain itu, laut akan memberikan reaksi yang dapat memberi bencana jika diperlakukan secara tidak baik (Tjahyono, et al, 2000). Pola hubungan manusia di kawasan pesisir dan laut masih berpegang teguh pada norma adat serta tradisi yang diwarisi secara turun temurun (Sumardi, 1997). Walaupun ketergantungan terhadap laut sangat besar, mereka tidak mengeksploitasi laut secara besar-besaran untuk tujuan komersil. Upaya yang dilakukan masyarakat nelayan tradisional untuk mengurangi konflik pemanfaatan sumberdaya laut
yaitu menetapkan laut sebagai milik
bersama yang dikenal dengan hak ulayat laut (HUL) atau sea nature. Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia yang penuh dinamika kearah proses transformasi struktural yang lebih maju, sangat menarik karena HUL (hak ulayat laut) sebagai suatu pranata masih tetap dipertahankan oleh sebagian masyarakat khususnya di Indonesia Timur. Kekontrasan sifat-sifat masyarakat tradisional dengan masyarakat modern di kota dalam pemanfaatan sumberdaya laut masih terlihat dibanding daerah Indonesia lainnya seperti Jawa atau Sumatera.
7
B. Perumusan Masalah Budaya bermukim suku Bajo mengalami perkembangan pesat, tidak hanya tersebar di perairan (laut), tetapi mendiami pesisir pantai, bahkan di daratan pantai. Persebaran permukiman dan perkembangan populasi suku Bajo semakin meningkat, menyebabkan letak permukiman pun mengalami perubahan dan perkembangan, terutama keragaman ruang permukiman dan tempat tinggalnya. Kehidupan budaya, alam dan lingkungan berpengaruh terhadap pembentukan morfologi ruang permukiman suku Bajo. Alam semesta tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka, merupakan sejarah yang digambarkan melalui tanda dan nilai. Visi tentang ruang juga merupakan visi tentang waktu. Suku Bajo mampu mempertahankan nilai-nilai kearifan lokalnya yang unik dan tetap memelihara lingkungan agar dapat bertahan hidup. Dalam perkembangannya, suku Bajo mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal yaitu perairan (laut), pesisir pantai maupun daratan pantai dan mengembangkan permukimannya ke arah lebih sistemik (sehat, ramah lingkungan dan tanggap menghadapi bencana). Berdasarkan pengamatan awal (grand tour) di pulau/desa Kabalutan, permukiman mengalami
perubahan, terutama
bertambahnya bangunan tempat tinggal.
pada lahan laut, dengan
Hal ini disebabkan karena jumlah
penduduk bertambah, sedang lahan daratan tetap. Secara fisik permukiman suku Bajo sudah berubah, karena campur tangan pemerintah dengan bantuan dana maupun bantuan dari pemerintah luar negeri (antara lain Australia) terhadap pengadaan fasilitas pendukung aktivitas kehidupan, antara lain perbaikan tetean (jembatan penghubung), pengadaan sumber daya air dan tempat pangrioa pada beberapa bagian permukiman, fasilitas belajar-mengajar, mesjid, dan lain-lain. Beberpa hal menarik di pulau/desa Kabalutan menjadi fokus penelitian antara lain pemilihan pulau/desa Kabalutan sebagai bagian dari gugusan pulau di kabupaten Tojo Una-una sebagai tempat bermukim, perkembangan permukiman ke laut, orientasi permukiman dan tempat tinggal tinggal pada ruang laut, terpisahnya beberapa fasilitas permukiman karena lahan daratan yang terbatas. Lao‟ (laut) bagi suku Bajo sebagai sumber kehidupan, tempat mencari sumber 8
daya laut, sehingga berbagai tradisi/kepercayaan berupa aturan/norma (sebagai pengetahuan lokal)
dilakukan untuk menghormati ruang laut. Secara
antropologis, kajian sudah banyak dilakukan berkaitan dengan kehidupan suku Bajo, sehingga penelitian ini lebih menekankan pada karakter fisik keruangan. Dalam kajian karakter keruangan, unsur-unsur budaya merupakan unsur yang sangat berpengaruh. Berdasarkan pengamatan awal dan wawancara dengan pemukim diperoleh informasi beberapa tradisi yang masih dilakukan yaitu : membangun ruma‟/rumak, melepas bido‟/leppa-leppa yang baru dibuat, pergantian musim, mulai ma-lao‟, duata‟ (mengusir penyakit yang menyerang desa), dan lain-lain. Sampai tahun 2013 suku Bajo di pulau Kabalutan masih percaya adanya pangroak lao‟/nabi Heder (penjaga laut) jelmaan para leluhur, sehingga memberikan hasil (rezeki) jika memperlakukan ruang laut dengan baik. Sebagai ucapan rasa syukur suku Bajo memberi sesajen (persembahan) ke laut menggunakan raki‟ (rakit) berbahan bambu. Begitu pula kepercayaan terhadap simbol-simbol alam dan cerita mitos, hal ini berperan penting terutama untuk melakukan aktivitas mencari nafkah (sebagai nelayan). Ada „hubungan spiritual‟ yang erat antara kehidupan suku Bajo terhadap keberadaan ruang „lao‟/laut‟. Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut dan kepercayaan suku Bajo terhadap lao‟ (laut) dan pangroak lao‟/nabi Heder (penjaga laut), sehingga menarik untuk dikaji makna hubungan antara kepercayaan dengan bentuk ruang permukiman. Fenomena keruangan lain ditemui pada saat grand tour antara lain orientasi ruma‟/rumak (tempat tinggal) ke laut, adanya tempat pembuatan/memperbiki leppa-leppa (sampan), letak kuburan dan tempat berladang/berkebun, sumber air bersih yang terpisah dari daratan tempat bermukim, tetean dan leppa-leppa (sampan) sebagai penghubung antar kelompok tempat tinggal (pagmundah). Keberlangsungan dan keberlanjutan terhadap ekosistem tetap dipelihara, suku Bajo memperlakukan sumber daya laut dan lingkungan tidak secara berlebihan, sehingga dikenal adanya tempat pamali dan tempat ada‟/hajata. Hal-hal ini akan dikaji lebih dalam guna menangkap makna spiritual keberadaan lao‟ (laut) dalam pembentukan ruang permukiman suku Bajo di pulau/desa Kabalutan.
9
Berdasarkan hal-hal diatas, ada beberapa tema awal yang dijadikan fokus penelitian, antara lain : 1.
Permukiman
terbentuk
oleh
pengaruh
budaya,
sistem
kekerabatan,
kepercayaan terhadap leluhur (nenek moyang), dan keragaman artefak. 2.
Adanya keterikatan permukiman terhadap ruang lao‟ (laut) sebagai simbol penghormatan
terhadap
perihal
yang
mengikat
keberagaman
unsur
permukiman sebagai bagian dari lingkungan (kawasan) secara luas. Kaitan antar sistem merupakan pembentuk permukiman yang spesifik dan unik. Adanya keragaman unsur dan terhubung oleh keberadaan laut, maka penelitian tentang permukiman perairan suku Bajo difokuskan pada fenomena keruangan permukiman, dan makna lao‟ (laut) yang berpengaruh dalam pembentukan permukiman pulau/desa Kabalutan termasuk keruangan arsitekturalnya.
C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latarbelakang yang dikemukakan terdapat banyak penelusuran teori lokal tentang kehidupan budaya termasuk konsep permukiman vernakular yang belum terungkap, terutama konsep tentang permukiman kepulauan dan pesisir pantai yang masih memelihara tradisi dalam kehidupan pemukimnya. Penelitian tentang permukiman maupun kehidupan budaya tidak hanya dilihat dari sudut pandang antropologi, oleh sebab itu dilakukan penelitian bidang arsitektur pada permukiman perairan dan pesisir pantai, bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan tentang permukiman perairan berbasis budaya lokal. Pulau/desa Kabalutan yang berada di kecamatan Walea Kepulauan Kabupaten Tojo Una-una, sebuah permukiman pulau yang dihuni oleh mayoritas suku Bajo, masih melakukan beberapa adat istiadat/upacara ritual walaupun sudah disesuaikan dengan agama Islam sebagai kepercayaan mereka sekarang. Pulau/desa Kabalutan merupakan permukiman kepulauan/perairan yang dijadikan lokus utama untuk mengetahui arsitektur permukiman suku Bajo. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut dan keunikan permukiman di pulau/desa Kabalutan terdapat beberapa unsur lokal, termasuk ikatan keruangan 10
permukiman terhadap ruang lao‟ (laut). Penelitian ini akan membahas permasalahan penelitian tentang permukiman suku Bajo dan faktor-faktor yang menyebabkan terbentuknya arsitektur permukiman. Adapun
pertanyaan
penelitian sebagai berikut : Fenomena apa yang berkaitan dengan ruang lao‟ dan mendasari pembentukan arsitektur permukiman dan tatanan keruangan pulau/desa Kabalutan? Kemudian dijabarkan dalam dalam beberapa sub pertanyaan, yaitu : 1.
Fenomena apa sajakah yang berkaitan dengan unsur lao‟ dalam membentuk arsitektur permukiman pulau/desa Kabalutan, mencakup gejala-gejala alam, tempat bermukim, tempat mata pencaharian, tempat ritual/budaya, dan tempat berinteraksi ?
2.
Apa yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut ?
3.
Apa makna lao‟ pada pembentukan arsitektur permukiman suku Bajo ?
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang suku Bajo sudah banyak dilakukan, baik dalam ilmu arsitektur maupun dalam bidang ilmu lain yaitu antropologi, geografi, antar bidang, dan lain-lain. Penelitian tentang arsitektural permukiman suku Bajo mencakup fisik lingkungan, ekosistem, kebudayaan dan spiritual dalam kehidupan, belum dilakukan. Penelitian lebih detail akan mengkaji proses pembentukan arsitektur permukiman suku Bajo, faktor-faktor yang menyebabkan terbentuknya arsitektur permukiman, serta peran dan makna nilai-nilai kehidupan. Beberapa penelitian di bidang asritektur telah dilakukan, yaitu Keberadaan tempat tinggal suku Bajo terhadap perubahan lingkungan tempat tinggalnya, tesis tahun 2003 oleh Syahriana Syam; Pengaruh bentukan arsitektur dan iklim terhadap kenyamanan thermal tempat tinggal tinggal suku Bajo di wilayah pesisir Bajoe kabupaten Bone Sulawesi Selatan, tesis tahun 2001 oleh Juhana; Transformasi permukiman suku Bajo, tesis tahun 2000 oleh Amir Salipu dan 2010 oleh Jumran; Karakteristik tempat tinggal tinggal tradisional komunitas suku Bajo, tesis tahun 1998, oleh Suharto Arvan. Penelitian untuk tesis dilakukan pada permukiman suku Bajo yang terdapat di kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Tesis11
tesis ini mengkaji karakteristik tempat tinggal tinggal, adanya proses perubahan pada permukiman, pengaruh bentuk dan iklim pada tempat tinggal tinggal terhadap kenyamanan pemukim, serta keberadaan tempat tinggal karena perubahan lingkungan tempat tinggal. Penelitian lain di bidang arsitektur yaitu : Consideration on spatial formation and transformation of Kaloeng House in Mukhadan province Thailand, penelitian tahun 2008 oleh C. Chiranthanut dan S. Funo; Adanya perkembangan permukiman Cina di Palembang dapat dilihat dari elemen arsitekturalnya, penelitian tahun 2006 oleh Johannes Ardiyanto; Inhabitation process and spatial order of living space in the urban riverside settlement, disertasi tahun 2002 oleh Ahmad Sarwadi; Terjadi perubahan bentuk tempat tinggal dan dan arsitektur lingkungan permukiman nelayan desa Ujung Alang Cilacap, tesis tahun 2002 oleh Mahmudin. Penelitian-penelitian ini juga melihat adanya perubahan pada permukiman terutama arsitektur tempat tinggal, elemen-elemen, dan lingkungan. Beberapa penelitian tentang spasial desa/permukiman yaitu : Tata Permukiman Desa Kapencar Berbasis Punden, disertasi tahun 2012 oleh VG. Sri Rejeki; Arsitektur Spasial Permukiman Tradisional Kaenbaun di Pulau Timor, disertasi tahun 2010 oleh YD. Purbadi; Kaitan aspek sosial-budaya dalam formasi spasial desa-desa di Bali, menggunakan banyak desa sebagai studi kasus, disertasi tahun 2004 oleh W. Runa; Tata Spasial Desa-desa di Bali kaitannya dengan aspek sosial-religius dan menemukan konsep ruang sakral dan profan sebagai konsep penataan desa-desa tersebut, tahun 1986 oleh AP. Parimin; Penelitian tentang arsitektur ini mengkaji spasial permukiman yang terbentuk karena aspek-aspek sakral-profan, sosial-religius, dan sosial-budaya (Tabel 1).
12
Tabel 1. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan Suku Bajo A No
Judul
Nama
Lokus
Penelitian Bidang Arsitektur Permukiman Suku Bajo Fokus/Hasil Penelitian
Tahun
Karaktedistik Tempat tinggal Tinggal Tradisional Komunitas Suku Bajo
Suharto Arvan
Desa Bajoe Kab. Bone Sul-Sel
2
Transformasi Permukiman Suku Bajo
Amir Salipu; Jumran
Kel. Bajo Kotif. Watampone SulSel
3
Pengaruh Bentukan Arsitektur dan Iklim Terhadap Kenyamanan Thermal Tempat tinggal Tinggal Suku Bajo di Wil. Pesisir Keberadaan Tempat tinggal Suku Bajo Terhadap Perubahan Lingkungan Tempat Tinggalnya
Juhana
Bajoe, Kab. Bone Sul-Sel
Syahdiana Syam
Kel. Bajoe, Kab. Bone Sul-Sel
Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village : Environmental Hierarchy of Sacred-Profane Concept in Bali Inhabitation Process And Spatial Order of Living Space In The Urban Riverside Settlement (A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia)
Ardi P. Padimin
Bali
Konsep ruang sakral dan profan sebagai konsep fundamental dalam konfigurasi ruang desa-desa tradisional Bali
Paradigma fenomenologi, metode induktif-kualitatif
Disertasi, 1986
Ahmad Sarwadi
Permukiman Tepian Sungai Musi, Palembang
Ada beberapa hal yang berpengaruh pada proses bermukim dan pembentukan spasial pada ruang tinggal : asal penghuni, cara memperoleh tempat tinggal, tempat bermukim, dan aturan dalam menata ruang dalam tempat tinggal rakit dan tempat tinggal tiang.
Kualitatif - Grounded
Disertasi, 2002
4
Menelusudi dan menjelaskan bentuk dan cidi khas tempat tinggal tinggal tradisional dalam lingkungan permukiman komunitas suku Bajo serta aspek-aspek yang berpengaruh terhadap tempat tinggal tinggalnya Faktor lingkungan merupakan pendorong terjadinya perubahan sosial budaya suku Bajo, perubahan terutama pada sistem nilai budaya . Hal ini tercermin pada makna, pola hidup, kondisi fisik lingkungan dan bangunan (tempat tinggal, tapak), dan meningkatnya sosial ekonomi pemukim, Tempat tinggal Tinggal suku Bajo yang tercipta dari hasil budaya Appabolang , mampu mengantisipasi iklim untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunan. Pengaruh bentukan tempat tinggal tinggal karena lokasi, odientasi (timur-barat), bentuk dan denah, bukaan, atap dan dinding, overstek, matedial dan warna, pole penataan hunian. Eksistensi merupakan hasil adaptasi-adjusment dengan lingkungannya. Implikasi dari adaptasi-adjusment terjadi perubahan pada tempat tinggal tinggal dan lingkungan permukiman, tradisi bermukim menetap dan mendekati daratan.
Metode
1
Kualitatif
Tesis, 1999
Rasionalistik
Tesis, 2000 Tesis, 2010
Pendekatan Fenomenologi, Metode Deskdiptif Etnografik
Tesis, 2001
Rasionalistik
Tesis, 2003
Arsitektur Permukiman 1
2
13
3
Sistem Spasial Desa Pegunungan di Bali dalam Perspektif Sosial-Budaya Permukiman Masyarakat Batak Mandailing
I Wayan Runa
Bali
Sistem budaya lokal menentukan wujud dan perubahan sistem spasial desa
Paradigma fenomenologi, metode induktif-kualitatif
Disertasi, 2004
Cut Nuraini
Kosmologi lokal (Mandailing), religi lokal dan kondisi fisik lokal menentukan arsitektur spasial permukiman desa masyarakat Batak Mandailing
Paradigma fenomenologi, metode deskdiptifkualitatif dan melakukan induksi-kualitatif
Tesis, 2002
Arsitektur Masyarakat dan Arsitektur Spasial Pada Arsitektur Permukiman Masyarakat Dawan Di Desa Kaenbaun Di Pulau Timor Arsitektur Permukiman Berbasis Punden Desa Kapencar Lereng Gunung Sindoro Kabupaten Wonosobo
Y. Djarot Purbadi
Permukiman Masyarakat Batak Mandailing di Sumatera Utara Desa Kaenbaun Pulau Timor
Paradigma fenomenologi, metode induktif-kualitatif
Disertasi, 2008
VG. Sri Rejeki
Desa Kapencar Lereng Gunung Sindoro Kabupaten Wonosobo
Paradigma fenomenologi, metode induktif-kualitatif
Disertasi, 2012
Arsitektur Hunian Suku Dayak Bukit Kajian atas perubahan dan keragaman dengan pendekatan Etnografi
Bani Noor Muchamad
Kawasan Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan
Arsitektur spasial ditopang oleh empat konsep spesifik yaitu : konsep persaudaraan etnis, kemenyatuan nenek moyang dan Gereja, konsep keragaman kultur dalam kesatuan dan konsep menyatu dengan alam. Keempat konsep itu berakal dalam satu konsep penting yaitu “Menyatu dengan Tuhan, Nenek Moyang, Sesama saudara dan Alam semesta. Falsafah Pengayoman sebagai spidit hidup berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan arsitektur keruangan desa yang ditandai dengan adanya Punden (sebagai simbol).Falsafah ini terbentuk oleh empat konsep yaitu konsep papan aman, konsep pembedi jaminan gesang, konsep papan keblat dan konsep papan brayan.Hubungan antar konsep bagi masyarakat desa akan membedi pengayoman hidup dan mempengaruhi pola keruangan desa. Hunian suku Daya Bukit terbagi atas konsep Balai-Adat dan konsep Bubuhan. Konsep Balai-Adat menjelaskan ruang inti dan pertumbuhan hunian. Konsep Bubuhan menjelaskan sistem kekerabatan SDB dalam ruang dan bentuk hunian, serta sistem kekerabaatan dalam hunian dan tradisi bermukim. Konsep Balai Adat dan Bubuhan secara utuh menjadi konsep hunian Suku Dayak Bukit.
Pendekatan Etnografi
Disertasi, 2013
1
Pemberdayaan Suku Bajo
Sunarto Amus
Kab. Banggai Kepulauan SulTengah
2
Perubahan Sosial, Ekonomi, dan Permukiman Suku Bajo
Nuzul
Desa Lasama Kec. Tiworo Kep. Kab. Muna SulTeng
4
5
6
7
B
Penelitian Bidang Non Arsitektur Pemberdayaan suku Bajo dapat ditempuh dengan memadukan berbagai pendekatan komprehensif integral baik ekonomi, social maupun budaya. Pemberdayaan dilakukan dengan cara menghilangkan kendala struktural yang menimbulkan kesenjangan diantara masyarakat serta meningkatkan kualitas SDM sehingga mendukung taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Terjadi perubahan social suku Bajo di desa Lasama setelah mereka bermukim di darat dalam bidang sosial (pendidikan, kesehatan, interaksi social), ekonomi, budaya dan permukiman (pola, sarana sanitasi dan aksessibilitas).
Kualitatif
Tesis, 2000
Kuantitatif
Tesis, 2006
14
3
Strukturalisme LEVISTRAUSS Mitos dan Karya Sastra
Heddy Sdi Ahimsa Putra
4
Mantra Melaut Suku Bajo : Interpretasi Semiotik Diffaterre
Uniawati
Kajian Pustaka
5
Mapping Indonesian Bajau Communities in Sulawesi
David Mead dan Young Lee
Sulawesi
6
Orang Bajo, Masyarakat Pengembara Laut
Francois-R. Sacot
Desa Torosiaje, Kab. Boalemo Gorontalo
7
Menjadi Konservasionis : Konstruksi Identitas Sosial oleh Orang Bajo dalam Program Konservasi Alam di Kep. Togean, SulTengah. Living On boundaries : The Orang Bajo of Tinakun Laut, Indonesia.
Sundjaya
Kepulauan Togean Kab. Tojo Una-una
Lotte Kemkens
Pulau Tinakun Laut, Kab. Luwuk Banggai, SulTengah
Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo
La Ode Taufik Nuryadin
Pulau Baliara Sul-Tenggara
8
9
Levi Strauss menggunakan paradigma struktural tidak hanya untuk menganalisis mitos, tetapi juga gejala sosial yang lain, yaitu sistem kekerabatan, totemisme, dan sistem klasifikasi pdimitif. Selain itu mengetahui pandanganpandangan Levi-Strauss yang lebih teoditis mengenai antropologi dan ilmu sosial pada umumnya. Mantra melaut merupakan identitas kehidupan suku Bajo dalam mengenal laut. Kajian memperlihatkan adanya hubungan dengan teks Al-Qur’an dalam isi mantra.Makna yang terkandung menggambarkan kepercayaan suku Bajo terhadap Tuhan sebagai pemilik Alam, mahluk dan kekuatan-kekuatan gaib. Tulisan ini menyajikan sekumpulan peta yang menggambarkan lokasi suku Bajo Sulawesi Indonesia, yang diperbaharui setelah pertama kali dilakukan oleh Addiani dan Kruyt (1914). Dari peta terdapat lebih dari seratus lima puluh lokasi di seluruh Sulawesi. Penggambaran peta dilakukan berdasarkan bahasa (dialek, dan penggunaan bahasa dan vitalitas bahasa secara keseluruhan) Suku Bajo yang mulanya tinggal di perahu, sekarang telah menghuni pulau, pesisir dan daratan. Dalam perpindahan ini terjadi suatu perubahan kebudayaan dalam kehidupan mereka. Dalam sejarah kehidupan mereka cara hidup, nilainilai, diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol. Konservasi alam digunakan untuk membentuk identitas sosial orang Bajo dalam membedakannya sebagai ‘perusak terumbu karang’. Identitas di (re)produksi lewat proses sosial, dimana ‘artikulasi’ dan ‘pemosisian’ guna membangun batas-batas antara ‘perusak karang’ dan ‘konservasionis’ dalam berbagai konteks interaksi sosial. Identitas orang Bajo biasanya terletak di kawasan perbatasan. Beberapa faktor mencegah penduduk lokal bergerak menjauh dari perbatasan termasuk lingkungan fisik, kerusakan lingkungan, ekonomi dan pandangan orang. Konsep 'komunitas Perbatasan' digunakan untuk menggambarkan komunitas perbatasan dalam memainkan peran sentral dalam kehidupan sehadi-hadi dan pembangunan identitas kolektif. Kapital sosial kurang membedikan ruang yang jelas terhadap keberadaan komunitas, meskipun pada tipologi bonding social capital sangat kuat dalam sistem sosial. Posisi komunitas dalam struktur sosial sangat
Strukturalisme
Buku, 2006
Pendekatan Heudistik dan Hermeneutik
Tesis, 2007
Penggunaan Bahasa
Jurnal, SIL International, 2007
Etnografi
Buku, 2007
Etnografi
Tesis, 2008
Etnografi
Tesis, 2009
Kuantitatif
Disertasi, 2010
15
10
Orang Bajo Di Tengah Perubahan
Nasruddin Suyuti
Desa Sulaho Kab.Kolaka SulTenggara
penting sehingga perlu dipertegas keberadaannya dalam tipologi kapital sosial. Dalam kehidupan sosial budaya orang Bajo dapat beradaptasi dengan kelompok minoritas (Bugis), karena faktor kebutuhan-kebutuhan, walaupun interaksinya dalam jangka waktu lama. Mereka senantiasa berusaha meningkatkan kehidupan sosial ekonomi dan meningkatkan status sosialnya, sehingga meninggalkan predikatnya sebagai masyarakat terasing.
Kualitatif
Buku, 2011
16
E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah melakukan eksplorasi arsitektur permukiman suku Bajo sehingga menemukan konsep dasar arsitektur permukiman dan nilai-nilai yang mempengaruhi terbentuknya arsitektur permukiman. Selain itu penelitian bertujuan menemukan konsep/teori lokal arsitektur permukiman suku Bajo pulau/desa Kabalutan, yang mengandung tradisi budaya leluhur (nenek moyang) dan kaitannya dengan ruang permukiman. Temuan penelitian menggambarkan kespesifikan arsitektur permukiman suku Bajo sehingga pada masa akan datang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan permukiman terutama bagi masyarakat/warga pulau/desa, di kawasan perairan, pesisir pantai, dan daratan pantai, khususnya pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una Propinsi Sulawesi Tengah maupun bagi ilmu pengetahuan secara umum.
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini sebagai bagian dari penelitian tentang kehidupan budaya masyarakat maritim di Indonesia, khususnya masyarakat yang tinggal di kawasan perairan (pulau-pulau dan pesisir pantai) dengan kondisi alam dan lingkungan yang sangat spesifik. Manfaat teoritis adalah menghasilkan konsep (teori lokal) arsitektur permukiman suku Bajo terutama di pulau/desa Kabalutan dan kepulauan di Sulawesi, serta melengkapi konsep-konsep (teori) arsitektur permukiman yang telah ada. Secara khusus, manfaat dari penelitian adalah mendapatkan pemahaman tentang pembentukan arsitektur permukiman oleh kehidupan budaya dan sosial pemukim, kondisi alam dan iklim lingkungan permukiman perairan, serta eksistensi suku Bajo sebagai pemukim di pulau/desa Kabalutan. Manfaat teoritisnya adalah menghasilkan konsep (teori) lokal baru tentang arsitektur permukiman perairan, dan melengkapi teori-teori lokal permukiman perairan lainnya. Secara khusus, penelitian meningkatkan pemahaman tentang budaya bermukim suku Bajo yang tinggal di pulau/desa Kabalutan dan pulau
17
lainnya sekaligus keberadaan permukiman suku Bajo sebagai pusaka budaya yang bertahan hingga saat ini. Manfaat praktis penelitian, yaitu menghasilkan konsep menyeluruh arsitektur permukiman suku Bajo khususnya dan permukiman perairan umumnya, sehingga dapat digunakan untuk pengembangan permukiman yang memuat sejumlah nilainilai budaya lokal pemukimnya. Temuan merupakan konsep lokal (teori lokal), menjadi pedoman dan langkah awal dalam pembangunan, pengembangan, pelestarian permukiman suku Bajo serta permukiman perairan yang mempunyai kondisi alam, lingkungan dan penduduk (suku Bajo), baik di pulau/desa Kabalutan, seluruh pulau Sulawesi maupun di Indonesia umumnya.
G. Lingkup Penelitian Lokasi penelitian adalah pulau/desa Kabalutan kabupaten Tojo Una-una merupakan salah satu permukiman yang terletak diantara gugusan pulau dan dihuni oleh suku Bajo. Permukiman terdiri atas kumpulan tempat tinggal tinggal, sarana dan prasarana, sebagian besar
dibangun di air dan sebagian kecil di
daratan bukit karang karena luasan yang sangat terbatas. Lingkup penelitian adalah disiplin ilmu arsitektur yang mengemukakan arsitektur permukiman yang terbentuk oleh perubahan kehidupan budaya, sosial, ekonomi pemukim, perubahan alam, iklim, lingkungan sehingga mempengaruhi aktivitas dan nilai-nilai kehidupan masyarakatnya. Penelitian menggunakan pendekatan/metoda fenomenologi Husserl dengan teknik induktif-kualitatif, sehingga mendapatkan konsep arsitektur permukiman suku Bajo.
18