BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Semakin berkembangnya kemajuan di bidang industri kesehatan, menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh penyedia layanan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit dan orangorang yang bekerja di dalamnya diharapkan mampu memenuhi tuntutan dari kondisi sekarang sehingga tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan pada rumah sakit, pengguna layanan rumah sakit maupun pada pegawai yang bekerja di rumah sakit baik dokter, bidan maupun perawat. Keperawatan adalah profesi yang berhubungan dengan aspek-aspek manusia mengenai kesehatan dan penyakit. Keperawatan adalah suatu pekerjaan yang memerlukan kerja keras, berbesar hati, dan memerlukan banyak pendidikan dan
pelatihan.
Profesi
keperawatan
sering
berkaitan
langsung
dengan
kelangsungan hidup bagi pasien. Tuntutan fisik, kondisi lingkungan, bahaya, risiko kehidupan seseorang, risiko kehidupan orang lain menjadi sebuah tantangan sendiri bagi profesi perawat. Selain itu, perawat merupakan penentu dalam mewujudkan kualitas pelayanan keperawatan dan citra pelayanan kesehatan di rumah sakit. Hal ini dikarenakan perawat merupakan tenaga kesehatan di rumah sakit yang memberikan pelayanan keperawatan selama 24 jam setiap hari (Jong, Leeman & Middlekoop, 2009) dan perawat memiliki proporsi terbesar di rumah sakit yaitu
1
2
40% - 75% dari seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit (Noprianty, 2012). Jumlah perawat yang berada di rumah sakit akan berdampak pada interaksi ke pasien baik secara langsung maupun tidak langsung (Gillies, 1994). Interaksi perawat dan pasien menjadi berkurang semenjak pemerintah mulai memberlakukan jaminan kesehatan bagi warga miskin (jamkesmas), jaminan persalinan bagi keluarga miskin (jampersal) dan jaminan kesehatan yang dikeluarkan
oleh
pemerintah
daerah
(jamkesda).
Hal
ini
dikarenakan
membludaknya jumlah pasien yang berobat setiap harinya di rumah sakit. Masyarakat yang awalnya dari segi ekonomi tidak mampu berobat dan tidak menyadari pentingnya memeriksakan dirinya ke puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya kini menjadi bersemangat untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit. Keadaan demikan membuat pihak rumah sakit kewalahan menghadapi pasien-pasien tersebut. Hal ini tidak menjadi masalah ketika membludaknya pasien diimbangi dengan tersedianya fasilitas yang memadai dan jumlah tenaga medis yang ada tetapi dalam situasi saat ini membludaknya pasien tidak diimbangi dengan fasilitas yang memadai dan jumlah tenaga medis yang ada. Berikut ini adalah data yang menujukan situasi jumlah tenaga medis yang ada di Indonesia, yaitu: Tabel 1. Situasi Tenaga Medis di Indonesia Tenaga Kesehatan Keadaan akhir 2012
Kebutuhan 2013
Kekurangan 2013
Dokter Umum
17.750
19.268
1.518
Dokter gigi
6.878
9.244
2.366
Perawat
105.419
112.599
7.180
Perawat Gigi
10.217
12.166
1.949
Bidan
101.947
105.339
3.392
3
Apoteker
1.539
5.525
3.986
Tenaga Farmasi
8.274
13.512
5.238
Kesehatan masyarakat
21.442
23.040
1.598
Sanitarian
10.505
12.166
1.661
Ahli Gizi
9.588
11.247
1.659
Analis kesehatan
5.017
7.885
2.868
298.576
331.988
33.412
TOTAL
Sumber: Berita Wapres (Boediono, 2013) Dari data diatas dapat dilihat bahwa kebutuhan tenaga kesehatan di Indonesia masih kurang untuk tahun 2013 yaitu sebesar 33.412 dan tenaga kesehatan terbesar yang dibutuhkan saat ini yaitu perawat sebesar 7.180. Kekurangan tenaga perawat sangat terasa dampaknya pada pelayanan kesehatan saat perawat berhadapan langsung dengan pasiennya. Kekurangan perawat juga berdampak pada peningkatan ketidakpuasan kerja dan burnout pada perawat (Aiken, Clarke, Sloane, Sochalski, Busse, Clarke, Giovanneti, Hunt, Rafferty & Shamian, 2001). Kekurangan tenaga perawat juga diungkap pada sebuah jejak pendapat tahun 2008, lebih dari 10.000 perawat menunjukkan bahwa lebih dari separuh perawat
sedang
mempertimbangkan
meninggalkan
pekerjaan
sebagai
perawat. Hal yang mereka pertimbangkan untuk meninggalkan posisi mereka yaitu hampir setengah menyatakan bahwa kekurangan staf menjadi sebuah alasan utama (American Nurse Association, 2009). Penelitian oleh Aiken, Clarke, Sloane Sochalski dan Silber (2002) menunjukkan temuan yang sama, 43% dari perawat bedah dengan tingkat burnout yang tinggi mengatakan bahwa mereka merencanakan untuk meninggalkan pekerjaan mereka dalam 12 bulan ke
4
depan. Sebuah survei dari perawat yang akan meninggalkan profesinya pada tahun 2004 menemukan bahwa 46% dikarenakan stres dan burnout (Bureau of Health Professions, 2006). Hasil survei yang dilakukan oleh Aiken et al (2001) pada 43.329 perawat di 5 negara menunjukkan bahwa kebanyakan perawat di lima negara tersebut mengalami ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Setelah diukur menggunakan Maslach Burnout Inventory (MBI), hasil persentase signifikan didapatkan bahwa 30%-40% perawat diseluruh negara terkecuali di Jerman memiliki nilai burnout yang relatif tinggi dibandingkan dengan norma bagi pekerja medis. Berdasarkan hasil wawancara awal dengan Kepala Bidang Kepegawaian RSUD Banjarnegara pada tanggal 14 Juni 2013 menjelaskan bahwa saat ini terjadi peningkatan keluhan pengguna layanan rumah sakit yang berkaitan dengan kurang ramahnya perawat, lambat ketika menangani panggilan dari kamar pasien, cara berbicaranya yang ketus. Kejadian ini terutama terjadi pada pasien yang menggunakan fasilitas jamkesmas, jamkesda maupun jampersal. Hal ini berdampak pula pada pelayanan pasien yang tidak menggunakan jamkesmas. Dari hasil observasi dan wawancara awal pada tangal 14 Juni 2013 di RSUD Banjarnegara, saat ini terjadi penumpukan pasien yang menyebabkan seluruh pasien menempati ruang transit sebelum masuk ke ruang perawatan. Pasien bukan hanya berasal dari jamkesmas saja yang menempati kelas paling bawah, tetapi dari pasien kelas utama maupun kelas menengah juga akan menempati ruang transit sebelum kebagian ruang perawatan. Keadaan tersebut
5
yang menyebabkan perawat kewalahan dalam mengatasi pasien yang menumpuk. Menurut Kepala Bagian Kepegawaian RSUD Banjarnegara, penumpukan pasien tersebut sangat mungkin menyebabkan kejenuhan yang dialami perawat. Selain itu, menurut data yang didapat dari kepala bagian Keperawatan RSUD Banjarnegara menyatakan bahwa RSUD Banjarnegara saat ini masih kekurangan tenaga perawat. Jumlah perawat saat ini dianggap belum ideal untuk menangani pasien di rumah sakit tersebut walaupun penambahan tenaga perawat setiap tahun dilakukan dan mendapat bantuan dari mahasiswa praktik sekolah keperawatan. Hingga saat ini perawat di RSUD Banjarnegara hanya berjumlah kurang lebih 173 orang. Satu perawat di RSUD Banjarnegara harus bekerja dua kali lipat dari situasi sebelumnya. Saat ini satu perawat bisa bekerja 3000 jam pertahun. Idealnya, seorang perawat hanya memiliki jam kerja 1500 jam per tahunnya. Selain itu, perawat yang bekerja pada shift malam memiliki jam kerja yang lebih panjang daripada yang bekerja pada shift pagi dan shift sore dan jumlah perawat yang bekerja pada shift malam lebih sedikit dibandingkan yang shift pagi dan sore. Hal ini dimungkinkan bisa menimbulkan burnout pada perawat di RSUD Banjarnegara. Masalah ini juga diungkap oleh Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang mengatakan, pihak rumah sakit kerepotan mengantisipasi naiknya jumlah pasien miskin tersebut. Masyarakat dihimbau agar tidak berharap petugas kesehatan akan selalu tersenyum. Petugas yang tidak tersenyum saat melayani pasien bukan berarti mereka tidak ramah, melainkan karena faktor kelelahan 2013).
(Movementi,
6
Kondisi seperti ini akan memicu stres kerja yang terjadi pada perawat. Ketidakmampuan perawat untuk memenuhi semua kebutuhan dan tuntutan pasien merupakan pemicu stres kerja yang terjadi pada perawat (Greenglass, Burke & Fiskenbau, 2001). Apabila perawat tidak mampu mengatasi stres kerja yang dialaminya maka perawat tersebut akan mengalami burnout. Pines dan Aronson (Schaufeli & Buunk, 1996) menyatakan burnout sebagai suatu keadaan fisik, kelelahan emosional dan mental yang disebabkan oleh keterlibatan jangka panjang dan dalam situasi pekerjaan yang menuntut emosional. Kelelahan fisik ditandai dengan energi yang rendah, kelelahan kronis, kelemahan dan berbagai keluhan fisik dan psikosomatik. Kelelahan emosional melibatkan perasaan tidak berdaya, putus asa dan pemerangkapan. Kelelahan mental mengacu pada pengembangan sikap negatif terhadap pekerjaan dan kehidupan itu sendiri. Burnout terjadi apabila tujuan mereka tidak tercapai yang disertai dengan perasaan kekurangan dan miskin harga diri menjadi seorang profesional. Burnout harus diantisipasi karena apabila burnout telah terjadi maka menimbulkan dampak yang negatif. Dampak kronis dari burnout mencakup perselisihan interpersonal dalam lingkungan kerja dan menurunkan kinerja, tidak energik dan berkurangnya minat terhadap pekerjaan mereka, disamping itu juga dapat meningkatkan ketidakhadiran atau dalam bentuk psikologis seperti penarikan diri dari masyarakat. Seseorang yang menderita burnout selanjutnya dapat menyebabkan pemberontakan, meninggalkan lingkungan kerja baik dengan resign atau meninggalkan pekerjaan karena ketidakmampuannya.
7
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa burnout berdampak pada biaya pengeluaran yang cukup besar untuk organisasi karena efek negatif yang dihasilkan dari burnout, misalnya: turnover intention (Schaufeli & Bakker, 2004; Janssen, De Jonge, Bakker, 1999; Kim & Stoner, 2008), absensi (Lambert, Hogan, & Altheimer, 2010), prestasi kerja (Cropanzano, Rupp, & Byrne, 2003), kepuasan kerja (Kalliath & Morris, 2002), penurunan kesehatan fisik (Ericson & Grove, 2007) dan komitmen organisasi (Leiter & Maslach, 1988), sehingga burnout merupakan suatu hal yang penting untuk dipahami oleh pimpinan-pimpinan dalam suatu perusahaan. Burnout diakui sebagai risiko pekerjaan untuk berbagai profesi yang berorientasi pada orang, penelitian telah dilakukan secara ekstensif antara perawat (Leiter & Maslach, 2009), guru (Burke & Greenglass, 1993) dan pekerja sosial (Acker, 1999; Abu-Bader, 2000). Burnout sangat penting di kaji khususnya pada profesi yang berkaitan dengan pelayanan seperti burnout yang terjadi pada perawat RSUD Banjarnegara menyadari bahwa burnout merupakan fenomena yang terjadi saat ini di rumah sakit tersebut dikarenakan kenaikan jumlah pengunjung setiap harinya. Selain itu, burnout dapat memberikan konsekuensi negatif pada diri perawat itu sendiri, kinerja perawat dan hasil yang diterima oleh pengguna layanan rumah sakit. Hal ini menjadi penting untuk dikaji karena perawat merupakan cerminan dari pencitraan baik atau buruknya suatu rumah sakit. Faktor yang mempengaruhi burnout salah satunya adalah karakteristik pekerjaan yang mencakup beban kerja (Shaufeli & Buunk, 1996; Hart & Wickens, 1990; Gueritault-Chalvin, Kalichman, Demi & Peterson 2000; Cullent, Silverstein
8
& Fole, 2008; Pedrini, Laura, Giovannini, Panetta, Zacchi, Rossi & Plancentino, 2009; Diestel & Schmidt, 2009). Menurut Berry dan Houston (1993), beban kerja digambarkan dalam kondisi kualitatif dan kuantitatif overload. Kualitatif overload, terjadi ketika sebuah pekerjaan dianggap terlalu sulit untuk dikerjakan dan kuantitatif overload, terjadi ketika terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Semua kondisi beban kerja ini sangat potensial menjadi stressor. Beban kerja yang berlebihan merupakan sumber umum stres yang diakibatkan pekerjaan ketika pekerjaan tersebut membutuhkan kecepatan yang berlebihan, output atau konsentrasi (Riggio, 2009). Menurut Blise dan Haverson; Carayon et al (Riggio, 2009), beban kerja yang berlebihan dilaporkan banyak terjadi pada air traffic controllers, courtroom attorneys, dan pekerja dibidang kesehatan. Hasil penelitian dari Basarovska, Karadzinska-Bislimovska, Stoleski dan Mijakoski (2007) pada 205 sampel perawat menunjukkan bahwa faktor yang berkontribusi terhadap stres kerja salah satunya yaitu beban kerja yang tinggi. Beban kerja menduduki peringkat pertama yang mempengaruhi seseorang mengalami stress pada pekerjaannya. Stress pada pekerjaan akan berdampak pada burnout pada perawat itu sendiri. Lebih dari 70% perawat dalam penelitian tersebut memiliki skor tinggi pada kelelahan emosional. Setelah itu diikuti dengan rendahnya prestasi pribadi dan skor yang rendah pada depersonalisasi. Selain itu hasil penelitian dari Kiekkas, Fotis, Aretha dan Sakellaropoulos (2010) menunjukkan burnout pada perawat ortopedi relatif tinggi. Kelelahan emosional memiliki nilai rata-rata yang relatif tinggi berkaitan dengan beban kerja
9
yang berlebihan. Menurut Demir et al (Kiekkas et al, 2010) menemukan bahwa kelelahan emosional yang tinggi pada perawat yang bekerja di rumah sakit pemerintah dipengaruhi oleh kurangnya personel. Hal serupa juga djelaskan oleh Cullen et al (2008), beban kerja yang dialami biomekanis akan menunjukkan burnout yang tinggi terutama berkaitan dengan peningkatan tuntutan kerja yang dirasakan. Pines (2002) juga menyatakan kelebihan beban kerja ditemukan berkorelasi dengan burnout untuk manajer Amerika tetapi tidak untuk manajer Israel. Manajer Israel dan Amerika berbeda dalam tingkat stres dan burnout. Beban kerja menjadi suatu topik yang menarik untuk dikaji dikarenakan beban kerja profesi keperawatan relatif berat yang mengarah pada burnout. Kekurangan
tenaga
perawat
disaat
kebutuhan
pasien
meningkat
akan
menyebabkan beban kerja perawat semakin meningkat. Perawat yang bekerja dibawah tuntutan baik dari atasannya, limpahan tugas-tugas dari dokter dan tuntutan dari pasiennya merupakan bagian dari beban kerja yang dialami oleh perawat. Hal ini merupakan penyebab terjadinya burnout yang dialami oleh perawat. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya burnout yaitu faktor hardiness. Menurut Maddi dan Khoshaba (1994), hardiness didefinisikan sebagai karakteristik kepribadian yang menggambarkan individu dengan tiga kecenderungan yang saling terkait yaitu: tantangan, komitmen, dan kontrol. Istilah tantangan mencerminkan pandangan hidup yang memungkinkan seseorang untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan untuk berkembang dan bukan sebagai ancaman. Individu yang kuat dalam komitmen adalah individu yang
10
percaya pada kebenaran dan nilai mengenai siapa mereka dan apa yang mereka lakukan. Mereka memiliki perasaan yang bermakna, memiliki tujuan dalam pekerjaan, terlibat dalam pekerjaan mereka dan tidak menjadi terasing karena takut, ketidakpastian, atau kebosanan. Istilah kontrol mencerminkan keyakinan bahwa seseorang dapat mempengaruhi jalannya peristiwa kehidupan dalam batas wajar. Individu yang memiliki hardiness akan memiliki rasa penguasaan pribadi internal, menghadapi masalah dengan percaya diri ketika menggunakan kemampuan mereka untuk menerapkan solusi yang efektif, daripada merasa tak berdaya, kurang percaya diri dan inisiatif, dan memanipulasi orang lain. Hardiness yang dialami perawat berkaitan dengan pengabdian diri perawat terhadap tugas-tugas yang ringan, mudah maupun pada tugas-tugas yang berat. Pada umumnya sesuatu yang berat dan sulit dilaksanakan oleh perawat sehingga memerlukan banyak pengorbanan dan daya tahan dalam pelaksanaan kegiatannya. Tugas yang berat tanpa dukungan sosial, hardiness dan kesiapan akan pengorbanan-pengorbanan
yang
dilakukan
oleh
perawat
akan
sangat
memungkinkan perawat tersebut mengalami stres dan kemudian mengalami burnout. Beberapa penelitian menyatakan bahwa hardiness untuk memediasi efek stres pada burnout. Artinya, orang yang memiliki hardiness yang tinggi, ketika mereka berada dibawah tekanan besar, mereka tidak akan mengalami burnout dalam pekerjaan mereka. Hal ini juga disampaikan dari hasil penelitian Shaufeli dan Buunk (1996) yang menyatakan bahwa hardiness akan berhubungan dengan burnout. Selain itu hasil penelitian D’Ambrosia (1986) menunjukkan bahwa ada
11
hubungan antara hardiness dan burnout yang dialami perawat onkologi. Perawat onkologi yang memiliki level tinggi hardiness akan mengalami burnout yang lebih kecil. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ada hubungan antara hardiness dengan burnout (Marsh, Beard, Adams, 1999; Kelly & Burns, 1997; Talarico, 1989). Semakin tinggi level dari hardiness yang dimiliki maka akan mengakibatkan semakin rendah burnout. Hipotesis tersebut masuk akal, tetapi dalam penelitian lainnya, ditemukan suatu hal yang kontradiktif. Hasil penelitian Toscano dan Ponterdolph (1998), tidak menunjukkan suatu hubungan yang signifikan antara hardiness dengan burnout pada 250 perawat bagian perawatan kritis. Selain itu hasil penelitian Rowe (1998) juga menunjukan bahwa hardiness tidak memperhitungkan sejumlah besar varians dari burnout. Hal ini bisa terjadi karena perubahan dalam perkembangan dalam kemajuan bidang kesehatan ataupun faktor lain yang lebih mempertimbangkan tinggi rendahnya burnout misalnya faktor ikhlas atau tidaknya seorang perawat menjalankan profesinya. Chizanah (2011a, 2011b) menjelaskan ikhlas pada dasarnya adalah pemurnian ibadah atau perbuatan, semata-mata untuk mencari kedekatan dengan Tuhan. Seseorang yang memiliki kesungguhan untuk menjadi ikhlas pada akhirnya mengarahkan pada sikap hidup yang positif seperti penerimaan dan ketulusan menolong. Ikhlas diharapkan dapat dilakukan pada pekerjaan apa saja terutama bidang pelayanan termasuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh perawat.
12
Ikhlas merupakan salah satu hal yang susah dilakukan. Hal ini disebabkan karena ketidakmenentunya hati dengan apa yang ingin dilakukan. Terkadang seseorang bisa ikhlas dalam melakukan suatu pekerjaan, tetapi terkadang seseorang bisa melakukan pekerjaan tersebut tetapi mereka tidak ikhlas dan terkadang mereka tidak melakukan pekerjaan dikarenakan mereka tidak ikhlas dalam bertindak. Padahal ikhlas merupakan suatu hal yang diperlukan dalam bertindak terutama pada bidang pelayanan kesehatan oleh perawat karena diperlukan untuk membantu orang lain. Ikhlas juga merupakan suatu tolak ukur dalam kebaikan yang telah dilakukan. Apabila seseorang melakukan kegiatan dengan ketidakikhlasan maka kegiatan tersebut akan sia-sia dan tidak berarti. Hal lain yang dapat mendorong seseorang lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal-amal kebaikannya. Setelah apapun yang seseorang lakukan sebaiknya tidak untuk dibicarakan tetapi lebih baik disembunyikan. Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Tuhan (PPNI RSUP dr. Sardjito, 2012). Perawat diharapkan dapat mengabdikan dirinya dan memberikan pelayanan yang terbaik ke pasiennya dengan ikhlas tanpa memperdulikan besarnya imbalan yang diterima. Hal ini menjadi susah diterapkan mengingat profesi seorang perawat dengan tuntutan kebutuhan hidup yang tinggi, yang menyebabkan memandang segala sesuatu berdasarkan materi yang dapat menyebabkan ikhlas dan menolong setulus hati akan tegantikan dengan nilai besar dan kecilnya suatu imbalan yang diterima oleh perawat.
13
Fenomena ini menjadi menarik berkaitan dengan sikap yang ditunjukan perawat ketika melayani pasien dengan mimik wajah yang jahat, tidak bersahabat dan berkata yang kasar pada pasien. Seharusnya seorang perawat akan merasa terpanggil hatinya untuk membantu mengatasi keluhan-keluhan dari pasiennya. Perawat diharapkan langsung mengambil tindakan cepat ketika melihat pasien merintih kesakitan, terbaring lemah tidak berdaya, murung, dan takut tanpa memilih-milih identitas pasien dan memperhitungkan besaran imbalan yang diterima pada saat itu. Selain itu perawat diharapkan dapat melayani pasien tersebut dengan sepenuh hati, ikhlas dan berupaya penuh mengatasi setiap masalah agar pasien cepat pulih tanpa memikirkan imbalan yang akan didapatkan. Perawat yang tidak ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya diperkirakan akan mudah mengalami burnout dikarenakan perawat tersebut melawan kehendak hatinya dalam membantu orang lain. Penelitian Witkowski dan Sobol (2012) mengenai burnout yang dialami oleh kalangan profesional menyebutkan bahwa ikhlas akan berhubungan negatif dengan burnout. Apabila skor dari ikhlas rendah maka akan mengakibatkan burnout yang lebih tinggi. Perawat yang bekerja dengan ketidakikhlasan maka perawat akan mudah mengalami burnout. Sebaliknya perawat yang melayani dengan sepenuh hati dan penuh keikhlasan akan berdampak pada rendahnya tingkat burnout yang dialami perawat karena perawat tersebut mampu mengkesampingkan hal-hal materi dan lebih memandang tugas yang di emban adalah tugas mulia dan merupakan salah satu etika yang seharusnya dimiliki perawat dalam membantu orang lain. Apapun yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan pada masyarakat tidak peduli dari golongan
14
atas, bawah maupun menengah semata-mata dilakukan hanya untuk Tuhan sehingga diharapkan tidak muncul burnout yang dialami oleh perawat. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: ”Peranan Beban Kerja, Hardiness dan Ikhlas pada Burnout”
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Apakah beban kerja, hardiness dan ikhlas secara bersama-sama berperan pada burnout?”
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan beban kerja, hardiness dan ikhlas secara bersama-sama pada burnout.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat: 1. Menambah khasanah pengembangan pengetahuan dalam kajian ilmu psikologi industri dan organisasi khususnya berkaitan dengan beban kerja, hardiness dan ikhlas pada burnout. 2. Memberikan masukan kepada Rumah Sakit mengenai kondisi beban kerja dengan karakteristik kepribadian hardiness yang berbeda-beda setiap perawat dan kondisi ikhlas yang dimiliki perawat dalam mengerjakan tuntutan dan tugas-tugas yang dialami perawat yang dapat berkontribusi pada burnout.
15
3. Memberikan pertimbangan bagi Rumah Sakit agar dapat mencari antisipasi apabila menghadapi masalah yang berkaitan dengan burnout, beban kerja, hardiness dan ikhlas sebagai upaya preventif terhadap menurunnya kinerja perawat.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Sebagai bahan perbandingan dengan penelitian sebelumnya, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan burnout, beban kerja, ikhlas dan hardiness. Hasil penelitian dari Rowe (1998) mengenai Hardiness as a stress mediating factor of burnout among healthcare providers terhadap 264 sampel pelayan kesehatan, menunjukkan hasil dari analisis statistik univariat mengidentifikasi bahwa orang yang mengalami burnout dilaporkan mengalami stres yang lebih besar dan sifat hardiness akan berkurang. Namun, ketika dianalisis menggunakan statistik multivariat menunjukkan bahwa sifat hardiness tidak memperhitungkan sejumlah besar varians dari burnout setelah stres dan kecemasan memasuki persamaan regresi. Secara umum, variabel terbaik untuk memprediksi burnout adalah stres dan kecemasan, bukan hardiness. Hasil penelitian dari Bussing dan Hoge (Bakker, Xanthopoulou, Dolard, Demereuti, Schaufeli, Taris, & Schreurs, 2007) mengenai beban kerja dengan burnout menunjukan bahwa tingginya tingkat beban kerja, tuntutan emosional, tuntutan fisik dan gangguan pekerjaan maupun rumah tangga tidak menimbulkan tingginya tingkat burnout dan sinisme jika karyawan mengalami tingkat otonomi yang memadai, menerima umpan balik dan dukungan sosial, atau memiliki
16
hubungan berkualitas tinggi dengan supervisor mereka. Namun, penelitian ini tergantung dengan kelompok karyawan tertentu. Penelitian dari Cullent et al (2008) mengenai Linking Biomechanical Workload and Organizational Practices to Burnout and Satisfaction mengatakan bahwa beban kerja biomekanis menyumbang sebagian kecil tapi signifikan terhadap burnout. Beban kerja menyumbang hanya 4% terhadap burnout. Penambahan model tuntutan pekerjaan mengakibatkan tambahan 8% pada burnout. Hasil penelitian dari Pedrini et al (2009) yang berjudul Burnout in Nonhospital Psychiatric Residential Facilities dengan jumlah 202 sampel menunjukkan bahwa kelelahan mental berhubungan dengan beban kerja yang tinggi, usia, variasi tugas, identitas tugas, umpan balik. Selain itu depersonalisasi dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umpan balik mengenai hasil. Prestasi pribadi secara signifikan berhubungan dengan usia, beban kerja, umpan balik tentang hasil, identitas tugas, dan respon terhadap aspirasi. Tetapi, ketika variabel-variabel dimasukkan bersama-sama, hanya usia dan identitas tugas berhubungan dengan prestasi pribadi. Penelitian Gueritault et al (2000), Work-related stress and occupational burnout in AIDS caregivers: Test of a coping model with nurses providing AIDS care, terhadap 445 perawat pasien AIDS ditemukan bahwa beban kerja secara signifikan memprediksi burnout sebesar 5,6%. Kemudian usia diuji sebagai prediktor burnout dan setelah mengendalikan beban kerja ditemukan usia secara signifikan memprediksi burnout sebesar 2,8%. Setelah mengontrol umur dan
17
beban kerja, locus of control ditemukan secara signifikan memprediksi skor burnout sebesar 4,5%. Selanjutnya, koping eksternal signifikan memprediksi burnout sebesar 13,6%. Penelitian dari D’Ambrosia (1986) yang berjudul A study to examine if there is a relationship between burnout and hardiness of nurse working with oncology patients dengan subyek penelitian sebanyak 121 perawat dibagian onkologi menunjukkan bahwa ada hubungan antara hardiness dan burnout yang dialami perawat onkologi. Perawat onkologi yang memiliki level tinggi hardiness akan mengalami burnout yang lebih kecil. Penelitian Witkowski dan Sobol (2012) dengan judul Professional burnout - a comparative analysis considering the selected sectors in Poland sebanyak 508 karyawan yang berada di Polandia didapatkan hasil bahwa burnout yang dialami oleh kalangan karyawan dari berbagai profesi menyebutkan bahwa ikhlas memiliki hubungan negatif terhadap burnout. Apabila skor dari ikhlas rendah maka akan mengakibatkan burnout yang lebih tinggi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah disebutkan diatas adalah variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu beban kerja, hardiness dan ikhlas belum pernah diteliti terhadap burnout sebagai variabel tergantung. Penelitian burnout sebelumnya dilakukan pada karyawan beragam profesi maupun tenaga kesehatan yang fokus pada instansiinstansi tertentu pada suatu rumah sakit, maka dalam penelitian ini ditujukan hanya untuk perawat dari beragam instansi dalam satu rumah sakit. Selain itu penelitian ini dilakukan di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah Banjarnegara.