I.
PENDAHULUAN
1.1. Permasalahan Sedimentasi di pelabuhan merupakan permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian. Hal tersebut menjadi penting karena pelabuhan adalah unsur terpenting dari jaringan moda transportasi air, dan menjadi tempat bersandar dan bongkar muatnya kapal baik kapal niaga maupun kapal penumpang. Kegiatan pelabuhan yang efektif dan efisien tidak hanya memberikan kontribusi yang besar bagi daerah hinterland (daerah di belakang pelabuhan), tetapi juga berkontribusi dalam perkembangan daerah hinterland pelabuhan-pelabuhan lain yang terhubung. Kegiatan dalam pelabuhan yang efektif dan efisien yang dimaksud misalnya kapal datang dan meninggalkan pelabuhan tepat pada waktunya, kemudahan kegiatan bongkar dan muat barang di pelabuhan, kinerja terhadap pelayanan kapal yang efisien dan sebagainya. Alur pelayaran sebagai jalan untuk mengarahkan kapal yang akan menuju kolam labuh dan meninggalkan pelabuhan ditentukan berdasarkan jalur lalu lintas dan ukuran kapal yang dilayani, sehingga harus mempunyai kedalaman dan lebar yang cukup untuk dapat dilalui kapal dengan aman. Pendangkalan alur pelayaran dan kolam labuh merupakan masalah utama yang dihadapi oleh beberapa pelabuhan di Indonesia. Pendangkalan tersebut diakibatkan oleh angkutan sedimen sejajar pantai (longshore transport). Longshore transport adalah angkutan sedimen sejajar pantai yang disebabkan oleh longshore current dan terjadi di daerah surf zone. Surf zone adalah daerah antara gelombang pecah hingga garis pantai. Problem pendangkalan yang terjadi adalah karena alur pelayaran dan kolam labuh tersebut dilintasi oleh aliran atau gerakan sedimen, baik oleh sedimen dasar (bed load) atau sedimen melayang (suspended load). Alur pelayaran tersebut juga merupakan tempat terjadinya arus, terutama yang disebabkan oleh pasang surut. Apabila angkutan sedimen menyusur pantai di daerah tersebut relatif besar, maka alur pelayarannya dapat terendapi sedimen dan akan menyebabkan kedalaman alur pelayaran berkurang sehingga kapal-kapal tidak dapat berlabuh tambat di dalam kolam labuh. 1
Gambar 1.1 dan Gambar 1.2 adalah contoh pelabuhan yang berada pada wilayah surf zone. Dermaga yang dibangun adalah dermaga tipe pier/jetty karena kedalaman yang dibutuhkan jauh dari darat. Kedua pelabuhan tersebut mengalami problem pendangkalan di alur pelayaran dan kolam labuh.
surf zone
Gambar 1.1. Pelabuhan PT Semen Gresik, Tuban (Google earth, 2013) Permasalahan pendangkalan di pelabuhan dapat diatasi dengan beberapa alternatif, diantaranya adalah dengan bangunan breakwater, metode pengerukan (dredging) dan metode fluidisasi. Kegiatan pengerukan yang terlalu sering (periode pendek) selain biayanya cukup mahal juga akan mengganggu kegiatan pelabuhan. Sebagai contoh, pada kasus Pelabuhan Pertamina Balongan, pendangkalan yang terjadi adalah sebesar 750,000 m3/tahun. Selain mahal, kegiatan pengerukan sangat mengganggu kegiatan bongkar muat BBM. Metode fluidisasi relatif murah dibandingkan dengan metode pengerukan serta mudah dalam pengoperasiannya, namun metode ini tidak dapat diterapkan pada semua kondisi alur pelayaran dan kolam labuh. Pada kasus Pelabuhan PT Semen Gresik Tuban dan Pelabuhan Pertamina Balongan, perlindungan pelabuhan dari masalah pendangkalan dengan membangun breakwater sangat tidak efisien karena membutuhkan biaya yang sangat mahal. 2
Selain mahal, keberadaan breakwater dapat menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan, yaitu terjadinya sedimentasi di salah satu sisi breakwater dan erosi di sisi breakwater yang lain.
surf zone
Offshore zone
Shoal zone
Littoral zone
Gambar 1.2. Pelabuhan Pertamina Balongan (Google earth, 2013) Alternatif lain untuk menghindari dan mengurangi pendangkalan tersebut, dibuat bangunan Underwater Sill (UWS) atau bangunan Submerged Dike (SD). Kedua bangunan tersebut pada prinsipnya adalah sama, yaitu bangunan yang ditujukan sebagai pengendali sedimen di pelabuhan. Bangunan SD telah diterapkan di Pelabuhan Kumamoto, Jepang, adapun bangunan UWS telah diterapkan di Pelabuhan PT Semen Gresik, Tuban. Fungsi dari kedua bangunan tersebut adalah untuk melindungi alur pelayaran dan kolam labuh dari masalah pendangkalan. Pengamatan di lapangan terhadap bangunan SD menunjukkan bahwa bangunan SD mampu mencegah sedimentasi sekitar 30% dari total pengendapan tanpa bangunan SD (Tsuruya et al., 1994). Hasil analisis peta bathimetri terhadap Pelabuhan PT
3
Semen Gresik (Persero) menunjukkan bahwa laju pendangkalan di kolam labuh setelah dibangun UWS dapat berkurang dari 1.0 − 1.70 m/tahun menjadi sekitar 0.40 m/tahun. Pendangkalan di kolam putar berkurang dari 0.40 − 1.20 m (rerata 0.80 m/tahun) menjadi sekitar 0.35 m/tahun (Yuwono, 2001). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa penerapan bangunan UWS adalah cukup berhasil memberikan manfaat efisiensi ekonomi yang cukup signifikan dengan berkurangnya biaya operasi dan pemeliharaan alur pelayaran dan kolam labuh dari masalah pendangkalan. Untuk itu maka diperlukan penelitian tentang kinerja bangunan UWS dalam mengendalikan pola aliran untuk keperluan pengendalian sedimentasi di kolam labuh.
1.2.
Kebaharuan Penelitian Irie et al. (2002) melakukan pengembangan model matematik multi lapis
metode finite difference untuk memprediksi angkutan lumpur (mud) di pelabuhan. Hasil penelitian kemudian dikalibrasikan dengan menggunakan data pengamatan di lapangan. Hidayat (2004) mengaplikasikan model matematik multi lapis metode finite difference untuk mengamati perilaku transpor lumpur (mud) di dalam slim tank (lebar = 20 cm) dan dikalibrasikan dengan model fisik. Penelitian dalam disertasi ini mengaplikasikan model matematik multi lapis metode Karakteristik untuk mengkalibrasi dan memverifikasi data hasil penelitian 2 dimensi mengenai pola arus di sekitar bangunan UWS. Saptono et al. (2000) dan Hidayat (2004) melakukan penelitian model fisik 2 dimensi dengan menempatkan model bangunan UWS selebar saluran. Hal yang berbeda dari penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah bahwa model bangunan UWS yang diuji mempunyai lebar hanya 30% lebar saluran, sehingga fenomena adanya pembelokan arus akibat keberadaan UWS dapat diamati. Penelitian model fisik juga dilakukan dalam saluran gelombang untuk mengamati pola aliran menyusur pantai di sekitar bangunan UWS dengan menggunakan tracer. Tabel 1.1 menyajikan persamaan dan perbedaan penelitian disertasi ini dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penjelasan untuk Tabel 1.1 secara rinci akan diuraikan pada sub bab berikutnya.
4
Tabel 1.1. Hasil penelusuran literatur
Tsuruya et al. (1990)
Yuwono et al. (1999)
Numerik (3D) multi Model fisik lapis metode finite (2D) difference
Model fisik (2D), lebar uws = lebar flume
Fluid mud
Sedimen suspensi
Metode
Materi Sedimen
Variabel
Hasil Penting
Saptono et al. (2000)
a. ℎ (tinggi UWS), (kedalaman air) b. , , (kecepatan arah , , ) c. konsentrasi mud, settling velocity d. gelombang
Tanpa Sedimen
a. Gaya gelombang pada bangunan UWS b. (tinggi gelombang), ℎ (tinggi UWS), (kedalaman air) UWS mereduksi Bangunan UWS sedimen 30% yang sangat tipis mengakibatkan refraksi gelombang bisa diabaikan.
Irie et al. (2002) 1. 2.
Fisik (2D) Numerik (3D)
Fluid mud
Hidayat, (2004)
Bhakty et al. (2010)
Yuwono et al. (2012)
1. Fisik (2D) Lebar UWS = Lebar flume 2. Numerik (3D)
Fisik (2D)
Fisik (flexiglass flume)
Fluid mud
Sedimen hipotetik
Sedimen hipotetik
a. Kecepatan a. Bentuk UWS aliran ( ) b. Uji tanpa b. ℎ⁄ , aliran, uji (konsentra aliran, uji si sedimen gelombang suspensi) c. Ketebalan mud
a. Bentuk UWS a. ℎ⁄ b. Tanpa b. Kecepatan Aliran, aliran ( ) Aliran, c. Layout Gelombang UWS c. Ketebalan mud
a. ℎ⁄ b. , , (kecepatan arah , , ) c. Layout UWS d. Konsentrasi sedimen hipotetik ( )
Efektifitas UWS dipengaruhi kecepatan aliran & kecepatan endap
Semakin tinggi konsentrasi sedimen, maka kemampuan sedimen melintasi UWS semakin kecil.
Distribusi kecepatan aliran arah vertikal di sekitar UWS
Tampang lintang bentuk inverse-v terbaik dalam perlindungan siltasi
Bentuk UWS hampir streamline terbaik dalam mendefleksikan aliran
Disertasi ini (2015) 1. Fisik (flexiglass flume) Lebar UWS ≠ lebar flume 2. Numerik (3D) multi lapis metode Karakteristik 3. Fisik (Kolam gelombang) Tanpa Sedimen
−ℎ ⁄ = ⁄ , , (kecepatan arah , , ) c. Layout UWS ⁄ (perbandingan d. jarak UWS terhadap lebar saluran) a. b.
5
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
kinerja bangunan UWS dalam mengendalikan pola aliran menyusur pantai (longshore current) di lokasi kolam labuh. Pengendalian pola aliran ini diharapkan dapat dipergunakan untuk memprediksi besarnya sedimentasi yang akan terjadi di kolam labuh. Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka disusun tujuan khusus penelitian sebagai berikut. 1. Mendapatkan pemahaman tentang parameter-parameter yang berpengaruh terhadap mekanisme bangunan UWS dalam mengendalikan pola aliran menyusur pantai di lokasi kolam labuh. 2. Mengkaji pengaruh bentuk dan parameter utama UWS yaitu ⁄ ,
⁄ dan
dalam mengendalikan pola aliran menyusur pantai di lokasi kolam labuh. 3. Mendapatkan pengetahuan tentang pemanfaatan pengendalian pola aliran menyusur pantai oleh UWS untuk keperluan pengendalian sedimentasi di kolam labuh.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan yang signifikan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Teknik Pantai, serta menjadi masukan untuk melengkapi penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Manfaat yang diharapkan dari sudut pandang aplikasi teknik adalah dapat memberi masukan terkait dengan keperluan perencanaan aplikasi UWS dalam pengendalian aliran menyusur pantai yang nantinya dipergunakan untuk memprediksi besarnya sedimentasi yang akan terjadi di kolam labuh.
1.5.
Batasan Penelitian Permasalahan pemodelan tentang arus dan angkutan sedimen menyusur
pantai sangat rumit, sedangkan model fisik dan metode pengukuran yang digunakan tidak dapat memodelkan kejadian secara keseluruhan. Agar penelitian ini masuk dalam kategori dapat dilaksanakan, serta penyelesaian penelitian fokus pada tujuan
6
yang telah ditetapkan, berikut ini diuraikan beberapa batasan penelitian diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Fluida yang digunakan adalah air tawar, salinitas dan pengaruh mineral air tidak diperhitungkan, 2. Pengaruh arus pasang surut tidak diamati. 3. Pada penelitian 3 dimensi, kelandaian model pantai yang digunakan adalah 1: 15. Nilai tersebut ditentukan berdasarkan kondisi fasilitas di laboratorium. 4. Gelombang yang dibangkitkan adalah gelombang teratur (reguler wave). 5. Untuk menghindari refleksi dan pengaruh hambatan arus akibat keberadaan dinding pembatas area yang dimodelkan, maka pada dinding pembatas diberi lubang berukuran 2 × 2 cm2 selebar daerah surf zone yang berfungsi untuk meneruskan arus. Pengukuran arus dilakukan di sekitar model yang terletak di tengah area pemodelan.
7