BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Permasalahan Perempuan sudah lama menjadi sorotan meski baru dalam tahun-tahun terakhir lebih gencar diperhatikan, khususnya di Indonesia. Pandangan perempuan sebagai “yang lain” atau manusia “yang ke dua” membuat perempuan dalam banyak masyarakat mengalami berbagai ketidakadilan, baik dalam lingkup publik maupun domestik. Ketidakadilan dalam ranah publik bisa terjadi di tempat kerja seperti perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik maupun institusi pemerintah yang menerima mereka sebagai karyawan, sedangkan ketidakadilan dalam ranah domestik bisa diterima perempuan dari kalangan keluarga mereka sendiri dan dari majikan yang menggaji mereka, jika mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Sayangnya, ketidakadilan-ketidakadilan termasuk kekerasan demi kekerasan yang dialami para perempuan, khususnya para PRT seringkali belum begitu dilihat sebagai sesuatu yang sangat memprihatinkan dan merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini makin langgeng karena dalam pekerjaan ini, para PRT dibuat seolah-olah tidak berhak atas tubuhnya dan menjadi milik majikan mereka. Tempat terjadinya ketidakadilan yang berada di wilayah private dan tersembunyi juga mempersulit pengungkapan kasus-kasus kekerasan tersebut. Kecuali kekerasan yang terjadi benar-benar parah dan memberikan bukti yang tak terelakkan, seperti bekas-bekas penyiksaan hingga kematian. Dalam banyak wacana feminis, para feminis ini banyak yang yakin bahwa ketidakadilan yang dialami perempuan sangat dimungkinkan terjadi dalam sebuah budaya patriarkh. Dalam budaya ini laki-laki menjadi manusia yang senantiasa diperhatikan dan yang utama, menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan dapat dieksploitasi untuk kepentingan para laki-laki. Laki-laki sebagai penguasa memberinya ruang untuk bertindak sesuai dengan keinginannya, bahkan dalam menentukan nasib “yang lain” atau “yang ke dua” tersebut1. Pemerkosaan para PRT oleh majikan laki-laki mereka memperlihatkan kekuasaan laki-laki yang sangat besar, sebab jika PRT melaporkan perbuatan majikan laki-laki mereka kepada nyonyanya, mereka bukannya mendapatkan pembelaan, malah disalahkan dan dipulangkan ke tanah air tanpa tindakan hukum terhadap laki-laki yang telah menidurinya dengan paksa. Masyarakat Indonesia maupun Malaysia (sebagai negara yang banyak dituju para PRT) seolah-olah sepakat bahwa yang utama dalam kehidupan manusia adalah laki-laki dan segala kepentingannya, sehingga
1
Goenawan Moh, catatan pinggir “Gandhari”, Tempo, 7 Januari 2007, p. 114
1
mengorbankan para PRT demi menyelamatkan laki-laki di rumah mereka tampaknya bukan sesuatu yang janggal. Harus diakui bahwa perempuan memang masih menjadi manusia yang tidak beruntung di dalam masyarakat. Ketidakberuntungan perempuan, terlebih perempuan miskin dijelaskan oleh Loekman Soetrisno sebagai berikut: ketidakberuntungan
yang
pada umumnya orang miskin saja sudah memiliki 5
membuat
mereka
mudah
mendapatkan
ketidakadilan.
Ketidakberuntungan tersebut adalah: (1) kemiskinan (poverty); (2) kelemahan secara fisik (physical weakness); (3) kerentanan (vulnerability); (4) keterisolasian (isolation); dan (5) ketidakberdayaan (powerlessness)2. Kelima ketidakberuntungan yang dimiliki oleh orang miskin itu, bagi para perempuan masih harus bertambah dengan masalah ketidakadilan gender yang diterima dari masyarakat yaitu karena dia berjenis kelamin perempuan. Dalam masyarakatpun ini dapat dengan mudah dilihat, bahwa seorang laki-laki sekalipun miskin masih lebih beruntung dan masih lebih ‘berharga’ daripada perempuan dari keluarga yang sama. Paling tidak di rumah tangganya, dia masih lebih dihargai sebagai kepala keluarga, sehingga jarang sekali mengalami kekerasan fisik maupun psikis dari masyarakat dan keluarga. Tetapi apakah kekerasan atau ketidakadilan yang dialami para perempuan ini selalu saja pelakunya laki-laki? Pertanyaan ini penting, mengingat seringkali laki-laki dijadikan biang keladi penderitaan para perempuan. Dalam banyak kasus yang terjadi pada para pekerja rumah tangga, ironisnya, perempuan yang memiliki kuasa lebih dibandingkan dengan perempuan lain, turut di dalam memperbanyak jumlah ketidakadilan dan kekerasan yang diterima sesamanya perempuan. Penyusun melihat bahwa dalam budaya yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, sekalipun sama-sama perempuan, perempuan miskin yang secara ekonomi tergantung kepada seseorang lebih banyak memiliki kemungkinan mengalami kekerasan dibandingkan para perempuan yang memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu di dalam hidupnya. Tetapi kecurigaan penyusun adalah hal-hal sosial yang ada di balik penindasan perempuan, baik yang dilakukan laki-laki maupun perempuan, tampaknya memiliki muatan ketidakadilan gender yang menjadi faktor pendorong terjadinya berbagai kekerasan dan penindasan ini. Indonesia sendiri sebagai negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang parah memperlihatkan dalam kehidupan bermasyarakat masih sangat banyak berbagai bentuk penindasan yang dialami perempuan. Terlebih-lebih perempuan yang bekerja dalam ranah domestik, dimana kebanyakan dari mereka datang dari keluarga miskin. Dalam banyak kasus yang dimiliki oleh para PRT, para PRT ini seringkali mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Kekerasan yang dialami mereka tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik dan 2
Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan & Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1997. p. 18
2
psikis secara umum tetapi juga banyak di antara mereka mengalami kekerasan seksual dari majikannya yang membuat PRT ini kemudian merasa malu dan jijik pada tubuhnya sendiri. Hal seperti ini beberapa kali diungkap oleh media massa atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), namun kemudian sangat jarang menjadi perhatian khusus berbagai kalangan. Gereja sebagai bagian dari masyarakat sepertinya juga tidak menunjukkan reaksi yang signifikan melihat ketidakadilan yang terjadi pada PRT ini. Keadaan para PRT Indonesia yang berada di luar negeri dan mengalami banyak ketidakadilan hingga pengusiran tanpa hak-hak yang seharusnya mereka terima, mengingatkan penyusun pada kisah Hagar yang ada dalam Kejadian 16:1-16 dan 21:8-21. Cerita tentang Hagar dan Sarai di dalam kedua teks tersebut merupakan bagian dari cerita tentang janji TUHAN kepada Abram tentang berkat dan keturunan, yang pertama kali dimaklumkan kepada Abram di dalam Kej. 12:1-3. Pembaca tahu bahwa Sarai mandul (Kej. 11:30) tetapi janji itu berulang kali disampaikan TUHAN kepada Abram membuat Sarai yang mandul mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah keluarganya. Sesuai dengan adat istiadat dan hukum keluarga yang berlaku saat itu, Hagar sebagai hamba perempuan yang berada di bawah kekuasaan Sarai, dijadikan jawaban atas persoalan Abram dan Sarai yaitu dengan memberikan Hagar kepada Abram untuk ‘membangun’ keibuan Sarai. Kedua teks ini memang cukup banyak ditafsirkan, tetapi penafsiran yang memakai perspektif laki-laki tentu kurang melihat suara dari perempuan-perempuan yang diceritakan di dalam teks, sehingga pengalaman Hagar yang tampaknya mengalami pemanfaatan, kekejaman, dan penolakan3 diabaikan, bahkan dianggap nada minor dalam keluarga Abram. Bahkan terkadang, Hagar didudukkan sebagai perempuan yang memiliki karakter negatif, karena memandang rendah nyonyanya setelah dia mengandung tanpa memperhatikan faktor-faktor sosial masyarakat di balik sikap Hagar yang berubah sikap dan memandang nyonyanya rendah. Padahal jika memperhatikan kehidupan Hagar sebagai perempuan yang tidak hanya miskin, bahkan juga tidak memiliki kemerdekaan karena kedudukannya sebagai seorang hamba perempuan Sarai sangatlah memprihatinkan. Hagar yang di dalam masyarakat merupakan perempuan yang tidak diperhitungkan, banyak mengalami kesulitan, kekerasan, dan ketidakadilan dari Sarai, nyonyanya. Menurut hemat penyusun, meski Hagar bukan siapa-siapa di dalam masyarakatnya, tetapi dia tidak sepatutnya mengalami perlakuan seburuk seperti yang diterimanya dari Sarai, TUHAN dan Abram. Penyimpangan hukum masyarakat yang dilakukan oleh Sarai, Allah dan Abram pada akhirnya mengantar Hagar dan Ismael ke ambang kematian di padang gurun (Kej. 21:15,16).
3
John L. Thompson, “Hagar, Victim or Villain?” dalam The Catholic Biblical Quarterly no. 59, 1997, p. 213
3
Penindasan yang dialami oleh Hagar bermula dari pandangan masyarakat tentang keturunan (Toledot) yang sangat erat hubungannya dengan hak kesulungan (bekhorah) dan Berkat (berakhah).4 Meskipun J. P. Fokkelman melihatnya dari sudut pandang sastra, tetapi jelas terlihat bahwa keberadaan seorang anak sangat penting dalam kehidupan masyarakat Israel kuno. Berkat dan janji TUHAN pada suatu keluarga akan sia-sia jika tidak ada prokreasi yang terjadi. Hal ini secara langsung memiliki keterkaitan dengan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kodrat untuk melahirkan. Perempuan menjadi manusia yang sangat penting peranannya di dalam kelangsungan keturunan dalam suatu keluarga. Ketidakmampuan berprokreasi bagi seorang perempuan menjadi masalah yang sangat besar karena dua alasan yaitu bahwa memiliki anak, khususnya anak laki-laki, merupakan pokok penting dalam kebudayaan Israel5 dan tidak memiliki anak dalam masyarakat patriakal sama saja dengan kehilangan status6. Status bagi seorang perempuan Israel kuno seperti Sara, dapat datang dari dua hal yang istimewa yang dia miliki. Keistimewaan ini terkait dengan segala urusan di dalam rumah tangganya. Pertama adalah statusnya sebagai seorang istri dari seorang yang kaya, Sarai menjadi kepala dari istri-istri yang lain, namun kemungkinan Sarai adalah satu-satunya istri legal Abram. Dan yang ke dua adalah sesuatu yang merupakan konsekuensi dari yang pertama, bahwa anak laki-lakinya akan menjadi ahli waris Abraham. Tetapi Sarai tidak memiliki anak, apalagi anak laki-laki, dan oleh karena itu statusnya menjadi lemah dan masyarakat bisa saja menekannya dan menghilangkan status itu sampai dia dapat melahirkan seorang anak laki-laki,7 atau memberikan perempuan lain kepada Abram, sehingga Abram memiliki ahli waris hasil hubungannya dengan seorang perempuan. Sangat mungkin pola budaya inilah yang membuat Sarai memberikan Hagar kepada Abram. Sebagai seorang budak, Hagar tinggal di rumah Abraham untuk melayani Sarai, sehingga status Hagar bergantung kepada Sarai, nyonyanya, istri Abram8. Diceritakan, setelah mereka tinggal bersama-sama di Kanaan selama 10 tahun, Abram dan Sarai telah lanjut usia. Meskipun telah lanjut usia, tetapi Sarai tidak beranak (16:1) dan tampak putus asa karena fungsi terpentingnya sebagai istri yaitu melahirkan seorang anak tidak dapat dia lakukan9 sehingga dia memutuskan untuk memberikan Hagar kepada Abraham dan berharap supaya melalui Hagar dia 4
J. P. Fokkelman, “Genesis” dalam Robert Alter dan Frank Kermode (eds.), The Literary Guide to the Bible. Chambridge: Harvard University, 1987, p. 42 5 Katharine Doob Sakenfeld, Just Wives: Stories of Power and Survival in the Old Testament and Today, Louisville: Westminster John Knox Press, 2003. p.7 6 J. Cheryl Exum, “Mother in Israel: A Familiar Figure Reconsidered”, dalam Lettv M. Russel (ed.), Feminist Interpretation of the Bible, NewYork: Page Bross Ltd, 1985, p. 11 7 Jo Ann Hackett, “Rehabilitating Hagar: Fragments of An Epic Pattern”, dalam Peggy L. Day ( ed.), Gender and Difference in Ancient Israel, Minneapolis: Fortress Press, 1989, p. 13 8 Susan Niditch, “Genesis” dalam Carol A. Newson dan Sharon H. Ringe (eds.), The Women Bible Commentary, Louisville: Westminster John Knox Press, 1992, p. 17 9 Rulon Miller, “Hagar: A Woman with an Attitude” dalam Philips R. Davis dan David J. A. Clines (eds.), The World of Genesis, England: Sheffield Academic Press ltd, 1998, p.72
4
dapat memperoleh seorang anak (16:2).10 Sarai di masa tuanya akhirnya menyuruh Abram untuk menghampiri Hagar supaya Hagar memberikan keturunan bagi Abram. Keturunan yang dipahami Sarai dan Abram sebagai penggenapan janji TUHAN kepada Abraham yang kelak menjadi Bapa segala bangsa. Sarai berpendapat bahwa garis keturunan Abram mungkin tidak lahir melalui dirinya. Abram ternyata mendengar, menyetujui rencana Sara. Ia menghampiri Hagar dan membuatnya mengandung seorang anak. Tidur dengan tuan rumah dan kemudian mengandung, bagi seorang hamba seperti Hagar bisa jadi merupakan suatu kehormatan yang besar yang untuk pertama kalinya akan membuat Hagar memiliki status di dalam masyarakat karena anak laki-lakinya akan menjadi ahli waris Abram11. Kemungkinan besar pandangan masyarakat tentang anak inilah yang kemudian membuat Hagar memandang rendah Sarai dan Sarai tidak terima dengan perlakuan Hagar itu kepadanya. Kemudian penindasan berikutnya dialami Hagar ketika Sarai melihat anaknya, Ishak bermain dengan Ismael. Lalu, persoalan itu merembet pada masalah hak ahli waris yang juga seperti masalah keturunan tadi, merupakan hal yang sangat penting juga di dalam masyarakat. Kedua alasan itu menjadi dasar penindasan yang dialami Hagar sebagai perempuan yang posisinya lemah di dalam keluarga dan masyarakat. Kedudukan Hagar yang tidak sejajar dengan Sarai sangat mungkin membuat Hagar tidak bisa mengadakan perlawanan. Apalagi setelah Abram menyerahkannya di bawah kekuasaan Sarai. Di sini terjadi pola Polycoity yakni istri sah memiliki kekuasaan lebih dibandingkan istri ke dua.12 Sarai mendapatkan kekuasaan domestiknya dari Abram, sehingga ia leluasa menindas Hagar. Dengan posisi yang lebih rendah, Hagar dikembalikan ke posisinya (Kej. 16:6) bahkan menjadi wanita tuna wisma, teraniaya dan orangtua tunggal bagi anaknya (Kej. 21:14).13 Miller mengungkapkan ini sebagai sesuatu yang sangat menyedihkan dimana Hagar mengalami pengasingan karena ditindas oleh Sarai dan lebih dari itu, TUHAN berada di pihak Sarai dan turut mendukung penindasan yang dialami Hagar. Dari uraian di atas, penyusun merumuskan permasalahan dalam teks Kejadian 16:1-16 dan 21:8-21 ini sebagai berikut: Faktor-faktor sosial masyarakat seperti apakah yang mendorong terjadinya penindasan terhadap Hagar? Adakah hukum masyarakat yang dilanggar oleh Sarai, Abram dan TUHAN yang memperparah keadaan Hagar sebagai seorang hamba perempuan? Apakah makna teks ini bagi kehidupan penyusun saat ini?
10
J. Cheryl Exum, “Mother in Israel: A Familiar Figure Reconsidered”, p. 13 Jo Ann Hackett, “Rehabilitating Hagar: Fragments of An Epic Pattern”, p. 13 12 Katharine Doob Sakenfeld, Just Wives: Stories of Power and Survival in the Old Testament and Today, p. 7 13 Rulon Miller, “Hagar: A Woman with an Attitude” , p.60 11
5
I. 2. Judul Skripsi Judul yang dipilih penyusun untuk skripsi ini adalah:
TAFSIR SOSIOLOGIS-FEMINIS PENINDASAN HAGAR
Penjelasan Judul: Tafsir sosiologis-feminis adalah pendekatan yang dipakai penyusun untuk menafsirkan perihal penindasan yang terjadi di dalam kehidupan Hagar. Pendekatan ini dipilih karena dapat menolong penyusun dalam menemukan gambaran kehidupan sosial teks ini.14 Gambaran sosial ini terutama terkait dengan kehidupan masyarakat saat itu. Pandangan-pandangan mereka tentang sesuatu termasuk juga pandangan mereka tentang TUHAN. Selain itu, dengan ilmu sosiologi dapat diketahui bahwa seseorang di dalam masyarakat memiliki pandangan dan sikap tertentu bukan tanpa sebab musabab tetapi karena adanya nilai-nilai tertentu yang berkembang di dalam masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir dan sikap orang tersebut. Sosiologi sangat membantu seorang penafsir teks di dalam mengetahui alasan-alasan seseorang atau suatu kelompok memiliki sikap dan tindakan tertentu terhadap sesuatu atau seseorang. Tidak hanya itu, dengan bantuan sosiologi penyusun juga dapat tertolong di dalam menafsirkan kata-kata khas15 yang dipakai di dalam cerita tersebut. Pendekatan ini juga akan sangat membantu penyusun menemukan perspektif baru tentang kehidupan Hagar, sebagai perempuan yang digambarkan hidup di masa lampau dalam satu masa dan tempat. Hal ini penting, menyadari bahwa gambaran perempuan di dalam teks Alkitab hanyalah merupakan sebuah gambaran yang terlalu sedikit untuk mendengarkan suara perempuan hanya melalui yang diberikan teks kepada kita. Sedangkan
perspektif
feminis
akan
menolong
penyusun
menemukan
adanya
ketidakadilan gender di dalam kisah yang dituliskan dalam teks. Perspektif ini memperlihatkan bahwa tindakan-tindakan Sarai, Abram dan TUHAN sarat dengan budaya patriakh yang sangat mengutamakan laki-laki dan menomorduakan perempuan, sehingga segala sesuatu yang dilakukan perempuan diukur dengan nilai dan kepentingan laki-laki. Penggunaan pendekatan sosiologis bersamaan dengan sudut pandang feminis ini dimanfaatkan penyusun karena penemuan-penemuan penelitian sosial yang menolong melihat Israel kuno, memiliki implikasi yang membuat studi gender menjadi lebih efektif.16 Rekontruksi konteks sosial saat itu yang dapat dilihat dari kehidupan Israel kuno dan daerah sekitarnya dapat menjadi pertimbangan 14 N. Steinberg, “Social-Scientific Criticism,” dalam R. J. Loggins dan J. L. Houlden, (Eds.), A Dictionary of Biblical Interpretation, SCM Press, 1990, p. 479 15 Robert R. Wilson, Sociological Approaches to the Old Testament, Philadelphia: Fortress Press, 1984, p. 4. 16 Carol Meyers, Discovering Eve : Ancient Israelite Women in Context, New York : Oxford University Press, 1998 p. 10.
6
tersendiri yang menuntuin penyusun melihat bahwa teks ini tidak polos seperti apa adanya tetapi perlu dicurigai sebagai teks yang mengandung budaya patriarkh yang merendahkan perempuan. Sedangkan kata penindasan yang dimaksud di sini adalah semua bentuk kekerasan yang dialami Hagar yang dilakukan aktor dalam Kej. 16 :1-16 da 21 :8-21. Kata penindasan di sini tidak hanya mengandung makna kekerasan secara fisik, tetapi juga psikis.
I. 3. Tujuan Penyusunan Tujuan penyusunan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor sosial yang berkembang di masyarakat Kejadian 16 :1-16 dan 21 :8-21 yang mendorong terjadinya penindasan terhadap Hagar, juga untuk mengetahui bentuk penyimpangan hukum masyarakat yang ada yang dilakukan oleh Sarai, Abram dan TUHAN sebagai penindas Hagar. Setelah itu, pada akhirnya penyusun berharap dapat memperoleh makna baru dari teks yang sesuai dengan konteks penyusun saat ini.
I. 4. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipakai penyusun adalah metode penelitian pustaka.
I. 5. Sistematika Penyusunan Skripsi Bab I: Pendahuluan Bab ini memaparkan secara umum mengenai permasalahan, rumusan masalah, judul skripsi, metode penelitian, serta sistematika penyusunan skripsi.
Bab II: Perempuan-perempuan di dalam kehidupan Abraham, Ishak dan Yakub Bab ini berisi sekilas kisah para perempuan di dalam kehidupan Abraham, yaitu: Sara, Hagar, Ketura dan gundik-gundiknya yang dia ambil setelah Sara meninggal. Kemudian perempuan dalam kehidupan Ishak, yaitu Ribka, dan perempuan dalam kehidupan Yakub, yaitu lea dan Rahel beserta budak perempuan mereka, Zilpa dan Bilha. Para perempuan ini menjadi konteks luas kehidupan Hagar.
Bab III: Konteks sosial dan tafsiran Kejadian 16:1-16 dan 21:8-21 Bab ini berisi gambaran kehidupan sosial Hagar beserta Sara dan Abraham, dan tafsiran Kej. 16:1-16 dan 21:8-21 sebagai perikop yang dipilih penyusun sebagai bahan untuk melihat kehidupan Hagar.
7
Bab IV: Konteks masa kini Bab ini berisi makna baru dari hasil tafsiran yang terdapat di bab III yang ditarik penyusun ke dalam konteks hidup penyusun di masa kini.
Bab V: Kesimpulan dan penutup Bab ini berisi kesimpulan dan penutup skripsi ini.
8