I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bisnis minuman olahan di Indonesia mengalami perkembangan dari tahun
ke tahun. Konsumsi produk makanan dan minuman olahan di pasar dalam negeri tahun 2001 tetap membaik dan diperkirakan tumbuh sebesar 10-13 persen (Kompas, 2002). Ekspor produk makanan dan minuman olahan tahun 2000 sebesar 955 juta dollar AS. Tahun 2001, ekspor produk makanan dan minuman olahan sebesar 1,04 miliar dollar AS. Tahun 2002, nilai ekspor tidak jauh berbeda dengan nilai ekspor tahun 2001. Pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai ekspor produk minuman olahan tahun 2001 sebesar 25,8 juta dollar, meningkat sebesar 5,3% dibanding nilai ekspor tahun 2000 sebesar 24,5%. Hal ini menandakan bahwa bisnis minuman olahan di Indonesia mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Tabel 1. Ekspor Makanan dan Minuman Olahan (dalam juta dollar AS) PRODUK 1999 2000 Cokelat Olahan 127,0 106,3 Gula Tetes 6,6 5,3 Kerupuk Udang 5,8 6,9 Buah/Sayur Olahan 219,6 187,7 Minuman Olahan 20,8 24,5 Rokok/Tembakau 132,9 157,4 Olahan Daging Ternak 8,8 11,9 Daging Unggas 4,1 1,3 Ikan Olahan 199,5 219,1 Beras Giling 1,5 0,3 Kopi Olahan 0,9 0,4 Teh Olahan 5,1 3,9 Gula Pasir 1,5 0,5 Gula Lainnya 2,9 2,9 Makanan Olahan 221,3 226,9 lainnya Total Ekspor 958,3 955,3
1999-2001 2001 116,2 5,6 8,0 183,2 25,8 194,2 15,2 3,3 238,2 0,7 0,3 5,3 0,6 3,4 242,3 1.042,3
Sumber : BPS dan Gapmmi , 2002
Berdasarkan data Susenas BPS tahun 2001 komoditas makanan yang banyak dikonsumsi adalah beras yang mencapai nilai Rp 20,112 per kapita, rokok sebesar Rp 12.495 per kapita, serta makanan dan minuman siap saji sebesar Rp 11.544 per kapita. Data dari Depperindag menunjukkan impor bahan baku dan penolong berupa makanan dan minuman yang belum diolah untuk industri selama semester pertama (Januari-Maret 2001) mencapai US$332,02 juta. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 34,76% dibanding tahun lalu yang hanya US$246,55 juta. Sementara itu, untuk impor bahan baku dan penolong berupa makanan yang sudah diolah, peningkatannya mencapai 50,47%, yaitu dari US$107,38 juta pada semester pertama tahun lalu naik menjadi US$161,58 juta pada semester pertama ini. Peningkatan ini merupakan indikasi pesatnya kenaikan industri makanan dan minuman di Indonesia. Buktinya, omzet pabrik makanan dan minuman juga mengalami tren kenaikan yang cukup tajam.
Menurut Gabungan Pengusaha
Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) yang dikutip Kompas (2002), tahun 2000 output pabrik besar dan menengah untuk makanan dan minuman mencapai 92,4 triliun Rupiah. Indikasi lain yang cukup menggambarkan hal tersebut adalah meluasnya restoran-restoran sekarang ini. Di semua pusat perbelanjaan hadir juga penjaja makanan dan minuman. Data mengenai perkembangan industri makanan dan minuman olahan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Gapmmi dalam Warta Ekonomi (2001), dilihat dari perkembangannya, industri makanan dan minuman bisa dibilang termasuk yang
2
paling stabil peningkatannya dari tahun 1998 sampai sekarang. Tabel 2. Perkembangan Industri Makanan dan Minuman Olahan di Indonesia (2000-2001) 2000
2001
Industri (unit)
Industri (unit)
Omzet
Omzet
(Trilyun)
(Trilyun)
Industri Besar &
4.661 unit
4.681 unit
Menengah
92,4 trilyun
104,1 trilyun
Industri Kecil
63.613 unit
79.459 unit
8,2 trilyun
8,9 trilyun
Industri Rumah
814.037 unit
822.577 unit
Tangga
11,6 trilyun
12,3 trilyun
Sumber : BPS dan Gapmmi, 2002 Pabrik pengolahan minuman ringan, kacang, dan mi instan, kapasitasnya bahkan
sudah
kembali
seperti
kapasitas
pada
tahun
1996.
Indikator
meningkatnya terlihat dari naiknya volume impor secara tajam atas bahan baku dan bahan penolong. Masuknya beberapa investor asing ke industri makanan dan minuman adalah karena masih besarnya pasar di Indonesia.
Banyak investor yang
mengetahui potensi pasar Indonesia sangat besar. Selain alasan pasar yang besar, masuknya investor asing tersebut juga karena jalur distribusinya sudah ada. Coca-Cola merupakan produsen minuman ringan yang sudah menanamkan investasi besar di Indonesia. Pabrik Coca-Cola di Indonesia ada 11 buah. Pabrik terakhir, yang dibangun pada 1997, investasinya mencapai 180 miliar Rupiah, dengan kemampuan produksi 3.300 polyethylene terephthalate (PET), botol gelas dan kaleng. Di seluruh Indonesia, Coca-Cola melayani 400.000 gerai, belum
3
termasuk ratusan ribu pedagang asongan. Dari angka penjualan tahun 2000, Coca-Cola terjual sebanyak enam juta serving per hari, 1 serving=237 ml. PT. Coca-Cola Indonesia (CCI) merupakan perusahaan yang memasarkan minuman bersoda: Cola-Cola, Sprite, dan Fanta di Indonesia. CCI praktis tidak menemukan kesulitan berarti tatkala mengembangkan merek-merek ternama ini. Selain pasarnya masih besar, pesaing yang berarti di segmen ini juga sedikit. Secara keseluruhan, ketiga merek tersebut mampu merebut 80% pasar minuman berkarbonasi di Indonesia. Ini mengalahkan merek-merek lain sejenis, seperti Pepsi, Miranda, Cruz, dan RC Cola. Adapun besar pasar minuman berkarbonasi, sekitar 15% dari total pasar minuman siap saji (ready to drink) tahun 2000 sekitar 13-14 trilyun Rupiah (Swa, 2001). PT. Coca-Cola Indonesia (CCI) telah berhasil merumuskan diferensiasi terhadap ketiga merek produknya, meskipun sebenarnya target pasar secara demografis relatif sama. Ketiganya menyasar pasar remaja dan anak-anak muda (12-25 tahun). Perbedaannya, Fanta lebih untuk remaja ABG (12-19 tahun), sedangkan Sprite dan Coca-Cola, 15-25 tahun. Jadi, sasaran ketiganya sangat berimpitan, sehingga rawan terjadi kanibalisasi. Pasar remaja merupakan pasar yang sangat besar dan sangat potensial. Menurut Survei Surindo yang dikutip dalam majalah Swa (2000), Jumlah remaja di Indonesia saat ini mencapai 64 juta jiwa. Dengan kata lain, hampir sepertiga penduduk negeri ini terdiri dari kaum belia ini. Tidak mengherankan jika banyak bisnis yang sebelumnya tidak ditujukan khusus remaja, pada akhirnya justru memberi porsi yang besar untuk memenuhi kebutuhan remaja. Misalnya sejumlah restoran dan tempat hiburan yang tadinya ditujukan untuk keluarga atau khusus orang dewasa, akhirnya harus mengalah dengan
4
memberikan porsi yang lumayan besar untuk melayani kebutuhan para belia. Para pengusaha pun dengan senang hati memasang tarif atau harga yang lebih terjangkau, karena ternyata pasarnya sangat besar. Selama
ini
Coca-Cola
diposisikan
sebagai
merek
yang
bercitra
kebersamaan, dalam ikatan nilai kekeluargaan. Citra itu antara lain sebagai minuman penambah semangat, sehingga bukan hanya sekedar melegakan dahaga secara fisik, tapi juga ada dampak emosional atau kesegaran emosional. Maksudnya membuat suasana keluarga dari yang biasa menjadi lebih istimewa dan berarti. Oleh karena itu tagline Coca-Cola adalah “Rasakan semangat CocaCola”, tetapi sekarang diubah menjadi “Segarkan Harimu”. Sprite di sisi lain, lebih diarahkan untuk ABG yang berkarakter ekspresif, melegakan pikiran sehingga bisa berpikir jernih, percaya diri, dan ingin menjadi diri sendiri. Dibanding Coca-Cola, citra Sprite lebih individualis. Hal ini tercermin dari tagline-nya yaitu “Kutahu yang kumau”. Karakter brand Sprite lebih ditekankan kearah personality. Fanta, seperti Coca-Cola juga diposisikan sebagai merek untuk ramairamai atau bercitra kebersamaan. Bedanya, Coca-Cola mengacu pada nilai kebersamaan yang sifatnya kekeluargaan, sedangkan Fanta mengacu kepada kebersamaan yang sifatnya suka-suka. Fanta lebih diarahkan ke remaja yang suka bersenang-senang, suka fun, dan simbol remaja yang jahil. Secara psikologis lebih diarahkan ke remaja atau ABG yang liberal. Hal tersebut ditegaskan dalam slogan atau tagline-nya yaitu “Berbagi ceria di mana saja”. Diferensiasi dari sisi emosi ini kemudian juga dilengkapi dengan diferensiasi dari sisi rasa (taste). Coca-Cola, seperti namanya, bercita rasa kola, Sprite beraroma lemon lime dengan warna yang jernih, sementara Fanta
5
bercitarasa buah (fruit flavor). Menurut Swa (2001), hingga awal tahun 1990-an, Coca-Cola masih memimpin jauh. Kemudian, pada tahun 1995-1998, penetrasi Sprite mulai dikencangkan, iklannya makin gencar. Sementara Fanta, sama sekali tidak dipromosikan dengan iklan, dan hanya bermain di distribusi. Dengan kata lain, di mana ada Coca-Cola dan Sprite, di situ ada Fanta. Barulah tahun 1998, Fanta mulai diorbitkan, dengan iklan di televisi, meski masih mengambil dari luar. Hingga sekarang Fanta tetap diorbitkan dan hasilnya, Fanta yang semula diperlakukan sebagai merek penahan, kini justru mengalahkan pasar Coca-Cola yang dikenal sebagai bendera merek perusahaan Coca-Cola di seluruh dunia. Menurut Titie Sadarini (2001) dalam Swa, dari ketiga portofolio merek tersebut, kini Sprite menyumbangkan 38%, Fanta sekitar 35% dan Coca-Cola hanya 25%. Mengenai aktivitas pemasaran, Coca-Cola memakai media musik untuk promosi, karena musik juga bisa meningkatkan semangat hidup. Namun musik yang dipakai bukan dari musisi amatiran seperti yang ditampilkan pada acara-acara Sprite, tapi pemusik terkenal yang memang disukai oleh publik Indonesia seperti Sheila On 7, Rif dan PADI. Band-band tersebut dijadikan sebagai perantara Coca-Cola dalam menyuarakan semangat hidup. Selain itu, Coca-Cola juga melakukan sampling dengan membagi-bagikan Coca-Cola ke kalangan muda di acara-acara tertentu. Mengingat strategi pemasaran dan diferensiasinya berbeda, maka masing-masing produk CCI mempunyai basis pasar sendiri. Coca-Cola dikenal kuat pemasarannya di metropolitan, atau area urban seperti Jakarta dan Manado. Singkatnya, di kota-kota yang mulai terdapat gaya hidup. Di sisi lain, lebih kuat di area-area sub urban atau di kota pinggiran. Hal ini terkait dengan
6
selera konsumen Indonesia yang sangat suka dengan rasa manis. Di sebagian daerah, masyarakatnya meminum Sprite untuk menghilangkan masuk angin. Menurut Titie Sadarini (2001) dalam SWA, dirinya mengakui bahwa sebenarnya CCI memberi dukungan lebih pada Coca-Cola, karena produk tersebut
merupakan
payung
CCI.
Banyak
kegiatan
korporat
yang
mengatasnamakan Coca-Cola, termasuk ketika perusahaan menyelenggarakan berbagai aktivitas sosial. Sebagai contoh, kegiatan promosi berupa penukaran botol Coca-Cola dengan gelas yang tahun 2001 lalu di seluruh Jawa dan Bali, dan ramai diiklankan di TV, juga pemasarannya memakai bendera Coca-Cola. Walaupun sebenarnya ada ketentuan tambahan bahwa promosi tersebut berlaku juga untuk Sprite dan Fanta. Hal ini dilakukan CCI karena ada hubungannya dengan awareness dengan maksud pihak CCI akan mudah mengkomunikasikan pemasarannya kepada konsumen melalui Coca-Cola. Artinya, menurut pihak CCI, Coca-Cola merupakan merek yang menjadi flag ship atau merek inti. Jika
kita
melihat
lebih
dalam
berapa
sebenarnya
perusahaan
menghabiskan dananya untuk mengorbitkan merek, jumlahnya bisa mencapai puluhan miliar rupiah pertahun. Untuk perang iklan hal tersebut tidak bisa dihindarkan lagi. Jika merek A menaikkan anggaran iklan, maka otomatis akan diikuti oleh merek B, C dan seterusnya yang tergolong kompetitor. Masingmasing perusahaan sering kian marak melakukan penyerangan lewat iklan. Seluruhnya itu berujung pada pembengkakan biaya pemasaran. Dimaklumi jika para pengelola merek makin sengit beradu strategi. Alasannya adalah pertama, tentu karena persaingan di dunia usaha semakin keras. Hampir setiap hari selalu saja hadir merek dari produk-produk baru. Hal ini ditambah dengan media iklan yang makin beragam. Kedua, semakin pintarnya
7
para manajer merek karena intensif mengikuti berbagai pelatihan seperti penajaman STP (segmentation, targeting, positioning), diferensiasi, marketing
mix (product, price, place, promotion), dan konsep-konsep baru yang diintroduksi oleh konsultan pemasaran. Hal itu juga terlihat dari anggaran belanja iklan yang dihabiskan ketiga merek itu. Dari data ACNielsen yang dikutip dalam SWA (2001), tampak CocaCola selalu mendapat anggaran belanja iklan terbesar. Tahun 1999, total belanja iklan mencapai 12,1 miliar Rupiah, sedangkan Sprite hanya 7,8 miliar Ru[iah dan Fanta 7,5 miliar Rupiah. Tahun 2000, belanja iklan Coca-Cola mencapai 15,7 miliar Rupiah, sementara Sprite hanya 8 miliar Rupiah dan Fanta 8,8 Rupiah. Sementara semester I tahun 2001, Coca-Cola telah diberi anggaran dana iklan 8,6 miliar Rupiah, Sprite 6,6 miliar Rupiah dan Fanta hanya 4,1 miliar Rupiah. Bila Coca-Cola telah mengeluarkan anggaran iklan yang cukup besar, hasilnya jelas terlihat berpengaruh pada kinerja merek yang secara langsung menaikkan merek Coca-Cola ke peringkat teratas dalam kategori produk minuman ringan bersoda. Tabel 3. Peringkat kinerja merek kategori produk minuman ringan Bersoda tahun 2002 (miliar US$) Merek Coca-Cola Fanta Sprite Pepsi F&N
Brand Value 238,11 174,90 172,38 5,02 3,96
Sumber : Swa & Mars, 2002
Majalah Swa (2002) mengemukakan bahwa merek termahal di dunia tahun 2001 adalah Coca-Cola dengan nilai US$68,95 miliar, disusul Microsoft US$ 65,07 miliar dan IBM US$ 52,75 miliar. Menurut Surya (Chief Representative
8
Landor Association Indonesia) dalam Swa (2002) mengatakan, untuk meraih kinerja merek yang baik, pola manajemennya jangan hanya mengandalkan logo dan nama semata, serta kemudian disosialisasi dengan iklan yang besar-besaran. Kinerja merek merupakan karya multidisiplin dan bukan sekedar TOM (Top Of
Mind) merek yang bagus. Terdapat empat pilar yang menunjang keberhasilan merek, yakni Kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek. Dalam pemasaran masal yang menekankan kepada volume penjualan tinggi, aspek harga, dan distribusi fisik sangat penting. Ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (affordability) menjadi komponen penunjang yang penting untuk memacu volume penjualan. Coca-cola melakukannya dengan menerapkan sistem franchise kepada para bottler untuk melewati hambatan ini. Globalisasi merek pada Coca-Cola juga merupakan suatu langkah yang patut dipuji. Strategi seperti ini pernah diterapkan Coca-Cola pada saat Perang Dunia kedua, yang memanfaatkan kehadiran tentara Amerika. Ketika itu CEO The Coca-Cola Company menginginkan Coca-Cola dapat dinikmati oleh seluruh prajurit Amerika di manapun mereka berada. Setelah perang dunia usai, masyarakat daerah pendudukan sudah mengenal Coca-Cola. Saat prajurit Amerika
ditarik
kembali,
Coca-Cola
tetap
bertahan
di
daerah-daerah
pendudukan. Sebuah “nama” dapat menyimpan nilai yang sangat besar artinya bagi perusahaan. Coca-Cola dapat bertahan lebih dari satu abad, karena nilai yang disumbangkan oleh sebuah nama. Tetapi di balik nama itu tersimpan sebuah perjuangan yang keras dan usaha yang lama. Sudah selayaknya jika sebuah organisasi mempertahankan segala upayanya secara terintegrasi dan lintas
9
fungsional untuk menjaga dan mengembangkan nama itu melalui ekuitas merek (Susanto, 1998).
1.2.
Identifikasi Masalah Fenomena persaingan di era globalisasi akan semakin menggairahkan
sistem perekonomian negara manapun ke mekanisme pasar yang pada akhirnya memposisikan pemasar untuk selalu mengembangkan dan merebut pasar. Salah satu aset untuk mencapai hal itu adalah merek produk yang dewasa ini berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan. Dalam kondisi pasar yang kompetitif, preferensi dan loyalitas pelanggan adalah kunci kesuksesan. Dengan demikian, pemasaran dewasa ini merupakan pertempuran persepsi konsumen dan tidak lagi sekedar pertempuran produk. Alasan penting lainnya untuk mengelola dan mengembangkan merek adalah merek lebih bermakna daripada sekedar produk. Produk hanya menjelaskan atribut fisik berikut dimensinya, sehingga tidak lebih dari komoditi yang dapat dipertukarkan, sedangkan merek dapat menjelaskan emosi serta hubungan secara spesifik dengan pelanggannya. Hal ini dapat terjadi karena merek mengandung nilai-nilai yang jauh lebih bermakna daripada hanya atribut fisik, merek mengandung nilai-nilai yang bersifat intangible, emosional, keyakinan, harapan, serta sarat dengan persepsi pelanggan. Kesalahan utama yang tidak disadari oleh para pemasar adalah berkeyakinan bahwa satu-satunya jalan untuk berhasil adalah merebut pangsa pasar dan menjadi dominan di pasar tersebut. Caranya adalah dengan melakukan pengembangan secara terus-menerus untuk menciptakan merek baru (new brand) berikut variannya.
10
Menciptakan merek baru berikut variannya menjadi sia-sia manakala kegiatan tersebut tidak bisa menciptakan kepuasan pelanggan yang hanya diberikan oleh produk itu sendiri, dan tidak diberikan oleh produk yang dibuat oleh pesaing. Merek baru berikut varian-variannya tersebut diciptakan hanya untuk mengejar peningkatan penjualan dengan harapan nantinya dapat merebut pangsa pasar. Akibatnya, dalam lingkungan seperti ini sebagian besar penjualan dibuat berdasarkan nilai konsumen yang sama. Padahal kita mengetahui bahwa produk yang memiliki nilai konsumen yang sama akan menjadi produk yang bersifat komoditi. Produk seperti ini akan dibeli oleh konsumen hanya berdasarkan pertimbangan harga, bukan berdasarkan karakteristik produk yang luar biasa. Membangun persepsi dapat dilakukan melalui jalur merek dan memahami perilaku mereka. Merek yang prestisius memiliki ekuitas merek yang kuat. Semakin kuat ekuitas merek suatu produk, semakin kuat daya tariknya untuk menggiring konsumen mengkonsumsi produk tersebut. Dan itu berarti akan menghantarkan perusahaan meraup keuntungan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, pemahaman tentang elemen-elemen ekuitas merek dan perilaku merek serta pengukurannya sangat diperlukan untuk menyusun langkah strategis dan meningkatkan eksistensi merek dan selanjutnya menaklukkan pasar. Nilai sebuah merek juga menjadi tolok ukur kesinambungan dari berhasil bertahan atau tidaknya produk tersebut di masyarakat. Bisa dikatakan, brand
equity dari merek tersebut haruslah kuat di mata khalayak. Jika sebuah merek sudah dikenal di masyarakat, kemudian ada asosiasi atau dapat dibedakannya merek tersebut dari kompetitor sejenisnya, serta dapat dipersepsi bahwa merek tersebut memiliki kualitas yang tinggi sehingga timbul adanya loyalitas dan
11
kepuasan dari pengguna merek tersebut, maka dapat dipastikan bahwa merek tersebut memiliki ekuitas merek yang sudah tinggi. Pengembangan merek yang kuat memiliki nilai merek (brand value) yang dapat
menciptakan
kepuasan
konsumen
yang
unik.
Merek
ini
mampu
memberikan pedoman, jaminan, kekuatan, keyakinan, dan harapan kepada pelanggan bahwa ia akan terpuaskan. Pada umumnya, sebagian besar pelanggan tidak ingin diributkan oleh banyaknya informasi mengenai karakteristik fisik suatu produk. Hal ini disebabkan
karena
pelanggan
sebenarnya
tidak
ingin
membeli
semua
karakteristik fisik produk yang ditawarkan, tetapi menginginkan keuntungan yang bisa diperoleh dari produk tersebut. Contohnya, obat sakit kepala. Bagi pelanggan, komposisi kandungan obat di dalamnya tidak begitu penting. Yang terpenting adalah seberapa cepat obat tersebut dapat menyembuhkan sakit kepala. Dengan demikian, pengambilan keputusan untuk membeli suatu produk menjadi sangat subyektif dan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat intangible, seperti loyalitas terhadap merek, brand awareness, perceive
quality, dan asosiasi terhadap merek. Semua faktor itu disebut brand equity. Pemasaran yang sukses akan melibatkan serangkaian kegiatan seperti riset pasar, studi perilaku konsumen, pengujian pesan komunikasi, kampanye periklanan lewat media massa, pendidikan konsumen, pemanfaatan public
relations, promosi produk di tempat penjualan, distribusi produk secara meluas, dan penetapan harga yang terjangkau. Merek barang tertentu bisa melekat dalam benak kita tak lain karena iklannya menerapkan prinsip komunikasi pemasaran. Iklan Coca Cola yang kita lihat di televisi atau billboard misalnya, tidak timbul begitu saja. Slogan ‘Kutahu
12
yang kumau’ (Sprite) atau ‘Bukan basa-basi’ (A-Mild) juga tidak serta-merta muncul. Ada beberapa faktor yang mendahuluinya. Para produsen ingin tahu bagaimana cara barang itu bisa sampai kepada konsumen yang mereka inginkan. Diperlukan survei yang mencoba melihat situasi pasar: kelompok konsumen mana yang kita tuju (misalnya Coca-Cola ditujukan bagi pasar para remaja); bagaimana cara menyampaikan pesan yang menarik bagi kelompok remaja itu; slogan apa yang menarik; citra apa yang ingin dipakai untuk menggambarkan produk; media apa yang dipakai untuk mengiklankannya (radio, televisi, suratkabar, papan reklame, atau semua); dan seterusnya. Remaja memang kian tumbuh menjadi pasar yang menggiurkan. Menggarap pasar ini jelas memerlukan kerja ekstra serius. Dengan usia yang masih labil. Mereka sangat senang mencoba sesuatu yang baru serta bergantiganti merek, sehingga brand loyalty mereka sangat rendah. Maka menurut Eddy dalam Swa (2000), menggarap pasar remaja tidak cukup hanya dengan menaklukkan mereka dengan produk-produk yang kreatif, inovatif dan mampu memuaskan mereka, tapi juga berpikir bagaimana mempertahankan mereka. Artinya, yang diperlukan bukanlah sekedar program customer satisfaction, tapi juga program customer retention. Cara yang terbaik mempertahankan pasar remaja adalah langsung terjun menyelami apa keinginan para belia ini. Hal tersebut bisa dilakukan melalui survei, jajak pendapat, dan sebagainya, dengan menyerap aspirasi mereka langsung dari tangan pertama bukan melalui orang tua atau guru mereka. Dalam Swa (2000), Setidaknya ada tiga alasan mengapa remaja merupakan sasaran pasar yang menarik. Pertama, mereka merupakan konsumen langsung. Secara individual, daya beli mereka sebenarnya rendah, tapi sebagai agregat, yakni
13
dalam jumlah populasi anak muda – berdasarkan data BPS kurang lebih 62 juta jiwa - dikalikan dengan berapapun uang saku mereka, pasar anak muda jelas sangat menggiurkan. Kedua, remaja merupakan pembujuk yang hebat di lingkungan manapun. Pembelian-pembelian dalam keluarga umumnya ditentukan oleh suara remaja dalam keluarga itu. Ketiga, remaja adalah konsumen masa depan. Dengan bertambahnya waktu, remaja yang dulunya dibiayai orang tuanya, kini memiliki penghasilan sendiri. Maka, jika produsen membutuhkan konsumen loyal, selayaknya sejak awal sudah berbaikan dengan para remaja ini.
1.3.
Perumusan Masalah Dalam persaingan industri minuman olahan di Indonesia yang semakin
meningkat, Coca-Cola dituntut untuk dapat bersaing melawan pesaingnya maupun pendatang-pendatang baru yang berpotensi merebut pasar Coca-Cola. Walaupun kita mengetahui bahwa Coca-Cola adalah merek global yang sudah terkenal di negara manapun, tetapi situasi persaingan dapat saja berubah seketika jika Coca-Cola tidak menanggapinya dengan serius. Oleh karena itu mengingat pangsa pasar terbesar dari Coca-Cola adalah remaja dimana mereka cenderung untuk berganti merek dan tidak konsisten dalam memilih atau memakai suatu produk, alangkah baiknya jika Coca-Cola lebih dini mengantisipasi kecenderungan tersebut melalui suatu penelitian terhadap analisis ekuitas merek minuman bersoda merek Coca-Cola terhadap remaja di kota Bogor. Topik penelitiannya adalah “Analisis Ekuitas Merek Terhadap Minuman Bersoda Merek Coca-Cola Studi Kasus Pada Pelajar SMU di Kota Bogor”. Adapun masalah-masalah yang penulis ajukan sehubungan dengan topik tersebut adalah: 14
1.
Bagaimana ekuitas merek Coca-Cola menurut pandangan konsumen?
2.
Bagaimana manajemen dapat memenangkan persaingan dalam bisnis minuman bersoda?
3.
Bagaimana Ukuran keterkaitan konsumen terhadap produk minuman merek Coca-Cola?
4.
Bagaimana sebaiknya strategi pemasaran yang harus diterapkan oleh perusahaan dalam memasarkan minuman Coca-Cola?
1.4.
Tujuan Berkaitan dengan perumusan permasalahan di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis ekuitas merek dari konsumen terhadap minuman bersoda merek Coca-Cola
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor ekuitas merek yang dapat memenangkan persaingan dalam bisnis minuman bersoda
4.
Memberikan gambaran tentang ukuran keterkaitan konsumen terhadap minuman Coca-Cola
3.
Merekomendasi usulan strategi pemasaran terhadap perusahaan dalam memasarkan minuman Coca-Cola
15
UNTUK SELENGKAPNYA DAPAT DI AKSES PADA PERPUSTAKAAN MB IPB
16