PELUANG USAHA PRODUK HALAL DI PASAR GLOBAL PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DALAM KONSUMSI MAKANAN HALAL
Editor: Endang S Soesilowati
LIPI
PUSAT PENELITIAN EKONOMI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2009
i
KATA PENGANTAR.indd i
6/22/2010 6:25:55 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI)
KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI
Peluang Usaha Produk Halal di Pasar Global: Perilaku Konsumen Muslim Dalam Konsumsi Makanan Halal/editor Endang S. Soesilowati. - [Jakarta]: Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.
i-xiv + 148 hlm: 15 cm x 21 cm
338 ISBN : 978-602-8659-26-0
Penerbit:
LIPI
LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 021- 5207120 Fax: 021- 5262139
ii
KATA PENGANTAR.indd ii
6/22/2010 6:25:59 PM
KATA PENGANTAR
Sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas Islam, sangatlah ironis, bila harus mengimpor makanan halal dari Negara lain, terlebih dari Negara non Muslim. Di sisi lain, permintaan pasar global terhadap produk dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan trend yang terus meningkat. Untuk dapat meraih peluang pasar, maka pengetahuan tentang kebutuhan konsumen merupakan barometer yang sangat berharga. Penelitian Perilaku Konsumen Masyarakat Muslim terhadap Konsumsi Makanan Halal merupakan penelitian awal dari serangkaian penelitian tentang Peluang Usaha Produk Halal di Pasar Global yang direncanakan akan dilakukan pada lima tahun ke depan. Penelitian ini tidak hanya penting untuk memberikan masukan atas kebijakan dalam penetapan sertifikasi produk halal, tetapi juga merupakan pengembangan ilmu khususnya ekonomi Islam dan psikologi Islam.
i
KATA PENGANTAR.indd Sec1:i
6/22/2010 6:26:00 PM
ii
KATA PENGANTAR.indd Sec1:ii
6/22/2010 6:26:00 PM
ABSTRAK
Permintaan terhadap produk halal di pasar global menunjukkan suatu peningkatan, khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Indonesia, dengan mayoritas penduduk beragama Islam, merupakan pasar yang diminati oleh para penyedia produk halal. Namun sangatlah ironis kiranya, bila pemenuhan produk halal ini, akhirnya lebih banyak dipenuhi oleh Negara-negara Non Muslim (minoritas Muslim). Sejauhmana Indonesia mengantisipasi peluang pasar global terhadap produk halal ini, kiranya perlu untuk dikaji. Di sisi lain, perilaku konsumen Muslim dalam konsumsi makanan sangatlah bervariasi. Walaupun agama diakui telah menjadi pedoman utama (pengontrol) dalam perilaku seseorang, termasuk perilaku konsumsi makanan, banyak faktor lain yang turut mempengaruhinya. Sejauhmana komunitas Muslim Indonesia mempertimbangkan kehalalan makanan yang dikonsumsinya dan apa yang menjadi kriteria kehalalan suatu produk belumlah diketahui. Sepanjang pengetahuan peneliti, studi tentang perilaku konsumen Muslim Indonesia terhadap makanan halal ini belum banyak yang melakukan, padahal pengetahuan tentang hal tersebut sangat lah diperlukan untuk menjadi acuan bagi pengembangan usaha produk halal dalam pemenuhan permintaan pasar domestik dan menuju peluang pasar global yang kini tengah digarap oleh negara-negara lain. Dengan menggunakan metode kuantitatif, survey dilakukan terhadap Muslim dari kelompok pesantren dan non pesantren di Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria makanan halal bagi Muslim Banten tidak hanya terbatas pada halal dari
iii
KATA PENGANTAR.indd Sec1:iii
6/22/2010 6:26:00 PM
jenis makanannya, tetapi juga termasuk cara pengolahan dan cara perolehan yang biasa dikenal dengan istilah Thoyyib. Sikap Muslim Banten sangat dominan dalam mempengaruhi perilaku konsumsi mereka terhadap makanan halal, dibandingkan dengan norma subyektif dan kontrol perilakunya. Latar belakang pendidikan pesantren menunjukkan tidak saja komitmen beragama, tetapi juga perilaku konsumsi yang lebih kuat dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Sebaliknya, kelompok sosial ekonomi kelas atas merupakan kelompok sosial yang paling longgar terhadap perilaku konsumsi makanan halal dari komunitas Muslim Banten
iv
KATA PENGANTAR.indd Sec1:iv
6/22/2010 6:26:00 PM
ABSTRACT
The demand of halal product in the global market has been constantly increased in the last several years. Indonesia, as a majority Muslim population country, is really apparently ironic, when the requirement of this halal product filled by Non Muslim countries (the minority of Muslim). To what extent Indonesia anticipated the global market opportunity over this halal product, apparently needed to be studied. On the other hand, to what extent the Indonesian Muslim community considered the halal food that are consumed by them and what are the criterion of halal product not known yet. Based on our knowledge, not many study done of the consumer behaviour of Indonesian Muslim towards this halal food yet, in fact this knowledge is really needed to be the reference for developing the strategy to take both the domestic and the global market opportunity that currently embraced by other countries. By using the quantitative method, survey was carried out in Banten to both Muslim from the Islamic and the non Islamic schools background. Results of the research showed that the halal food criterion for Muslim Banten was not only limited in halal from this food kind, but also including the processing method and the receipt method that normally are known with the Thoyyib term. The attitude of Muslim Banten dominantly influencing the behaviour of their consumption towards halal food, compared with their subjective norm and perceived behavioural control. The background of Islamic
v
KATA PENGANTAR.indd Sec1:v
6/22/2010 6:26:00 PM
school education showed not only to the commitment of religion, but also the behaviour of consumption that was stronger compared with them who had not experienced Islamic school education. On the other hand, the upper-class social economics group was the laxest group of carrying out their behaviour of consumption of halal food as compared to other groups of Banten Muslim community.
vi
KATA PENGANTAR.indd Sec1:vi
vi
6/22/2010 6:26:00 PM
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................ ABSTRAK ............................................................................... ABSTRACT ............................................................................. DAFTAR ISI............................................................................. DAFTAR TABEL ..................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................. BAB 1 PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DALAM KONSUMSI MAKANAN HALAL: SUATU PENGANTAR......................... Oleh : Endang S Soesilowati dkk Pendahuluan ........................................................................................ Tujuan dan Sasaran Penelitian ....................................................... Landasan Konseptual ........................................................................ Hipotesa Penelitian ............................................................................ Metodologi Penelitian....................................................................... Pembabakan Penulisan .................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... BAB 2 KRITERIA MAKANAN HALAL DALAM PERSEPSI MASYARAKAT MUSLIM BANTEN ..................................... Oleh : Diah Setiari Husodo Pendahuluan ........................................................................................ Kriteria Makanan Halal dalam Islam ............................................. Persepsi Masyarakat Muslim Banten terhadap Kriteria Restoran Halal ..................................................................................... Kesimpulan ...........................................................................................
i iii v vii ix xiii
1 1 3 5 10 10 13 16
19 19 21 41 43
vii
KATA PENGANTAR.indd Sec1:vii
6/22/2010 6:26:00 PM
BAB 3 DETERMINANSI TINGKAT SOSIAL-EKONOMI TERHADAP PERILAKU KONSUMSI PRODUK MAKANAN HALAL ....... Oleh : Yani Mulyaningsih Pendahuluan ........................................................................................ Determinasi Sosial Ekonomi (Pendapatan dan Pendidikan) : Tingkat Empiris .................................................................................... Analisis Determinasi Sosial Ekonomi (Pendapatan dan Pendidikan) terhadap Perilaku Konsumsi Produk Halal ....... Kesimpulan ........................................................................................... BAB 4 PENGARUH KOMITMEN BERAGAMA DALAM PERILAKU KONSUMSI MAKANAN HALAL ........................................ Oleh : Jusmaliani Pendahuluan ........................................................................................ Komitmen Beragama......................................................................... Komitmen Beragama terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal ..................................................................................... Komitmen Beragama dan Toleransi Harga Produk Halal...... Kesimpulan ........................................................................................... BAB 5 ANALISIS FAKTOR DETERMINAN TERHADAP PERILAKU KONSUMSI MAKANAN HALAL ........................................ Oleh : Endang S Soesilowati Pendahuluan ........................................................................................ Sikap ........................................................................................................ Norma Subyektif ................................................................................. Persepsi Kontrol Perilaku.................................................................. Dominasi Faktor .................................................................................. Kesimpulan ........................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
45 45 47 53 68
71 71 73 83 87 91
93 93 96 99 101 104 112 115
viii
KATA PENGANTAR.indd Sec1:viii
6/22/2010 6:26:00 PM
BAB 6 TINGKAT KEPERCAYAAN MUSLIM BANTEN TERHADAP LABELISASI PRODUK MAKANAN HALAL ........................ 117 Oleh : Umi Karomah Yaumidin Pendahuluan ........................................................................................ 117 Dari Spesifikasi Hingga Labelisasi ................................................. 119 Perjalanan Panjang Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal........................................................................ 125 Persepsi Konsumen terhadap Produk Berlabel Halal ............ 131 Persepsi Pemenrintah dan Lembaga Independen terhadap Produk Halal.......................................................................................... 135 Persepsi Pedagang Ritel trhadap Sertifikasi dan Labelisasi Produk Halal.......................................................................................... 141 Kesimpulan dan Rekomendasi ...................................................... 143 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 145
ix
KATA PENGANTAR.indd Sec1:ix
6/22/2010 6:26:00 PM
x
KATA PENGANTAR.indd Sec1:x
6/22/2010 6:26:00 PM
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3
Sekor rata-rata Responden atas Kriteria Utama dalam Memilih Makanan ....................................................................... Sekor rata-rata Responden terhadap Kriteria Makanan halal ................................................................................................. Kriteria Makanan Halal Menurut Latar Belakang Pendidikan Keagamaan ........................................................... Kriteria Pemilihan Daging........................................................ Kriteria Pemilihan Daging Menurut Latar Belakang Pendidikan Keagamaan ........................................................... Hasil Uji Validitas Variabel Perilaku Konsumsi Makanan Halal ................................................................................................. Hasil Uji Reliabilitas Variabel Perilaku Konsumsi Makanan Halal ............................................................................. Data Statistik dan Interprestasi Nilai tentang Perilaku Konsumsi Halal ............................................................................ Korelasi Tingkat Pendidikan Umum Terhadap Perilaku Konsumsi Produk Halal ............................................................. Korelasi Antara Latar Belakang Tingkat Pendidikan Pesantren dan Perilaku Konsumsi Produk Halal .............. Korelasi Antara Tingkat Pendapatan dan Perilaku Konsumsi Produk Halal ............................................................. Aktivitas Agama menurut Kadar Komitmen Beragama Responden .................................................................................... Perilaku Konsumsi Makanan Halal dan Kadar komitmen Beragama....................................................................................... Komitmen Beragama dan Sebaran Toleransi Kenaikan Harga ...............................................................................................
33 35 36 38 39 57 59 60 63 65 67 81 87 90
xi
KATA PENGANTAR.indd Sec1:xi
6/22/2010 6:26:00 PM
Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4
Validitas, Reliabilitas, dan Sekor rata-rata Sikap Responden .................................................................................... 98 Validitas, Reliabilitas, dan Sekor rata-rata Norma Subyektif Responden ................................................................ 100 Validitas, Reliabilitas, dan Sekor rata-rata Persepsi Kontrol Perilaku Responden ................................................... 103 Perbandingan Nilai rata-rata (COP) antar Faktor berdasarkan Segemen Responden ..................................... 114
Tabel Lampiran 1 Tabulasi Silang Antara Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Produk Halal Berlaebel MUI dengan Intensitas Konsumen dalam Membeli Produk Halal Berlabel MUI .. ................... 147 Tabel Lampiran 2 Korelasi Spearman Untuk Kesediaan Konsumen Membayar Lebih Tinggi Selisih Harga Produk Berlabel Halal ............ 148
xii
KATA PENGANTAR.indd Sec1:xii
6/22/2010 6:26:00 PM
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 5.1
Alur Produk Halal..................................................................... Kerangka konseptual Perilaku Konsumen ..................... Kriteria Utama dalam Memilih Makanan Menurut Latar Belakang Pendidikan Keagamaan ......................... Tempat Terbaik untuk Membeli Daging Halal .............. Faktor Pertimbangan dalam Memilih Restoran ........... Kriteria Restoran yang Halal ................................................ Tingkat Pendidikan Umum Responden .......................... Pendidikan Responden ......................................................... Tingkat Pendidikan Pesantren Responden .................... Tingkat Pengeluaran Responden ...................................... Perilaku Konsumsi Makanan Halal Berdasarkan Jenjang Pendidikan Umum ................................................. Perilaku Konsumsi Makanan Halal Berdasarkan Pendidikan ................................................................................. Tingkat Pendapatan terhadap Perilaku Konsumsi Halal ............................................................................................. Sebaran Komitmen Beragama Responden.................... Kategori Aktivitas Agama menurut Kadar Komitmen Beragama ................................................................................... Kesediaan Membayar Lebih Tinggi Untuk Produk Berlabel Halal MUI ................................................................... Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok pendapatan ...............................................................................
6 9 33 40 42 42 48 49 51 52 62 64 66 80 82 88
106
xiii
KATA PENGANTAR.indd Sec1:xiii
6/22/2010 6:26:00 PM
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5 Gambar 5.6
Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3
Gambar 6.4
Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok Jenis Pekerjaan .................................................................................... 107 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok umur............................................................................................. 108 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan Tingkat Pendidikan ................................................................................. 109 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan Jenis Kelamin .. 110 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Pesantren ............................................................ 111 Diagram Alir Proses Pemberian Sertifikasi Halal .......... 121 Beragam Logo Halal yang tercantum Dalam Kemasan Produk Makanan dan Minuman ........................................ 129 Korelasi Intensitas membeli produk berlabel MUI dengan Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Label MUI ................................................................................... 134 Proporsi Konsumen dalam Mempertimbangkan Label pada Produk Makanan Kemasan ........................... 140
xiv
KATA PENGANTAR.indd Sec1:xiv
6/22/2010 6:26:00 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
BAB 1 PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DALAM KONSUMSI MAKANAN HALAL: SUATU PENGANTAR Endang S Soesilowati dkk.
Pendahuluan Negara – negara yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam), saat ini mengembangkan gelombang baru, yang memberikan perhatian/tuntutan khusus terhadap halal product, halal treat, dan syariah system. Oleh karena itu, produk yang bersertifikat halal memiliki peluang pasar yang besar, dengan perkiraan pemasaran produk halal di pasar global saat ini telah mencapai nilai lebih dari 600 miliar dolar1 Permintaan terhadap produk halal di pasar global diperkirakan akan meningkat terus, dengan pertumbuhan per tahun 20 - 30 persen2, Populasi pasar umat Islam mencapai sekitar 1,6 miliar orang, yang terdiri dari180 juta Muslim di Indonesia, 140 juta di India, 130 juta di Pakistan, 200 juta di Timur Tengah, 300 juta di Afrika, 14 juta di Malaysia dan lebih dari 8 juta di Amerika Utara3. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi produk halal ini, Negara Islam, bahkan sampai harus mengimpor produk dari luar, dan bahkan dari negeri non Muslim, seperti ditunjukkan oleh Negara Timur Tengah, yang mengimpor daging halal dari Negara non Muslim, terutama dari Australia dan Brazil (Irfan, 2007). Untuk mengantisipasi kompetisi pasar global ini, maka Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim seyogyanya mampu meraih peluang besar tersebut. Kepala eksekutif Malaysia’s Halal Industry Development Corporation (HDC) Datuk Jamil Bidin mengharapkan Negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, 1
Seperti dikemukakan oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Antara News, 17 Desember 2007 Disampaikan oleh Presiden SBY dalam acara Opening Ceremony of the 3rd World Islamic Economic Forum Islam and the Challenge of Modernization Kuala Lumpur, Malaysia, 28 Mei 2007 3 Indonesia International Halal Exhibition - Halal Indonesia 2006 (http://www.mastic.gov.my/servlets/sfs) 2
1
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 1
6/22/2010 6:26:15 PM
Endang S Soesilowati dkk.
Singapura, Thailand, Brunei dan Philippina bekerja sama dalam memasok produk halal, dan harus bekerja dengan jeli menangkap peluang pasar di Eropa, Timur Tengah, dan bahkan Amerika Serikat dan China (25 Januari 2008)4. Indonesia tidak disebutkan di situ, walaupun Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi menyatakan bahwa “Malaysia, Indonesia and Thailand are well placed to capitalise on partnerships in the supply and marketing of halal products, particularly relating to food and herbal-based products…... By working together, the three countries would be able to accelerate the development of a regional halal supply chain”.5 Seberapa jauh Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang ditawarkan tersebut, dan bagaimana persiapan Indonesia dalam merespon peluang ini, kiranya sangat penting untuk diteliti. Terlebih lagi dengan semangat besar bahwa Indonesia akan menjadi pusat penghasil produk halal. Sejalan dengan hal tersebut, mainstream baru dalam ilmu sosial dengan menggunakan pendekatan Islam, seperti Sosiologi Islam, Psikologi Islam, dan Ekonomi Islam, sejak tahun 1990an mulai menjadi perhatian di Indonesia. Khususnya Ekonomi Islam, kepedulian ini ditunjukkan tidak saja dalam kajian para ilmuwan, tapi juga bagi para pelaku usaha yang ditandai dengan maraknya usaha dengan embelembel syariah (misalnya, Bank Syariah, Asuransi Syariah dlsb). Seiring dengan hal tersebut, gaya hidup Islami pun nampaknya menjadi semakin kentara yang ditandai dengan maraknya para wanita Muslim yang memakai jilbab (berkerudung). Namun demikian, gaya hidup Islami tentu saja tidak terbatas pada gaya berpakaian tetapi juga perilaku konsumsi, khususnya, dengan mengkonsumsi makanan halal sebagai salah satu hal terpenting dalam ukuran kadar keIslaman seseorang. Di sisi lain, perilaku mengkonsumsi makanan halal belum tentu searah dengan banyaknya penduduk beragama Islam. Dalam arti, bahwa seseorang yang beragama Islam belum tentu bahwa ia akan 4 5
http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news_lite.php Seperti dikutip dalam Goliath, Business Knowledge on Demand. dari Asia Pulse News. 07 Desember 2007
2
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 2
6/22/2010 6:26:21 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
selalu berperilaku secara Islami, khususnya dalam mengkonsumsi makanan halal. Pemahaman dan pelaksanaan syariat Islam yang antara lain tercermin dalam perilaku konsumsi tentunya dipengaruhi juga oleh proses pembelajaran, baik melalui sosialisasi maupun sistem pendidikan formal dan informal. Pola perilaku konsumen dalam berbelanja produk halal ini tentu saja akan menjadi barometer permintaan (demand side) terhadap produk tersebut. Dalam teori ekonomi dasar dapat dijelaskan bahwa peningkatan permintaan produk halal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan usaha penyedia (supply side) produk halal. Oleh karena itu, pengetahuan tentang demand side sangat bermanfaat dan sebagai prasyarat utama dalam melihat peluang usaha yang akan dikembangkan. Apabila Indonesia ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, salah satunya adalah dengan cara mendorong investasi dalam usaha penyedia produk halal, maka kajian tentang perilaku konsumen Muslim Indonesia sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim sangat perlu dilakukan. Sejauhmana Muslim di Indonesia concern terhadap makanan halal belumlah banyak diketahui6.
Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan penelitian Tujuan penelitian perilaku konsumen Muslim dalam konsumsi makanan halal ini adalah untuk menganalisis pola perilaku Muslim dalam mengkonsumsi makanan halal bagi komunitas Muslim di perkotaan. Secara khusus tujuan penelitian dapat dijabarkan sebagai 6
Sebagai salah satu Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia dipandang masih kontoversial dalam menanggapi issue makanan halal. Hal ini ditunjukkan dengan memperbolehkan Negara-negara Barat untuk men-supply produk halal ke pasar Indonesia di satu pihak, sementara di pihak lain menarik beberapa produk asal perusahaan Indonesia yang telah banyak dikonsumsi rumahtangga Muslim dan ternyata ditemukan mengandung babi. “The halal status is unclear...so when it doubt leave it out,” demikian dikemukakan Amidham dari MUI dalam pertemuan Halal Food Council di Kuala Lumpur 24 Juli 2002.
3
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 3
6/22/2010 6:26:21 PM
Endang S Soesilowati dkk.
berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Mengungkapkan pemahaman komunitas Muslim terhadap makanan halal Menemukenali faktor-faktor yang menjadi pertimbangan utama komunitas Muslim dalam menentukan makanan halal. Menganalisis pengaruh kadar komitmen beragama terhadap pola perilaku konsumsi makanan halal Mengukur pengaruh latar belakang sosial-ekonomi dan psikologis terhadap pola konsumsi makanan halal Mengkaji persepsi komunitas Muslim terhadap sertifikasi produk halal
Sasaran penelitian Penelitian ini merupakan studi awal dari suatu rangkaian penelitian yang direncanakan untuk dilanjutkan selama lima tahun ke depan (2009-2014). Pada dua tahun pertama studi difokuskan pada pengkajian tentang pola perilaku konsumen terhadap pemilihan produk halal (makanan, obat, kosmetik, dan lain-lain), di tahun ke tiga dipusatkan pada pengkajian tentang pola perilaku produsen untuk memproduksi produk halal. Setahun berikutnya, penelitian akan mempelajari tentang persaingan usaha produk halal di pasar global, sementara di tahun terakhir direncanakan untuk mempelajari upaya optimalisasi perdagangan produk halal di pasar global interregional. Sasaran dua tahun pertama penelitian tentang perilaku konsumen diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan yang bersifat pengembangan teori tentang pengaruh religi –agama Islam– terhadap pola konsumsi makanan halal. Berbagai kriteria serta persyaratan sehubungan dengan produk halal yang dipersepsikan oleh komunitas Muslim Indonesia akan menjadi bahan rekomendasi bagi penerbit sertifikasi halal dan
4
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 4
6/22/2010 6:26:21 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
juga pelaku usaha yang bergerak dalam industri produk halal. Atas hasil penelitian tentang perilaku konsumen dan kemudian juga produsen, diharapkan akan menemukan suatu pendekatan baru dalam menganalisa perilaku konsumen dan produsen, sehingga akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu ekonomi Islam, maupun psikologi Islam. Sebagai sasaran akhir dari penelitian ini diharapkan dapat merumuskan konsep dan strategi untuk meningkatkan daya saing produk halal Indonesia di dalam negeri maupun di pasar global. Oleh karenanya, sasaran akhir dari penelitian tentang peluang usaha produk halal tentu saja diharapkan akan menjadi masukan yang berharga bagi para stakeholders dalam melihat prospek peluang usaha produk halal di pasar domestik yang dapat dijadikan acuan dalam mengantisipasi kebutuhan pasar global.
Landasan Konseptual Kajian tentang peluang usaha produk halal dalam pasar global dapat dijelaskan melalui alur produksi dengan model pendekatan yang berpusat pada konsumen (lihat Gambar 1-1). Seperti lazimnya alur produksi dari industri makanan, tentu saja proses produksi dimulai dari penyediaan bahan baku, yang kemudian melalui proses produksi primer, maupun proses produksi sekunder (sebagai nilai tambah) akan dihasilkan suatu produk makanan siap untuk dipasarkan dan sampai pada konsumen pemakai produk makanan tersebut. Namun sebaliknya, perilaku konsumen sebagai barometer permintaan kebutuhan terhadap produk yang dipasarkan tentu saja harus menjadi pertimbangan utama terhadap rencana produksi suatu barang/jasa.
5
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 5
6/22/2010 6:26:21 PM
Endang S Soesilowati dkk.
Alur Produk Halal Dari Sisi Permintaan
Gambar 1.1 Alur Produk Halal Sumber: Dimodifikasi dari Irfan Sungkar (2007)
Perilaku konsumen seperti juga perilaku lainnya dipengaruhi oleh aspek kultural, sosial, personal, dan karakteristik psikologis. Faktor kultural dianggap yang paling besar pengaruhnya terhadap keinginan dan perilaku seseorang. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa agama merupakan elemen kunci dalam kultur kehidupan yang mempengaruhi perilaku dan keputusan membeli (lihat Assadi 2003, Esso and Dibb Sally 2004, Delener 1994, Babakus et al 2004, Cornwell 2005). Seperti dikutip oleh Fam et al (2004) agama dapat dijelaskan sebagai “……the habitual expression of an interpretation of life, which deals with ultimate concerns and values. Institutional religion formalises these into a system which can be taught to each generation (Cloud 2000)”. Agama
6
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 6
6/22/2010 6:26:21 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
adalah merupakan ide dalam kehidupan yang akan direfleksikan dalam nilai-nilai dan sikap seseorang dan masyarakat. Nilai dan sikap tersebut akan membentuk perilaku dan praktek-praktek suatu institusi dan anggota masyarakat dalam satu budaya. “Islam is more than a religion as it controls the ways of society and factors associated with family, dress, cleanliness and ethics” (Fam et al 2004). Orang yang religius mempunyai sistem nilai yang berbeda dengan mereka yang kurang atau tidak religius. Sementara itu, komitmen beragama (religiousity) menurut Johnson et al (2001) dalam Mokhlis (2006) merupakan “tingkat komitmen seseorang terhadap agama yang dianutnya”. Worthington (1988) mendefinisikannya sebagai tingkat dimana seseorang terkait dengan nilainilai dan keyakinan agamanya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Religiousity sangat penting karena ia mampu mempengaruhi kognisi dan perilaku seseorang (Sitasari, 2008). Tentu saja, secara logis, tingkat religousity seseorang akan mempengaruhi perilakunya termasuk dalam perilaku konsumsi makanan halal. Agama dapat mempengaruhi perilaku konsumen dan perilaku pada umumnya (Delener 1994, Pettinger et al 2004), khususnya pada keputusan membeli bahan makanan dan kebiasaan makan (Bonne et al 2007). Seperti juga dikemukakan oleh Schiffman dan Kanuk (1997) yang menyatakan bahwa keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh identitas agama mereka (dikutip dari Shafie & Othman, 2006). Pengaruh agama terhadap pola konsumsi makanan berhubungan dengan pembatasan terhadap jenis makanan tertentu, seperti Orang Yahudi yang tidak memakan dagang babi, sementara orang beragama Hindu tidak memakan daging sapi. Bagi penganut agama Islam, diharamkan untuk mengkonsumsi daging babi, darah, bangkai, dan daging hewan yang disembelih dengan tidak mengikuti syariah dan meminum minuman yang mengandung alkohol. Sebagai orang Islam, diwajibkan untuk memakan makanan halal yang ditujukan untuk kebaikan manusia itu sendiri (Bonne et al 2007).
7
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 7
6/22/2010 6:26:22 PM
Endang S Soesilowati dkk.
Mengkonsumsi makanan yang halal merupakan salah satu prinsip dasar dalam Islam. Dalam Islam, mengkonsumsi produk halal menjadi sebuah hal yang mutlaq dan tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagaimana Allah wahyukan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 88: “dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya”. Masalah halal-haram dalam pemilihan makanan merupakan masalah yang prinsipil dalam Islam, karena makanan akan berdampak pada pertumbuhan jasmani dan rohani seseorang dan keluarganya. Sesuai dengan hadits Rasulullah saw yang menyatakan bahwa, ”tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari (makanan) yang haram, neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ahmad). Yang dimaksud dengan Halal itu sendiri mencakup dari proses pemotongan, penyimpanan, penyajian, penyiapan, kesehatan dan kebersihan (Syafie & Othman, 2006). Selain makanan halal, juga diwajibkan mengkonsumsi makanan yang baik (Thoyib), seperti belum daluarsa, tidak mengandung pewarna pakaian, dlsb. Dengan fokus kajian tentang perilaku konsumen Muslim dalam konsumsi makanan halal, maka landasan konseptual yang dipakai untuk menjelaskan alur pikir pemahaman, digunakan pendekatan teori perilaku yang biasa digunakan untuk menjelaskan perilaku konsumen. Penelitian ini mengadaptasi kerangka konsep teori Planned Behaviour (Ajzen 1991) bahwa ada tiga aspek yang sangat menentukan perilaku seseorang yaitu sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku (lihat Gambar 1-2).
8
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 8
6/22/2010 6:26:22 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
Sikap yang dimaksudkan di sini adalah merupakan tendensi psikologis yang ditunjukkan dengan mengevaluasi suatu hal yang disukai atau tidak disukai. Norma subyektif merupakan tekanan sosial terhadap seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan (perilaku). Di sinilah budaya masyarakat di mana seseorang tinggal (berdomisili) akan memberikan pengaruh terhadap perilakunya. Sementara itu, persepsi kontrol perilaku merupakan suatu persepsi terhadap sejauhmana perilaku tertentu dapat dikontrol. Bagaimana seseorang memahami dan mengikuti aturan agamanya merupakan persepsi yang akan mengontrol perilakunya.
Gambar 1.2 Kerangka konseptual Perilaku Konsumen Sumber: Diadaptasi dari Ajzen, I. (1991)
Ketiga aspek (sikap, norma subyektif, persepsi kontrol) tersebut akan menentukan niat seseorang untuk mengkonsumsi makanan halal, dan ditunjukkan dalam perilaku konsumsi makanan halal tersebut. Niat (intention) merupakan faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku konsumsi makanan halal. Walaupun agama memberikan hukum yang sangat ketat dalam makanan, namun sejauhmana orang akan mengikuti hukum tersebut tentu saja akan sangat bervariasi (Bonne et al 2007) dan ditentukan
9
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 9
6/22/2010 6:26:22 PM
Endang S Soesilowati dkk.
oleh ketiga aspek perilaku tersebut di atas. Kadar komitmen beragama seseorang akan mencerminkan identitas dirinya sebagai seorang Muslim. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim akan mempunyai sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilakunya dalam mempengaruhi niat (intention) seseorang untuk berperilaku dalam mengkonsumsi makanan halalnya. Kadar komitmen beragama seseorang melalui beberapa proses di atas akan sangat menentukan niatnya untuk berperilaku dalam konsumsi makanan halal. Namun demikian, seberapa jauh seseorang akan menampilkan perilakunya, juga tergantung pada beberapa faktor-faktor lain, seperti ketersediaan, kesempatan, pengetahuan (misalnya, tentang sertifikasi halal), dan sumber yang dimiliki (uang, misalnya).
Hipotesa Penelitian Penelitian perilaku konsumen Muslim terhadap konumsi makanan halal ini mengajukan hipotesa berikut: 1. 2. 3.
Adanya hubungan yang signifikan antara komitmen beragama terhadap perilaku konsumsi makanan halal Adanya pengaruh yang signifikan dari tingkat sosial ekonomi terhadap intensitas perilaku konsumsi makanan halal Adanya perbedaan intensitas psikologis terhadap perilaku konsumsi makanan halal
Metodologi Penelitian Penelitian perilaku konsumen Muslim terhadap makanan halal dapat digolongkan menjadi penelitian dasar, karena penelitian ini akan mengembangkan pengetahuan dan pemahaman teoritis tentang ”pengaruh agama” terhadap perilaku konsumen7. Pengembangan 7
Penelitian dasar mempunyai tujuan utama mengembangkan pengetahuan dan pemahaman teoritis tentang hubungan antar varabel penelitian (http://en.wikipedia.org/wiki/Research# Basic_research)
10
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 10
6/22/2010 6:26:22 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
teoritis di sini, terutama untuk membuktikan bahwa pengaruh agama mempunyai derajat yang berbeda yang ditunjukkan dalam kadar pemahaman seseorang terhadap agama - Islam - tersebut. Pendekatan studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bidang studi ekonomi pemasaran dan psikologi industri. Oleh karena penelitian ini akan menguji hipotesa yang diajukan secara statistik, maka metode kuantitatif akan menjadi metode utama. Namun demikian, untuk memberikan pemahaman dan penjelasan atas temuan penelitian, metode kualitatif akan digunakan sebagai pendukung studi. Kombinasi dua metode kuantitatif dan kualitatif dalam suatu penelitian biasa dikenal dengan triangulation method (Jick 1979; Creswell 2003)8. Dengan tujuan utama penelitian yang bermaksud untuk menggambarkan dan menguji perbedaan perilaku konsumen terhadap makanan halal pada komunitas Muslim, maka penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai penelitian deskriptif dan juga explanatory dengan menggunakan single cross-sectional design. Studi deskriptif biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu fenomena dalam konteks tertentu secara lengkap, sementara, explanatory ditujukan untuk menjawab atau menjelaskan bagaimana atau mengapa sesuatu terjadi dan menjelaskan adanya hubungan sebab akibat dari suatu data (Yin 2003). Penelitian deskriptif juga sangat sesuai digunakan manakala tujuan penelitiannya bermaksud untuk menjelaskan karakteristik dari fenomena pemasaran dan menentukan tingkat keterkaitan antar variabel (Kinnear and Taylor 1996).
8
Data kuantitatif dan data kualitatif dapat disajikan secara terpisah, namun analisis dan interpretasi dengan mengkombinasikan kedua jenis data tersebut akan mampu memberikan hasil yang lebih lengkap dan utuh (Banister, Burman, Parker, Taylor, & Tindall 1994)
11
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 11
6/22/2010 6:26:22 PM
Endang S Soesilowati dkk.
Teknik Pengumpulan Data •
Desain Kuesioner Metode pengumpulan data pada penelitian ini mengandalkan pada data primer dengan terutama menggunakan kuesioner terstruktur yang merupakan serangkaian pertanyaan dengan menyediakan pilihan jawaban yang tersedia. Skala Likert yang berupa self-report digunakan dalam penelitian ini, dimana responden ditanyai langsung tentang pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan perasaan mereka terhadap suatu objek atau aktivitas (Churchill 1995). Untuk mendapatkan pemahaman dan penjelasan terhadap temuan penelitian, maka data pendukung yang bersifat kualitatif digunakan melalui in-depth interview terhadap beberapa narasumber dari key person (tokoh masyarakat) di daerah penelitian. •
Sampling Untuk mempertajam analisa kuantitatif tentang adanya hubungan antara aspek agama dengan perilaku konsumen, maka pengontrolan dilakukan dengan cara meminimalkan variasi aspek kultural. Untuk keperluan tersebut, populasi penelitian dibatasi pada komunitas Muslim Indonesia yang tinggal di perkotaan dengan basis sub-budaya Islam. Atas pertimbangan tersebut, maka pengamatan studi dipusatkan pada Muslim Banten yang tingal di perkotaan (urban & sub-urban) Banten. Teknik pemilihan responden digunakan metode snowball sampling dan accidental sampling dari para pengunjung warung makan/restoran, pasar tradisional maupun moderen. Selanjutnya, responden diminta kesediaannya untuk diwawancarai langsung di tempat tersebut, di tempat tingal, ataupun di lokasi kerja sesuai kesediaan waktu dan tempat yang diusulkan calon responden. Diperoleh jumlah responden sebanyak 100 orang (satu orang untuk satu rumah tangga).
12
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 12
6/22/2010 6:26:22 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
Teknik Analisis Data Perilaku konsumen dalam mengkonsumsi produk halal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan variabel penelitian. Variabel tersebut di antaranya adalah; tingkat pendidikan, latar belakang pendidikan pesantren- non- pesantren, tingkat pemahaman terhadap produk halal, strata ekonomi ( pendapatan), dan gender. SPSS digunakan untuk data entry dan analisis data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner. Oleh karena kuesioner dengan skala Likert, (7 skala) telah digunakan, maka teknik pengolahan dan analisis data kuantitatif penelitian ini lebih bermakna dengan melakukan perbandingan antar kelompok responden ataupun antar variabel pertanyaan. Untuk melakukan pembandingan, maka dihitung dengan menggunakan perbandingan nilai rata-rata yang diperoleh atau biasa dikenal dengan cut off point (COP). Analisis deskriptif: berupa penyajian dalam grafis dan tabel frekuensi juga digunakan untuk melihat sebaran responden. Sedangkan cross tabulation digunakan untuk melihat sejauhmana keterkaitan (korelasi) antar variabel. Sementara, data kualitatif yang diperoleh lewat in-depth interview dianalisa secara interpretatif.
Pembabakan Penulisan Buku ini disusun dalam enam rangkaian bab. Bab 1 diberi judul Perilaku Konsumen Muslim terhadap Konsumsi Produk Makanan Halal: Sebuah Pengantar. Layaknya sebuah pengantar Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran terutama tentang latar belakang penelitian yang menjelaskan tentang pentingnya penelitian dilakukan serta metodologi yang telah digunakan dalam penelitian ini. Bab 2 Mengungkapkan temuan penelitian tentang Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Komunitas Muslim Banten. Pada bab tersebut tergambarkan bagaimana persepsi responden masyarakat Muslim Banten terhadap
13
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 13
6/22/2010 6:26:22 PM
Endang S Soesilowati dkk.
kriteria makanan halal baik makanan olahan secara umum maupun makanan khusus daging. Bahwa makanan halal dipersepsikan oleh konsumen Muslim Banten, tidak terbatas pada jenis makanannya saja, tetapi juga termasuk cara perolehan dan cara pengolahannya. Bab 3 buku ini menguji variasi determinansi tingkat Sosial-ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Halal . Tingkat sosial ekonomi pada bab tersebut secara khusus ditekankan pada aspek tingkat pendidikan dan pendapatan, juga dilengkapi dengan variasi dari latar belakang pendidikan pesantren. Tulisan tersebut mengungkapkan bahwa latar belakang pendidikan pesantren berpengaruh terhadap perilaku konsumsi makanan halal bagi respoinden Muslim Banten. Bab selanjutnya, menggambarkan bahwa kadar komitmen beragama sampai tingkat tertentu memberikan pengaruh terhadap perilaku konsumsi makanan halal. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi komitmen beragama seseorang, akan semakin kuat pula putusan untuk mengkonsumsi makanan halal. Pada bab 4 tersebut juga ditunjukkan bahwa walaupun umumnya responden menyatakan diri sebagai Muslim dan menyatakan bahwa agama penting untuk kehidupannya, namun hal ini tidak serta merta tercerminkan dalam pelaksanaan ibadah keseharian dan komitmen beragamanya. Bab 5 buku ini mencoba untuk menyajikan analisa faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi perilaku konsumsi makanan halal. Analisis pengaruh tersebut diukur melalui perbandingan antara tiga aspek yang berperan dalam proses perilaku (sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol). Secara jelas, ditunjukkan bahwa sikap responden Muslim Banten terhadap keinginan untuk mengkonsumsi makanan halal menunjukkan tingkatan yang tinggi, walaupun tekanan dari lingkungannya kurang memberikan tuntutan terhadap mereka untuk mengkonsumsi makanan halal sebagai cerminan dari pengaruh norma subyektif responden terhadap niat untuk berperilaku konsumsi makanan halal. Sementara itu, pengaruh aspek persepsi kontrol kelihatan juga cukup mempunyai peranan terhadap niat responden untuk
14
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 14
6/22/2010 6:26:22 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
berperilaku konsumsi makanan halal. Buku laporan penelitian ini ditutup dengan memaparkan secara lengkap tentang proses penerbitan sertifikasi halal. Paparan ditutup dengan sajian tentang Tingkat kepercayaan Muslim Banten terhadap sertifikasi produk makanan halal, serta rekomendasi yang diberikan khususnya kepada pihak-pihak yang berwenang dalam sertifikasi produk halal.
15
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 15
6/22/2010 6:26:22 PM
Endang S Soesilowati dkk.
DAFTAR PUSTAKA Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, p. 179-211. Di akses dari Value Based jmanagement. Net Assadi Djamchid (2003). Do Religions Influence Customer Behavior? Confronting religious rules and marketing concepts. Cahiers du CEREN Volume: 5 Halaman: 2 - 13 Banister, P., Burman, E., Parker, I., Taylor, M., & Tindall, C. (1994). Qualitative Methods in Psychology: A Research Guide. Buckingham - Philadelphia: Open University Press. Bonne, Karijn et Wim Verbeke (2006). Muslim consumer’s motivations towards meat consumption in Belgium: qualitative exploratory insights from means-end chain analysis, http://aof.revues.org/document90. html Babakus, Emin, T. Bettina Cornwell, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch (2004). Reactions to unethical consumer behavior across six countries Journal of Consumer Marketing Volume: 21 Issue: 4 Halaman: 254 – 263 Churchill Jr., G.A. (1995). Marketing Research Methodological Foundations. The Dryden Press, Sixth Edition, Firth Worth. Cornwell, Bettina, Charles Chi Cui, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch, Anis Dzulkiflee, Joseph Chan (2005). A cross-cultural study of the role of religion in consumers’ ethical positions. International Marketing Review Volume: 22 Issue: 5 Halaman: 531 - 546
16
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 16
6/22/2010 6:26:22 PM
Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal: Suatu Pengantar
Creswell, J. W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approach (Second ed.). Thousand Oaks, London: Sage Publications. Delener, Nejdet (1994). Religious Contrasts in Consumer Decision Behaviour Patterns: Their Dimensions and Marketing Implications (Abstract). European Journal of Marketing. 1994 Volume: 28 Issue: 5 Halaman: 36 – 53 Essoo, Nittin and Dibb, Sally (2004). Religious influences on shopping behaviour: an exploratory study. Journal of Marketing Management, 20 (7-8). Halaman:. 683-712. ISSN 0267-257X Jick, T. D. (1979). Mixing Qualitative and Quantitative Methods: Triangulation in Action. Administrative Science Quarterly, 24(4), 602612. Kinnear, T.C. and Taylor, J.R. (1996). Marketing Research: An Applied Approach, 5 th edition, McGraw-Hill, Inc ------------------.(2006). Indonesia International Halal Exhibition - Halal Indonesia 2006 7 - 29 April 2006, Jakarta. Malaysian Science and Technology Information Centre Portal. http://www.mastic.gov.my/ servlets/sfs Pettinger, C., Holdsworth, M., Gerber, M., 2004, “Psycho-social influences on food choice in Southern France and Central England.” Appetite, 42(3), 307-316. Shafie S, Othman N Md, (2006). “Halal Certification: an international marketing issues and challenges”. http://www.ctw-congress. de/ifsam/download/track_13/ pap00226.pdf. diakses pada 14 November 2009.
17
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 17
6/22/2010 6:26:22 PM
Endang S Soesilowati dkk.
Sitasari (2008). Preferensi Atribut dan Perilaku Konsumen Kartu Kredit Syariah. Laporan Tesis, PSTTI-UI Sungkar, Irfan (2007). Livestock Asia 2007 Exhibition & Seminar Halal Hub Session; 25 October. Kuala Lumpur http://www.livestockasia. com/conference_paper/slide/ irfan.pdf Yin, R. K. (2003). Applications of Case Study Research (Second ed.). Thousand Oaks, London: Sage Publications. -------------------(2007). “Deptan Dorong Kembangkan Kawasan Industri Produk Halal” Antara News. 17 Desember 2007 --------------------(2007). Malaysia, Indonesia, and Thailand Can Capitalise on Halal Market. Goliath, Business Knowledge on Demand. dari Asia Pulse News. 07 Desember 2007 --------------------(2007). Pidato Presiden SBY dalam acara Opening Ceremony of the 3rd World Islamic Economic Forum Islam and the Challenge of Modernization Kuala Lumpur, Malaysia, 28 Mei ------------------.(2008). Live Halal: Southeast Asian Countries Urged To Jointly Market Halal Products; January 25, 2008, http://www. bernama.com.my/ bernama/v3/news_lite.php
18
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 18
6/22/2010 6:26:22 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
BAB 2 KRITERIA MAKANAN HALAL DALAM PERSEPSI MASYARAKAT MUSLIM BANTEN Diah Setiari Suhodo
Pendahuluan Sebagai Negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, istilah halal sudah tentu bukan lagi suatu ‘barang aneh’, pemahaman untuk mengkonsumsi hanya yang halal dalam persepsi sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia sudah di’sosialisasikan’ sejak dini, bahkan sejak anak-anak Indonesia memulai memakan makanan padat selepas masa bayinya. Pemahaman yang sudah tertanam sangat kuat ini menimbulkan implikasi yang menarik, di satu sisi edukasi mengenai makanan halal tentu saja tidak akan mengalami kesulitan yang berarti, dimana pemerintah, pemuka agama Islam dan pihak-pihak yang berwenang ‘menjaga’ umat Islam mengkonsumsi produk halal akan bisa menjalankan tugas mereka dengan baik. Tetapi di sisi yang lain, kondisi menjadi mayoritas membuat umat mengganggap persoalan makanan halal ini adalah hal yang mudah dan menjebak mereka untuk tidak lagi berhati-hati dalam memilih makanannya. Karena umat Islam menjadi mayoritas di Indonesia, seolah-olah terdapat asumsi bahwa semua makanan yang ada menjadi halal dan boleh dikonsumsi, selama makanan itu tidak jelas-jelas berwujud haram seperti daging babi, misalnya. Padahal makanan halal tidak saja dilihat dari bentuk fisiknya, tetapi juga harus melihat proses yang menjadikan produk tersebut bisa dikonsumsi. Ayam goreng misalnya, secara fisik daging ayam memang halal dikonsumsi, tetapi untuk menjadikannya ayam goreng sudah tentu terdapat berbagai macam
19
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 19
6/22/2010 6:26:22 PM
Diah Setiari Suhodo
proses yang berpotensi menjadikan produk tersebut haram, apakah penyembelihan ayam tersebut menyebut nama Allah, apakah bumbu yang digunakan bebas arak/alkohol, apakah minyak yang digunakan untuk menggoreng bukan minyak babi, dsb. Seiring perkembangan zaman dimana teknologi pengolahan makanan sudah demikian canggih, umat Islam harus semakin waspada terhadap makanan yang dikonsumsinya, terutama produk-produk olahan yang semakin banyak dewasa ini. Jika menghadapi produkproduk alami saja (seperti daging, sayur dan buah) kita akan bisa segera tahu mana produk yang halal dan mana yang haram, tetapi jika produkproduk makanan tersebut sudah mengalami proses pengolahan (seperti mi instan, sosis, es krim, margarin, permen, dsb) maka akan sangat sulit bagi kita untuk langsung memutuskan apakah produk tersebut halal atau tidak. Karena bisa jadi secara zat, makanan tersebut halal, tetapi secara proses dan bahan pencampur yang digunakan bisa menjadi haram. Kompleksnya proses pengolahan satu jenis makanan yang terkadang tidak dipahami -atau tidak diindahkan- oleh umat rentan membuat makanan yang secara zat tergolong halal menjadi haram karena adanya zat tambahan dalam proses pengolahannya. Sebagai contoh, daging ayam merupakan bahan makanan yang halal, tetapi jika diubah menjadi sosis ayam, apakah bahan pencampurnya halal? Bagaimana dengan selaput tipis pembungkus sosis yang berwarna merah, misalnya, apakah itu bukan terbuat dari selaput kulit babi? Apakah masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam sudah menyadari hal ini? Atau jangan-jangan karena berada di Negara mayoritas muslim, masyarakat lalu menganggap bahwa semua makanan yang ada di sekitarnya sudah secara otomatis menjadi halal, kecuali makanan yang secara zat memang haram (seperti daging babi, dsb). Oleh karena itu pembahasan mengenai kriteria makanan halal dan pemahaman masyarakat akan hal tersebut menjadi penting untuk dibahas.
20
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 20
6/22/2010 6:26:22 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
Halal berarti ’lepas’ atau ’tidak terikat’, menurut istilah, halal berarti segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi dari Allah Swt (Qardhawi, 2008). Haram berarti segala sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’ (hukum Islam), jika perkara tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika ditinggalkan akan berpahala. Istilah halal dan haram banyak digunakan dalam perkara makanan (termasuk juga minuman), meskipun ada banyak perkara lain yang juga berhubungan dengan kedua istilah ini seperti dalam hal ekonomi, mencari rezeki, pergaulan, rumah tangga, dll. Allah Swt merupakan satusatunya pihak yang paling berhak memutuskan mengenai status halalharamnya sesuatu, tidak terkecuali dalam hal makanan dan minuman. Hal ini diatur secara jelas di dalam Al Qur’an dan Hadits, diantaranya: ”Wahai sekalian manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi makanan yang halal lagi baik.” (QS Al Baqarah: 168) “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas. Dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar atau tidak jelas”. (HR. Bukhari). Tulisan ini akan mengkaji secara khusus bagaimana Muslim Banten yang diwakili oleh seratus (100) responden perkotaan mempersepsikan kriteria makanan yang mereka anggap halal. Sebelumnya, penulis akan memaparkan hukum yang berlaku tentang kriteria kehalalan suatu makanan.
Kriteria Makanan Halal dalam Islam Terdapat 3 jenis makanan berdasarkan kategori halal-haramnya, yakni: 1. 2. 3.
Halal Haram Syubhat
21
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 21
6/22/2010 6:26:23 PM
Diah Setiari Suhodo
Yang halal jelas diperbolehkan untuk dikonsumsi, yang haram jelas dilarang keras untuk dikonsumsi (kecuali pada kondisi-kondisi darurat), sedangkan syubhat merupakan kondisi yang berada diantara keduanya, dimana terdapat dalil yang tidak jelas mengenai halalharamnya suatu makanan atau karena adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fiqih dalam menetapkan suatu makanan. Dalam menyikapi hal-hal yang syubhat, Islam menekankan untuk mengambil sikap hati-hati (wara’) dan menjauhi makanan syubhat supaya tidak terjerumus kepada hal-hal yang haram. Hal ini termasuk ke dalam upaya mencegah sebelum terjadi kerusakan (akibat memakan makanan yang belum jelas kehalalannya) pada diri manusia (Al Asyhar, 2002). Pada prinsipnya, dalam hal muamalah (hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia), terdapat kaidah bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal (boleh), tidak ada satupun yang haram selama tidak ada dalil yang sah dan tegas yang menyatakan hal tersebut haram. Hal ini berarti sesungguhnya semua makanan di atas bumi ini halal dan boleh dikonsumsi, selama tidak ada dalil (Al Qur’an dan Hadits) yang melarangnya untuk dikonsumsi. Jika ada dalil yang melarangnya untuk dikonsumsi, maka barulah makanan tersebut menjadi haram untuk dikonsumsi. Dari dalil ini bisa diketahui bahwa sebenarnya, bahan-bahan makanan dan minuman yang diharamkan tidaklah banyak, tidak sebanding dengan bahan-bahan halal yang disediakan Allah untuk dikonsumsi manusia. Kriteria makanan haram secara garis besar terbagi 2 (Hosen, 2007), yakni: 1.
2.
Haram li dzatihi, haram dalam substansinya (zat-nya) yang pada dasarnya memang dilarang oleh agama dan sudah jelas ramburambunya di dalam Al Qur’an; Haram li ghairihi, suatu hal yang pada dasarnya (secara zat) tidak dilarang dalam agama, tetapi menjadi haram karena ada hal-
22
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 22
6/22/2010 6:26:23 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
hal lain yang membuatnya menjadi haram, misalnya dalam cara mendapatkan suatu makanan dengan cara yang haram dan yang batil, seperti mencuri, suap, menipu, judi, dsb. 1. Haram dalam Substansi (Zat) atau Haram li dzatihi 1 Akan sangat mudah bagi masyarakat untuk mengenali dan menghindari produk-produk yang secara fisik sudah tergolong haram, terlebih untuk produk-produk yang alami. Pemahaman keIslaman yang baik akan secara otomatis menyadarkan masyarakat untuk tidak mengkonsumsi produk haram, jangankan mengkonsumsi, melihat wujudnya terkadang membuat umat ‘bergidik’. Terdapat dua jenis kriteria produk yang haram dikonsumsi, yakni yang berupa tumbuhan dan hewan. a. Tumbuhan Semua jenis tumbuhan baik berupa sayur dan buah-buahan boleh dikonsumsi, kecuali yang mengandung racun, memabukkan atau bernajis baik secara langsung ataupun setelah melalui suatu proses. Jika mendatangkan bahaya, maka bahan nabati tersebut menjadi haram untuk dikonsumsi. Adapun masalah makanan dan minuman yang berupa tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan, Islam sendiri tidak mengharamkan produk yang berasal dari tumbuhan ini, kecuali setelah menjadi arak, baik yang terbuat dari anggur, korma, gandum ataupun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda tersebut sudah mencapai kadar memabukkan maka produk tersebut haram. b. Hewan Allah Swt menyediakan banyak sekali jenis hewan yang boleh dikonsumsi manusia, secara garis besar, semua jenis hewan baik yang hidup di darat, di laut maupun di udara boleh disembelih dan dimakan, kecuali beberapa yang dilarang diantaranya adalah: 1
Penjelasan mengenai kriteria makanan haram selanjutnya bersumber dari Hosen, 2007
23
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 23
6/22/2010 6:26:23 PM
Diah Setiari Suhodo
1. 2.
3. 4. 5.
Babi dan produk turunannya Hewan lainnya: a. Hewan yang bertaring seperti gajah, harimau, dsb b. Hewan yang memiliki cakar seperti kucing, burung hantu, burung elang, dsb c. Hewan yang menjijikkan seperti kutu, lalat, cacing, belatung, biawak, dsb d. Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh yakni ular, kalajengking, tikus, cicak, anjing liar, burung gagak dan burung elang e. Hewan yang dilarang untuk dibunuh yakni semut, lebah, katak, burung hud-hud dan burung pelatuk f. Hewan yang beracun atau berbisa g. Hewan yang memakan kotoran (hewan jalallah) Bangkai Darah Hewan yang disembelih tidak menyebut nama Allah Swt
Bangkai hewan termasuk haram karena hewan tersebut mati tanpa disembelih secara sempurna, termasuk diantaranya hewan yang mati karena dicekik, dipukul oleh manusia, jatuh dari tempat yang tinggi, dimangsa oleh hewan lain yang buas sehingga menyisakan daging dan ditanduk atau diserang oleh hewan lain. Tetapi jika hewan seperti yang disebutkan di atas ditemui sebelum mati, masih bergerak kakinya, ekornya atau kerlingan matanya dan kemudian sempat disembelih secara benar maka hewan tersebut halal untuk dimakan. Termasuk diantara kategori bangkai adalah bagian tubuh hewan yang dipotong ketika hewan tersebut masih hidup. Sebagai contoh, di zaman Rasul, kaum kafir Quraish biasa memotong punuk unta hidup. Meski demikian, terdapat dua jenis bangkai yang halal untuk dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Darah juga merupakan bagian tubuh hewan yang haram untuk dimakan, darah di sini adalah darah yang mengalir,
24
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 24
6/22/2010 6:26:23 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
sedangkan untuk darah yang menggumpal seperti hati dan limpa, boleh dikonsumsi, demikian juga darah yang sedikit yang biasa ada pada tubuh hewan seperti yang berada di dalam tulang, yang memang sangat sulit untuk dibersihkan Termasuk diantara yang haram dimakan adalah hewan yang memakan kotoran, baik itu kotoran hewan maupun kotoran manusia, seperti misalnya unta, sapi, kambing, ayam, dsb. yang diberi pakan kotoran.Tetapi jenis hewan seperti ini akan menjadi halal untuk dikonsumsi jika telah dikurung selama 3 hari dan diberi makan dengan pakan hewan. Sesungguhnya, makanan atau pangan yang halal dimakan adalah makanan yang halaalan, thayyiban ditambah mubaarakan dan tidak terdiri dari najis atau bercampur najis. Kenajisan makanan bisa bermula dari bahannya yang memang sudah najis atau karena dalam proses produksinya terkena atau tercampur (Ikhthilat) dengan benda najis atau haram. Penjelasan Nabi Muhammad SAW kalau yang terkena najis atau haram itu makanan yang berbentuk padat (keras), maka buanglah barang najis itu berikut makanan di sekitarnya, dan silahkan memakan sisanya. Sedangkan kalau yang terkena najis atau haram itu makanan yang berbentuk cair, maka seluruh makanan itu tidak boleh lagi dimakan (Mudhafier, 2004). 2. Haram karena sebab lain atau Haram li ghairihi Kriteria ini yang terkadang dilupakan oleh umat Islam karena tidak mudah untuk mengatakan suatu produk yang asalnya halal menjadi tidak halal karena sebab lain yang bermacam-macam. Tingkat pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat akan hal ini juga sangat beragam dan bergantung pada banyak hal, tidak saja pada pengetahuan keagamaan yang luas tetapi juga pengetahuan dan wawasan umum yang luas dan bahkan tingkat pendidikan. Terdapat banyak sebab sebuah produk yang secara substansi halal bisa menjadi haram, diantaranya karena
25
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 25
6/22/2010 6:26:23 PM
Diah Setiari Suhodo
cara mendapatkannya, cara memanfaatkannya, cara memprosesnya, cara menyimpannya, cara menyajikannya dan proses pengolahannya. a. Cara mendapatkan Produk yang secara zat halal dan boleh dikonsumsi bisa menjadi haram dimakan karena cara mendapatkannya melanggar aturan-aturan dalam Islam. Adapun cara mendapatkan makanan yang diharamkan antara lain didapat dari hasil mencuri, berjudi, riba, korupsi, jual beli produk haram dan suap menyuap. b. Cara memanfaatkan Selain cara mendapatkan sebuah produk yang berpotensi ‘menjerumuskan’ produk ke dalam kategori haram, cara memanfaatkan produk juga berpotensi menjadikan sebuah produk makanan menjadi haram. Misalnya daging kambing yang termasuk halal, bisa menjadi haram jika dimakan oleh penderita kolesterol tinggi, asam urat, dan penderita penyakit-penyakit lain yang memiliki pantangan memakan daging kambing. Keharaman di sini lebih dikarenakan pemanfaatan makanan yang menimbulkan kerusakan atau berbahaya bagi kesehatan. c. Cara memproses Binatang yang bisa dikonsumsi manusia tidak bisa langsung dimakan begitu saja, tetapi harus melewati suatu proses yakni penyembelihan, pengulitan, pembersihan dan pemasakan/pematangan. Ketika suatu jenis hewan yang ingin dikonsumsi sudah halal secara zat, maka proses-proses untuk menjadikannya bisa disantap juga harus memenuhi prinsip-prinsip kehalalan yang sudah diatur oleh Islam.
26
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 26
6/22/2010 6:26:23 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
Kecuali ikan dan belalang, semua hewan yang halal dimakan harus melewati proses penyembelihan. Proses ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan tetapi memiliki beberapa syarat yang jika ditinjau dari segi kesehatan akan membawa manfaat yang sangat besar bagi kesehatan manusia. Beberapa persyaratan tersebut diantaranya seekor hewan harus disembelih oleh orang Islam, baligh, berakal dan mengetahui tata cara penyembelihan dalam Islam. Seorang penyembelih boleh saja bukan orang Islam tetapi dia haruslah ahli kitab2 dan menyembelih dengan tata cara Islam. Ketika akan menyembelih haruslah dibacakan Basmallah oleh si penyembelih. Binatang yang akan disembelih harus masih hidup, karena jika binatang yang akan disembelih sudah mati berarti sudah menjadi bangkai dan statusnya menjadi haram untuk dikonsumsi. Ketika akan disembelih, hewan dihadapkan ke kiblat, penyembelihan dilakukan di daerah leher (urat tenggorokan) hingga darah hewan terpancar. Alat yang digunakan untuk menyembelih haruslah yang tajam, hal ini termasuk adab dalam memperlakukan binatang, karena jika alat penyembelih tumpul bisa menyiksa binatang sembelihan sebelum hewan tersebut mati. Setelah disembelih, hewan yang akan dikonsumsi tersebut akan dikuliti dan dibersihkan. Alat-alat yang digunakan dalam proses ini, seperti pisau, ember, baskom dsb haruslah suci, bersih dan halal, tidak digunakan untuk membersihkan daging yang haram. Air yang digunakan untuk mencuci juga harus air yang bersih dan suci mensucikan3. Proses ini harus dilakukan secara seksama, tidak boleh dicampur dengan bahan-bahan atau daging hewan yang haram dikonsumsi. 2
3
Ahli kitab adalah kaum beragama Nasrani (Kristen) dan Yahudi. Dinamakan demikian karena pada keduanya menurut ajaran Islam, Allah menurunkan Kitab Taurat melalui Nabi Musa dan Injil melalui Nabi Isa. Dengan kedatangan Nabi Muhammad dan diturunkannya Al-Quran, ahli kitab ini ada yang menerima dan ada yang menolak kerasulan Muhammad maupaun kebenaran Al-Quran dari Allah. Disebut juga Air Muthlaq, yaitu air suci yang tidak tercampur air najis, yang bisa dipakai wudhu, mandi dan juga bisa dipakai keperluan rumah tangga seperti mencuci piring, dll. Contohnya air laut, air hujan atau air yang keluar dari perut bumi, air zam-zam, air yang berubah warnanya karena tidak mengalir.
27
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 27
6/22/2010 6:26:23 PM
Diah Setiari Suhodo
d. Cara menyimpan dan menyajikan Dalam menyimpan bahan makanan halal, hendaknya disimpan secara baik sehingga tidak terkena najis atau bersentuhan/bercampur dengan bahan makanan haram. Begitupula ketika menyajikan, alat-alat yang digunakan untuk menyajikan, seperti piring, mangkok, sendok, garpu, dsb, haruslah bersih dari najis, kotoran, dan percampuran dari bahan haram. Pakaian orang yang menyajikan juga harus bersih dan bebas dari najis sehingga kemungkinan najis tersebut menodai kehalalan makanan tidak ada.
Makanan Olahan Berkembangnya teknologi pengolahan pangan menjadikan bahan-bahan makanan alami banyak ditransformasi ke dalam beraneka bentuk produk makanan. Bahkan sekarang ini bisa dikatakan bahwa produk makanan olahan memiliki jumlah yang jauh lebih banyak dibanding produk makanan alami. Biskuit, wafer, bolu, es krim, keju, nugget, sosis, bakso, mie, permen, chiki, jelly, krimer, susu instan, dan masih banyak lagi jenis-jenis produk olahan yang dalam proses pembuatannya tidak lagi hanya berisi bahan-bahan yang alami, tetapi sudah bercampur dengan bahan-bahan lain melalui proses kimiawi. Hal ini akan berimplikasi pada status kehalalan suatu produk makanan dimana tidak bisa langsung diputuskan produk itu halal atau haram hanya dengan melihat bentuk fisiknya saja, tetapi harus melalui suatu proses ’audit’ dengan mengikuti standar-standar tertentu. Penelusuran bahan makanan olahan dimulai dari bahan baku yang digunakan, bahan tambahan, bahan penolong, proses produksi, proses pengemasan hingga bahan yang digunakan untuk mengemas. Penelusuran bahan baku tidak hanya sekedar berasal dari babi atau bukan, tetapi juga diselidiki mengenai cara penyembelihan, pembersihan, penyimpanan dan metode produksi. Jika bahan baku suatu produk berasal dari luar
28
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 28
6/22/2010 6:26:23 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
negeri (impor) maka spesifikasi bahan harus diketahui secara lengkap, jika bahan baku impor tersebut berasal dari hewan, harus diketahui secara pasti status kehalalannya. Makanan olahan selalu memiliki bahan-bahan tambahan atau senyawa tertentu, meskipun jumlahnya tidak banyak. Senyawa tambahan ini biasa disebut food additive (zat aditif ) yang bahan bakunya berasal dari tumbuhan, hewan maupun mikroba tetapi sudah melewati proses kimiawi tertentu. Zat aditif adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Zat aditif sudah termasuk pewarna, penyedap rasa, pengawet, pemantap, antioksidan, pengemulsi, penggumpal, pemucat, pengental, dan anti gumpal. Zat aditif ada yang diberikan secara sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu seperti yang sudah disebutkan di atas, ada juga zat aditif yang muncul secara tidak sengaja sebagai akibat dari proses pengolahan makanan. Bila dilihat dari sumbernya, zat aditif ada yang berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dsb, dan ada juga yang disintesis dari bahan-bahan kimia. Zat aditif dari bahan sintesis memiliki beberapa kelebihan seperti lebih pekat, lebih stabil dan harganya lebih murah, tetapi juga memiliki beberapa kelemahan seperti sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan dan sering bersifat karsinogen yang bisa merangsang terjadinya kanker. Zat aditif memiliki kemungkinan haram sehingga bila ditambahkan ke dalam suatu produk makanan yang asalnya halal akan menyebabkan status kehalalannya berubah menjadi haram. Beberapa contoh zat aditif yang biasa digunakan adalah emulsifier, enzim, shortening dan gelatin. Dengan berbagai tambahan dalam memproses makanan halal, maka mejadi penting sertifikat halal yang di autorisasi instansi setempat (akan dijelaskan lebih jauh pada bab terakhir buku ini).
29
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 29
6/22/2010 6:26:23 PM
Diah Setiari Suhodo
Bahan Makanan Beracun dan Berbahaya bagi Kesehatan Selain haram karena zat dan karena sebab lainnya, ada kategori makanan yang tidak boleh dikonsumsi karena mengandung bahaya seperti racun. Bahaya yang terdapat di beberapa jenis makanan ini tidak bersifat absolut, tetapi bisa menjadi berbahaya bila dikonsumsi dalam jumlah tertentu atau menjadi berbahaya bila dikonsumsi oleh orangorang tertentu, misalnya oleh orang-orang yang memiliki penyakit khusus yang berpantangan mengkonsumsi jenis makanan tertentu dimana jika ia memakannya maka akan memperparah sakitnya, padahal jika dikonsumsi oleh orang-orang yang sehat makanan tersebut tidak membawa bahaya, justru menyehatkan. Pada bahan makanan, selain terdapat kandungan gizi yang dibutuhkan tubuh, sering kali juga terdapat senyawa-senyawa kimia yang tidak mempunyai nilai nutrisi. Bahkan ada juga senyawa yang kehadirannya menyebabkan zat gizi lainnya tidak dapat diserap tubuh. Komponen ini sering disebut sebagai zat anti nutrisi. Beberapa contoh makanan segar yang mengandung bahaya diantaranya: kentang mengandung senyawa alkaloid solatinin yang bisa mempengaruhi transmisi impuls syaraf sehingga bisa menyebabkan gangguan pada syaraf manusia, kopi dan teh mengandung kafein yang bisa merangsang berbagai aktivitas biologis organ tubuh yang jika berlebihan akan berbahaya dalam jangka panjang, jengkol mengandung asam jengkolat yang bisa menyumbat saluran air seni, bengkuang mengandung pakrizida yang jika dikonsumsi secara terus menerus dapat menimbulkan kelumpuhan organ pernapasan hingga kematian, daging kambing yang berbahaya jika dikonsumsi penderita darah tinggi dan asam urat, dsb. Agama Islam secara tegas mengharamkan konsumsi makanan nabati dan hewani yang mengandung racun atau zat-zat membahayakan, sebagaimana Allah SWT berfirman yang artinya “Janganlah kamu mencampakkan dirimu dalam kebinasaan” (QS Al Baqarah: 195), sehingga mengkonsumsi makanan yang menimbulkan
30
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 30
6/22/2010 6:26:23 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
kerusakan di tubuh manusia juga menjadikan produk makanan tersebut haram.
Persepsi Muslim Banten terhadap Kehalalan Makanan Dari keseluruhan proses pengumpulan data dan informasi yang dilakukan di daerah penelitian, secara umum bisa dikatakan bahwa pengetahuan mayarakat muslim Banten terhadap konsep dasar halal dan haram dalam makanan sudah sangat baik. Maraknya kajiankajian ke-Islaman di daerah tersebut yang dilakukan oleh kelompokkelompok yang beragam mulai dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapakbapak hingga orang tua menjadi sarana awal bagi masyarakat untuk memahami konsep dasar halal dan haram dalam makanan yang dikonsumsi. Semangat masyarakat muslim Banten untuk mengkaji agama Islam ini bisa menjadi dasar pertama untuk awarness mengenai status kehalalan makanan yang mereka konsumsi. Penelitian ini akan melihat persepsi masyarakat muslim Banten terhadap makanan halal yang terbagi ke dalam tiga kategori, pertama kehalalan konsumsi makanan pada umumnya, baik makanan yang diolah sendiri maupun makanan jadi di dalam kemasan; kedua kehalalan konsumsi daging yang terdiri dari daging yang biasa dikonsumsi masyarakat sehari-hari (daging ayam, sapi dan kambing); dan yang ketiga kehalalan makanan yang terdapat di restoran yang biasa dikunjungi oleh responden, dimana makanan tersebut tidak mereka olah sendiri, apakah awarness masyarakat terhadap kehalalan makanan yang mereka beli di restoran akan sama dengan awarness terhadap kehalalan makanan yang mereka olah sendiri. Hasil analisi data menunjukkan semua responden yang menjadi obyek penelitian ini setuju bahwa mengkonsumsi makanan halal adalah penting, dimana dari skala 1-7 (1 yang paling negatif hingga 7
31
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 31
6/22/2010 6:26:23 PM
Diah Setiari Suhodo
yang paling positif ) angka rata-rata dari jawaban pertanyaan ini sangat tinggi, yakni 6.93 yang hampir mendekati 7. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua responden sangat setuju dengan pernyataan bahwa mengkonsumsi makanan halal adalah penting, 94% responden bahkan menegaskan pentingnya hal ini dengan menyatakan bahwa memakan produk halal adalah sangat penting. Hal ini menandakan bahwa tingkat pemahaman masyarakat Banten akan kehalalan makanan yang mereka konsumsi sangat tinggi.
Persepsi Masyarakat Muslim Banten terhadap Kriteria Makanan Halal Dalam memilih makanan yang akan dikonsumsinya, masyarakat muslim Banten menempatkan faktor Halal sebagai kriteria utama ketika membeli makanan. Hal ini terlihat dari tingginya angka cut of point di kategori Halal yang mencapai angka 6.9 dimana berarti sebagian besar responden (96%) menyatakan bahwa kehalalan dalam makanan yang mereka beli adalah sangat penting, dan hanya sebagian kecil responden saja (4%) yang mengangap kehalalan makanan bukanlah faktor yang perlu dipertimbangkan ketika membeli makanan. Faktorfaktor lain yang juga penting menurut persepsi responden adalah bahan makanan segar dan berkualitas serta kebersihannya terjaga, sedangkan faktor harga tidak terlalu menjadi pertimbangan utama ketika membeli makanan.
32
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 32
6/22/2010 6:26:23 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
Tabel 2.1 Sekor rata-rata Responden atas Kriteria Utama dalam Memilih Makanan Urutan 1. 2. 3. 4. 5.
Kriteria Utama dalam Memilih Makanan Halal Segar dan berkualitas Kebersihan Nyaman dan praktis Harga murah
Nilai Rata-rata 6.90 6.84 6.77 6.26 5.31
Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
Responden dengan latar belakang pendidikan pesantren dengan tegas menyatakan bahwa kehalalan makanan sangatlah penting, 100% responden lulusan pesantren menyetujui hal tersebut. Sedikit perbedaan terlihat pada pendapat responden yang berlatar belakang pendidikan non-pesantren dimana mereka terlihat sedikit “longgar” karena ada beberapa responden yang menyatakan bahwa kehalalan makanan bukanlah hal yang sangat penting dalam mengkonsumsi makanan.
Gambar 2.1 Kriteria Utama dalam Memilih Makanan Menurut Latar Belakang Pendidikan Keagamaan Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
33
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 33
6/22/2010 6:26:23 PM
Diah Setiari Suhodo
Tidak adanya kandungan babi dalam makanan menempati prioritas tertinggi krtiteria makanan halal menurut persepsi masyarakat muslim Banten. Tidak ada responden yang tidak setuju bahwa makanan halal tidak boleh mengandung babi. Hal yang sama juga terjadi pada kriteria makanan halal selanjutnya, yakni tidak mengandung alkohol. Dari skala 1 hingga 7, rata-rata pilihan jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut memiliki skor tertinggi, mendekati skor tertinggi 7, yakni 6.88 dan 6.87 untuk kriteria makanan halal tidak mengandung babi dan tidak mengandung alkohol (khamr). Responden juga setuju bahwa makanan yang halal tidak boleh rusak atau kadaluarsa. Pendapat ini sesuai dengan prinsip makanan halal yang bukan hanya dilihat dari kehalalan zat-nya saja tetapi juga dari faktor lain, dalam hal ini faktor manfaatnya bagi kesehatan. Selain tidak boleh rusak atau kadaluarsa, faktor makanan yang tidak mengandung racun juga dikategorikan ke dalam makanan halal. 80% responden menyatakan sangat setuju bahwa salah satu kriteria makanan halal seharusnya tidak mengandung racun. Yang menarik, sebagian responden berpendapat bahwa adanya tulisan halal dan sertifikasi dari MUI tidak menjadi kriteria kehalalan suatu makanan. Dari hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa terkadang mereka tidak terlalu memperhatikan adanya tulisan halal maupun sertifikasi halal MUI. Meskipun tidak semua responden berlaku demikian, tetapi harus diakui bahwa awarness masyarakat terhadap legalisasi kehalalan suatu produk lewat tulisan halal maupun sertifikasi MUI belum menjadi perhatian utama (lihat uraian lebih lanjut pada Bab 6 buku ini). Selanjutnya, ternyata masyarakat muslim Banten ada yang berpendapat bahwa cara mendapatkan makanan tidak termasuk ke dalam kriteria makanan halal, beberapa responden menyatakan ketidaksetujuannya bahwa makanan yang tidak ilegal tidak termasuk ke dalam kriteria makanan halal. Meskipun demikian, responden yang setuju bahwa makanan ilegal tidak termasuk kategori halal cukup banyak. Hal ini menandakan bahwa pemahaman masyarakat muslim
34
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 34
6/22/2010 6:26:23 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
Banten terhadap kriteria makanan halal terdiri dari dua hal, yakni halal karena zat dan halal karena sebab lain. Berikut urut-urutan kriteria makanan halal menurut responden masyarakat muslim Banten: Tabel 2.2 Sekor rata-rata Responden terhadap Kriteria Makanan halal
Urutan
Kriteria Makanan Halal Tidak mengandung babi
Nilai Rata-rata 6.88
Tidak mengandung alkohol (khamr) Tidak mengandung racun Tidak rusak atau kadaluarsa
6.87 6.59 6.57
Ada sertifikasi dari MUI
6.40
Bukan barang illegal
6.29
Ada tulisan Halal
6.10
Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
Jika dilihat dari perspektif responden berdasarkan pendidikan agama mereka yang menggunakan indikator pendidikan pesantren dan non pesantren, terlihat bahwa perspektif responden pesantren relatif lebih ”ekstrim” dibandingkan perspektif responden nonpesantren. Penelitian ini mengasumsikan bahwa masyarakat yang memiliki pendidikan pesantren akan memiliki komitmen yang lebih kuat untuk mengkonsumsi makanan halal. Asumsi ini didasari pemikiran bahwa pendidikan pesantren akan membuat pengetahuan keagamaan seseorang menjadi lebih banyak dan lebih luas, sehingga komitmen mereka untuk menjalankan perintah agamapun menjadi lebih kuat. Komitmen menjalankan agama ini termasuk diantaranya mengkonsumsi makanan halal.
35
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 35
6/22/2010 6:26:24 PM
Diah Setiari Suhodo
Tabel 2.3 Kriteria Makanan Halal Menurut Latar Belakang Pendidikan Keagamaan
Kriteria Makanan Halal
Pendidikan Keagamaan Pesantren
Non Pesantren
Tidak mengandung babi
6.98
6.78
Tidak mengandung alkohol
6.98
6.76
Tidak rusak atau kadaluarsa
6.46
6.68
Tidak mengandung racun
6.56
6.62
Ada sertifikasi dari MUI
6.56
6.24
Ada tulisan Halal
6.18
6.02
Bukan barang illegal
6.32
6.26
Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
Pasar tradisional atau warung merupakan tempat berbelanja makanan halal yang paling banyak dikunjungi oleh responden. Sebanyak 63% responden menyatakan sering, bahkan selalu berbelanja di pasar radisional atau warung. Pemilihan pasar tradisional atau warung ini bukanlah didasarkan pada banyaknya variasi makanan halal yang bisa didapat dibandingkan di tempat lain atau pada jaminan kepastian halalnya bahan makanan, tetapi lebih pada kebiasaan masyarakat muslim Banten dan kemudahan akses untuk menjangkau pasar tradisional atau warung.
Persepsi Masyarakat Muslim Banten terhadap Kriteria Daging Halal Meski sebagian besar responden menyatakan bahwa makanan halal mudah mereka dapatkan di sekitar tempat tinggal mereka
36
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 36
6/22/2010 6:26:24 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
dan mereka memiliki banyak pilihan produk halal, 11% responden menyatakan sebaliknya, bahwa makanan halal tidak terlalu mudah diperoleh disekitar mereka dan tidak terlalu banyak pilihan jenis produk yang termasuk kategori halal. Beberapa alasan mendasari pernyataan ini, diantaranya untuk kategori makanan segar seperti daging (termasuk diantaranya daging ayam, sapi, dan kambing), responden mengaku tidak pernah mengecek kehalalan daging yang mereka beli, mereka tidak pernah menanyakan proses pemotongannya, dan hal-hal lain yang menjadi persyaratan kehalalan makanan sembelihan. Mereka selalu mengasumsikan bahwa daging yang mereka beli sudah otomatis halal meski tidak ada cap/logo halal yang tertempel pada daging tersebut. Asumsi ini muncul karena beberapa alasan, pertama responden melihat bahwa yang menjual daging adalah orang yang beragama Islam, kedua mereka merasa tidak terbiasa menanyakan asal usul daging yang akan mereka beli, ketiga mereka merasa bahwa menanyakan kehalalan daging kepada penjual termasuk kategori tidak sopan sehingga muncul rasa enggan atau tidak enak untuk menanyakan kepastian kehalalan daging tersebut. Dalam hal memilih daging yang akan dikonsumsi, responden lebih mengutamakan daging yang segar dan berkualitas dibandingkan kriteria-kriteria lain seperti cara memotong dan adanya legalisasi halal baik yang hanya berupa tulisan saja maupun sertifikasi. Hal ini sangat dimaklumi mengingat sebagian besar responden lebih sering berbelanja di pasar tradisional daripada di supermarket maupun membeli langsung dari rumah potong hewan atau peternak. Penjual daging di pasar tradisional biasanya menjual daging dalam bentuk gelondongan yang akan dipotong-potong sesuai keinginan pembeli, sehingga sangat sulit mendeteksi apakah daging tersebut 100% halal atau tidak.
37
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 37
6/22/2010 6:26:24 PM
Diah Setiari Suhodo
Tabel 2.4 Kriteria Pemilihan Daging Urutan
Kriteria dalam Memilih Daging
Nilai Rata-rata
1.
Segar dan berkualitas
6.89
2.
Kebersihan
6.79
3.
Cara Memotong Dagingnya
6.35
4.
Ada Sertifikasi MUI
6.11
5.
Ada Sertifikasi Badan POM
5.90
6.
Ada Tulisan Arab Halal
5.68
7.
Harga murah
5.24
Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
Jika dilihat dari latar belakang pendidikan keagamaan responden, seperti halnya dengan penentuan kriteria makanan halal, responden yang memiliki pendidikan pesantren memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibanding responden non-pesantren dalam semua kategori kriteria pemilihan daging. Jadi, bisa dibilang responden pesantren memiliki persepsi yang lebih ”ketat” dalam memilih daging untuk mereka konsumsi dibanding responden non-pesantren.
38
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 38
6/22/2010 6:26:24 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
Tabel 2.5 Kriteria Pemilihan Daging Menurut Latar Belakang Pendidikan Keagamaan Pendidikan Keagamaan Kriteria dalam Memilih Daging Pesantren
Non Pesantren
Segar dan berkualitas
6.94
6.84
Kebersihan
6.88
6.7
Cara Memotong Dagingnya
6.72
5.98
Ada Sertifikasi MUI
6.72
5.5
Ada Sertifikasi Badan POM
6.44
5.36
Ada Tulisan Arab Halal
6.1
5.26
Harga murah
5.64
4.84
Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
Hal yang menarik dari penelitian ini pernyataan bahwa masyarakat sebenarnya berharap bisa membeli daging yang terjamin kehalalannya di penjual khusus daging halal. Menurut mereka adanya penjual khusus daging halal bisa menjamin 100% kehalalan daging yang akan mereka konsumsi. Seperti diketahui, bahwa di Indonesia belum ada penjual khusus daging halal seperti yang terdapat di luar negeri, utamanya di negara-negara yang umat Islam menjadi minoritas. Dari hasil penelitian, sejumlah 94% responden sangat setuju untuk membeli daging di penjual khusus daging halal sehingga mereka benar-benar yakin bahwa daging yang mereka beli terjamin kehalalannya. Yang terjadi saat ini, walaupun mereka tidak terlalu yakin akan kehalalan daging yang mereka beli di pasar tradisional secara gelondongan, tetapi tidak berani untuk menanyakan asal usul daging tersebut, apakah cara pemotongannya sudah sesuai dengan persyaratan halal atau tidak. Sehingga masyarakat akhirnya ”berbaik sangka” dengan berasumsi bahwa daging yang mereka beli sudah halal, dan untuk ”menjamin”
39
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 39
6/22/2010 6:26:24 PM
Diah Setiari Suhodo
kehalalannya maka ada pernyataan supaya membaca basmallah saja sebelum memakan daging tersebut. Sebenarnya, daging yang beredar di pasaran sudah melewati pengawasan baik dari segi kehalalan maupun kesehatannya dari Departemen Agama dan Departemen Pertanian, tetapi maraknya kasus daging yang tercemar, seperti daging ayam yang disuntik zat berbahaya supaya terlihat besar, daging sapi yang dicampur daging babi, dsb, membuat masyarakat muslim Banten berpendapat bahwa membeli daging akan lebih terjamin kehalalannya jika ada penjual khusus daging halal. Belum adanya penjual daging yang secara khusus menyatakan bahwa dirinya menjual daging halal sesungguhnya membuka kesempatan bisnis dengan pasar yang luar biasa besar mengingat lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam yang tentunya akan memilih mengkonsumsi daging yang 100% halal daripada daging yang belum jelas kehalalannya atau yang meragukan.
Gambar 2.2 Tempat Terbaik untuk Membeli Daging Halal Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
40
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 40
6/22/2010 6:26:24 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
Persepsi Masyarakat Muslim Banten terhadap Kriteria Restoran Halal Konsisten dengan kriteria memilih makanan dan daging yang akan dikonsumsinya, masyarakat muslim Banten juga menempatkan faktor halal sebagai kriteria utama ketika mereka akan memilih restoran. Nilai rata-rata yang diberikan oleh responden sebesar 6.84 mendekati nilai tertinggi 7, dimana hal ini berarti restoran yang halal merupakan kriteria yang sangat penting ketika responden menginginkan membeli makanan di luar rumah. Faktor halal dipilih oleh 92% responden sebagai faktor pertimbangan utama ketika mereka memilih restoran. Faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan responden dalam memilih restoran adalah tempatnya yang nyaman dan bersih, kondisi restoran yang tidak remang-remang, hidangan yang ditawarkan bervariasi serta lokasinya yang dekat. Semua responden (100%) dengan latar belakang pendidikan pesantren dengan tegas menyatakan bahwa kriteria halal merupakan kriteria yang sangat penting dalam memilih restoran, hal yang sedikit berbeda terlihat pada persepsi responden berlatar belakang pendidikan non-pesantren, dimana hanya 84% responden saja yang mengatakan bahwa faktor kehalalan menjadi kriteria yang sangat penting dalam memilih restoran.
41
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 41
6/22/2010 6:26:24 PM
Diah Setiari Suhodo
Gambar 2.3 Faktor Pertimbangan dalam Memilih Restoran Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
Restoran yang dengan jelas tidak menyajikan menu masakan babi di dalam daftar menunya merupakan indikasi pertama dan yang paling bisa diketahui oleh konsumen, sehingga hal ini menjadi kriteria utama restoran tersebut dikatakan halal. Selanjutnya restoran yang tidak menyajikan minuman beralkohol merupakan kriteria restoran halal, lalu diikuti dengan adanya sertifikasi MUI, khususnya untuk restoran-restoran cepat saji seperti Kentucky Fried Chicken, Hoka-Hoka Bento, dsb.
Gambar 2.4 Kriteria Restoran yang Halal Sumber: Diolah dari data Primer P2E LIPI, 2009
42
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 42
6/22/2010 6:26:24 PM
Kriteria Makanan Halal dalam Persepsi Masyarakat Muslim Banten
Kesimpulan Pemahaman masyarakat muslim Banten terhadap halal dan haram dalam makanan sangat tinggi, terutama untuk makananmakanan yang berupa bahan mentah yang memerlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi, seperti daging, ikan, sayur mayur, dsb. Maraknya kegiatan kajian keagamaan yang dilakukan secara rutin oleh masyarakat merupakan sarana yang sangat baik untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kaidahkaidah dasar halal dan haram. Masyarakat muslim Banten secara konsisten mengutamakan kehalalan ketika mereka membeli makanan, membeli daging dan memilih restoran. Masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren cenderung lebih ‘ketat’ dalam hal ini dibandingkan responden dengan latar belakang pendidikan non-pesantren, sehingga bisa dikatakan komitmen mereka yang berpendidikan pesantren lebih tinggi untuk memilih makanan halal dibandingkan mereka yang tidak memiliki pendidikan pesantren. Beberapa kriteria makanan halal menurut persepsi masyarakat muslim Banten adalah tidak mengandung babi dan tidak mengandung alkohol (khamr), sedangkan adanya sertifikasi halal dari MUI tidaklah menjadi keharusan tercantum pada sebuah makanan. Penelitian ini melihat persepsi makanan halal secara umum dan cenderung kepada konsumsi makanan yang diolah sendiri oleh masyarakat, padahal dewasa ini marak sekali makanan-makanan olahan yang dijual di sekeliling masyarakat baik yang diolah oleh pabrikan (biasanya dalam bentuk kemasan), maupun yang diolah oleh penjual skala industri rumahan. Makanan-makanan olahan ini rentan sekali masuk ke area makanan syubhat bahkan halal, karena meskipun secara zat dasar atau bahan dasar makanan tersebut halal, tetapi dalam proses pengolahannya bisa saja menggunakan zat-zat yang haram. Selain makanan, banyaknya minuman-minuman kemasan baik dalam
43
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 43
6/22/2010 6:26:24 PM
Diah Setiari Suhodo
bentuk cair maupun serbuk juga patut diwaspadai oleh masyarakat mengenai kehalalannya, terlebih jika produk tersebut belum memiliki sertifikasi halal. Pentingnya mengetahui awarness masyarakat terhadap kehalalan makanan dan minuman olahan menjadi bahan penelitian yang penting untuk dilakukan dan bisa menjadi penelitian lanjutan dari penelitian ini. Terlebih lagi, belum banyak edukasi dilakukan oleh perangkat keagamaan, mengenai halal dan haram makanan olahan sehingga pemahaman masyarakat akan hal ini pun belum mendalam.
44
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 44
6/22/2010 6:26:24 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
BAB 3 DETERMINANSI TINGKAT SOSIAL-EKONOMI TERHADAP PERILAKU KONSUMSI PRODUK MAKANAN HALAL Yani Mulyaningsih
Pendahuluan Pada Bab sebelumnya sudah dikemukakan bahwa semakin beragamnya produk makanan yang ditawarkan di pasaran, baik dalam bentuk bahan makanan mentah maupun olahan atau siap saji, selain membuat pilihan masyarakat semakin beragam, sehingga perlu kehati-hatian dalam menentukan dan memilih kehalalan suatu produk. Kehalalan produk makanan akan menjadi pertimbangan utama disamping pertimbangan lainnya, seperti halnya kebersihan maupun sehatnya produk makanan tersebut. Tidak mustahil produk makanan yang ditawarkan diragukan kehalalannya, akibat antara lain, penggunaan teknologi pengolahannya. Teknologi pengolahan makanan yang dapat mengubah makanan sehingga berubah dari bentuk dasarnya, dan seringkali perubahan tersebut secara kasat mata sulit untuk dideteksi. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu pengetahuan bagi konsumen Muslim untuk mengkonsumsi makanan yang tersedia di pasaran, terutama produk makanan yang telah menggunakan teknologi tinggi, baik produk lokal maupun produk import. Diasumsikan masyarakat yang berpendidikan akan lebih selektif dalam berkonsumsi, yang antara lain, karena mereka senantiasa mencari informasi tentang kualitas suatu produk termasuk kehalalannya.
45
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 45
6/22/2010 6:26:24 PM
Yani Mulyaningsih
Konsumsi seorang Muslim dibatasi kepada barang-barang yang halal (QS. Al Baqarah ayat 75). Dalam ekonomi Islam khususnya ekonomi pemasaran, barang yang sudah dinyatakan haram untuk dikonsumsi otomatis tidak lagi memiliki nilai ekonomi, karena tidak boleh diperjualbelikan. Norma dan batasan ini pada gilirannya akan membentuk gaya hidup (life style) dan pola perilaku (patterns of consumption bahaviour) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari gaya hidup yang tidak diilhami oleh roh ajaran Islami (Nasution dkk., 2006). Kehalalan produk makanan merupakan hal mutlak bagi konsumen Muslim. Oleh karenanya, bagi konsumen Muslim, kehalalan produk merupakan filterisasi awal untuk aktivitas berkonsumsi. Setelah melewati filterisasi tersebut, pertimbangan selanjutnya terkait dengan pertimbangan pendapatan. Pendapatan dalam buku teks ekonomi merupakan kendala awal untuk aktivitas konsumsi. Besar kecilnya konsumsi seseorang dipengaruhi oleh pendapatannya. Dengan semakin meningkatnya pendapatan seseorang maka persentase pengeluarannya untuk konsumsi akan semakin kecil pula. Mengacu pada uraian di atas, maka menarik untuk dicermati keterkaitan antara pendidikan dan juga tingkat pendapatan (mewakili determinasi kondisi sosial ekonomi) dengan perilaku konsumsi makanan (produk) halal. Penulisan dalam bab ini akan mengungkapkan sejauhmana determinasi sosial ekonomi masyarakat Banten mempengaruhi perilaku konsumsi produk halal. Sebelum menggambarkan hasil analisa data tentang keterkaitan kedua hal tersebut, tulisan ini akan memaparkan tinjauan empiris tentang karakteristik masyarakat Banten.
46
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 46
6/22/2010 6:26:25 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
Determinansi Sosial Ekonomi Pendidikan): Tinjauan Empiris
(Pendapatan
dan
Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Banten Sebagai daerah otonom Banten pernah memiliki kejayaan pada periode Kesultanan (1552-1809), yang kemudian berganti menjadi Karesidenan pada tahun 1817-1973. Masa kejayaan kesultanan Banten tersebut, tidak saja menjadi salah satu pendorong munculnya ide untuk memekarkan diri (Soesilowati, 2008), tetapi juga merupakan fase sejarah penting kerajaan Islam yang telah memberikan pengaruh kuat terhadap keIslaman masyarakat Banten (http://www.banten.go.id). Sebagai masyarakat yang berkarakteristik agamis Islami masalah haram dan halal dalam berkonsumsi merupakan sesuatu yang selayaknya tidak asing dalam kehidupan mereka. Namun, dengan kemajuan teknologi kadangkala pemilahan terhadap masalah haram dan halalnya suatu produk menjadi tidak mudah. Introdusir teknologi membuat suatu produk yang dihasilkan berbeda dengan bahan asalnya. Untuk itu diperlukan pengetahuan bagi masyarakat tentang suatu produk sehingga masyarakat akan terjaga dari produk yang sifatnya samar bahkan mengarah ke haram. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, masyarakat yang berpendidikan diharapkan akan senantiasa berusaha mencari informasi terkait dengan suatu produk yang ada di pasaran. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi keputusan dalam pembelian suatu produk. Di samping faktor pendidikan, masalah konsumsi termasuk konsumsi makanan halal pun akan dibatasi oleh pendapatan. Sehingga kedua variabel tersebut cukup signifikan untuk menjadi barometer pengaruh kondisi sosial-ekonomi masyarakat Muslim Banten terhadap perilaku konsumsi makanan halalnya.
47
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 47
6/22/2010 6:26:25 PM
Yani Mulyaningsih
Tingkat Pendidikan Responden Berbagai informasi penting yang diperoleh setiap individu dalam proses pembelajaran selama periode pendidikan akan mempengaruhi perilaku termasuk perilaku konsumsi. Konsumen yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pandangan yang berbeda dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.
Gambar 3.1 Tingkat Pendidikan Umum Responden Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
Mengacu pada gambar 3-1, Nampak bahwa sebagian besar responden di daerah penelitian berpendidikan sarjana (47%), selanjutnya adalah SLTA (34%) dan SLTP (10%). Oleh karena pada umumnya masyarakat di daerah penelitian adalah masyarakat religious, maka diasumsikan pengetahuan tetang agama yang dianutnya cukup tinggi. Pengetahuan agama tersebut bisa didapat dari pendidikan agama yang diperoleh melalui pendidikan pesantren, sekolah agama (Diniyah) maupun berbagai tingkatan Madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Tidaklah sulit bagi masyarakat Muslim Banten untuk bisa mengenyam pendidikan di pesantren, mengingat jumlah pesantren
48
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 48
6/22/2010 6:26:25 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
tersebar di mana-mana, dari perkotaan sampai pelosok desa. Di ibukota propinsi Banten yaitu Serang jumlah pesantren lebih dari 1000 pesantren1. Jumlah ini pastilah bertambah mengingat keberadaan pesantren tersebut tidak hanya di ibukota propinsi, di daerah-daerah lainnya juga banyak dijumpai pesantren, seperti halnya di Cilegon. Cilegon sebagai daerah yang dikategorikan kota, jumlah pesantren yang ada sekitar 320 buah. Hal ini mengindikasikan juga banyaknya masyarakat Banten yang mengenyam pendidikan pesantren disamping pendidikan umum. Jika dilihat komposisi antara masyarakat yang mengenyam pendidikan umum dan pesantren ternyata jumlahnya sama2, artinya 50% masyarakatnya berpendidikan umum, dan sisanya 50% berpendidikan pesantren. Hasil wawancara tersebut menjadi acuan peneliti dalam menentukan porsi responden, sehingga didapatkan komposisi responden sperti yang digambarkan dalam Gambar 3-2.
Gambar 3.2 Pendidikan Responden Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
Seperti halnya dalam sistem pendidikan umum, di pesantren pun dikenal pula adanya tingkatan pendidikan. Namun demikian, agak berbeda dengan sistem pendidikan umum, tingkatan pesantren 1
Hasil wawancara dengan instansi terkait Hasil wawancara dengan instansi terkait
2
49
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 49
6/22/2010 6:26:25 PM
Yani Mulyaningsih
(khususnya pesantren salafiyah) didasarkan kepada tingkatan penguasaan bahasa Arab. Seiring dengan semakin tingginya pemahaman terhadap bahasa Arab tersebut maka tingkatannya akan lebih tinggi dan otomatis kitab yang dipelajarinya akan meningkat pula. Oleh karenanya, naiknya seseorang ke jenjang yang lebih tinggi bukan didasarkan kepada hitungan waktu tertentu, seperti lazimnya pada pendidikan umum, tetapi hal ini juga didasarkan kepada penguasaan terhadap ilmu yang dipelajarinya. Pada umumnya tingkatan yang ada dalam pesantren3 adalah sebagai berikut: 1. 2. 3
Amil Jurumiah Kailani/Matan Bina Alfiah
Amil adalah tingkatan penguasaan bahasa Arab yang paling dasar, sehingga kitab-kitab yang dipelajarinya pun masih sekitar tingkatan dasar, masih terkait dengan aqidah dan ibadah yang prinsipil, seperti halnya fikih tentang bersuci, sholat beserta rukun-rukunnya. Setelah tingkatan Amil, selanjutnya akan meningkat ke tingkatan Jurumiah Kailani/Matan Bina. Tingkatan ini merupakan tingkatan menengah dalam sistem pesantren. Pada tingkatan ini, seseorang sudah mempelajari mengenai hukum halal dan haram, serta hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas muamalah lainnya. Artinya, pada tingkatan ini pemahaman seseorang sudah memadai, dengan sudah dikuasainya ilmu bahasa. Selanjutnya tingkatan paling akhir yaitu Alfiah. Tingkatan ini setara dengan pendidikan umum perguruan tinggi. Pada umumnya, mayoritas masyarakat menganggap bahwa tingkatan jurumiah sudah cukup, sehingga jarang yang melanjutkan ke tingkatan paling akhir, yaitu Alfiah. Pada tingkatan ini lebih banyak kepada masalah interpretasi. Namun demikian, kemungkinan terjadinya multiinterpretasi bisa dihindari karena disertai adanya rujukan dari 3
Hasil wawancara dengan seorang pengajar di Pesantren
50
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 50
6/22/2010 6:26:25 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
ulama-ulama terdahulu. Tingkatan bahasanya juga lebih kompleks yaitu bahasa sastra.
Gambar 3.3 Tingkat Pendidikan Pesantren Responden Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
Berdasarkan Gambar 3-3, diantara responden yang berpendidikan pesantren, ternyata mayoritas telah menempuh tingkatan pendidikan Jurumiyah-Kaylani/Matan Bina sebanyak 69% dan sisanya tingkat pendidikan Amil (21%) dan Alfiyah (10%). Selain di lembaga pendidikan pesantren, masyarakat pun biasa menimba ilmu agama pada jenis pendidikan lainnya yaitu pendidikan sekolah agama, atau dikenal dengan sebutan Diniyah. Sebenarnya pendidikan Diniyah ini non formal, tidak ada kelanjutan untuk jenjang di atasnya. Namun di beberapa kawasan kabupaten/ walikota di daerah penelitian, sertifikat lulusan Ibtidaiyah, misalnya, merupakan prasyarat bagi siswa untuk masuk SLTP. Hal ini diatur dalam Perda. Ini merupakan wujud keprihatinan Pemda terhadap kondisi masyarakatnya yang menurut pengamatannya cukup banyak masyarakat Muslim Banten yang tidak bisa membaca Al Quran. Oleh karenanya, Pemda setempat mewajibkan siswa yang akan masuk SLTP untuk mampu membaca Al Quran. Sekolah Diniyah ini dilakukan bersamaan dengan sekolah umum
51
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 51
6/22/2010 6:26:25 PM
Yani Mulyaningsih
yaitu sekolah dasar. Biasanya siswa pagi hari sekolah umum (SD) dan siang hari menempuh sekolah agama (Diniyah). Dahulu ada persepsi di masyarakat Banten, bahwa mereka akan bangga jika mendapat mantu lulusan pesantren. Sekarang keadaan sudah berubah, persepsi tersebut sudah tidak berlaku lagi4. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu seseorang yang mempunyai pendidikan agama sangat dihargai. Langkah-langkah yang dilakukan pemda terkait perda yang mewajibkan sekolah diniyah bagi masyarakatnya dipandang perlu dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan kejayaan Banten masa lalu, dimana agama Islam saat itu sangat berperan. Berdasarkan data di lapangan seluruh respoden menjawab mereka menempuh pendidikan Diniyah bersamaan dengan sekolah di pendidikan umum yaitu Sekolah Dasar.
Tingkat Pendapatan Responden Dalam hal tingkat pendapatan, dalam penelitian ini tingkat pendapatan merupakan proksi dari tingkat pengeluaran suatu rumah tangga untuk keperluan makan, listrik dan telpon, pendidikan, pemeliharaan rumah/sewa rumah, biaya transport, biaya kesehatan, rekreasi, tabungan dan lain-lain. Tingkat pengeluaran sebuah rumah tangga responden di daerah penelitian ditunjukkan pada Gambar 3-5.
Gambar 3.4 Tingkat Pengeluaran Responden Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009 4
Wawancara dengan tokoh masyarakat
52
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 52
6/22/2010 6:26:25 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
Pada gambar 3-5 terlihat bahwa sebagai daerah perkotaan, biaya hidup di daerah penelitian cukup tinggi, terbukti mayoritas responden mempunyai tingkat pengeluaran yang cukup besar yaitu Rp.1.500.000 sampai kurang dari Rp.2.500.000 (28%), di atas Rp.4.500.000 (22%), dan antara Rp.2.500.000 sampai kurang dari Rp.3.500.000 (17%).
Analisis Determinasi Sosial Ekonomi (Pendapatan dan Pendidikan) terhadap Perilaku Konsumsi Produk Halal Niat seseorang akan mempengaruhi perilaku konsumsi produk halal yang ditentukan oleh faktor-faktor pengetahuan sesorang yang didapat dari tingkatan pendidikan dan sumber yang dimiliki dalam hal ini uang (tingkat pendapatan). Hal senada dikemukakan oleh Essael:1987 hal 11 dalam Tedjakusuma dkk: 2001, bahwa faktor individual konsumen yang meliputi pendidikan dan tingkat penghasilan konsumen akan mempengaruhi keputusan untuk membeli. Diasumsikan terdapat korelasi langsung antara tingkat pendidikan dan pendapatan terhadap perilaku konsumen. Pendidikan mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan. Konsumen yang pendidikan tinggi mempunyai pandangan yang berbeda terhadap alternatif merk dan harga dibandingkan dengan konsumen yang berpendidikan rendah. Untuk melakukan pembelian, konsumen tidak terlepas dari karakteristik produk baik mengenai penampilan, gaya, mutu dan harga dari produk tersebut. Penetapan harga jual oleh penjual akan berpengaruh terhadap perilaku pembelian konsumen, sebab harga yang dapat dijangkau oleh konsumen akan membuat konsumen melakukan pembelian terhadap produk tersebut. Artinya, konsumen akan membuat keputusan untuk melakukan pembelian disesuaikan dengan tingkat pendapatannya.
53
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 53
6/22/2010 6:26:26 PM
Yani Mulyaningsih
Perilaku Konsumen Produk Halal Aktivitas ekonomi seorang Muslim termasuk dalam berkonsumsi akan terikat dengan norma-norma maupun hukum yang tercantum dalam Al Quran dan hadist. Dengan berlandaskan pada norma tersebut maka akan membentuk pola perilaku konsumsi yang Islami. Adapun aturan Islam mengenai bagaimana seharusnya melakukan konsumsi adalah sebagai berikut (Nasution, dkk: 2006): a. Tidak boleh berlebih-lebihan Allah SWT berfirman dalam QS. Al-an’aam ayat 141:”....dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. Jika manusia dilarang untuk berlebih-lebihan, itu berarti manusia sebaiknya melakukan konsumsi seperlunya saja. Pengamalan ayat di atas berarti juga sikap memerangi kemubaziran, sifat sok pamer, mengkonsumsi barang-barang yang tidak perlu. Dalam bahasa ekonomi, perilaku konsumsi Islami yang tidak berlebih-lebihan berarti bahwa pola permintaan Islami lebih didorong oleh faktor kebutuhan (needs) daripada keinginan (wants) b. Mengkonsumsi yang halal dan thayyib Konsumsi seorang Muslim dibatasi kepada barang-barang yang halal dan thayyib (QS. Al Baqarah ayat 75). Tidak ada permintaan untuk barang haram. Di samping itu dalam Islam, barang yang sudah dinyatakan haram untuk dikonsumsi otomatis tidak lagi memiliki nilai ekonomi, karena tidak boleh diperjualbelikan. Berkaitan dengan aturan pertama tentang larangan berlebih-lebihan, maka barang halal pun tidak dapat dikonsumsi sebanyak yang kita inginkan. Harus dibatasi sebatas cukupnya keperluan, demi menghindari kemewahan, berlebih-lebihan dan kemubaziran.
54
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 54
6/22/2010 6:26:26 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
Dengan demikian konsumsi dalam Islam sarat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditaati. Berdasarkan penjelasan sebelumnya terungkap bahwa masyarakat Banten adalah masyarakat yang agamis. Kondisi ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu dimana Islam saat itu banyak berperan dan memberikan kontribusi bagi kejayaan masyarakat Banten. Hal itu terus berlanjut hingga kini, salah satunya terindikasikan melalui penerbitan perda-perda yang sarat dengan nuansa Islam, misalnya perda yang telah disebutkan sebelumnya tentang kewajiban bagi siswa memiliki ijazah Diniyah (setara Ibtidaiyah) untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP. Artinya, pendidikan agama sudah ditanamkan kepada anak-anak sejak dini melalui pendidikan, sehingga anak-anak kenal, paham dan mengaplikasikannya dalan kehidupan sehari-hari. Tentu saja bagi mereka yang hanya menamatkan pendidikan Diniyah (Ibtidaiyah) bisa melanjutkan ke pendidikan umum di atasnya, yaitu SLTP. Seluruh responden dalam penelitian ini telah menempuh sekolah agama. Bahkan, banyak pula masyarakat Banten yang mengkhususkan diri menempuh pendidikan pesantren untuk memperdalam pengetahuan agamanya. Mayoritas responden menyatakan mereka menempuh pendidikan pesantren disamping pendidikan umum. Berdasarkan gambaran tersebut, pendidikan agama baik yang formal dan non formal merupakan bagian penting bagi mereka dalam upaya meningkatkan pemahaman atas agamanya. Asumsinya, dengan adanya bekal pendidikan agama maka mereka akan paham terhadap agamanya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam berkonsumsi, sehingga dapat membentuk perilaku konsumsi yang Islami. Untuk itu, perilaku konsumsi makanan halal diungkap berdasarkan beberapa pertanyaan yang ada pada kuesioner. Ada 21 kategori pertanyaan sebagai indikator terhadap perilaku
55
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 55
6/22/2010 6:26:26 PM
Yani Mulyaningsih
konsumsi makanan halal. Tetapi sebelumnya diperlukan terlebih dahulu berbagai uji, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang ada bisa merepresentasikan variable perilaku konsumsi halal. Tahapan yang dilakukan adalah dengan melakukan uji statistik yaitu uji validitas dan reliabilitas terhadap masing-masing pertanyaan. Selanjutnya baru dilakukan interprestasi nilai tentang perilaku konsumsi halal. Uji Validitas Uji validitas dilakukan dengan menggunakan metode analisis faktor. Validitas data diuji dengan melihat nilai anti image korelasi keseluruhan jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner yang merupakan atribut/indikator dari variabel perilaku konsumsi produk halal. Atribut dengan nilai anti image korelasi atau measurement of sampling adequacy (MSA) lebih besar atau sama dengan 0,5 berarti atribut tersebut adalah valid dan dapat digunakan untuk proses selanjutnya dan apabila di bawah 0,5 maka atribut tersebut tidak valid sehingga harus dikeluarkan. Hasil pengolahan data terhadap atribut-atribut variabel penelitian ini terlihat pada tabel 3-1. Dari 21 pertanyaan yang disajikan pada tabel 3-1, dapat dilihat bahwa seluruh atribut variabel adalah valid karena semuanya mempunyai nilai MSA di atas 0,5 sehingga tidak ada atribut yang dikeluarkan untuk proses selanjutnya. Dengan kata lain, butir-butir pertanyaan pada kuesioner mewakili atau mecerminkan variabel perilaku konsumsi halal. Selanjutnya akan dilakukan uji reliabilitas.
56
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 56
6/22/2010 6:26:26 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas Variabel Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
57
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 57
6/22/2010 6:26:26 PM
Yani Mulyaningsih
Uji Reliabilitas Uji Reliabilitas dilakukan terhadap atribut dari variabel perilaku konsumsi makanan halal dengan melihat Cronbach’s coefficient alpha sebagai koefisien dari reliabilitas. Cronbach’s coefficient alpha dapat diartikan sebagai hubungan positif antara pertanyaan satu dengan yang lainnya. Suatu alat ukur dikatakan reliable bila nilai koefisien Alpha Cronbach bernilai antara 0,60 sampai 0,70 atau lebih (Sekaran 2000: 312 dalam Sitasari:2008).
58
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 58
6/22/2010 6:26:26 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
Tabel 3.2 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
59
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 59
6/22/2010 6:26:26 PM
Yani Mulyaningsih
Hasil pengolahan data uji reliabilitas pada seluruh variabel menunjukkan nilai > 0,7 yang menunjukkan bahwa atribut pada variabel tersebut sudah konsisten dan dapat dipercaya (reliable) untuk proses selanjutnya. Setelah diketahui bahwa hasil pengolahan data terhadap aitemaitem yang membentuk variabel perilaku konsumen halal adalah valid dan reliable, selanjutnya dilakukan penghitungan nilai sekor masingmasing aitem (lihat Tabel 3-3) . Preferensi jawaban atas pertanyaan berskala 1 sampai dengan 7 yang didefinisikan sebagai sangat tidak setuju sampai sangat setuju. Tabel 3.3 Data Statistik dan Interprestasi Nilai tentang Perilaku Konsumsi Halal
60
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 60
6/22/2010 6:26:26 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
Berdasarkan tabel 3-3, dengan nilai rata-rata total sebesar 5,78, mengindikasikan bahwa pada umumnya responden mempunyai perilaku konsumsi makanan halal yang cukup baik, walaupun tidak sangat baik. Hal ini terutama ditunjukkan pada sikap yang sangat tinggi terhadap pernyataan bahwa mengkonsumsi makanan halal adalah sangat penting bagi mereka (6,93) dan bahwa label sertifikat halal harus terlihat jelas (6,90). Walaupun di sisi lain, nampaknya masyarakat kurang menuntut mereka untuk berperilaku konsumsi halal (hal ini akan dijelaskan lebih rinci pada Bab 5 buku ini).
Determinasi Pendidikan Terhadap Perilaku Konsumsi Halal Seperti telah dikemukakan, salah satu faktor individual yang mempengaruhi keputusan konsumen adalah tingkat pendidikan. Untuk
61
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 61
6/22/2010 6:26:26 PM
Yani Mulyaningsih
tingkat pendidikan dalam penelitian ini menggunakan pengkategorian sebagai berikut: -
pendidikan rendah adalah mereka yang berpendidikan SD sampai SLTP. pendidikan sedang adalah mereka yang berpendidikan SLTA. pendidikan tinggi adalah mereka yang berpendidikan Akademi, S1 dan S2.
Gambar 3.5 Perilaku Konsumsi Makanan Halal Berdasarkan Jenjang Pendidikan Umum Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
Gambar 3.4, menunjukkan, bahwa mereka yang berpendidikan rendahlah yang mempunyai nilai indeks paling tinggi dibandingkan nilai rata-ratanya. Artinya, tingkat pendidikan rendah mempunyai perilaku konsumsi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan responden yang berpendidikan di atasnya. Sebaliknya, mereka yang mempunyai pendidikan tinggi mempunyai indeks yang paling rendah. Hal ini menunjukkan
62
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 62
6/22/2010 6:26:27 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
perilaku konsumsi mereka yang berpendidikan tinggi tidak begitu baik dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah dan sedang. Setelah diketahui perilaku konsumsi makanan halal berdasarkan strata pendidikan, selanjutnya akan dilakukan analisis korelasi. Analisis ini digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel juga arah hubungan yang terjadi maka digunakan analisis korelasi (Priyatno, 2008). Dalam penelitian ini, analisis korelasi digunakan digunakan Pearson Correlation. Nilai korelasi (r) berkisar antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara dua variabel semakin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0 berarti hubungan antara 2 variabel semakin lemah. Nilai positif menunjukkan hubungan searah (X naik maka Y naik) dan nilai negatif menunjukkan hubungan terbalik (X naik maka Y turun). Hasil analisis ditunjukkan pada tabel 5-4 Tabel 3.4 Korelasi Tingkat Pendidikan Umum Terhadap Perilaku Konsumsi Produk Halal
Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
Berdasarkan hasil analisis korelasi sederhana (r) Pada tabel 3.4 didapat korelasi antara pendidikan (pendum) dengan perilaku konsumsi (kons) sebesar 0,012. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,012 menunjukkan hubungan antara pendidikan dan perilaku konsumsi makanan halal sangat rendah atau bisa dikatakan tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan perilaku konsumsi produk halal. Hasil analisis
63
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 63
6/22/2010 6:26:27 PM
Yani Mulyaningsih
data ini menunjukkan ketidaksesuaian dengan teori Essael (1987) yang menyatakan bahwa salah satu faktor individual konsumen yaitu faktor pendidikan akan mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen. Hal ini bisa terjadi karena produk yang dikonsumsi adalah produk makanan halal, yang mana diperlukan juga pengetahuan tentang agama. Untuk itu, selain dilakukan perbandingan sesuai strata pendidikan umum, akan lebih menarik juga untuk melihat perbandingan antara mereka yang berlatar pendidikan pesantren dan non pesantren. Mengingat halal dan haram masuk ke area pengetahuan agama, maka diperlukan pengetahuan yang spesifik yaitu pengetahuan agama yang sudah tentu diperoleh dalam masa nyantri (belajar di pesantren). Untuk membuktikan pernyataan tersebut, selanjutnya akan dilihat bagaimana perilaku konsumsi makanan halal bagi seseorang yang menempuh pendidikan pesantren dan non pesantren.
Gambar 3.6 Perilaku Konsumsi Makanan Halal Berdasarkan Pendidikan Pesantren dan Non PesantrenSumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
64
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 64
6/22/2010 6:26:27 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
Berdasarkan gambar 3-5 tersebut dapat dikemukakan bahwa perilaku konsumsi halal bagi mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren nilai indeksnya lebih tinggi dibandingkan nilai indeks rata-rata. Sementara itu mereka yang tidak mempunyai latar belakang pesantren nilai indeksnya lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-ratanya, artinya perilaku konsumsi halal mereka lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-ratanya. Secara keseluruhan hal ini menunjukkan perilaku konsumsi halal bagi mereka yang memiliki latar belakang pesantren lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai latar belakang pesantren. Selanjutnya menarik untuk diungkapkan seberapa jauh tingkatan di pendidikan pesantren itu sendiri mempengaruhi perilaku konsumsi. Ternyata dengan menggunakan analisa korelasi Pearson, diperoleh angka tidak adanya hubungan yang signifikan antara tingkatan pendidikan pesantren dengan perilaku konsumsi halal (lihat Tabel 3-5): Tabel 3.5 Korelasi Antara Latar Belakang Tingkat Pendidikan Pesantren dan Perilaku Konsumsi Produk Halal
Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
Berdasarkan hasil analisis korelasi sederhana (r) didapat korelasi yang rendah antara pendidikan pesantren (pendidik) dengan perilaku konsumsi (kons) sebesar -,146. Sedangkan arah hubungan adalah negatif karena nilai r negatif, berarti semakin tinggi tingkat pendidikan pesantren seseorang belum tentu perilaku konsumsi produk halalnya pun semakin baik.
65
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 65
6/22/2010 6:26:27 PM
Yani Mulyaningsih
Determinasi Pendapatan Terhadap Perilaku Konsumsi Halal Seperti yang diungkapkan sebelumnya, tingkat pendapatan merupakan proksi dari tingkat pengeluaran suatu rumah tangga untuk keperluan makan, listrik dan telpon, pendidikan, pemeliharaan rumah/ sewa rumah, biaya transport, biaya kesehatan, rekreasi, tabungan dan lain-lain. Setelah itu barulah dilakukan pengkategorian untuk tingkat pendapatan tersebut. Disebut pendapatan rendah 1 yaitu didasarkan jumlah pengeluaran kebutuhan harian sampai dengan Rp. 1.500.000,00, pendapatan rendah 2 yaitu pengeluarannya lebih dari Rp. 1500.000,00 sampai Rp.3.000.000,00, pendapatan sedang pengeluarannya lebih dari Rp.3.000.000,00 sampai Rp.4.500.000,00, pendapatan tinggi 2 pengeluarannya mencapai lebih dari Rp.4.500.000,00 sampai dengan Rp.6.000.000,00, sedangkan untuk pendapatan tinggi 1 pengeluarannya lebih dari Rp. 6.000.000,00.
Gambar 3.7 Tingkat Pendapatan terhadap Perilaku Konsumsi Halal Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
66
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 66
6/22/2010 6:26:27 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
Berdasarkan pengkategorian tersebut diperoleh informasi bahwa hanya mereka yang berpendapatan tinggilah yang mempunyai nilai indeks di bawah nilai rata-ratanya. Artinya, perilaku konsumsi mereka yang berpendapatan tinggi cenderung kurang memperhatikan perilaku konsumsi halal. Hal ini berbeda dengan mereka yang berpendapatan rendah 1 dan 2 juga yang berpendapatan sedang mempunyai nilai indeks yang lebih tinggi dibandingkan nilai indeks rata-ratanya. Artinya mereka yang mempunyai pendapatan rendah 1 dan 2 juga yang pendapatan sedang mempunyai kecenderungan berperilaku konsumsi halal lebih baik. Selanjutnya, dengan menggunakan analisis korelasi akan diketahui tingkat keeratan antara tingkat pendapatan dengan perilaku konsumsi halal. Tabel 3.6 Korelasi Antara Tingkat Pendapatan dan Perilaku Konsumsi Produk Halal kons kons
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
pdptn
Pearson Correlation
N Sig. (2-tailed) N
pdptn 1
-.136 .185
100
96
-.136
1
.185 96
96
Sumber: Diolah dari data Primer P2E, 2009
Berdasarkan hasil analisis korelasi sederhana (r) pada tabel 3-.6. didapat adanya korelasi yang negatif dengan nilai koefisien sebesar -0,146. Nilai koefisien korelasi sebesar -0,146 menunjukkan hubungan adanya hubungan antara pendapatan dan perilaku konsumsi yang tidak cukup kuat, bahkan tidak searah. Berarti semakin tingginya tingkat pendapatan seseorang tidak menjamin mempunyai perilaku
67
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 67
6/22/2010 6:26:27 PM
Yani Mulyaningsih
konsumsi produk halal pun tinggi. Sebaliknya, justru semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, akan diikuti oleh perilaku konsumsi yang menurun.
Kesimpulan Pendapatan bukanlah satu-satunya faktor dominan yang berperan dalam keputusan terhadap pembelian suatu produk halal. Lebih jauh dari hal itu, ada faktor yang lebih prinsipil yaitu terkait dengan normanorma dan hukum-hukum Islam, yang dalam hal ini terkait dengan ajaran halal dan haram. Bagi konsumen Muslim, barang haram bukan barang ekonomi sehingga tidak bisa diperjualbelikan. Kenyataannya, konsumen Muslim saat ini harus ekstra hati-hati dalam berkonsumsi, sehingga akan membentuk perilaku konsumsi Islami. Perkembangan teknologi turut berperan dalam menghasilkan suatu produk. Kadangkala produk jadi bisa saja berbeda dengan bahan dasarnya, termasuk dalam memproduksi produk halal. Kadangkala suatu produk secara fisiknya adalah halal, namun ketika diteliti lebih jauh ternyata dalam proses produksinya memasukkan unsur bahan haram, otomatis barang tersebut dikategorikan sebagai barang haram. Menyikapi kondisi demikian, diperlukan suatu pengetahuan bagi seorang konsumen Muslim untuk bisa menentukan suatu barang halal dikonsumsi. Salah satu proses untuk mendapatkan suatu pengetahuan adalah dengan menempuh jenjang pendidikan tertentu baik formal maupun non-formal. Tingkat pendidikan seseorang merupakan salah satu faktor individual konsumen yang akan mempengaruhi keputusan seseorang dalam menentukan pembelian atas suatu produk. Hasil penelitian (baik berdasarkan perhitungan nilai indeks maupun korelasi) mengungkapkan bahwa pendidikan formal umum tidak berpengaruh terhadap perilaku konsumsi makanan halal. Artinya semakin tinggi
68
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 68
6/22/2010 6:26:28 PM
Determinansi Tingkat Sosial-Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi Produk Makanan Halal
tingkat pendidikan umum seseorang tidak berarti perilaku konsumsinya pun meningkat. Hal ini bertentangan dengan pendapat Essael (1987) yang mengungkapkan bahwa perilaku konsumsi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Ternyata, semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin perilaku konsumsinya menjadi semakin baik. Ada kemungkinan, pertentangan pendapat tersebut karena produk yang dikonsumsi adalah produk halal. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan yang lebih spesifik, yaitu pendidikan agama. Untuk itu penelitian kemudian membedakan antara mereka yang berlatar belakang pesantren dan non pesantren. Berdasarkan perhitungan nilai indeks, mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren mempunyai perilaku konsumsi halal yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan pesantren. Namun, ketika ditelusuri lebih jauh dengan perhitungan korelasi bagi responden yang memiliki latar belakang pesantren, ternyata tidak ada korelasi yang kuat dari pengaruh tingkat pendidikan pesantren terhadap perilaku konsumsi makanan halal. Selain faktor pendidikan, faktor lain yang dicoba untuk dianalisis adalah faktor pendapatan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan nilai indeks dan korelasi menunjukkan bahwa faktor pendapatan juga kurang berpengaruh terhadap perilaku konsumsi makanan halal. Namun demikian, ada kecenderungan mereka yang berpendapatan rendahlah yang mempunyai perilaku konsumsi makanan halal lebih baik, dibandingkan mereka yang mempunyai pendapatan sedang dan tinggi.
69
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 69
6/22/2010 6:26:28 PM
Yani Mulyaningsih
DAFTAR PUSTAKA Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, p. 179-211. Di akses dari Value Based management. Net Karim, Adiwarman. (2007). Ekonomi MIkro Islami. Edisi ketiga, Hal.68-72. Jakarta: Raja Grafindo Persada Mustafa, Edwin dkk. (2007). Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Prenada Media Group Priyanto, Duwi. (2008). Mandiri Belajar SPSS: Untuk Analisis Data dan Uji Statistik. Yogyakarta: MediaKom Sitasari (2008). Preferensi Atribut dan Perilaku Konsumen Kartu Kredit Syariah. Laporan Tesis, PSTTI-UI Soesilowati, E.S. (2008). Kinerja Provinsi Banten Setelah Lepas Dari Provinsi Jawa Barat dalam Joko (penyunting) Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Kesejahteraan Masyarakat.Pusat Penelitian Ekonomi: Jakarta
70
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 70
6/22/2010 6:26:28 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
BAB 4 PENGARUH KOMITMEN BERAGAMA DALAM PERILAKU KONSUMSI MAKANAN HALAL Jusmaliani
Pendahuluan Perilaku konsumsi makanan halal individu dipengaruhi oleh banyak faktor seperti informasi kehalalan suatu makanan, pemahamannya tentang terminologi halal dan banyak lainnya. Dalam bab ini yang diduga berpengaruh pada perilaku konsumsi makanan halal adalah komitmen beragama individu tersebut. Komitmen beragama seseorang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sejak dari yang ekstrim taat sampai yang hanya menyandang label Islam di KTPnya. Bab ini ingin mengetahui seberapa jauh kadar komitmen beragama (Islam) memberikan pengaruh terhadap kepedulian masyarakat muslim Banten dalam mengkonsumsi makanan halal. Disadari pula tingkat keberagamaan seseorang memiliki gradasi dan ini dapat disebut sebagai kadar keIslaman. Semakin tinggi kadar keIslamannya berarti dia akan semakin takut untuk menyepelekan apapun yang diajarkan agama termasuk makanan yang dikonsumsinya. Di sisi lain disadari pula bahwa sebenarnya tidak ada satu carapun untuk mengukur kadar keIslaman seseorang. Jadi jika kadar keIslaman identik dengan kadar keimanan/ ketakwaan, maka tidak seorang manusiapun yang dapat mengukurnya karena, selain kadar keimanan ini dapat naik turun, juga hanya Allah yang tahu dan mampu mengukurnya. Ketaatan seseorang menjalankan ibadah tidak dapat dipakai menjadi ukuran ketakwaannya, karena niat yang dikandungnya hanya Allah SWT yang tahu, sedangkan niat
71
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 71
6/22/2010 6:26:28 PM
Jusmaliani
merupakan syarat dalam melaksanakan ibadah, tanpa niat nilai ibadah akan nol. Sebagai contoh, seseorang yang berpuasa, hanya Allah yang tahu apakah ia berpuasa tulus karena Allah, atau karena ingin dilihat orang. Apakah sedekah yang diberikannya ikhlas atau karena ingin mendapat sebutan dermawan. Jika sedikit saja dilandasi ‘riya’ maka ketakwaannya sudah tidak ada. Islam adalah agama yang kaffah, oleh karena itu sewajarnyalah semakin orang memahami dan menghayati ajarannya maka perilaku kesehariannya akan menunjukkan perilaku yang Islami dalam segala hal, tidak terkecuali tentunya perilaku konsumsi makanan. Dalam hal ini ia akan selalu mencari makanan yang jelas kehalalannya, dan inipun tidak sekedar jaminan dari penjual makanan atau label yang tertera, namun lebih jauh lagi harus dimulai sejak dari mencari rezeki yang akan digunakan untuk membeli makanan halal tersebut. Pemahaman dan penghayatan ini dapat diukur dengan komitmen beragama. Jadi oleh karena kadar keIslaman atau ketakwaan sulit diukur maka sebagai gantinya bab ini akan melihat komitmen beragama seseorang. Untuk melihat komitmen beragama, penelitian ini menggunakan beberapa pertanyaan yang bisa ditafsirkan sebagai tinggi rendahnya komitmen beragama seseorang. Metodologi yang digunakan dalam analisis ini adalah deskriptif statistik dan untuk melihat pengaruh komitmen beragama dengan beberapa aspek prilaku konsumsi makanan halal digunakan korelasi, selain itu dicoba pula melihat komitmen dalam memberikan toleransi kenaikan harga untuk produk yang memiliki label halal.
72
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 72
6/22/2010 6:26:28 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Komitmen Beragama Ada tiga hal yang diduga dapat menunjukkan komitmen beragama seorang Muslim. Pertama, pendidikan yang ditempuh, jika ia mendapatkan pendidikan yang sarat dengan ajaran agama, maka bekal yang dimilikinya untuk komit menjalankan agama pasti lebih dari cukup. Ke dua pengakuan bahwa ia seorang Muslim; dengan mengaku sebagai Muslim, seharusnya ia konsekuen menjalankan hidup dalam koridor aturan agama. Ke tiga dengan menghitung indeks dari beberapa pernyataan berkaitan dengan fikih baik ibadah maupun muamalah.
1. Dilihat dari pendidikan yang ditempuh. Sebaran kuesioner diberikan pada mereka yang pernah mendapatkan pendidikan pesantren salafiyah dan yang tidak pernah dengan perkiraan yang pernah di pesantren komitmen beragamanya akan lebih tinggi dibanding yang tidak pernah mendapat pendidikan pesantren..Asumsinya disini adalah, semakin lama seseorang menempuh pendidikan agama, maka semakin tinggi/kuat komitmen beragamanya. Dari 100 kuesioner, 35 tidak pernah mengikuti pendidikan pesantren salafiyah, 6 sampai tingkat amil, 41 tingkat jurumiyahkaylani/matan bina dan 13 sampai alfiyah. Kalau dilihat dari pendidikan madrasah, hanya 7 yang tidak pernah mengikuti pendidikan madrasah, 31 berpendidikan diniyah, 20 ibtidaiyah, 16 tsanawiyah dan jumlah terbanyak 44 lulusan aliyah. Jika jumlah ini melebihi 100 maka hal itu karena ada 7 responden yang berpendidikan aliyah, menyatakan juga mereka berpendidikan tsanawiyah dan ibtidaiyah, sekalipun untuk sampai pada tingkat aliyah, jenjang yang harus dilalui adalah ibtidaiyah dan tsanawiyah.
73
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 73
6/22/2010 6:26:28 PM
Jusmaliani
Dilihat dari pendidikan ini jelas terlihat bahwa mayoritas masyarakat muslim Banten sedikit banyaknya pernah mendapatkan pendidikan agama; atau bisa ditafsirkan mereka sangat faham bahwa makanan itu haruslah halal karena inilah tuntutan agama. Tambahan lagi provinsi Banten mensyaratkan pemilikan ijazah diniyah bagi siswa yang ingin meneruskan pendidikan ke tingkat SLTP. Latar belakang pendidikan muslim Banten yang cenderung agamis inilah yang membuat semua responden menilai konsumsi makanan halal adalah sesuatu yang penting, ini terlihat dari 94% responden memilih skala tertinggi (angka 7), 5% memilih skala 6 dan hanya 1% yang memilih skala 5. Pilihan skala ini bagaimanapun menunjukkan kecenderungan yang kuat bahwa masyarakat Banten secara umum menilai konsumsi makanan halal sebagai suatu hal yang penting. Berdasarkan uraian ini jelas bahwa latar belakang pendidikan tidak mempengaruhi pilihan makanan mereka, karena baik yang berpendidikan pesantren maupun yang bukan sama-sama menyatakan bahwa makanan halal penting bagi mereka. Karena kesamaan jawaban inilah maka latar belakang pendidikan tidak digunakan sebagai indikator untuk melihat komitmen beragama masyarakat Banten. 2. Saya Muslim Ada empat pernyataan/pertanyaan dalam kelompok ‘saya Muslim’ ini yang dimasukkan dalam daftar pertanyaan. Pertama, deklarasi bahwa saya Muslim, kedua seberapa pentingkah agama dalam kehidupan sehari-hari anda, ketiga apakah anda menjalankan syari’ah Islam dan terakhir apakah anda menjalankan mu’amalah Islam. Berikut analisis terhadap jawaban responden.
74
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 74
6/22/2010 6:26:28 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Hasil pilihan responden terhadap pertanyaan “saya adalah seorang Muslim” tidak menunjukkan variasi yang berarti, oleh karena semua responden men-declare- dirinya sebagai Muslim, bahkan semuanya memilih skala 7, kecuali 2 responden yang memilih skala 6. Angka rata-rata untuk semua rresponden sangat tinggi yaitu 6,97. Akibatnya pernyataan ini juga sulit digunakan untuk mengukur kadar komitmen beragama. Pernyataan berikut menanyakan seberapa penting agama dalam kehidupan anda sehari-hari. Untuk pernyataan ini angka rataratanya juga menunjukkan sekor yang tinggi yaitu 6,9. Demikian pula berturut-turut untuk menjalankan syariah Islam dalam keseharian dan menjalankan muamalah Islam dalam keseharian sekornya 6,6 dan 6,35. Jadi dari empat pernyataan ini tidak satupun dapat digunakan untuk mengukur kadar komitmen beragama responden. 3. Aktivitas Agama. Beberapa pertanyaan khususnya yang berkaitan dengan aktivitas agama dapat pula digunakan sebagai tolok ukur komitmen beragama seseorang. Aktivitas agama yang ditanyakan disini berjumlah 14, yaitu: 1.
Sholat lima waktu. Sholat lima waktu adalah rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Syahadat tidak dimasukkan ke dalam aktivitas agama, karena dengan pernyataan-pernyataan dalam kelompok “saya muslim” sudah jelas bahwa syahadat sudah diucapkan. Ibadah shalat lima waktu ini demikian pentingnya, sehingga di hari akhir kelak shalat lima waktu1 inilah yang terlebih dulu dihisab, baru yang lain-lainnya.
2.
Sholat di mesjid. Bagi pria Muslim, shalat di mesjid lebih diutamakan dari pada di rumah, oleh karena itu ganjarannyapun lebih tinggi.
1
QS Al-Baqarah: 238 (Kerjakanlah dengan tetap akan sembahyang-sembahyang, dan akan sembahyang yang terlebih penting, dan hendaklah kamu berdiri karena Allah dengan khusyu’)
75
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 75
6/22/2010 6:26:28 PM
Jusmaliani
Disamping itu manfaat lainnya adalah kesempatan berinteraksi dan silaturahin yang dapat dijalin dengan sesama jamaah. Dari sini akan dapat dibina kepedulian sosial. 3.
Membayar Zakat. Zakat adalah kewajiban sosial yang mendapat penekanan khusus oleh agama. Sering kita menemukan ayat AlQur’an yang menyatukan antara shalat dan zakat (dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat)2
4.
Membayar Ziswaf. Ziswaf adalah singkatan dari zakat (fitrah), infaq, sedekah dan waqaf, Semuanya ini adalah bagian dari harta yang diberikan pada orang lain, Dampak dari perbuatan ini secara aggregate akan mengurangi kemiskinan melalui realokasi pendapatan yang dapat digunakan sebagai bantuan langsung tunai, ataupun pembangunan sarana publik, dan lain sebagainya.
5.
Puasa Wajib. Puasa ini juga merupakan bagian dari rukun Islam3, dengan berpuasa seorang Muslim dilatih menahan diri dan pada gilirannya latihan ini akan menjadikannya terbiasa menahan nafsu duniawi, termasuk nafsu terhadap harta yang bias mengakibatkan tindak korupsi.
6.
Puasa Sunnah. Aktivitas ini sangat dianjurkan tetapi bukan sesuatu yang diwajibkan. Jika yang sunnah ini dijalankan secara berkelanjutan, dapat diartikan komitmen beragama relatif tinggi.
7.
Melaksanakan Ibadah Umroh atau Haji4. Haji adalah bagian dari rukun Islam yang wajib, namun ini terkait dengan dana yang dimilki, sehingga hukum wajibnya conditional. Dalam melakukan ibadah haji, terdapat dua kali umroh wajib dan umroh sunnah yang
2
Ayat-ayat yang menggabungkan shalat dan zakat antara lain dalam QS: Al-Baqarah: 43, Al-Anfal: 3, Ibrahim: 31 3 Ayat yang paling popular dan sering dikutip para da’I, terutama dalam bulan ramadhan adalah dari Al-Baqarah: 183, terjemahannya: Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang dahulu dari pada kamu, supaya kamu terpelihara (dari pada kejahatan) 4 Perintah untuk berhaji dapat dilihat a.l dalam Al-Baqarah: 125, 158, 189, 196 s/d 200, 203, Ali Imran: 96,97, Al-Maidah: 1, 2, 94 s/d 97, bahkan salah satu surat bernama Al-Hajj
76
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 76
6/22/2010 6:26:28 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
dapat dilakukan kapan saja dalam periode melaksanakan ibadah haji. Namun disamping kegiatan yang dilakukan dalam periode khusus ini, umroh dapat saja dilakukan diluar musim haji. Untuk melakukan umroh di luar musim haji ini, senantiasa ada pilihan, umroh atau jalan-jalan ke tempat lain atau membeli barang, menambah akumulasi kekayaan. 8.
Ta’ziyah dan Silaturahim. Dua hal ini adalah bentuk-bentuk kepedulian sosial, yang sangat penting dalam membina hubungan kekerabatan dan komukasi dalam masyarakat.
9.
Menghadiri Pengajian. Hakekat dari menghadiri pengajian adalah menambah pengetahuan agama non-formal. Ajaran Islam memang menyuruh umatnya agar selalu menambah pengetahuan, menuntut ilmu sejak dari buaian sampai kuburan.
10. Diskusi Agama. Diskusi agama juga merupakan bentuk menambah pengetahuan agama, jika dalam pengajian sering lebih pasif, maka dalam diskusi tentunya dituntut untuk lebih aktif. 11. Menggali Pengetahuan Agama. Walaupun menggali pengetahuan sudah jelas arahnya untuk menambah pengetahuan, tapi pertanyaan ini dimaksud dengan menggali melalui usaha sendiri seperti membaca buku-buku agama 12. Berguru pada Ustadz/Ulama. Jika melaksanakan aktivitas seperti disebutkan dalam butir 9, 10 dan 11 maka pengetahuan yang didapatkan adalah dengan cara yang tidak terstruktur, maka pada butir ini (berguru pada ustadz/ulama) perolehan pengetahuan akan lebih terstruktur. 13. Menerapkan Jual Beli secara Islam. Islam sebagai agama yang kaaffah, tidak hanya mengatur masalah-masalah berkaitan dengan hubungan vertikal dengan Allah ataupun terbatas pada interaksi sosial; melebihi semua ini Islam juga mengatur bagaimana memperoleh pendapatan, yang dalam buku-buku disebut sebagai muamalat.
77
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 77
6/22/2010 6:26:28 PM
Jusmaliani
14. Menjadi Nasabah Bank Islam. Hal ini merupakan salah satu implementasi dari jual beli secara Islam. Menggunakan fasilitas perbankan syari’ah menjadi wajib hukumnya karena dua hal, pertama adanya fatwa ulama, yang dimulai dari ulama Mesir pada tahun 1970an yang mengatakan bahwa bunga Bank hukumnya haram (MUI mengeluarkan fatwa ini pada 2007). Kedua keberadaan bank-bank Islam yang relatif sudah menjangkau seluruh Nusantara, sehingga alasan darurat untuk tetap di bank konvensional tidak dapat diterima lagi. Sekalipun ada dua faktor seperti disebutkan di atas yang mendorong penggunaan bank Islam, namun dalam kenyataannya perkembangan jumlah nasabah tidaklah seperti yang diharapkan. Aktivitas keagamaan yang ditanyakan ini adalah sehubungan dengan fikih baik fikih yang berkaitan dengan hubungan antara makhluk dan khaliq (ibadah), fikih yang mengatur hubungan sesama manusia maupun fikih yang mengatur cara-cara mencari nafkah. Tentunya pertanyaan ini masih mungkin ditambah lagi, namun 14 butir ini tampaknya cukup mewakili aktivitas agama keseharian yang sekaligus mampu pula mencerminkan komitmen beragama seseorang. Dari 14 pernyataan yang harus diisi oleh responden, pernyataan yang sekor jawabannya 1-4 umumnya adalah pada pernyataan tentang muamalah. Pernyataan awal seperti sholat, puasa, ziswaf umum mendapat jawaban sebagai selalu dikerjakan, sedangkan tentang ibadah haji, jawabannya bervariasi karena memang tidak semua responden adalah haji, selain aktivitas ini menuntut dana yang cukup banyak dan umumnya melalui proses menabung tahunan. Untuk mengukur aktivitas agama ini, penulis membuat indeks rata-rata dari sekor jawaban responden untuk keempat belas pertanyaan tersebut, yang kemudian diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Indeks rata-rata terendah yang diperoleh adalah 3,78 (resp. nomor 64, 97)) dan tertinggi 7 (resp nomor 35, 36) sesuai dengan
78
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 78
6/22/2010 6:26:28 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
skala yang diberikan dalam jawaban. Berdasarkan kisaran indeks ini, penulis membagi komitmen beragama menjadi tiga kategori, pertama komitmen beragama rendah (sekor < 4,99), komitmen beragama sedang (sekor 5,0 – 6,0) dan komitmen beragama tinggi (sekor > 6). Gambar 4.1 menunjukkan sebaran responden menurut komitmen beragama rendah, menengah dan tinggi. Dari kategori ini terlihat bahwa mayoritas responden komitmen beragamanya menunjukkan sekor tinggi (52%), kemudian 32% dari responden komitmen beragamanya menengah dan hanya 16% yang komitmen beragamanya rendah. Artinya secara rata-rata dapat dikatakan bahwa komitmen beragama muslim Banten relatif cukup tinggi. Kesimpulan ini diambil karena batas bawah sekor menengah saja sudah menunjukkan angka 5 dari skala 1 sampai 7, artinya jika dijumlahkan antara yang menengah dengan yang tinggi maka jumlah yang diperoleh sudah 84%. Selain itu batas bawah dari komitmen beragama yang rendah adalah 3,78; angka yang lebih besar dari 3,5 (indeks pertengahan dari skala 1 sampai 7). Setelah membuat kategori ini, baru dilihat perilaku masing-masing kelompok terhadap makanan halal. Seperti dijelaskan di muka komitmen beragama ini diukur berdasarkan aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh responden. Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja yang mendapatkan sekor tinggi dan apa saja yang mendapat sekor rendah. Untuk semua aitem pertanyaan, sekor yang relatif lebih tinggi terlihat ada pada kelompok dengan komitmen beragama yang lebih tinggi pula. Yang agak aneh adalah dalam melaksanakan puasa wajib, mereka yang komitmen beragamanya menengah memiliki sekor lebih tinggi dibanding yang memiliki komitmen beragamanya tinggi. Apa yang menjadi latar belakang hal ini juga tidak terlihat. Apakah karena dorongan untuk berpuasa lebih kuat, dalam masyarakat? Dalam pergaulan siapa yang tidak berpuasa akan cepat terlihat; selain itu puasa relatif lebih mudah dijalankan. Disisi lain sholat lima waktu dapat dilakukan di rumah sehingga tidak selalu tampak.
79
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 79
6/22/2010 6:26:28 PM
Jusmaliani
Gambar 4.1 Sebaran Komitmen Beragama Responden Sumber: Dihitung dari hasil survey
Jika aktivitas keagamaan khusus untuk ibadah kita kelompokkan ke dalam kategori wajib dan sunnah, maka ada empat hal yang termasuk rukun Islam ditanyakan di sini. Tiga diantaranya merupakan kewajiban tanpa syarat yaitu sholat lima waktu, membayar zakat dan puasa wajib sedangkan yang keempat adalah kewajiban yang sifatnya conditional (jika mampu) yaitu ibadah umroh/haji. Mereka dengan komitmen beragama rendah memiliki sekor yang cukup tinggi (di atas 6) untuk ibadah wajib tanpa syarat ini, yaitu 6,45 untuk shalat lima waktu, 6,36 untuk membayar zakat dan 6,63 untuk puasa wajib. Di sisi lain sekor untuk ibadah haji/umroh sangat kecil yaitu 1,36 yang dapat ditafsirkan dengan kemungkinan besar tabungan yang belum mencukupi. Mereka dengan komitmen beragama menengah memiliki sekor 6,88 untuk shalat lima waktu, 6,70 untuk membayar zakat dan 6,98 untuk puasa wajib, sedangkan haji dan umroh hanya 1,94. Yang memiliki komitmen beragama tinggi sekornya lebih tinggi lagi yaitu 6,91 untuk sholat lima waktu, 6,85 untuk membayar zakat dan 6,91 untuk puasa wajib. Kelompok ini memiliki sekor relatif tinggi untuk ibadah haji/umroh yaitu 4,11.
80
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 80
6/22/2010 6:26:28 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Tabel 4.1 Aktivitas Agama menurut Kadar Komitmen Beragama Responden Aktivitas Agama
Rendah
Menengah
Tinggi
Sholat lima Waktu Sholat di Mesjid
6,45 4,36
6,88 5,35
6,91 6,31
Membayar Zakat
6,36
6,70
6,85
Memberi sedekah/santunan/infaq/ waqaf
4,63
6,11
6,68
Melaksanakan puasa wajib
6,63
6,98
6,91
Melaksanakan puasa sunnah Melaksanakan ibadah umroh/haji
3,54 1,18
5,33 1,94
6,08 4,11
Ta’ziyah dan Silaturahim
5,63
6,07
6,68
Menghadiri Pengajian
4,81
5,92
6,51
Diskusi Agama
4,27
5,62
6,42
Menggali Pengetahuan Agama (buku, dll)
3,90
5,81
6,62
Berguru pada Ustadz/Ulama
4,27
5,70
6,77
Menerapkan jual beli secara Islam
3,63
5,85
6,57
Menjadi nasabah Bank Islam
1,36
3,24
5,22
Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Lebih jauh lagi jika 14 pertanyaan ini dikelompokkan menjadi pertanyaan tentang ibadah wajib (sholat lima waktu, membayar zakat, melaksanakan puasa wajib, melaksanakan ibadah umroh/haji); ibadah sunnah (sholat di mesjid, memberi sedekah, melaksanakan puasa sunnah, ta’ziyah dan silarurahim); menambah ilmu (menghadiri pengajian, diskusi agama, menggali pengetahuan agama, berguru pada ustadz/ulama) dan mu’amalat Islam (menerapkan jual beli secara Islam dan menjadi nasabah bank Islam), maka gambaran yang diperoleh adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 4-2.
81
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 81
6/22/2010 6:26:29 PM
Jusmaliani
Gambar 4.2 Kategori Aktivitas Agama menurut Kadar Komitmen Beragama Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Dalam hal menjalankan mu’amalat semua kelompok responden menempatkan hal ini dalam urutan terendah. Responden dengan komitmen beragama rendah memiliki sekor tertinggi untuk ibadah wajib, kemudian ibadah sunnah, menuntut ilmu dan baru terakhir menjalankan mu’amalat. Responden dengan kadar komitmen beragama menengah mementingkan menuntut ilmu (sekor 5,76), kemudian lebih mendahulukan ibadah sunnah (sekor rata-rata 5,71) dibanding ibadah wajib (sekor rata-rata 5,62). Responden dengan kadar komitmen beragama tinggi juga menempatkan menuntut ilmu sebagai pilihan dengan sekor rata-rata tertinggi (6,58), kemudian seperti responden dengan kadar komitmen menengah menjalankan ibadah sunnah (sekor rata-rata 6,43) baru setelah itu ibadah wajib (sekor rata-rata 6,19).
82
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 82
6/22/2010 6:26:29 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Komitmen Beragama terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal Perilaku konsumsi makanan halal, diukur dengan pertanyaanpertanyaan seberapa penting mengkonsumsi makanan halal, sejauh mana orang lain didorong untuk juga mengkonsumsi makanan halal, apakah konsumsi makanan halal ini merupakan pilihan pribadi; bagaimana control terhadap makanan halal dan tuntutan siapa yang menjadikan responden mengkonsumsi makanan halal. Secara statistik, dengan menggunakan perhitungan korelasi Pearson, hubungan antara kadar komitmen beragama dengan perilaku konsumsi halal diperoleh angka sebesar 0,565. Hal ini mengindikasikan hubungan yang cukup kuat antara kadar komitmen beragama dengan perilaku konsumsi makanan halalnya. Artinya, semakin tinggi kadar komitmen beragama seseorang, akan semakin kuat pula untuk mengkonsumsi makanan halal. Selanjutnya, menarik untuk ditelusuri, variasi dari pengelompokkan yang telah dilakukan di atas, terhadap beberapa perilaku konsumsi makanan halal dimaksud.
Responden dengan Kadar komitmen Beragama Rendah (sekor < 4,99) Jumlah kelompok responden ini paling kecil yaitu hanya 16%, dimana 56,25% tidak pernah mendapatkan pendidikan pesantren. Perilaku konsumsi makanan halal dari kelompok ini dapat digambarkan sebagai berikut: Responden dengan kadar komitmen beragama rendah ini cenderung menyatakan bahwa pilihan terhadap makanan halal adalah pilihan pribadi, sekali lagi karena mayoritas memilih skala 7 untuk
83
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 83
6/22/2010 6:26:29 PM
Jusmaliani
jawaban ini, walau 2 orang memilih skala 4 dan 2 orang lainnya skala 6. Dengan 7 skala yang disediakan maka jawaban semua responden dapat digolongkan setuju, kecuali yang skala 4 yang menunjukkan keragu-raguan, dan ini hanya berjumlah 2 orang atau 12,5%. Mereka memberikan juga dorongan bagi orang dan kelompok lain untuk mengkonsumsi makanan halal; pihak yang diperingatkan pertama kali adalah keluarga (6,125), kemudian baru berturut-turut saudara/ kerabat (4,875), sahabat (4,625), teman-teman (4,125), komunitas (3) dan terakhir baru pemuka agama (2,5). Kisaran sekor untuk memberi dorongan pihak lain mengkonsumsi makanan halal adalah 2,5 - 6,125. Selanjutnya dengan sekor 6,062 mereka menyatakan bahwa makanan halal adalah pilihan pribadi. Kontrol terhadap makanan halal hanya mendapat sekor 4,437. Jawaban dengan sekor tertinggi untuk tuntutan terhadap konsumsi makanan halal adalah karena ajaran agama (5,75), kemudian berturut-turut pemuka agama (2,937), keluarga (2,562), masyarakat (1,875) dan terakhir baru karena tuntutan pemerintah. Kecilnya pengaruh tuntutan pemerintah terhadap konsumsi makanan halal responden mengindikasikan bahwa belum ada atau bahkan tidak ada aktivitas dari pemerintah (cq pemerintah daerah) baik menginformasikan atau pun menganjurkan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan halal. Lebih jauh, hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa sertifikasi halal kurang berpengaruh terhadap perilaku konsumsi responden masyarakat muslim Banten (akan dianalisa pada Bab 6). Selanjutnya karena komitmen beragama ini meliputi keseharian menjalankan ibadah dan muamalah maka pertanyaan sejauh mana menjalankan syariah Islam dianggap mewakili perilaku dalam beribadah, maka kelompok ini secara rata-rata mendapat sekor 6,437. Pertanyaan sejauh mana anda menjalankan muamalah Islam hanya mendapat sekor yang lebih rendah yaitu 5,875.
84
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 84
6/22/2010 6:26:29 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Responden dengan Kadar komitmen Beragama Menengah (sekor 5.0 – 6.0) Responden dengan kadar komitmen beragama sedang/ menengah memiliki jawaban yang juga cenderung setuju bahwa pilihan terhadap makanan halal adalah pilihan pribadi dengan sekor rata-rata 6,562. Kontrol terhadap makanan halal mendapat sekor 6,125. Kelompok ini merupakan 32% dari keseluruhan responden; kisaran sekor untuk pertanyaan apakah anda mendorong orang lain/ kelompok untuk mengkonsumsi makanan halal adalah 3,968 – 6,843. Urutan kelompok yang diberi dorongan sama seperti mereka dengan kadar komitmen beragama rendah yaitu pertama keluarga (6,843) baru berturut-turut saudara/kerabat (6,218), sahabat (5,937), teman-teman (5,593), komunitas (5,125) dan pemuka agama (3,968). Berkenaan dengan tuntutan siapa yang menyebabkannya mengkonsumsi makanan halal urutan terbesar sampai terendah yang diberikan kelompok ini adalah pertama ajaran agama (6,906), pemuka agama (5), keluarga (4,875), masyarakat (3,593) dan terakhir baru pemerintah (3,312). Kelompok ini mendapat sekor 6,437 untuk menjalankan syariah Islam dan 6,156 untuk muamalah Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dari kelompok ini ternyata 46,87% tidak pernah mendapat pendidikan pesantren.
Responden dengan Kadar komitmen Beragama Tinggi (sekor > 6.0) Makanan halal adalah pilihan pribadi mendapat sekor yang cukup tinggi untuk kelompok ini yaitu 6,923. Kontrol terhadap makanan halal tampaknya mendekati sangat terkontrol (sekor 6,519). Kelompok ini berjumlah paling besar yaitu 52% yang sekaligus mencerminkan komitmen beragama masyarakat Banten yang tinggi. Dorongan
85
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 85
6/22/2010 6:26:29 PM
Jusmaliani
bagi orang dan kelompok lain untuk mengkonsumsi makanan halal diperingatkan pertama kali pada keluarga (6,884), kemudian baru berturut-turut sahabat (6,538), saudara/kerabat (6,480), teman-teman (6,307), pemuka agama (6,25) dan terakhir baru komunitas (6,230). Kisaran sekor untuk memberi dorongan pihak lain mengkonsumsi makanan halal adalah 6,230 - 6,884. Kelompok ini menunjukkan sekor 6,981 bahwa tuntutan terhadap konsumsi makanan halal datangnya dari ajaran agama, kemudian berikutnya baru pemuka agama (6,808), keluarga (6,673), masyarakat (6,096) dan terakhir baru pemerintah (5,942) Sama seperti dua kelompok terdahulu, kelompok ini juga mendapat sekor yang lebih tinggi dalam menjalankan syariah Islam (6,769) dibandingkan dengan sekor menjalankan muamalah Islam (6,615). Dari kelompok ini hanya 23,07% yang tidak mendapatkan pendidikan pesantren.
86
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 86
6/22/2010 6:26:29 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Tabel 4.2
Perilaku Konsumsi Makanan Halal dan Kadar komitmen Beragama
Perilaku
Komitmen Beragama Rendah
Komitmen Beragama Menengah
Komitmen Beragama Tinggi
Makanan Halal adalah pilihan pribadi
6,062
6,562
6,923
Kontrol terhadap makanan halal
4,437
6,129
6,5192
Mendorong pihak lain untuk Mengkonsumsi makanan halal
2,5 -6,125
3,968 – 6,843
6,23 – 6,884
Pihak pertama yang diingatkan
Keluarga
Keluarga
Keluarga
Pihak terakhir yang diingatkan
Pemuka agama
Konsumsi halal karena tuntutan
Agama (Masyarakat)*
Pemuka agama Agama (pemuka agama)
Menjalankan syariah Islam
6,437
6,437
6,769
5,875
6,156
6,6153
56,25
46,87
23,07
Menjalankan muamalah Islam Tidak pernah di pesantren (%)
Komunitas Agama (Pemerintah)
*(-) tuntutan dengan sekor paling rendah Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Komitmen Beragama dan Toleransi Harga Produk Halal Dimuka telah dihitung bahwa semakin tinggi kadar komitmen beragama seseorang, akan semakin kuat pula ia menjaga konsumsi makanannya. Artinya ia tentu akan bersedia membayar lebih mahal untuk produk yang dapat dipastikan kehalalannya dibanding yang belum pasti. Dalam penelitian ini kehalalan suatu produk dipastikan dengan adanya label halal pada kemasannya.
87
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 87
6/22/2010 6:26:29 PM
Jusmaliani
Untuk melihat toleransi pada harga, pertanyaan yang diberikan pada responden adalah seberapa jauh anda bersedia membayar lebih untuk suatu produk yang berlabel halal. Disediakan 9 alternatif jawaban yaitu kisaran harga dari < Rp 500 sampai > Rp 5000 ditambah dengan dua jawaban lain yaitu pertama tidak masalah berapapun yang penting halal, kedua tidak perduli dengan label. Sajian pada gambar 4-3 menunjukkan bahwa 53 responden menyatakan bersedia membayar berapapun selisih harga yang ditawarkan asalkan produk tersebut merupakan produk makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika yang memiliki labelisasi halal baik dari MUI maupun lainnya. Sementara itu, 14 persen diantaranya tidak perdulli dengan labelisasi halal maupun harga, yang penting bagi mereka produk itu memenuhi selera dan kebutuhan mereka saat itu. 15 persen diantara mereka menyatakan bersedia membayar selisih harga sebesar Rp. 500 lebih tinggi, untuk produk berlabel halal, dan 10 persen bersedia membayar lebih tinggi Rp 500 – Rp 1000 dari produk yang tidak berlabel halal.
Gambar 4.3 Kesediaan Membayar Lebih Tinggi Untuk Produk Berlabel Halal MUI Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
88
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 88
6/22/2010 6:26:29 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Selanjutnya, penulis mencoba untuk memilah toleransi harga produk halal dari perpektif tingkat komitment beragama. Telah disebutkan di muka, bahwa mayoritas responden bersedia membayar berapa pun selisih harga yang harus mereka bayar untuk produk makanan yang berlabel halal, padahal kepedulian mereka dengan label halal tidak sejalan dengan kepedulian mereka untuk mengkonsumsi makanan halal. Untuk itu, keterkaitan komitmen beragama dengan tolerasi harga kemudian hanya difokuskan pada responden yang memberikan pilihan pada selisih harga tertentu. Dari 100 responden hanya 35 orang yang menjawab pertanyaan ini dengan rincian: dari kelompok responden dengan kadar komitmen beragama rendah yang menjawab hanya 4 responden atau 25 %, dari kelompok dengan kadar komitmen beragama menengah yang menjawab 14 responden atau 43,75% dan dari kelompok dengan kadar komitmen tinggi jawaban diperoleh dari 7 responden atau 32,69%. Komitmen untuk mengisi toleransi harga lebih tinggi pada responden dengan komitmen beragama menengah dibanding yang tinggi. Secara umum dengan melihat jawaban terbanyak dapat dikatakan bahwa toleransi dari mayoritas responden (45,71%) ada pada kenaikan harga < Rp 500, dan kemudian pada antara Rp 500 - < Rp 1000 (28,57% responden). Dengan melihat sebaran jawaban ini (Tabel 4-2), jika dikatakan bahwa semakin tinggi komitmen beragama maka semakin tinggi pula toleransi terhadap harga yang lebih tinggi tidak terlihat dengan jelas, karena kelompok dengan toleransi beragama menengahpun ada yang dapat mentolerir harga yang lebih tinggi dari Rp 5000, sedangkan kelompok dengan komitmen beragama rendah paling tinggi hanya memberikan toleransi pada harga Rp 3000 - < Rp 4000. Dari jawaban terbanyak, maka kelompok responden dengan komitmen beragama rendah toleransinya pada kisaran Rp 500 - < Rp
89
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 89
6/22/2010 6:26:29 PM
Jusmaliani
1000, kelompok dengan komitmen beragama menengah pada harga < Rp 500 dan yang tinggi < Rp 500. Tabel 4.3
Komitmen Beragama dan Sebaran Toleransi Kenaikan Harga
Toleransi Kenaikan Harga
Komitmen Beragama Rendah
Menengah
Tinggi
Total
< Rp 500
1 (6,25%)
7 (50%)
8 (47,06%)
16
Rp 500 - < Rp 1000
2 (12,5%)
5 (35,71%)
3 (17,65%)
10
1 (7,14%)
1 (5,88%)
2
Rp 1000 - < Rp 2000 Rp 2000 - < Rp 3000 Rp 3000 - < Rp 4000
1 (5,88%)
1
1 (5,88%)
2
1 (5,88%)
1
1 (7,14%)
2 (11,76%)
3
1 (6,25%)
Rp 4000 - < Rp 5000 Rp 5000 Total yang mengisi
4
14
17
35
Total Responden
16
32
52
100
Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Catatan: Responden yang mengisi 2 jawaban, diambil jawaban yang tertinggi, misalnya yang mengisi < Rp 500, kemudian mengisi lagi antara Rp 500 - < Rp 1000, maka jawaban yang diambil adalah jawaban yang terakhir.
90
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 90
6/22/2010 6:26:29 PM
Pengaruh Komitmen Beragama dalam Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Kesimpulan Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan dari analisis statistik deskriptif ini: 1. Secara statistik, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi komitmen beragama seseorang, akan semakin kuat pula putusan untuk mengkonsumsi makanan halal (hasil perhitungan korelasi Pearson sebesar 0,565). 2. Masyarakat Banten pada umumnya memiliki komitmen beragama yang relatif tinggi, Kesimpulan ini diambil karena sekor terendah untuk indikator ini lebih besar dari 3,5 yang merupakan sekor pertengahan 3. Semakin tinggi komitmen beragama responden semakin tinggi pula sekor rata-rata yang diperoleh untuk tiap jawaban, seperti makanan halal adalah pilihan pribadi, dan kontrol terhadap makanan halal 4. Tidak tergantung pada tinggi rendahnya komitmen beragama, maka pihak pertama yang diingatkan untuk mengkonsumsi makanan halal adalah keluarga; ini bersesuaian dengan ayat Al-Qur’an yang menyuruh melindungi keluarga dari api neraka5 5. Yang menarik adalah bahwa hanya kelompok dengan komitmen beragama tinggi yang berani memperingatkan pemuka agama akan hal ini sebelum mengingatkan komunitas. 6. Peran pemerintah dalam kehidupan keberagamaan mereka relatif kecil, pengaruh lebih banyak datang dari ajaran agama dan pemuka agama, bukan dari pemerintah
5
QS:At Tahriim ayat 6
91
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 91
6/22/2010 6:26:29 PM
Jusmaliani
7. Semakin tinggi komitmen beragamanya, semakin sedikit persentase yang tidak pernah mendapat pendidikan pesantren; atau dengan perkataan lain, semakin tinggi komitmen beragama, semakin tinggi pula persentase yang pernah mengikuti pendidikan pesantren. 8. Semua ini secara rata-rata dapat diartikan sebagai menunjukkan kehidupan keberagamaan yang positif 9. Walaupun umumnya responden menyatakan diri sebagai Muslim dan menyatakan bahwa agama penting untuk kehidupannya, namun hal ini tidak serta merta tercerminkan dalam pelaksanaan ibadah keseharian dan komitmen beragamanya. 10. Toleransi terhadap harga terbanyak hanya < Rp 500.
92
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 92
6/22/2010 6:26:29 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
BAB 5 ANALISIS FAKTOR DETERMINAN TERHADAP PERILAKU KONSUMSI MAKANAN HALAL Endang S Soesilowati
Pendahuluan Seperti telah dijelaskan pada bab 1 buku ini, perilaku konsumen dipengaruhi oleh banyak aspek, termasuk kultural, sosial, personal, dan karakteristik psikologis. Faktor kultural dianggap yang paling besar pengaruhnya terhadap keinginan dan perilaku seseorang. Agama merupakan elemen kunci dalam kultur kehidupan yang mempengaruhi perilaku dan keputusan membeli (lihat Assadi 2003, Esso and Dibb Sally 2004, Delener 1994, Babakus et al 2004, Cornwell 2005). Religion is a system of beliefs and practices by which group of people interprets and responds to what they feel is supernatural and sacred (Johnstone, 1975 dikutip dari Shafie & Othman, 2008). Pada umumnya agama mengatur tentang apa-apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang untuk dilakukan, termasuk perilaku konsumsi (Shafie & Othman, 2008). Dengan mengutip Cloud (2000), Fam et al (2004) dan juga Wirthington (1988) menyatakan bahwa agama merupakan keyakinan dan nilai-nilai dalam menginterpretasi kehidupan yang diekspresikan menjadi suatu kebiasaan. Lembaga agama memformalkan sistem tersebut secara terus menerus dan diajarkan pada setiap generasi. Agama dapat mempengaruhi perilaku konsumen dan perilaku pada umumnya (Delener 1994, Pettinger et al 2004), khususnya pada keputusan membeli bahan makanan dan kebiasaan makan (Bonne et al 2007). Seperti juga dikemukakan oleh Schiffman dan Kanuk (1997) yang menyatakan bahwa keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh identitas agama mereka (dikutip dari Shafie & Othman, 2008).
93
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 93
6/22/2010 6:26:30 PM
Endang S Soesilowati
Istilah perilaku konsumen secara umum digambarkan sebagai suatu proses dari pencarian, pemilihan, sampai pada keputusan membeli sesuatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis. Dalam studi perilaku konsumen, hal ini mencakup beberapa hal seperti apa yang dibeli konsumen, mengapa konsumen membelinya? Kapan mereka membelinya? Dimana mereka membelinya? Berapa sering mereka membelinya? Dan berapa sering mereka menggunakannya? (Sumarwan, 2002). Sebagai penganut agama Islam, maka keputusan untuk memilih dan membeli barang akan tidak hanya memperhatikan dari segi kebutuhan dan biaya yang harus dikeluarkan tetapi yang paling penting adalah sejauhmana barang yang dikonsumsi akan memberikan maslahah (manfaat dan berkah) secara maksimum (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008). Telah ditunjukkan pada bab-bab sebelumnya, betapa masyarakat muslim Banten yang diwakili oleh 100 responden perkotaan sangat concern terhadap perilaku mereka dalam mengkonsumsi makanan halal. Telah ditunjukkan pula bahwa tingkat komitmen beragama seseorang mempengaruhi perilakunya terhadap konsumsi makanan halal. Namun demikian, seperti juga telah disebutkan di bab 1 buku ini, bahwa terdapat tiga aspek dominan yang mempengaruhi niat seseorang untuk berperilaku, Dengan mengadaptasi pendekatan teori perilaku Planned Behaviour (Ajzen 1991) sebagai landasan konseptual yang dipakai untuk menjelaskan proses perilaku konsumen, ada tiga aspek yang sangat menentukan perilaku seseorang yaitu sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku. Keputusan konsumen untuk membeli makanan halal tidak hanya dipengaruhi oleh sikapnya, tetapi juga oleh pengaruh kelompok atau komunitas di mana seseorang tinggal, dan juga oleh persepsi kontrol mereka sendiri. Kekuatan pengaruh dari ketiga faktor tersebut terhadap keputusan membeli pun akan bervariasi tergantung pada jenis produk dan situasi. Maka dari itu, untuk dapat memprediksikan apakah seseorang akan melakukan sesuatu, kita per-
94
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 94
6/22/2010 6:26:30 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
lu mengetahui apakah orang tersebut suka akan perbuatan tersebut (sikap), seberapa jauh dia merasakan tekanan sosial untuk melakukan perbuatan itu (norma subyektif ), dan juga mengetahui apakah orang tersebut melakukan kontrol terhadap perbuatannya tersebut (persepsi kontrol perilaku). Selanjutnya, kadar ke Islaman/ komitmen beragama seseorang akan mencerminkan identitas dirinya sebagai seorang Muslim. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim dia akan mempunyai sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku dalam mempengaruhi niat (intention)nya untuk berperilaku dalam mengkonsumsi makanan halal yang mungkin berbeda dengan orang yang non Muslim. Tulisan pada bab ini akan menguji manakah yang lebih dominan pengaruh dari ketiga aspek tersebut terhadap perilaku muslim Banten dalam mengkonsumsi makanan halal. Dari uraian di atas, ditunjukkan bahwa sikap adalah merupakan tendensi psikologis seseorang dalam mengevaluasi sesuatu untuk menjadi suka atau tidak suka berperilaku konsumsi makanan halal. Norma subyektif merupakan tekanan sosial terhadap seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan (perilaku). Dalam hal ini budaya masyarakat (Muslim Banten) dimana dia tinggal akan memberikan pengaruh terhadap perilaku konsumsi makanan halalnya. Sementara itu, persepsi kontrol perilaku merupakan suatu persepsi terhadap sejauhmana perilaku konsumsi makanan halal tersebut dapat dikontrol. Bagaimana seseorang memahami dan mengikuti aturan agamanya merupakan persepsi yang akan mengontrol perilakunya. Ketiga aspek (sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol) tersebut akan menentukan niat seseorang untuk mengkonsumsi makanan halal, dan ditunjukkan dalam perilaku konsumsi makanan halalnya. Niat (intention) merupakan faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk
95
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 95
6/22/2010 6:26:30 PM
Endang S Soesilowati
menampilkan suatu perilaku konsumsi makanan halal. Oleh karenanya, kadar komitmen beragama seseorang melalui beberapa proses di atas akan sangat menentukan niatnya untuk berperilaku dalam konsumsi makanan halal. Namun demikian, seberapa jauh seseorang akan menampilkan perilakunya, juga tergantung pada beberapa faktorfaktor lain, seperti ketersediaan, kesempatan, pengetahuan (misalnya, tentang sertifikasi halal), dan sumber yang dimiliki (uang, misalnya) nya. Hal ini ditunjukkan oleh antara lain tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, tingkat usia, jenis kelamin, dan juga latar belakang pengetahuan agamanya.
Sikap Sikap telah menjadi area studi yang penting dalam psikologi, oleh karena sikap dipercaya mempengaruhi seseorang berperilaku terhadap objek maupun konsep, dan bahkan dianggap sebagai faktor yang paling menentukan perilaku (Omar, Muhammad & Omar, 2008). Pada sajian di bab-bab terdahulu, tercerminkan bahwa mayoritas responden muslim Banten sangat peduli terhadap konsumsi makanan halal. Kepedulian tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap memiliki kadar komitmen beragama yang tinggi, tetapi juga ditunjukkan oleh hampir semua responden muslim Banten. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam perilaku mereka untuk mengkonsumsi makanan halal. Hal menarik selanjutnya adalah mengungkapkan seberapa jauh perilaku yang ditampakkan tersebut dipengaruhi oleh sikap mereka. Apa itu sikap? Banyak definisi yang diberikan untuk kata sikap. Sebagian menterjemahkan sikap sebagai suatu cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Sebagian juga memandang bahwa sikap merupakan kondisi mental yang kompleks
96
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 96
6/22/2010 6:26:30 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam studi pemasaran, sikap konsumen merupakan perpaduan dari dan saling terkait antara beliefs about, (2) feelings about, dan (3) behavioral intentions yang besar peranannya dalam mempengaruhi reaksi seseorang terhadap sesuatu objek1. Dari beberapa pendapat tersebut, pada prinsipnya sikap didudukkan sebagai predisposisi untuk melakukan sesuatu (perilaku). Dalam penelitian ini, sikap dimaksudkan sebagai predisposisi responden untuk memutuskan membeli dan memilih makanan Halal. Bagaimana mengukur sikap? Di sini peneliti menggunakan pengukuran sikap melalui lima pertanyaan yang diajukan terhadap responden. Pertanyaan yang diajukan berturut-turut adalah penilaian responden terhadap pentingnya mengkonsumsi makanan halal, seberapa jauh Halal menjadi pertimbangan saat berbelanja produk makanan, sejauh mana ketersediaan makanan halal menjadi pertimbangan utama responden saat memilih restoran/warung makan, seberapa besar tendensi responden untuk tidak jadi membeli makanan yang tidak bersertifikat halal, dan juga seberapa besar kemungkinan responden akan mencari produk lain yang bersertifikat halal, bila makanan halal bersertifikat yang biasa dbelinya tidak tersedia. Sejauhmana kelima jenis pernyataan tersebut menggambarkan sikap responden terhadap perilaku konsumsi makanan halal? Tabel 5-1 menggambarkan hasil uji reliabilitas dengan menggunakan analisa cronbach alpha, dan pengujian validitas variabel memakai korelasi Pearson dari setiap aitem terhadap total lima aitem pernyataan tersebut di atas, serta perolehan sekor rata-rata responden dari masing-masing aitem pertanyaan.
1
lihat http://www.consumerpsychologist.com/cb_Attitudes.html
97
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 97
6/22/2010 6:26:30 PM
Endang S Soesilowati
Tabel 5.1 Validitas, Reliabilitas, dan Sekor rata-rata Sikap Responden Jenis Pernyataan
Validitas
Reliabilitas
Penting mengkonsumsi makanan halal
0.551
0.632
Selalu berbelanja produk makanan halal
0.568
0.607
0.736
0.560
0.835
0.599
0.839
0.444
Memilih restoran /warung yang menjual makanan halal Tidak membeli makanan yang tidak bersetifikat halal Mencari produk sejenis lain yang bersertifikat halal Total Sikap
Sekor rata-rata (COP) 6.93 6.9 0 6.84 4.73 5.82 6.24
Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Tabel 5-1 menggambarkan bahwa lima pernyataan yang digunakan untuk mengungkapkan sikap responden terhadap niatnya berperilaku konsumsi makanan halal memiliki tingkat validitas yang tidak seejalan dengan tingkat reliabilitasnya. Namun demikian, kelima pertanyaan yang diajukan cukup valid (> 0.3 untuk korelasi Pearson), walaupun sedikit kurang reliabel terutama bagi pertanyaan tentang mencari produk sejenis lain yang bersertifikat halal. Dengan menggunakan tujuh skala jawaban (1 bagi yang bersikap sangat negatif – 7 untuk yang sangat positif ) diperoleh sekor rata-rata sebesar 6.244. Hal ini tentu saja menujukkan sikap yang sangat positif bagi seluruh responden muslim Banten untuk berperilaku konsumsi makanan. Hal tersebut, terutama ditunjukkan pada sikap responden yang menyatakan betapa sangat pentingnya mereka (masyarakat muslim Banten) untuk mengkonsumsi makanan halal. Mereka juga
98
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 98
6/22/2010 6:26:30 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
sangat suka untuk selalu membeli makanan halal dan juga bahkan penyediaan makanan halal di warung makan/ restoran sangat kuat mempengaruhi keputusan untuk makan di rumah makan atau restoran tersebut. Di sisi lain, sikap positif responden terhadap konsumsi makanan halal ini kurang kuat dalam masalah sertifikasi, hal ini ditunjukkan dengan sekor yang tidak cukup tinggi bagi dua pertanyaan keputusan membeli, yaitu bahwa apabila responden tidak menemukan makanan yang bersertifikat halal yang biasa mereka beli, mereka agak sedikit enggan untuk mencari produk sejenis lain yang ada sertifikat halalnya. Demikian halnya, responden muslim Banten ini menunjukkan kecenderungan untuk tetap membeli makanan kesukaannya walaupun tidak bersertifikat halal. Kenyataan ini tidak serta merta menggambarkan bahwa responden muslim Banten masih suka mengkonsumsi makanan yang tidak halal, oleh karena pernyataan dalam kuesioner hanya menekankan pada tendensi responden untuk mengkonsumsi makanan yang bersertifikat halal. Penjelasan lain yang dapat diberikan adalah oleh karena sampai saat ini ketersediaan produk makanan yang telah bersertifikat halal masih sangat terbatas, sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di Bab sertifikasi (bab 6) buku ini.
Norma Subyektif Pengaruh norma subyektif terhadap perilaku konsumsi makanan halal yang merupakan anggapan diri responden terhadap penilaian masyarakat muslim Banten dan termasuk juga Pemerintah daerah terhadap keputusan mereka untuk memilih dan membeli makanan halal diukur melalui dua kelompok pertanyaan. Kelompok pertanyaan pertama menggambarkan tentang pendapat responden terhadap adanya tuntutan mengkonsumsi makanan halal dari empat kelompok
99
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 99
6/22/2010 6:26:30 PM
Endang S Soesilowati
masyarakat, mulai dari tuntutan keluarga, masyarakat, pemerintah, sampai pada tuntutan pemuka agama. Kelompok pertanyaan ke dua memfokuskan pada pendapat responden terhadap penilaian negatif yang akan diterimanya, bila mereka tidak mengkonsumsi makanan halal. Anggapan penilaian negatif terhadap responden ini pun di dapatkan dari empat kelompok masyarakat tersebut di atas. Seperti halnya pengukuran sikap, pengujian terhadap pertanyaan yang dikelompokkan dalam norma subyektif ini pun dianalisa validitas dan reliabilitasnya menggunakan alat ukur yang sama (lihat Tabel 5-2). Dengan menggunakan uji statistik korelasi Pearson dan cronbach alpha, delapan pertanyaan yang digunakan untuk menggambarkan pengaruh norma subyektif terhadap perilaku responden dalam mengkonsumsi makanan halal menunjukkan tingkat validitas dan reliabilitas yang sangat tinggi. Tabel 5.2 Validitas,
Reliabilitas,
dan
Sekor
rata-rata
Norma
Subyektif
Responden
Jenis Pernyataan
Korelasi Pearson
Reliabilitas
Mengkonsumsi makanan halal oleh karena tuntutan keluarga
0.840
0.897
Mengkonsumsi makanan halal oleh karena tuntutan masyarakat
0.857
0.895
Mengkonsumsi makanan halal oleh karena tuntutan pemerintah
0.790
0.904
0.830
0.897
0.743
0.906
Mengkonsumsi makanan halal oleh karena tuntutan pemuka agama Jika tidak mengkonsumsi makanan halal akan dinilai negative oleh keluarga
(Sekor rata-rata) 5.44
4.68 4.39 5.61
6.25
100
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 100
6/22/2010 6:26:30 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Jika tidak mengkonsumsi makanan halal akan dinilai negative oleh masyarakat Jika tidak mengkonsumsi makanan halal akan dinilai negative oleh pemerintah Jika tidak mengkonsumsi makanan halal akan dinilai negative oleh pemuka agama
0.780
0.903
0.712
0.912
0.799
0.901
5.63
4.66
5.92 5.323
Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Ternyata, tingkat pengaruh norma subyektif terhadap perilaku responden dalam mengkonsumsi makanan halal tidak sekuat pengaruh sikap mereka sendiri. Hal ini ditunjukkan dari perolehan sekor ratarata (COP) yang hanya 5.323. Ini mengindikasikan bahwa responden muslim Banten berperilaku konsumsi makanan halal lebih dikarenakan mereka memang menyukainya (sikap), ketimbang oleh karena adanya tekanan yang mereka rasakan dari lingkungan sekitar. Sedikit pengaruh tekanan terhadap responden yang ditunjukkan oleh tuntutan terhadap responden untuk mengkonsumsi makanan halal terutama karena pengaruh pemuka agama. Sedangkan penilaian negatif yang akan diterimanya bila responden tidak mengkonsumsi makanan halal, terutama didapatkan dari keluarga terdekatnya.
Persepsi Kontrol Perilaku Persepsi kontrol perilaku merefleksikan kepercayaan/ keyakinan seseorang terhadap akses yang mereka miliki untuk memperoleh sumber dan kesempatan yang diperlukan untuk mewujudkan perilakunya. Oleh karenanya, hal ini meliputi dua komponen (Ajzen, 1991; Taylor & Todd, 1995). Komponen pertama merefleksikan ketersediaan sumber yang diperlukan untuk mewujudkan perilaku,
101
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 101
6/22/2010 6:26:30 PM
Endang S Soesilowati
seperti akses terhadap uang, waktu, dan lain sebagainya. Komponen ke dua mencerminkan keyakinan responden terhadap kemampuannya sendiri untuk melakukan sesuatu. Dalam tulisan ini pengaruh persepsi kontrol perilaku responden untuk mengkonsumsi makanan halal lebih ditekankan pada komponen ke dua, yaitu keyakinan diri responden tentang kemampuannya untuk mengkonsumsi makanan halal. Setidaknya ada delapan pernyataan yang dapat dipakai untuk menggambarkan persepsi kontrol perilaku mereka terhadap konsumsi makanan halalnya.Tabel 5-3 menggambarkan tingkat validitas, reliabilitas masing-masing variabel pertanyaan yang diperoleh memakai alat ukur yang sama seperti pengukuran yang dilakukan terhadap dua aspek (sikap dan norma subyektif ) terdahulu. Dibandingkan dengan pengaruh aspek sikap maupun aspek norma subyektif, pengaruh aspek persepsi kontrol perilaku terhadap perilaku responden dalam mengkonsumsi makanan halal menunjukkan kecenderungan posisi di antara keduanya. Artinya, persepsi kontrol perilaku memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh aspek norma subyektif, tetapi tidak sekuat pengaruh sikap responden terhadap perilaku responden muslim Banten dalam mengkonsumsi makanan halal.
102
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 102
6/22/2010 6:26:30 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Tabel 5.3
Validitas, Reliabilitas, dan Sekor rata-rata Persepsi Kontrol Perilaku Responden
Jenis Pernyataan
Validitas
Reliabilitas
COP (Sekor ratarata)
Melakukan Kontrol terhadap konsumsi makanan halal
0.702
0859
6.66
Mendorong pihak keluarga untuk mengkonsumsi makanan halal
0.577
0.874
6.85
Mendorong pihak kerabat/ saudara untuk mengkonsumsi makanan halal
0.774
0.850
6.39
Mendorong pihak sahabat untuk mengkonsumsi makanan halal
0.837
0.842
5.74
Mendorong pihak teman untuk mengkonsumsi makanan halal
0.830
0.842
5.56
Mendorong pihak pemuka agama untuk mengkonsumsi makanan halal
0.772
0.872
4.90
Mendorong pihak komunitas/ masyarakat untuk mengkonsumsi makanan halal
0.867
0.836
Label halal harus terlihat jelas
0.575
0.871
Total Persepsi Perilaku
5.37 6.67 6.018
Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Aspek persepsi perilaku kontrol yang paling kuat bersumber pada kontrol diri responden sendiri, dan juga kejelasan label halal dipersepsikan akan mempermudah responden melakukan kontrol terhadap konsumsi makanannya. Di samping itu, persepsi kontrol peri-
103
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 103
6/22/2010 6:26:30 PM
Endang S Soesilowati
laku responden juga ditunjukkan tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga terutama dengan mengontrol keluarga dan kerabat terdekatnya, dan bahkan komunitas masyarakat Muslim Banten untuk mengkonsumsi makanan halal.
Dominansi Faktor Telah jelas bahwa proses berperilaku konsumsi makanan halal dipengaruhi oleh tiga aspek, sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku. Intensitas pengaruh dari ketiga aspek tersebut ternyata tidak sama. Sikap nampaknya memberikan pengaruh yang lebih besar, diikuti oleh persepsi kontrol perilaku, sementara aspek norma subyektif memiliki intensitas pengaruh yang paling lemah dibandingkan dengan dua aspek lainnya. Selanjutnya, apakah intensitas kekuatan dari sikap selalu lebih menonjol dalam mempengaruhi perilaku konsumsi ketimbang pengaruh dua aspek lainnya? Apakah ini berlaku untuk semua orang? Tentu saja masih perlu dipertanyakan. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa perilaku konsumsi sangat bervariasi tergantung pada situasi dan kondisi seseorang. Oleh karenanya sangat menarik untuk mengkaji lebih lanjut variasi pengelompokkan responden muslim Banten dalam proses perilaku konsumsi makanan halalnya. Penyajian perbandingan masing-masing kelompok responden dalam tulisan ini dibedakan atas dasar tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, kelompok usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan pengetahuan agama yang diperoleh melalui institusi pendidikan pesantren, ditampilkan melalui enam gambar (Gambar 5-1, 5-2, 5-3, 5-4, 5-5, dan 5-6) berturut-turut. Seperti analisa yang telah dilakukan pada Bab 3, segmentasi responden berdasarkan tingkat pendapatan diukur melalui besaran pengeluaran yang kemudian dikelompokkan menjadi lima kelas
104
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 104
6/22/2010 6:26:30 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
besaran pengeluaran bulanan dengan selisih masing-masing pengeluaran sebesar Rp.1.500.000. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, didapatkan berurutan kelompok bawah 1 (tingkat pengeluaran responden per bulannya sampai Rp.1.500.000, kelompok bawah 2 untuk kelompok responden dengan besaran pengeluaran per bulan > Rp.1.500.000 – Rp3.000.000, kelompok berpendapatan sedang bagi responden dengan pengeluaran >Rp.3.000.000-Rp.4.500.000, disusul dengan kelompok atas 2 untuk >Rp.4.500.000 – Rp. 6.000.000,-. Kelompok responden dengan pengeluaran sebesar lebih dari Rp.6.000.000, merupakan kelompok responden yang diklasifikasikan sebagai kelompok atas1. Pada Bab 3 telah ditunjukkan bahwa antara tingkat pendapatan dan perilaku konsumsi walaupun korelasinya tidak cukup kuat, namun mempunyai korelasi negatif, dalam arti bahwa tingginya tingkat pendapatan seseorang tidak serta merta diikuti oleh semakin tingginya kepedulian untuk mengkonsumsi makanan halal, tapi justru sebaliknya semakin kurang peduli dibandingkan dengan kelompok tingkat pendapatan di bawahnya. Hal ini didukung oleh gambaran yang ditunjukkan pada Gambar 5-1. Gambar tersebut mengindikasikan bahwa kelompok masyarakat muslim Banten yang paling tinggi tingkat pendapatannya memiliki norma subyektif, persepsi kontrol, dan sikap untuk mengkonsumsi makanan halal yang paling lemah. Sebaliknya, responden komunitas muslim Banten berpendapatan sedang menunjukkan sikap, persepsi kontrol, dan norma subyektif yang paling kuat untuk berperilaku konsumsi makanan halal dibandingkan kelompok pendapatan lainnya.
105
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 105
6/22/2010 6:26:30 PM
Endang S Soesilowati
Gambar 5.1 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok pendapatan Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Dari kedua kelompok pendapatan ini, bisa dilihat bahwa bagi kelompok masyarakat kelas menengah memang sikap menunjukkan intensitas yang paling kuat diikuti berturu-turut oleh persepsi kontrol dan norma subyektif dalam mempengaruhi mereka untuk mengkonsumsi makanan halal. Sementara itu, bagi kelompok masyarakat dengan kelas sosial tinggi, ternyata persepsi kontrollah yang sedikit lebih berperan dalam mempengaruhi mereka untuk mengkonsumsi makanan halal dibandingkan dengan pengaruh sikap dan norma subyektif. Lebih lanjut, segementasi responden berdasarkan jenis pekerjaan menunjukkan bahwa responden muslim Banten yang berprofesi Guru (termasuk dosen) ternyata memiliki sikap dan persepsi kontrol yang paling tinggi terhadap konsumsi makanan halal dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya, tetapi norma subyektif mereka cukup rendah. Artinya, mereka merasa tuntutan sosial terhadap perilaku konsumsi
106
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 106
6/22/2010 6:26:30 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
halal mereka cukup rendah. Hal ini cukup bisa diterima logika, bila dalam benak para guru ini, ketika mereka tidak mengkonsumsi makanan halal, masyarakat tentu saja kurang berani menegurnya. Dari gambar tersebut nampak pula bahwa responden Ibu Rumah tangga cukup peduli terhadap makanan halal yang dikonsumsinya, baik itu karena sikap, norma subyektif, maupun persepsi kontrol mereka.
Gambar 5.2 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok Jenis Pekerjaan Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Hal menarik ditunjukkan dari segmentasi kelompok usia responden. Dengan mengamati Gambar 5-3 secara mudah dapat dilihat bahwa kelompok responden muslim Banten pada golongan usia termuda menunjukkan sikap, persepsi kontrol, dan norma subyektif untuk berperilaku konsumsi makanan halal yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Namun, sedikit agak sulit ketika membandingkan kelompok usia manakah yang menunjukkan intensitas pengaruh dalam ketiga aspek tersebut yang paling lemah terhadap niat mereka untuk mengkonsumsi makanan halal. Bagi responden muslim Banten dalam rentang usia 26-35, misalnya, memiliki persepsi kontrol dan norma subyektif paling lemah pengaruhnya untuk mengkonsumsi makanan halal dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, tetapi, ternyata sikap mereka untuk mengkonsumsi makanan halal masih lebih
107
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 107
6/22/2010 6:26:30 PM
Endang S Soesilowati
kuat dibandingkan dengan responden muslim Banten yang berusia 46 tahun ke atas.
Gambar 5.3 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok umur Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Tendensi yang sama ditunjukkan dalam variasi pengelompokkan responden berdasarkan tingkat pendidikan. Responden dengan tingkat pendidikan yang paling tinggi (S2) ternyata menunjukkan sikap, persepsi kontrol, dan norma subyektif yang paling tinggi dalam mempengaruhi mereka untuk mengkonsumsi makanan halal dibandingkan kelompok pendidikan di bawahnya. Kelompok responden yang berpendidikan D1-D3 menunjukkan norma subyektif dan persepsi kontrol yang paling lemah pengaruhnya terhadap perilaku mereka untuk mengkonsumsi makanan halal, tetapi sikap mereka untuk mengkonsumsi makanan halal masih lebih kuat dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTP dan SLTA. Oleh karena jumlah responden SD, D1-D3, dan S2, masing-masing hanya 3 orang, maka pengelompokkan responden berdasarkan tingkat pendidikan perlu diperingkas menjadi tiga kelompok saja, yaitu kelompok berpendidikan rendah (SLTP ke bawah), tingkat pendidikan menengah (SLTA), dan berpendidikan tinggi (D1 ke atas).
108
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 108
6/22/2010 6:26:31 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
Gambar 5.4 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan Tingkat Pendidikan Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Hasilnya, sikap dan persepsi kontrol terhadap responden masyarakat muslim Banten yang berpendidikan tinggi lebih kuat untuk berperilaku konsumsi makanan halal, tetapi mereka memiliki norma subyektif yang paling lemah untuk mengkonsumsi makanan halal dibandingkan dengan masyarakat muslim yang berpendidikan di bawahnya. Hal ini menjelaskan perolehan angka korelasi yang tidak cukup signifikan antara tingkat pendidikan dan perilaku kosumen yang telah dikemukakan dalam bab 3. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat muslim Banten, semakin dia memiliki sikap dan kontrol diri yang kuat untuk mengkonsumsi makanan halal, namun semakin lemah masyarakat memberikan tuntutan untuk mereka mengkonsumsi makanan halal ataupun memberikan penilaian negatif bila mereka tidak mengkonsumsi makanan halal. Hal menarik selanjutnya ditunjukkan oleh penyajian Gambar 5-5. Nampak di situ, bahwa responden masyarakat muslim Banten perempuan memiliki sikap, persepsi kontrol dan norma subyektif yang lebih kuat untuk berperilaku konsumsi makanan halal ketimbang laki-
109
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 109
6/22/2010 6:26:31 PM
Endang S Soesilowati
laki. Hal ini juga menunjukkan bahwa perempuan muslim Banten memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mengkonsumsi makanan halal ketimbang laki-laki. Selanjutnya, perlu untuk dilacak kemudian, siapakah yang biasa berbelaja makanan halal tersebut. Apakah tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam melakukan belanja untuk kegiatan sehari-harinya.
Gambar 5.5 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan Jenis Kelamin Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Ternyata, untuk responden perempuan, mayoritas (35%) dari mereka menyatakan bahwa mereka sendiri yang berbelanja, 19% dilakukan dirinya bersama pasangannya, dan hampir selalu dilakukan oleh pasangannya dikemukakan oleh 11% responden perempuan. Sebaliknya bagi laki-laki, hanya tujuh (7) persen yang melakukan belanja oleh mereka sendiri. Mayoritas responden laki-laki melakukan belanja bersama pasangannya yaitu sebanyak 30%, dan sebanyak 27% pasangan merekalah yang biasa melakukan belanja makanan halalnya
110
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 110
6/22/2010 6:26:31 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
sendiri. Selebihnya baik untuk responden laki-laki maupun perempuan belanja makanan halal dilakukan oleh kerabat, bersama seluruh keluarga, dan juga pembantu rumah tangganya.
Gambar 5.6 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Pesantren Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
Bagaimana halnya dengan pengaruh pendidikan pesantren? Sebagaimana seharusnya, bahwa perilaku masyarakat muslim Banten yang mempunyai latar belakang pengetahuan agama yang lebih kuat (baca: santri) akan menunjukkan sikap dan persepsi kontrol yang lebih tinggi untuk mengkonsumsi makanan halal dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Sama seperti halnya dengan orang yang berpendidikan tinggi, ternyata responden masyarakat muslim Banten yang berpendidikan pesantren merasa kurang dituntut oleh masyarakat sekitar untuk mengkonsumsi makanan halal, dan bahkan juga tidak akan dipandang negatif bila mereka tidak mengkonsumsi makanan halal. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya tingkat pendidikan seorang Muslim Banten baik itu
111
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 111
6/22/2010 6:26:31 PM
Endang S Soesilowati
di tingkat pendidikan umum maupun pendidikan pesantren semakin merasa dirinya disegani dan mungkin merasa lebih tahu untuk menentukan perilakunya dalam mengkonsumsi makanan halal.
Kesimpulan Untuk dapat menggambarkan kepedulian masyarakat muslim Banten terhadap konsumsi makanan halal, peneliti mencoba untuk melakukan pengujian dengan membandingkan masing-masing kelompok komunitas terhadap sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol menggunakan dua angka rata-rata (COP), yaitu perolehan angka rata-rata ketiga aspek tersebut, dan juga rata-rata seluruh variabel yang diukur. Nilai rata-rata yang dihitung dari tiga aspek (sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol = 21 variabel), diperoleh angka sebesar 5.807, sedangkan dari seluruh variabel (84 variabel) pertanyaan, diperoleh sekor rata-rata (COP) 5.890. Pada Tabel 5-4 disajikan perbandingan ketiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan masing-masing kelompok/segmen responden. Bila perolehan sekor rata-rata di atas COP ketiga aspek pengaruh perilaku, dituliskan dengan memakai huruf italic (miring), sedangkan bila perolehan sekor rata-rata di atas COP seluruh variabel pertanyaan diberi huruf tebal. Nampak jelas bahwa pengaruh aspek norma subyektif yang menggambarkan adanya tekanan sosial yang menunut masyarakat Muslim Banten untuk berperilaku konsumsi makanan halal agak lemah. Tidak demikian halnya yang terjadi terhadap sikap dan persepsi kontrol mereka yang cukup tinggi, yang ditunjukkan dengan sekor rata-rata (COP) di atas 5.890. Bila kita amati per segmen responden, terlihat bahwa hanya kelompok responden dengan tingkat pendapatan tinggi lah sel
112
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 112
6/22/2010 6:26:31 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
tabelnya kelihatan polos, tanpa huruf miring dan tentu saja tanpa huruf tebal. Artinya, orang-orang kaya muslim Banten mempunyai sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol terhadap konsumsi makanan halal paling lemah dibandingkan kelompok sosial lainnya. Sebaliknya, berturut-turut responden yang berpendidikan tinggi (S2), tingkat pendapatan sedang, Ibu rumah tangga, dan kelompok usia muda, merupakan segmen komunitas muslim Banten yang paling peduli terhadap konsumsi makanan halal, dengan tidak hanya sikap, tapi juga norma subyektif dan persepsi kontrol mereka sangat tinggi dalam mempengaruhi perilaku mereka untuk mengkonsumsi makanan halal.
113
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 113
6/22/2010 6:26:31 PM
Endang S Soesilowati
Tabel 5.4
Perbandingan Nilai rata-rata (COP) antar Faktor berdasarkan Segemen Responden
Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009
114
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 114
6/22/2010 6:26:31 PM
Analisis Faktor Determinan terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Halal
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, p. 179-211. Di akses dari Value Based jmanagement. Net Assadi Djamchid (2003). Do Religions Influence Customer Behavior? Confronting religious rules and marketing concepts. Cahiers du CEREN Volume: 5 Halaman: 2 - 13 Bonne, Karijn et Wim Verbeke (2006). Muslim consumer’s motivations towards meat consumption in Belgium: qualitative exploratory insights from means-end chain analysis, http://aof.revues.org/document90. html Babakus, Emin, T. Bettina Cornwell, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch (2004). Reactions to unethical consumer behavior across six countries Journal of Consumer Marketing Volume: 21 Issue: 4 Halaman: 254 – 263 Cornwell, Bettina, Charles Chi Cui, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch, Anis Dzulkiflee, Joseph Chan (2005). A cross-cultural study of the role of religion in consumers’ ethical positions. International Marketing Review Volume: 22 Issue: 5 Halaman: 531 - 546 Delener, Nejdet (1994). Religious Contrasts in Consumer Decision Behaviour Patterns: Their Dimensions and Marketing Implications (Abstract). European Journal of Marketing. 1994 Volume: 28 Issue: 5 Halaman: 36 – 53
115
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 115
6/22/2010 6:26:31 PM
Endang S Soesilowati
Essoo, Nittin and Dibb, Sally (2004). Religious influences on shopping behaviour: an exploratory study. Journal of Marketing Management, 20 (7-8). Halaman:. 683-712. ISSN 0267-257X Kinnear, T.C. and Taylor, J.R. (1996). Marketing Research: An Applied Approach, 5 th edition, McGraw-Hill, Inc ------------------.(2006). Indonesia International Halal Exhibition - Halal Indonesia 2006 7 - 29 April 2006, Jakarta. Malaysian Science and Technology Information Centre Portal. http://www.mastic.gov.my/ servlets/sfs Omar, M, Muhammad, M, and Omar, A. (2008). An Analysis of the Muslim Consumer’ attitude towards ‘Halal’ Food Products in Kelantan. Thrusting Islam Knowledge and Professionalism in ECER Development. ECER Regional Conference. 15-17 Desember 2008. Malaysia Pettinger, C., Holdsworth, M., Gerber, M., (2004).“Psycho-social influences on food choice in Southern France and Central England.” Appetite, 42(3), 307-316. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. (2008). Ekonomi Islam. Pt Raja Grafindo Persada: Jakarta Shafie S, Othman N Md, (2006). Halal Certification: an international marketing issues and challenges. http://www.ctw-congress. de/ifsam/download/track_13/pap00226.pdf. diakses pada 14 November 2009. Sumarwan, Ujang. (2002). Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Ghallia- Indonesia: Bogor USC Marshall. (n.d) Attitude. (http://www.consumerpsychologist.com/ cb_Attitudes.html
116
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 116
6/22/2010 6:26:32 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
BAB 6 TINGKAT KEPERCAYAAN MUSLIM BANTEN TERHADAP LABELISASI PRODUK MAKANAN HALAL Umi Karomah Yaumidin
Pendahuluan Dalam teknik pemasaran brand image sebuah produk maupun perusahaan dapat disimbolkan oleh berbagai cara seperti logo perusahaan, merk dagang, aktivitas sosial yang menjadi core competence perusahaan dan tentunya label halal. Beragam argumen diajukan untuk menentukan kelayakan sebuah produk yang mencirikan identitas yang melekat dari produk tersebut. Dari sisi psikologis identitas ini menjadi penting bagi konsumen untuk lebih mudah mengenali produk pilihannya dan meminimalisir praktek pemalsuan (munculnya barang tiruan atau yang biasa dikenal dengan istilah kw 1, kw 2 dan seterusnya) yang seringkali merugikan pihak konsumen. Bagaimana dengan label halal? Perkembangan ilmu teknologi pangan paska 1990 telah berkembang pesat, dimana hal ini membuat ruang bagi perkembangan industri produk halal semakin maju. Sperti dinyatakan oleh seorang produsen bahwa “Pencantuman label halal sangat menunjang aspek pemasaran produk pangan, adanya label halal memberi keyakinan konsumen untuk tidak ragu lagi membeli produk yang kita jual” (Bisnis Indonesia, 2009). Seiring dengan peningkatan kadar pemahaman dan kehati-hatian masyarakat muslim, dapat dipastikan bahwa tuntutan akan produk yang berlabelisasi halal semakin tinggi.
117
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 117
6/22/2010 6:26:32 PM
Umi Karomah Yaumidin
Sejauhmana pelabelan halal mempengaruhi perilaku konsumen masyarakat Muslim Banten? Pertanyaan ini akan menjadi fokus bahasan yang mendalam dalam tulisan ini. Sebenarnya ketika produsen telah memperoleh sertifikasi halal, seharusnya perusahaan perlu mempertimbangan bagaimana mencantumkan labelisasi halal di produknya. Dalam studi ini, pengamatan lebih ditujukan untuk produk makanan mentah, makanan jadi yang dikemas dan makanan jadi non kemasan seperti yang disajikan di restoran. Sebagaimana disebutkan pada bab 2, dalam makanan mentah non kemasan, misalnya pembelian daging, maupun makanan jadi yang tersedia di warung maupun restoran, sangat sulit diidentifikasi apakah produk tersebut sudah dilakukan melalui prosedur syariah yang menjadi persyaratan awal kehalalan produk atau tidak, sehingga dalam konteks ini sikap konsumen dalam pemilihan lokasi pembelian produk menjadi penting. Sementara itu, untuk makanan mentah maupun jadi yang sudah dikemas tentunya akan lebih mudah bagi konsumen untuk memilih produknya. Tetapi permasalahannya kemudian, pelabelan halal yang bagaimana yang benar-benar meyakinkan dan memberi kepastian jaminan bahwa produk tersebut benar-benar sesuai dengan syariah? Apakah yang terdapat logo MUI? bertuliskan halal 100%? Ataukah bertuliskan logo arab halal? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas pada sub bab berikutnya. Kajian khusus pada bab ini menjadi penting tidak hanya memberikan pembelajaran bagi kalangan konsumen awam yang tidak terlalu megerti tentang prosedural kelayakan produk makanan, tetapi juga menjawab berbagai isu strategis dalam kaitan dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang hingga saat ini belum dituntaskan oleh DPR. Dengan demikian studi ini akan memberikan sedikitnya pandangan dan timbangan bagi pengambil kebijakan, bagaimana regulasi halal seharusnya diputuskan.
118
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 118
6/22/2010 6:26:32 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
Dari Sertifikasi Hingga Labelisasi Penanganan masalah halal pada produk pangan di Indonesia memiliki dua hal yang saling terkait, yaitu sertifikasi dan labelisasi halal. Di Indonesia lembaga sertifikasi yang diakui oleh nasional adalah LPPOM MUI, sementara itu fakta internasional menunjukkan bahwa di negara lain seperti Amerika terdapat lebih dari 1 lembaga yang memberikan sertifikasi halal. Pada intinya tujuan umum dari diberlakukannya sertifikasi halal adalah: “…….. untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu produk, sehingga dapat nentramkan batin yang mengkonsumsinya. Selain itu, bagi produsen sertfikasi halal akan mencegah kesimpang siuran status kehalalan produk yang dihasilkan (MUI, 2008)”. Dalam merumuskan pentingnya sertifikat halal, terdapat beberapa butir kesepakatan antara LP POM MUI dan Departemen Kesehatan, yang mendasari urgensi pengenaan sertifikasi halal yaitu: 1. Dalam rangka memberikan kepastian bagi pemeluk agama Islam tentang halal dan tidaknya makanan dan minuman yang beredar, sangat penting jika dicantumkan label “Halal” pada kemasan produk maknan dan minuman. Untuk itu dalam implementasinya perlu ada kerjasama yang terpadu dan serasi terutama antara Departmen Kesehatan, MUI dan Departemen Agama. 2. Penanganan masalah kehalalan produk makanan terkait pula dengan aspek keamanan makanan (food safety) yang karena itu penanganan kedua aspek tersebut harus dilakukan secara sinkron dan terpadu. 3. Suatu produk makanan yang beredar di masyarakat dapat dinyatakan halal hanya atas dasar fatwa MUI setelah melalui
119
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 119
6/22/2010 6:26:32 PM
Umi Karomah Yaumidin
serangkaian pemeriksaan (audit) di lokasi produsen dan pengujian laboratorium secara seksama oleh LP POM MUI. Labelisasi halal merupakan perijinan pencantuman label ‘Halal” pada kemasan suatu produk makanan yang merupakan kewenangan Departemen Kesehatan cq. Direktorat Jenderal POM. Ijin pencantuman label “Halal” pada kemasan suatu produk makanan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan cq. Dirjen POM didasarkan atas fatwa MUI dalam bentuk sertifikat Halal MUI. Setelah mengkaji secara seksama berbagai aspek yang berkaitan dengan penanganan masalah halal pada produk makanan di Indonesia, maka peserta rapat sepakat untuk mengusulkan alternative prosedur pencantuman label “Halal”. Disepakati pula bahwa perlu dilakukan pembahasan secara insentif hal-hal yang bersifat teknis agar ketentuan mengenai pencantuman label halal segera terealisasi.
4.
5.
6.
7.
Secara prosedural, sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI harus mengacu pada prinsip kehalalan produk yang meliputi kandungan isinya, proses pengolahan, maupun penympanannya, sebagaimana persyaratan berikut (MUI, 2007): Kandungan bahan nya tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi, khamr dan produk turunannya. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang disembelih menurut cara syariat islam. Tidak mengandung bahan-bahan lain yang diharamkan atau tergolong najis seperti: bangkai, darah, bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, kotoran dan lain sebagainya. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan alat transportasi untuk produk halal tidak boleh digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya. Jika fasilitas tersebut pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk produk halal maka terlebih dahulu harus dibersihkan sesuai dengan tata cara yang
120
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 120
6/22/2010 6:26:32 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
diatur menurut syari’at Islam. Penggunaaan fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal bergantian tidak diperbolehkan. Prosedur labelisasi halal yang dilakukan MUI membutuhkaan suatu proses yang cukup panjang, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 6.1. Rencana Pengajuan Sertifikat Halal Rencana Sistem Jaminan Halal Penyusunan Manual Halal dan Prosedur Buku Pelaksanaannya Pemasyarakatan dan Uji Coba Manual Halal dan Prosedur Buku Pelaksanaannya
PRODUSEN (RPA)
Audit Internal dan Evaluasi
Revisi
Pengajuan Sertifikat Halal LP POM MUI Cek Sistem Jaminan Halal
Tidak Lengkap
Audit di lokasi produksi Evaluasi
Revisi
Revisi FATWA MUI Sertifikat Halal Untuk RPA
Gambar 6.1 Diagram Alir Proses Pemberian Sertifikasi Halal Sumber: LPPOM, MUI
121
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 121
6/22/2010 6:26:32 PM
Umi Karomah Yaumidin
Secara harfiah, labelisasi halal merupakan perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencatuman label halal pada kemasan produk pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dalam bentuk sertifikat halal MUI. Setelah memperoleh sertifikat halal dan pencantuman label halal, produsen masih memiliki kewajiban sebagai berikut: 1. 2. 3.
Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan produksi yang diproduksinya. Sertifikat halal MUI tidak dapat dipindahtangankan. Sertifikat yang sudah berakhir masa berlakunya, termasuk salinannya tidak boleh dipergunakan lagi untuk maksud apapun.
Sesuai dengan ketentuan MUI bahwa masa berlaku sertifikat Halal adalah 2 (dua) tahun. Untuk menjaga konsistensi produksi selama berlakunya sertifikat, LP POM MUI memberikan ketentuan bagi perusahaan sebagi berikut (MUI, 2008): 1.
2.
3. 4.
Sebelum produsen mengajukan sertifikat halal terlebih dahulu harus mempersiapkan Sistem Jaminan Halal. Penjelasan rinci tentang system jaminan halal dapat merujuk kepada Buku Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal yang dikeluarkan oleh LP POM MUI. Berkewajiban mengangkat secara resmi seorang atau tim auditor halal internal yang bertanggung jawab dalam menjamin pelaksanaan produksi halal. Berkewajiban menandatangani kesediaan untuk diinspeksi secara mndadak tanpa pemberitahuan sebelumnya oleh LP POM MUI Membuat laporan berkala setiap 6 bulan tentang pelaksanaan sistem jaminan halal.
122
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 122
6/22/2010 6:26:32 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI menjadi satu landasan bagi konsumen maupun produsen mengenai kehalalan produk. Sehingga, jaminan ini juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh, dan tidak semua orang dapat diberikan amanah ini. Konsekuensinya, bagi institusi yang mengeluarkan sertifikat ini harus mendapat legalitas tidak hanya secara hukum positif yang berlaku melainkan pula harus capable sesuai syariat Islam. Keraguan akan adanya permainan dalam menentukan halal-haram karena tidak diakuinya kapabilitas petugas inspeksi (terutama kalangan non muslim), seharusnya tidak terjadi. Karena Alloh telah berfirman dan menegaskan di (Q.S. 16:116). “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa-apa yang disebutsebut oleh lidahmu secara dusta; ini halal ini haram “. Untuk keperluan inventarisasi dan klasifikasi, LP POM MUI pada tahun 1990 melakukan studi label makanan dan minuman berakohol di berbagai pasar swalayan di Jakarta dan Bogor. Studi tersbut bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis produk merk pangan dan minuman olahan yang menggunakan label berdasarkan persyaratan yang sesuai dengan ketentuan “labeling” pencantuman kata halal, dan kandungan alkohol pada minuman. Dengan menggunakan metode survey dan dilengkapi dengan analisa laboratorium, data yang diperoleh diklasifikasikan menjadi enam kelompok makanan dan minuman, yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil studi antara lain menemukan. 1.
Produk pangan dan minuman yang mencantumkan kata halal pada label tercatat sebanyak 166 merek (16.8%). Jumlah ini terdiri dari 150 merek produk pangan olahan dan 160 merk produk minuman ringan. Dengan konsentrasi berkisar 0,04% - 0,87% dari jumlah hasil yang dianalisis secara laboratories menemukan sebanyak
123
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 123
6/22/2010 6:26:32 PM
Umi Karomah Yaumidin
2.
3.
30,76% minuman ringan yang mengandung alkohol. Anggur kuat dan anggur Malaga masing-masing mengandung alkohol sebesar 15,2 dan 16,89 persen. Dari 988 merek makanan dan minuman yang disurvei di lima pasar swalayan Jakarta dan Bogor, ternyara produk pangan dan minuman yang mencantumkan bahan tambahan makanan sebanyak 575 merek (58,2%), izin Depkes 615 merk (62,2%) dan masa kadaluarsa sebanyak 237 merek (24%). Khusus untuk produk pangan olahan yang mencantumkan bahan tambahan 40%, izin depkes 64,2% dan masa kadaluarsa 29,8%. Pada produk pangan dan minuman olahan, pengunaan label dengan segala ketentuannya masih sangat terbatas.
Jumlah produk yang mendapatkan sertifikasi MUI di Indonesia masih terbilang sedikit khususnya untuk industri makanan olahan yang diproduksi dalam skala kecil dan menengah. Menurut ketua LSM Halal Watch, Nur Bowo, “Hanya 300 produk di DKI dan 12.000 produk di seluruh Indonesia yang telah memperoleh sertifikasi halal. Padahal, jumlah produk yang berkaitan dengan kehalalan bisa mencapai jutaan banyaknya (Pelita, 2009). Sementara itu data dari lembaga audit sertifikasi halal Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), menyatakan bahwa selama 20 tahun MUI telah mengeluarkan lebih dari 11.500 sertifikasi halal dari 80.000 jenis produk makanan, obat-obatan, kosmetik, kimia biologik dan rekayasa genetika yang beredar di Indonesia (Subadi, 2009). Sampai saat ini belum ada standar baku yang harus diacu oleh produsen untuk mencantumkan label halal. Padahal, untuk dapat menyakinkan konsumen perlu adanya standarisasi penggunaan label halal yang dirasakan memberikan kepastian kepada konsumen tentang kehalalan sebuah produk. Argumentasi logis dari keseragaman pelabelan merupakan bentuk strategi marketing yang tentunya akan
124
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 124
6/22/2010 6:26:32 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
menguntungkan tidak hanya bagi produsen tetapi juga memberikan jaminan kepercayaan kepada konsumen akan mutu dan spesifikasi khusus sebuah produk. Mengutip yang disampaikan ketua LPPOM MUI (Republika, 2008) bahwa pelabelan ataupun logo halal dalam kemasan makanan, obat dan kosmetika yang seragam adalah media yang paling efektif dan terpercaya sampai ke masyarakat. Harapan yang diinginkan dengan standarisasi label halal akan meningkatkan kualitas jaminan kehalalan produk kepada masyarakat. Dari pengamatan MUI, respon pengusaha terhadap standarisasi label halal cukup bagus. Banyak pengusaha makanan dan minuman besar yang memiliki komitmen bahwa pencantuman label halal adalah salah satu strategi bisnis yang wajib dipertanggung jawabkan tidak hanya kepada konsumen tetapi juga terhadap sang pencipta. Namun, pertanyaan selanjutnya adakah legalisasi hukum terhadap penentuan acuan baku baik untuk sertifikasi halal maupun labelisasi produk halal?
Perjalanan Panjang Jaminan Produk Halal
Rancangan
Undang-Undang
Selama ini upaya pemerintah dan produsen untuk melindungi umat dari mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk mendukung hak informasi konsumen agar mengetahui kehalalan produk sudah berjalan dengan baik, yaitu melalui Sertifikasi Halal dari MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal pada label produk. Perjuangan dalam perlindungan konsumen terhadap hak pemenuhan informasi telah banyak dilakukan baik di tingkat nasional maupun internasional. Permasalahan yang dihadapi juga cukup mendasar yaitu seperti yg telah disebutkan di muka, belum adanya acuan baku atau standard baku bagi lembaga yang memberikan sertifikasi halal. Persyaratan ini penting terutama bagi pengembangan
125
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 125
6/22/2010 6:26:32 PM
Umi Karomah Yaumidin
Sistem Jaminan Halal yang merupakan landasan bagi berkembangnya perdagangan produk-produk halal. Penerapan sistem jaminan halal dilakukan dalam bentuk pemenuhan dokumen manual halal, dokumen SOP halal, Guideline halal, dan World International halal serta pelaksanaannya menunjukkan bahwa konsep model yang telah dikembangkan sesuai untuk digunakan sebagai standar baku dalam menyusun sistem jaminan halal. Patut disayangkan, jika maju pesatnya perkembangan perdagangan produk halal di tingkat internasional tidak di dukung oleh Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System) dan kelembagaan sertifikasi halal global yang kuat dan mendapat ratifikasi dari banyak negara. Hingga saat ini, lembaga yang ada banyak bersifat nasional, belum terstandardisasi, dan belum ada lembaga auditornya. Dari 40 lembaga sertifikasi halal di AS tahun 2001, hanya 16 lembaga yang diakui Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), bahkan hanya lima yang diakui MUI. Alasan logis dari penolakan tersebut sangat krusial menyangkut kompetensi dan kredibilitas lembaga, sebagai contoh pemberian sertifikasi halal hanya ditangani oleh 2 hingga tiga orang saja. Padahal, proses pemberian sertifikasi halal tentunya melalui prosedur dan proses yang harus memberikan jaminan kehalalan produk melalui serangkaian uji materi penyusunnya (Bisnis Indonesia, 2009). Peran MUI dalam hal ini LPPOM sebagai satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan dan diakui secara nasional untuk melakukam audit dan pemberian sertifikasi halal (setelah melalui fatwa MUI) tidak hanya sebatas pada pemberian sertifikasi halal untuk produk yang dikeluarkan oleh produsen Indonesia. LPPOM MUI juga berperan dalam memberikan rekomendasi terhadap lembaga sertifikasi halal luar negeri. Hingga saat ini, LPPOM MUI mengeluarkan 39 lembaga sertifikasi halal luar negeri yang direkomendasi di antaranya di Australia 11, Selandia Baru 3, AS 8, Belanda 3, Irlandia 4. Sementara itu, di Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Jepang masing-masing 1 lembaga yang telah direkomendasi (Bisnis Indonesia; 2009).
126
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 126
6/22/2010 6:26:32 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
Pentingnya peran MUI ini terutama untuk menjaga agar tidak terjadinya penggerusan kepercayaan konsumen akan kredibilitas dan kapabilitas lembaga pemberi sertifikat halal. Selain itu pula, hal ini akan mempersulit produsen dan pebisnis produk halal. Artinya, jika sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal suatu negara, sering ditolak majelis ulama dan atau lembaga sertifikasi halal negara lain, lembaga sertifikasi halal yang dipercaya negara pengimpor harus melakukan sertifikasi ulang. Hal ini menyebabkan inefisiensi bagi semua pihak. Peraturan-peraturan yang ada saat ini yaitu UU No 7/1996 tentang Pangan, PP No 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah dengan jelas mengatur cara pencantuman tanda (tulisan) halal berikut sanksi hukum yang jelas. Namun, sejatinya legislasi produk halal di Indonesia bukan hal baru. Permenkes No 280/Menkes/Per/XI/1976, pasal 2 telah mengatur peredaran dan penandaan makanan yang mengandung bahan asal babi. Singkatnya, wadah atau bungkus makanan mengandung bahan asal babi harus dicantumkan peringatan gambar babi atau tulisan MENGANDUNG BABI berwarna merah. SKB Menteri Agama dan Menteri Kesehatan, No 427/Menkes/SKB/VII/1985 dan No 68/1985 pasal 1, 2, dan 4 juga mengaturnya. Pasal 2 menyatakan produsen yang mencantumkan tulisan halal pada label atau penandaan makanan produknya bertanggungjawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam. Pasal 4, pengawasan preventif dilakukan Dirjen POM mengikutkan unsur Departemen Agama, dan untuk pengawasan dilakukan oleh Depkes. Dalam UU No 7 tahun 1996 tentang pangan memasukkan istilah halal terutama dalam pasal iklan dan label. Dalam pasal 30, 34, dan 35 jika disimpulkan merupakan pasal yang mewajibkan setiap produk pangan kemasan yang diperdagangkan di Indonesia harus mencantumkan label pada, di dalam dan atau di kemasan pangan1. Terdapat ganjalan dalam 1
UU No.7 tahun 1996 dalam pasal 30 ayat 1 menyebutkan;“Label tersebut sekurang-kurangnya memuat
127
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 127
6/22/2010 6:26:32 PM
Umi Karomah Yaumidin
UU pangan tersebut yang berdampak signifikan bagi perdagangan produk makanan kemasan yang berlabel halal. Dalam pasal 30 ayat 2 dengan jelas disebutkan bahwa “mengenai keterangan halal produk pangan tersebut pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban bila produsen atau importir menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam”. Sementara itu, peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 dalam pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, yang menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat manusia, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label”. Dengan demikian Undang-undang pangan belum cukup kuat untuk mendorong terwujudnya perdagangan produk halal yang masive. Implikasi langsung dari keberadaan undang-undang tersebut adalah munculnya beragam jenis logo ataupun pelabelan halal, seperti yang di tunjukkan pada gambar 6.2
a. Nama produk, b. Daftar bahan yang digunakan, c. Berat bersih atau isi bersih, d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi, e. Keterangan tentang halal, dan f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa.
128
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 128
6/22/2010 6:26:32 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
Gambar 6.2 Beragam Logo Halal yang tercantum Dalam Kemasan Produk Makanan dan Minuman Sumber: Berbagai media dari internet
Bagi konsumen kerancuan pelabelan halal ini tidak hanya mempengaruhi minat tetapi juga intensitas untuk membeli produk tersebut. ketidaksingkronan antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, perlu diperbaiki. Peraturan Pemerintah tersebut harus dilakukan revisi agar sesuai dengan payung hukum yang telah ada. Demikian juga dengan peraturan teknis terkait yang dikeluarkan oleh Menteri. Peraturan Menteri (Permen) yang dibuat harus diperbaiki dan mengacu pada perundang-undangan yang telah ada. Sehingga terdapat aturan yang dapat ‘’memaksa’’ pelaku usaha untuk pencantuman label ‘’halal’’ pada produk yang dikeluarkannya terutama untuk produk makanan yang tidak dalam kemasan.
129
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 129
6/22/2010 6:26:33 PM
Umi Karomah Yaumidin
Diskursus mengenai urgensitas Undang-Undang Jaminan Produk Halal tidak perlu dibahas terlalu panjang dan bertele-tele. Bagi setiap muslim cukuplah hukum Allah yang mengatur tentang kehalalan dan keharaman makanan. Sehingga tidak perlu ada hukum positif yang turut mengaturnya. Keberatan semacam ini muncul dari kalangan umat muslim dan non muslim yang lebih fokus terhadap perdagangan internasional. Bagi mereka kewajiban pelabelan halal ini dapat dikategorikan sebagai “trade barier” yang tentunya mengancam kelancaran arus produksi dan perekonomian nasional. Di sisi lain terdapat pendapat, mengapa tidak membuktikan yang haram saja, sebab yang halal jumlahnya lebih besar dibandingkan yang haram. Sehingga pembuktian akan lebih efisien jika barang yang haram yang di ujikan, dan beban pengujian tersebut diserahkan kepada pihak yang mengklaim bahwa barang tersebut haram. Sedikit lebih bijak, sebagian masyarakat muslim menyetujui bahwa UndangUndang Jaminan Produk Halal perlu diterapkan namun tidak dalam semangat sebagai mandatory atau menekan ke pengusaha untuk wajib melakukan labelisasi halal. Seharusnya pelabelan halal sifatnya voluntary sebagaimana sistem yang berlaku saat ini. Dalam perumusan Undang-Undang halal terkesan munculnya konflik kepentingan antara MUI dan Departemen Agama.2 Semangat untuk mewajibkan labelisasi halal kepada produsen makanan, obat-obatan dan kosmetika terkesan sangat komersial. Jika unsur komersialisasi yang menonjol mengapa tidak menunjuk lembaga profesional yang terlepas dari unsur pemerintahan? Dengan demikian, validasi sertifikasi yang dikeluarkan dapat lebih dipercaya.
2
UU Halal dikhawatirkan akan mengeliminasi peran lembaga audit sertifikasi halal Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Dengan disahkannya UU Halal, maka dapat dipastikan Depag akan mengambil alih peran lembaga audit sertifikasi halal yang selama ini dilaksanakan oleh LPPOM dan Komisi Fatwa MUI.
130
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 130
6/22/2010 6:26:33 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
Kembali kepada persepsi konsumen terhadap produk yang berlabel halal. Benar adanya label halal MUI lebih memberikan ketentraman, kepastian dan jaminan kepuasan kepada konsumen, namun masih banyak pula masyarakat muslim yang percaya dengan pelabelan halal selain MUI. Oleh karena itu, jika rumitnya memutuskan dan mengesahkan RUU halal menjadi UU hanya dikarenakan belum selesainya permasalahan ditingkat lembaga atau organisasi pengelolanya, alangkah baiknya organisasi tersebut juga perlu dilakukan uji standarisasi, yang menunjukkan kepada umat muslim bahwa lembaga tersebut fit and proper dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya.
Persepsi Konsumen terhadap Produk Berlabel Halal Pada dasarnya suatu sistem manajemen yang diterapkan dalam menjamin sesuatu, seperti mutu atau halal secara prinsip sama.3 Akan tetapi berbeda dengan mutu yang merupakan konsensus manusia dalam mendefinisikan mutu suatu produk, dalam masalah halal, ketentuannya ditetapkan oleh yang Maha Kuasa kemudian melalui para ulama dan ilmuan ketentuan itu diterjemahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Di samping itu dampak pengharaman suatu produk akan jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan dampak ketidaksesuaian mutu suatu produk. Oleh karena itu dalam menerapkan sistem manajemen untuk menjamin kehalalan suatu produk harus sesempurna mungkin, sehingga produk yang dihasilkan terjamin kehalalannya sepanjang waktu (Apriyantono et a.l; 2003). Dalam bagian tulisan ini akan mengulas penilaian dan sikap konsumen Banten yang dikhususkan pada produk yang berlabel. 3
Elemen yang dibuat dalam sistem jaminan halal yang dikembangkan dari elemen ISO 9000 versi 2000 dan panduan penyusunan rencana sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) menurut BSN (2002).
131
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 131
6/22/2010 6:26:33 PM
Umi Karomah Yaumidin
Terdapat tiga item label yang akan diuji yaitu label halal yang berlogo MUI, label Depkes dan label halal yang bertuliskan huruf Arab. Persepsi masyarakat terhadap mengkonsumsi produk berlabel halal didasari oleh beberapa nilai tertentu yang dianut oleh masyarakat setempat. Dalam perkembangannya teori mengenai kepercayaan yang mempengaruhi perilaku konsumsi, dapat dikelompokkan ke dalam Theory of Reasoned Action (lihat Ajzen, 1991). Berikut ini disarikan dari Yi (1989) mengenai perkembangan teori perilaku konsumen. Dimulai dari Howard and Sheth (1969); Howard (1989) menyebutkan bahwa perilaku merupakan variabel yang secara signifikan mampu menjelaskan dan menduga berbagai perilaku konsumen terhadap sejumlah pilihan dalam konsumsi makanan. Pada awalnya studi mengenai perilaku konsumen dikembangkan melalui perhitungan matematis yang dihubungkan dengan nilai ekspektasi sebagaimana yang dikembangkan oleh Rosenbergs’s Instrumentally-Value model (1956) dan Edwards’ Subjective Expected Utility model (1954). Namun, terdapat keterbatasan dalam model tersebut terutama dalam menjelaskan beberapa elemen kritis yang membangun perilaku konsumen itu sendiri. Diantara kelemahan tersebut adalah tidak mempertimbangkan; (a) niat atau keinginan sebagai variabel precursor perilaku (behavioral intention as a precursor to behavior); (b) pentingnya kepercayaan yang dianut oleh masyarakat (the importance of socially based beliefs); dan the potential importance of socially-based beliefs (expectations) about the attitude object. Model evaluasi keyakinan atau kepercayaan pertama kali diperkenalkan oleh Fishbein (1967) dan kemudian dielaborasi oleh Fishbein and Ajzen (1975). Teori Fishbein ini menjawab semua kelemahan teori sebelumnya. Telah ditunjukkan pada bab 5 (Tabel 5-2) buku ini, berdasarkan pernyataan responden yang menganggap bahwa terdapat penilaian negatif yang ditujukan kepada mereka jika tidak mengkonsumsi produk halal dari keluarga, masyarakat, pemerintah dan pemuka agama. Dari
132
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 132
6/22/2010 6:26:33 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
hasil perhitungan rata-rata scoring, responden memberikan sekor yang cukup tinggi untuk penilaian negatif yang diterima mereka dari keluarga jika tidak mengkonsumsi makanan halal (6.25). Sedangkan penilaian negatif yang diperoleh dari pemerintah adalah yang terendah (4.66). Hal ini terjadi karena memang tidak ada law enforcement bagi masyarakat untuk wajib mengkonsumsi makanan halal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa intensi masyarakat untuk tidak atau mengkonsumsi makanan halal masih sebatas pada perasaan malu atau takut dikucilkan oleh keluarga ataupun kerabatnya. Analisa selanjutnya melihat bagaimana nilai yang diyakini masyarakat Banten ini mempengaruhi perilaku mereka dalam mengkonsumsi produk makanan halal yang berlabel MUI dengan tingkat intensitas mereka mengkonsumsi produk tersebut. Dalam gambar 6-3 terlihat jelas bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk makanan berlabel halal MUI semakin sering (tinggi) pula tintensitas mereka untuk membeli produk tersebut. Hampir 54 persen konsumen yang memiliki tingkat kepercayaan sangat tinggi terhadap produk berlabel halal MUI, selalu membelanjakan pendapatannya untuk produk yang berlabel halal MUI (91,1 persen). Sedangkan yang memiliki kadar kepercayaan terhadap produk berlabel halal MUI (2 persen) menyatakan hanya 1 persen dari mereka yang tidak mau berbelanja produk berlabel halal MUI sementara selebihnya pernah belanja meskipu satu kali atau sesekali dalam setahun (lihat lampiran 1).
133
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 133
6/22/2010 6:26:33 PM
Umi Karomah Yaumidin
Gambar 6.3. Korelasi Intensitas membeli produk berlabel MUI dengan Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Label MUI Sumber: Data Primer diolah, 2009
Hasil ini hanya diperoleh dari penilaian subjektif responden terhadap nilai-nilai yang mereka anut, dan anggapan mereka terhadap penilaian orang-orang disekitar mereka apabila mereka tidak mengkonsumsi makanan halal. Sebagian dari mereka yang menyatakan bahwa kehalalan makanan tidak begitu penting karena menurut mereka membuat makanan dari subhat menjadi halal itu mudah. Apabila konsumen tidak mengetahui kehalalan zat maupun proses pembuatan makanan tersebut, pada saat makan cukup hanya dengan membaca bismillah maka makanan tersebut telah halal baginya. Pernyataan seperti ini disampaikan oleh pimpinan majelis taklim setempat berdasarkan pernyataan mereka bahwa pengetahuan tersebut diperoleh dari guru ngajinya masing-masing pada waktu kecil. Belum ada sosialisasi yang cukup baik mengenai pemahaman halalharam produk makanan yang terkait dengan perkembangan teknologi di bidang pangan. Bagi kalangan pemuka agama Banten semua makanan itu selain yang diharamkan dalam Al-Quran adalah halal. Oleh karena itu, materi kehalalan produk makanan seringkali luput sebagai
134
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 134
6/22/2010 6:26:33 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
materi dakwah mereka. Materi dakwah yang disampaikan lebih banyak ditujukan untuk aktivitas ritual dan muamalah (pengaplikasian ajaran Islam). Materi dakwah yang disampaikan melalui majelis taklim atau pendidikan dasar agama ditingkat menengah dan atas lebih banyak kepada materi fiqih yang pokok seperti shalat, tartil Quran, puasa dan seterusnya. Sedangkan perkembangan mengenai produk makanan yang mengandung unsur subhat jarang sekali di singgung bahkan mungkin tidak. Hal ini wajar terjadi dan mungkin banyak terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Oleh karena itu peran lembaga independen seperti LSM yang bergerak dalam sosialisasi produk halal, maupun yayasan lembaga konsumen Indonesia wajib turut aktif dalam proses pengajaran kepada masyarakat mengenai kehati-hatian dalam memilih produk makanan.
Persepsi Pemerintah dan Lembaga Independen terhadap Produk Halal Selain dari sisi masyarakat, penelitian ini juga menggali persepsi dari pemerintah dalam konteks ini Departemen Kesehatan dan Departemen Agama dan lembaga Independen seperti MUI dan YLKI. Dari sisi kesehatan, pencantuman label halal secara teknis diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No : 82/Menkes/SK/I/1996. Dalam lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang Persyaratan Higiene Pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan baku dalam proses pembuatan makanan halal dan persyaratan higiene pengolahan makanan menurut syariat Islam. Menteri Kesehatan juga mengeluarkan SK No 924/Menkes/SK/ VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ‘’Halal’’ pada Label Makanan pada pasal 8 disebutkan Produsen atau importir yang akan
135
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 135
6/22/2010 6:26:33 PM
Umi Karomah Yaumidin
mengajukan permohonan pencantuman tulisan ‘’Halal’’ wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal. Dalam aturan tersebut sangat jelas bahwa masalah halal juga menjadi tupoksi dari departemen kesehatan. Namun, apakah peraturan tersebut juga dapat diwujudkan secara nyata dalam operasional tugas jajaran departemen kesehatan, khususnya di daerah? Temuan lapangan menunjukkan masih terkesan bahwa Dinas kesehatan terutama di wilayah kota dan kabupaten belum terlalu siap mengemban amanah peraturan yang berlaku. Berdasarkan penjelasan dari pihak Dinas kesehatan kota Serang, meskipun Dinas kesehatan memiliki aktivitas rutin dalam membimbing dan memberikan sosialisasi kepada usaha kecil makanan dan minuman khususnya yang beroperasi di wilayah sekolah-sekolah, bimbingan yang dilakukan masih sebatas pada bagaimana konsumen memilih produk makanan yang sehat dan terbebas dari berbagai bahan beracun dan membahayakan tubuh. Padahal, petugas kesehatan di Serang menemukan banyak pedagang khususnya pedagang kecil yang melanggar aturan dalam menambahkan zat tambahan makanan pada produk jualannya, pedagang menyebutnya sebagai “biang”. Zat addictive yang biasa digunakan seperti penggunaan zat pewarna pakaian untuk pewarna makanan, formalin, borax dan seterusnya yang dapat membahayakan kesehatan. Meskipun, secara terjadwal kegiatan tersebut dilakukan oleh petugas kesehatan, namun masalah anggaran, khususnya di tahun 2009, juga menjadi kendala bagi terwujudnya sosialisasi yang istiqomah, seperti pemaparan kasubbag kesehatan masyarakat Dinas kesehatan kota Serang; “…….Tahun 2009 ini kami mengalami pemangkasan pendanaan yang cukup signifikan, dikarenakan anggaran pemerintah lebih banyak ditujukan untuk kesuksesan Pemilu. Dalam menyiasati ini akhirnya kegiatan yang berkaitan dengan penyuluhan kesehatan yang biasanya rutin dilakukan di sekolah-sekolah dan pedagang kaki lima terpaksa tidak dapat dianggarkan……”
136
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 136
6/22/2010 6:26:33 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
Dengan demikian aktivitas sosialisasi dan inspeksi terhadap makanan yang beredar di masyarakat khususnya untuk makanan jadi dan makanan instan sangat dipengaruhi oleh inisiatif petugas. Sementara itu, permintaan pihak produsen khususnya yang berskala kecil untuk melakukan `uji mutu terhadap produknya masih terbilang sangat minim. Meskipun terbilang murah yaitu Rp 60.000 – Rp 150.000 untuk masing-masing uji laboratorium kelayakan konsumsi makanan, bagi UMKM hal ini terbilang cukup mahal. Hanya perusahaan yang ingin memperoleh sertifikasi dari Departemen Kesehatan dengan kode MD saja yang mau melakukan uji tersebut. Selain Departemen Kesehatan, Departemen Agama juga memiliki andil yang cukup besar bagi terselenggaranya jaminan mutu kehalalan produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Urusan Agama Islam provinsi Banten, masalah perkembangan produk halal masih sebatas perdebatan panjang antara siapa sebenarnya yang secara institusi memiliki kewenangan dalam menentukan sertifikat dan pemberian ijin labelisasi halal. Apakah Departemen Agama ataukah Majelis Ulama Indonesia. Perdebatan ini pulalah yang menyebabkan belum tuntasnya pengambilan keputusan untuk diluluskannya Rancangan UndangUndang Jaminan Produk Halal menjadi Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Di tingkat daerah sendiri, khususnya di wilayah provinsi Banten menunjukkan tidak adanya kerjasama sinergis antara Dinas Kesehatan, Departemen Agama, dan perwakilan Majelis Ulama Indonesia di daerah. Dalam banyak kegiatan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama misalnya yang berkaitan dengan sertifikasi dan labelisasi produk halal, instansi Dinas kesehatan maupun MUI sering tidak terlibat baik sengaja atau tidak. Seharusnya ketiga institusi ini mampu menciptakan harmonisasi yang kuat dalam mewujudkan system jaminan produk
137
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 137
6/22/2010 6:26:33 PM
Umi Karomah Yaumidin
halal. Secara legislatif sudah cukup kuat karena tertuang dalam piagam kerjasama antara Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama tentang pelaksanaan pencantuman label halal pada makanan pada 21 Juni 1996. Dalam kesepakatan tersebut disebutkan bahwa: “……Produk makanan dan minuman yang beredar dapat dinyatakan halal hanya atas dasar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, setelah melalui serangkaian pemeriksaan (audit) di lokasi produsen dan pengujian laboratorium secara seksama. Pelaksanaan pencantuman label halal termaksud lebih lanjut diatur oleh Departemen Kesehatan yang didasarkan atas hasil bersama antara Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia Untuk Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten, tim peneliti mengalami kesulitan dalam menggali informasi lebih jauh mengenai perkembangan sertifikasi dan labelisasi produk halal. Namun, berdasarkan informasi dari masyarakat, Majelis Ulama Indonesia wilayah Banten tidak memiliki kewenangan dalam melakukan dan memutuskan fatwa tentang sertifikasi dan labelisasi produk halal. Argumentasinya, selain tidak memiliki kecukupan auditor, dan laboratotium pengujian yang layak, proses tersebut telah menjadi domain tugas dan kewenangan LPPOM MUI. Meskipun demikian, peran MUI tidak hanya sekedar sebagai lembaga pemberi fatwa. Contoh yang cukup agresif diberikan oleh MUI wilayah propinsi Jawa Timur yang secara rutin menyebarkan informasi mengenai perkembangan produk apa saja yang telah memperoleh sertifikasi dan labelisasi halal. Selain penyebaran brosur dan memasukkan halal sebagai materi dakwah, sosialisasi ini dapat dilakukan dengan menciptakan gerakan cinta produk halal. Kegiatan tersebut pertama kali diprakarsai melalui Halal fair pada tahun 2007, dan peristiwa-peristiwa penting dalam agenda
138
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 138
6/22/2010 6:26:34 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
kegitan Islam seperti Idul fitri, Idul Adha, tradisi perayaan Maulud Nabi besar Muhammad Saw., dan sebagainya. Lembaga independen lainnya yang juga berperan penting dalam sosialisasi produk halal adalah YLKI. Berdasarkan penuturan Ketua YLKI Banten, selama ini belum diterima keluhan masyarakat tentang kepalsuan barang yang ternyata haram. Memang pernah terjadi aduan di masyarakat bahwa ada beberapa pengusaha “bakso” yang menggunakan daging tikus (haram dimakan) sebagai bahan utamanya. Namun, kejadian ini tidak perlu sampai pada proses peradilan, cukup diambil alih oleh DEPKES dengan melakukan pembinaan dan teguran, permasalahan tersebut dapat diselesaikan. Beralih kembali kepada jaminan sertifikasi dan labelasi makanan halal. Sebagaimana disebutkan sebelumnya terdapat pelabelan yang penting yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli atau tidak membeli produk makanan kemasan. Selain memperhatikan merek dagang, masa kadaluarsa, dan kandungan dari makanan tersebut, konsumen juga perlu mempertimbangkan kode jaminan kesehatan dari Depkes seperti MD dan seterusnya, pelabelan halal dengan logo MUI dan pelabelan halal dengan tulisan arab. Gambar 6-4 menunjukkan proporsi konsumen atau responden yang menempatkan pentingnya label depkes, label halal MUI dan label halal bertuliskan huruf arab. Dari 100 responden di wilayah Banten, lebih dari 50 persen menyatakan bahwa label depkes, label halal MUI dan label halal bertuliskan arab dalam skala yang penting. Tetapi jika dilihat lebih mendalam, ternyata konsumen Banten cenderung lebih memperhatikan dan mempertimbangkan label halal MUI dalam pengambilan keputusan untuk memilih produk halal, baru diikuti oleh label Depkes dan selanjutnya label halal bertuliskan huruf Arab.
139
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 139
6/22/2010 6:26:34 PM
Umi Karomah Yaumidin
Secara berturut-turut nilai tersebut adalah; 85 persen, 77 persen dan 70 persen. Dengan demikian, hasil ini memperkuat hipotesis bahwa terdapat perbedaan dalam mempertimbangkan pilihan konsumen untuk mengkonsumsi produk halal berdasarkan pelabelan tertentu. Proses dan prosedur yang cukup panjang dan valid yang dilakukan oleh LPPOM MUI lebih memberikan jaminan kehalalan produk bagi konsumen. Kepastian yang seperti ini yang dibutuhkan oleh konsumen, oleh karena itu kondisi tersebut perlu dipelihara dengan baik meskipun tanpa formalitas legalitas hukum yang lebih tinggi. Konsumen akhir memiliki pilihan sendiri yang tidak mungkin masalah taste, belief dan attitude individu harus diatur melalui Undang-undang.
Gambar 6.4 Proporsi Konsumen dalam Mempertimbangkan Label pada Produk Makanan Kemasan Sumber: Data primer, diolah, 2009
140
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 140
6/22/2010 6:26:34 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
Di samping itu, sangat disadari oleh konsumen, bahwa jaminan kepastian keamanan produk tentunya berkorelasi pada tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan produk yang tidak memberikan jaminan apa pun. Dalam konteks seperti inilah pertimbangan psikologis mampu mengalahkan pertimbangan ekonomi. Hal ini antara lain, nampak dari kesediaan konsumen untuk membayar lebih tinggi (willingness to pay) bagi produk berlabel halal dibandingkan dengan produk yang tidak berlabel halal, seperti telah dijelaskan pada Bab 4. Dengan menggunakan analisa korelasi sederhana dari Spearman menunjukkan bahwa ternyata kesediaan untuk membayar lebih tinggi produk berlabel halal tidak ada kaitannya dengan tingkat pendapatan maupun tingkat pendidikan konsumen, namun kesediaan konsumen membayar selisih harga produk berlabel halal lebih tinggi daripada produk yang tidak berlabel halal berkorelasi cukup signifikan dengan tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk berlabel halal MUI (-0.274) dan kualitas produk berlabel halal MUI (-0.333) dengan tingkat signifikansi sebesar 99 persen. Akan tetapi korelasinya adalah korelasi negatif, artinya semakin kecil selisih harga yang dibayar konsumen, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk berlabel halal MUI (lihat lampiran 2).
Persepsi Pedagang Ritel terhadap Sertifikasi dan Labelisasi Produk Halal Dengan demikian, meskipun terdapat banyak kelemahan di tingkat MUI daerah, lemahnya peran ulama dalam mensosialisasikan produk halal, tetapi berdasarkan temuan lapangan, muslim Banten masih banyak yang percaya atas keabsahan sertifikasi dan labelisasi halal dari MUI. Bahkan terdapat contoh perilaku yang sangat teladan dari seorang manajer toko swalayan yang atas inisiatifnya sendiri telah mencoba mempromosikan produk-produk yang berlabel halal,
141
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 141
6/22/2010 6:26:34 PM
Umi Karomah Yaumidin
bukan saja dari MUI tetapi dari seluruh dunia. Aksi sang manajer tersebut diwujudkan dengan memasang banner, baliho spanduk dan penyebaran brosur kepada konsumen ataupun pelanggannya untuk memperhatikan label halal dalam setiap kemasan produk yang dibelinya selain periode kadaluarsa. Bahkan dengan mengeluarkan dana sendiri sang manajer atas ijin pemilik swalayan, melakukan demo masak kepada ibu-ibu maupun siswa sekolah. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan pengarahan dan mengajak konsumen agar memperhatikan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kue tersebut teruji jaminan kehalalannya. Seperti memberikan pengetahuan bagaimana membedakan antara margarine yang halal dengan margarine yang mengandung unsur lemak babi misalnya. Pengetahuan tersebut disebarkan melalui pemahaman terhadap komposisi bahan yang dicantumkan dalam kemasan produk makanan. Salah satu suri tauladan yang patut diikuti, tidak hanya memberikan edukasi kepada masyarakat tetapi dampak sampingannya banyak masyarakat yang memilih untuk berbelanja di swalayan tersebut karena merasa mendapatkan kepuasan atas jaminan kehalalan produk yang dibelinya. Pelajaran menarik yang dapat disimpulkan dari kejadian ini adalah untuk mempersuasi masyarakat menjadi lebih waspada dan berhatihati dalam mengkonsumi makanan, tidak hanya menjadi kewajiban dari Ulama. Namun, semua umat muslim wajib membawa misi untuk mengembangkan dan menyebarluaskan mengenai prinsip halal-haram khususnya dalam produk makanan.
142
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 142
6/22/2010 6:26:34 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
Kesimpulan dan Rekomendasi Masyarakat Banten yang religius memiliki sikap dan nilai-nilai normatif agama yang cukup tinggi. Wujud dari nilai-nilai tersebut tidak hanya diwujudkan dalam ibadah lahir, melainkan juga diwujudkan secara keseluruhan terutama dalam perilaku konsumsi masyarrakatnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Banten masih banyak yang mempercayai labelisasi halal pada produk makanan kemasan dan restoran. Labelisasi halal dengan menggunakan logo MUI bagi masyarakat Banten lebih memberikan kepastian jaminan produk halal daripada label halal yang bertuliskan huruf Arab. Meskipun peran MUI di tingkat daerah di wilayah provinsi Banten cenderung minimalis, dan adanya kesan kurangnya koorDinasi dan kerjasama sinergis antara Dinas kesehatan, departemen agama dan MUI sendiri tidak menyurutkan pilihan konsumen untuk mengkonsumsi produk berlabel halal MUI. Nuansa perdebatan antara MUI dengan Departemen Agama dalam pengambilan kesepakatan mengenai kewenangan audit dan pemberian fatwa serta ijin sertifikasi dan labelisasi halal juga dirasakan di tingkat daerah. Prosedur dan proses perolehan sertifikasi yang cukup panjang berkonsekuensi pada biaya yang cukup tinggi, sehingga membuat usaha kecil menengah enggan untuk mendaftarkan produknya. Hal ini juga terjadi untuk perolehan ijin kesehatan dari Dinas kesehatan yang prosedurnya cukup instan dan biaya yang murah. Dengan demikian perlu dilakukan langkah yang lebih efisien dalam memberikan sertifikasi produk halal.
143
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 143
6/22/2010 6:26:34 PM
Umi Karomah Yaumidin
Rekomendasi Untuk mewujudkan sistem jaminan halal yang komprehensif, valid dan akurat perlu adanya kesediaan dan kerelaan instansi terkait untuk menghilangkan egosentris lembaga dan bekerjasama secara sinergis dan saling menguntungkan. Urgensitas RUU jaminan produk halal menjadi undang-undang perlu dikaji ulang, semangat yang harus dikembangkan tentunya bagaimana menciptakan perlindungan yang komprehensif bagi konsumen daripada unsur komersialisasi dan pertentangan antar lembaga. Sistem pasar mungkin bisa menjadi jawaban, sehingga tidak ada lembaga yang memonopoli dalam pemberian sertifikasi dan ijin labelisasi halal. Dengan demikian biarkan pasar (konsumen) yang meratifikasi kredibilitas lembaga tersebut. Bagi usaha kecil menengah seharusnya ada insentif dengan memberikan sertifikasi halal pada kelompok industrinya yang biasanya terorganisir melalui forum UMKM daerah dan atau sentra industri kecil. Dengan demikian alternatif ini tidak hanya memberikan kepastian jaminan produk halal bagi konsumen melainkan juga membantu berkembangnya bisnis halal dilingkup yang lebih luas.
144
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 144
6/22/2010 6:26:34 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
DAFTAR PUSTAKA Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, p. 179-211. Di akses dari Value Based jmanagement. Net Apriyantono A, Hermanianto J, dan Nurwahid. (2003). Pedoman Produksi Halal. Departemen Agama Republik Indonesia. Arvan Pradiansyah, (1999), “Peranan Kepemimpinan dalam Membangun Kepercayaan di Tempat Kerja ”, Usahawan , No. 19 th. XXVIII September, hal. 23 – 25. Badan Standarisasi Nasional. (2000). Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-9001-2001. Sistem Manajemen Mutu Persyaratan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Bisnis Indonesia, (2009) ‘Menyoal Standard Halal Internasional’, dimuat tanggal 7 mei 2009, Jakarta Girindra, Aisjah (2008). Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, LPPOM MUI, Pustaka Jurnal Halal. Masykur, (2007). Dari Islam Tradisionalis ke Revivalis: Perpindahan Orang NU ke HTI di Serang Banten, tanggal 29 Oktober 2009. Perdana, Arie (2006). Keshalehan Ritual Tidak Menunjang Pertumbuhan Ekonomi, Indo Pos, 6 Agustus 2006. Qhardawi, Yusuf (2009). Halal dan Haram Dalam Islam, Electronic Book, di akses tanggal 29 Oktober 2009.
145
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 145
6/22/2010 6:26:34 PM
Umi Karomah Yaumidin
------------------.(2006). Indonesia International Halal Exhibition - Halal Indonesia 2006 7 - 29 April 2006, Jakarta. Malaysian Science and Technology Information Centre Portal. http://www.mastic.gov.my/ servlets/sfs Republika, (2009) MUI Harap Menag Bersikap Bijak terkait Jaminan Produk Halal, dimuat dalam Republika 26 Oktober 2009, diakses tanggal 12 November 2009 http://www.republika.co.id/berita/84871/MUI_ Harap_Menag_Bersikap_Bijak_terkait_Jaminan_Produk_Halal. Sutjipto, (2009) Merk dan Logo Halal, Jumat, 30. January 2009, 07:34:46 diakses tanggal 11 Oktober 2009, http://my.opera.com/JurHal/ blog/2009/01/30/merk-dan-logo-halal. Subadi (2009) Mengkritisi RUU Jaminan Produk Halal, dimuat dalamWawasan, Rabu, 05 Agustus 2009, diakses tanggal 19 Oktober 2009 http://www.wawasandigital.com/index .php?option=com_c ontent&task=view&id=32340&Itemid=62 Yi, Y, (1989), “ Acritical Review of Custumer Satisfaction ”, in Zeithaml, VA (Eds), Review of Marketing, American Marketing Association, Chicago. IL, hal 68 – 123.
146
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 146
6/22/2010 6:26:34 PM
Tingkat Kepercayaan Muslim Banten terhadap Labelisasi Produk Makanan Halal
147
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 147
6/22/2010 6:26:34 PM
Umi Karomah Yaumidin
148
BUKU PELUANG USAHA PASAR GLOBAL.indd 148
6/22/2010 6:26:34 PM