Perilaku Konsumsi Muslim dalam Mengkonsumsi Makanan Halal Kasus: Muslim Banten ∗
Endang S Soesilowati Produk yang bersertifikat halal memiliki peluang pasar yang besar, dengan perkiraan pemasaran produk halal di pasar global saat ini telah mencapai nilai lebih dari 600 miliar dolar1 Permintaan terhadap produk halal di pasar global ini diperkirakan akan meningkat terus, dengan pertumbuhan per tahun sebesar 20 - 30 persen2.
Hal ini mengingat
terutama cukup besarnya populasi pasar umat Islam yang mencapai sekitar 1,6 miliar orang, yaitu terdiri dari 180 juta Muslim di Indonesia, 140 juta di India, 130 juta di Pakistan, 200 juta di Timur Tengah, 300 juta di Afrika, 14 juta di Malaysia dan lebih dari 8 juta di Amerika Utara3. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi produk halal, Negara Islam, bahkan sampai harus mengimpor produk dari luar, dan bahkan dari negeri non Muslim, seperti misalnya yang telah dilakukan oleh Negara Timur Tengah sejak lama dengan mengimpor daging halal dari Negara non Muslim, terutama dari Australia dan Brazil (Irfan, 2007). Sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim, seyogyanya Indonesia tidak hanya menjadi pasar yang sangat potensial, tapi juga mampu meraih peluang besar tersebut. Di sisi lain, perilaku mengkonsumsi makanan halal belum tentu searah dengan banyaknya penduduk beragama Islam. Dalam arti, bahwa seseorang yang beragama Islam belum tentu bahwa ia akan selalu berperilaku secara Islami, khususnya dalam mengkonsumsi makanan halal. Pemahaman dan pelaksanaan syariat Islam yang antara lain tercermin dalam perilaku konsumsi tentunya dipengaruhi juga oleh proses pembelajaran, baik melalui sosialisasi maupun sistem pendidikan formal dan informal. ∗
Disampaikan pada Seminar “Sharia Economics Research Day”, Widya Graha LIPI, 6 Juli 2010 Seperti dikemukakan oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Antara News, 17 Desember 2007 2 Disampaikan oleh Presiden SBY dalam acara Opening Ceremony of the 3rd World Islamic Economic Forum Islam and the Challenge of Modernization Kuala Lumpur, Malaysia, 28 Mei 2007 3 Indonesia International Halal Exhibition - Halal Indonesia 2006 (http://www.mastic.gov.my/servlets/sfs) 1
1
Pola perilaku konsumen dalam berbelanja produk halal ini tentu saja akan menjadi barometer permintaan (demand side) terhadap produk tersebut. Dalam teori ekonomi lazim dipahami bahwa peningkatan permintaan suatu produk akan berpengaruh terhadap peningkatan usaha penyedia (supply side) produk tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan tentang demand side sangat bermanfaat dan sebagai prasyarat utama dalam melihat peluang usaha yang akan dikembangkan. Apabila Indonesia ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang salah satunya adalah dengan cara mendorong investasi dalam usaha penyedia produk halal, maka kajian tentang perilaku konsumen Muslim di Indonesia sangat perlu dilakukan. Sejauhmana Muslim di Indonesia concern terhadap makanan halal belumlah banyak diketahui. Atas dasar itulah, tim peneliti P2E pada tahun 2009 melakukan penelitian tentang Perilaku Konsumen Muslim dalam mengkonsumsi Makanan Halal. Penelitian sejenis telah dilakukan oleh Jusmaliani dan Hanny Nasution (2009) dengan menggunakan responden Muslim Indonesia yang tinggal di Jakarta (87) dan Melbourne (73). Hasil penelitian mereka menunjukkan 80% responden menyatakan sangat setuju bahwa mengkonsumsi makanan halal adalah penting. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian P2E (2009) tentang perilaku konsumen Muslim dalam konsumsi makanan halal dengan mengambil kasus Banten, sebagai daerah yang merepresentasikan berpenduduk mayoritas Muslim dengan basis agama Islam yang cukup kental. Tujuan utama penelitian yang telah dilakukan adalah menganalisis pola perilaku Muslim dalam mengkonsumsi makanan halal yang digambarkan melalui pemahaman responden terhadap makanan halal, dengan mengungkapkan kriteria yang menjadi pertimbangan utama dalam menentukan makanan halal, menganalisis pengaruh kadar keIslaman terhadap pola perilaku konsumsi makanan halal,
pengaruh latar
belakang sosial-ekonomi dan psikologis terhadap pola konsumsi makanan halal, dan juga persepsi mereka terhadap sertifikasi produk halal. Mengapa Mengkonsumsi Makanan Halal Penting?
Yusuf Qardhawi (2000) mendefinisikan istilah halal sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi dari Allah Swt. Haram berarti segala sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’ (hukum Islam), jika perkara tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika 2
ditinggalkan akan berpahala. Segala aktivitas tentunya dilandasi oleh pencarian yang halal ini, tidak hanya makanan tapi juga termasuk pekerjaan dan kehidupan sosial lainnya. Namun demikian, masalah halal-haram dalam pemilihan makanan akan berdampak pada pertumbuhan jasmani dan rohani seseorang dan keluarganya. Sesuai dengan hadits Rasulullah saw yang menyatakan bahwa, ”tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari (makanan) yang haram, neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ahmad). Ada tiga kriteria dasar dalam menentukan suatu makanan yang diperbolehkan atau dilarang untuk dikonsumsi, yaitu halal, haram, dan syubhat. “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas. Dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar atau tidak jelas”. (HR. Bukhari). Yang halal jelas diperbolehkan untuk dikonsumsi, yang haram jelas dilarang keras untuk dikonsumsi (kecuali pada kondisikondisi darurat), sedangkan syubhat merupakan kondisi yang berada diantara keduanya, dimana terdapat dalil yang tidak jelas mengenai halal-haramnya suatu makanan atau karena adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fiqih dalam menetapkan suatu makanan. Dalam menyikapi hal-hal yang syubhat, Islam menekankan untuk mengambil sikap hati-hati (wara’) dan menjauhi makanan syubhat supaya tidak terjerumus kepada hal-hal yang haram (Suhodo, 2009). Allah telah menyediakan lebih banyak makanan yang halal daripada yang haram. Bahwa sesungguhnya semua makanan halal, kecuali yang telah jelas diharamkanNya, seperti yang tertera dalam AlQur’an, Al-Baqarah ayat 173 dan Al Maidah ayat 3 bahwa Allah hanya mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan binatang (daging hewan) yang ketika disembelih disebut (nama) selain Allah. Selain itu Islam juga melarang meminum minuman keras yang biasa disebut khamar (orang Awam menyebutnya minuman beralkohol), yang juga tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma`idah ayat 90. Yang dimaksud dengan makanan halal itu sendiri mencakup dari proses pemotongan, penyimpanan, penyajian, penyiapan, kesehatan dan kebersihan (Syafie & Othman, 2006). Oleh karenanya, selain makanan halal, juga diwajibkan mengkonsumsi makanan yang baik (Thoyib), seperti belum daluarsa, tidak mengandung pewarna pakaian, dlsb. Dalam Islam, mengkonsumsi produk halal dan baik menjadi sebuah hal yang mutlaq dan tidak
3
bisa ditawar-tawar lagi sebagaimana Allah wahyukan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 88:
“dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. Perilaku Konsumen Muslim Istilah perilaku konsumen secara umum digambarkan sebagai suatu proses dari pencarian, pemilihan, sampai pada keputusan membeli sesuatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis. Dalam studi perilaku konsumen, hal ini mencakup beberapa hal seperti apa yang dibeli konsumen, mengapa konsumen membelinya? Kapan mereka membelinya? Dimana mereka membelinya? Berapa sering mereka membelinya? Dan berapa sering mereka menggunakannya? (Sumarwan, 2002). Perilaku konsumen seperti perilaku pada umumnya dipengaruhi oleh aspek kultural, sosial, personal, dan karakteristik psikologis. Faktor kultural dianggap yang paling besar pengaruhnya terhadap keinginan dan perilaku seseorang. Agama merupakan elemen kunci dalam kultur kehidupan yang mempengaruhi perilaku dan keputusan membeli (lihat Assadi 2003, Esso and Dibb Sally 2004, Delener 1994, Babakus et al 2004, Cornwell 2005). Religion is a system of beliefs and practices by which group of people interprets and responds to what they feel is supernatural and sacred (Johnstone, 1975 dikutip dari Shafie & Othman, 2008). Pada umumnya agama mengatur tentang apa-apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang untuk dilakukan, termasuk perilaku konsumsi (Shafie & Othman, 2008). Dengan mengutip Cloud (2000), Fam et al (2004) dan juga Wirthington (1988) menyatakan bahwa agama merupakan keyakinan dan nilai-nilai dalam menginterpretasi kehidupan yang diekspresikan menjadi suatu kebiasaan. Lembaga agama memformalkan sistem tersebut secara terus menerus dan diajarkan pada setiap generasi. Agama dapat mempengaruhi perilaku konsumen dan perilaku pada umumnya (Delener 1994, Pettinger et al 2004), khususnya pada keputusan membeli 4
bahan makanan dan kebiasaan makan (Bonne et al 2007). Seperti juga dikemukakan oleh Schiffman dan Kanuk (1997) yang menyatakan bahwa keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh identitas agama mereka (dikutip dari Shafie & Othman, 2008). Oleh karena itu, sebagai penganut agama Islam, maka keputusan untuk memilih dan membeli barang akan tidak hanya memperhatikan dari segi kebutuhan dan biaya yang harus dikeluarkan tetapi yang paling penting adalah sejauhmana barang yang dikonsumsi akan memberikan maslahah (manfaat dan berkah) secara maksimum (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008).
Dengan fokus kajian tentang perilaku konsumen Muslim dalam konsumsi makanan halal, landasan konseptual yang dipakai untuk menjelaskan alur pikir pemahaman penelitian adalah pendekatan teori perilaku yang biasa digunakan untuk menjelaskan perilaku konsumen. Penelitian yang dilakukan mengadaptasi kerangka konsep teori Planned Behaviour (Ajzen 1991) bahwa ada tiga aspek yang sangat menentukan perilaku seseorang yaitu sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku. Sikap yang dimaksudkan di sini adalah merupakan tendensi psikologis yang ditunjukkan dengan mengevaluasi suatu hal yang disukai atau tidak disukai. Norma subyektif merupakan tekanan sosial terhadap seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan (perilaku). Di sinilah peranan masyarakat di mana seseorang tinggal (berdomisili) akan memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Sementara itu, kontrol perilaku merupakan suatu persepsi terhadap sejauhmana perilaku tertentu dapat dikontrol. Bagaimana seseorang memahami dan mengikuti aturan agamanya merupakan persepsi yang akan mengontrol perilakunya.
Ketiga aspek (sikap, norma subyektif, kontrol perilaku) tersebut akan menentukan niat seseorang untuk mengkonsumsi makanan halal, dan ditunjukkan dalam perilaku konsumsi makanan halal tersebut. Niat (intention) merupakan faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku konsumsi makanan halal.
Walaupun agama memberikan hukum yang sangat ketat dalam makanan, namun sejauhmana orang akan mengikuti hukum tersebut tentu saja akan sangat bervariasi 5
(Bonne et al 2007) dan ditentukan oleh ketiga aspek perilaku tersebut di atas. Kadar ke Islaman seseorang akan mencerminkan identitas dirinya sebagai seorang Muslim. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim akan mempunyai sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilakunya dalam mempengaruhi niat (intention) seseorang untuk berperilaku dalam mengkonsumsi makanan halalnya. Kadar keIslaman seseorang melalui beberapa proses di atas akan sangat menentukan niatnya untuk berperilaku dalam konsumsi makanan halal. Namun demikian, seberapa jauh seseorang akan menampilkan perilakunya, juga tergantung pada beberapa faktor-faktor lain, seperti ketersediaan, kesempatan, pengetahuan (misalnya sertifikasi halal), dan sumber yang dimiliki (uang, misalnya).
Pemahaman komunitas Muslim Banten terhadap Makanan Halal dan Kriteria utama dalam menentukan makanan halal.
Dari keseluruhan proses pengumpulan data dan informasi yang dilakukan di daerah penelitian, secara umum pengetahuan mayarakat muslim Banten terhadap konsep dasar halal dan haram dalam masalah makanan dapat dikatakan sangat memadai, karena umumnya mereka dibesarkan di lingkungan yang agamis. Hal ini terlihat dari maraknya kajian-kajian ke-Islaman di daerah tersebut yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang beragam mulai dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak hingga orang tua. Temuan pertama menunjukkan bahwa semua responden yang menjadi obyek penelitian ini setuju bahwa mengkonsumsi makanan halal adalah penting, dimana dari skala 1-7 (1 yang paling negatif hingga 7 yang paling positif) angka rata-rata dari jawaban pertanyaan ini sangat tinggi, yakni 6.93, hampir mendekati 7. Ini berarti hampir semua responden sangat setuju dengan pernyataan bahwa mengkonsumsi makanan halal adalah penting. 94% responden bahkan menegaskan pentingnya hal ini dengan menyatakan bahwa memakan produk halal adalah sangat penting (nilai 7). Hal ini menandakan bahwa mengkonsumsi makanan halal bagi masyarakat Banten menjadi prioritas yang utama. Dengan tinggal di daerah mayoritas berpenduduk Muslim, sebagian besar responden menyatakan bahwa makanan halal mudah mereka dapatkan di sekitar tempat tinggal mereka sehingga mereka memiliki banyak pilihan produk halal, namun 11% responden menyatakan sebaliknya, bahwa makanan halal tidak terlalu mudah diperoleh disekitar 6
mereka dan tidak terlalu banyak pilihan jenis produk yang termasuk kategori halal. Mengacu pada kenyataan tersebut maka menarik untuk ditelusuri, apa yang dijadikan batasan oleh masyarakat muslim Banten dalam mengkategorikan suatu makanan adalah halal. Tidak adanya kandungan babi dalam makanan ternyata menempati prioritas tertinggi dalam menentukan krtiteria makanan halal menurut persepsi masyarakat muslim Banten. Tidak ada responden yang tidak setuju bahwa makanan halal tidak boleh mengandung babi. Hal yang sama juga terjadi pada kriteria makanan halal selanjutnya, yakni tidak mengandung alkohol. Dari skala 1 hingga 7 rata-rata pilihan jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut memiliki sekor tertinggi, mendekati sekor tertinggi 7, yakni 6.88 dan 6.87 untuk kriteria makanan halal tidak mengandung babi dan tidak mengandung alkohol berturut-turut. Responden juga setuju bahwa makanan yang halal tidak boleh rusak atau kadaluarsa. Selain tidak boleh rusak atau kadaluarsa, faktor makanan yang tidak mengandung racun juga dikategorikan ke dalam makanan halal. 80% responden menyatakan sangat setuju bahwa salah satu kriteria makanan halal seharusnya tidak mengandung racun. Selanjutnya, ternyata masyarakat muslim Banten ada yang berpendapat bahwa cara mendapatkan makanan tidak termasuk ke dalam kriteria makanan halal, beberapa responden menyatakan ketidaksetujuannya bahwa makanan yang tidak ilegal tidak termasuk ke dalam penentuan kriteria makanan halal. Meskipun demikian, cukup banyak responden yang berpendapat sebaliknya. Hal ini cukup mengindikasikan bahwa kehalalan suatu produk makanan tidak hanya ditentukan oleh kehalalan zat nya, tapi juga faktor manfaatnya bagi kesehatan, serta kehalalan dalam proses perolehannya. Namun demikian, dalam hal memilih daging yang akan dikonsumsi, responden lebih mengutamakan daging yang segar dan berkualitas dibandingkan kriteria-kriteria lain seperti cara memotong dan adanya legalisasi halal baik yang hanya berupa tulisan saja maupun bersertifikat LP POM MUI. Hal ini sangat dimaklumi mengingat sebagian besar responden lebih sering berbelanja di pasar tradisional daripada di supermarket maupun membeli langsung dari rumah potong hewan atau peternak. Penjual daging di pasar 7
tradisional biasanya menjual daging dalam bentuk gelondongan yang akan dipotongpotong sesuai keinginan pembeli, sehingga sangat sulit mendeteksi apakah daging tersebut 100% halal atau tidak. Untuk itu, masyarakat sebenarnya berharap bisa membeli daging yang terjamin kehalalannya di penjual khusus daging halal. Sebagaimana diketahui, bahwa di Indonesia belum banyak penjual khusus daging halal seperti yang terdapat di luar negeri, utamanya di negara-negara yang umat Islam menjadi minoritas. Dari hasil penelitian, 80% responden menyatakan sangat setuju untuk membeli daging di penjual khusus daging halal sehingga mereka benar-benar yakin bahwa daging yang mereka beli terjamin kehalalannya, jika seperti sekarang, masih membeli di pasar tradisional, mereka tidak terlalu yakin akan kehalalan daging tersebut, tetapi tidak berani untuk menanyakan asal usul daging yang mereka beli, apakah cara pemotongannya sudah sesuai dengan persyaratan halal. Masyarakat hanya ”berbaik sangka” dengan berasumsi bahwa daging yang mereka beli sudah halal, dan bahkan untuk ”menjamin” kehalalannya ada pernyataan supaya membaca basmallah saja sebelum memakan daging tersebut. Pengaruh kadar keIslaman terhadap pola perilaku konsumsi makanan halal Kadar ke Islaman yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kadar komitmen beragama, yang tentu saja tidak selalu identik dengan dan mencerminkan kadar keimanan/ketakwaan. Jika kadar keIslaman identik dengan kadar keimanan/ketakwaan, maka tidak seorang manusiapun yang dapat mengukurnya karena, selain kadar keimanan ini dapat naik turun, juga hanya Allah yang tahu dan mampu mengukurnya. Ketaatan seseorang menjalankan ibadah tidak dapat dipakai menjadi ukuran ketakwaannya, karena niat yang dikandungnya hanya Allah SWT yang tahu, sedangkan niat merupakan syarat dalam melaksanakan ibadah (Jusmaliani, 2009). Peneliti mengajukan tiga hal yang diasumsikan dapat menunjukkan kadar keIslaman seseorang. Pertama, pendidikan agama yang ditempuh, ke dua pengakuan bahwa ia seorang Muslim dan ke tiga dengan menghitung indeks dari beberapa pernyataan berkaitan dengan fikih baik fikih ibadah maupun fikih muamalah. Ternyata, dua hal pertama, yaitu pendidikan yang ditempuh (baik mereka yang pernah mengenyam pendidikan madrasah maupun pesantren) dan pengakuan diri sebagai Muslim, tidak dapat digunakan, oleh karena hanya tujuh orang responden yang tidak pernah mendapatkan pendidikan berbasiskan agama Islam dan 8
hampir seratus persen responden memilih sekor 7 untuk pernyataan diri sebagai seorang Muslim. Satu-satunya yang dapat digunakan adalah melalui pengukuran 14 pernyataan yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah maupun muamalah.
Untuk mengukur
aktivitas agama ini, peneliti membuat indeks rata-rata dari sekor jawaban 14 pertanyaan tersebut yang kemudian diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Indeks ratarata terendah yang diperoleh adalah 3,78 dan tertinggi 7. Berdasarkan kisaran indeks ini, kadar keIslaman dibagi menjadi tiga kategori, pertama kadar keIslaman rendah (sekor < 4,99), kadar keIslaman sedang (sekor 5,0 – 6,0) dan kadar keIslaman tinggi (sekor > 6) Secara statistik, dengan menggunakan perhitungan korelasi Pearson, hubungan antara kadar Ke Islaman dengan perilaku konsumsi halal diperoleh angka sebesar 0,565. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan yang cukup kuat antara kadar ke Islaman dengan perilaku konsumsi makanan halalnya. Artinya, semakin tinggi kadar keIslaman seseorang, akan semakin kuat pula untuk mengkonsumsi makanan halal. Sebagai tambahan, ditemukan pula bahwa semakin tinggi kadar keIslaman responden semakin tinggi sekor rata-rata yang diperoleh untuk tiap jawaban, diantaranya adalah pernyataan tentang makanan halal adalah pilihan pribadi, dan selalu melakukan kontrol terhadap makanan halal yang dikonsumsinya. Namun demikian, tidak tergantung pada tinggi rendahnya kadar keIslaman, ternyata pihak pertama yang diingatkan untuk mengkonsumsi makanan halal adalah keluarga dekatnya. Yang menarik adalah bahwa hanya kelompok dengan kadar keIslaman tinggi yang berani mengingatkan pemuka agama untuk mengkonsumsi makanan halal sebelum mengingatkan komunitas lainnya. Semakin tinggi kadar keIslamannya semakin sedikit persentase yang tidak pernah mendapat pendidikan pesantren; atau dengan perkataan lain, semakin tinggi kadar keIslaman, semakin tinggi pula persentase yang pernah mengikuti pendidikan pesantren.
Pengaruh latar belakang sosial-ekonomi dan psikologis terhadap pola konsumsi makanan halal Latar belakang sosial ekonomi yang diamati dalam penelitian ini terutama tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Hasil penelitian (baik berdasarkan perhitungan nilai sekor rata-rata maupun korelasi) mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan kurang berpengaruh terhadap perilaku konsumsi makanan halal. Korelasi (r) antara pendidikan 9
dengan perilaku konsumsi makanan halal, hanya sebesar 0.037. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang tidak berarti perilaku konsumsi makanan halalnya pun meningkat. Sementara itu hasil perhitungan statistik terhadap latar belakang pendidikan pesantren mengindikasikan bahwa mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren menunjukkan perilaku konsumsi halal yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan pesantren. Korelasi (r) antara pendidikan pesantren dengan perilaku konsumsi sebesar 0,273. Di sisi lain, korelasi negatif sebesar -0,146 diperoleh untuk pengaruh tingkat pendapatan terhadap konsumsi makanan halal. Ada kecenderungan mereka yang berpendapatan rendahlah yang mempunyai perilaku konsumsi makanan halal lebih baik, dibandingkan dengan mereka yang mempunyai pendapatan di atasnya. Sementara itu, dari hasil analisis dominansi faktor pengaruh aspek psikologis (sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku) terhadap perilaku konsumsi makanan halal menunjukkan bahwa sikap responden muslim Banten terhadap keinginan untuk mengkonsumsi makanan halal menunjukkan tingkatan yang paling tinggi, walaupun tekanan dari lingkungannya kurang memberikan tuntutan terhadap mereka untuk mengkonsumsi makanan halal (sebagai cerminan dari pengaruh norma subyektif). Sedangkan pengaruh aspek kontrol perilaku kelihatan juga cukup mempunyai peranan terhadap niat responden untuk berperilaku konsumsi makanan halal. Selanjutnya, untuk dapat menggambarkan tingkat kepedulian masyarakat Muslim Banten terhadap konsumsi makanan halal secara rinci, peneliti mencoba untuk melakukan pengujian dengan membandingkan masing-masing kelompok (segmen) responden terhadap sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku dengan menggunakan pembanding dua angka indeks rata-rata (COP), indeks rata-rata untuk tiga aspek tersebut, dan juga indeks rata-rata untuk seluruh variabel pernyataan. Indeks rata-rata yang dihitung dari tiga aspek (sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku = 21 variabel), diperoleh angka sebesar 5.807, sedangkan dari seluruh variabel (84 varabel) pernyataan, diperoleh sekor rata-rata (COP) 5.890. Atas dasar perbandingan dua angka indeks tersebut, ternyata aspek norma subyektif yang menggambarkan adanya tekanan sosial yang menunut masyarakat muslim Banten untuk 10
berperilaku konsumsi makanan halal agak lemah. Tidak demikian halnya yang terjadi dengan sikap dan kontrol perilaku mereka yang cukup tinggi, yang ditunjukkan dengan sekor rata-rata (COP) di atas 5.890. Dari hasil perbandingan ketiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan masing-masing kelompok/segmen responden, yaitu berdasarkan tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, kelompok usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan pengetahuan agama yang diperoleh melalui institusi pendidikan pesantren, hasil penelitian menunjukkan hal berikut. Hanya kelompok responden dengan tingkat pendapatan tinggi lah yang menunjukkan sekor di bawah kedua indeks rata-rata (COP) di atas. Artinya, orang-orang kaya Muslim Banten mempunyai sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku terhadap konsumsi makanan halal paling lemah dibandingkan kelompok sosial lainnya. Sebaliknya, berturut-turut responden yang berpendidikan tinggi (S2), dengan tingkat pendapatan sedang, Ibu rumah tangga, dan kelompok usia muda, merupakan segmen komunitas Muslim Banten yang paling peduli terhadap konsumsi makanan halal, dengan tidak hanya sikap, tapi juga norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku mereka yang sangat tinggi dalam mempengaruhi perilaku mereka untuk mengkonsumsi makanan halal. Persepsi komunitas Muslim Banten terhadap sertifikasi produk halal Walaupun telah disebutkan di muka bahwa pilihan terhadap makanan halal lebih banyak daripada yang haram, namun dengan semakin majunya teknologi pengolahan makanan menjadi tidak mudah lagi untuk dapat mendeteksi secara langsung akan kehalalan makanan yang akan kita konsumsi. Bahkan untuk mendeteteksi daging yang dipotong sesuai syariah. Di situlah pencantuman sertifikat/label halal menjadi penting4. Pencantuman label halal tentunya akan menambah keyakinan konsumen untuk tidak ragu lagi mengkonsumsinya. Penelitian ini juga mencoba untuk mengevaluasi sejauhmana komunitas Muslim Banten mensikapi perbedaan labelisasi halal. Termyata, sebagian responden berpendapat bahwa adanya tulisan halal dan sertifikat MUI tidak menjadi
4
Di Indonesia sampai saat ini lembaga sertifikasi yang diakui oleh nasional adalah LPPOM MUI, sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit secara cermat atas kehalalan suatu produk.
11
kriteria kehalalan suatu makanan. Dari hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa terkadang mereka tidak terlalu memperhatikan adanya tulisan halal maupun sertifikat halal MUI. Meskipun tidak semua responden berlaku demikian, tetapi harus diakui bahwa awareness masyarakat terhadap legalisasi kehalalan suatu produk lewat tulisan halal maupun sertifikasi MUI belum menjadi perhatian utama. Dari 100 responden muslim Banten di wilayah Banten, hanya sekitar 50 persen menyatakan bahwa label Depkes, label halal MUI dan label halal bertuliskan Arab merupakan hal yang penting. Namun demikian, berdasarkan hasil analisa tabulasi silang mengindikasikan bahwa penilaian mereka terhadap pentingnya label Halal MUI relatif tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan label lainnya. Mayoritas responden yang paling concern terhadap makanan halal cenderung lebih percaya terhadap produk halal yang dikemas dengan menggunakan label halal MUI, baru kemudian label Depkes, dan label halal bertuliskan huruf Arab saja.
Penutup Dari hasil penelitian P2E tahun 2009 dapat disimpulkan bahwa 94% responden Muslim Banten menyatakan sangat penting untuk mengkonsumsi makanan halal . Hal ini terutama dilandasi oleh sikap yang mereka miliki, diikuti oleh kontrol terhadap perilaku mereka, ketimbang tekanan masyarakat sekitar akan keharusannya untuk mengkonsumsi makanan halal. Dengan sikap yang mereka miliki, maka mereka pun melakukan kontrol terhadap keluarga mereka untuk selalu mengkonsumsi makanan halal. Bahkan bagi mereka yang memiliki kadar keIslaman tinggi, mereka berani menegur para ulama setempat untuk mengkontrol konsumsi makanan halalnya. Dengan memiliki sikap dan kontrol perilakunya yang sangat kuat, maka dapat diprediksikan bahwa di manapun mereka tinggal, mereka akan selalu mengkonsumsi makakan halal. Walaupun Muslim Banten menyatakan mengkonsumsi makanan halal adalah sangat penting, dan juga kehalalan produk makanan tidak hanya terbatas pada zat nya (tidak mengandung babi, dan tidak mengandung alkohol), tapi juga manfaatnya untuk kesehatan, serta cara perolehan makanan nya, namun, kontrol terhadap proses pengolahan/pemotongan daging yang dikonsumsinya dapat dikatakan kurang hati-hati. Walaupun pilihan harga yang murah tidak menjadi pertimbangan utama dalam 12
membeli/mengkonsumsi daging potong, namun kualitas dari tampilan dagingnya yang segar dan bersih masih lebih penting ketimbang cara pemotongannya. Walaupun 94% responden menyatakan mengkonsumsi makanan halal adalah sangat penting, hanya 70% yang menyatakan sangat setuju terhadap sertifikat dari MUI. Dari 70% nya tersebut, justru sedikit lebih banyak mereka dari golongan yang tidak pernah mengikuti pendidikan pesantren, ketimbang yang pernah (38:32) %. Demikian halnya dengan keinginan responden untuk dapat membeli daging di tempat khusus daging halal, ternyata lebih banyak dikemukakan oleh mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren, dan hanya dari kelompok santri yang menyatakan sangat tidak setuju untuk membeli daging di penjual khusus daging halal. Hal
ini
mengindikasikan
bahwa
kelompok
santri
kurang
antusias
terhadap
diberlakukannya sertifikasi halal. Hal ini diasumsikan, oleh karena mereka mungkin merasa sudah sangat tahu untuk menentukan sendiri atas halal atau tidak nya daging yang mereka konsumsi tanpa harus ada label halal, sekalipun label halal tersebut diterbitkan oleh MUI.
Di samping sulitnya memilih daging potong yang disembelih sesuai syariah, dewasa ini marak sekali makanan-makanan olahan yang dijual di sekeliling masyarakat baik yang diolah oleh pabrikan (biasanya dalam bentuk kemasan), maupun yang diolah oleh penjual skala industri rumahan. Makanan-makanan olahan ini rentan sekali masuk ke area makanan syubhat bahkan haram, karena meskipun secara zat dasar atau bahan dasar makanan tersebut halal, tetapi dalam proses pengolahannya bisa saja menggunakan zatzat yang haram. Bagaimana dapat memilih makanan olahan yang dijamin kehalalannya, jika produk tersebut belum memiliki sertifikasi halal? Terlepas dari siapa yang paling berhak menentukan atau menerbitkan sertifikat halal, nampaknya masih perlu dilakukan edukasi atau paling tidak sosialisasi oleh institusi berkepentingan mengenai halal dan haramnya makanan olahan, bahkan daging potong segar kepada kelompok berpendidikan pesantren sekalipun, sehingga pemahaman masyarakat akan hal ini semakin mendalam dan lebih berhati-hati.
13
Daftar Pustaka Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, p. 179-211. Di akses dari Value Based jmanagement. Net Assadi Djamchid (2003). Do Religions Influence Customer Behavior? Confronting religious rules and marketing concepts. Cahiers du CEREN Volume: 5 Halaman: 2 - 13 Bonne, Karijn et Wim Verbeke (2006). Muslim consumer’s motivations towards meat consumption in Belgium: qualitative exploratory insights from means-end chain analysis, http://aof.revues.org/document90.html Babakus, Emin, T. Bettina Cornwell, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch (2004). Reactions to unethical consumer behavior across six countries Journal of Consumer Marketing Volume: 21 Issue: 4 Halaman: 254 – 263 Cornwell, Bettina, Charles Chi Cui, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch, Anis Dzulkiflee, Joseph Chan (2005). A cross-cultural study of the role of religion in consumers' ethical positions. International Marketing Review Volume: 22 Issue: 5 Halaman: 531 - 546 Delener, Nejdet (1994). Religious Contrasts in Consumer Decision Behaviour Patterns: Their Dimensions and Marketing Implications (Abstract). European Journal of Marketing. 1994 Volume: 28 Issue: 5 Halaman: 36 – 53 Essoo, Nittin and Dibb, Sally (2004). Religious influences on shopping behaviour: an exploratory study. Journal of Marketing Management, 20 (7-8). Halaman:. 683712. ISSN 0267-257X Indonesia International Halal Exhibition - Halal Indonesia 2006 7 - 29 April 2006, Jakarta. Malaysian Science and Technology Information Centre Portal. http://www.mastic.gov.my/servlets/sfs Jusmaliani dan Hanny Nasution (2009). “Religiosity Aspect in Consumer Behaviour: Determinants of Halal Meat Consumption. Asean Marketing Journal. June 2009, Vol I-No.1 Kinnear, T.C. and Taylor, J.R. (1996). Marketing Research: An Applied Approach, 5 th edition, McGraw-Hill, Inc Omar, M, Muhammad, M, and Omar, A. (2008). An Analysis of the Muslim Consumer’ attitude towards ‘Halal’ Food Products in Kelantan. Thrusting Islam Knowledge and Professionalism in ECER Development. ECER Regional Conference. 15-17 Desember 2008. Malaysia Pettinger, C., Holdsworth, M., Gerber, M., (2004). “Psycho-social influences on food choice in Southern France and Central England.” Appetite, 42(3), 307-316. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. (2008). Ekonomi Islam. Pt Raja Grafindo Persada: Jakarta Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya : P.T. Bina Ilmu, 2000 14
Shafie S, Othman N Md, (2006). Halal Certification: an international marketing issues and challenges. http://www.ctw-congress.de/ifsam/download/track_13/pap00226. pdf. diakses pada 14 November 2009. Soesilowati, Endang S (2009). Peluang Usaha Produk Halal di Pasar Global: Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal. Jakarta: P2E-LIPI Sumarwan, Ujang. (2002). Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Ghallia- Indonesia: Bogor USC Marshall. (n.d) Attitude. (http://www.consumerpsychologist.com/cb_Attitudes.html
15