Aglomerasi Industri Makanan dan Minuman di Pulau Jawa Tahun 2010 Galih Santoso Octaviansyah, Sonny Harry B. Harmadi Departemen Imu Ekonomi, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Depok, 16424, Tel: +6221 7272425, Fax: +6221 7863556, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberadaan aglomerasi serta jenis aglomerasi apa yang terjadi pada industri makanan dan minuman di Pulau Jawa. Penelitian ini juga berusaha mengukur produktivitas modal dan tenaga kerja industri makanan dan minuman. Selain itu, penelitian ini menguji keberadaan ketergantungan spasial pada industri makanan dan minuman antar kabupaten/ kota di Pulau Jawa. Menggunakan regresi data cross-section, hasil penelitian menunjukkan terdapat aglomerasi industri dengan jenis localization economies. Produktivitas modal dan tenaga kerja industri makanan dan minuman tinggi. Terakhir, tidak terdapat ketergantungan spasial antar kabupaten/ kota di Pulau Jawa
. Abstract The purpose of this thesis is to show the existence of agglomeration and what types of agglomeration that occurred in food and beverage industry in Java Area. This thesis also attempt to measure capital and labor productivity of food and beverage industry. Moreover, this thesis testing the existence of spatial dependence in food and beverage industry between regency or city in Java Area. Using cross-section data regression, the results shows that there is agglomeration which is localization economies. The capital and labor productivity of food and beverage industry are high. Finally, there is no spatial dependence between regency or city in Java Area Keywords: Agglomeration; productivity; spatial dependence; food and beverage industry; Java Area
Pendahuluan Tranformasi struktural terjadi di Indonesia sejak tahun 1989. Hal ini ditandai dengan meningkatnya peran sektor industri yang sangat pesat sehingga mengubah basis perekonomian Indonesia yang awalnya merupakan sektor pertanian menjadi sektor industri. Periode industrialisasi di Indonesia ternyata tidak berlangsung lama. Semenjak perekonomian Indonesia dilanda krisis ekonomi tahun 1997 dan mulai pulih kembali pada tahun 2000, proses perkembangan industri yang diduga akan selalu mengalami peningkatan ,ternyata malah mengalami degradasi. Meskipun saat ini kondisi industri mengalami gejala deindustrialisasi, industri manufaktur tetap memberikan peranan yang berarti terhadap perekonomian
Indonesia.
Meskipun
saat
ini
kondisi
industri
mengalami
gejala
deindustrialisasi, industri manufaktur tetap memberikan peranan yang berarti terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terlihat bahwa pada
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
tahun 2010, dari kacamata PDB Sektoral, sektor industri manufaktur menyumbang sebesar 26% terhadap keseluruhan PDB, dimana paling besar dibandingkan sektor sektor lainnya dalam pembentukan struktur ekonomi Indonesia. Ini menunjukkan bahwa industri manufaktur pantas untuk disebut sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia. Meskipun industri manufaktur dapat disebut engine growth bagi perekonomian Indonesia, ternyata distribusi lokasional industri manufaktur tidaklah merata melainkan terkonsentrasi secara spasial di wilayah tertentu. Hal ini dikuatkan oleh temuan Kuncoro (2002) yang menunjukkan bahwa pusat konsentrasi industri manufaktur besar dan sedang berada di Pulau Jawa dengan membentuk pola dua kutub (bipolar pattern). Fenomena ini semakin didukung oleh data BPS yang menunjukkan bahwa Pulau Jawa memiliki kontribusi output sebesar 74,8% terhadap output manufaktur nasional pada tahun 2010, dimana jauh melampaui pulau pulau lainnya. Apabila dilihat dari kontribusi masing-masing subsektor terhadap output manufaktur Pulau Jawa pada tahun 2010, berdasarkan data BPS tahun 2010, industri makanan dan minuman memiliki peran yang cukup dominan yakni menempati posisi kedua dengan kontribusi output hingga mencapai 184,3 triliun atau 11,15% dari keseluruhan output manufaktur Jawa. Posisi pertama ditempati oleh industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia dengan kontribusi output hingga sekitar 279,4 triliun atau 16,92% dari keseluruhan output manufaktur Jawa. Apabila dilihat dari peran industri makanan dan minuman yang besar dari segi output, dapat diindikasikan bahwa industri makanan dan minuman terkonsentrasi cukup tinggi di Pulau Jawa. Konsentrasi aktivitas ekonomi atau industri yang menghasilkan suatu manfaat berupa eksternalitas positif dapat disebut sebagai aglomerasi ekonomi. Menurut Kuncoro (2002), aglomerasi merupakan konsentrasi spasial atas suatu aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang dikaitkan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Aglomerasi terbagi menjadi dua jenis (Hoover, 1937) yaitu localization economies dan urbanization economies. Localization economies mengacu kepada keuntungan yang muncul dari pengelompokan spasial perusahaan dalam industri yang sama atau terkait di bawah bentuk klaster industri. Sedangkan, urbanization economies mengacu kepada keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan-perusahaan dari beragam sektor industri yang berlokasi di daerah perkotaan yang besar dan padat.
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
Kedua tipe aglomerasi ini yaitu ekonomi lokalisasi dan ekonomi urbanisasi memiliki pengaruh terhadap efisiensi pada tingkatan perusahaan dan region. Ekonomi lokalisasi lebih mempengaruhi
tingkat
efisiensi
perusahaan,
sedangkan
ekonomi
urbanisasi
lebih
mempengaruhi tingkat efisiensi region. Efisiensi ekonomi yang terjadi pada tingkatan perusahaan ini mengacu kepada level produksi optimal terhadap teknologi produksi dan kumpulan harga faktor produksi di suatu industri tertentu. Sedangkan, efisiensi ekonomi pada tingkatan regional menunjukkan manfaat aglomerasi yang bersifat internal dan eksternal dan bukan hanya kepada skala ekonomi industri tertentu saja. Efisiensi pada tingkatan perusahaan dan region inilah yang akan menentukan tingkat produktivitas regional suatu wilayah yang terlihat dari peningkatan output per tenaga kerja industri tersebut Dalam praktiknya, manfaat aglomerasi ekonomi tidak hanya dapat terasa pada wilayah aglomerasi tersebut, tetapi aglomerasi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan produktivitas wilayah-wilayah yang bertetanggaan dengan wilayah yang mengalami aglomerasi tersebut. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Van Oort (2007) yang menyatakan bahwa terdapat ketergantungan spasial secara signifikan pada eksternalitas pertumbuhan antar kota. Selain itu, Elisabet (2004) menjelaskan bahwa aglomerasi ekonomi dapat ditingkatkan oleh ukuran populasi dan pekerja pada kota-kota tetangga. Kedua penemuan terkait fenomena ketergantungan spasial ini seakan menjadi pembenaran terhadap hukum geografi Tobler yang menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (Anselin, 1988). Maka dari itu, penulis ingin memeriksa apakah terdapat ketergantungan spasial industri makanan dan minuman antar kabupaten/ kota yang bertetangga (neighborhood effect) di Pulau Jawa. Dari penjabaran di atas, terlihat bahwa industri makanan dan minuman memiliki peran besar di Pulau Jawa karena memiliki jumlah perusahaan yang terbanyak dibanding industri-industri lain serta memiliki jumlah output industri yang begitu tinggi. Oleh karena itu, penulis mengindikasikan bahwa terjadi aglomerasi ekonomi pada industri makanan dan minuman di Pulau Jawa. Dari rumusan masalah ini, penulis ingin menjawab tiga pertanyaan penelitian. Pertama, Apakah terjadi aglomerasi ekonomi pada industri makanan dan minuman di Pulau Jawa dan jenis aglomerasi manakah yang terjadi (localization economies atau urbanization economies). Kedua, bagaimanakah pengaruh modal per tenaga kerja dan knowledge spillovers per tenaga kerja terhadap produktivitas tenaga kerja industri makanan dan minuman di Pulau
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
Jawa. Ketiga, apakah terdapat ketergantungan spasial industri makanan dan minuman antar kabupaten atau kota yang berada di Pulau Jawa.
Tinjauan Teoritis Pembahasan teori akan dimulai dengan konsep aglomerasi. Secara umum, aglomerasi ekonomi muncul ketika kedekatan secara fisik (physical proximity) perusahaan-perusahaan menciptakan skala ekonomi eksternal. Montgomery (1988) (dalam Kuncoro, 2002) menyatakan bahwa aglomerasi merupakan konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan dikarenakan adanya penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang dihubungkan dengan klaster spasial dari perusahaan, pekerja, dan konsumen. Keuntungan-keuntungan yang muncul dari konsentrasi spasial inilah yang dapat disebut dengan agglomeration economies. Sullivan (2012) mengemukakan bahwa aglomerasi ekonomi adalah kedekatan fisik (physical proximity) antar perusahaan yang menciptakan peningkatan produktivitas melalui intermediate input sharing, labor pool, labor matching, dan knowledge spillovers. Aglomerasi terbagi menjadi dua jenis yaitu localization economies dan urbanization economies. Localization economies adalah keuntungan yang diperoleh bagi semua perusahaan pada industri yang sama dalam suatu lokasi. Sedangkan, urbanization economies adalah keuntungan yang diperuntukkan bagi semua industri pada suatu lokasi yang sama sebagai akibat dari membesarnya skala ekonomi (pendapatan, ouput, kemakmuran, dan penduduk) dari lokasi tersebut. Localization economies terjadi apabila perusahaan secara individu mengalami penurunan biaya produksi sebagai akibat dari bertambahnya output keseluruhan industri di suatu wilayah. Bukti terjadinya localization economies dapat dilihat dari penelitian Henderson (1986) (dalam O’Sullivan, 2012) yang mengestimasi elastisitas output industri terhadap output per tenaga kerja. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa industri mesin elektronik memiliki nilai elastisitas sebesar 0,05. Artinya, terjadinya peningkatan pada output industri sebesar 10% menyebabkan peningkatan output per tenaga kerja sebesar 0,5%. Urbanization economies yang terjadi apabila biaya produksi perusahaan menurun saat total output dari daerah perkotaan mengalami peningkatan (Sullivan, 1996). Bukti terjadinya urbanization economies salah satunya berasal dari penelitian Rosenthal & Strange (2004) yang mengestimasi elastisitas populasi terhadap produktivitas tenaga kerja. Hasil nilai
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
elastisitas yang didapatkan berkisar dari 0,03 ke 0,08. Artinya, penggandaan populasi akan meningkatkan output per tenaga kerja antara 3% dan 8%. Aglomerasi ekonomi baik berbentuk localization economies maupun urbanization economies berasal dari sumber atau mikrofondasi yang sama. Sumber aglomerasi ekonomi terdiri dari empat komponen penting antara lain sharing intermediate input, labor pooling, labor matching, dan knowledge spillovers. Berikut ini adalah penjelasan mengenai sumber-sumber yang menyebabkan terjadinya localization economies (Sullivan, 2012): -‐
Sharing Intermediate Input Beberapa perusahaan dari industri yang sama saling berlokasi berdekatan guna berbagi perusahaan yang menyediakan input antara (intermediate input). Oleh karena itu, banyaknya permintaan input antara ini dapat mengeksploitasi skala ekonomi produsen input antara sehingga dapat berproduksi lebih murah. Implikasi penurunan biaya produksi input antara ini adalah penurunan harga jual satuan dari input antara. Oleh karena itu, masing-masing perusahaan sejenis dapat membeli input antara dengan harga yang lebih murah sehingga dapat menurunkan biaya produksi perusahaan. Pada akhirnya, perusahaan-perusahaan dalam industri sejenis tersebut mengalami peningkatan produktivitas tenaga kerja.
-‐
Labor Pool Kumpulan pekerja dari konsentrasi aktivitas ekonomi atau klaster industri tertentu dapat bermanfaat bagi perusahaan dalam klaster tersebut. Hal ini dikarenakan masingmasing perusahaan dapat berbagi pool pekerja. Dalam lingkungan bisnis yang memiliki perubahan permintaan output yang cepat, beberapa perusahaan yang sukses akan menambah karyawannya dan beberapa perusahaan yang gagal akan memecat beberapa karyawannya. Dengan adanya asumsi perfectly matched antara kemampuan pekerja dan kemampuan yang diinginkan oleh perusahaan, maka klaster dapat memfasilitasi perpindahan pekerja dari perusahaan yang merugi ke perusahaan yang sukses.
-‐
Labor Matching Konsep labor matching masih sangat terkait dengan labor pool. Kehadiran konsep ini sebagai solusi atas asumsi labor pool mengenai perfectly matched terkait kemampuan pekerja dan kemampuan yang diinginkan oleh perusahaan. Sebab, realitanya,
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
perusahaan dan pekerja tidak selalu mengalami perfectly matched. Ketidaksesuaian ini tentunya akan menjadi biaya bagi perusahaan dalam bentuk biaya pencarian dan pelatihan tenaga kerja. Dengan keberadaan labor pool dalam klaster industri yang sejenis, maka akan memudahkan perusahaan untuk menemunkan calon pekerja yang memenuhi kriteria perusahaan sehingga biaya pencarian dan pelatihan tenaga kerja pun mengalami penurunan. -‐
Knowledge Spillovers Konsentrasi spasial perusahaan dalam industri sejenis dapat menimbulkan luberan informasi (knowledge spillovers). Hal ini dikarenakan pekerja dari masing-masing perusahaan melakukan face to face interaction baik bersifat formal maupun informal yang tentunya merupakan ajang berbagi pengetahuan atau ide sehingga akan memperkaya pengetahuan dari masing-masing pekerja yang pada akhirnya akan menguntungkan bagi masing-masing perusahaan. Oleh karena itu, proses ini dapat melahirkan inovasi produk baru dan bahkan dapat memunculkan metode produksi baru.
Manfaat aglomerasi ternyata tidak hanya terasa pada wilayah yang mengalami aglomerasi, tetapi juga dapat terasa di wilayah-wilayah yang bertetangga dengan wilayah aglomerasi tersebut. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian para ahli geografi ekonomi. Martin-Barroso (2010) menjelaskan bahwa keberadaan aglomerasi ekonomi cenderung akan meningkatkan tingkat produktivitas di kota yang besar. Disini, rata-rata produktivitas tenaga kerja meningkat secara substansial dengan ukuran kota, memperlihatkan kota besar (setidaknya 100 ribu penduduk) hampir 30% memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi terhadap kota-kota terkecil (penduduk dibawah 5 ribu jiwa). Selanjutnya, tingginya tingkat produktivitas kota besar ternyata memiliki area pengaruh terhadap wilayah tetangga, di mana berpengaruh secara positif terhadap produktivitas tetangga. Selain itu, Ke (2009) menyatakan bahwa aglomerasi industri pada kota-kota yang bertetanggaan memiliki ketergantungan spasial terhadap satu kota dengan kota yang lainnya yang efeknya dibatasi dengan jarak hingga maksimal 100 km. Jadi, apabila terjadi aglomerasi industri di suatu wilayah maka akan mempengaruhi keberadaan aglomerasi di wilayah tetangga-tetangganya. Dalam membahas mengenai aglomerasi tentu tidak terlepas dari fungsi produksi dalam sebuah perusahaan. ). Aglomerasi ekonomi tidak terjadi apabila fungsi produksi berbentuk constant return to scale. Sedangkan, apabila aglomerasi ekonomi terjadi maka bentuk fungsi produksi berubah menjadi increasing return to scale. Besaran derajat increasing return to
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
scale ini dapat mengukur besaran derajat aglomerasi yang terjadi. Dalam kondisi fungsi produksi yang increasing return to scale, suatu industri akan mampu menarik banyak perusahaan untuk berlokasi dan berkumpul di lokasi yang sama (Kanemoto, Ohkawara, & Suzuki, 1996).
Metode Penelitian Proses pembentukan model umum penelitian bermula dari Sullivan (1996) yang mencoba untuk merangkum model Henderson (1988) dengan membuang beberapa variabel. Model Henderson ini memodifikasi fungsi produksi menjadi model yang dapat menangkap keberadaan aglomerasi serta jenis aglomerasi apa yang terjadi di suatu wilayah. Berikut ini adalah penulisan fungsi dari aglomerasi ekonomi secara matematis: q = f(k, e, Q, N) Dimana q, k, e, Q, dan N didefinisikan sebagai tingkat output per tenaga kerja dalam suatu industri, barang modal per tenaga kerja, tingkat pendidikan per tenaga kerja, jumlah output industri secara keseluruhan, dan jumlah populasi wilayah metropolitan/ kota. Dari fungsi di atas, aglomerasi ekonomi dalam bentuk localization economies dan urbanization economies dapat diidentifikasi melalui variabel Q dan N. Apabila perubahan output per tenaga kerja suatu industri dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan jumlah output industri secara keseluruhan, maka localization economies-lah yang terjadi. Sedangkan, urbanization economies terjadi apabila perubahan output per tenaga kerja dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan jumlah penduduk (ukuran kota) di suatu wilayah. Apabila kedua variabel bebas tersebut baik itu jumlah output industri secara keseluruhan dan jumlah populasi mempengaruhi output per tenaga kerja secara signifikan, maka yang terjadi adalah localization economies dan urbanization economies. Dari fungsi di atas, aglomerasi ekonomi dalam bentuk localization economies dan urbanization economies dapat diidentifikasi melalui variabel Q dan N. Apabila perubahan output per tenaga kerja suatu industri dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan jumlah output industri secara keseluruhan, maka localization economies-lah yang terjadi. Sedangkan, urbanization economies terjadi apabila perubahan output per tenaga kerja dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan jumlah penduduk (ukuran kota) di suatu wilayah. Apabila kedua variabel bebas tersebut baik itu jumlah output industri secara keseluruhan dan jumlah populasi
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
mempengaruhi output per tenaga kerja secara signifikan, maka yang terjadi adalah localization economies dan urbanization economies. Beranjak dari model oleh Sullivan inilah penulis membangun model umum penelitian. Dengan mengganti satu variabel dari model Sullivan dengan satu variabel baru serta menambahkan satu variabel baru yaitu location quotient yang didasarkan dari penelitian Harmadi (2001), model umum penelitian adalah sebagai berikut: ln Outtki = ! 0 + ! 1 ln Modtki + ! 2 ln KStki + ! 3 ln JOuti + ! 4 ln Popi + ! 5LQi + ei Dimana: i
= Kabupaten/ Kota i
Outtki
= Output per tenaga kerja industri MAMIN (dalam ribuan rupiah) pada kabupaten/ kota i.
Modtki
= Modal per tenaga kerja industri MAMIN (dalam ribuan rupiah) pada kabupaten/ kota i.
KStki
= Knowledge spillovers per tenaga kerja industri MAMIN (dalam ribuan rupiah) pada kabupaten/ kota i.
JOuti
= Output keseluruhan industri (dalam ribuan rupiah) pada kabupaten/ kota i.
Popi
= Jumlah penduduk (dalam orang) pada kabupaten/ kota i.
LQi
= Location Quotient industri MAMIN pada kabupaten/ kota i.
ei
= Eror pada kab/ kota i
Secara umum, variabel dalam model di atas menggunakan logaritma natural (ln). Namun, hanya variabel location quotient (LQ) yang tidak disertai ln karena nilainya berasal dari perhitungan rumus yang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai yang relatif kecil dan rentang nilainya pun tidaklah besar. Dari model di atas, variabel knowledge spillovers per tenaga kerja (KStk) merupakan pengganti variabel tingkat pendidikan per tenaga kerja (e). Variabel knowledge spillovers per tenaga kerja dianggap dapat menggantikan variabel tingkat pendidikan tenaga kerja karena variabel ini dapat mengukur besarnya produktivitas marginal dari input tenaga kerja. Variabel KStk ini memperlihatkan tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang pekerja. Perhitungan variabel KStk ini menggunakan proksi yaitu upah per tenaga kerja. Hal ini dikarenakan semakin tingginya tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang pekerja maka upah yang diterima oleh pekerja tersebut juga akan semakin besar.
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
Perhitungan variabel modal per tenaga kerja (Modtk) menggunakan proksi listrik per tenaga kerja. Listrik per tenaga kerja dianggap dapat menjadi proksi modal per tenaga kerja karena seiring bertambahnya nilai modal perusahaan maka biaya listrik yang dikeluarkan juga semakin besar. Penyertaan upah per tenaga kerja dan listrik per tenaga kerja ini dikarenakan masalah ketidaktersediaan data yang memadai pada variabel modal per tenaga kerja dan tingkat pendidikan tenaga kerja pada tingkat perusahaan sehingga apabila dipaksakan dikhawatirkan akan menghasilkan hasil estimasi yang kurang tepat. Dari model umum di atas, variabel dependen yaitu output per tenaga kerja digunakan untuk memperlihatkan tingkat produktivitas tenaga kerja di suatu wilayah. Dari kelima variabel independen, terdapat dua variabel yang dapat memperlihatkan keberadaan aglomerasi ekonomi yaitu jumlah output keseluruhan industri untuk localization economies serta jumlah penduduk untuk urbanization economies. Variabel modal per tenaga kerja dan knowledge spillovers per tenaga kerja digunakan untuk melihat produktivitas modal dan tenaga kerja industri MAMIN di suatu wilayah. Terakhir, variabel location quotient bertujuan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri di suatu wilayah. Model penelitian ini memiliki beberapa perbedaan utama dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Pertama, apabila penelitian sebelumnya menggunakan data panel, penelitian ini menggunakan data cross section dengan hanya satu tahun analisis yaitu tahun 2010. Kedua, model ini hanya menganalisis industri makanan dan minuman (MAMIN) saja, dimana berbeda dari penelitian sebelumnya yang menganalisis beragam subsektor industri dalam industri manufaktur. Penelitian ini juga akan memfokuskan pada analisis spasial dengan menguji apakah terdapat ketergantungan spasial industri makanan dan minuman antar kabupaten/ kota. Tentunya, terdapat modifikasi model dari model umum ini yang akan dijabarkan pada model umum spasial produktivitas tenaga kerja pada sub bab selanjutnya dalam bab ini. Penelitian ini menggunakan dua metode regresi dalam mengestimasi model penelitian yakni metode ordinary least square (OLS) dan metode ekonometrika spasial. Model dengan OLS memiliki spesifikasi yang tidak berbeda dengan model umum penelitian. Model ini bertujuan untuk mengestimasi koefisien setiap variabel melalui regresi OLS cross section sehingga dapat melihat hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas. Selain itu, Metode OLS hanya memperlakukan setiap unit spasial sebagai tempat yang independen (tidak saling
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
tergantung) sehingga tidak dapat menguji keberadaan ketergantungan spasial antar unit observasi. Beranjak ke metode regresi cross-section spasial, kehadiran metode regresi cross section spasial merupakan pelengkap dari metode OLS dalam menerjemahkan fenomena ekonomi spasial yang terjadi. Metode ini mampu memperlakukan unit spasial sebagai tempat yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Berikut ini ini adalah Model Cross Section Spasial Produktivitas Tenaga Kerja: ln Outtki = ! 0 + ! 1ln Modtki + ! 2ln KStki + ! 3ln JOuti + ! 4ln Popi + ! 5LQi + !ln !Outtkj + !i != !!! + ! Dimana: j
: Wilayah tetangga
!
: Koefisien autoregresi lag spasial
!
: Matriks pembobot spasial
u
: Vektor error yang diasumsikan mengandung otokorelasi
!
: Koefisien error autoregresi spasial
!
: Vektor error acak
Pengujian Pengganda Lagrange (Lagrange Multiplier) digunakan untuk menentukan keberadaan dari dependensi spasial industri makanan dan minuman antar kabupaten/ kota yang dianalisis. Berikut ini adalah hipotesa pengujian Lagrange (Anselin, 1988): •
Model Umum Regresi Spasial (GSM) !0 : ρ dan ! sama dengan 0 (tidak ada ketergantungan spasial) !1 : ρ dan ! tidak sama dengan 0 (ada ketergantungan spasial)
•
Model Regresi Lag Spasial (SAR) !0 : ρ sama dengan 0 (tidak ada ketergantungan lag spasial) !1 : ρ tidak sama dengan 0 (ada ketergantungan lag spasial)
•
Model Regresi Eror Spasial (SEM) !0 : ! sama dengan 0 (tidak ada ketergantungan eror spasial) !1 : ! tidak sama dengan 0 (ada ketergantungan eror spasial)
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
Data yang memiliki interaksi antar unit spasialnya pada model regresi linear akan memilki variabel dependen spasial lag dan spasial eror. Model inilah yang menurut Elhorst (2009) seringkali disebut sebagai model lag spasial (Spatial Auto Regressive) dan model eror spasial (Spatial Error Model) yang kedua model ini diestimasi dengan menggunakan maximum likelihood. Model lag spasial digunakan ketika nilai ρ tidak sama dengan 0 dan ! sama dengan 0. Berikut ini adalah persamaannya: ln Outtki = ! 0 + ! 1ln Modtki + ! 2ln KStki + ! 3ln JOuti + ! 4 ln Popi + ! 5LQi + ln !!Outtkj + ei Model lag spasial ini menunjukkan bahwa variabel dependen model dipengaruhi oleh variabel dependen wilayah tetangga pada satu set karakteristik lokal yang dijadikan fokus pengamatan. Model eror spasial digunakan ketika ρ sama dengan 0 dan ! tidak sama dengan 0. Berikut ini adalah persamaannya: ln Outtki = ! 0 + ! 1ln Modtki + ! 2ln KStki + ! 3ln JOuti + ! 4 ln Popi + ! 5LQi + ui dimana, ui = !!!j + ! Model eror spasial ini menyatakan bahwa nilai variabel dependen tergantung dari dua hal yaitu pada set dari karakteristik lokal yang diteliti dan error term terkait antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Dalam pembahasan mengenai matriks pembobot spasial, hal utama yang akan disorot adalah hubungan ketetanggaan antar wilayah (neighborhood effect). Matriks pembobot spasial berfungsi dalam merefleksikan posisi relatif dari satu unit regional dengan unit lainnya. Posisi suatu unit regional yang bertetangga atau bisa juga disebut dengan adanya persinggungan (contiguity) merupakan salah satu sumber dari matriks pembobot spasial ini. Menurut LeSage (1999) terdapat beberapa cara dalam mengidentifikasi hubungan persinggungan (contiguity) antar wilayah antara lain Rook Contiguity dan Queen Contiguity. Rook Contiguity (Persinggungan sisi) menjelaskan wij = 1 untuk region yang bersisian (common side) dengan region yang menjadi perhatian, wij = 0 untuk region yang lainnya. Sedangkan, Queen Contiguity (persinggungan sisi-sudut) mendefinisikan wij = 1 untuk entitas
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan region yang menjadi perhatian, wij= 0 untuk region lainnya. Dalam penelitian ini, faktor wilayah dimasukkan ke dalam penelitian ini melalui matriks pembobot spasial. Setelah memasukan faktor wilayah ke dalam model, akan terdapat dua efek spasial yang muncul yakni dependensi spasial dan heterogenitas spasial. Namun, penelitian ini hanya akan fokus kepada keberadaan dependensi spasial yang akan ditentukan melalui Lagrange Multiplier. Oleh karena itu, dengan adanya faktor wilayah, penelitian ini akan menggunakan dua metode yakni model OLS (Ordinary Least Square) dan model spasial yang berupa model SAR (Spatial Auto Regressive) atau SEM (Spatial Error Model). Pemilihan kedua metode ini akan ditentukan melalui alur seperti yang diperlihatkan pada gambar 1.
Gambar 1. Proses Pengambilan Keputusan Regresi Antara OLS dan Spasial Sumber: Geoda Workbook
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
Analisis dan Pembahasan Tabel 1 Hasil Regresi dari Persamaan Variabel-Variabel Independen Yang Mempengaruhi Ln Output per Tenaga Kerja (Ordinary Least Square) Variabel C lnModtk lnKStk lnJOut lnPop LQ R-Squared Adjusted R-Squared F-statistik Prob (F-stat)
Koefisien 2,029385 0,2376229 0,6149421 0,1057391 0,0248121 0,0063285 0,5661 0,5466 28,96 0,0000
Std. Error 1,536228 0,0589334 0,129403 0,0469088 0,0997012 0,038064
t-Statistik 1,32 4,03 4,75 2,25 0,25 0,17
Prob (t) 0,189 0,000 0,000 0,026 0,804 0,868
Sumber: Olahan sendiri
Pembahasan hasil pertama merupakan hasil regresi OLS. Sebelum menjelaskan mengenai hubungan antar variabel dependen dan independen, penulis menampilkan persamaan regresi yang berasal dari Tabel 1. Berikut ini adalah persamaannya: ln Outtki = 2,029385 + 0,2376229 ln Modtki + 0,6149421 ln KStki + 0,1057391 ln JOuti + 0,0248121 ln Popi + 0,0063285LQi + ei Persamaan regresi dalam penelitian ini menggunakan variabel independen yakni ln Modtk (modal per tenaga kerja), ln KStk (knowledge spillovers per tenaga kerja), ln JOut (output keseluruhan industri), ln Pop (jumlah penduduk), dan ln LQ (location quotient) serta variabel dependen yaitu Outtk (output per tenaga kerja) atau produktivitas tenaga kerja. Berikut ini adalah pembahasan mengenai pengaruh masing-masing variabel menurut tabel di atas: Pada variabel ln modal per tenaga kerja, terlihat bahwa nilai koefisien adalah sebesar 0.2376229 dengan probabilitas dibawah 0,05. Nilai positif dari koefisien ini menandakan adanya hubungan yang positif antara kedua variabel ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila ada kenaikan 1 % pada modal per tenaga kerja maka akan meningkatkan secara signifikan produktivitas tenaga kerja sebesar 0,2376%, dengan asumsi ceteris paribus. Variabel ln knowledge spillovers per tenaga kerja memiliki hubungan yang positif dengan output per tenaga kerja yang ditandai dengan nilai koefisien sebesar 0.6149421. Nilai probabilitas variabel ini pun kurang dari 0,05 yakni 0,000 sehingga dapat dikatakan signifikan
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
pengaruhnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa adanya kenaikan sebesar 1% pada knowledge spillovers per tenaga kerja akan meningkatkan secara signifikan output per tenaga kerja sebesar 0.6149421%, dengan asumsi ceteris paribus. Untuk variabel ln jumlah output keseluruhan industri dan pengaruhnya terhadap output per tenaga kerja, terlihat bahwa ada hubungan positif antara variabel ini yang ditandai dengan nilai koefisien sebesar 0.1057391. Jumlah output industri juga memiliki pengaruh signifikan karena nilai probabilitasnya sebesar 0,000, dimana kurang dari nilai alfa yaitu 0,05. Oleh karena itu, apabila ada kenaikan sebesar 1% pada jumlah output keseluruhan industri, maka akan meningkatkan secara signifikan output per tenaga kerja sebesar 0.1057391%, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi aglomerasi ekonomi dengan jenis ekonomi lokalisasi pada wilayah tersebut. Variabel ln jumlah penduduk memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap produktivitas industri. Hal ini terlihat dari nilai koefisien sebesar .0248121 dan nilai probabilitas yang lebih dari 0,05 yakni 0,804. Oleh karena itu, apabila terjadi kenaikan 1% pada jumlah penduduk, maka akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja secara tidak signifikan sebesar .0248121%, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi aglomerasi jenis ekonomi urbanisasi pada wilayah tersebut. Pada variabel location quotient, nilai koefisien variabel ini sebesar 0.0063285 dan nilai probabilitasnya sebesar 0,868. Hal ini mengindikasikan bahwa location quotient berpengaruh positif dengan tidak signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu, apabila terjadi kenaikan 1 unit pada location quotient maka akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan tidak signifkan sebesar 0.0063285%, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat konsentrasi industri tidak terlalu mempengaruhi terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja. Dari pembahasan hubungan antara variabel dependen dan independen di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum terjadi aglomerasi ekonomi pada industri makanan dan minuman yang berada di kabupaten/ kota di Pulau Jawa. Jenis aglomerasi yang terjadi hanyalah localization economies. Sedangkan, urbanization economies tidak terjadi di Pulau Jawa. Hal ini memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan pada industri makanan dan minuman memilih berlokasi pada wilayah tertentu di Pulau Jawa lebih karena pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain pada industri yang sejenis sehingga menciptakan skala ekonomi eksternal dan bukan pada besarnya jumlah penduduk. Dibawah localization
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
economies ini, perusahaan makanan dan minuman secara individu mengalami penurunan biaya produksi sebagai akibat dari bertambahnya output keseluruhan industri pada kabupaten/ kota yang menjadi lokasi perusahaan tersebut yang berada di Pulau Jawa. Selain itu, variabel modal per tenaga kerja dan knowledge spillovers per tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap output per tenaga kerja. Ini mengindikasikan bahwa secara umum industri MAMIN di Pulau Jawa memiliki produktivitas modal dan tenaga kerja yang tinggi. Artinya, kenaikan modal dan knowledge spillovers per tenaga kerja akan mampu mendorong kenaikan output, yang berarti produktivitas cukup baik. Pembahasan hasil kedua mengenai hasil estimasi menggunakan metode regresi spasial. Bagian ini akan mengidentifikasi keberadaan ketergantungan spasial melalui Lagrange Multiplier (LM) dengan lebih spesifik yaitu ketergantungan spasial dalam lag, eror, atau keduanya (lag & eror). Selain itu, metode spasial ini menggunakan matriks pembobot dalam bentuk contiguity (common boundary) dengan dua tipe yakni rook dan queen pada ordo satu. Berikut ini adalah pembahasan menggunakan rook contiguity ordo I: Tabel 2. Diagnosa Ketergantungan Spasial Rook Contiguity Ordo Satu Tes Lagrange Multiplier (lag) Robus LM (lag) Lagrange Multiplier (error) Robus LM (error) Lagrange Multiplier (SARMA)
Nilai Probabilitas 0,1239371 0,7248030 0,0512461 0,8209090 2,0849509 0,1487570 2,0122599 0,1560327 2,1361970 0,3436614
Sumber: Olahan sendiri
Pada tabel 2, dari hasil uji LM dengan menggunakan rook ordo 1, terlihat bahwa nilai probabilitas dari LM (lag) sebesar 0,7248030 dimana tidaklah signifikan bahkan pada alfa 10%. Begitupun juga dengan nilai probabilitas LM (error) yang sebesar 0,1487570 yang juga tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat ketergantungan spasial dalam lag dan error pada rook contiguity ordo satu ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suatu industri makanan dan minuman pada kabupaten/ kota tertentu tidak memiliki ketergantungan spasial dengan kabupaten/ kota lainnya yang lokasinya secara tepat berdampingan dengan tipe bersinggungan sisi. Selanjutnya, pengujian LM menggunakan Queen Contiguity ordo satu, terlihat bahwa nilai probabilitas LM lag dan LM error masing-masing adalah 0,5551373 dan 0,1409227 dimana
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
kedua nilai ini tidaklah signifikan bahkan pada alfa 10%. Ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat ketergantungan spasial dalam lag & error pada Queen Contiguity ordo satu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suatu industri makanan dan minuman pada kabupaten/ kota tertentu tidak memiliki ketergantungan spasial dengan kabupaten/ kota lainnya yang lokasinya secara tepat berdampingan dengan tipe bersinggungan sisi-sudut(Tabel 3). Tabel 3. Diagnosa Ketergantungan Spasial Queen Contiguity Ordo Satu Tes Lagrange Multiplier (lag) Robus LM (lag) Lagrange Multiplier (error) Robus LM (error) Lagrange Multiplier (SARMA)
Nilai 0,3481939 0,5707637 2,1678553 2,3904250 2,7386189
Probabilitas 0,5551373 0,4499556 0,1409227 0,1220805 0,2542825
Sumber: Olahan sendiri
Dari hasil regresi spasial dengan menggunakan ordo satu, terlihat bahwa baik pada tipe rook contiguity maupun queen contiguity tidak memperlihatkan keberadaan tergantungan spasial yang terjadi baik itu berbentuk spasial lag ataupun spasial error. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat ketergantungan spasial pada industri makanan dan minuman antar kabupaten/ kota yang lokasinya berdampingan atau bertetanggaan di Pulau Jawa. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa spatial doesn’t matter. Dari pembahasan mengenai hasil regresi spasial di atas, tidak adanya ketergantungan spasial ini dapat mengindikasikan bahwa aktivitas industri makanan dan minuman pada tingkat kabupaten/ kota di Pulau Jawa selama ini masih bersifat inward looking dan belum bersifat outward looking. Hal ini diduga disebabkan oleh karakteristik industri MAMIN yang merupakan natural based resource industry sehingga industri ini cenderung berlokasi pada kabupaten/ kota yang memiliki potensi sumber daya input antara yang besar. Artinya, industri ini tidak perlu mendatangkan input antara dari kabupaten/ kota lain karena pemenuhan kebutuhan input antara sudah dapat disediakan sepenuhnya oleh kabupaten/ kota yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa industri makanan dan minuman masih bergerak sendiri-sendiri dan belum memiliki konektivitas yang baik antar satu kabupaten/ kota dengan kabupaten/ kota lainnya. Dengan kata lain, manfaat aglomerasi ekonomi dari kumpulan perusahaan industri makanan dan minuman tidak lintas kabupaten/ kota, melainkan hanya terasa dalam kabupaten/ kota itu sendiri.
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
Setelah melakukan pembahasan mengenai hasil estimasi menggunakan dua metode regresi yakni OLS dan ekonometrika spasial, beranjak dari Gambar 1, guna memilih model yang tepat, maka kita harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan. Pada tahap kedua dari prosedur yakni mengdiagnosa nilai probabilitas LM Lag dan LM Error pada hasil regresi spasial, ternyata didapatkan hasil bahwa baik untuk Rook Contiguity ordo satu maupun Queen Contiquity ordo satu sama-sama tidak ada yang signifikan. Oleh karena itu, proses diagnosa ketergantungan spasial dihentikan dan penulis tetap menggunakan hasil regresi OLS. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa model utama yang digunakan dalam penelitian adalah model yang menggunakan metode OLS.
Kesimpulan Berdasarkan hasil estimasi regresi menggunakan metode OLS dari data cross section, secara umum, aglomerasi ekonomi terjadi pada industri makanan dan minuman di Pulau Jawa pada tahun 2010. Jenis aglomerasi yang terjadi adalah localization economies dan bukan urbanization economies. Selain itu, secara umum, industri makanan dan minuman di Pulau Jawa memiliki produktivitas modal dan tenaga kerja yang tinggi. Artinya, kenaikan modal dan knowledge spillovers per tenaga kerja akan mampu mendorong kenaikan output, yang berarti produktivitas cukup baik. Dari segi pendekatan spasial baik itu melalui model spasial lag maupun model spasial error, tidak terindikasi adanya ketergantungan spasial pada industri makanan dan minuman antar kabupaten/ kota yang berada di Pulau Jawa. Artinya bahwa manfaat aglomerasi ekonomi pada industri makanan dan minuman tidak lintas kabupaten/ kota, melainkan hanya terasa di dalam kabupaten/ kota itu sendiri.
Daftar Referensi Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics : Method and Models. Dodrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Elhorst, J. P. (2009). Handbook of Applied Spatial Analysis C.2 Spatial Panel Data Models. New York: Springer. Elisabet, V. M. (2004). Agglomeration Economies and Industrial Location: City-level Evidence?. Journal of Economic Geography, 4(5):565–582.
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,
Hoover, E. M. (1948). The Location of Economic Activity. New York: McGraw-Hill. Ke, Shanzi. (2009). Agglomeration, Productivity, and Spatial Spillovers across Chinese Cities. The Annals of Regiona Science. 45, 157–179. Kuncoro, Mudrajad. (2002). Analisis Spasial dan Regional. Yogyakarta: AMP YKPN. Martin-Barosso, D. Nunez-Serrano, J. A., and Velazquez-Angona, F. J. (2012). Spatial Productivity Spillovers Across Spanish Municipalities. MICRO-DYN Working Paper no. 21/10 Montgomery, Mark R. (1988). How Large Is Too Large? Implications of the City Size Literature for Population Policy and Research. Economic Development and Cultural Change, University of Chicago Press, vol. 36(4), pages 691-720, July. O’Sullivan, Arthur. (1996). Urban Economics. Chicago: Irwin O’Sullivan, Arthur. (2012). Urban Economics. New York: McGraw-Hill. Rosenthal, S. S. & Strange, W. C. (2004). Evidence on The Nature and Sources of Aggomeration Economies. Handbook Regional and Urban Economics, Volume 4. Van Oort, F. G. (2007). Spatial and Sectoral Composition Effects of Agglomeration Economies in the Netherlands. Paper in Regional Science, 86(1):5–30.
Aglomerasi industri makanan dan ..., Galih Santoso Octaviansyah, FE UI, 2015
,