LAPORAN HASIL KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI KE PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PADA MASA RESES PERSIDANGAN IV TAHUN SIDANG 2004-2005 TANGGAL 26 – 29 JULI 2005 ____________________________________________________________________ I. PENDAHULUAN A. DASAR 1. Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor: 12/PIMP/IV/2004-2005 tertanggal 23 Juni 2005 tentang Penugasan Anggota Komisi I s/d XI dan Badan Legislasi DPR RI untuk melakukan Kunjungan Kerja Berkelompok dalam Masa Reses Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2004 - 2005. 2. Keputusan Rapat Intern Komisi VI DPR RI tanggal 5 Juli 2005 mengenai Sasaran dan Obyek Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2004 - 2005. B. MAKSUD DAN TUJUAN Laporan ini dimaksudkan untuk menyampaikan pokok-pokok permasalahan sebagai hasil temuan Komisi VI DPR RI yang menyangkut bidang tugasnya selama Kunjungan Kerja ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam rangka memenuhi salah satu fungsi Dewan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPR RI 15/DPR RI/I/2004-2005 dengan tujuan sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku. C. SASARAN DAN OBYEK KUNJUNGAN KERJA Sasaran Kunjungan Kerja dititik beratkan pada aspek: 1. Pengawasan Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang mitra kerja Komisi VI DPR RI. 2. Pengawasan terhadap kinerja lembaga-lembaga/badan yang berada di dalam lingkup mitra kerja Komisi VI DPR RI. 3. Pembahasan perkembangan daerah, khususnya yang berkaitan dengan bidang mitra kerja Komisi VI DPR RI. 4. Memonitor situasi lapangan serta menampung aspirasi yang berkembang berkaitan dengan pengembangan industri, koperasi dan UKM, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Sedangkan obyek yang dikunjungi dan dibahas meliputi: 1. Pemerintah Daerah Provinsi NTB 2. Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah, dan Pemerintah KotaMataram 3. Sentra Kerajinan Kain Tenun, Sukarara, Lombok Tengah 4. PT. New Mont Nusa Tenggara, Sumbawa
5. BUMN di Daerah (PT. PLN, PT. Pertamina, PT. Pusri, PT. Indo Farma, PT. Pelindo III, PT. Angkasa Pura I dan PT. Hutama Karya ) 6. Asosiasi Pengusaha Mutiara Indonesia (ASBUMI) Wilayah II, NTB 7. Pusat Kerajinan Rakyat (Ukiran dan Kayu) Sayang-Sayang, Lombok Barat 8. RS Perinitis, NTB (kasus Busung Lapar)
D. WAKTU DAN ACARA KUNJUNGAN KERJA
NO.
HARI/ TANGGAL
1.
Selasa, 26 Juli 2005
2.
Rabu, 27 Juli 2005
P U KU L
A C A R A
KETERANGAN
09.00 WIB
Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI telah berkumpul di Bandara Soekarno-Hatta, Terminal II F
Anggota Berangkat Masing-masing
10.25 WIB
Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI Take Off dari Bandara Soekarno-Hatta dengan Pesawat Garuda
11.30 WIB
Transit di Bandara Adisucipto Yogyakarta
12.10 WIB
Take Off dari Bandara Adisucipto Yogyakarta dengan Pesawat Garuda
14.30 WITA
Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI Tiba di Bandara Selaparang, Mataram istirahat sejenak dan dilanjutkan makan siang di Ruang VIP Room
Diatur Protokol Pemda NTB
15.30 – 17.00 WITA
Pertemuan dengan Gubernur Provinsi NTB, Pimpinan DPRD Propinsi NTB dan instansi tekait
s.d.a.
17.30 – 18.15 WITA
Melakukan peninjauan ke lokasi busung lapar(lokasi RSU Satelit dan Kelurahan Kr. PuleI)
s.d.a.
18.15 WITA
Menuju ke Hotel Sheraton Senggigi untuk istirahat (Chek In)
s.d.a.
19.30 – 22.00 WITA
Pertemuan/ramah tamah dengan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Kepala Dinas Koperasi Provinsi NTB
s.d.a.
06.00 – 07.00 WITA
Sarapan pagi di Hotel Sheraton Senggigi
Diatur Protokol Pemda NTB
08.30 – 09.30 WITA
Peninjauan ke PT Phonix Mas Persada (industri pengolahan jambu mete dan rumput laut)
s.d.a.
09.30 – 09.45 WITA
Menuju lokasi pertemuan
s.d.a.
09.45 – 11.00 WITA
Pertemuan Mutiara
11.00 – 11.30 WITA
Menuju Sukerara Lombok Tengah
dengan
Asosiasi
Pengusaha
s.d.a.
s.d.a.
2
NO.
HARI/ TANGGAL
P U KU L
A C A R A
11.30 – 13.30 WITA
Peninjauan ke Sentra Industri Kecil tenun Desa Sukerara Lombok Tengah diakhiri makan siang
s.d.a.
13.30 – 14.00 WITA
Menuju Sentra Kerajinan Mutiara
s.d.a.
14.00 – 16.00 WITA
Peninjauan ke Sentra Kerajinan Mutiara di Sekarbela Ampenan
s.d.a.
Menuju Sayang-sayang
s.d.a.
16.30 – 17.30 WITA
Peninjauan ke Sentra Industri Kerajinan Rungkang Sayang-sayang
s.d.a.
17.30 WITA
Menuju ke Hotel Sheraton Senggigi untuk istirahat
s.d.a.
19.30 – 22.00 WITA
Pertemuan/ramah tamah dengan Walikota Mataram didampingi Kepala Dinas : Perindustrian dan Perdagang-an, Koperasi dan UKM, dan BKPMD Kota Mataram
s.d.a.
06.00 – 07.00 WITA
Sarapan pagi di Hotel Sheraton Senggigi
Diatur Protokol Pemda NTB
07.30 WITA
Menuju Bandara Selaparang, Mataram
s.d.a.
08.00 WITA
Perjalanan menuju PT. New Mont Nusa Tenggara dengan Pesawat Travera
s.d.a.
09.00 – 15.30 WITA
Pertemuan dengan jajaran Direksi PT. New Mont Nusa Tenggara (dilanjutkan makan siang) dan peninjauan lokasi tambang
s.d.a.
15.30 WITA
Kembali ke Mataram dengan Pesawat Travera melalui Bandara Slaparang Rembiga
s.d.a.
19.30 – 22.00 WITA
Pertemuan dan ramah tamah dengan BUMN (PT. Petamina, PT. PLN, PT Indofarma, PT. Hutama Karya, PT. Pupuk Sriwijaya dan PT. ASDP)
s.d.a.
06.00 – 07.00 WITA
Sarapan pagi di Hotel Sheraton Senggigi (Chek Out)
Diatur Protokol Pemda NTB
07.30 WITA
Menuju PT. Naya Marine
s.d.a.
08.00 – 09.00 WITA
Peninjauan ke PT. Naya Marine (jasa industri kapal)
s.d.a.
09.00 – 09.30 WITA
Menuju PT. PELINDO III Pelabuhan Lembar
s.d.a.
09.30 – 11.00 WITA
Pertemuan dengan PT. PELINDO III Pelabuhan Lembar dan dilanjutkan peninjauan lapangan
s.d.a.
11.00 – 12.00 WITA
Makan siang di Lembar
16.30 WITA
3.
4.
Kamis, 28 Juli 2005
Jum’at, 29 Juli 2005
KETERANGAN
3
NO.
HARI/ TANGGAL
P U KU L
A C A R A
12.00 – 13.00 WITA
---------------- SHALAT JUM’AT ------------(di Lembar)
13.00 WIB
Menuju PT. Angkasa Pura I Selaparang di Rembiga
s.d.a.
13.45 – 14.45 WITA
Pertemuan dengan PT. Angkasa Pura I Selaparang di Rembiga
---
15.00 WITA
Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI berangkat dari Bandara Selaparang Rembiga, Mataram menuju Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta
---
Tiba di Bandara Sukarno Hatta, Jakarta
---
17.20WIB
KETERANGAN
---
E. ANGGOTA TIM KUNJUNGAN KERJA NO
NO. ANGG.
N
A
M
A
KETERANGAN
1.
A-412
CONSTAN M. PONGGAWA, SH., LLM.
2.
A-476
NUSRON WAHID, SS.
ANGGOTA/F-PG
3.
A-526
DRS. H. DJELANTIK MOKODOMPIT
ANGGOTA/F-PG
4.
A-496
HJ. HAYANI ISMAN SOETOYO
ANGGOTA/F-PG
5.
A-510
ADI PUTRA DARMAWAN TAHIR
ANGGOTA/F-PG
6.
A-362
IR. SUTJIPTO
ANGGOTA/F-PDIP
7.
A-367
IMAM SOEROSO
ANGGOTA/F-PDIP
8.
A-390
NI GUSTI AYU EKA SUKMA DEWI
ANGGOTA/F-PDIP
9.
A-37
DRS. H. ANWAR SANUSI, SH., MM.
ANGGOTA/F-PP
10.
A-112
IR. H. AZAM AZMAN NATAWIDJANA
ANGGOTA/F-PD
11.
A-190
H.A. SYAFRIN ROMAS, Arch., MBA.
ANGGOTA/F-PKB
12.
A-192
IR. A. HELMY FAISHAL ZAINI, SE.
ANGGOTA/F-PKB
13.
A-278
H. FAHRI HAMZAH, SE.
ANGGOTA/F-PKS
KETUA TIM/F-PDS
4
II. DESKRIPSI UMUM DAERAH KUNJUNGAN KERJA Secara umum kebijakan pembangunan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dituangkan dalam ”Rencana Strategis Pembangunan Provinsi NTB” yang dipresentasikan oleh Pemda NTB dan Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPEDA) NTB sebagai berikut: a. Kondisi Umum Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki luas wilayah 49.312,19 dari daratan 20.153,15 Km2 (40,87%) dan lautan 29.159,04 Km2 (59,13%) serta dikelilingi 137 buah pulau-pulau kecil. Berdasarkan letaknya propinsi NTB terletak pada posisi titik koordinat 1150 46’ – 1190 5’ Bujur Timur dan 80 10’ – 90 5’ Lintang Selatan dengan batasbatas wilayah : Sebelah Utara : Laut Jawa dan Laut Flores; Sebelah Selatan : Samudera Indonesia; Sebelah Barat : Selat Lombok/Propinsi Bali dan Sebelah Timur : Selat Sape/Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Keadaan daratan di Pulau Lombok realtif lebih datar dibandingkan dengan Pulau Sumbawa. Di bagian Utara Pulau Lombok terdapat rangkaian pegunungan dengan puncak tertinggi Gunung Rinjani yang mencapai ketinggian +/- 3.775 meter, dan di bagian selatan terdapat deretan perbukitan. b. Visi dan Misi Visi Pembangunan Propinsi NTB, khususnya di bidang Industri dan Perdagangan adalah: ” Terwujudnya Industri dan Perdagangan Yang Tangguh yang Berbasis Pada Sumberdaya Daerah dalam Rangka Meningkatka Kesejahteraan Rakyat Nusa Tenggara Bara”. Adapun misi Dinas Perindustrian dan Perdagang Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah : 1. Membangun dan mengembangkan industri melalui pengelolaan SDM dan SDA secara optimal untuk menghasilkan produk unggulan daerah yang mempunyai daya saing kuat baik di pasar lokal, nasional maupun flobal. 2. Meningkatkan pemasaran hasil produksi masyarakat baik hasil industri maupun hasil pertanian atau hasil produksi lainnya 3. Meningkatkan pengadaan dan penyaluran bahan kebutuhan pokok masyarakat dan barang-barang strategis lainnya 4. Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana penunjang industri dan perdagangan. c. Sasaran Misi 1. Penguatan Kelembagaan Masyarakat pelaku Ekonomi, hendak dicapai melalui : - Fasailitasi, regulasi dan pelayanan pengembangan ekonomi dan investasi daerah - Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah - Pemantapan Usaha Daerah dan Keuangan Daerah - Peningkatan Investasi melalui PMA dan PMDN 2. Kemudahan pelayanan Perijinan di seluruh Tingkatan, hendak dicapai melalui : Pengembangan dan Pengelolaan Infrastruktur mendukung Pengembangan Ekonomi dan Investasi daerah.
5
3. Pemantapan Manajemen Pariwisata untuk mendukung Pengembangan Ekonomi Lokal, hendak dicapai melalui: - Pengembangan Potensi Pariwisata - Pemulihan Kualitas Lingkungan Hidup Mendukung Potensi Ekonomi Lokal. d. Kebijaksanaan Strategis Program Pembangunan yang dilaksanakan pada tahun 2004 mengacu pada empat kelompok program yang tertuang dalam PROPEDA 2004-2005 bidang Pembangunan Daerah. Keempat kelompok program tersebut adalah : a. Memantapkan perwujudan otonomi daerah, b. Meningkatkan pengembangan potensi wilayah dan c. Meningkatkan keberdayaan masyarakat. Adapun kebijakan dan prioritas pembangunan yang dilakukan : 1.
Bidang Pertanian Pembangunan Pertanian dilakukan melalui pola pemberdayaan masyarakat yang dikonsolidasikan dalam bentuk pengembangan kawasan agribisnis komoditas unggulan. Dengan demikian diharapkan akan berkembang Pusat-Pusat Pengembangan Agribisnis yang menjadi andalan pertumbuhan daerah. Permasalah penting yang dihadapi dalam pembangunan pertanian antara lain : rendahnya tingkat kesejahteraan petani dan nelayan yang terkait erat dengan tingginya tingkat kemiskinan di pedesaan; kemungkinan menurunnya tingkat kecukupan pangan yang berakibat pada gizi buruk, sebagai akibat laju perkembangan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, rendahnya daya saing komoditas pertanian, baik di pasar domestik dan internasional, serta pola usahatani yang berisfat tradisional dan subsisten.
2
Bidang Sumberdaya Air Dalam pembangunan pengairan dan irigasi, permasalahan utama yang dihadapi adalah : menurunnya fungsi jaringan irigasi akibat jaringan irigasi yang rusak baik ringan maupun berat; terjadinya konversi kawasan persawahan irigasi teknis menjadi kawasan non pertanian; penyediaan dana operasi dan pemeliharaan iirigasi yang hanya mencapai 40-50 persen dari kebutuhan; dan terjadinya proses degredasi sumber air irigasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Oleh karena itu, pengaturan kembali tugas dan fungsi kelembagaan pengairan baik di pusat maupun di daerah terutama diarahkan untuk mempertahankan efisiensi pemanfaatan jaringan irigasi, serta mengembangkan secara selektif terhadap jaringan irigasi dan rawa yang cepat berfungsi untuk mendukung ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, serta penyediaan air baku di permukiman, perkotaan dan industri secara berkelanjutan. Di bidang pengelolaan sumberdaya air, permasalahan utama yang dihadapi adalah ancaman bencana alam seperti banjir dan kekeringan akibat kerusakan DAS yang terus meningkat;semakin tingginya daya rusak dan intensitas kerusakan akibat pertumbuhan populasi dan kebutuhan lahan untuk permukiman dan industri, serta ancaman kelestarian sumberdaya air akibat kerusakan danau, waduk, embung, situ, serta terjadinya pencemaran air dan sumber air akibat pengolahan limbah industri dan rumah tangga yang belum dilakukan secara terpadu.
6
Oleh karena itu pengelolaan sumber-sumber air doprioritaskan untuk peningkatan kinerja kelembagaan dan mendorong efektifitas dan efisiensi pengelolaan melalui korporatisasi pengelolaan sumberdaya air terpadu terutama sungai, serta melanjutkan penerapan Water Sector Adjustment Program (WATSP). 3.
III.
Bidang Sumberdaya Energi Di bidang sumberdaya energi, khususnya Listrik di Propinsi NTB terjadi adanya ketidakseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan tenaga listrik. Sebagai konsekuensi akibat adanya krisis tenaga listrik, pembangkit yang ada harus beroperasi penuh sehingga mengabaikan faktor pemeliharan, sehingga degradasi kapasitas pembangkit semakin tinggi dan pemakaian bahan bakar spesifik menjadi boros. Untuk memenuhi pasokan listrik ini diperlukan investasi yang sangat besar dalam sarana membangun sarana pembangkit, penyalur dan distribusi. Hal ini masih dirasakan berat mengingat kondisi finansial PT. PLN (Persero) masih mengalami kerugian karena harga pokok penjualan lebih tinggi dibandingkan dengan tarif walaupun sudah mengalami kenaikan secara berkala dan melemahnya nilai rupiah karena beban biaya komponen barang serta pembayaran utang dalam mata uang asing. Upaya mengatasi permasalahan sektor ketenagalistrikan pada tahun 2002 dilakukan melalui kegiatan terpadu antara penambahan kapasitas pembangkit dan pembatasan pemakaian konsumsi listrik. Penambahan kapasitas pembangkit diupayakan melalui investasi langsung (Equity-based) bukan berdasarkan pinjaman (loan-based). Untuk itu diperlukan kebijakan mempermudah investasi melalui kerjasama kemitraan dengan investor. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan skala kecil dan menengah diupayakan melalui pemberdayaan investasi dalam negeri dengan memanfaatkan potensi energi setempat. Kebijakan ini harus dapat diimplementasikan melalui Pembangkit Skala Kecil untuk Swasta dan Koperasi serta Swadaya Masyarakat (PSKSKSM). Secara khusus, pembangunan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih menitikberatkan pada pembangunan sektor pertanian, sehingga pada tahun 2003, sektor pertanian memberikan kontribusi yang terbesar pada PDRB Propinsi Nusa Tenggara Barat yang berjumlah Rp 15,7 triliun (atas dasar harga berlaku) dimana sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 24,84%; sedangkan sektor industri dan perdagangan memberikan kontribusi masing-masing sebesar 3,97% dan 13,04%. Namun pertumbuhan ekonomi Propinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2002 mampu mencapai sebesar 3,69% dan 3,36% tanpa sub sektor pertambangan non migas. Dalam tahun itu juga laju pertumbuhan sektor industri dan perdagangan masing-masing sebesar 5,88% dan 5,68%.
DESKRIPSI PER BIDANG A. BIDANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN Kebijaksanaan pengembangan sektor industri dan perdagangan di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) lebih diarahkan pada upaya-upaya untuk membantu pemulihan ekonomi melalui peningkatan kontribusi sektor industri dan perdagangan dalam PDRB Propinsi Nusa Tenggara Barat.
7
Pada tahun 2003, perusahaan industri formal baru yang berdiri di Nusa Tenggara Barat berjumlah 338 unit usaha yang mempu menyerap tenaga kerja sebanyak 2.311 orang dengan investasi sebesar Rp 15.347,7 juta. Sedangkan perusahaan di bidang perdagangan (formal) pada tahun 2003 berjumlah 1.746 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja yang diserap sebanyak 5.772 orang dengan modal/investasi yang ditanam sebesar Rp 285.017,6 juta. Dalam perdagangan luar negeri (ekspor-impor), khususnya ekspor non migas, Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam dua tahun terakhir sudah dapat menyumbang devisa yang cukup signifikan yaitu sebesar US $ 513,45 juta pada tahun 2002 dan meningkat (7,41%) atau menjadi US $ 551,49 juta pada tahun 2003; sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi US $ 600 juta. Berdasarkan evaluasi program pembangunan, program peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor, pertumbuhan PDRB dari sisi produksi (supply side) tahun 2004 mencapai 5,07%; sisi konsumsi masyarakat 39,35% dan perkembangan ekspor mencapai 974.603 ribu US $ dengan pembentukan modal tetap bruto encapai 23,73%. B. BIDANG INVESTASI Keadaan Perusahaan (PMDN dan PMA) per sektor/bidang usaha di Propinsi Nusa Tenggara Barat s/d Tahun 2004 dapat dijelaskan sebagai berikut : Perusahaan yang menggunakan fasilitas PMDN berjumlah 102 perusahaan dengan rencana investasi Rp 3,57 Trilun lebih, dengan rencana penggunaan tenaga kerja Indonesia 25.414 orang dan Tenaga Kerja Asing 263 orang. Namun demikian, realisasi investasi baru mencapai Rp 934 milyar lebih (26,15%), dengan realisasi tenaga kerja Indonesia baru mencapai 5.282 orang (20,78%) dan TKA 11 orang (4,18%). Untuk perusahaan PMA berjumlah 128 perusahaan dengan rencana investasi sebesar US $ 5,63 miliar, dengan rencana penggunaan tenaga kerja Indonesia sebesar 24.811 orang dan TKA 645 orang, namun realisasi investasinya baru mencapai US $ 3,09 Miliar lebih (54,84%), dengan realisasi tenaga kerja Indonesia baru mencapai 7.309 orang (29,46%) dan TKA sebanyak 200 orang (31,01%). C. BIDANG KOPERASI DAN UKM Perkembangan jumlah Koperasi selama 5 tahun terakhir (2000-2004) selalu menunjukkan perkembangan yang positif setiap tahunnya. Sebagai gambaran jika pada tahun 2000 masih berjumlah 1.935 buah menjadi 2.472 buah pada tahun 2004 atau naik 27,75%. Program penguatan lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Provinsi Nusa Tenggara Barat dimulai sejak tahun anggaran 1998/1999 dengan nama Program Lembaga Ekonomi Produktif masyarakat Mandiri dengan jumlah dana Rp 1,170 milyar yang disalurkan kepada 30 LKM dengan jumlah nasabah awal 1.235 orang pengusaha UMKM. Sampai dengan 31 Desember 2004 dana tersebut telah berkembang menjadi Rp 4,130 milyar dengan jumlah nasabah 3.429 orang pengusaha UKM. Untuk Program PUKK yang dimulai sejak tahun anggaran 1989 s/d 2000 jumlah dana seluruhnya Rp 35,553 miliar, sampai dengan akhir desember 2004 jumlah dana yang telah tersalurkan sebesar Rp 61,058 miliar dengan jumlah mitra binaan sebanyak 4.064.
8
IV. PERMASALAH SPESIFIK DAN REKOMENDASI A. PEMERINTAH DAERAH PROVINSI NTB Permasalahan : 1. Dana yang bersumber dari APBD dalam rangka meningkatkan Investasi di NTB masih sangat terbatas, untuk itu sangat diharapkan Pemerintah Pusat memberikan dana Dekonsentrasi yang bersumber dari APBN dan atau lainnya. 2. Untuk dapat menarik lebih banyak investor perlu dukungan dana untuk program peningkatan sarana dan prasarana pendukung investasi di NTB 3. Kebijakan kemudahan perpajakan bagi investor, berkaitan dengan pemasukan barang modal. 4. Kemudahan-kemudahan yang mendorong investasi di daerah seperti izin tinggal bagi investor asing (PMA) 5. BKPM RI sebelum menerbitkan SP baik PMDN/PMA agar dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah Provinsi NTB. 6. Program pembinaan, pengembangan dan pembimbingan khususnya bagi IKM sedikit terhambat karena alokasi anggaran yang sangat kecil. Bila dikaitkan dengan program yang telah dicanangkan oleh Pemda NTB, yakni Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang E Mas), seyogyanya sektor ekonomi sebagai leading sektor mendapat alokasi dana yang memadai. Rekomendasi : 1. Perlu Pengembangan ekonomi / pasar pada skala lokal, nasional dan global produk mutiara sebagai pusat perdagangan mutiara dunia. 2. Kebijakan pembangunan dengan melihat konsep tataruang yang ada, khsusnya dalam alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. 3. Strategi pembangunan yang berorientasi pada penurunan kesenjangan pendapatan antara pedesaan dan perkotaan. 4. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di peedesaan dan kecamatan sesuai dengan potensi ekonomi yang dimilikinya (sentra industri/kerajinan rakyat, pertanian salak pondoh, industri keramik/gerabah/perak/sutera, dll). 5. Reformasi birokrasi pemerintahan dan revitalisasi kelembagaan, mengembangkan multi-stakeholder forum dan mengembangkan networking antara Pemda NTB dengan kalangan legislatif/perwakilan NTB di Jakarta. B.
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH (C.q Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Loteng) Pengantar : Struktur ekonomi Kabupaten Lombok Tengah masih didominasi oleh sektor Pertanian dalam arti luas, sedangkan sektor industri dan perdagangan masih sebagai penunjang. Industri yang tumbuh dan berkembang di Kab. Lombok Tengah pada umumnya merupakan industri kecil/kerajinan yang tersebar sampai ke pelosok perdesaaan; sedangkan perdagangan lebih dari 90% merupakan pedagang kecil/menengah. Pertumbuhan, peranan dan kontribusi sektor perindustrian dan perdagangan di Kab. Lombok tengah setiap tahun terus ditingkatkan sebagai upaya penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan nilai tambah, peningkatan pendapatan dan
9
kesejahteraan masyarakat serta penerimaan PAD dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada. Hasil-Hasil yang Dicapai : 1. Sektor Industri Jumlah unit usaha Industri mencapai 28.696 unit usaha yang terdiri dari 1.080 unit usaha formal dan 27.616 unit usaha non formal. Jumlah Tenaga Kerja yang terserap berjumlah 67.831 orang terdiri dari 12.917 orang TK formal dan 54.914 orang TK non formal. Nilai Investasi mencapai Rp 34,6 milyar yang terdiri dari Rp 18,163 milyar formal dan Rp 16,444 milyar non formal dengan nilai produksi mencapai Rp 110,407 milyar Kontribusi sektor Industri terhadap PDRB Kab. Lombok Tengah atas dasar harga Konstan tahun 2003 sebesar 5,82% dan atas dasar harga berlaku 7,20%; dengan laja pertumbuhan sektor industri atas dasar harga konstan tahun 2003 sebesar 6,30% dan ADHB sebesar 15,49%. Jumlah sentra industri kecil mencapai 413 sentra dengan kelompok usaha bersama (KUB) mencapai 169 kelompok 2. Sektor Perdagangan Jumlah unit usaha perdagangan mencapai 174.511 unit usaha yang terdiri dari 5.111 unit usaha formal dan 169.400 unit usaha informal. Jumlah TK yang terserap berjumlah 189.052 orang yang terdiri formal 19.652 orang dan informal 169.400 orang. Nilai investasi mencapai Rp 254,579 milyar yang terdiri dari formal Rp 245,235 milyar dan informal Rp 9,345 milyar. Kontribusi sector perdagangan terhadap PDRB atas dasar harga constan (ADHK) tahun 2003 sebesar 16,81% dan ADHB sebesar 19,10%. Laju pertumbuhan sector perdagangan atas dasar harga konstant tahun 2003 sebesar 6,74% dan atas dasar harga berlaku sebesar 10,24%. Nilai eksport komoditi unggulan dari Kab. Lombok tengah tahun 2004 yang tercatat di Bank Devisa mencapai 152.180 ton senilai US $ 222.972,60,-
Kendala dan Permasalahan : Tingkat kompetensi sumberdaya / aparat pembina Indag yang relatif terbatas; Kualitas SDM pengusaha Indag juga masih rendah. Ketersediaan dan kontinuitas bahan baku industri masih terbatas bahkan ada yang sangat tergantung dari luar daerah seperti kayu, rotan Permodalan usaha Indag yang terbatas Mutu, desain dan diversifikasi produksi industri/kerajinan masih sangat rendah, demikian halnya dengan wawasan, motivasi dan jiwa kewirausahaan yang masih rendah Terbatasnya diversifikasi produk-produk perdagangan C. Sentra Kerajinan Tenun Sukarara, Lombok Tengah
10
Pengantar : Industri kecil tenun songket (bahasa sasak ”Nyesek”) di desa Sukarara merupakan jenis industri yang dikerjakan secara turun temurun, diproses secara tradisional dengan alat tenun gedogan sebagai salah astu sumber penghasilan di luar pertanian. Hasil produksinya berupa tenunan songket yang pada awalnya digunakan untuk keperluan acara-acara adat dan budaya khususnya di kalangan bangsawan masyarakat Lombok Tengah. Pada saat ini komoditi industri tenun desa Sukarara selain dikenal dan dikonsumsi oleh konsumen lokal juga telah diminati oleh konsumen mancanegara. Hal ini ditandai oleh banyaknya kunjungan wisatawan domestik dan asing, dan adanya permintaan/order dari konsumen di luar negeri. Jumlah perajin tenun di desa Sukarara, Lombok Tengah sampai dengan 31 Desember 2004 tercatat sebanyak 675 orang, sedangkan untuk Kabupaten Lombok Tengah tercatat sebanyak 3.177 Orang yang tersebar pada 33 desa/sentra kerajinan. Permasalahan: Dari hasil kunjungan Komisi VI DPR RI ke sentra Kerajinan Tenun Sukarara, Kab. Lombok Tengah ditemui berbagai permasalahan/hambatan dalam pengembangan usaha kerajinan sebagai berikut : Adanya kebutuhan bahan baku yang harus didatangkan dari luar daerah (Surabaya dan Bandung) dengan tingkat harga yang selalu mengalami kenaikan. Aspek permodalan sangat tergantung dari para pengusaha pengumpul/artshop yang juga tergantung dari pesanan/order. Aspek manajemen dan pemasaran : umumnya pengrajin masih melakukan transaksi secara sendiri-sendiri sehingga posisinya relatif lemah dihadapan buyers. Aspek teknologi dan desain : teknologi masih sederhana; mutu, desain dan corak kurang variatif/sederhana. Rekomendasi : Perlu adanya Lombok Expo Centre (LEC) sebagai pusat promosi dan informasi kerajinan daerah yang berskala nasional dan internasional. Perlu adanya pelabuhan kontainer dan bandara internasional untuk meniadakan ketergantungan pengusaha/pengrajin kepada eksportir dari luar Lombok (Jawa dan Bali) yang menyebabkan harga kurang kompetitif. Perlunya peningkatan fasilitas hubungan transportasi ke lokasi/sentra-sentra kerajinan yang lebih memadai dan kenyamanan bagi wisatawan/buyers. Perlu dukungan peningkatan fasilitas permodalan dan teknologi terapan bagi pengusaha/pengrajin dalam meningkatan kapasitas produksi dan pemasaran.
D. Sentra Kerajinan Rakyat (Ukiran dan Kayu) Sayang-Sayang, Kota Mataram Pengantar : Sentra Kerajinan Rakyat (Ukiran dan Kayu) Sayang-Sayang terletak kurang lebih 10 km dari luar pusat kota Mataram dan bisa ditempuh dengan jalan darat kurang lebih 30 menit. Sentra Kerajinan Sayang-Sayang umumnya mengolah ukiran dan kayu furniture dengan motif yang beragam. Desa Sayang-sayang merupakan
11
salah satu desa yang memiliki potensi kegiatan industri kecil dan potensi daya tarik wisata yang khas, khususnya seni kerajinan kayu/ukiran serta lingkungan alam pedesaan dengan karakter kehidupan sosial budaya masyarakat yang ada. Permasalahan : Dari hasil kunjungan Komisi VI DPR RI ke sentra Kerajinan Ukiran Kayu di Sayang-Sayang, Kab. Lombok Barat ditemui berbagai permasalahan/hambatan dalam pengembangan usaha kerajinan sebagai berikut : Adanya kebutuhan bahan baku yang harus didatangkan dari luar daerah, dikaitkan dengan maraknya kayu illega (illegal logging). Aspek permodalan sangat tergantung dari para pengusaha pengumpul/artshop yang juga tergantung dari pesanan/order. Aspek manajemen dan pemasaran : umumnya pengrajin masih melakukan transaksi secara sendiri-sendiri sehingga posisinya relatif lemah dihadapan buyers. Aspek teknologi dan desain : teknologi masih sederhana; mutu, desain dan corak kurang variatif/sederhana. Rekomendasi : 1. Komisi VI DPR RI akan mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Perpu tentang Penyelundupan agar berbagai praktik penyelundupan kayu (ilegal loging) dapat segera di tindak. 2. Komisi VI DPR RI berjanji akan menanyakan serta mendesak Menteri Koperasi dan UKM untuk segera merespon dan merealisasikan penyaluran kredit bagi usaha kecil menengah di bidang ukiran kayu. 3. Meminta Kepada Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi agar melakukan pembinaan yang intensif, utamanya dalam hal desain teknologi kayu seperti pembuatan furniture secara knock down sehingga mempermudah buyers membawa ke luar daerah.
E.
PT. NEWMONT NUSA TENGGARA, SUMBAWA, NTB Pengantar : PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) adalah perusahaan patungan Indonesia yang sahamnya dimiliki 80% oleh Nusa Tenggara Partnership dan 20% oleh PT. Pukuafa Indah (Indonesia). Dari 80% saham yang dimiliki terdiri 56,25% pada Nusa Tenggara Partnership dimiliki oleh Newmont Indonesia Limited, sementara 43,75% dimiliki oleh Nusa Tenggara Mining Corporation. PTNNT didirikan pada tahun 1986 untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah RI, di dalam wilayah kontrak karya yang terletak di kawasan timur Provinsi NTB. PT. NNT menandatangani kontrak karya generasi ke-4 dengan Pemerintah Indonesia pada Desember 1986. Setelah 10 tahun eksplorasi, proyek konstruksi senilai US $ 1,8 miliar dimulai pada awal 1997 dan diselesaikan pada akhir 1999 diikuti dengan tahap uji coba (Commissioning/start up), PT. NNT memuali produksi pada 1 Maret 2000.
Pada Desember 2003, cadangan bijih di Batu Hijau mencapai 1 miliar ton dengan kandungan 0,525% tembaga dan 0,37 gram per ton emas. Dengan
12
kapasitas produksi saat ini, masa tambang Batu Hijau akan berakhir pada tahun 2025. Saat ini PT.NNT tengah melakukan eksplorasi di wilayah lain dalam wilayah Kontrak Karya seperti di Elang. Sebagai kontraktor Pemerintah Indonesia, PT. NNT memberikan kontribusi yang besar bagi ekonomi bangsa ini melalui penciptaan lapangan kerja, pembayaran royalti dan pajak, yang sebagian besar dari dana tersebut kembali ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kabupaten Sumbawa. Saat ini PTNNT menyediakan lapangan kerja langsung lebih dari 7.200 orang, yang terdiri atas 4.200 karyawan PTNNT dan 3.000 karyawan kontraktor. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60% berasal dari Provinsi NTB. PTNNT memberikan kontribusi sekitar US $ 35 juta setiap tahun kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk pajak, non-pajak serta royalti. Disamping itu, PTNNT setiap tahun membelanjakan lebih dari US $ 183 juta untuk pembelian barang dan jasa dari dalam negeri Indonesia, US $ 55 juta untuk pembayaran gaji karyawan nasional dan US $ 2,3 juta untuk program pengembangan masyarakat. Permasalahan/Hambatan : 1. UU No. 41 Tahun 1949 tentang Kehutanan: Undang-Undang ini memuat ketentuan baru tentang Hutan Lindung yang melarang dilakukannya penambangan dengan pola terbuka di Hutan Lindung. Sementara itu Kontrak Karya PT. NNT ditandatangani pada tahun 1986, sebelum UU ini diberlakukan. Sebagai akibat ketentuan baru ini, meski PT. NNT masih dalam tahap eksplorasi, Pemerintah dalam memberikan izin eksplorasi dalam kawasan hutan, mempersyaratkan adanya surat pernyataan dari PTNNT untuk tidak melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka di Hutan Lindung. 2. KEPMENLH 82/2005 Kepmen 82/2005 tentang izin Penempatan Tailing di dasar laut kepada PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau di Kabupaten Sumbawa Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan perpanjangan izin sebelumnya yaitu Kepmen LH 24/2002, namun dalam KepmenLH 82/2005 ini memuat beberapa ketentuan baru diantaranya adalah ketentuan yang mengharuskan air limbah penambangan untuk mematuhi Baku Mutu (KepMenLH 2002/2004) sebelum masuk ke tail box dari sistem penempatan tailing. PT. NNT tidak dapat memenuhi baku mutu ini karena harus mengeluarkan biaya modal dan operasi yang sangat besar, yakni dengan membangun dan mengoperasikan sebuah fasilitas pengolahan air. PT. NNT menganggap ketentuan ini sangat memberatkan yang sama sekali tidak membawa manfaat lingkungan yang berarti terhadap upaya perlindungan yang tengah dilakukan saat ini. Selain itu fasilitas tersebut memerlukan waktu yang lama (lead-time) dalam hal pengadaan material dan konstruksi yang tidak mungkin dilakukan oleh PT. NNT dalam waktu tiga (3) bulan sebelum tibanya musim hujan yang akan datang. Apabila tidak ada solusi dari Pemerintah, maka situasi ini akan menyebabkan PT. NNT berada pada ketidakpatuhan yang sangat bertentangan dengan komitmen perusahaan untuk beroperasi dengan menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan perusahaan bisa menghentikan operasinya. Rekomendasi
13
1. Memberikan izin bagi kelanjutan eksplorasi PT. NNT di seluruh wilayah kontrak karya yang ada saat ini. Tidak seluruh kegiatan eksplorasi dapat dilanjutkan ke tahapan operasi produksi. Namun dengan adanya kewajiban pelaporan atas hasil-hasil temuan dalam kegiatan eksplorasi kepada Pemerintah, maka kegiatan eksplorasi akan memberikan informasi kepada Pemerintah tentang kandungan dan kekayaan sumberdaya alam pada daerah-daerah yang dieksplorasi. 2. PT. NNT berharap agar Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 82/2005 dapat ditinjau kembali. Ketentuan-ketentuan baru dalam Keputusan Menteri ini sangat memberatkan Perusahaan. Pengelolaan lingkungan PT. NNT telah dilengkapi dengan Amdal dan RKL/RPL yang telah disetujui oleh Pemerintah pada tahun 1996. Sangat tidak adil ketika Perusahaan telah menanamkan Investasi yang besar kemudian muncul ketentuan baru yang bisa berakibat pada berhentinya operasi perusahaan tersebut. F. Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (ASBUMI) NTB Pengantar : ASMINDO sebagai wadah/kumpulan atau asosiasi para pengusaha/ pembudiaya Mutiara Indonesia Wilayah II NTB berperan dalam membantu para anggota dalam hal pembudiayaan dan pemasaran, mutiara serta ikut dalam pameran baik skala nasional maupun internasional, membantu menghubungkan anggita dengan lembaga keuangan perbankan dalam hal mendapatkan akses permodalan. Dalam perkembangannnya , jumlah pengusaha/pembudidaya Mutiara yang baru berumur dua bulan ini (per 20 Juni 2005) , ASBUMI Wilayah II NTB mempunyai 25 perusahaan baik CV maupun PT yang tergabung di dalamnya. Keanggotaan ASBUMI terdiri dari dua unsur yaitu kelompok pengusaha dan kelompok akademisi/peneliti yang menggeluti dunia mutiara. Pengusaha budidaya mutiara di NTB merasa diperlakukan tidak adil. Hal ini diindikasikan pada pengenaan PPN sebesar 10 persen bila produk dijual dalam negeri, sebaliknya tidak dikenakan PPN jika diekspor. PPN dikenakan karena mutiara dianggap barang mewah, padahal segmen pasar dalam negeri hanya sekitar 5%, dan 95% produk mutiara untuk ekspor. Dalam hal pengenaan PBB, instansi berwenang dinilai semena-mena menentukan jumlah pajak, dihitung dari total produksi dikurangi biaya operasional dan lain-lainnya. Permasalahan : 1. Masalah budidaya Mutiara, dihadapkan pada lamanya proses pembudiayaan siput penghasil mutiara (hampir 2 tahun) dengan teknologi yang rumit. Selain itu adanya pencurian mutiara yang siap panen menjadi persoalan serius yang dihadapi pengusaha/pembudiaya mutiara di NTB. 2. Masalah pengenaan pajak PPN bagi pengusaha lokal yang melakukan budidaya mutiara, selain Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di lain pihak para pengusaha yang melakukan ekspor tidak dikenakan pajak. 3. Masalah peraturan dan perizinan yang dihadapi pengusaha dimana belum berproduksi tetapi sudah dikenakan berbagai pungutan di daerah yang dirasakan menghambat pengusaha. Rekomendasi :
14
1. Kebijakan pengenaan pajak PPN bagi pengusaha lokal perlu ditinjau kembali, kalau perlu dihapuskan. Prinsipnya adalah azas keadilan bagi pengusahan budidaya mutiara dengan eksportir. 2. ASBUMI meminta agar Komisi VI DPR RI dapat menjembatani kepentingan pengusaha/pembudidaya mutiara dengan instansi terkait seperti Departemen Keuangan dalam hal pengenaan PPN bagi produk mutiara dan Depdagri/Pemda berkaitan dengan pungutan-pungutan /retribusi daerah yang dikenakan kepada pengusaha mutiara. 3. Masalah keamanan bagi pengusaha perlu keterlibatan instansi terkait, khususnya aparat keamanan (Polri) dalam upaya menjaga lingkungan usaha yang kondusif bagi pengembangan budidaya mutiara. 4. Perlunya Peraturan Daerah (Perda) tentang Tataniaga Perdagangan/Pemasaran Mutiara di NTB dalam rangka meningkatkan efisiensi Pemasaran Mutiara dan menjadikan NTB sebagai salah catu cikal bakal sentra perdagangan mutiara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) khususnya dan dunia umumnya. G.
BUMN (PT. PLN, PT. Pertamina, PT. BioFarma, PT. Pusri, PT. Hutama Karya, PT. ASDP, PT. Pelindo III dan PT. Angkasa Pura I, Mataram) Pengantar : Kunjungan kerja Komisi VI DPR RI ke NTB antara lain melakukan pertemuan/audensi dengan Direksi/Manajemen BUMN Perwakilan NTB dalam upaya menggali informasi mengenai kinerja BUMN di daerah dan respons mereka terhadap Rencana Kantor Meneg BUMN dalam upaya melakukan restrukturisasi BUMN sesuai dengan Road Map yang dicanangkan Meneg BUMN. Adapun BUMN yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain : PT. PLN, PT. Pertamina, PT. PUSRI, PT. Hutama Karya, PT. ASDP, PT. Pelindo dan PT. Angkasa Pura). a. PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Pengantar: PT. PLN (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Barat berdiri tanggal 25 Juni 2002 yang merupakan pemekaran dari PT. PLN (Persero) wilayah XI Bali, NTB dan NTT sesuai dengan SK Direksi PT. PLN No: 086.K/010/DIR/2002, dan sejalan dengan era otonomi daerah, maka pada tanggal 25 Juni 2002 dibentuklah PT. PLN (Persero) Wilayah NTB, membawahi Cabang Mataram, sektor lombok, cabang Sumbawa dan Bima. Visi PT. PLN (Persero) Wilayah NTB diakui sebagai perusahaan tenaga listrik yang unggul dan terpercaya di NTB dengan bertumpu pada potensi insani. Sedangkan misisnya antara lain menjalankan bisnis kelistrikan yang berorientasi kepada kepuasan stakeholder untuk mempertahankan sebagai pemimpin pasar; menyediakan tenaga listrik secara andal dan dalam jumlah yang cukup dengan memanfaatkan potensi energi primer dan terbarukan secara efisien di NTB; dan mengembangkan usaha kelistrikan yang berwawasan lingkungan. Permasalahan : a. Selama periode 2002-2004, PT. PLN (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Barat masih menunjukkan kerugian. b. Implementasi TDL yang belum mencapai nilai ekonomis
15
c. Pembangkit Listrik didominasi oleh Diesel yang menggunakan BBM sehingga Biaya Pokok Penyediaan (BPP) masih lebih besar dibanding harga jual rata-rata. d. Pembangkit kritos karena investasi pembangkit terkendala dana Saran/Rekomendasi: a. Implementasi pembangkit Fuel Mix b. Pengembangan minyak jarak pagar sebagai alternatif biodiesel untuk subsidi BBM c. Penerapan tarif regional d. Peran PSO dari pemerintah untuk menutup selisih biaya produksi dengan harga jual yang masih besar. b. PT. Pertamina Pengantar PT. Pertamina Unit Pemasaran V meliputi Jatim, Bali, NTB, NTT dan Timor Lorosae dengan jumlah penduduk 45,83 Juta Jiwa. UPM V memeiliki 21 depot dan 11 DPPU yang tersebar di Jatim 7 depot dan 2 DPPU; Cabang Denpasar 5 depot dan 4 DPPU; cabang Kupang 8 Depot dan 4 DPPU dan Salese Repr. 1 depot dan 1 DPPU. Adapun jumlah Tanki yang ada di UP V sebanyak 245 tanki dengan total kapasitas 561.415 Kl; Dot 32.463 Kl dengan daya tahan 17,3 hari. Sarana pelabuhan 14 buah dengan kapasitas 70-1.650 HP; dengan Pelabuhan Khusus tersebar di 17 lokasi; kapasitas 1000-35000 DWT dengan jumlah Dermaga 24 buah dan jetty occupancy 70%. Adapun Call Tanker masing-masing : Surabaya (40); T. Wangi (19); TT.Manggis (23); Benoa/Bali (24) dan Tenau/Kupang (13). Visi dan Misi : Visinya menjadikan Unit Pemasaran V sebagai yang terbesar dan terpandang; dengan misi menguasai pemasaran produk Migas di Jawa Timur, Bali, NTB, NTT dan Timor Lorosae secara efisiesn dan efektif untuk menghasilkan keuntungan yang berkelanjutan serta memenuhi kepuasan pelanggan dan menjadikan para pekerja sebagai manusia karya yang sejahtera. Permasalahan : 1. Munculnya kelangkaan BBM di sejumlah daerah seperti di Kabupaten Bima, Dompu dan Mataram. 2. Pola supply BBM yang tergantung dari luar daerah yaitu Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Plaju dan Situbondo (Jatim) 3. Terbatasnya jumlah SPBU yang dimiliki UP V (SPBU Pertamina Jatim 2, SPBU Swasta Murni 682, SPBU Swasta / cash Bonus 3 dan SPBU Mini 28), sehingga total ada 715. Khusus untuk NTB hanya ada 31 Unit SPBU Swasta Murni dan 1 SPBU Swasta (cash bonus). Rekomendasi: 1. Perlunya penambahan Stok BBM ke daerah NTB, khususny di wilayah kepulauan seperti Sumbawa, Bima dan Dompu. 2. Perlu segera direalisaikan pembangunan terminal transit Tuban dan Pipanisasi Tuban-Surabaya yang berkapasitas 450.000 Kl
16
3. Perlunya pembangunan SPBU Coco, Akusisi SPBU, penyertaan modal di SPBU 4. Pelayanan BBM satu atap di instalasi UP V, khususnya Surabaya Group 5. Perlu terus menerus dilaksanakan pengendalian dan penyempurnaan distribusi Minyak Tanah. c. PT. Pupuk Sriwijaya (PT. PUSRI) PT. Pupuk Sriwijaya (Persero) yang lebih dikenal sebagai PT. Pusri, merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran pupuk. Secara legal PT. Pusri resmi didirikan berdasarkan akte Notaris Eliza Pondaag Nomor 177 tanggal 24 Desember 1959 dan diumumkan dalam lembaran Berita Negara Republik Indonesia Nomor 46 tanggal 7 Juni 1960. PT. Pusri perwakilan NTB melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan Core Businessnya yaitu sebagai Distributor Pupuk dari produsen penanggung jawab Rayon/wilayah (yaitu PT. Pupuk Kaltim dan PT. Petrokimia Gresik), sebagai pengelola jasa pergudangan untuk pemanfaatan aset dan melakukan bisnis non pupuk. Permasalahan: Harga jual produk yang ditetapkan rendah HET yang ditetapkan belum mengakomodasi seluruh biaya yang dikeluarkan, meskipun sudah diberikan subsidi Subsidi yang diberikan kepada industri pupuk perhitungannya berdasarkan pola distribusi satu tangan, sehingga dapat dilakukan cross-subsidi Sulit melakukan pengawasan rembesan penjualan pupuk dari tanaman pangan yang disubsidi ke sektor perkebunan dan industri serta praktek ekspor illegal Sulit mendapatkan izin ekspor meski stok untuk kebutuhan dalam negeri sudah cukup aman Tidak adanya alokasi gas bumi jangka panjang untuk industri pupuk dan petrokimia Rekomendasi : Harga jual harus dapat mengakomodir seluruh biaya pokok produksi, marjin dan biaya distribusi Biaya distribusi harus mengakomodir cakupan wilayah kerja yang berdasarkan rayonisasi HET yang layak minimal 75% dari harga pasar internasional Perlunya Keputusan Presiden tentang kebijakan alokasi jangka panjang dan penetapan harga gas bumi untuk industri pupuk dan petrokimia, sebagaimana dilakukan oleh negara lain seperti Malaysia. Perlunya pengaturan izin ekspor oleh Pusri (Holding), sehingga apabila terjadi kelangkaan pupuk dapat dipertanggungjawabkan oleh Pusat. d. PT. Hutama Karya PT. Hutama Karya merupakan perusahaan yang memiliki bisnis utama di bidang Civil Engineering dan General Contractors yang mencakup konstruksi jalan dan jembatan, bendungan/irigasi, bangunan dan gedung,
17
pelabuhan dermaga dan bisnis EPC, serta produk lainnya. PT. Hutama Karya wilayah V mencakup Bali, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Adapun Visi dan Misinya adalah menjadikan perusahaan jasa konstruksi pilihan utama yang handal dengan kinerja kelas dunia. Misi yang diemban antara lain : berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana melalui jasa konstruksi; mendapatkan kepercayaan dari customer melalui profesionalisme dan memberikan nilai tambah pada shareholder dan stakeholder lainnya. e. PT. Indo Farma PT. Indofarma Global Medika cabang Mataram merupakan perwakilan PT. Indofarma pusat yang ada di wilayah NTB. Bisnis operasi dari perusahaan ini adalah bidang marketing , distribusi obat-obatan dan alat kesehatan, dengan target operasi pasar sektor reguler (Apotek dan Rumah Sakit) dan sektor institusi (government business) seperti RS Pemerintah dan Dinas Kesehatan Propinsi maupun Kabupaten. Jumlah pegawai terdiri atas seorang kepala cabang atau setingkat manager, 4 orang tenaga penjualan, 4 orang tenaga administrasi, 1 orang tenaga gudang dan satpam/office boy yang direkrut by out sourching. Adapun visi, misi dan strategi planning adalah sebagai berikut: Strategi pertumbuhan pada semua unit bisnis untuk memperoleh pendapatan dan profitabilitas Strategi peningkatan produktivitas di semua unit bisnis-operastional excellence Pengembangan dan peningkatan portfolio bisnis melalui aliansi strategic, dengan pedagang farmasi dan alat kesehatan lainnya. Implementasi Strategi Eksekusi dilaksanakan secara fokus di seluruh unit Inisiatif strategic dilaksanakan dengan tiga cara yaitu Cost leadership; customer intimacy; dan focus dengan orientasi cost leadership. f. PT. Pelindo III dan PT. ASDP Lembar (NTB) Pelabuhan Laut Lembar merupakan pengalihan dari pelabuhan Ampenan berdasarkan Kep. Menhub RI No. Km 12/LL.305/PHB-1979 tertanggal 13 Oktober 1979. Pelabuhan Lembar merupakan Pelabuhan Laut Umum yang diusahakan PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) cabang Lembar, NTB. Kondisi alam pelabuhan Lembar dikelilingi bukit-bukit landai; terdapat muara kali Bakong dengan endapan lumpur/pasir sedimentasi ratarata 0,05 m3/tahun. Alur masuk kolam pelabuhan relatif sempit karena lebar maksimal 100 meter dan minimal 60 meter dengan panjang alur 1.490 meter dan kedalaman maksimal 13 meter dan minimal 6 meter. Adapun Visi dan Misi yang diemban adalah : menjadikan Pelabuhan Lembar sebagai pelabuhan pengumpan lokal yang mampu mengantisipasi perkembangan arus barang dari dan ke daerah setempat, dengan misi yang diemban oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia III Cabang Lembar pada dasarnya tetap merupakan kombinasi dari misi pelabuhan (port mission) dan misi unit usaha (corporate mission). Permasalahan: Alur yang sempit dan dangkal
18
Padatnya lalu lintas kapal Kurang tersedianya lokasi untuk berlabuh Penyelesaian DLKR/DLKP PT. ASDP (Persero) sampai saat ini belum terlaksana yang mengakibatkan biaya sewa tanah dan perairan tahun 2004 s/d sekarang belum dibayar.
PT. ASDP mempunyai visi menjadi operator jasa penyeberangan dan pelayaran yang tangguh dan mampu memberikan nilai tambah bagi stakeholder. Adapun misinya antara lain : meningkatkan daya saing melalui inovasi produk dan pelayaran untuk dapat menyediakan jasa yang berkualitas dan kompetitif; mengelola portfolio bisnis dengan pola managemen modern, tenaga profesional untuk memaksimalkan nilai tambah bagi stakeholder secara berimbang dan memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional melalui penugasan pemerintah di bidang jasa penyeberangan. g.
PT. Angkasa Pura I, Selaparang, Mataram, NTB Pengantar PT. Angkasa Pura I (Persero) Bandara Selaparang, NTB mulai dibangun pada tahun 1956 dan selesai tahun 1957 dengan panjang landasan 1.200 m x 30 m, Apron : 100 m x 40 m. Tahun 1959 diresmikan oleh Presiden Ir Soekarno dengan nama Pelabuhan Udara Rembiga dengan pesawat yang mendarat pada waktu itu Jenis Illuyusin. Tahun 1994 status Bandara Selaparang ditetapkan sebagai Bandara Internasional dengan SK Menhub No. KM 61/1994 tanggal 30 Oktober 1994. Sampai saat ini Bandara Selaparang mampu melayani 8 maskapai penerbangan dengan jenis pesawat antara lain : A.319, B. 734/3/2, MD 82, dan type-type kecil lainnya. Visi , Misi dan Strategic Planning Visinya menjadikan Cabang Bandara Udara Internasional Selaparang sebagai pintu gerbang pariwisata di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Misi : Menyelenggarakan jasa kebandarudaraan secara profesional dengan mengutamakan keamanan dan keselamatan penerbangan Memberikan pelayanan pengguna jasa bandar udara dengan mewujudkan bandara taman (Green Airport) yang bersih, rapi, indah dan nyaman untuk tercapainya kepuasan pelanggan. Memberdayakan seluruh aset perusahaan secara efektif dan efisien sehingga mampu memupuk keuntungan untuk pertumbuhan perusahaan. Strategic Planning : menjamin pertumbuhan yang stabil dan berkesinambungan, mengupayakan kenaikan pendapatan operasional bandara lebih tinggi dibanding biaya operasional. Strategic Marketing : a. Product : memasarkan produk di area bandara yang mempunyai kualitas baik dan sesuai dengan produk yang dibutuhkan oleh pengguna jasa bandara. b. Price : menetapkan tarif yang ada di Bandara berdasarkan harga pasar dengan mengacu pada mapping bisnis dimana bandara berlokasi serta harus flexible.
19
c. Promotion: bandara harus aktif melakukan promosi baik dalam bidang harga, jenis jasa serta kualitas jasa yang ditawarkan di bandara, baik promosi tunggal maupun bersama dengan pihak terkait (airline, konsesioner) pada pameran pembangunan. Komisi VI – DPR RI
20