HUKUM & ETIKA PENYIARAN Modul ke:
07
Hukum Pers dan Delik Penyiaran
Fakultas
Ilmu Komunikasi
Program Studi
Broadcasting
Dr (C) Afdal Makkuraga Putra
Undang-undang Penyiaran Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya DPR dan pemerintah menyetujui RUU Penyiaran menjadi Undang-undang. UU yang disahkan menjadi UU No. 32 tahun 2002 mengganti UU No 24/1997. Ada sejumlah kemajuan yang patut dicatat dari UU yang baru ini, antara lain dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Izin Siaran. Sebelumnya, UU no. 24/197 perizinan mutlak melalui Deppen, sedangkan UU yang baru ini melalui KPI.
Tercatat ada sepuluh ketentuan yang akan dibuat KPI dan harus menyertakan pemerintah NO
Pasal
Masalah
1
14 ayat 10
Lembaga Penyiaran Publik
2
18 ayat 3
Cakupan wilayah siaran
3
18 ayat 4
Pembatasan dan Penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta
4
29 ayat 2
Tata cara dan persyaratan izin Lembaga Penyiaran Berlangganan
5
31 ayat 4
Sistem stasiun berjaringan
6
33 ayat 8
Ketentua tentang tata cara persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran
7
30 ayat 3
Pedoman Kegiatan Peliputa lembaga penyiaran asing
8
32 ayat 8
Rencana dasar teknik penyiran dan persyaratan teknis perangkat penyiaraan
9
55 ayat 3
Sanksi adminsitratif
10
60 ayat 3
Kentetuan peralihan
Televisi Lokal dan Televisi Jaringan Hasil lain yang dinilai positif adalah ditiadakannya lembaga penyiaran yang jangkauannya bersifat nasional kecuali TVRI dan RRI. Dengan ketentuan ini nantinya lembaga penyiaran akan bersifat lokal. Lihat pasal 6 ayat 3, pasal 31 ayat 1 dan 2 ”Dalam sistem penyiaran nasional terdpat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan denan membentuk sistem jaringan dan stasiun lokal” Dan pasal 31 ayat 1 ”Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal” Pasal 31 ayat 2 ”Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Republik Indonesia”
Kontroversi Baru Walaupun secara umum UU ini dinilai mengalami kemajuan, tetapi ternyata melahirkan juga kontroversi baru antara lain munculnya bab tentang penyidikan dan larangan relay siaran dari lembaga penyiaran asing. Tentu ini mengagetkan! Banyak kalangan menilai kedua ketentuan ini tidak sesuai dengan semangat kemerdekaan pers dan antidemokrasi.
Tentang penyidikan dalam UU terdapat di Bab IX pasal 56 yang menyatakan bahwa “Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (P3NS) tertentu yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang penyiaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana di bidang penyiaran”.
Iklan Niaga Iklan bagi televisi swasta merupakan hal terpenting dari industri ini, dari iklanlah televisi menggantungkan kelangsungan ‘hidupnya’. Dalam UU Penyiaran iklan dibagi menjadi dua jenis yaitu iklan siaran niaga dan iklan layanan masyarakat. Selain itu UU ini juga mengatur waktu siaran niaga dengan ketentuan bagi Lembaga Penyiaran Swasta iklan niaga dibatasi sebayakbanyaknya 20%, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik (TVRI dan RRI) sebanyakbanyaknya 15%. Ketentuan ini dinilai tidak adil. Alasannya, selain dari iklan, TVRI dan RRI juga memperoleh dana dari dua sumber lainnya, yaitu subsidi dana dari negara melalui APBN, dan iuran dari masyarakat. Ketentuan ini pasti akan menghambat pengembangan lembaga siaran swasta yang sangat bergantung kepada iklan. Dilain sisi TVRI dan RRI diperbolehkan siaran nasional tentu bagi pemasang iklan akan lebih memilih beriklan di TVRI atau RRI yang jangkauannya nasional dari pada beriklan di televisi swasta yang jangkauan siarannya terbatas.
Perlindungan Publik Frekuensi adalah sumber daya terbatas oleh karenanya harus digunakan seefektif mungkin untuk kepentingan masyarakat. Pengunaanya harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekpresi atau mengeluarkan pendapat. Di sisi lain masyarakat sebagai penerima informasi harus juga terlindungi dari dampak buruk materi siaran yang disajikan. Apalagi, media penyiaran dianggap sebagai media yang memiliki potensi pengaruh sangat besar bagi kehidupan masyarakat,
mengingat coraknya yang menggabungkan kekuatan pandang dan dengar, sementara masyarakat yang menerima siaran sangat luas dengan latar belakang sangat beragam. Dengan demikian perlu ada jaminan khusus bahwa media TV —yang sedemikian besar pengaruhnya itu— tidak mengancam kehidupan masyarakat. Ini bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Di banyak negara aturan mengenai perlindungan terhadap masyarakat akan dampak media khususnya penyiaran dibuat lebih ketat dibanding aturan mengenai media informasi yang lainnya.
Sanksi-sanksi Dalam UU Penyiaran Dalam UU ini terdapat dua sanksi yakni; saksi administratif dan pidana. Sesuai dengan ketentuan pasal 55 ayat (2), sanksi administratif berupa: 1. Teguran Tertulis 2. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu 3. Pembatasan durasi dan waktu siaran 4. Denda administratif 5. . Pembentukan kegiatan siaran untuk waktu tertentu 6. Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran
Sanksi Pidana Sanksi Pidana dalam UU Penyiaran ini diatur dalam pasal 57, 58 dan 59. Pasal 57 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang: a) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3); b) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2); c) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); d) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5); e) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).
Daftar Pustaka 1.
Stephen W. Littlejhon & Karen A.Fross, Teori Komunikasi. Salemba Komunika: Jakarta, 2010 2. West, Richard & Lynn Turner, Pengantar Teori Komunikasi Salemba Komunika: Jakarta, 2009. 3. Black, James & Dean Champion, 1992 Metode dan Masalah Penelitian Sosial . (terjemahan), Bandung : Eresco 4. Denzin, Norman & Yvonna. Lincoln, 2005, The Sage Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publication 5. Moleong, Lexy J. 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya 6. Ritzer, George & Douglas J.Goodman, 2003, Teori Sosiologi Modern (terjemahan) Jakarta: Kencana Prenada: 7. Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Kanisius: Yogyakarta, 2007. 8. Suseno, Frans Magnis. Etika Dasar Kanisius: Yogyakarta, 1989. 9. McQuail, Dennis, Mass Communication Theori, Sage Publication, 2005 10. Luwarso, Lukas, Delik Pers: Dalam Hukum Pidana. Dewan Pers dan LIN, 2002
Terima Kasih Afdal Makkuraga Putra