TUGAS ETIKA DAN HUKUM KEPERAWATAN
OLEH KELOMPOK II.B 1. ANDI BATAVIA 2. SILVIA SUKMA DEWI 3. SARI ANGRENI 4. REZKI RAHAYU 5. DEDI BRINER 6. MELDA KARTIKA 7. WATI ASTA 8. RAHMI SARI GUMILAN 9. SILVI EKA PUTRI 10. ELVI SYUKRIAH 11. Z.P ELZA SRI PRATIWI 12. SYARIFAH HUSNI 13. EGGIA DESWARI
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG TAHUN 2011 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang serta meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh pula terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan. Hal ini merupakan tantangan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan profesionalisme selama memberi pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi
memerlukan
landasan
komitmen yang kuat dengan basis pada etik dan moral yang tinggi. Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon
situasi yang muncul. Oleh karena itu
pemahaman
yang
mendalam tentang etik dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan dimana nilainilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan dihormati. Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien. Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan. Secara umum 2
terhadap dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hokum dan yang kedua adalah untuk melindungi perawat dari liabilitas.
1.2 Tujuan 1.2.1
Tujuan Umum Untuk
menggambarkan
konsep
etika
dan
hukum
dalam
keperawatan serta langkah penyelesaian dalam pengambilan keputusan etik. 1.2.2
Tujuan Khusus
1.2.2.1
Mampu memahami tentang pengertian etika keperawatan
1.2.2.2
Mampu memahami tentang tujuan etika keperawatan
1.2.2.3
Mampu memahami kode etik dalam keperawatan
1.2.2.4
Mampu memahami fungsi hukum dalam keperawatan
3
BAB II PEMBAHASAN
A. KASUS Anak A umur 8 tahun, didiagnosa leukemia sejak berumur 2 tahun, selama ini keluarga bolak-balik ke RS untuk melakukan transfusi darah tiap 2 minggu sekali. Dokter pernah mengatakan bahwa selah satu terapinya bisa dengan transplantasi sumsum tulang dari pihak keluarga, sehingga saat itu ibuk ingin hamil lagi dan lahir anak B saat ini sudah berumur 5 tahun. Keluarga meinginginkan dokter melakukan tindakan pengambilan sumsum tulang anak B.
B. HAK DAN KEWAJIBAN MASING-MASING PIHAK
1. ANAK.A Hak untuk mendapatkan pengobatan seoptimal mungkin Hak untuk hidup sehat Hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal (UU KES NO 23 TAHUN 1992) Hak untuk mendapatkan informasi
2. ANAK.B Berhak mendapatkan perlindungan terhadap kondisi kesehatannya Berhak mendapatkan perlindungan fisik maupun mental sesuai perkembangannya Anak berhak untuk dihargai bagaimanapun keberadaannya secara fisik maupun mental Berhak berkomunikasi dan mengkemukakan pendapat atau alasan yang benar sesuai dengan kemampuan dan usianaya Hak mendapatkan informasi 4
Hak mendapatkan perlindungan dan pengawasan kondisi kesehatan lebih lanjut dikemudian hari
3. ORANG TUA Kewajiban orang tua Memberikan informasi Melaksanakan nasehat dokter atau tenaga kesehatan Memberikan imbalan jasa atau biaya pengobatan Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungan dengan dokter atau tenaga kesehatan Hak orang tua Hak mendapat informasi yang jelas tentang penyakit anaknya dati dokter Hak mendapatkana penjelasan tentang pengobatan yang tepat untuk anaknya. Hak untuk menolak pengobatan yang akan dialakukan terhadap anaknya Hak untuk mendapatkan prosedur tindakan yang tepet untuk anaknya Hak mendapatkan penjelasan tentang efek kesehatan atau resiko yang timbul terhadap anaknya
4. DOKTER Hak Dokter Berhak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujurnya dari pasien yang akan digunakan bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik Hak atas imbalan jasa terhadap pelayanan yang akan diberikan kepada pasien Hak ittikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan terapuetik Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan Hak memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien atau keluarganya 5
Kewajiabn dokter Wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuana yang ia miliki secara adekuat Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri sesuai dengan yang telah ditetapkan apabila paisen atau keluarga menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya Wajib memberikan informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu yang berhubungan penyakit atau penderitaannya.
C. PIHAK YANG BERTANGGUNG JAWAB a.
Keluarga
Orang tua dalam hal ini bertanggung jawab dari segi pengambilan keputusan dan dampak dari keputusan yang diambil karena anak A dan anak B masih dibawah umur dan belum bisa mengerti, memahami, mengenal tentang prosedur tindakan, dan orang tua memiliki tanggung jawab sepenuhnya dalam memberikan keputusan yang terbaik bagi kedua anaknya. Dalam tindakan infasif harus ada inform consent, dan dalam hal ini orangtua bertanggung jawab menandatangani inform consent tersebut. Berarti orang tua bertanggung jawab terhadap segala resiko akibat tindakan infasif transplantasi sumsum tulang.
D. PERAN DARI MASING-MASING PIHAK BERDASARKAN ETIK DAN HUKUM Dokter Dokter sebagai fasilitator pemberi informasi yang lengakap kepada pasien tentang penyakit, tindakan, prosedur dan konsekuensi terhadap tindakan medis tersebut pada keluarga anak.A dan anak.B. Dokter sebagai pelaksana tindakan melakukana tindakan sesuai prosedur dan ketetapan dan mungkin. 6
berusaha seoptimal
Keluarga
Sebagai pemelihara dan pengupaya dalam memenuhi perawatan
kesehatan
anaknya
dengan
cara
mencari
pengobatan yang terbaik
E. SOLUSI Transplantasi organ di indonesia sesuai dengan UU No 23 Thn 1992 Pasal 33 boleh dilakukan.dalam hal ini dokter terlebih dahulu bertanggungjawab dalam pemberian informasi serinci-rincinya kepada keluarga tentang tindakan transplantasi organ ini, prosedurnya, tingkat keberhasilan dan resiko yang akan mungkin diterima An. B maka jika keluarga tetap bersedia maka Tim kesehatan akan siap melakukan transplantasi organ disertai dengan inform consent dari keluarga. Dari kasus diatas solusi yang dapat diambil yaitu tetap melakukan transplantasi sum-sum tulang terhadap anak.A dengan catatan tetap dilakukan pengawasan yang ketat sebelum dan sesudah tindakan.
F. ASPEK YANG HARUS DIPERHATIKAN
1. Unsur Kelalaian Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
7
Dalam skenario diatas tidak terdapat unsur kelaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam tindakan transplantasi organ, karena tindakan tersebut belum dilakukan.
2. Unsur Malpraktek Malpraktek yang dapat terjadi dalam upaya medis transplantasi organ tubuh yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah kesalahan dalam menjalankan praktek yang dilaksanakan dengan sengaja yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan pelanggaran terhadap PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Menurut pendapat Fred Ameln yang terdapat dalam buku Hukum Kesehatan, ada 3 pokok penting untuk menimbang apakah seorang dokter itu melakukan malpraktek atau tidak melakukan malpraktek yaitu: 1. Ada tindakan faktor kelalaian; 2. Apakah praktek dokter yang dimasalahkan sesuai dengan standar profesi medis; 3. Apakah akibat yang ditimbulkan terhadap korban fatal. Malpraktek yang dapat terjadi dalam upaya medis transplantasi organ tubuh yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah kesalahan dalam menjalankan praktek yang dilaksanakan dengan sengaja yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan pelanggaran terhadap PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Agar upaya medis transplantasi organ tubuh dapat berjalan dengan baik, terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh. Tahapan yang berlaku secara klinis meliputi: 8
a. Tahapan pra transplantasi, yaitu pemeriksaan donor dan resipien. Donor sebagai pihak pemberi organ diperiksa terlebih dahulu, kemudian resipien sebagai penerima organ. Upaya medis transplantasi organ tubuh lebih mudah dilakukan apabila donor dan resipien mempunyai hubungan semenda (ada pertalian darah). b. Tahap pelaksanaan transplantasi yang dilakukan oleh tim medis. c. Tahap pasca transplantasi, yaitu tahapan pemeriksaan lebih lanjut setelah transplantasi untuk mencegah terjadinya rejeksi (penolakan tubuh) dengan melakukan pemberian obat dan kontrol.
Untuk skenario dua belum terdapat unsul malpraktek yang dilakukan tenaga kesehatan. Dokter dan perawat bekerja dalam tahap pra transplantasi organ sudah bvekerja dengan standar etik profesional kerja mereka, yaitu memberikan informasi untuk tindakan yang diambil.
3. Aturan UU dalam Transplantasi Organ Terdapat peraturan perundang-undangan di Indonesia yang membahas mengenai legalitas dari transplantasi organ, seperti UU No 23/1992 tentang kesehatan dan PP No. 18/1981 mengenai bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi organ, Pasal UU No 23/1992 mengenai transplantasi sebagai sarana pengobatan, Pasal 33 ayat 2 UU No. 23/1992 transplantasi untuk tujuan kemanusiaan, pasal 34 ayat 1 Uu No. 23/1992 transplantasi yang hanya boleh dilakukan tenaga kesehatan, Pasal 11 ayat 1 PP 18/1981 mengenai tenaga dokter untuk transplantasi, pasal 15 ayat 1 PP18/1981 persetujuan dari donor dan ahli waris, pasal 16 PP 18/1981 mengenai donor dilarang menerima imbalan material dalam bentuk apapun dan lain lain. Dengan peraturan perundangan ini maka diharapkan bahwa tidak ada penyalahgunaan organ dalam praktek transplantasi organ dalam masyarakat Indonesia, yang bisa merugikan kedua belah pihak baik itu pendonor maupan sang penerima donor. Mengenai Transplantasi Organ 9
Pasal 64 1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. 2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. 3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Hal ini berarti tidak boleh dilakukan suatu pegambilan organ tubuh tanpa adanya izin yang jelas/nyata yang diberikan oleh donor. Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 1981, persetujuan pasien dalam upaya medis transplantasi organ tubuh, persetujuan yang diberikan oleh seorang donor jenazah adalah ketika ia masih hidup baik dengan maupun tanpa sepengetahuan keluarga terdekatnya atau adanya persetujuan dari 3 keluarga terdekatnya jika selama hidupnya donor tidak pernah membuat persetujuan, menjadi suatu hal yang penting karena meskipun tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi, namun dalam hal ini kita masih harus tetap menghormati hak integritas dari donor yang telah mati atas jasad yang ditinggalkan.
4. Perlu ditaati Aturan yang telah ditetapkan pemerintah perlu untuk kita taati, karena berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 1981 persetujuan pasien dalam upaya medis transplantasi organ tubuh. Tenaga kesehatan yang bekerja dalam Tim kesehatan harus bekerja menurut peraturan hukum dan kode etik profesional masing-masing. Sebaliknya, transplantasi organ tidak boleh dilakukan bila tidak ada izin atau ketersedian dari pendonor. Berkenaan dengan hal persetujuan pasien, dalam hukum pidana persetujuan bukan merupakan dasar bagi adanya pengecualian terjadinya suatu peristiwa pidana, namun jika ketentuan ini kita 10
hubungkan dengan Pasal 89 KUH Pidana yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Jika seorang dokter yang melakukan pembedahan (misalnya) terhadap pasien tanpa adanya persetujuan dari pihak pasien, maka dokter tersebut dapat dituduh telah melakukan kekerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHP pidana tersebut diatas. Seperti yang dikatakan oleh Simons, bahwa persetujuan untuk mengadakan operasi dengan tujuan pemulihan kesehatan akan meniadakan sifat pidana dari perbuatan tersebut. 5. Tindakan Profesional Secara umum, profesi merupakan pekerjaan yang memiliki pengetahuan khusus, melaksanakan peranan bermutu, melaksanakan cara yang disepakati, merupakan ideologi, terikat pada kesetiaan yang diyakini dan melalui pendidikan perguruan tinggi. Profesi sebagai suatu pekerjaan dalam melaksanakan tugasnya memerlukan tehnik dan prosedur, dedikasi, serta peluang lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan, memiliki kode etik yang mengarah pada orang atau subyek. ( Atik Purwandari; 2008) Profesi dapat pula diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Keahlian tadi diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu ( pendidikan/ latihan prajabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi ( Inservice training) ( Djam’an Satori,dkk ; 2008 ; 1,5) Pengertian profesional menunjuk pada dua hal, yaitu orang yang menyandang suatu profesi dan penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah professional dikontraskan dengan “nonprofessional” atau “amatiran”. Dalam kegiatan sehari-hari seorang profesional melakukan pekerjaann sesuai dengan
ilmu
yang
telah
dimilikinya,
jadi
tidak
asal
tahu
saja.
Selanjutnya, Walter Johnson (1956) mengartikan petugas professional sebagai “….seseorang yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunyai tingkat kesulitan lebih dari biasa dan mempersyaratkan waktu persiapan dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian kemampuan, 11
keterampilan dan pengetahuan yang berkadar tinggi “ ( Djam’an Satori,dkk ; 2008 ) Profesional juga dapat diartikan sebagai memberi pelayanan sesuai dengan ilmu yang dimiliki dan manusiawi secara utuh/penuh tanpa mementingkan kepentingan pribadi melainkan mementingkan kepentingan klien serta menghargai klien sebagaimana mengahargai diri sendiri. Seorang anggota profesi dalam melakukan pekerjaannya haruslah professional. Setiap anggota profesi baik secara sendiri- sendiri atau dengan cara bersama melalui wadah organisasi profesi dapat belajar, yaitu belajar untuk mendalami pekerjaan yang sedang disandangnya dan belajar dari masyarakat apa yang menjadi kebutuhan mereka saat ini dan saat yang akan datang sehingga pelayanan kepada pemakai (klien) akan semakin meningkat. Ciri-ciri atau tanda-tanda profesionalisme keperawatan (Miller):
Peningkatan dasar pengetahuan yang diberikan pada tingkat universitas dan orientasi pengetahuan pada tingkat pascasarjana dan doktor (graduate level) keperawatan.
Perwujudan kompetensi yang berasal dari dasar teori penegakan diagnosa dan penanganan respon manusia terhadap masalah kesehatan baik aktual atau potential (ANA, 1980).
Spesialisasi ketrampilan dan kompetensi yang membatasi keahlian (Miller, 1985).
Secara umum tenaga profesional sering diidentifikasi sebagai:
o seorang yang serius terhadap perkerjaannya, o berpenampilan sangat baik, dan mendemonstrasikan etik dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya (Ellis dan Hartley, 1980)
12
Registered nurse berarti seseorang yang melakukan praktik keperawatan profesional dengan: 1. Mengkaji status kesehatan individu dan kelompok 2. Menegakkan diagnosa keperawatan 3. Menentukan tujuan untuk memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan 4. Membuat rencana strategi perawatan 5. Menyusun intervensi keperawatan untuk mengimplementasikan strategi perawatan 6. Memberi kewenangan intervensi keperawatan yang dapat dilaksanakan orang lain, dan tidak bertentangan dengan undang-undang 7. Mempertahankan perawatan yang aman dan efektif baik langsung maupun tidak langsung 8. Melakukan evaluasi respon terhadap intervensi 9. Mengajarkan teori dan praktik keperawatan 10. Mengelola praktik keperawatan dan 11. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam mengelola perawatan kesehatan Secara umum tenaga profesional sering diidentifikasi sebagai: seorang yang serius terhadap perkerjaannya, berpenampilan sangat baik, dan mendemonstrasikan etik dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya (Ellis dan Hartley, 1980). Selain itu Para perawat percaya bahwa tenaga profesional dalam bekerja tidak terlepas dari empat esensi profesionalisme yaitu: –
Kompetensi,
–
Standar etik yang tinggi,
–
Pengetahuan yang memadai dan
–
Welas asih (kasih sayang)
13
6. Peran Etik Etik mempunyai arti dalam penggunaan umum. Pertama, etik mengacu pada metode penyel Etik atau ethics berasal dari kata yunani, yaitu etos yang artinya adat, kebiasaaan, perilaku, atau karakter. Sedangkan menurut kamus webster, etik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Dari pengertian di atas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu : baik dan buruk serta kewajiban dan tanggung jawab (Ismani,2001). Etika berbagai profesi digariskan dalam kode etik yang bersumber dari martabat dan hak manusia (yang memiliki sikap menerima) dan kepercayaan dari
profesi.
Moral, istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti adat dan kebiasaan. Pengertian moral adalah perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang merupakan “standar perilaku” dan nilai-nilai” yang harus diperhatikan bila seseorang menjadi anggota masyarakat di mana ia tinggal. Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya.dari segi etik kedokteran tindakan
ini
wajib
dilakukan
jika
ada
indikasi,berlandaskan
dalam
KODEKI,yaitu: 1. Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. 2. Pasal 10 Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani. 3. Pasal 11 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. 14
Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981,pada hakekatnya telah mencakup aspek etik,mengenai larangan memperjual belikan alat atu jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi atau meminta kompensasi material. Yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang akan diambil organnya,yang dilakukan oleh (2) orang doteryang tidak ada sangkt paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi,ini erat kaitannya dengan keberhasilan transplantasi,karena bertambah segar organ tersebut bertambah baik hasilnya.tetapi jangan sampai terjadi penyimpangan karena pasien yang akan diambil organnya harus benarbenar meninggal
dan
penentuan saat
meninggal
dilakukan dengan
pemeriksaan elektroensefalografi dan dinyatakan meninggal jika terdapat kematian batang otak dan sudah pasti tidak terjadi pernafasan dan denyut jantung secara spontan.pemeriksaan dilakukan oleh para dokter lain bukan dokter transplantasi agar hasilnya lebih objektif. Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal.
G. Peran Hukum
Dari segi hukum ,transplantasi organ,jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu hal yang mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia,walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pdana yaitu tindak pidana penganiayaan.tetapi mendapat pengecualian hukuman,maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana,dan dapat dibenarkan. Dalam PP No.18 tahun 1981 tentana bedah mayat klinis, beda mayat anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia tercantum pasal
15
tentang
transplantasi
sebagai
berikut:
1. Pasal 1. c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh yang dibentuk oleh beberapa
jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu
untuk tubuh tersebut. d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal (fungsi)yang sama dan tertentu. e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi dengan baik. f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan. g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak,pernafasan,dan atau denyut jantung seseorang
telah
berhenti.
Ayat yg mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,maka IDI dalam seminar nasionalnya mencetuskan fatwa tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang dikatakan mati bila fungsi spontan pernafasan da jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible,atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
2. Pasal 10. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilaukan dengan memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita meninggal dunia.
3. Pasal 11 1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
ditunjuk oleh mentri kesehatan.
2.Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan 16
4. Pasal 12 Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tudak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.
5. Pasal 13 Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan 2(dua) orang saksi.
6. Pasal 14 Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan keluarga terdekat. 7. Pasal 15 1.Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup,calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya,termasuk dokter konsultan mengenai operasi,akibat-akibatya,dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. 2.Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar ,bahwa calon donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
8. Pasal 16 Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak dalam kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
9. Pasal 17 Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
10. Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri.
17
Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan beberapa Pasal tentang transplantasi sebagai berikut: 1.Pasal 33 1.Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi. 2.Transplantasi organ dan jaringan serta transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan kemanusiaan yang dilarang
untuk
tujjuan
komersial
2.Pasal 34 1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan disaran kesehatan tertentu. 2.Pengambilan organ dan jaringan tubuh
dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya. 3.Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
H. ASPEK ETIK TRANSPLANTASI
1. MALPRAKTEK Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad 18
tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi
teraputik
antara
tenagakesehatan
dengan
pasien
adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis). Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam
hal
tenaga
kesehatan
didakwa
telah
melakukan ciminal
malpractice,harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni : a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang
tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. 19
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni : 1. Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni : a.
Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga
perawatan haruslah bertindak berdasarkan (1)
Adanya
(2)
Bertindak
(3)
indikasi secara
Bekerja
medis
hati-hati
sesuai
dan
teliti
standar
profesi
(4) Sudah ada informed consent. b.
Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika
seorang
tenaga
perawatan
melakukan
asuhan
keperawatan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan. c.
Direct Causation (penyebab langsung)
d.
Damage (kerugian) Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan
kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien). 2. Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, sebagai
yakni hasil
dengan
mengajukan
layanan
perawatan
fakta-fakta
yang
(doktrin
res
diderita ipsa
olehnya loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria: 20
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.
gugatan pasien . Upaya 1.
Upaya
pencegahan pencegahan
malpraktek
malpraktek
dalam
pelayanan
: kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak
hati-hati,
yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil
(resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. c. Mencatat
semua
tindakan
yang
dilakukan
dalam
rekam
medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan. Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan : 1.
Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of 21
treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. 2.
Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan
adanya
rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan
yang
harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan. Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya dari waktu ke waktu semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan "genus" dari kelompok perilaku profesional medis yang "menyimpang" dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya. 22
Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai "professional misconduct or unreasonable lack of skill" atau "failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them".("Profesional kesalahan atau kurangnya keterampilan yang tidak masuk akal" kegagalan atau "satu memberikan jasa profesional untuk latihan yang tingkat keahlian dan pembelajaran umum diterapkan dalam semua keadaan di masyarakat dengan rata-rata anggota terkemuka bijaksana profesi dengan hasil cedera, kehilangan atau kerusakan pada penerima layanan tersebut atau untuk mereka yang berhak bergantung pada mereka "). Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: "medical malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient."( "Malpraktik medis meliputi kegagalan dokter agar sesuai dengan standar perawatan untuk pengobatan kondisi pasien, atau kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan perawatan kepada pasien, yang merupakan penyebab langsung dari cedera pada pasien.") Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti padamisconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, "penahanan" pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia
kedokteran,
aborsi
ilegal, 23
euthanasia,
penyerangan
seksual,
misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.
Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja
mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi). Kelalaian
dapat
terjadi
dalam
3
bentuk,
yaitu malfeasance,
misfeasancedan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasanceadalah
tidak
melakukan
tindakan
medis
yang
merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum - khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanyalatent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1). Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian
yang dilakukan
orang-per-orang bukanlah
merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
24
III. PENUTUP Kesimpulan Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang
serta meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh pula terhadap
meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan. Hal ini merupakan tantangan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan profesionalisme selama memberi pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan komitmen yang kuat dengan basis pada etik dan moral yang tinggi.
Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon
situasi yang muncul. Oleh karena itu
pemahaman
yang
mendalam tentang etik dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan dimana nilainilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan dihormati.
Saran Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang etik dan hukum keperawatan.
25