Jurnal Penelitian Psikologi 2013, Vol. 04, No. 01, 61-69
HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN ENTREPRENEURALAL INTENTION SISWA Lucky Abrorry, Didik Sukamto Program Studi Psikologi Fakultas Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya
Abstract: This research is aimed to know whether there is a correlation between psychological capital and entrepreneur intention at the student at SMK YPM 3 Sepanjang Taman Sidoarjo, and how extend the correlation between the two variable are. This was quantitative research using product moment correlation method. The subject was the students at SMK YPM 3 Sepanjang Taman Sidoarjo. The population was the third grade of SMK in the program of business and management. It consisted of 294 students who occupied 6 classes. The sampel was 96 students that occupied 2 classes. Sampling technique used was cluster sampling. The result of the research was the significance of 0,00< 0,05. This means the hypothesis which state that there is no correlation between psychological capital and entrepreneur intentionis was rejected. So, there was a correlation between two variables. Besides, the correlation coeficient was 0,016, that means there was a positive correlation between the two variables. It means the higher the psychological capital of student, the higher student’s enterpreneur intention. Vice versa. Keywords: psychological capital, entrepreneur intention. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan psychological capital dengan entrepreneur intention pada siswa SMK YPM 3 Sepanjang Taman Sidoarjo, dan seberapa besar hubungan antara kedua variable tersebut. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode analisis korelasi product moment. Subyek dalam penelitian ini adalah SMK YPM 3 Sepanjang Taman Sidoarjo, dengan populasi kelas XII jurusan bisbis dan menejemen dengan yang terdiri 6 ruang 294 siswa. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah 2 ruang dari keenam ruang tersebut yang berjumlah 96 siswa. Teknik sampling yang digunakan adalah menggunakan cluster sampling.Hasil penelitian diperoleh signifikansi 0,00 < 0,05. Hal ini berarti hipotesis yang mengatakan tidak ada hubungan Psychological capital dengan entrepreneur intention ditolak, artinya terdapat hubungan Psychological capital dengan entrepreneur intention. Selain itu terdapat koefesien korelasi sebesar 0,616 yang berarti ada hubungan yang positif antara Psychological capital dengan entrepreneur intention, artinya semakin tinggi Psychological capital siswa akan diikuti pula tingginya entrepreneur intention siswa begitu juga sebaliknya. Kata kunci: psychological capital, entrepreneur intention.
Sejatinya Entrepreneuralship bukan sekedar bakat, tetapi bisa dimiliki siapa saja yang mempunyai kemauan yang kuat. Indonesia membutuhkan orang yang berani dalam membuat usaha, orang yang mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan orang yang tidak takut gagal. Faktor modal menjadi faktor ke 61
62
Lucky Abrorry, Didik Sukamto
sekian. Terbukti telah banyak program pemerintah yang memfasilitasi modal usaha akan tetapi kurang maksimal dengan berbagai alasan. Misalkan: koperasi, KUR (kredit usaha rakyat), PMW (program mahasiswa wirausaha). Setidaknya dalam sektor pendidikan yang relatif kompetitif akan menumbuhkan manusia yang mempunyai intensi wirausaha yang tinggi, sehingga diperlukan adanya pemahaman tentang bagaimana mengembangkan dan mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha muda yang potensial, menjadi manusia yang bisa mengembangkan diri sendiri dan mengembangkan sekitarnya. Intensi berwirausaha (entrepreneuralial intentions) menurut Katz dan Gartner (dalam Indarti & Rostiani, 2008) yaitu proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha. Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki keyakinan diri (efikasi diri), kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha. Betapa pentingnya faktor psikologis dalam menunjang niat dan minat yang kuat dalam berwirausaha. Psychological Capital Psychological capital merupakan pendekatan untuk mengoptimalkan potensi psikologis yang dimiliki oleh individu yang dicirikan oleh : (1) adanya kepercayaan diri (self confidence) melakukan tindakan yang perlu untuk mencapai sukses dalam tugas-tugas yang menantang; (2) atribusi yang positif (optimism); (3) resistensi dalam mencapai tujuan, dengan kemampuan mendefinisikan kembali jalur untuk mencapai tujuan, dengan kemampuan mendivinisikan kembali jalur untuk mencapi tujuan jika diperlukan (hope); dan (4) ketika menghadapi masalah dan kesulitan, mampu bertahan dan terus maju (resiliency) untuk mencapai kesuksesan (Luthan, youssef & Avolio, 2007). Dengan demikian Psycological capital adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensi-dimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja organisasi (Osigweh: 1980). Dimensi-dimensi tersebut adalah self-efficacy, hope, optimism, dan resiliency. Self-efficacy atau kepercayaan diri (Self-efficacy), didefinisikan Albert Bandura (1997) sebagai keyakinan atau rasa percaya diri seseorang tentang kemampuannya untuk mengerahkan motivasinya, kemampuan kognitifnya, serta tindakan yang diperlukan untuk melakukan dengan sukses dengan tugas tertentu dalam konteks tertentu (dalam Stajkovic dan Luthan 1998). Hope (The Will And The Way) oleh C. Rich Snyder didefinisikan sebagai keadaan psikologis positif yang didasarkan pada kesadaran yang saling mempengaruhi antara agency (energi untuk mencapai tujuan) dan path ways, yakni perencanaan untuk mencapai tujuan (Snyder, Irving & Anderson 1991).
Hubungan Psychological Capital dengan Entrepreneuralal Intention Siswa
63
Pada komponen ini, seseorang mampu menciptakan jalur-jalur alternatif untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan ketika jalur asalnya tertutup atau mendapat halangan (Snyder,1994). Snyder, Luthan dan Jensen (2000), memberikan panduan khusus yang bisa digunakan dalam mengembangkan hope : 1) Goal setting, menetapkan dan memperjelas dengan detail apa yang menjadi tujuan selama ini, 2) Stepping, memberikan penjelasan tentang langkah-langkah kongkrit dalam mencapai tujuan tersebut, 3) Participative initiatives, membuat beberapa alternatif apabila satu alternatif sulit dilalui, maka menggunakan alternatif yang selanjutnya untuk tetap mencapai tujuan, 4) Showing confidence, memberikan pengakuan pada diri individu bahwa proses yang dikerjakan untuk mencapai tujuan adalah hal yang disenangi, dan tidak semata-mata fokus pada pencapaian aktir, 5) Preparedness, selalu siap menghadapi rintangan. Optimism adalah suatu explanatory style yang memberikan atribusi peristiwa-peristiwa positif pada sebab-sebab yang personal, permanent, serta pervasive dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa negatif pada faktorfaktor yang eksternal, sementara, serta situasional. Sebaliknya, eksplanatory style yang pesimistis akan menginterpretasikan peristiwa positif dengan atribusiatribusi yang eksternal, Sementara, serta situasional dan mengatribusi peristiwa negatif pada penyebab yang personal, permanent dan pervasive (Seligman,1998). Schulman (1999) memberikan penjelasan untuk mengembangkan optimism : 1) Leniency for the past. Yaitu mengiklaskan kegagalan yang telah dilakukan dan menata kembali apa yang akan dilakukan, 2) Appreciation for the present. Yaitu memberikan apresiasi apa yang sedang dilakukan individu, baik itu mengenai kemampuannya maupun kelamahannya, bukan mencela diri sendiri, 3) Opportunity-seeking for the future. Yaitu mendapatkan kesempatan kembali dimasa yang akan datang. Resiliency didefinisikan Masten dan Reed (2002) sebagai kumpulan fenomena yang dikarakteristikkan oleh pola adaptasi positif pada kontek keterpurukan. Dalam pendekatan psychological capital definisi ini diperluas, tidak hanya kemampuan untuk kembali dari situasi keterpurukan namun juga kegiatan-kegiatan yang positif dan menantang, misalnya target penjualan, dan kemauan untuk berusaha melebihi normal atau melebihi keseimbangan. Wolin dan wolin (1994) mengemukakan tujuh aspek utama yang dimiliki oleh individu agar mencapai resilience yaitu: 1) insight, yaitu proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui, dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih tepat, 2) independence, yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah, 3) relationships, individu yang resilience mampu mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, dan memiliki role model yang baik, 4) initiative, yaitu keinginan
64
Lucky Abrorry, Didik Sukamto
yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya, 5) creative, yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup, 6) orality, adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang yang membutuhkannya. Intensi Berwirausaha Ajzen (1988) mendifinisikan intensi sebagai indikasi kesiapan seseorang untuk menampilkan perilaku tertentu dan intensi dipertimbangkan sebagai anteseden langsung perilaku. Intensi didasarkan pada sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan persepsi terhadap kontrol perilaku, yang setiap prediktor memiliki bobot penting untuk intensi dalam hubungan perilaku dan ketertarikan suatu populasi. Dalam Theory of Planned Behavior, disebutkan faktor central adalah intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku. Intensi diasumsikan untuk menangkap faktor-faktor motivasional yang mempengaruhi suatu perilaku. Intensi mengindikasikan seberapa kuat keinginan seseorang untuk mencoba, seberapa banyak usaha yang ia rencanakan dalam menghadapi tekanan untuk manampilkan sebuah perilaku. Secara sederhana, Theory of Planned Behavior dapat ditampilkan dalam skema berikut.
Theory of Planned Behavior mengemukakan bahwa perilaku adalah sebuah fungsi dari informasi yang penting atau keyakinan yang relevan terhadap perilaku (Ajzen, 1991:189). Tiga jenis keyakinan penting ini dapat dibedakan menjadi behavior beliefs yang diasumsikan berpengaruh terhadap sikap (Attitude Toward Behavior), normative beliefs yang menyediakan dasar bagi perceived behavioral conrol (Ajzen, 1991:189).
Hubungan Psychological Capital dengan Entrepreneuralal Intention Siswa
65
Entrepreneuralship John J. Kao (1993) mendefinisikan entrepreneuralship sebagai usaha untuk menciptakan nilai melalui pengenalan kesempatan bisnis, manajemen pengambilan resiko yang tepat, dan melalui keterampilan komunikasi dan manajemen untuk memobilisasi manusia, uang dan bahan-bahan baku atau sumber daya lain yang diperlukan untuk menghasilkan proyek supaya terlaksana dengan baik. Sedangkan menurut Robert D. Hisrich, entrepreneuralship adalah suatu proses dinamis atas pencitaan tambahan kekayaan. Kekayaan diciptakan oleh individu yang berani mengambil risiko utama dengan syarat-syarat kewajaran, waktu, dan atau komitmen karier atau penyediaan nilai untuk berbagai barang dan jasa. Lebih jauh Hisrich dapat mendefinisikan melalui tiga pendekatan 1) pendekatan ekonom, entrepreneural adalah orang yang membawa sumbersumber daya tenaga, material, dan aset-aset lain ke dalam kombinasi yang membuat nilainya lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, dan juga seseorang yang memperkenalkan perubahan, inovasi/pembaruan, dan suatu order/tatanan atau tata dunia baru; 2) pendekatan psikolog, entrepreneural adalah betul-betul seorang yang digerakkan secara khas oleh kekuatan tertentu kegiatan untuk menghasilkan atau mencapai sesuatu, pada persoalan, percobaan, pada penyempurnaan, atau mungkin pada wewenang mencari jalan keluar yang lain; dan 3) Pendekatan seorang pebisnis, entrepreneural adalah seorang pebisnis yang muncul sebagai ancaman, pesaing yang agresif, sebaliknya pada pebisnis lain sesama entrepreneural mungkin sebagai sekutu/mitra, sebuah sumber penawaran, seorang pelanggan, atau seorang yang menciptakan kekayaan bagi orang lain, juga menemukan jalan lebih baik untuk memanfaatkan sumber-sumber daya, mengurangi pemborosan, dan menghasilkan lapangan pekerjaan baru bagi orang lain yang dengan senang hati untuk menjalankannya (Saiman, 2009). Hubungan Antara Psychological Capital dengan Entrepreneural Intention Dalam pandangan Theory of Planned Behavior intensi diasumsikan untuk menangkap faktor-faktor motivasional seseorang untuk mempengaruhi perilaku dalam hal ini adalah perilaku intrepreneur, seberapa banyak usaha yang dilakukan individu untuk terus mencoba dalam usaha untuk mewujudkan perilaku berwirausaha. Untuk menjadi wirausaha meredith (1996) menerangkan bahwa seorang wirausahawan adalah orang yang haus akan tantangan. Wirausaha sangat bergairah menghadapi tantangan. Wirausaha lebih memilih mencari resiko yang tinggi dari pada resiko yang rendah, karena tantangan yang tinggi akan
66
Lucky Abrorry, Didik Sukamto
menghasilkan hasil yang tinggi dan sebaliknya resiko yang rendah akan menghasilkan hasil yang rendah pula. Oleh karena itu, wirausahawan selalu berani mengambil resiko (risk taker). Jika tugas yang diembannya sangat ringan wirausahawan merasa kurang tantangan, tetapi ia selalu menghindari tantangan yang paling sulit yang memungkinkan pencapaian keberhasilan yang rendah (Suryana, 2006). Bahkan Zimmerer (Suryana, 2006) menjelaskan bahwa seorang wirausahawan tahan terhadap resiko dan ketidakpastian. Wirausahawan yang berhasil biasanya memiliki toleransi terhadap pandangan yang berbeda dalam ketidakpastian. Sawyer menambahkan rasa percaya diri adalah komponen penting bagi peran wirausawan dalam perkonomian dan dengan kepercayaan diri dapat memimpin orang-orang untuk membangun sebuah usaha (Sawyer, dalam McClelland, 1961). Kepercayaan diri merupakan suatu paduan sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan (Suryana, 2006). Dalam hal ini wirausahawan cenderung optimism dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk berhasil (Zimmerer, 1996, dalam Suryana, 2006). Tingkat optimism yang tinggi kiranya dapat menjelaskan mengapa kebanyakan wirausahawan yang berhasil pernah gagal, sering kalih bahkan lebih dari sekali, sebelum akhirnya berhasil (Zimmerer & Scarborough, 2008). Wirausahawan yang sukses seringkali dikaitkan dengan kemampuannya dalam melakukan antisipasi, menemukan alternatif-alternatif, tindakan dan memprediksi konsekuensi-konsekuensi yang dibuatnya. Dengan kata lain hakikat dari kegiatan berinvestasi adalah kemampuan membaca masa depan dan merencanakan berbagai tindakan untuk mengantisipasi tantangan, dan bukan sekedar kemampuan untuk merespon hal-hal yang mendesak saja (Hadiwinata, 2002). Berdasar beberapa faktor untuk dapat mewujudkan perilaku berwirausaha, kebanyakan faktor tersebut adalah faktor psikologis. Maka dari itu, faktor psikologis menjadi sangat penting untuk mengembangkan potensi individu menjadi wirausahawan. Berdasarkan uraian dalam tinjauan pustaka tersebut di atas maka dapat dirumuskan suatu hipotesis, yaitu Ha : Ada hubungan yang signifikan antara psychological capital dengan entrepreneuralal intention. Metodologi Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang banyak menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penfsiran, serta penampilan dari hasilnya (Arikunto, 2000). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitan ini yaitu korelasi. Penelitian dengan korelasional ini merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengukur
Hubungan Psychological Capital dengan Entrepreneuralal Intention Siswa
67
tingkat kedekatan hubungan antar variabel-variabel (Reksoatmodjo, 2007). Metode tersebut digunakan dengan tujuan mengetahui hubungan antara variable X, psychological capital terhadap variable Y, intrepreneural intention. Variabel psychological capital diukur dengan menggunakan PCQ (psychological capital quistionare) yang sudah dikembangkan oleh Luthan dan Avolio. Sedangkan instrumen intensi berwira usaha menggunakan kuesioner dengan tiga dimensi intensi wirausaha yakni; 1) attitude toward behavior: sikap subjek terhadap perilaku berwirausaha, 2) subjective norm: norma subjektif individu, 3) perceived behavioral control. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa SMK YPM 3 Sepanjang Taman Sidoarjo, dengan populasi kelas XII jurusan bisnis dan manajemen terdiri 6 ruang berisi 294 siswa. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah 2 ruang dari keenam ruang tersebut yang berjumlah 96 siswa. Teknik sampling yang digunakan cluster sampling. Hasil Penelitian Dalam membuktikan hipotesis, data yang terkumpul kemudian ditabulasikan dan diolah menggunakan SPSS 11.5 for wondows dengan teknik korelasi product moment. Diperoleh taraf signifikansi 0,000 dimana p<0,05. Artinya hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang positif antara variabel psychological capital dan variabel entrepreneural intention diterima dan menolak hipotesis nol yang menyatakan tidak ada hubungan yang positif variabel psychological capital dan variabel entrepreneural intention. Dikarenakan hasil korelasinya bersifat positif maka semakin tinggi psychological capital akan semakin tinggi entrepreneural intention begitu juga sebaliknya semakin rendah psychological capital akan semakin rendah pula entrepreneural intention. Hasil uji analisis product moment Correlations PSY-CAP
entrepreneural intention
PSY-CAP
Entrepreneural Intention
Pearson Correlation
1
,616(**)
Sig. (2-tailed) N
. 96
,000 96
Pearson Correlation
,616(**)
1
Sig. (2-tailed) N
,000 96
. 96
68
Lucky Abrorry, Didik Sukamto
Sedangkan untuk nilai person correlation diperoleh nilai sebesar 0,616 yang artinya bahwa hubungan kedua variabel, psychological capital dan entrepreneural intention sangat signifikan. Pembahasan Hasil dalam penelitian ini sesuai dengan hasil sebelumnya yang dilakukan Indarti yang membandingkan intensi kewirausahaan antara mahasiswa Indonesia (0,341), Jepang (0,215) dan Norwegia (0,201). Dalam penelitiannya, Indarti membuktikan bahwa aspek psikologis sangat mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa dari ketiga negara secara signifikan. Senada apa yang dikatakan Ryan (dalam Bandura, 1997) persepsi diri dan kemampuan diri berperan dalam membangun intensi. Individu yang merasa memiliki self-efficacy yang tinggi akan memiliki intensi yang tinggi untuk kemajuan diri melalui kewirausahaan. Thomas Begley dan David P. Boyd mengidentifikasi lima macam dimensi, sebagai berikut 1) dorongan untuk memenuhi kebutuhan (need achievment). Para entrepreneur berada pada tingkat tinggi dalam konsep Need Achievment, 2) lokus pengendalian (locus of control). Hal ini berhubungan dengan ide bahwa arah individual dan bukan keberuntungan atau nasib yang mengendalikan kehidupan mereka sendiri, 3) toleransi terhadap resiko. Para entrepreneur yang bersedia menerima resiko moderat, ternyata meraih penghasilan lebih besar atas aktivas mereka, dibandingkan dengan para entrepreneur yang tidak bersedia menerima risiko atau bersedia menerima risiko secara berlebihan, 4) toleransi terhadap ambiguitas para entrepreneur hingga tingkat tertentu memerlukan sifat ini. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara variabel psychological capital dan variabel entrepreneural intention siswa SMK YPM 3 Sepanjang Taman Sidoarjo. Dikarenakan hasil korelasinya bersifat positif maka semakin tinggi psychological capital akan semakin tingginya entrepreneural intention siswa SMK YPM 3 Sepanjang Taman Sidoarjo begitu juga sebaliknya semakin rendah psychological capital akan semakin rendah pula entrepreneural intention siswa SMK YPM 3 Sepanjang Taman Sidoarjo. Penelitian ini juga mendukung hasil-hasil penelitian terdahulu dan menguatkan proporsi bahwa terdapat hubungan yang positif antara variabel psychological capital dan variabel entrepreneural intention.
Hubungan Psychological Capital dengan Entrepreneuralal Intention Siswa
69
Daftar Pustaka Bandura, A. 1997. Self-efficacy : The Exercise of Control. New York: Freeman. Indarti, N. & Rostianti, T. 2008. Intensi Kewirausahaan Mahasiswa : Studi Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia Jurusan Management, Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Jurnal ekonomi dan bisnis indonesia Vol. 23, No. 4. Luthans, F., Youssef, C.M., & Avolio, B.J. 2007. Psychological Capital: developing the human competitive edgte. New York : Oxford University Press. Masten, A.S., & Reed, M.J. 2002. Resiliency in Development. In C.R. Snyder & S. Lopez (eds.), Handbook of Positive Psychology, Oxford University Press. Osigweh, C.A.B. 1989. Concept Fallibility in Organizational Science. The Management Rewiew, 14 (4), 579-594. Schulman, P. (1999). Applying Learned Optimism to Increase Sales Productivity. Journal of Personal Selling and Sales Managemen 19/1 (Winter):31-37. Seligman, M. (1998), Learned Optimism. New York: pocket books, 579-594. Snyder, C.R., Irving, L,. & Anderson, J. (1991). Hope and Health : Measuring The Will and The Ways. In C.R. Snyder & D.R. Forsyth (Eds). Handbook of Social and Clinical Psychology (285-305). Elmsford, NY: Pergamon. Snyder, C.R. (1994). Hope and Optimism. Enchychopedia of Human Behavior (vol.2, 535-542). San Diego : Academic Press. Stajkovic, A. D., and Luthans, F. (2001). The Differential Effects of Incentive Motivators on Work Performance. Academy of Management Journal, 4, 580. Woling, S.J., & Wolin, S. 1994. The Resilient Self : How Survivors of Trouble Families Rise Above Adversity. New York : Villard Books. Meredith, G.G et al. 1992. Kewirausahaan Teori dan Praktek. Seri Manajemen No. 97. PT. Pustaka Binaman Pessindo.