HUBUNGAN ANTARA TRAIT BIG FIVE PERSONALITY DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA SISWA SEMINARI MENENGAH ST PETRUS CANISIUS MERTOYUDAN MAGELANG
OLEH LARISSA PRICILLIA ELIZABETH DACOSTA 80 2011 001
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
i
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara trait big five personality dengan psychological well-being pada siswa Seminari Menengah Mertoyudan Magelang. Sebanyak 215 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel purposive sampling. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data yakni dengan metode skala, yaitu skala big five personality inventory dan skala Psychological well-being. Teknik analisa data yang dipakai adalah dengan korelasi Pearson Product Moment. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara dimensi ekstraversion (r = 0,464, p < 0,05), openness to experiences (r = 0,404, p < 0,05), agreeableness (r = 0,378, p < 0,05), dan conscientiousness (r = 0,513, p < 0,05) dengan psychological well-being pada siswa Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang, sedangkan untuk dimensi neuroticism (r = 0-0,477, p < 0,05) menunjukkan hubungan negatif yang signifikan dengan psychological well-being pada siswa Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang. Kata Kunci : big five personality, psychologicall well-being.
ii
Abstract This study aims to find a significant relationship between the big five personality traits with psychological well-being in students of Seminary Mertoyudan Magelang. A total of 215 people were took as samples and done by using purposive sampling technique. The research method that used to collect the data is method scale that is, the scale of big five personality inventory and Psychological well-being scale. Data analysis technique that used is the Pearson Product Moment Correlation. The result of data shows that there is a positive significant relationship between the dimensions of ekstraversion (r = 0.464, p <0.05), openness to experiences (r = 0.404, p <0.05), agreeableness (r = 0.378, p < 0.05), and conscientiousness (r = 0.513, p <0.05) with psychological well-being in students of Seminary St. Peter Canisius Mertoyudan Magelang, then for the dimensions of neuroticism (r = 0 to 0.477, p <0.05) shows a negative significant correlation with psychological well-being in students of Seminary St. Peter Canisius Mertoyudan Magelang. Keywords: big five personality, psychologicall well-being.
1
PENDAHULUAN Penelitian tentang kesejahteraan psikologis remaja yang merupakan komponen dari kualitas hidup, telah menjadi perhatian selama beberapa tahun terakhir (Mavroveli, et al 2007; McLeod & Owens, 2004; Rueger, et al , 2010). Kesejahteraan psikologis dibutuhkan agar individu dapat meningkatkan efektivitas dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah bidang akademik. Dalam menempuh pendidikan individu diharapkan mempunyai kesejahteraan psikologis yang baik, hal tersebut dikarenakan agar individu dapat mencapai titik aktualisasi diri sehingga dapat mencapai kesuksesan di bidang akademik (Indrawati, 2013). Dalam penelitian Pollard & Lee (2003), khususnya di kalangan remaja, kesejahteraan psikologis yang positif maupun negatif dibentuk oleh tindakan harga diri, gejala depresi dan kelelahan yang terjadi di sekolah. Sekolah menengah menandai masa transisi dalam kehidupan remaja. Selama masa transisi ini, siswa tidak hanya berjuang dengan perubahan lingkungan akademis mereka, tetapi juga dengan transformasi di tubuh mereka, pikiran, emosi, dan hubungan dengan orang lain (Buchanan & Bowen, 2008). Bila siswa mampu menyesuaikan diri atau mengatasi keadaan tersebut, siswa dapat menjalani pendidikannya dengan baik (Cehyan & Cehyan, dalam Sukmaputri, 2014). Akan tetapi, bila tidak dapat mengatasi keadaan tersebut, kondisi psikologis siswa akan memburuk (Michael et al, 2006). Kondisi psikologis yang buruk dapat mengganggu bahkan menghambat siswa dalam menjalani pendidikan tersebut (Michael et al, 2006). Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi psikologis siswa turut berperan penting dalam proses pendidikan. Sama halnya pada sekolah-sekolah khusus seperti seminari, dimana tempat untuk mempersiapkan seminaris menjadi seorang imam yang pada umumnya juga
2
berada dalam tahap perkembangan remaja. Yang menjadi ciri khas sekolah seminari adalah bahwa sekolah tersebut hanya menerima siswa laki-laki dan mereka yang menjadi siswa seminari diharuskan untuk tinggal di asrama. Salah satu sekolah seminaris di Indonesia adalah Sekolah Seminari Menengah St Petrus Canisius Magelang. Sekolah tersebut dalam hal pola pendidikan dan tujuan yang akan dicapai juga akan berbeda dengan sekolah-sekolah regular lainnya. Seperti yang ditulis dalam Pedoman Calon Imam di Indonesia (2001), siswa yang sekolah di Seminari Menengah harus menempuh pendidikan selama 4 tahun dengan tahapan sebagai berikut: Kelas KPP (Kelas Persiapan Pratama) disebut dengan kelas 0, kelas MP (Medan Pratama) setara dengan kelas 1 SMA, kelas MM (Medan Madya) setara dengan kelas 2 SMA, dan terakhir kelas MU (Medan Utama) setara dengan kelas 3 SMA yang disebut dengan kelas persiapan akhir. Oleh karena tujuan seminari adalah mengajarkan para seminaris untuk hidup sebagai pelayan sesama umat manusia dan memiliki perilaku moral yang lebih tinggi dibandingkan jemaat biasa sehingga para seminaris tidak diperbolehkan untuk menikah. (Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001). Selain itu, dalam hal pendidikan di seminari tuntutan yang diberikan kepada siswa seminari juga lebih tinggi dibandingkan tuntutan yang diterima oleh siswa-siswa di sekolah umum lainnya (Liestyani, 2007). Tuntutan tersebut salah satunya yaitu siswa tidak hanya dapat menguasai pengetahuan namun juga dituntut untuk menjalankan tiga bidang hidup pokok yang harus ditaati yaitu hidup rohani, hidup studi, dan hidup komunitas (Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001). Oleh karena itu dengan adanya banyak tuntutan yang harus dilakukan pada siswa seminari dan harus memenuhi semua tuntutan itu, maka para siswa seminari diharapkan
3
memiliki psychological well-being yang baik untuk menyejahterakan hidupnya dan memiliki kepuasan hidup di masa depan. Konseptualisasi psychological well-being secara teoritis didasarkan dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam psikologi perkembangan klinis dan dewasa. Teori ini menekankan potensi individu untuk kehidupan yang bermakna dan realisasi diri dalam menghadapi tantangan (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002). Ryff, Keyes, dan Shmotkin (2002) lebih lanjut diungkapkan bahwa psychological well-being menunjukkan arti pemenuhan diri dari potensi manusia. Dalam hal ini individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi memiliki perasaan senang, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, merasa puas dengan kehidupan dan sebagainya. Ryff (1989) menambahkan bahwa psychological well-being adalah suatu kondisi seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja, tetapi lebih dari itu yaitu kondisi seseorang yang mempunyai kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth), keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life), memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), kapasitas untuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif (environmental mastery), dan kemampuan untuk menentukan tidakan sendiri (autonomy). Berdasarkan konsep psychological well-being dari Ryff (1989) yang memaparkan berbagai dimensi dan indikatornya, penulis mencoba menanyakan tentang psychological well-being pada beberapa siswa Seminari Menengah Mertoyudan. Beberapa hal yang ditanyakan terkait dengan proses perkembangan kehidupannya di masa sekarang yang berhubungan tentang penerimaan dirinya, pertumbuhan diri, tujuan
4
hidup, dan hubungan dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan kemandiriannya. Berdasarkan hasil wawancara salah satu seorang siswa mengatakan bahwa beberapa siswa merasa senang, puas akan panggilannya meskipun harus menjalankan tuntutan yang ada dengan penuh tantangan namun beberapa pengalaman siswa yang telah mengundurkan diri atau dikeluarkan beberapa dari mereka karena alasan dipaksa orang tua untuk menjadi romo, ataupun ada juga yang saat pertama kali masuk seminari hanya ingin membentuk karakter yang baik namun ia merasa belum tahu arah tujuan hidup kedepannya. Kemudian ada yang berubah pikiran karena ingin bekerja untuk keluarga, tidak mampu beradaptasi dengan ciri khas kehidupan di lingkungan seminari, ataupun ingin menikah. Penulis menyimpulkan mereka menunjukkan pencapaian yang beragam pada beberapa aspek tersebut. Beberapa sudah menunjukkan pencapaian yang positif, namun beberapa yang lain belum. Melalui hasil wawancara kepada salah seorang romo Pembina, ia juga mengatakan semakin tinggi tingkatan juga semakin berat tantangan yang harus dijalankan siswa dan siswa juga semakin terlihat apakah siswa benar-benar telah menemukan tujuan hidup dan terpanggil untuk menjadi seorang romo ataupun harus drop out dari kehidupan Seminari, sehingga banyak dari mereka yang harus dikeluarkan dari seminari karena tidak lolos dalam seleksi lanjutan (yang dilakukan ketika siswa duduk di tingkat 3 sebelum masuk ke tingkat KPP) ataupun mereka dengan sendirinya mengundurkan diri karena sebagian besar dari mereka merasa tidak mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan Seminari. Hal itu terbukti dengan jumlah siswa yang dikeluarkan atau mengundurkan diri tahun ini mencapai 30 siswa. Fenomena-fenomena yang terjadi pada siswa seminari Menengah Mertoyudan Magelang tersebut merujuk pada kondisi belum tercapainya psychological well-being.
5
Individu yang memiliki psychological well-being akan memiliki kondisi psikologis yang sehat. Berdasarkan hal ini, dapat dilihat bahwa psychological wellbeing membawa individu salah satunya siswa seminari ke dalam kondisi psikologis yang positif dan sehat. Sebaliknya, bila siswa seminari tidak memiliki psychological well-being sulit untuk menciptakan kondisi psikologis yang positif dan sehat. Psychological well-being dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Salah satunya adalah faktor kepribadian. Ziskis (2010) menyatakan bahwa kehidupan seharihari terdiri dari berbagai tekanan yang berpotensi pada kesejahteraan yang rendah. Kehidupan sehari-hari yang membawa tekanan juga bergantung pada karakteristik/ kepribadian individu dimana kepribadian itu juga yang dapat melindungi kesejahteraan dari dampak negatif dari tekanan sehari-hari. Hubungan antara kepribadian dan kesejahteraan psikologis ini juga didukung oleh Ruini et al, (dalam Ziskis, 2010), yang menggunakan faktor analisis menunjukkan bahwa psychological well being, distress, dan kepribadian merupakan penelitian yang terpisah namun hasilnya menunjukkan ketig hal tersebut saling berkaitan. Peran dari ciri-ciri kepribadian didefinisikan sesuai dengan konseptualisasi dari lima faktor Model (FFM) pada PWB tidak dipahami dengan baik (Code & Langan-Fox, 2001). Oleh karena itu, perlu untuk menyelidiki hubungan antara kepribadian dan PWB remaja. Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa karakteristik kepribadian berpengaruh pada psychological well-being seorang individu. Menurut penelitian Schmute dan Ryff (dalam Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002) bahwa trait kepribadian neurotism, extraversion, dan conscientiousness merupakan predictor yang kuat dan konsisten untuk dimensi self-acceptance, environmental mastery, dan purpose in life. Kemudian untuk dua trait kepribadian lainnya, yaitu opponness to experience
6
merupakan predictor untuk dimensi personal growth, dan agreeableness predictor untuk dimensi positive relations with others. Dan dimensi terakhir, yaitu autonomy dipengaruhi oleh beberapa trait, tetapi kebanyakan oleh trait neuroticism. Penulis berpendapat bahwa trait kepribadian menjadi salah satu faktor yang penting yang mempengaruhi psychological well-being, karena segala tingkah laku yang dilakukan remaja terutama dalam menjalankan tugas perkembangannya digerakkan oleh trait kepribadian dari dalam individu tersebut. Beberapa penelitian tentang psychological well-being yang ditinjau dari kepribadian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil-hasil yang belum konklusif. Selain itu dari beberapa penelitian juga belum ada yang meneliti mengenai hubungan big five personality dengan psychological well-being pada siswa-siswa sekolah seminari menengah. Penelitian Wardani (2014) menunjukkan bahwa trait kepribadian yang memiliki pengaruh signifikan dan moderat terhadap kesejahteraan psikologis ibu empty-nester adalah ekstraversion dan openness to experience. Ponterotto et al. (2007) melalui penelitiannya menunjukkan korelasi antara skor kepribadian multikultural dan skor kesejahteraan psikologis umumnya positif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sumer, Bilgic, dkk (2005) menunjukkan semua variabel kepribadian memberikan kontribusi signifikan terhadap varians dijelaskan dalam faktor kesehatan mental. Korelasi antara variabel penelitian menunjukkan semua signifikan. Sebaliknya Landa, Martos, dan Zafra (2010) menemukan bahwa skor rendah pada neurotisme dan skor tinggi dalam ekstraversion dalam dimensi kepribadian. Sejumlah peneliti sebelumnya juga telah meneliti hubungan antara pengaruh kesejahteraan psikologis dan kepribadian (Costa & McCrae, 1984; Emmons & Diener, 1985; Izard, Libero, Putnam, & Haynes, 1993;
7
Larsen & Ketelaar, 1991). Namun dalam penelitian tersebut terdapat kesulitan dalam membangun perbedaan yang jelas, secara teoritis dan empiris antara pengaruh kesejahteraan psikologis dan kepribadian (Schmutte & Ryff, 1997). Berdasarkan beberapa hasil temuan tersebut, maka peneliti ingin menguji kembali hubungan antara trait Big Five Personality dengan psychological Well-Being dan penelitian ini dilakukan pada Siswa Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan Magelang. Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Apakah terdapat hubungan antara big five personality dengan psychological well-being pada siswa Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan Magelang?” Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara big five personality dan psychological well-being Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang ilmu psikologi perkembangan yang terkait dengan kesejahteraan psikologis pada Siswa Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan yang Magelang yang dihubungkan dengan Big five Personality sehingga dapat ditemukan kekhasan dalam dimensi-dimensinya secara komprehensif. Selain itu, manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi lembaga pendidikan, orang tua, seminari, komunitas-komunitas, yang didominasi oleh remaja mengenai kesejahteraan psikologis pada remaja, supaya pada perkembangan para remaja dapat mengerjakan tugas perkembangannya dengan baik. Psychological Well-Being Istilah well-being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal (Ryan & Deci, 2001). Hingga saat ini terdapat dua paradigma dan perspektif besar mengenai well-being yang diturunkan dari pandangan filsafat yang berbeda. Padangan yang pertama yang disebut hedonic, memandang bahwa tujuan hidup utama
8
adalah mendapatkan kenikmatan secara optimal atau dengan kata lain mencapai kebahagiaan. Diener dan Lucas (dalam Ryan & Deci, 2001) mengembangkan model pengukuran ini disebut subjective well-being yang terdiri dari tiga komponen yaitu kepuasan hidup, adanya afek positif, dan tidak adanya afek negative dan ketiganya ini sering dirangkum dalam konsep “kebahagiaan”. Pandangan kedua yang disebut eudaimonic, menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam daimonnya, atau dirinya sejati (true self). Diri yang sejati ini terjadi ketika manusia melakukan akivitas yang paling kongruen atau sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara menyeluruh serta benar-benar terlibat di dalamnya (fully engaged) (Ryan & Deci, 2011). Oleh karena itu menurut pendapat Waterman (dalam Ryan & Deci, 2001) pendangan eudaimonic berfokus pada realisasi diri, ekspresi pribadi, dan sejauh mana seorang individu mampu untuk mengaktualisasikan potensi dirinya. Pandangan eudaimonic ini yang berhubungan dengan kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing). Menurut Hurlock (1994) menyebutkan kebahagiaan adalah keadaan sejahtera (Well-being) dan kepuasan hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley (dalam Hurlock, 1994) menambahkan bahwa, kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya yang disertai tingkat kegembiraan. Selanjutnya ada pernyataan yang menyebutkan bahwa tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi menunjukkan bahwa individu memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik, dapat membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain dan menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam pekerjaannya (Ryff dan Singer, 1996).
9
Berkaitan dengan konsep psychological well-being, Ryff (1989) mengajukan model multidimensional yang tersusun atas enam dimensi. Dimensi-dimensi tersebut didefinisikan sebagai berikut: (1) Penerimaan diri (Self acceptance) ditandai dengan kemampuan menerima dan mengakui diri apa adanya baik positif dan negative sehingga kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalaninya, (2) Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others), ditandai dengan memiliki perasaan empati dan kasih sayang pada orang lain, saling percaya dengan orang lain, serta memiliki hubungan persahabatan yang lebih dalam. Pentingnya hubungan positif dengan orang lain ini menekankan pada konsep kesejahteraan psikologis. (3) Kemandirian (Autonomy), ditandai dengan kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah lakunya. Orang yang berfungsi sepenuhnya digambarkan memiliki evaluasi pribadi, dimana seseorang mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, tidak mudah setuju pada orang lain serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi. (4) Penguasaan lingkungan (Environmental mastery), ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya. Individu tinggi pada dimensi ini mampu dan berkompetensi dalam mengatur lingkungan, menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu sendiri. (5) Tujuan dalam hidup (Purposive of life), dimensi ini mengacu pada kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang memiliki target yang ingin dicapai dalam kehidupannya dengan memiliki perubahan tujuan untuk menjadi lebih produktif dan kreatif di kemudian hari. Orang yang berfungsi positif memiliki tujuan, niat, dan
10
arah dalam hidup, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup itu bermakna. (6) Pertumbuhan pribadi (Personal growth), orang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang tinggi ditandai dengan perasaan mampu dalam melewati tahap-tahap perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, dan melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu. The Big-Five Personality Menurut Allport dalam Budiraharjo (1997) kepribadian didefinisikan sebagai suatu organisasi dinamis dari sistem-sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian yang unik terhadap karakteristik perilaku dan pemikirannya. Allport menggunakan istilah sistem psikofisik dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Salah satu teori kepribadian yang sering digunakan untuk menjelaskan kepribadian seseorang adalah The Big Five Personality. The Big-Five atau The Fivefactor Model (dalam Widyorini, dkk., 2003, h. 6), merupakan suatu pendekatan disposisional, yang memandang kepribadian sebagai suatu kombinasi karakteristik internal yang stabil, yang memberi arti pada seseorang dan memotivasinya untuk bertingkah laku dengan cara tertentu. The Big Five ini merupakan pendekatan disposisional yang berfokuskan pada trait bukan merupakan tipe kepribadian. Trait adalah sistem neuropsikis yang digeneralisasikan dan diarahkan, dengan kemampuan untuk menghadapi bermacam-macam perangsang secara sama, memulai serta membimbing tingkah laku adaptif dan ekspresif secara sama (Allport, dalam Budiraharjo, 1997).
11
Teori Big five personality merupakan salah satu adaptasi dari trait theory yang dikemukakan oleh Eysenck, Cattel dan tokoh-tokoh lainnya (Pervin, 2005). Tidak semua teori kepribadian sedetil big five. Teori mengenai trait banyak digunakan dalam penyusunan alat tes kepribadian karena penjelasannya cukup mudah dipahami. John dan Srivastava (1999) mengemukakan bahwa The Big Five Personality merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian, yaitu neuroticism, didefinisikan sebagai dimensi kepribadian dengan emosi negatif sehingga rentan mengalami kecemasan, depresi, sedih, agresif, dan lain-lain. Extraversion, didefinisikan sebagai kepribadian yang enerjik terhadap dunia sosial serta memiliki watak mudah bergaul, aktif, asertif, dan memiliki emosi yang positif. Openness to experiences, yang didefinisikan sebagai dimensi kepribadian dengan daya imajinasi yang tinggi, orisinil, memiliki mental dan pengalaman hidup yang kompleks, serta berani mencoba hal-hal baru diluar kebiasaannya. Agreeableness, didefinisikan sebagai dimensi kepribadian yang berorientasi prososial pada orang lain serta memiliki watak altruisme, lemah lembut dan mudah percaya. Conscientiousness, didefinisikan sebagai dimensi kepribadian individu yang masuk akal dan rasional dalam membuat keputusan, memiliki perilaku goaloriented seperti berpikir sebelum bertindak, mengikuti norma dan aturan, terorganisasi, serta memprioritaskan tugas (Costa & McCrae, 1992; John, 1990). Hubungan Big Five Personality dengan Psychological Well-Being Siswa seminari Menengah Mertoyudan Magelang pada umumnya berada pada tahap perkembangan remaja. Dilihat dari perkembangan kognitifnya, pada tahap ini cara berpikir mereka termasuk dalam tahap operasional formal yang lebih abstrak, logis, dan idealistis. Mereka lebih mampu menguji pemikirannya sendiri, pemikiran orang lain,
12
dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka. Karena itu mereka diharapkan sudah dapat mengambil keputusan tentang masa depan, teman-teman mana yang dipilih, memiliki keinginan serta dapat mencapai tingkah laku sosial yang bertanggung jawab (Santrock, 1995). Agar dirinya dapat diterima didalam lingkungan, seorang siswa seminari harus dapat memenuhi tuntutan atau harapan yang diberikan pihak seminari kepada dirinya sebagai seorang siswa seminari. Sebagai individu, siswa seminari memiliki beberapa peran yaitu sebagai anak, teman, siswa, dan juga sebagai anggota masyarakat. Dalam peran mereka sebagai siswa seminari, mereka memiliki tuntutan yang sama seperti seorang imam. Mereka dituntut untuk bisa memiliki perilaku moral yang lebih tinggi dibandingkan siswa biasa yaitu tidak boleh menikah dan juga perilaku nyata sehari-hari yang harus dilakukan pada siswa seminari yaitu seperti tidak mencontek saat ujian, tidak berbohong, merokok, minum-minuman keras, dan menggunakan narkoba (Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001). Jika siswa dapat menerima dan menjalankan tuntutan itu dengan rasa bahagia bahwa tuntutan tersebut juga yang demi tujuan hidupnya yang akan dicapai di masa depan maka ia tidak akan merasa terbebani atau ia akan merasa puas dengan apa yang telah ia lakukan. Hal itu mengacu pada salah satu aspek psychological well being yaitu purposive in life, dimana keyakinan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan sehingga ia akan terbuka terhadap pengalaman untuk memiliki mencapai tujuan, niat, dan arah dalam hidupnya (Ryff, 1989). Rasa puas dengan apa yang telah dilakukan tersebut juga bergantung dari kepribadian masingmasing seseorang. Dalam penelitian sebelumnya (Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999), secara khusus dua karakteristik kepribadian yang mendapat perhatian khusus adalah
13
neurotisisme dan extraversion. Neurotisisme termasuk dalam karakteristik seperti kecemasan, permusuhan, depresi, dan kerentanan sementara extraversion meliputi karakteristik seperti suka hidup berkelompok, memiliki ketegasan, emosi positif, dan keterbukaan. Dengan demikian, tampak bahwa kepribadian extraverted dapat berinteraksi dengan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan
psikologis
sedangkan neuroticism telah terbukti berhubungan dengan menurunkan fungsi psikologis, masalah kesehatan dan menurunkan kesejahteraan psikologis (Emery, et al dalam Talamati, 2012). Penelitian Ziskis (2010) juga menunjukkan dalam penelitiannya bahwa orang dengan karakteristik kepribadian tertentu, seperti Extraversion atau Agreeableness, menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. Ke lima traits kepribadian tersebut merupakan disposisi individual. Psychological wellbeing akan dipengaruhi oleh traits kepribadian utama yang dimiliki dan akan berkembang pada diri seorang seminaris. Hipotesis Penelitian 1. Terdapat hubungan negatif signifikan antara trait kepribadian Neuroticism terhadap kesejahteraan psikologis pada Siswa Seminari Menengah St Canisius Magelang. 2. Terdapat hubungan positif signifikan antara trait kerpibadian extraversion terhadap kesejahteraan psikologis pada Siswa Seminari Menengah St Canisius Magelang. 3. Terdapat hubungan positif signifikan antara trait kerpibadian openness to experience terhadap kesejahteraan psikologis pada Siswa Seminari Menengah St Canisius Magelang. 4. Terdapat hubungan positif signifikan antara trait kerpibadian agreeableness
14
terhadap kesejahteraan psikologis pada Siswa Seminari Menengah St Canisius Magelang. 5. Terdapat hubungan positif signifikan antara trait kerpibadian conscientiousness terhadap kesejahteraan psikologis pada Siswa Seminari Menengah St Canisius Magelang.
METODE PENELITIAN Partisipan Penentuan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan metode Nonprobability sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2011). Jenis Nonprobability sampling yang digunakan adalah sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2011). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan Magelang. Sedangkan sampel yang di ambil dalam penelitian ini juga seluruh siswa seminari menengah yang terdiri dari kelas Kelas KPP (Kelas Persiapan Pratama), kelas MP (Medan Pratama), kelas MM (Medan Madya) dan kelas MU (Medan Utama) atau disebut juga dengan KPP (Kelas Persiapan Akhir). Alat Ukur Penelitian Teknik Pengumpulan data adalah dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang akan diberikan tersebut berupa skala yaitu inventori big five personality dan skala psychological well-being. Variabel kepribadian Big Five Personality menggunakan adaptasi dari The Big Five Inventory versi Oliver P. John (1991) yang terdiri dari 44
15
item. Adapun item-itemnya dibuat berdasarkan model Lima faktor kepribadian yang meliputi
neurotism,
extraversion,
openness
to
experiences,
agreeableness,
conscientiousness. Skala trait big Five personality ini dibuat dengan menggunakan model skala likert 5 poin (sangat tidak setuju hingga sangat setuju). Semakin tinggi skor yang dimiliki menunjukkan masing-masing tipe kepribadian yang telah dimiliki partisipan. Uji validitas dilakukan pada 215 subjek dengan menghitung korelasi antar item pada setiap trait kepribadian dengan jumlaj total dalam masing-masing trait kepribadian. Hasil perhitungan menyatakan bahwa validitas kuesioner The Big Five Inventory bergerak dari 0,320-0,620 dan terdapat 11 item yang tidak memenuhi persyaratan lebih besar dari 0,30. Item-item tersebut adalah nomor 24 (pada dimensi neuroticism), nomor 1 & 26 (pada dimensi ekstraversion), nomor 12, 22, 27, 37, 42 (pada dimensi agreeableness), nomor 43 (pada dimensi conscientiousness) dan nomor 30 & 35 (pada dimensi openness to experience). Adapun reliablitas masing-masing dimensi adalah neuroticism (0.786), ekstraversion (0.752), agreeableness (0.623), conscientiousness (0.756), dan openness to experience (0.687). dan kelima dimensi tersebut lebih besar dari 0,6 sehingga kuesioner dapat dinyatakan reliabel (Azwar, 2003). Sedangkan untuk variabel Psychological well-being akan diukur dengan menggunakan Ryff scale of Psychological Well-Being (RPWB) milik Ryff (1989) yang terdiri dari 59 item yang telah diadaptasi oleh penulis. Adapun item-itemnya dibuat berdasarkan 6 dimensi yaitu: self acceptance, autonomy, positive relations with others, environmental mastery, purposive of life, dan personal growth. Skala psychological well-being ini dibuat dengan menggunakan model skala Likert 4 poin (dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju) yang digunakan untuk mengukur respons partisipan.
16
Semakin tinggi skor yang didapat menandakan bahwa psychological well-being yang dimiliki individu semakin tinggi, sebaliknya, semakin rendah skor psychological wellbeing mendandakan bahwa psychologicall well-being yang dimiliki individu semakin rendah pula. Berdasarkan seleksi item dan uji reliabilitas pada Skala psychological wellbeing, didapatkan 34 item yang dianggap valid dan 25 item yang dinyatakan gugur. Skala ini memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,888 dan skor korelasi item total yang bergerak dari 0,277-0,548 dengan indeks daya diskriminasi aitem sebesar 0,25. Metode Pengumpulan Data Penelitian dilakukan pada tanggal 25 Maret 2015 - 2 April 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner ke semua siswa seminari menengah yang terdiri dari 4 kelas yaitu kelas Kelas KPP (Kelas Persiapan Pratama), kelas MP (Medan Pratama), kelas MM (Medan Madya) dan kelas MU (Medan Utama) atau disebut juga dengan KPP (Kelas Persiapan Akhir). Sebelum kuesioner disebarkan, peneliti memberikan surat ijin permohonan izin untuk melakukan penelitian kepada kepala sekolah Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang. Setelah mendapat ijin, peneliti memberikan kuesioner melalui kepala sekolah dan kuesioner akan diambil kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian. Peneliti tidak dijinkan untuk masuk ke kelas guna memberikan kuesioner karena pihak seminari sudah memiliki jadwal teratur dan padat yang tidak bisa sewaktu-waktu diubah. Kuesioner yang disebar tidak kembali seutuhnya karena saat itu beberapa siswa ada yang meninggalkan lokasi seminari untuk melamar ke ordo/ tingkat yang lebih tinggi di luar kota. Jumlah siswa keseluruhan 265 siswa namun ketika pengambilan kuesioner, data yang terkumpul sejumlah 228. Kemudian dari 228 data juga didapatkan 13 data yang
17
gugur pada saat tabulasi karena ada jawaban yang dikosongkan atau tidak selesai. Sehingga total data yang diperoleh dan dapat diolah yaitu sejumlah 215. HASIL PENELITIAN Uji Asumsi Setelah alat ukur diuji reliabilitas serta validitasnya maka penelitian dapat dilanjutkan ke menguji asumsi. Langkah yang diambil adalah melakukan uji signifikasi dengan hasil koefisien Kolmogorov-Smirnov mengunakan SPSS versi 21.0 for windows. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Hasil Uji Normalitas Kolmogorv – Smirnov Z Asymp. Sig (2-tailed) a. Test distribution is Normal.
N 1,154 0,140
E 1,107 0,172
O 0,963 0,311
A 1,438 1,32
C 1,291 0,71
PWB 0,930 0,352
Sebaran data pada variabel dimensi kepribadian memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas (p) sebesar 0,140 – 1,32 atau lebih besar dari 0,05 (p > 0,05). Untuk sebaran data pada variabel PWB memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas sebesar 0,352 atau lebih besar dari 0,05 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data pada variabel dimensi kepribadian dan PWB bersifat normal. Peneliti membedakan kategori dari masing-masing dimensi kepribadian dengan menggunakan rumus rentangan berdasarkan standar deviasi dan mean empiris dilihat dari kurva normal (Azwar, 2000). Kemudian peneliti mengkategorikan variabel kelima dimensi dalam Trait Big Five Personality dan PWB. Pengkategorian skor variabel
18
kepribadian dan PWB beserta frekuensi dan presentasenya, akan dicantumkan dalam tabel-tabel dibawah ini: Tabel 2 Kategorisasi Skor Dimensi Kepribadian Neuroticism Kategori Tinggi Agak tinggi Cukup Agak rendah Rendah
Interval 29,4 ≤ x < 35 23,8 ≤ x < 29,4 18,2 ≤ x < 23,8 12,6 ≤ x < 18,2 7 ≤ x < 12,6 Total
Frekuensi 11 44 73 69 18 215
% 5,1 20,5 34 32,1 8,4
Mean
19.94
Rata–rata subjek penelitian yang tergolong pada dimensi kepribadian neuroticism sebesar 19,94 dan berada pada kategori cukup artinya siswa Seminari Mertoyudan Magelang cenderung jarang mengalami emosi negatif, lebih optimistic, tenang, dan puas pada hidupnya. Tabel 3 Kategorisasi Skor Dimensi Kepribadian Ekstraversion Kategori Tinggi Agak tinggi Cukup Agak rendah Rendah
Interval 25,2 ≤ x < 30 20,4 ≤ x < 25,2 15,6 ≤ x < 20,4 10,8 ≤ x < 15,6 6 ≤ x < 10,8 Total
Frekuensi 38 72 74 29 2 215
% 17,7 33,5 34,4 13,5 0,9
Mean
20.70
Rata–rata subjek penelitian yang tergolong pada dimensi kepribadian Ekstraversion 20,70 yang berada pada kategori cukup artinya siswa Seminari Mertoyudan Magelang cenderung aktif, bersemangat, akrab dan intim dalam bergaul, cenderung cerewet dan mengalami “good mood”.
19
Tabel 4 Kategorisasi Skor Dimensi Kepribadian Openness to experience Kategori Tinggi Agak tinggi Cukup Agak rendah Rendah
Interval 33,6 ≤ x < 40 27,2 ≤ x < 33,6 20,8 ≤ x < 27,2 14,4 ≤ x < 20,8 8 ≤ x < 14,4 Total
Frekuensi 38 101 73 3 0 215
% 17,7 47 34 1,4 0
Mean 29,39
Rata-rata subjek penelitian yang tergolong pada dimensi kepribadian openness to experiences sebesar 29,39 yang berada pada kategori agak tinggi artinya siswa Seminari Mertoyudan Magelang cenderung terbuka pada pengalaman dan hal baru, bersedia menyesuaikan diri pada situasi baru, memiliki ketertarikan, dan punya dorongan serta berani mengambil resiko. Tabel 5 Kategorisasi Skor Dimensi Kepribadian Agreeableness Kategori Tinggi Agak tinggi Cukup Agak rendah Rendah
Interval 16,8≤ x < 20 13,6 ≤ x < 16,8 10,4 ≤ x < 13,6 7,2 ≤ x < 10,4 4 ≤ x < 7,2 Total
Frekuensi 72 88 47 5 3 215
% 33,5 41 21,9 2,3 1,4
Mean 15,09
Rata-rata subjek penelitian yang tergolong pada dimensi kepribadian Agreeableness adalah 15,09 yang berada pada kategori agak tinggi artinya siswa Seminari Mertoyudan Magelang cenderung berjiwa sosial, simpatik, ramah, suka mengalah, menghindari konflik, dan lebih cenderung mengikuti orang lain dan mudah akrab dengan orang lain.
20
Tabel 6 Kategorisasi Skor Dimensi Kepribadian Conscientiousness Kategori Tinggi Agak tinggi Cukup Agak rendah Rendah
Interval 29,4 ≤ x < 35 23,8≤ x < 29,4 18,2 ≤ x < 23,8 12,6 ≤ x < 18,2 7 ≤ x < 12,6 Total
Frekuensi 20 63 88 41 3 215
% 9,3 29,3 41 19,1 1,4
Mean
22,68
Rata-rata subjek penelitian yang tergolong pada dimensi kepribadian Conscientiousness adalah 22,68 yang berada pada kategori cukup artinya siswa cenderung mengendalikan lingkungan, berpikir sebelum bertindak, hati-hati, mengikuti norma/ aturan, terencana, tergorganisir dan memprioritaskan tugas, cermat dan tekun, dapat dipercaya dan berkehendak kuat untuk berprestasi. Kepribadian subjek penelitian apabila dilihat dari masing-masing dimensi Trait Big Five Personality mengungkapkan bahwa kebanyakan subjek penelitian memiliki tingkat neuroticism yang cukup (34%), tingkat ekstraversion yang cukup (34,4%), tingkat openness to experiences yang agak tinggi (47%), tingkat agreeableness yang agak tinggi (41%), serta tingkat conscientiousness yang cukup (41%). Sedangkan subjek penelitian dengan jumlah paling sedikit berada dalam kategorisasi ekstrim yaitu 5,1% neuroticism, 0,9% ekstraversion, 1,4% openness to experiences, 1,4% agreeableness, serta 1,4% conscientiousness. Untuk kategorisasi skor PWB akan dijelaskan pada tabel 8 di bawah ini: Tabel 7 Kategorisasi Skor Psychological well-being Kategori Sangat Tinggi
Interval 109,6 ≤ x < 136
Frekuensi 33
% 15,3
Mean
SD
21
Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
83,2≤ x < 109,6 56,8 ≤ x < 83,2 30,4 ≤ x < 56,8 4 ≤ x < 30,4 Total
166 15 1 215
77,2 7 0,47 -
98,6
10,918
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata subjek penelitian terbesar adalah 98,6, dapat dikatakan bahwa rata-rata psychological well-being siswa seminari berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 52 sampai dengan skor 127 dengan standar deviasi 10,918. Tabel 8 Hasil Uji Korelasi Big Five Personality dengan Psychological Well-being Big Five Personality
Psychological well-being r Sig ** Neuroticism -0,477 0,000 Ekstraversion 0,464** 0,000 ** Openness 0,404 0,000 Agreeableness 0,378** 0,000 ** Conscientiousness 0,513 0,000 ** Correlation is significant at the 0,01 level (1-tailed) Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi yang diperoleh, diketahui bahwa dimensi kepribadian yang memiliki hubungan hubungan positif yang signifikan antara trait big five personality dengan psychological well-being adalah dimensi ekstraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness. Sedangkan dimensi neuroticism memiliki hubungan yang negatif signifikan dengan psychological wellbeing pada siswa seminari menengah mertoyudan Magelang karena memiliki probabilitas -0,477. Dimensi ekstraversion (r = 0,464, p < 0,05), openness to experiences (r = 0,404, p < 0,05), agreeableness (r = 0,378, p < 0,05), dan conscientiousness (r = 0,513, p < 0,05) memiliki hubungan yang positif signifikan dengan psychological well-being
22
siswa. Hubungan yang positif berarti semakin tinggi tingkat esktraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experiences yang dimiliki oleh siswa, maka psychological well-being juga akan semakin tinggi. Hal ini berarti bahwa dimensi kepribadian ekstraversion, openness to experiences, agreeableness, dan conscientiousness dapat mempengaruhi psychological well-being siswa Seminari. Sedangkan dimensi neuroticism memiliki koefisien korelasi sebesar (r = -0,447) dan signifikasi sebesar 0,000 (p < 0,05) dengan psychological well-being, yang berarti bahwa dimensi neuroticism memiliki hubungan yang negatif signifikan dengan psychological well-being, hubungan yang negatif berarti semakin tinggi tingkat neuroticism yang dimiliki oleh siswa, maka psychological well-being akan semakin rendah. PEMBAHASAN Dari pengujian diatas, dapat diketahui bahwa trait big five personality yang memiliki korelasi positif yang signifikan dengan Psychological well-being pada siswa Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan Magelang adalah dimensi ekstraversion, openness to experiences, agreeableness dan conscientiousness, sedangkan dimensi neuroticism memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan psychological well-being pada siswa Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang. Dimensi kepribadian extraversion pada subjek penelitian rata-rata tergolong dalam kategori cukup dengan mean 20,70. Berdasarkan hasil penelitian ini, extraversion memiliki hubungan positif yang signifikan (r = 0,464, p < 0,05) dengan psychological well-being. Hubungan antara dimensi kepribadian extraversion konsisten dari hasil
23
penelitian satu dengan hasil penelitian lainnya. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, hubungan antara dimensi kepribadian extraversion dapat memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap psychological well-being (Landa et al, 2010). Karakteristik dari individu yang memiliki skor extraversion yang tinggi antara lain ialah individu tersebut memiliki rasa kasih sayang yang besar, banyak bicara, menyenangkan, aktif, dan bersemangat (John, 1990; Costa & McCrae, 1992). Rata-rata subjek penelitian sebesar 29,39 dan berada pada kategori agak tinggi pada dimensi openness to new experience, akan tetapi hubungan antara openness to new experience dengan psychological well-being korelasinya cukup (r = 0,404) yang berarti bahwa dimensi kepribadian openness to new experience memiliki kontribusi sebesar 16,3% terhadap psychological well-being siswa Seminari. Siswa seminaris dengan skor openness to new experience yang tinggi akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, karena para seminaris dituntut terbuka akan nilai-nilai, norma-norma, serta pengalaman bahkan tantangan-tantangan yang ditemui untuk membentuk karakter mereka. Sikap terbuka terhadap pengalaman baru memudahkan siswa seminari untuk mempelajari serta mengenal lebih dalam tuntutan yang harus dilalui akan berbeda dengan kehidupan sebelumnya yang telah dibentuk dalam keluarga. Apabila siswa menerima dengan baik berbagai perubahan yang terjadi, maka kesejahteraan psikologis akan tercapai. Hubungan antara dimensi agreeableness dengan psychological well-being sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Schmutte & Ryff (1997) yaitu dimensi kepribadian agreeableness dengan skor agak tinggi dengan rata-rata siswa sebesar 15,09 memiliki hubungan yang positif signifikan dengan Psychological well-being (r = 0,378, p < 0,05). Dimensi kepribadian agreeableness diasosiasikan dengan kesehatan dan
24
kesejahteraan psikologis, Individu yang tinggi pada agreeableness cenderung baik hati, percaya, dan lebih bahagia daripada lain karena mereka memiliki hubungan yang hangat dan mendukung orang lain. Siswa dengan skor agreeableness yang tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi juga dibandingkan dengan siswa yang memiliki skor agreeableness rendah. Kesejahteraan psikologis yang baik mampu melancarkan proses tantangan yang harus dihadapi dalam kehidupan seminari. Individu dengan skor agreeableness yang tinggi juga dianggap mampu bersikap fleksibel dalam berinteraksi dengan masyarakat yang akan ditemuinya. Hal itu adalah merupakan faktor penting dalam pencapaian kepuasan hidupnya (fully function) yang akan dialaminya kelak menjadi seorang romo. Interaksi sosial yang baik dengan orang lain baik dalam lingkungan seminari maupun masyarakat sekitarnya mampu memberikan rasa aman pada siswa seminari serta pengembangan pengetahuan dan proses yang sedang dijalani sehingga kesejahteraan psikologis dapat dialaminya. Mayoritas subjek penelitian dengan rata-rata 22,68 memiliki skor dalam kategori cukup pada dimensi kepribadian conscientiousness. Dari hasil analisis korelasi didapatkan bahwa hubungan antara dimensi kepribadian conscientiousness dengan psychological well-being korelasinya kuat (r = 0,513) yang berarti bahwa dimensi kepribadian
conscientiousness
memiliki
kontribusi
sebesar
26,3%
terhadap
Psychological well-being pada siswa seminari Menengah St Canisius Mertoyudan Magelang. Hal ini berarti bahwa dimensi kepribadian conscientiousnes dapat menjamin kesejahteraan psikologis yang baik, tetapi harus dilihat juga dari variabel-variabel lain yang mungkin berkaitan dengan psychological well-being siswa seminari. Variabelvariabel yang mungkin dapat mempengaruhi psychological well-being antara lain
25
adalah usia, status sosial ekonomi, budaya, dukungan sosial, pengalaman, locus of control, dll. Rata-rata subjek penelitian pada dimensi kepribadian neuroticism sebesar 19,94 yang berada pada kategori cukup. Berdasarkan hasil analisis korelasi, dimensi neuroticism memiliki hubungan yang negatif signifikan dengan psychological wellbeing (r = -0,477, p < 0,05). Dimensi neuroticism adalah dimensi kepribadian yang paling relevan dalam menunjukkan maladjustment pada individu dari segala usia (McCrae & Costa, 2003). Akan tetapi, hasil penelitian ini menunjukkan siswa memiliki neuroticism yang agak rendah, hal ini menunjukkan siswa jarang mengalami emosi negatif, lebih optimistik, tenang, dan puas pada hidupnya. Seperti pada penelitian Salami (2011) menyatakan orang yang rendah pada neuroticism kemungkinan akan siap, mengendalikan diri, dan menikmati peningkatan penentuan nasib sendiri dan kompetensi. Psychological well-being subjek dalam penelitian ini tergolong tinggi dengan rata-rata 98,6. Selain itu, setiap dimensi kepribadian pada subjek penelitian juga tergolong memiliki skor yang cukup tinggi dan berada di kategori skor sedang sampai dengan sangat tinggi. Berdasarkan seluruh hasil analisis yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dimensi kepribadian yang memiliki hubungan dengan psychological well-being pada siswa seminari menengah Mertoyudan ialah dimensi kepribadian conscientiousness, ekstraversion, openness to experiences, dan terakhir diikuti dengan dimensi kepribadian agreeableness.
Semakin
tinggi
skor
individu
pada
dimensi
kepribadian
conscientiousness, esktraversion openness to new experience, dan agreeableness maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya.
26
Sedangkan dimensi kepribadian neuroticism memiliki hubungan yang negatif signifikan dengan
psychological
well-being
pada siswa seminari Menengah
Mertoyudan. Tingginya skor individu dalam dimensi kepribadian neuroticism maka berefek pada psychological well-being yang rendah. Sebaliknya, rendahnya skor individu dalam dimensi neuroticism maka psychological well-being yang dimiliki siswa semakin tinggi. Dimensi kepribadian The Big Five Personality bukan satu-satunya variabel yang dapat mempengaruhi psychological well-being pada siswa seminari. Terdapat pula variabel lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being siswa seminari, yaitu tuntutan akademis, tantangan yang harus dijalankan, usia, status sosial ekonomi, budaya, dukungan emosional, pengalaman, locus of control, dll (Ziskis, 2010). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan negatif signifikan antara trait kepribadian Neuroticism terhadap kesejahteraan psikologis pada Siswa Seminari Menengah St Petrus Canisius Magelang. 2. Terdapat hubungan positif signifikan antara trait kepribadian extraversion, openness to experiences, agreeableness dan conscientiousness terhadap kesejahteraan psikologis pada Siswa Seminari Menengah St Petrus Canisius Magelang. 3. Trait big five personality yang dimiliki Siswa Seminari Menengah St Petrus Canisius Magelang tergolong pada kategori cukup sampai agak tinggi.
27
4. Psychological well-being pada Siswa Seminari Menengah St Petrus Canisius Magelang tergolong tinggi.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti mengajukan beberapa saran. Pertama, kepada sekolah Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang, agar dapat mempertimbangkan aspek kesehatan psikologis yang berkaitan dengan tipe kepribadian, terutama pada psychological well-being sebagai bagian kesehatan psikologis yang terus berkembang dari siswa yang saat ini sedang menjalani pendidikan di seminari menengah Mertoyudan. Hal ini didasari oleh sifat psychological well-being yang dinamis dan terus berkembang. Oleh karena itu pengukuran dan intervensi seperti konseling perlu dilakukan antara siswa dengan pengajar atau pemimbing sebagai evaluasi mengenai kesejaheraan psikologis siswanya dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan panggilan hidupnya. Selain itu juga dapat dilakukan tes kepribadian sebagai seleksi penerimaan siswa seminari sehingga pendamping akan memahami karakter masing-masing siswanya berdasarkan tipe kepribadian yang dimiliki siswa. Siswa yang cenderung memiliki tipe kepribadian neuroticism dalam menjalani proses kehidupannya tentu akan berbeda dengan tipe kerpibadian
ekstraversion,
openness
to
experiences,
agreeableness
dan
conscientiousness, dimana siswa yang cenderung memiliki empat kepribadian tersebut akan lebih dapat menjalankan dan menerima kehidupannya secara positif atau dengan kata lain merasa puas akan panggilannya. Hal ini juga mengingat berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa psychological well-being siswa berada pada tingkatan tinggi sehingga hal ini dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
28
Kedua, bagi peneliti selanjutnya dapat menggunakan mix-methods research atau alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dari responden, peneliti di masa depan bisa menambahkan wawancara dan metode observasi dengan metode kuesioner selama pengumpulan data untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas. Kemudian disarankan pula untuk dapat mengkerucutkan penelitian pada psychological well-being kepada hal yang mendasari psychological well-being itu sendiri atau dapat meneliti variabel lain yang mungkin memiliki hubungan dengan psychological well-being seperti usia, status social ekonomi, budaya, dukungan sosial, pengalaman, locus of control, dsbnya. Hal ini dirasakan peneliti karena tampak ada terlalu banyak hal diluar kepribadian yang berpengaruh kepada psychological well-being yang diukur. Sedangkan untuk variabel kepribadian itu sendiri juga memiliki banyak jenis alat ukur selain dengan menggunakan big five Inventory, sehingga alangkah baiknya jika peneliti selanjutnya menggunakan variasi alat tes lainnya selain dengan mengunakan big five Inventory. Selain itu disarankan sebaiknya dilakukan penelitian pada setiap aspek psychological well-being, untuk melihat berapa kontribusi dari masing-masing dimensi kepribadian terhadap masing-masing aspek psychological well-being. Karena pada penelitian ini penulis menemukan bahwa big five personality memiliki masing-masing dimensi yang secara terpisah dan dapat berhubungan dengan masing-masing aspek psychological well-being.
29
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan Validitas (Edisi 3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________ (2012). Penyusunan Skala Psikologi (2nd ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budiraharjo, P. (1997). Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius Buchanan, Rachel L & Bowen, Gary L, (2008). In the Context of Adult Support: The Influence of Peer Support on the Psychological Well-Being of Middle-School Students. Child Adolesc Soc Work J (2008) 25:397–407 http://web.ebscohost.com (diunduh 12 Februari 2015) Code, S., & Langan-Fox, J. (2001). Motivation, cognitions, and traits: Predicting occupational health, well-being, and performance. Stress and Health, 17(3), 159174. Costa, P. T., Jr., & McCrae, R. R. (1992). Revised NEO Personality Inventory (NEO-PI-R) and NEO Five Factor Inventory (NEO-FFI) professional manual. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources. Diener, E., Suh, E.M., Lucas, R.E., & Smith, H.L. (1999). Subjective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, 125, 276-302. Holopainen, L and Lappalainen, K.; Junttila,N.; Savolainen, H. (2012).The Role of Social Competence in the Psychological Well-being of Adolescents in Secondary Education. University of Eastern Finland, University of Turku, Finland, University of Eastern Finland. Scandinavian Journal of Educational Research Vol. 56, No. 2, April 2012, 199–212. http://web.ebsco-host.com (diunduh 12 Februari 2015) Hurlock, E.B. (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Ed.5. Jakarta: Erlangga. Indrawati, T. (2013) Perananan Kecerdasan Emosi dan Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis pada Siswa SMP Terbuka. Thesis. Yogyakarta : Fakultas Psikologi, Progdi Magister Psikologi. Universitas Gadjah Mada. John, O. & Srivastiva, S. (1999). The Big–Five trait taxonomy: History, measurement, and theoretical perspectives. Journal of Personality Psychology, 3,1-71. Keyes, Corey Lee M., Shmotkin, Dov. (2002). Optimizing Well-Being: The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 82, No. 6, 1007-1022. Landa, Martos, López-Zafra. (2010). Emotional Intelligence and Personality
30
Traits As Predictors of Psychological Well-Being in Spanish Undergraduates. Social Behavior And Personality 38 (6), 783-794. University of Jaén, Spain. DOI 10.2224/sbp.2010.38.6.783 http://web.ebsco-host.com (diunduh 10 Januari 2015) Liestyani, S.H. (2007) Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan Self-Regulation Pada Siswa Seminari Di Sekolah Seminari Menengah ‘X’ Jakarta. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Mavroveli, S., Petreides, K.V., Rieffe, C., & Bakker, F. (2007). Trait emotional intelligence, psychological well-being and peer-rated social competence in adolescence. British Journal of Developmental Psychology, 25(2), 263–275. http://web.ebsco-host.com (diunduh 12 Februari 2015) McCrae, Robert R. (2002). Cross-Cultural Research on the Five-Factor Model of Personality. National Institute of Health,
[email protected]. McCrae., Robert R and Paul T. Costa, Jr. (2003). Personality in Adulthood. A Five Factor Theory Perspective. Second Edition.New York: The Guilford Press. A Division of Gulford Publications, Inc. Mgr. Blasius Pujaraharja, Pr. (2001). Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia Bagian Seminari Menengah. Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia: Jakarta. Michael, K. D., Huelsman, T. J., Gerard, C., Giligan, T.M., & Gustafson, M.R. (2006). Depression among college students trends in prevalence and treatment seeking. Counseling and Clinical Psychology Journal, 3(2), 60-70. Pervin, L.A., & John, O P. (2005). Personality: Theory and Research. 8ed. New York: Guilford Press. Pollard, E.L., & Lee, P.D. (2003). Child well-being: A systematic review of the literature. Social Indicator Research, 61(1), 59–78. Ponterotto, Costa-Wofford, Brobst, Spelliscy, Kacanski, Scheinholtz. (2007). Multicultural Personality Dispositions and Psychological Well-Being. The Journal of Social Psychology, 2007, 147(2), 119–135. http://web.ebscohost.com (diunduh 10 Januari 2-15) Ryan, R. M. & Deci, E.L. (2001). On happiness and human potential: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review Psychology, 52, 141-166. Ryff, Carol D. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 57, No. 6, 1069 – 1081.
31
Ryff, Carol D., Keyes, Corey Lee M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisted. Journal of Personality dan Social Psychology. Vol. 69, No. 4, 719-727. Salami, S. O. (2011). Personality and Psychological well-being of adolescents: The moderating role of emotional intelligence. Social Behaviour and Personality. 39(6), 785-794. Santrock, John W. (2004). Life-Span Development. Ninth Edition. New York: The McGraw-Hill Company, Inc Springer, Kristen W., Hauser, Robert M., (2003). An Assesment Of The Construct Validity Of Ryff’s Scales Of Psychological Well-being: Method, Mode, and Measurement Effects. Institutional Affiliation: University of Wisconsin-Madison Department of Sociology and Center for Demography of Health and Aging. Sugiyono, (2011). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Sukmaputri, H. E. (2014) Perbedaan Psychological Well-being pada Mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari Internal Locus Of Control dan External Locus of Control. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Sumer, Bilgic, Erol. (2005). Personality Attributes as Predictors of Psychological Well-Being for NCOs. The Journal of Psychology, 2005, 139(6), 529–544. http://web.ebsco-host.com (diunduh 10 Januari 2015) Supratiknya, A. (1993). Psikologi Kepribadian 3 Teori-teori sifat dan behavioristik Yogyakarta: Kanisius. Talamati, B. P. (2012). Hubungan Antara Trait Kepribadian Neuroticism dan Psychological well-being pada Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas Indonesia. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Progdi Sarjana Reguler Universitas Indonesia. Wardani, R., (2014). Pengaruh Trait Kepribadian dan Dukungan Emosional Pasangan Terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu Empty Nester. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. (diunduh tanggal 10 Januari 015). Widyorini, E; Kristiana; Roswita, M. Y. (2003). Adaptasi Inventori Kepribadian “Neurotism Extraversion Openness Personality Inventory Revised”. Hasil Penelitian. Semarang: Laboratorium Psikodiagnostik Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata (tidak diterbitkan). Ziskis, A. S. (2010). The Relationship Between Personality, Gratitude, And Psychological Well-Being. Dissetation. Faculty of psychology in University of New Jersey.