HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN BIG FIVE DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA RELAWAN TAGANA DI JAKARTA
Rizka Mutia Kartika
[email protected]
ABSTRACT
The aim of the research was to investigate the relationship between big five personality with prosocial behavior in TAGANA volunteers in Jakarta. The subjects were 130 TAGANA volunteers in Jakarta. The research used NEO Five-Factor Inventory and prosocial behavior scale. Data analysis used Spearman correlation technique. The result is the extravertion was significantly correlated with prosocial behavior (r = 0,355, p = 0,000). Openness to experience was significantly correlated with prosocial behavior (r = 0,216, p = 0,014). Agreeableness was significantly correlated with prosocial behavior (r = 0,340, p = 0,000). Conscientiousness was significantly correlated with prosocial behavior (r = 0,400, p = 0,000). In conclusion, the results of this study indicate that there is a significant positive relationship between big five personality with prosocial behavior in TAGANA volunteers in Jakarta. The positive relationship indicates that the two variables have an unidirectional relationship.(RMK) Keywords: Big Five Personality, Prosocial Behavior
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kepribadian big five dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Subjek penelitian ini adalah 130 relawan TAGANA di Jakarta. Penelitian ini menggunakan NEO FiveFactor Inventory dan skala perilaku prososial. Analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman. Hasilnya adalah extravertion secara signifikan berkorelasi dengan perilaku prososial (r = 0,355, p = 0,000).Openness to experience secara signifikan berkorelasi dengan perilaku prososial (r = 0,216, p = 0,014). Agreeableness secara signifikan berkorelasi dengan perilaku prososial (r = 0,340, p = 0,000). Conscientiousness secara signifikan berkorelasi dengan perilaku prososial (r = 0,400, p = 0,000). Kesimpulannya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepribadian big five dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Hubungan positif menunjukan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang searah. (RMK) Kata kunci: Kepribadian Big Five, Perilaku Prososial
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana dengan tingkat yang tinggi (HPLI, 2014). Bencana yang dimaksud adalah bencana alam. Bencana alam merupakan segala jenis bencana yang dimana faktor penyebabnya berasal dari alam (Pusat Pendidikan Mitigasi Bencana, 2014). Berbagai peristiwa bencana alam terjadi di Indonesia seperti gempa bumi di Sumatera Barat, meletusnya Gunung Merapi dan banjir di Jakarta.
Gempa bumi yang mengguncang kawasan Sumatera Barat pada tahun 2009 lalu mengundang banyak perhatian dari berbagai masyarakat. Tidak hanya masyarakat di dalam negeri, tetapi juga dunia internasional. Gempa bumi ini menewaskan banyak korban dan mengakibatkan kerusakan pada bangunan-bangunan di kawasan Sumatera Barat. Berbagai relawan nasional maupun internasional berdatangan, tak terkecuali relawan TAGANA (Taruna Siaga Bencana). Sebanyak 15 relawan TAGANA dari Jakarta diterjunkan ke lokasi bencana untuk memberikan bantuan berupa sumbangan dana, bantuan logistik dan melakukan trauma healing (Tagana, 2014). Trauma healing ialah membantu memulihkan trauma pada korban gempa bumi terutama pada anak-anak dengan cara bermain sambil bernyanyi. Selain relawan TAGANA, terdapat pula relawan lain yang turut berpartisipasi untuk membantu korban gempa bumi di Sumatera Barat, yakni relawan dari Mustang 88 FM yang berjumlah 21 orang. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 lalu, menyisakan beragam cerita mengenai dampak yang dialami oleh para korban. Korban tidak lagi memiliki tempat tinggal dan sangat membutuhkan relawan demi mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Dengan adanya hal tersebut, tercatat 150 relawan TAGANA dari Jakarta ikut berpartisipasi. Mereka berpartisipasi untuk membantu mengevakuasi korban bencana dan memberi bantuan berupa fasilitas dapur umum (Tagana, 2014). Terdapat pula tim relawan yang merupakan mahasiswa dari salah satu universitas di Indonesia dengan jumlah kurang lebih 20 orang dan tim relawan dari BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia) yang juga turut berpartisipasi membantu korban meletusnya Gunung Merapi. Selain peristiwa meletusnya Gunung Merapi, relawan TAGANA juga turut membantu para korban banjir di Jakarta yang terjadi diawal tahun 2014. Peristiwa banjir di Jakarta mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Sekretaris Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Andi Asnandar, Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam (PSKBA) Margowiyono dan Tim Reaksi Cepat (TRC) Kemensos langsung menyebar ke beberapa titik pengungsian untuk melihat dapur umum dengan berkontribusi pada seluruh relawan kemanusiaan TAGANA di Jakarta yang berjumlah 1.877 orang. Tidak hanya sekedar mengawaki dapur umum, relawan TAGANA juga ikut mengevakuasi warga Jakarta yang terkena banjir dan turut membantu membersihkan rumah warga yang tergenang banjir (Tagana, 2014). Terdapat pula relawan lain yang berkontribusi pada peristiwa banjir di Jakarta, yakni relawan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang berjumlah 50 orang. Relawan tersebut berkontribusi untuk memberikan bantuan berupa perlengkapan mandi dan tidur. Dengan adanya kasus bencana yang telah dikemukakan diatas, terlihat adanya pertumbuhan dari para relawan yang ikut berpartisipasi saat terjadi peristiwa bencana alam khususnya pada relawan TAGANA di Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah relawan yang ikut terjun ke lokasi bencana mulai dari peristiwa gempa bumi di Sumatera Barat, meletusnya Gunung Merapi hingga peristiwa banjir di Jakarta. Adanya pertumbuhan tersebut, dapat menggambarkan bahwa setiap orang memiliki niat tanpa mempertimbangkan untung dan rugi ketika terjun menjadi relawan. Himpsi (dalam Gunawan & Sulistyorini, 2007) mengatakan bahwa relawan merupakan seseorang yang memiliki niat untuk membantu individu atau sekelompok individu yang memerlukan bantuan, termotivasi oleh kemauan sendiri dan tidak bermaksud untuk menerima harta atau benda. Basuki (2013) juga menambahkan bahwa relawan adalah seseorang yang secara sukarela menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan serta sadar bahwa tidak akan mendapatkan upah atas sesuatu yang telah disumbangkan. Hal ini juga terjadi pada relawan TAGANA yang memiliki kepedulian dan aktif dalam kegiatan penanggulangan bencana bidang bantuan sosial. TAGANA merupakan perwujudan dari penanggulangan bencana bidang bantuan sosial berbasis masyarakat yang beranggotakan seluruh rakyat Indonesia baik pria maupun wanita (Tagana, 2014). Peran TAGANA disesuaikan dengan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 27 yaitu mengamanatkan setiap orang berkewajiban melakukan kegiatan penanggulangan bencana. Selanjutnya, peran TAGANA juga disesuaikan dengan UU 11/2009
tentang Kesejahteraan Sosial, pasal 1 ayat 9 yaitu perlindungan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan sosial (keadaan tidak stabil yang terjadi secara tiba-tiba sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik dan bencana alam). Maraknya organisasi-organisasi sosial yang menyediakan berbagai pelayanan sosial, seperti TAGANA, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), BSMI dan sebagainya patut untuk diberi dukungan dan disambut gembira oleh seluruh warga masyarakat. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kepedulian relawan yang telah bergabung dan berkontribusi dalam organisasi sosial tersebut untuk mengupayakan pelayanan sosial bagi warga masyarakat yang memerlukan bantuan. Waters & Bortree (2007) mengatakan bahwa terdapat empat komponen yang melandasi hubungan antara relawan dengan organisasinya, yaitu kepercayaan, komitmen, keseimbangan dari kekuatan dan kepuasan. Kontribusi dari relawan yang bergabung dalam organisasi TAGANA dinilai sangat positif. Karena kontribusi relawan berfungsi sebagai pilar penyangga tegaknya mentalitas para korban bencana alam. Hal ini diwujudkan melalui adanya dukungan dalam bentuk perilaku menolong yang diberikan relawan untuk para korban bencana alam tanpa memandang latar belakang, suku, agama maupun ras. Sehingga dengan adanya perilaku menolong dari relawan terhadap korban dapat meringankan beban yang dialami oleh korban bencana alam. Eisenberg, Spinrad, & Sadowsky (dalam Aronson, Wilson & Akert, 2007) mengatakan bahwa kualitas yang ada didalam diri seseorang yang dapat menyebabkan orang tersebut mau menolong orang lain dinamakan altruisme. Nindihong (2013) juga menambahkan bahwa altruisme merupakan salah satu karakteristik yang ada di dalam diri relawan. Myers & Batson (dalam Tanjung, 2014) mengatakan bahwa terdapat tiga komponen didalam hati seseorang yang memiliki kecenderungan altruisme diantaranya ialah empati yaitu kemampuan merasakan apa yang dialami oleh orang lain, sukarela yaitu tidak mengharapkan imbalan, dan keinginan untuk memberikan bantuan kepada orang lain tanpa orang tersebut mengetahui bentuk bantuan yang diberikannya. Adanya karakteristik altruisme dapat mewujudkan ketahanan mental yang kuat selain ketahanan fisik yang ada dalam diri relawan ketika sedang melaksanakan tugasnya. Seperti yang kita ketahui bahwa untuk menjadi seorang relawan bukan pekerjaan yang mudah. Hal ini dikarenakan selain tidak diberi upah atau gaji atas jasa yang telah diberikan, menjadi seorang relawan juga memiliki resiko yang sangat tinggi dari tugas kemanusiaan yang diemban. Dengan demikian, peran karakteristik yang ada didalam diri relawan merupakan faktor utama yang sangat penting supaya relawan mampu melakukan pekerjaan kemanusiaan secara efektif dan dapat berperilaku yang mengarah pada perilaku prososial. Twenge, Ciarocco, & Bartels (2007) mengatakan bahwa perilaku prososial dilakukan untuk kepentingan orang lain dan tidak menguntungkan bagi diri sendiri, serta memerlukan resiko. Serupa dengan pernyataan tersebut, Baron & Byrne (2005) mengatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menolong yang menguntungkan bagi orang lain, tanpa memberi keuntungan langsung dan melibatkan resiko bagi orang yang melakukannya. Eisenberg (1989) juga menambahkan bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan secara sukarela dan dimaksudkan untuk membantu maupun memberi keuntungan kepada individu atau sekelompok individu. Perilaku prososial mencakup berbagai bentuk tindakan-tindakan. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa perilaku prososial mencakup pada tindakan-tindakan diantaranya ialah berbagi (sharing), kerjasama (cooperative), menyumbang (donating), menolong (helping), kejujuran (honesty), dan kedermawanan (generosity). Bringham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) menambahkan bahwa tindakan-tindakan dalam perilaku prososial meliputi menolong, kerjasama, persahabatan, kedermawanan, menyelamatkan dan pengorbanan. Selanjutnya, Wispe (dalam Luthfi, 2009) juga mengatakan bahwa tindakan-tindakan dalam perilaku prososial meliputi simpati (sympathy), kerjasama (cooperation), menolong (helping), menyumbang (donating) , dan altruistik (altruism).
Eisenberg & Mussen (1989) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap perilaku prososial. Selanjutnya, Eisenberg & Mussen (1989) menambahkan bahwa faktor-faktor tersebut diantaranya faktor biologis, budaya masyarakat setempat, pengalaman sosialisasi, proses kognitif, respon emosional, faktor situasional, dan faktor karakteristik individu khususnya kepribadian. Piliavin (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) juga menambahkan bahwa faktor yang terdapat didalam diri seseorang, yakni kepribadian memiliki kecenderungan terhadap individu untuk berperilaku prososial. Kepribadian merupakan suatu pola yang relatif menetap didalam diri individu yang menghasilkan beberapa ukuran konsisten tentang perilaku (Feist & Feist, 2009). Fieldman (dalam Endah, 2005) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan yang dikemukakan para ahli untuk memahami kepribadian, salah satunya dengan menggunakan teori trait. Para peneliti menyetujui teori trait yang mengelompokkan trait menjadi lima besar dengan dimensi bipolar, yang disebut Big Five (Beaumont & Stout, 2003). Penelitian-penelitian mengenai big five factor yang dilakukan oleh para ahli menjadikan big five factor sebagai satu-satunya dimensi kepribadian yang dapat direplikasi dalam bentuk bahasa maupun budaya. McCrae & Costa (1997), big five dapat digunakan dalam berbagai bentuk bahasa, baik dalam bentuk bahasa Inggris maupun bahasa lainnya. Piedmont & Chae (1997) juga berpendapat berbagai penelitian lintas budaya mengenai kepribadian big five ini dilakukan, salah satunya di Korea. Feist & Feist (2009) mengatakan bahwa big five adalah salah satu bentuk kepribadian yang dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku individu. Moberg (1999) menambahkan bahwa Big Five atau FFM didasarkan pada kategori sifat individu, yang dapat digunakan untuk mengevaluasi diri sendiri maupun orang lain. Dalam Five Factor Model (FFM), trait kepribadian digambarkan dalam bentuk lima dimensi dasar (McCrae & Costa dalam Pervin, 2005). Kelima dimensi dasar diantanya pertama, neuroticism adalah individu yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir. Kedua, extraversion adalah individu yang memiliki emosi yang positif, energik, senang bergaul, tertarik dengan banyak hal dan ramah dengan orang lain. Ketiga, opennes to experience adalah individu yang memiliki kapasitas untuk menyerap informasi, fokus pada berbagai pikiran maupun perasaan. Keempat, agreeableness adalah individu yang ramah, rendah hati, tidak menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Kelima, conscientiousness adalah individu yang memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, mengikuti aturan dan norma, terencana, dan memprioritaskan tugas. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, terdapat dua trait kepribadian dari lima trait kepribadian dalam big five yang dikemukakan oleh McCrae & Costa (dalam Pervin, 2005), yaitu extraversion dan agreeableness sama-sama memiliki kepribadian yakni ramah dengan orang lain. Dalam tabel karakteristik skor tinggi dan skor rendah pada dimensi big five, terlihat bahwa agreeableness dan extrovertion memiliki skor tinggi pada karakteristik suka menolong (Moberg, 1999). Artinya, individu yang memiliki karakteristik agreeableness dan extrovertion ialah individu yang suka menolong. Menolong merupakan bentuk yang paling jelas dari perilaku prososial. Eisenberg dan Mussen (1989) menambahkan bahwa menolong merupakan salah satu bentuk tindakan dari perilaku prososial. Maka para relawan TAGANA di Jakarta yang memiliki kepedulian dan aktif dalam penanggulangan bencana bidang bantuan sosial, dapat dikatakan memiliki karakteristik yang menonjol baik itu extraversion atau agreeableness maupun keduanya. Pada kenyataannya, tidak semua relawan TAGANA memiliki karakteristik yang menonjol baik itu pada extraversion maupun agreeableness. Hal ini dikarenakan bisa saja relawan tersebut memiliki karakteristik yang menonjol baik itu pada openness to experience, conscientiousness, atau neuroticism. Dengan variasi yang cukup besar, maka peneliti ingin melihat kepribadian big five mana yang memiliki kecenderungan pada relawan TAGANA untuk beperilaku prososial. Dengan demikian, peneliti mengangkat penelitian ini untuk membahas apakah kepribadian big five memiliki hubungan yang signifikan atau tidak signifikan dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta.
METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil populasi penelitian pada relawan yang bergabung dalam organisasi di Jakarta. Untuk membatasi besarnya jumlah sampel penelitian, maka terdapat karakteristik-karakteristik yang ditentukan sebagai landasan dari kriteria sampel penelitian, yaitu: laki-laki dan perempuan, pendidikan terakhir minimal SMP, memiliki Nomor Induk Anggota (NIA) TAGANA, dan telah mengikuti pelatihan TAGANA, serta Aktif dan pernah menjadi relawan. Teknik pengambilan sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling non-probabilitas (non-probability sampling). Sugiyono (2010) mengatakan bahwa teknik sampling non-probabilitas ialah teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel penelitian. Metode yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan atas karakteristik dan pertimbangan kriteria-kriteria tertentu (Sugiyono, 2010). Berdasarkan perspektifnya, penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan tipe penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif ialah penelitian yang dianalisa secara statistik, yakni berupa angka (Seniati, Yulianto, dan Setiadi, 2011). Penelitian kuantitatif ialah penelitian yang dapat menemukan fakta dan menguji teori-teori yang timbul (Sumanto, 1995). Berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Marczyk, dkk (2005) mengatakan bahwa penelitian korelasional bertujuan untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara dua variabel atau lebih. Bordens & Abbott (2005) mengatakan bahwa penelitian korelasional termasuk pada kategori yang lebih besar yang dinamakan sebagai penelitian non-eksperimental. Dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk variabel kepribadian big five merupakan alat ukur yang diadaptasi oleh peneliti berupa kuesioner dengan mengadaptasi NEO Five-Factor Inventory dari Costa dan McCrae. NEO Five-Factor Inventory merupakan alat ukur yang menggunakan skala likert. Skala likert adalah skala yang biasanya memiliki skala 3, 4, 5, 6 atau 7 (Sugiyono, 2010). Sedangkan dalam pengukuran variabel perilaku prososial, alat ukur yang digunakan berupa kuesioner dengan mengadaptasi aspek-aspek perilaku prososial dari Eisenberg & Mussen (1989) yang dibuat oleh Wulandari pada tahun 2012, yang digunakan
untuk meneliti remaja PPA Solo. HASIL DAN BAHASAN Dalam pengambilan data, kuesioner disebarkan kepada 130 responden yang merupakan relawan TAGANA di Jakarta. Gambaran responden dalam penelitian ini digolongkan menurut usia, jenis kelamin dan pendidikan terakhir. Berikut ini adalah gambaran responden berdasarkan usia: Tabel Gambaran Responden Berdasarkan Usia Usia
Frekuensi Usia
Persentase
18-24 25-32
23 44
17,8% 33,8%
33-40
63
48,4%
Total 130 100% Sumber Hasil Olah Data SPSS Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat 23 responden (17,8%) yang berusia 18-24 tahun, 44 responden (33,8%) yang berusia 25-32 tahun dan 63 responden (48,4%) yang berusia 33-40 tahun. Hasil menunjukkan bahwa jumlah responden yang terbesar ialah
responden dengan usia 33-40 tahun, sedangkan yang terkecil ialah responden dengan usia 18-24 tahun. Berikut ini adalah gambaran pengelompokkan responden berdasarkan jenis kelamin: Tabel Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi
Persentase
Laki-laki
80
61,5%
Perempuan
50
38,5%
Total
130
100%
Sumber Hasil Olah Data SPSS Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 80 responden (61,5%) yang berjenis kelamin laki-laki, dan 50 responden (38,5%) yang berjenis kelamin perempuan. Hasil menunjukkan bahwa profil responden mayoritas berjenis kelamin laki-laki. Berikut ini adalah gambaran pengelompokkan responden berdasarkan pendidikan terakhir: Tabel Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Pendidikan Terakhir Frekuensi SMP SMA D3 S1 S2 Total Sumber Hasil Olah Data SPSS
26 81 6 14 3 130
Persentase 20,0% 62,3% 4,6% 10,8% 2,3% 100%
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat 26 responden (20,0%) yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP, 81 responden (62,3%) yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA, 6 responden (4,6%) yang memiliki tingkat pendidikan terakhir D3, 14 responden (10,8%) yang memiliki tingkat pendidikan terakhir S1 dan 3 responden (2,3%) yang memiliki tingkat pendidikan terkahir S2. Hasil menunjukkan bahwa jumlah responden tersebesar ialah responden yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA. Hasil dari perhitungan korelasi melalui software IBM SPSS Statistics (Version 20) menunjukkan data sebagai berikut: Tabel Korelasi Big Five dan Perilaku Prososial Prososial Spearman's rho Prososial
Neuro
Extrovert
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
1,000 . 130 -,140 ,112 130 ,355** ,000 130
Openness Spearman's rho
Agree
Conscien
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
,216* ,014 130 ,340** ,000 130 ,400** ,000 130
Sumber Hasil Olah Data SPSS Berdasarkan tabel hasil uji korelasi Spearman diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara neuroticism dengan perilaku prososial memiliki nilai signifikansi sebesar 0,112 dan angka korelasi sebesar -0,140. Berdasarkan kategori korelasi maka dapat diperoleh hasil bahwa korelasi antara neuroticism dengan perilaku prososial masuk kedalam tingkat hubungan yang sangat rendah. Hubungan antara extravertion dengan perilaku prososial memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 dan angka korelasi sebesar 0,355. Berdasarkan kategori korelasi maka dapat diperoleh hasil bahwa korelasi antara extravertion dengan perilaku prososial masuk kedalam tingkat hubungan yang rendah. Ditinjau dari hubungan antara openness to experience dengan perilaku prososial memiliki nilai signifikansi sebesar 0,014 dan angka korelasi sebesar 0,216. Berdasarkan kategori korelasi maka dapat diperoleh hasil bahwa korelasi antara openness to experience dengan perilaku prososial masuk kedalam tingkat hubungan yang rendah. Hubungan antara agreeableness dengan perilaku prososial memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 dan angka korelasi sebesar 0,340. Berdasarkan kategori korelasi maka dapat diperoleh hasil bahwa korelasi antara agreeableness dengan perilaku prososial masuk kedalam tingkat hubungan yang rendah. Sedangkan, hubungan antara conscientiousness dengan perilaku prososial memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 dan angka korelasi sebesar 0,400. Berdasarkan kategori korelasi maka dapat diperoleh hasil bahwa korelasi antara conscientiousness dengan perilaku prososial masuk kedalam tingkat hubungan yang sedang. Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini ditemukan hasil diantaranya, korelasi neuroticism dengan perilaku prososial sebesar -0,140 dan signifikansi sebesar 0,112 (> 0,05). Sehingga, Ho diterima dan Ha ditolak. Korelasi extravertion dengan perilaku prososial sebesar 0,355 dan signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Artinya, extravertion memiliki hubungan positif dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta dan signifikan, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, semakin tinggi extravertion maka semakin tinggi perilaku prososial, begitupula sebaliknya. Korelasi openness to experience dan perilaku prososial sebesar 0,216 dan signifikansi sebesar 0,014 (< 0,05). Artinya, openness to experience memiliki hubungan positif dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta dan signifikan, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, semakin tinggi openness to experience maka semakin tinggi perilaku prososial, begitupula sebaliknya. Korelasi agreeableness dan perilaku prososial sebesar 0,340 dan signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Artinya, agreeableness memiliki hubungan positif dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta dan signifikan, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, semakin tinggi agreeableness maka semakin tinggi perilaku prososial, begitupula sebaliknya. Korelasi conscientiousness dan perilaku prososial sebesar 0,400 dan signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Artinya, conscientiousness memiliki hubungan positif dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta dan signifikan, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, semakin tinggi conscientiousness maka semakin tinggi perilaku prososial, begitupula sebaliknya.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengambilan dan pengolahan data yang dilakukan melalui software IBM SPSS Statistics (Version 20) di dalam penelitian ini, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepribadian big five dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Selanjutnya, dimensi dari kepribadian big five yang memiliki hubungan positif dengan perilaku prososial dan signifikan adalah extravertion, openness to experience, agreeableness dan conscientiousness yang akan dijelaskan sebagai berikut: Extravertion dengan nilai korelasi sebesar 0,355 dan signifikansi sebesar 0,000. Extravertion dicirikan seperti memiliki emosi yang positif, enerjik, senang bergaul, tertarik dengan banyak hal, juga ramah terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki karakteristik extravertion senang bersosialisasi dengan orang banyak. Mereka juga aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan, seperti kegiatan sosial dalam memberikan bantuan kepada korban bencana alam. Serupa dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Mlcak (2012) menunjukkan bahwa extravertion memiliki kecenderungan untuk berperilaku aktif dalam krisis dan situasi emosional. Selain itu, mereka juga termotivasi untuk menghadapi tantangan seperti membantu mengevakuasi korban dilokasi bencana yang rawan dan mengandung resiko tinggi. Openness to experience dengan nilai korelasi sebesar 0,216 dan signifikansi sebesar 0,014. Individu yang memiliki karakteristik openness to experience merupakan individu yang kreatif. Artinya, ketika sedang mengalami kesulitan individu yang openness to experience akan menggunakan berbagai akal untuk dapat mengatasinya. Selain itu, individu yang openness to experience juga memiliki kapasitas dalam menyerap informasi. Sehingga ketika melihat seseorang yang membutuhkan bantuannya, individu yang openness to experience cenderung lebih cepat untuk berperilaku prososial. Penelitian dari Mlcak (2012) juga menyatakan bahwa openness to experience dicirikan sebagai pribadi yang lebih emosional dan secara kognitif berempati pada situasi darurat. Agreeableness dengan nilai korelasi sebesar 0,340 dan signifikansi sebesar 0,000. Mengacu pada teori Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), mengatakan bahwa salah satu skala dalam agreeableness ialah altruism yaitu individu yang memiliki keinginan untuk menolong orang lain. Altruism merupakan salah satu bentuk spesifik dari perilaku prososial (Murhima, 2010). Individu yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ialah individu yang ramah dengan orang lain. Mereka juga suka menolong orang lain yang membutuhkan bantuan. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Timothy (dalam Gufron, 2010) bahwa tipe kepribadian agreeableness ini mengidentifikasikannya dengan perilaku prososial yang mana termasuk didalamnya ialah perilaku yang berorientasi pada altruistik dan rendah hati. Conscientiousness dengan nilai korelasi sebesar 0,400 dan signifikansi sebesar 0,000. Individu yang memiliki conscientiousness yang tinggi merupakan individu yang disiplin dan pekerja keras. Serupa dengan hal tersebut, McCrae & John (dalam Zukauskiene & Malinauskiene, 2009) mengatakan bahwa conscientiousness dikaitkan dengan perilaku proaktif, memiliki kemauan yang kuat untuk mencapai sesuatu, memiliki harga diri yang tinggi, dan memiliki kontrol terhadap keinginannya. Selanjutnya, Zukauskiene & Malinauskiene (2009) berpendapat bahwa kualitas ini tampaknya berharga bagi seseorang yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan sukarelawan. Penelitian dari Mlcak (2012) juga menyatakan bahwa conscientiousness dicirikan sebagai pribadi yang lebih emosional dan secara kognitif berempati pada situasi darurat. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa hubungan yang ada antara extravertion, openness to experience, agreeableness dan conscientiousness memiliki hubungan yang searah dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Jadi, apabila extravertion, openness to experience, agreeableness dan conscientiousness tinggi maka perilaku prososial akan tinggi, begitupula sebaliknya. Jika extravertion, openness to experience, agreeableness dan conscientiousness rendah maka perilaku prososial akan rendah.
Saran dalam penelitian ini terdiri dari saran teoritis dan saran praktis. Saran teoritis dalam penelitian ini ialah untuk penelitian selanjutnya yang serupa disarankan agar lebih memperhatikan item-item pertanyaan untuk masing-masing variabel baik dari segi kuantitas maupun kualitas item pertanyaan agar lebih dapat mengukur apa yang ingin diukur. Perilaku prososial tidak hanya terjadi dikalangan relawan, tetapi juga hampir pada semua kalangan. Oleh sebab itu, dalam penelitian selanjutnya jumlah sampel lebih diperbanyak dengan melibatkan kalangan diluar relawan, sehingga responden dalam penelitian dapat mewakili tujuan yang ingin dicapai didalam penelitian. Peneliti tidak melakukan pengujian tentang perbedaan antara perilaku prososial relawan TAGANA di Jakarta dengan perilaku prososial relawan diluar TAGANA. Ada baiknya, bagi peneliti selanjutnya untuk melihat perbedaan tersebut mengingat perilaku prososial sangat penting dalam kehidupan sosial. Sedangkan, saran praktis dalam penelitian ini ialah TAGANA merupakan organisasi milik Dinas Kementrian Sosial. Untuk menjadi relawan TAGANA dibutuhkan pelatihan khusus seperti cara yang dilakukan saat mengevakuasi korban, memberikan pelayanan dapur umum dan melayani kebutuhan darurat yang diperlukan. Dengan demikian, untuk menjadi relawan TAGANA sangat memprioritaskan segi hardskill dari calon relawan TAGANA. Sedangkan segi softskill, seperti tes kepribadian belum digunakan. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas kinerja relawan TAGANA agar menjadi lebih baik, sebaiknya softskill juga diperlukan untuk mengetahui karakteristik dari relawan TAGANA. Untuk itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan positif bagi organisasi TAGANA, bahwa karakteristik conscientiousness dapat melahirkan relawan yang mampu bekerja sesuai visi dan misi organisasi. Bagi relawan TAGANA, hendaknya lebih ditingkatkan lagi nilai-nilai sosial khususnya perilaku prososial pada kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan agar dapat mengembangkan jiwa relawan dalam dirinya.
REFERENSI
Aronson, E., Wilson, T.D., & Akert, R. M. (2007). Social Psychology (6th edition). Singapore: Pearson Prentice Hall. Baron & Byrne. (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Basuki, Edi. (2013). Apa itu kerelawanan dan siapa yang disebut relawan. Diunduh pada 19 Februari 2014 dari http://ebasonline.blogdetik.com Beamont & Stout. (2003). Five factor constellations and popular personality types. Psychology 106. Dayakisni, T., & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial Edisi Revisi. Malang: UMM Press. Eisenberg, N., & Mussen, P.H. (1989). The Root of Prosocial in Children. New York : Cambridge University Press. Endah, Mastuti. (2005). Analisis Faktor Alat Ukur Kepribadian Big Five (Adaptasi dari IPIP) pada Mahasiswa Suku Jawa. Insan, 7 (3), 264. Feist, J., & Feist, J.G. (2009). Theories of Personality. New York: McGraw-Hill Companies, inc. Gunawan & Sulistyorini. (2007). Hubungan antara Spiritualitas dengan Perilaku Prososial Pada Relawan Gempa Bumi. Skripsi S1. Universitas Islam Negeri, Yogyakarta. HPLI. (2014). Himpunan Pemerhati Lingkungan Hidup Indonesia. Diunduh pada 4 September 2014 dari hpli.org McCrae, R.R., & Costa, P.T. (1997). Personality Trait Structure as a Human Universality. Americant Psychologist, 52 (5), 509-516. Moberg, J.D. (1999). The Big Five and Organizational Virtue. Business Ethics Quarterly. 9 (2), 245-272.
Nindihong. (2013). Karakteristik dan kepribadian seorang relawan. Diunduh pada 25 Juni 2014 dari http://nindihong.wordpress.com Pervin, L.A. (2005). Handbook of personality: theory and research. New York: Gilford. Piedmont, R.L., & Chae, J. (1997). Cross-Cultural Generalizability of The Five-Factor Model Of Personality, Development and Validation of The NEO PI-R for Koreans. Journal Of Cross-Cultural Psychology, 28 (2), 131-155. Pusat Pendidikan Mitigasi Bencana. (2014). Pusat Pendidikan Mitigasi Bencana. Diunduh pada 4 September 2014 dari http://p2mb.geografi.upi.edu Tagana. (2014). Taruna Siaga Bencana. Diunduh pada 19 Februari 2014 dari http://tagana.kemsos.go.id Tanjung, N.S.B. (2014). Pengaruh orientasi religiusitas, locus of control dan faktor demografis terhadap perilaku altruism relawan bencana MRI (Masyarakat Relawan Indinesia). Diunduh pada 10 Juli 2014 dari www.academia.edu Twenge, J. M., Ciarocco, N. J., & Bartels J.M. (2007). Social Exclusion Decreases Prosocial Behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 92 (1), 56-66. Waters, R.D., & Bortree, D. (2007). Measuring the Volunteer Nonprofit Organization Relationship: An Application of Public Relations Theory. The International Journal of Volunteer Administration, 24 (6). Wulandari, Y.W.H. (2012). Empati dan Pola Asuh Demokratis Sebagai Prediktor Perilaku Prososial Remaja PPA Solo. Tesis. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
RIWAYAT HIDUP
Nama Tempat, tanggal lahir Pendidikan
: Rizka Mutia Kartika : Banda Aceh, 14 November 1992 : S1 di Binus University, Fakultas Psikologi 2014