HUBUNGAN ANTARA KEBERMAKNAAN HIDUP DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (PWB) PADA SISWA SMA NEGERI 5 HALMAHERA UTARA
OLEH EFA SARI A. HIBORANG 80 2010 126
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014
ABSTRACT The type of this research is a correlational research which aims to know the significance of the relationship between the meaningfulness of life with the psychological well-being of high school student state 5 Northern Halmahera. Far this research, 70 students were taken as sample that was done using random sampling technique. The research method used in data collection that the meaningfulness of life scale compiled by the authors based on the categories that were dictated by Frankl, to the measure the meaningfulness of life perceived by he student and the scale of psychological well-being (PWB) drafted by (Ryff, 1995). Based on dimension and then I use as a gauge to measure the psychological well-being of students, The research also used product moment correlation coefficient (r) 0,512 with P <0,05 which means that there is a significant positive relationship between the meaningfulness of life and psychological well-being. This means that the higher thhe meaningfulnessof life means more psychological well-being. Keyword: Meaningfulness of life, Psychological well-being, Student
ABSTRAK Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being(PWB) siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara. Siswa sebanyak 70 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel Random Sampling. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data yaitu skala kebermaknaan hidup yang disusun sendiri oleh penulis berdasarkan kategori yang diungkapkan oleh Frankl, untuk mengukur kebermaknaan hidup yang dirasakan oleh siswa dan skala psychological well being (PWB) yang disusun oleh Ryff (1995), berdasarkan dimensi-dimensinya yang kemudian penulis gunakan sebagai alat ukur untuk mengukur psychological well-being (PWB) siswa. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,512 dengan P < 0,05 yang berarti ada hubungan positif dan signifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB). Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi kebermaknaan hidup berarti semakin tinggi pula psychological well-being(PWB). Kata Kunci: Kebermaknaan Hidup, Psychological well-being (PWB), Siswa.
PENDAHULUAN Sejak dulu hingga saat ini pembahasan tentang manusia memang tidak akan pernah ada habisnya. Manusia diciptakan Tuhan dengan karakter yang unik dan beragam. Manusia diberikan akal dan pikiran agar bisa mengembangkan dirinya. Psychological well-being (PWB) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff & Keyes, 1995). Berbagai cara telah di upayakan manusia demi mencapai kesejahteraan, baik kesejahteraan fisik maupun psychological well-being (PWB). Individu yang memiliki kesehatan fisik memiliki psychological well-being (PWB) daripada individu yang tidak memiliki kesehatan fisik (grossi, Blessi, Sacco & Buscema, 2012). Kondisi konkrit yang kacau dan terjadi pada hampir seluruh aspek ini, memaksa rakyat menjalani hidup yang memberikan banyak tekanan sehingga tidak merasakan kebahagiaan (Happiness). Di samping itu, individu yang memiliki psychological well-being (PWB) akan memiliki kondisi psikologis yang sehat (Edward, 2006). Sayangnya masyarakat tidak menyadari bahwa sebenarnya bukan kesejahteraan fisik saja yang perlu dikwatirkan, tapi kesejahteraan psikologi atau mental mereka juga perlu diperhatikan, harus diakui bahwa masyarakat kita belum memberikan perhatian penuh yang serius pada masalah kesehatan dan psikologis. Hal ini jelas terlihat karena sampai saat ini pemerintah dan masyarakat lebih fokus pada masalah yang tampak dipermukaan saja dengan mengabaikan efek psikologis dari fenomena-fenomena masyarakat yang terjadi. Psychological well-being (PWB) tidak hanya merupakan bagian dari kesehatan mental yang bersifat negatif, tetapi lebih mengarah kepada kemampuan individu untuk dapat mengembangkan potensi
dan kemampuan yang dimilikinya secara optimal, sebagai individu yang utuh baik secara fisik, emosional maupun psikologis (Ryff, 1995). Psychological well-being (PWB) masyarakat akan tercapai apabila secara kognitif masyarakat memperoleh kepuasan, dan dapat terpenuhi apabila individu mampu memaknai hidupnya secara positif. Teori Logo-Terapi memandang bahwa hidup yang sehat adalah hidup yang penuh makna (Frankl, 2003). Individu yang mampu menghayati hidup bermakna akan tampak penuh gairah dan optimism dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Shek,(1992) melalukan sebuah penelitian terhadap siswa sekolah menengah di Cina menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa siswa yang mendapat nilai tertinggi dalam hal kualitas eksistensi atau tingginya kebermaknaan hidup akan diikuti oleh tingginya Psychological well-being (PWB). Zika Chamberlain, (1997), Wong (1987),
Recker Peock &
juga menunjukan hasil yang sama saat meneliti tentang
kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) pada siswa remaja yaitu mempunyai hubungan yang positif signifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB). Oleh karena itu sangatlah penting memperhatikan
psychological
well-being
(PWB)
seseorang karena
sangat
berpengaruh pada kehidupannya, karena dengan individu merasa bermakna dalam kehidupannya maka ia akan merasa terpenuhi psychological well-being (PWB), pendapat tersebut didukung oleh Ryff, (1989) yang menyatakan bahwa keberadaaan makna hidup memiliki peran penting dalam tercapainya psychological well-being (PWB). Hal penting dalam hidup bermakna adalah memiliki tujuan hidup yang
jelas, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga semua kegiatan menjadi lebih terarah dan berfungsi secara efektif karena individu sudah mempunyai tujuan, maksud dan manfaat yang menciptakan kesan bahwa hidup ini sangatlah berarti atau penuh makna. Bila kebermaknaan hidup ditemukan dan tujuan hidup ditetapkan dan berhasil pula direalisasikan, maka kehidupan akan terasa sangat berarti (meaningful) sehingga pada akhirnya menimbulkan kebahagiaan (happiness) yang dapat mengacu pada kesejahteraan psikologis seseorang. Bagaimana seseorang dapat memberikan sesuatu yang berguna dan dapat mempengaruhi pemenuhan kebermaknaan hidup yaitu melalui komitmen untuk berkarya atau melakukan hal-hal baru yang positif. Hal ini didukung oleh pendapat Frankl, (2003) yang mengatakan bahwa individu dapat bekerja, berkreasi dan berprestasi karena ketika seorang individu berkarya, bekerja dan berprestasi berarti individu tersebut telah memberikan sesuatu pada kehidupannya dan berpengaruh pada kebermaknaan hidupnya sehingga bisa merasa terpenuhi kesejahteraan psikologisnya. Psychological well-being (PWB) sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri siswa secara keseluruhan agar dapat mencapai kesuksesan. Psychological well-being (PWB) dibutuhkan agar individu dapat meningkatkan efektivitas dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah bidang akademik. Seharusnya dalam menempuh pendidikan siswa diharapkan mempunyai psychological well-being (PWB) yang baik, hal tersebut dikarenakan agar individu dapat mencapai titik aktualisasi diri sehingga dapat mencapai kesuksesan di bidang akademik. Di antara berbagai kemajuan masyarakat modern sekarang ini terdapat banyak pula keprihatinan yang menyertai, salah satunya terkait dengan dunia remaja. Media masa dan fasilitas kemoderenan, remaja semakin terkondisikan
mengikuti gaya hidup konsumsi yang menuju pada arah desktruktif. Perubahan gaya hidup tersebut semakin mengkhawatirkan ketika mereka mengidentifikasikan diri dan dan kehilangan kesejatian diri akibat mentalitas meniru gaya hidup bentukan media (Anggriany, 2006). Frankl, (2003), seorang psikoterapis eksistensial menyatakan kasus bunuh diri, meluasnya fenomena alkoholisme, seks bebas, pemujaan berlebihan pada uang dan keduniawian, keinginan berlebihan pada kekuasaan, kejahatan, sikap masa bodoh terhadap hidup, pesimis terhadap masa depan adalah bentuk-bentuk kekosongan eksistensi atau frustasi eksistensial. Frustasi yang berkaitan dengan keterhambatan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna. Semakin banyak
perilaku remaja yang menunjukan frustasi eksistensial, akan
semakin sulit bagi mereka untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan untuk menghadapi masa dewasa yang baik. Di sisi lain, dengan kondisi tersebut, akan sulit pula bagi remaja menjadi sumber daya manusia yang potensial sebagai penerus keberlangsungan bangsa. Hal serupa terjadi pada siswa di SMA Negeri 5 Halmahera Utara adalah kurangnya tujuan hidup pada siswa yang menjalani pendidikan di tingkat sekolah menengah atas (SMA) yang disertai rasa tidak senang. Beberapa diantaranya merasa frustasi dan merasa tidak mendapatkan sesuatu yang membuat mereka merasa sejahtera secara psikologis. Hal ini didukung oleh pendapat Frankl yang mengatakan bahwa individu yang tidak berhasil menemukan dan memenuhi makna hidupnya, tidak sejahtera secara psikologis yang mengakibatkan semacam frustasi yang disebut frustasi eksistensial Frank, (2003) dengan keluhan utama menghayati hidupnya akan terasa hampa dan tak bermakna (meaningless). Fenomena yang
terjadi pada siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara merunjuk pada kondisi rendahnya psychological well-being (PWB). Ketidakbermaknaan hidup inilah yang dapat menyebabkan siswa menjadi kehilangan minat dan inisiatif untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru serta merasakan perasaan-perasaan hampa, karena menjalani kehidupan sebagai hal yang rutin, mekanis dan menjenuhkan. Individu yang demikian ini tidak lagi memiliki kepastian mengenai apa yang harus diperbuatnya dan apa yang sepatutnya diperbuat. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari tidak semua orang bisa merasakan kesejahteraan psikologis. Menurut Frankl (dalam Schultz, 1991) mengatakan bahwa suatu kepribadian yang sehat akan mengandung tingkat ketegangan tertentu antara apa yang ingin dicapai atau yang ingin diselesaikan. Adanya ketegangan ini akan membuat individu memperjuangkan tujuan yang dapat memberi makna hidup, dan perjuangan yang terus menerus ini akan menghasilkan kehidupan yang penuh semangat dan gembira. (Anggriany, 2006). Oleh karena itu, remaja yang dianggap belum pantas memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak dan filosofis, menjadi mungkin untuk ia dapat memahami, menghayati, dan menjalani kebermaknaan hidup, apalagi perkembangan hidup remaja sudah mencapai tahap formal operational (Santrock, 2002). Tahap perkembangan moral mereka pun sudah mulai mengembangkan moralitas internal. Dengan tahapan perkembangan tersebut, tentunya emaja sudah dapat memahami sejauh mana telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri. Sejauh mana remaja dapat menghayati mengenai kualitas, tujuan dan harapan dalam hidupnya agar dapat berarti bagi dirinya dan sesama. (Anggriany, 2006).
Melihat fenomena dan hasil penelitian yang ada maka penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kebermaknaan hidup dan psychological well-being (PWB). Alasan penulis memilih judul ini karena sejauh penelusuraan penulis penelitian ini tidak banyak dilakukan pada siswa SMA sehingga penulis tertarik untuk meneliti secara langsung antara “Hubungan kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) pada SMA Negeri 5 Halmahera Utara. Berangkat dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, dalam hal ini penulis mencoba merumuskan rumusan masalah yang akan menjadi fokus penulisan, yaitu: Adakah hubungan yang signifikan antara Kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) pada siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara? Adapun Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) pada siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara.
TINJAUAN PUSTAKA
Psychological well-being (PWB) Dari beberapa teori yang penulis gunakan dalam mendefinisikan psychological well-being (PWB ) antara lain teori dari Ryff, (1995), dan Lawton dalam Rini, (2008). Dari kedua teori tersebut, penulis menggunakan teori dari Ryff, (1995) sebagai defenisi dari psychological well-being (PWB) yaitu bahwa sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya atas evaluasi dari pengalaman hidupnya.
Dimensi Psychological well-being (PWB). (Ryff, 1995) mendefinisikan konsep psychological well-being (PWB) dalam enam dimensi yakni dimensi penerimaan diri (self-acceptance), hubungan yang positif dengan orang lain (positive relationship with others), otonomi Autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery) tujuan hidup, Tujuan hidup (purose in life) dan pertumbuhan pribadi. a. Penerimaan diri (self-acceptance) Penerimaan diri mengandung arti sebagai sikap yang positif terhadap diri sendiri. Sikap positif ini dalah mengenali dan menerimah berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif maupun yang negatife, serta memliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya. b. Otonomi (Autonomy) Ryff, menyimpulkan pribadi yang otonom adalah pribadi yang mandiri, yang dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Individu ini memiliki internal locus of evaluation, yakni tidak mencari persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dirinya dengan standar personal. Oleh karena itu, ia tidak memikirkan harapan-harapan dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Individu yang otonom juga tidak menggantungkan diri pada orang lain untuk membuat keputusan penting. Individu ini tidak menyesuaikan diri terhdap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam bentuk talenta. c. Penguasaan lingkungan(environmental mastery) Dimensi ini menggambarkan adanya suatu perasaan yang kompeten dan penguasaan dalam mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal diluar diri, dan berpatisipasi dalam berbagai aktivitas, serta mampu
mengendalikannya. Menurut Ryff orang yang memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk mengatur lingkungannya. Individu seperti ini mampu mengendalikan kegiatan-kegiatan yang kompleks sekalipun. Ia juga dapat menggunaan kesempatan-kesempatan yang ada secara efektif dan mampu memilih, atau bahkan menciptakan lingkungan yang selaras dengan kondisi jiwanya. d. Tujuan hidup (purpose in life) Orang yang
memiliki tujuan hidup adalah orang yang memiliki
keterarahan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam hidupnya. Ia memiliki keyakinan dan pandangan tertentu yang dapat memberikan arah dalam hidupnya itu bermakna dan berarti, baik dimasa lalu, kini, maupun yang akan datang. Individu memiliki perasaan menyatu seimbang, dan terintegrasinya bagian-bagian diri. e. Pertumbuhan pribadi. Suatu pertumbuhan yang optimal tidak hanya berarti bahwa seseorang dapat mencapai kualitas-kualitas yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi juga membutuhkan suatu perkembangan dan potensi-potensi seseorang secara berkesinambungan. Kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahanperubahan dalam hidup membutuhkan adanya perubahan yang keras yang berlangsung dalam diri. Kebermaknaan Hidup Dari beberapa teori yang penulis gunakan dalam mendefinisikan kebermaknaan hidup antara lain teori dari menurut (Frankl, 2003) dan menurut (Bastaman, 2007). Dari kedua teori tersebut, penulis menggunakan teori dari
Menurut (Frankl, 2003) sebagai defenisi dari makna hidup yaitu menyatakan bahwa kebermaknaan hidup sebagai keadaan yang menunjukan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri. Kategori Kebermaknaan Hidup Frankl mengkategorikan kebermaknaan hidup sebagai tiga nilai adalah sebagai berikut: a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values), Kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. b. Nilai-nilai penghayatan (Eksperiential Values), Keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan,keindahan, keimanan, dan keagamaan serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Cinta kasih dapat menjadikan pula seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan. c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values), Menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, kematian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal.
Hubungan Kebermaknaan Hidup dengan Psychological well-being (PWB) Di tengah dunia yang sedang memasuki sistem global dan modernisasi dengan berbagai macam persoalan hidup ini banyak fenomena dimana orang semakin jauh meninggalkan nilai-nilai tradisional yang berbentuk adat istiadat, kepercayaan, serta nilai-nilai religius yang baik dan beralih pada nilai-nilai materialism, dan modernism yang pada akhirnya seringkali membawa dampak negative. Dampak ini dapat dilihat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari seperti perasaan tidak aman, bingung, dan jiwa yang tidak sejahtera. Fenomena seperti ini dapat menyebabkan terjadinya kehampaan hidup dalam diri seseorang sehingga kebermaknaan hidup yang didambakan oleh semua manusia semakin jauh dari kehidupan manusia. Bastman, 1996) mengatakan bahwa tekanan yang terlalu besar terhadap aspek material kehidupan, disertai gaya hidup yang berpusat pada diri sendiri dan mengabaikan masyarakat sekeliling menjadi penyebab persoalan utama manusia dalam menemukan diri dan kebermaknaan hidupnya. Akibat terlalu jauh dalam pergaulan adalah tidak terpenuhinya psychological well-being (PWB) siswa dan semakin banyaknya berbagai macam symptom gangguan psikologis yang tampak dari banyaknya tugas-tugas sehingga tidak mampu meyelesaikan dengan baik. Pendapat diatas sesuai dengan pernyataan Frankl (Schultz, 1991) bahwa dalam memperoleh makna dapat dilakukan dengan mengungkapkan nilai kreatif yang diartikan sebagai kemampuan individu memberi sesuatu kepada dunia bukan saja hanya dengan pekerjaan tetapi nilai-nilai kreatif dapat diterapkan di semua seni kehidupan. Makna hidup yang diberikan melalui karya-karya nyata, tidak harus berupa hal-hal yang bersifat materi atau fisik, mungkin saja dengan ide ataupun dengan jasa yang diberikan orang. Pekerjaan yang
dilakukan sehari-hari merupakan kegiatan sederhana yang dapat diisi dengan sesuatu hal yang memberi makna bagi hidupnya dan ia merasa terpenuhi kesejahteraan pikologisnya. Bekerja, belajar, bermain dan melakukan kegiatan rutinitas atau kegiatan apapun yang dilakukan diambil maknanya masing-masing untuk memenuhi psychological well-being (PWB). Hal ini sesuai pendapat Kahlil Gibran yang mengatakan pekerjaan adalah perwujudan cinta (Fromm, 2002). Segi penting yang bisa kita lihat bukanlah tugas yang diberikan guru pada siswa tersebut tetapi bagaimana mereka dapat melakukan menyelesaikan tugas yang diberikan. Siswa harus mampu menemukan makna hidup dibalik apa yang mereka lakukan disekolah, dengan demikian mereka mampu dan dapat memperoleh kepuasan dari tugas mereka sebagai siswa dalam belajar dan mengerjakan tugas. Dapat ditarik kesimpulan bahwa makna hidup yang dimiliki individu sangat penting dan berpengaruh terhadap terpenuhinya psychological well-being (PWB) Pernyataan tersebut di atas didukung oleh Shek, (1992), melakukan sebuah penelitian terhadap siswa sekolah menengah di Cina menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kebermaknaan hidup maka akan semakin tinggi pula psychological well-being (PWB). Hipotesa 1.
Hipotesis Empirik Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif
yang sigifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara. 2.
Hipotesis Statistik H0 : Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara. Hi : Ada hubungan positif dan signifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara.
METODE PENELITIAN Partisipan (Arikunto, 2006) menyatakan bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Ditambahkan oleh (Nurgiyantoro, dkk. 2009) yang menyatakan bahwa populasi adalah keseluruhan anggota subjek penelitian yang memiliki kesamaan karakteristik. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara yang berjumlah 671 siswa. Dari 10 kelas yang ada di SMA Negeri 5 Halmahera Utara. Penulis mengambil sampel sebanyak 3 kelas. Kelas XII IPS1 yang berjumlah 19 siswa, XII IPA2 yang berjumlah 24 siswa dan kelas XI IPA2 yang berjumlah 27 siswa. Pemilihan kelas dilakukan berdasarkan hasil wawacara dengan salah seorang guru di SMA Negeri 5 Halmahera Utara sehingga jumlahnya adalah 70 siswa. Alat pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua alat ukur berupa skala kebermaknaan hidup yang disusun sendiri oleh peneliti dan skala psychological well-being (PWB)
yang telah dimodifikasi oleh peneliti dengan cara
menerjemahkan skala asli ke dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu kemudian peneliti juga mengubah kalimat yang terlalu panjang atau sulit dipahami menjadi kalimat yang lebih singkat dan jelas. Skala kebermaknaan hidup disusun berdasarkan kategori kebermaknaan hidup yang diungkapkan oleh (Frankl, 2003) yang digunakan untuk mengukur kebermaknaan hidup yang dirasakan oleh siswa, sedangkan untuk mengukur psychological well-being (PWB), peneliti menggunakan skala psychological well-being scale
yang kemudian
dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan dimensi yang diungkapkan oleh (Ryff, 1995). Jumlah item yang diuji dalam skala makna hidup sebanyak 27 item dan yang sudah diuji coba menjadi 18 item dengan daya diskriminasi bergerak dari skor minimum sebesar 41 sampai dengan skor maximum 82, dengan alpha cronbach’s sebesar 0,802. Sedangkan jumlah item dalam skala psychological well-being (PWB) sebanyak 42 item dan yang sudah diuji coba menjadi 18 item dengan daya diskriminasi bergerak dari skor minimum sebesar 44 sampai dengan skor maximum sebesar 82, dengan alpha cronbach’s sebesar 0,766. Skala yang digunakan adalah skala likert. Prosedur Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan pengumpulan data dimulai pada hari selasa 13 s.d 15 Oktober 2014 dengan cara penulis langsung ke sekolah SMA Negeri 5 Halmahera Utara untuk bertemu dengan subjek penelitian. Sebanyak 70 subjek siswa, kelas XII IPS1 yang berjumlah 19 siswa, XII IPA2 yang berjumlah 24 siswa dan kelas XI IPA2 yang berjumlah 27 siswa.. Pada penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai yaitu subjek yang digunakan untuk try out digunakan sekaligus untuk penelitian. Data yang
diperoleh dalam penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan program komputer SPSS 17.0 for windows. Teknik Analisa Data Metode analisis menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan positif signifikan kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara. Analisis data dilakukan dengan bantuan program bantu komputer SPSS 17.0 for windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan jumlah aitem Kebermaknaan Hidup (18 aitem) dengan 5 alternatif jawaban maka kategorinya sebagai berikut: Table 4.4 Kategorisasi Pengukuran Skala Kebermaknaan Hidup No 1. 2. 3. 4. 5.
Interval
x ≤ 90 x 75,6 x 61,2 x 46,8
75,6 61,2 46,8 32,4 18
Keterangan:
x
42,4
Kategori Mean Sangat Tinggi Tinggi 74,01 Sedang Rendah Sangat Rendah
N 43 20 6 1
Persentase 61,43% 28,57% 8,57% 1,43%
0
0%
Jumlah 70 SD = 9,168 Min = 41 Max = 87 x = Kebermaknaan Hidup
100%
Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa siswa yang memiliki skor kebermaknaan hidup yang berada pada kategori sangat tinggi dengan jumlah 43 siswa dan persentase 61,43%, siswa memiliki skor kebermaknaan hidup yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 28,57% dan 20 siswa, yang memliki skor kebermaknaan hidup yang berada pada kategori sedang dengan persentase 8, 57% dan 6 siswa, siswa yang memiliki skor kebermaknaan hidup yang berada pada kategori rendah dengan persentase 1,43% dan 1 siswa dan tidak ada siswa yang memiliki skor kebermaknaan hidup berada pada kategori sangat rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan
rata-rata sebesar 74,01, dapat dikatakan bahwa rata-rata kebermaknaan hidup siswa berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 41 sampai dengan skor maksimum sebesar 87 dengan standard deviasi 9,168.
Tabel 4.5: Berdasarkan jumlah aitem Psychological Well-being (PWB) (18 aitem) dengan 5 alternative jawaban maka kategorinya sebagai berikut: No Interval Kategori Mean N Persentase Sangat 1. 75,6 ≤ x ≤ 90 14 14,29% Tinggi 2. 61,2 ≤ x ≤ 75,6 Tinggi 67,01 44 62,85% 3. 46,8 ≤ x ≤ 61,2 Sedang 15 21,43% 4. 32,4 ≤ x ≤ 46,8 Rendah 1 1,43% Sangat 5. 18 ≤ x < 32,4 0 0% Rendah Jumlah 70 100% SD = 8,385 Min = 44, Max = 82 Keterangan: x =psychological well-being(PWB) Berdasarkan Tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa 17 siswa memiliki skor psychological well-being (PWB) yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 14,29%, 10 siswa, memiliki skor psychological well-being (PWB) yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 62,85%, 44 siswa, memiliki skor psychological well-being (PWB) yang berada pada kategori sedang dengan persentase 21,43%, 15 siswa, memiliki skor psychological well-being (PWB) yang berada pada kategori rendah dengan persentase 1,43%, 1 siswa dan tidak ada siswa yang memiliki skor psychological well-being (PWB) yang sangat rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 67,01 dapat dikatakan bahwa rata-rata psychological well-being (PWB) siswa berada pada kategori tinggi. Skor
yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 44 sampai dengan skor maksimum sebesar 82 dengan standard deviasi 8,385. Uji Normalitas Tabel 4.6: Hasil Uji Normalitas Kebermaknaan Hidup dan Psychological wellbeing(PWB) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kebermaknaan hidup N Normal a Parameters
Mean Std. Deviation Most Extreme Absolute Differences Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
70 74.01 9.168 .143 .081 -.143 1.195 .115
Psychological wellbeing 70 67.31 8.385 .084 .040 -.084 .704 .704
Berdasarkan uji hasil pengujian normalitas pada tabel 4.6 diatas, kedua variabel memiliki signifikansi p>0,05. Variabel kebermaknaan hidup memiliki nilai K-S-Z sebesar 1,195 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,115 (p > 0.05). Oleh karena nilai signifikansi p>0,05, maka distribusi data kebermaknaan hidup berdistribusi normal. Hal ini juga terjadi pada variabel psychological well-being(PWB) yang memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,704 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,704. Dengan demikian data kebermaknaan hidup juga berdistribusi normal.
Uji Linearitas
Tabel 4.7: Hasil Uji Linearitas Kebermaknaan Hidup dengan Psychological well-being(PWB) P W B Between Groups
(Combined) Linearity
*
Deviation from Linearity
M Within Groups I LTotal
ANOVA Table Sum of Squares 3386.469
Df Mean Square 30 112.882
F 3.006
Sig. .001
1269.893 33.815
.000
1269.893
1
2116.576
29
72.985
1464.617
39
37.554
4851.086
69
1.943
Dari hasil uji linieritas, maka diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,1943 (p > 0,05) dengan sig 0,127 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) adalah linier (lampiran F). Analisis Korelasi Tabel 4.8:. Hasil Uji Korelasi antara Kebermaknaan Hidup dengan Psychologial well-being (PWB)
Pearson Correlation PWB
Kebermaknaan Hidup
Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation
MIL
Correlations Psychological wellbeing 1
Sig. (1-tailed)
**
.512
.000 70 ** .512
70 1
.000
N 70 **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
70
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasii diperoleh koefisien korelasi antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being(PWB) sebesar 0,512 dengan sig. = 0,000 (p < 0.05) yang berarti ada hubungan yang positif dan signifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological wellbeing(PWB)). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kebermaknaan hidup, maka semakin tinggi pula psychological well-being(PWB).
.127
PEMBAHASAN Dari perhitungan uji korelasi antara variabel kebermaknaan hidup dengan psychological well-being(PWB) siswa, didapatkan hubungan positif
dan
signifikan antara kedua variabel tersebut dengan besar korelasi 0,512. Artinya, semakin tinggi makna hidup siswa, semakin tinggi pula psychological wellbeing (PWB), begitu pula sebaliknya semakin tinggi psychological well-being (PWB), maka semakin tinggi makna hidupnya. Dengan begitu kebermaknaan hidup mempunyai peran terhadap munculnya psychological well-being(PWB) siswa. Hal ini menunjukan bahwa kebermaknaan hidup dalam kategori tinggi mempengaruhi psychological well-being(PWB) pada siswa SMA Negeri 5 Halmahera Utara. Dengan memberikan kontribusi terhadap psychological wellbeing(PWB) sebesar 26,21% dan sisanya sebesar 73,8% yang dipengaruhi oleh faktor lain di luar kebermaknaan hidup yang dapat berpengaruh pada psychological well-being(PWB). Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan kebermaknaan hidup memiliki hubungan positif dengan psychological
well-being
(PWB).
Faktor-faktor
tersebut
antara
lain:
kebermaknaan hidup adalah sebagai keadaan yang menunjukan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri. (Frankl, 2003). Hal ini mungkin mengacu siswa untuk berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan
kegiatan yang dilakukan sehingga kebermaknaan hidup seakan-akan menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya. Begitu kebermaknaan hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, maka seseorang seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi lebih terarah. Faktor kedua, makna hidup yaitu Keyakinan dan penghayatan akan nilainilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Cinta kasih dapat menjadikan pula seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan. Faktor ketiga, yaitu Menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, kematian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal. Kebermaknaan hidup itu spesifik dan konkrit kebermaknaan hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari dan tidak harus selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealistis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil renungan filosofis yang kreatif. Hal ini memungkinkan psychological well-being (PWB) siswa tinggi. Hal ini menunjukan bahwa siswa memiliki sikap positif untuk mengenali dan menerimah berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif maupun yang negatif, serta memliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya, sehingga ia bisa menjadi mandiri, yang dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dan lebih suka untuk
mengevaluasi dirinya sendiri daripada meminta persetujuan dari orang lain untuk mendukung apa yang ia lakukan. Siswa yang memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk mengatur lingkungannya. (Ryff, 1995). Berikut ini adalah beberapa hasil-hasil penelitian yang mendukung penelitian ini, yaitu (Shek, 1992) melalukan sebuah penelitian terhadap siswa sekolah menengah di Cina menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB). (Zika Chamberlain, 1997, Recker Peock & Wong 1987), juga menunjukan hasil yang sama saat meneliti tentang kebermaknaan hidup dengan psychological wellbeing (PWB) pada siswa remaja yaitu mempunyai hubungan yang positif signifikan antara makna hidup dengan psychological well-being (PWB. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kebermaknaan hidup maka semakin tinggi pula psychological well-being (PWB.) Berdasarkan kategorisasi data empirik variabel kebermaknaan hidup, dengan mean 74,01 dan standar deviasi sebesar 9.168 diketahui bahwa terdapat 43 siswa memiliki tingkat kategori kebermaknaan hidup yang sangat tinggi dengan persentase 61,43%, 20 siswa memiliki tingkat kategori tinggi dengan persentase 28,57%, 6 siswa memiliki tingkat kategori sedang dengan persentase 8,57%, 1 siswa memiliki tingkat kategori rendah dengan persentase 1,43% dan tidak ada siswa yang memiliki kebermaknaan hidup dalam kategori sangat rendah. Sedangkan berdasarkan kategorisasi data empiric, variabel psychological wellbeing (PWB) mean 67,01 dan standar deviasi sebesar 8,385 diketahui bahwa terdapat ada 10 siswa yang memiliki kategori sangat tinggi dengan persentase
14,29%, 44 siswa memiliki tingkat kategori tinggi dengan persentase 62,85%, 15 siswa dalam kategori sedang dengan persentase 21,43%, 1 siswa dalam kategori rendah dengan persentase 1,43%, dan tidak ada siswa yang berada dalam kategori sangat rendah. Dari hasil kajian penelitian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar siswa-siswa di SMA Negeri 5 Halmahera Utara memiliki kebermaknaan hidup yang tinggi sehingga psychological well-being (PWB) juga tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa makna hidup dengan psychological well-being (PWB) memiliki hubungan yang positif signifikan. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagi berikut: 1. Ada hubungan positif dan signifikan antara variabel makna hidup dengan psychological well-being (PWB) di SMA Negeri 5 Halmahera Utara. Makna hidup memberikan kontribusi pada psychological well-being (PWB) sebesar 26,21% dan sisanya sebesar 73,8% yang dipengaruhi oleh faktor lain. 2.
Sebagian besar siswa memiliki kebermaknaan hidup dengan kriteria tinggi dengan persentase 62,85%, dan tinggi pada psychological well-being (PWB) dengan persentase sebesar 28,57%.
B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang ada, maka peneliti mengajukan saran kepada beberapa pihak, sebagai berikut:
1. Orang Tua a. Hubungan makna hidup dengan psychological well-being (PWB) siswa memiliki nilai yang positif dan signifikan dalam penelitian ini. Dengan demikian, diharapakan orang tua diminta untuk lebih memperhatikan lagi makna hidup anak sehingga dapat membantu anak mencapai tujuan yang diinginkan. b. Hubungan antara kebermaknaan hidup dengan psychological well-being (PWB) dalam penelitian terbukti memiliki hubungan yang positif signifikan. Selanjutnya
orang
memperhatikan
tua
anak
diharapkan
supaya
anak
untuk akan
dapat lebih
mempertahankan baik
dan
dapat
bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. 2. Peneliti selanjutnya a. Penelitian ini diharpakan dapat dikembangkan, sehingga tidak hanya variabel kebermaknaan hidup yang memengaruhi psychological well-being (PWB). Akan tetapi, hendaknya dapat dikembangkan ke variabel-variabel lainya. Dengan demikian dapat ditemukan dan dibuktikan variabel lain yang mempengaruhi psychological well-being (PWB) b. Diharapkan
pada
penelitian
selanjutnya
populasi
dapat
diperluas.
Selanjutnya, dapat juga melakukan subjek penelitian yang lain atau sekolah yang berbeda tetapi variabel yang sama. Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana psychological well-being (PWB) yang di miliki oleh sekolah lain. Selain itu, penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini terdapat kelemahan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis seperti penentuan sampel yang tidak maksimal, karena dalam wawancara awal yang dilakukan
penulis dengan pihak sekolah, yang dimana didapati bahwa psychological well-being (PWB) siswa itu kurang secara keseluruhan dari kelas X sampai kelas XII, sehingga penentuan sampelnya diwakilkan hanya kelas XI dan kelas XII, sehingga nampak keterlibatan kelas X dalam penelitian ini tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta Anggriani, N. (2006). Motif sosial dan kebermaknaan hidup remaja pangaralam. Psikologika, jurnal pemikiran dan penelitian psikologi Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bastman, H. D. (1995). Integrasi Psikologi dengan islam. Yogyakrta : Asin Sedar. -------, (1996). Meraih Hidup Bermakna, kisah pribadi dengan Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina -------, (2007). Logoterapi: Psikologi untuk menemukan makna hidup dan meraih hidup bermakna. Jakarta: PT. Raja grafindo persada. Cozby, P. C. (2009). Methods in behavioral research. Yogyakarta: Pustaka pelajar Diener, E. (2000) . Subjevtive well being: The science of happiness and a proposal for a national indeks. American Psychologist. 55, 34-43. Edwards, S. (2006). Physical exercise and psychological well-being. South African Journal of Psychology, 36(2). 357- 373. Frankl, V. E. (2003). Logoterapi: Terapi psikologi melalui pemaknaan eksistensi. Penerjemah : Murtadlo. Yogyakarta. Grossi, E., Blessi, G. T., Sacoo, P. L., & Buscema, M. (2012). The interaction between culture, health and psychological well-being: Data mining from the Italian culture and well-being project. J Happiness Study, 13. 129- 148, doi: 10. 1007/s10902-011-9254-x. Hadi, S. (2004). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Ofset.
Nurgiyantoro, Gunawan, & Marzuki. (2009). Statistik terapan: untuk penelitian ilmuilmu sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ryff, C. D. (1989) Happiness is everything, or is it? Eksploration on the meaning of psychological well-being. Journal of personality and social psychology, 57 (6), 1069-1081. -------, & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well- being revised. Jounal of personality and social psychology 69 (4), 719-727 Santrock, J.W. (2007) Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Santrock, J. (2002). Life-Span development Perkembangan Masa Hidup (Jilid 1). Alih bahasa Juda Damanik Jakarta: Erlangga Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Syek, D. (1992) Meaning in life and psychological well being: an empirical study using the Chinese version of the purpose in life questionnaire. Journal of Genetic psychology, 158, 147-479.