KEPRIBADIAN dan MOTIVASI BERPRESTASI (kajian big five personality)
Ayu Dwi Nindyati, M.Si., Psi. Staf Pengajar Jurusan Psikologi Universitas Paramadina Jakarta
Abstraksi Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek keperibadian yang diduga berperan pada peningkatan motivasi berprestasi karyawan. Konsep kepribadian yang digunakan adalah konsep big five personality. Konsep ini mengkaji keperibadian manusia yang terbagi menjadi lima kategori yaitu neuroticsm, extraversion, openness, agreeableness dan conscientiousness. Motivasi berprestasi sebagai variabel terikat pada penelitian ini menggunakan pendekatan teori motivasi yang dikemukakan oleh McClelland. Baik kepribadian maupun motivasi berprestasi diukur menggunakan metode kuesioner. Subyek penelitian berjumlah 53 orang, yang merupakan karyawan salah satu BUMN cabang Surabaya.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa diantara lima kategori
kepribadian tersebut hanya satu kategori yang mampu memberikan pengaruh terhadap motivasi berprestasi karyawan, yaitu kategori Conscientiousness. Sementara itu untuk ke empat kategori lainnya neuroticsm, extraversion, openness dan
agreeableness tidak
terbukti memberikan pengaruh yang signifikan terhadap motivasi berprestasi karyawan.
Pendahuluan Dinamika perkembangan bidang ilmu Psikologi, tidak hanya terjadi pada kehidupan sosial manusia, namun juga terjadi pada organisasi perusahaan. Apalagi dalam era globalisasi yang semakin menyebabkan sempitnya dunia karena kemudahan komunikasi. Berkembangnya jaman yang sudah memasuki jaman system informasi ini menyebabkan organisasi harus siap mengikuti perubahan yang terjadi. Era komunikasin dan informasi ini membuat perputaran berita sangat cepat diperoleh, sehingga berdampak
pada perubahan perilaku manusia juga. Tidak luput perilaku manusia dalam berorganisasi. Organisasi yang sehat pasti akan dengan mudah mengikuti perubahan dan perkembangan jaman, namun tidak sebaliknya. Pengelolaan perubahan ini, bila tidak mengikuti rambu-rambu yang ada, akan membawa kerugian pada organisasi perusahaan. Yang paling cepat terkena dampaknya adalah kinerja para karyawan, sebagai salah satu pelaku organisasi. Motivasi adalah salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan untuk menjaga agar karyawan tetap berprestasi. Steers (1996) mengelompokkan pendekatan atau teori yang digunakan untuk membahas motivasi ke dalam dua kategori, yaitu kategori content dan kategori proses. Kelompok kategori content adalah pendekatan motivasi yang menggunakan sudut pandang bahwa dalam berperilaku individu dilandasi oleh adanya kebutuhan dalam dirinya. Sedangkan pendekatan yang tergolong kategori proses, menjelaskan bahwa perilaku individu dilandasi oleh adanya faktor eksternal yang dipilihnya dengan menggunakan dasar kesesuaian dengan kebutuhan dalam dirinya. Salah satu pendekatan yang termasuk kategori content theories adalah teori kebutuhan yang dikemukakan oleh David McClelland. David McClelland menjelaskan bahwa dalam berperilaku, manusia didorong oleh adanya tiga kebutuhan utama dalam dirinya, yaitu: need for achievement (kebutuhan berprestasi), need for affiliation (kebutuhan berafiliasi atau bersosialisasi) dan need for power (kebutuhan untuk berkuasa). Topik selanjutnya yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kebutuhan untuk berprestasi atau motivasi berprestasi. Sebuah teori klasik tentang kinerja karyawan yang sudah terbukti kebenaranannya menjelaskan bahwa dua aspek mendasar yang perlu diperhatikan agar kinerja tetap bagus adalah aspek kemampuan (ability) dan motivasi (Vroom dalam Steers & Potter, 1987). Penemuan Vroom ini kemudian ditindaklanjuti oleh beberapa psikolog yang bergerak pada bidang Industri dan Organisasi, salah satunya adalah Spector. Pada hasil penelitiannya, Spector (1996) menjelaskan bahwa tidak cukup hanya kemampuan dan motivasi yang mampu berpengaruh pada kinerja karyawan, namun ada satu faktor lagi yang tidak kalah pentingnya, yaitu organizational constrain.
Penelitian lain yang dilakukan oleh beberapa ahli dalam bidang psikologi Industri dan Organisasi menyebutkan bahwa motivasi berprestasi berdampak pada kinerja karyawan prestasi telah diteliti dan memperlihatkan hasil yang signifikan, meskipun dalam bidang yang berbeda. (McClelland, 1961; Steers, (1975); Bluen, Barling & Barns, 1990 (dalam Ambrose, 1999); dan Swenson, 2000). Sementara itu penelitian menunjukkan bahwa motivasi berprestasi juga berpengaruh pada aspek-aspek lain, seperti kepuasan kerja karyawan, komitmen organisasi, stress kerja dan lain-lainnya (Spector, 1996). Memperhatikan beberapa hasil penelitian tentang motivasi berprestasi, maka dapat dipahami bahawa motivasi merupakan aspek penting dalam perilaku manusia. Sehingga sangatlah penting bagi kita para pelaku organisasi mengetahui aspek apa saja yang ikut berperan pada motivasi tersebut. Aspek apa saja yang mampu menimbulkan motivasi itu sendiri. Beberapa ahli sepakat bahwa dalam motivasi ada dua faktor utama yang harus dipertimbangkan, yaitu adanya faktor intrinsik dan ekstrinsik (Deci & Ryan, 2000; Herzberg dalam Spector 1996). Namun ada satu aspek yang diduga akan memicu motivasi individu dalam bekerja, yaitu aspek kepribadian. Beberapa riset menjelaskan bahwa kepribadian telah terbukti berpengaruh pada perilaku individu, baik dalam organisasi atau dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan kepribadian ini juga ikut mewarnai individual differences pada setiap manusia (Swagler & Jome, 2005). Pendekatan kepribadian telah mengalami perkembangan dalam berbagai perspective teori dan setiap teori memiliki variasi tingkatan atau kategori, dan setiap tingkatan memiliki karakteristik serta keunikan masing-masing
(John, Hampson, &
Goldberg, 1991; McAdams, 1995). Keyakinan akan kemampuan kepribadian dalam menunjukkan keunikan setiap individu, menyebabkan para praktisi organisasi menggunakan aspek ini sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan job – fit antara karyawan dan pekerjaanya (Spector, 1996). Mulai tahun 1970an, praktisi organisasi mulai menerima kerberadaan big five personality sebagai salah satu pendekatan kepribadian yang memiliki dimensi kepribadian yang berdiri sendiri (Barrick &Mount, 1991). Dimensi dalam pendekatan big five ini ada lima dimensi yaitu neuroticsm, extraversion, openness, agreeableness dan
conscientiousness. Dalam penelitiannya yang menggunakan pendekatan meta analisis, Barrick dan Mount (1991) menjelaskan bahwa antara setiap dimensi kepribadian dari pendekatan big five memiliki keterkaitan dengan kinerja karyawan. Dari penelitian yang dianalisis ada beberapa yang menyebutkan bahwa variabel kepribadian tidak menunjukkan sumbangan yang berarti pada kinerja karyawan. Hal ini menjelaskan bahwa kepribadian tidak begitu saja mampu menyebabkan kinerja karyawan dapat menjadi lebih bagus. Ada aspek lain yang mungkin mengantarai antara peran kepribadian pada kinerja karyawan. Memperhatikan hasil-hasil penelitian tersebut maka dapat dipahami peran kepribadian pada perilaku individu. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menjelaskan adanya relevansi antara motivasi dengan kinerja, maka penelitian antara kepribadian dan kinerja juga menunjukkan hasil yang cenderung sama. Untuk memperkuat hasil riset yang sudah ada, maka penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui apakah kepribadian mampu berperan pada motivasi
berprestasi
karyawan. Hal ini dilakukan karena ada hasil penelitian tentang kepribadian dan kinerja karyawan yang masih lemah peranannya. Dengan dasar asumsi mungkin kepribadian akan mampu menunjukkan perannya pada kinerja karyawan jika melalui variabel lain, seperti halnya motivasi yang sudah terbukti berperan pada kinerja karyawan. Asumsi ini diajukan mengikuti rumusan prinsip mediator yang dikemukakan Baron dan Kenny (1986). Prinsip mediator yang dijelaskan oleh Baron dan Kenny (1986) bahwa variabel ketiga pada penelitian dapat berfungsi sebagai veriabel mediator, jika variabel tersebut memenuhi syarat sebagai berikut: bila IV berpengaruh pada DV, kemudian
IV
berpengaruh pada variabel ketiga, demikian juga variabel ketiga berpengaruh pada DV. Hal ini dapatlah diduga bahwa variabel ketiga tersebut mungkin berperan sebagai variabel mediator, jika pengaruh langsung IV ke DV menjadi menurun atau hilang. Variabel mediator adalah variabel yang menjembatani hubungan antara IV dengan DV. Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui apakah antara kepribadian dan motivasi karyawan memiliki korelasi. Mengingat kepribadian dengan pendekatan big five ini memiliki dimensi yang berdiri sendiri antar dimensinya, maka
penelitian ini ingin mengetahui apakah dimensi-dimensi dalam pendekatan big five (ini berkorelasi dengan motivasi berprestasi.
Motivasi Berprestasi Sebagai salah satu pendekatan motivasi, McClelland menjelaskan motivasi manusia dengan menggunakan dasar teori yang dikembangkan oleh Murray, yang menyebutkan bahwa perilaku manusai dilandasi oleh adanya dominasi need yang dimilikinya. Teori tiga kebutuhan berkembang diawali dengan penelitian McClelland (1961) yang mempunyai asumsi dasar bahwa kebutuhan mempunyai peran utama dalam pertumbuhan ekonomi (diasumsikan dengan prestasi suatu masyarakat). Prestasi puncak diasumsikan akan dicapai bila disertai dengan hasrat yang kuat. Penelitian yang dilakukan McClelland menggunakan teknik proyektif TAT (thematic aperseption test) dengan subjek penelitian sejumlah mahasiswa di Amerika. McClelland membandingkan jawaban-jawaban yang diberikan subjek penelitiannya, dan mengelompokkan sejumlah jawaban yang berorientasi pada beberapa gagasan yang berkaitan dengan prestasi. Kelompok jawaban itu adalah nilai untuk n Achievement (McClelland, 1953). Hasil penelitian McClelland (1961) menjelaskan bahwa laki-laki di Amerika yang memiliki n Achivement tinggi seringkali berasal dari kelas menengah bukan dari kelas bawah ataupun kelas atas. Mereka umumnya juga memiliki ingatan yang baik mengenai tugas-tugas yang belum selesai, lebih cocok untuk percobaan psikologis yang sifatnya sukarela, lebih aktif dalam kegiatan kampus atau masyarakat, lebih memilih seorang ahli daripada sekedar teman sebagai rekan kerjanya, lebih tahan terhadap tekanan sosial dan tidak bisa mengutarakan dengan tepat apa yang menyangkut perhatian dalam dirinya untuk berprestasi. Berbagai percobaan menunjukkan bahwa individu dengan skor n Achievement tinggi akan semakin termotivasi untuk menyelesaikan tugas-tugas kompleks. Selanjutnya dalam hal ini bila individu tersebut berhasil menyelesaikan tugas-tugas kompleks yang dihadapi saat tersebut. Sehingga muncul pemikiran bahwa subjek dengan gambaran tersebut (sebagai orang-orang yang unggul) akan selalu mengerjakan tugas-tugas apapun dengan lebih baik dalam keadaan apapun. Ternyata dugaan ini terbukti salah, karena mereka justru tidak dapat bekerja dengan tugas-tugas yang rutin. (McClelland, 1987).
Need for Achivement akan membawa orang itu berprestasi hanya dalam kondisi bila sasaran yang akan dicapai itu nyata dan memiliki kemungkinan untuk dicapai. Selanjutnya dikatakan, bahwa sejumlah orang dengan n Achievement yang tinggi, jika berada dalam lingkungan tertentu, cenderung mungkin memunculkan suatu kegiatan yang kreatif. Jadi bisa disimpulkan bahwa peningkatan n Achievement mungkin akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tertentu. (McClelland, 1961)
Kepribadian dengan Pendekatan Big Five Kepribadian dijelaskan sebagai pola dari karakteristik berpikir, merasa dan perilaku yang membedakan satu orang dari orang lain dan cenderung menetap sepanjang waktu dan situasi yang ada (Phares, 1991). Selanjutnya Ryckman (1982) menambahkan bahwa kepribadian tersebut berdasarkan aspek biologi dan perilaku yang dipelajari dari individu tertentu. Biasanya hal ini muncul dalam bentuk keunikan untuk merespon stimulus lingkungan yang dihadapi. Jika sebelumnya dikatakan bahwa keperibadian itu cenderung menetap, maka perubahan yang terjadi pada inidividu hanya terjadi pada permukaannya saja, tidak sampai terjadi perubahan karakter individu (Costa & McCrae, 1992). Penelitian seputar kepribadian telah terjadi bertahun-tahun, yang akhirnya 50 tahun terakhir telah terjadi kesepakatan antar peneliti kepribadian yang menyatakan ada lima dimensi dasar yang dapat digunakan untuk menggambarkan
perbedaan dalam
kognitif, afektif dan perilaku sosial. Hal ini merupakan dasar untuk pengembangan kepribadian model lima faktor (Revelle & Loftus, 1992). Kemudian model lima faktor ini dijadikan nama untuk menggambarkan kepribadian yang populer dengan sebutan big five personality (Goldberg, 1990). Lima dimensi dari pendekatan kepribadian ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. dimensi kepribadian dan bentuk sifatnya, berdasarkan Costa & McCrae ,1992. Dimensi Kepribadian
Lefel tinggi
Lefel rendah
Neuroticism
sensitive, nervous
secure, confident
Extraversion
Outgoing, energetic
shy, withdrawn
Openness to experience
inventive, curious
Cautious, conservative
Agreeableness
friendly, compassionate
competitive, outspoken
Conscientiousness
efficient, organized
easy-going, careless
Dimensi Neuroticism mengukur pengaruh dan pengendalian emosi. Tingkat yang rendah dari dimensi ini mengindikasikan adanya stabilitas emosi dan jika berada pada tingkat tinggi dari dimensi ini, maka menunjukkan adanya kondisi emosi yang negatif. Istilah neuroticism tidak mengarah pada adanya gangguan psychiatric, namun lebih menjelaskan adanya perasaan negatif atau kecemasan (McCrae & John, 1992). Dimensi extraversion-introversion merupakan dimensi yang berkaitan dengan karakter yang mudah diperlihatkan atau tidak (outgoing vs withdrawn character). Extraverts cenderung lebih aktif secara fisik dan verbal, lebih asertif dan sociable. Sedangkan introverts cenderung mandiri, pendiam, pemalu dan senang sendirian. Dimensi Openness to experience diukur dengan memperhatikan adanya kedalaman dan variasi imajinasi seseorang dan memiliki kesediaan untuk menerima pengalaman baru. Dimensi ini berkaitan dengan intelektualitas, keterbukaan atas ide-ide baru, ketertarikan atas budaya dan kreatifitasnya tinggi sejalan dengan ketertarikannya pada berbagai stimulus dan pengalaman yang diterimanya. Dimensi agreeableness berkaitan dengan altruisme, pengasuhan dan dukungan emosional pada level tinggi. Sedangkan pada level rendah individe cenderung menunjukkan adanya sifat kompetisi, self centered dan jealousy. Conscientiousness diukur dengan mengetahui adanya perilaku yang berorientasi pada tujuan yang sudah ditetapkan dan memperhitungkan adanya dorongan yang muncul. Dimensi ini sering dikaitkan dengan adanya prestasi dalam bidang pendidikan. Individu yang fokus pada tujuan akan berkonsentrasi pada tujuan yang terbatas namun akan berusaha mencapainya, sedangkan individu yang fleksibel lebih impulsif dan mudah terpengaruh dari tugas satu ke tugas lainnya.
Peran Kepribadian (Big Five) dengan Motivasi Berprestasi Dalam penjelasan sebelumnya dikatakan bahwa kepribadian dengan pendekatan big five, memiliki lima dimensi yang berbeda-beda dan tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian perannya dalam motivasi berprestasi akan menunjukkan peran yang berbeda juga, sesuai dengan karakteristik yang berlaku. Dimensi neuroticism, menginformasikan adanya indikasi individu yang mengalami kecemasan saat menghadapi peristiwa dalam kehidupannya. Sementara itu individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung optimis dalam memandang kehidupannya. Sehingga dengan memahami hal tersebut maka dugaan pertama dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara neuroticsm dengan motivasi berprestasi karyawan. Hipotesis
1: tidak ada hubungan antara neuroticsm dengan motivasi berprestasi
karyawan. Dimensi extraversion menjelaskan individu sebagai orang yang memiliki pandangan positif terhadap kehidupan. Dia memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain dan mudah dalam mendapatkan teman. Individu dengan tipe ini akan cenderung meluangkan waktu yang lebih banyak untuk kehidupan sosialnya, karena hal ini lebih berharga dibandingkan harus mengerjakan hal-hal lainnya. Jika memperhatikan karkateristik individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang akan berorientasi pada penyelesaian tugasnya, dan cenderung tidak memanrfaatkan waktunya untuk kehidupan sosialnya. Maka dalam penelitian ini diduga tidak ada hubungan antara extraversion dengan motivasi berprestasi karyawan. Hipotesis 2: tidak ada hubungan antara extraversion dengan motivasi berpestasi karyawan. Individu yang memiliki kreatifitas scientific atau pun artistic, kemampuan untuk berfikir divergent dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensinya dalam berpolitik, maka individu ini berada dalam level tinggi untuk openness to experience. Individu ini juga memiliki perubahan mood yang cepat, sesaat dia dapat berada dalam perasaan yang baik dan sesaat kemudian akan berada pada perasaan yang jelek. Memperhatikan hal ini, nampaknya individu dengan tingkat openness yang tinggi akan
cenderung mengalami hambatan untuk dapat fokus pada satu hal. Diduga hal ini dikarenakan adanya rasa ingin tahu dan cenderung mengikuti hal-hal baru yang ditemuinya. Memperhatikan kriteria yang dimiliki oleh individu dengan dominasi motivasi berprestasi tinggi yang cenderung berorientasi pada tujuan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Maka individu dengan tinkat openness tinggi akan cenderung kurang memiliki motivasi berprestasi tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan untuk tidak dapat menjaga fokus tujuan yang ingin dicapainya dan cenderung mudah mengikuti hal-hal baru yang diterimanya dari lingkungan. Hipotesis 3 : tidak ada hubungan antara openness dengan motivasi berprestasi. McCrae dan Costa (1991) menjelaskan bahwa dimensi agrreableness memiliki keterkaitan dengan kebahagiaan, hal ini dikarenakan individu dengan dominasi tingkat dimensi ini akan memiliki motivasi yang lebih untuk mencapai kedekatan interpersonal. Kebahagiaan ini akan membantunya dalam mencapai kepuasan hidup, meskipun hasil penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang rendah. Maka seandainya dia memiliki intensitas yang cukup tinggi diduga akan mampu membantu untuk meningkatkan motivasi berprestasinya. Hal ini dijelaskan dengan memberikan analisa, bahwa individu yang memiliki kepuasan dalam kehidupannya, maka akan mampu memperjuangkan apa yang ingin dicapainya. Sehingga diduga agreeableness tidak akan secara langsung berkorelasi dengan motivasi berprestasi, namun akan menggunakan variabel kepuasan agar mampu berkorelasi dengan motivasi berprestasi. Hipotesis 4: tidak ada korelasi antara agreeableness dengan motivasi berprestasi Organ dan Lingl (1995) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa individu yang berada pada level conscientiousness tinggi memilliki keterlibatan dengan pekerjaannya cukup tinggi. Selain itu karkateristik yang muncul adalah adanya perilaku yang berorientasi pada tujuan, mampu tetap fokus dan konsentrasi pada tujuan yang sudah ditetapkan semula. Memperhatikan hal ini, maka dapat diduga bahwa conscientousness dapat berkorelasi dengan motivasi berprestasi. Hipotesis 5: ada korelasi antara conscientiousness dengan korelasi berprestasi.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di salah satu BUMN Cabang Surabaya dengan menggunakan jumlah subyek penelitian 53 orang yang dilakukan pada bulan juni 2005. Desain penelitian yang digunakan adalah non eksperimental. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Untuk variabel kepribadian digunakan Neo FiveFactor Inventory (NEO-FFI) yang dirancang oleh Costa dan Crae (1992), dan merupakan versi pendek dari NEO PI-R. Versi ini terdiri dari 60 items dengan validitas dan reliabilitas untuk mengukur lima dimensi dari kepribadian. Inventory ini menggunakan 7 skala yang bergerak dari 0 sampai dengan 6, mengikuti pola skala Likert. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Costa dan Crae, inventory ini mneunjukkan adanya korelasi dengan NEO-PI sebesar .75
- .89, sedangkan
konsistensi internalnya bergerak pada range .74 - .89. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran ulang tentang reliabilitasnya, dan hasilnya menunjukkan adanya konsistensi internal .708 - .853, hasil konsistensi internal yang diperoleh pada penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang berbeda dengan yang suah dilakukan oleh Costa dan Crae. Untuk data motivasi berprestasi digunakan inventory yang dikembangkan oleh Henry Murray (1954). Kuesioner ini terdiri dari 10 item dengan 7 skala bergerak dari 1 – 7, dengan menggunakan skala Likert. Konsistensi internalnya dicerminkan oleh cornbach alpha sebesar .878. Hasil Analisa Data Setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisa statistik untuk membuktikan hipotesa yang diajukan dengan menggunakan pendekatan multi regresi. Hal ini dilakukan karena dimensi dari kepribadian big five berdiri sendiri tidak saling terkait, variabel bebas yang diguanakan pada penelitian ini sebanyak lima variabel. Sebelum melakukan multi regresi peneliti melakukan analisis deskriptif terhadap data yang diperoleh. Hasil analisis deskriptif dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Analisis deskriptif variabel kepribadian dan motivasi berprestasi Variabel
M
SD
Min
Max
N
Motivasi berprestasi
59.94
6.544
41
69
53
Neuroticsm
33.62
9.058
15
50
53
Extraversion
47.43
6.701
26
67
53
Oppenness to experience
40.98
7.662
21
60
53
Agreeableness
40.98
6.943
15
59
53
Conscientiousness
52.72
5.645
31
66
53
Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada tabel 2 di atas, maka dapat dijelaskan bahwa dari 53 subyek penelitian terdapat 36 subyek penelitian yang memiliki nilai motivasi berprestasi di atas rata-rata. Dengan demikian 50% lebih dari subyek penelitian ini memiliki motivasi berprestasi yang tergolong di atas rata-rata, atau tepatnya sebesar 67.92 %. Sementara itu untuk dimensi kepribadian neuroticism diperoleh informasi bahwa sebanyak 27 orang (56.6%) yang memiliki nilai di atas rata-rata atau yang memiliki indikasi adanya kecenderungan untuk menjadi mudah cemas. Dimensi extraversion dijelaskan dalam analisis deskriptif sebanyak 25 (47%) orang yang memiliki nilai di atas rata-rata. Dimensi openness to experience dari subyek penelitian menunjukkan jumlah 7 (13%) orang yang memiliki nilai di atas rata-rata. Dalam dimensi agreeableness terdapat 29 orang (55%) yang memiliki nilai di atas rata-rata. Pada dimensi conscientousness terdapat 25 orang (47%) yang memiliki nilai di atas rata-rata. Dari hasil multi regresi yang berfungsi untuk membuktikan hipotesa yang diajukan peneliti, diperoleh informasi tentang seberapa banyak peran dari setiap dimensi kepribadian terhadap motivasi prestasi. Hasil analisa multi regresi terdapat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. hasil multi regresi dimensi kepribadian – motivasi berprestasi variabel
β
t
sig
neuroticism
-.238
-1.588
.119
extraverrsion
-.146
-.768
.446
openness to experience
-.204
-1.160
.252
agreeablkeness
.168
.779
.440
conscientiousness
.453
2.227
.031*
* p < .05
Hasil analisis multi regresi tersebut di atas menjelaskan bahwa dari ke lima hipotesis yang diajukan, maka semuannya diterima. Hipotesis yang menyatakan: 1. tidak ada hubungan antara neuroticism dengan motivasi berprestasi, dinyatakan terbukti dengan melihat hasil analisa multi regresi yaitu nilai β = -.238, t = -1.588, p = .119, berarti melebihi standar uji signifikansi hasil penelitian pada taraf signifikansi 5%. 2. tidak
ada hubungan antara extraversion dengan motivasi berprestasi, juga
terbukti dengan melihat hasil analisa multi regresi yaitu nilai β= -.146, t = -.768, p=.446, dan nilai p yang juga lebih besar dari standart uji taraf signifikansi 5%. 3. tidak ada hubungan antara openness to experience dengan motivasi berprestasi, dinyatakan terbukti dengan melihat hasil analisa multi regresi yaitu nilai β = -.204, t = -1.160, p = .252, berarti melebihi standar uji signifikansi hasil penelitian pada taraf signifikansi 5% 4. tidak ada hubungan antara agreeableness dengan motivasi berprestasi, dinyatakan terbukti dengan melihat hasil analisa multi regresi yaitu nilai β = -.168, t = -.779, p = .440, berarti melebihi standar uji signifikansi hasil penelitian pada taraf signifikansi 5% 5. ada hubungan antara consciencetiousness dengan motivasi berprestasi, dinyatakan terbukti dengan melihat hasil analisa multi regresi yaitu nilai β = .453, t = 2.227, p = .031, berarti kurang dari standar uji signifikansi hasil penelitian pada taraf signifikansi 5%
Diskusi Penelitian ini berusaha memberikan wacana tambahan yang berkaitan dengan kepribadian dan motivasi berprestasi. Pembahasan kepribadian digunakan pendekatan big five, sedangkan untuk motivasi berprestasinya digunakan pendekatan dari McClelland. Hasil penelitian ini membuktikan hipotesis yang diajukan bahwa diantara lima dimensi kepribadian tersebut yang menunjukan peran secara signifikan terhadap motivasi berprestasi adalah conscientiousness. Ternyata pembuktian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menjelaskan bahwa dimensi ini banyak memberikan sumbangan pada perilaku-perilaku yang didasari oleh motivasi berprestasi (Stewart & Roth, 2005). Dalam
penelitiannya yang menjelaskan tentang perilaku enterpreneurial, Stewart dan Roth, menjelaskan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mencerminkan individu yang memiliki dorongan kuat untuk menyelesaikan tugasnya dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Orang – orang ini cenderung mengembangkan cara yang efisien dan berorientasi tujuan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu dengan consciencetiousness tinggi juga memiliki karakterisitik yang cenderung sama dengan individu yang memiliki motivasi tinggi. Sehingga tidak mengherankan bila, dibandingkan ke empat dimensi lainnya, dimensi inti yang paling tinggi perannya dalam menimbulkan motivasi berprestasi seseorang. Reynolds, Hay, Bygrave, Camp dan Autio (2000) dalam penelitiannya memberikan gambaran bahwa di luar Amerika (Jerman, India, Irlandia, Israil, Selandia Baru, Rusia dan Swedia) aspek consciencetiousness ini juga memberikan sumbangan yang signifikan pada motivasi berprestasi. Stewart dan Roth menyebut motivasi berprestasi sebagai cerminan individu dengan enterpreneurial
yang
tinggi,
penelitiannya pada tahun 1961.
seperti
halnya
dikemukakan
kemampuan
McClelland
dalam
Lebih jauh lagi, mereka menjelaskan bahwa yang
menyebabkan terjadinya perbedaan perkembangan potensi enterpreneurial pada berbagai negara tersebut bukan karena aspek budaya, namun lebih karena kurangnya dana untuk mengembangkan pelatihan-pelatihan yang diperlukan. Individu dengan skor neuroticism tinggi, dijelaskan memiliki kecenderungan mudah mengalami stress dalam menghadapi tantangan hidup. Pada penelitian ini terbukti bahwa dimensi neuroticism tidak berperan pada motivasi berprestasi individu. Memperhatikan karakteristik individu dengan tingkat neuroticism yang tinggi, lebih mudah mengalami kecemasan, maka ada dugaan dia menjadi kurang fokus dalam menyelesaikan permaslahan. Akibatnya adalah tidak dapat diselesaikannya tugas tersebut dengan efisien. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Swagler dan Jome (2005) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat neuroticism individu, maka semakin besar kecenderungannya untuk mengalami putus asa dan distress. Hasil riset ini dilengkapi dengan perbandingan budaya Taiwan dan Amerika Utara, ternyata pada dua budaya ini pun tidak menunjukkan perbedaan pemahaman terhadap dimensi neuroticism dan dampaknya pada perilaku manusia. Bahkan pada riset tersebut juga menyebutkan bahwa orang dengan tingkat neuroticism tinggi memiliki
tingkat kegagalan yang lebih tinggi dalam menyelesaikan tugasnya, dibandingkan dengan individu yang memiliki dominasi dimensi consciencetiousness. Sementara itu berkaitan dengan dimensi openness to experience yang juga tidak berperan pada motivasi berprestasi karyawan dapat dijelaskan dengan memahami karakteristik individu dengan dominasi dimensi ini, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Namun hal ini ternyata tidak hanya terjadi pada penelitian ini, pada penelitian yang dilakukan oleh Swagler dan Jome (2005) menjelaskan bahwa masyarakat Amerika Utara, juga memiliki kecenderungan yang sama dengan masyarkat Taiwan dalam mencapai tujuannya. Keterbukaan terhadap pengalaman, cenderung untuk membuatnya kurang fokus pada tujuan yang harus dicapainya, karena akan cenderung berpindah pada hal-hal baru yang ditemui saat menyelesaikan tugasnya. Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini juga menjelaskan bahwa individu dengan dominasi dimensi extraversion dalam budaya yang cenderung berkarakter sosial bukan individual, akan lebih sukses dalam melakukan penyesuaian diri. Kesuksesannya dalam penyesuaian dirinya inilah yang tidak jarang membantunya untuk dapat menunjukkan kinerja yang bagus. Namun individu dengan dominasi dimensi ini, lebih cenderung mementingkan adanya kehangatan dalam berinteraksi, sehingga akan cenderung berorientasi sosial. Menurut McClelland (1987) individu dengan karkater seperti ini lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan motivasi berafiliasinya, daripada motivasi berprestasinya. Hal ini dikarenakan, dia akan terdorong berperilaku agar diterima oleh orang lain, padahal individu dengan motivasi berprestasi yang ekstrim, seringkali malah mengalahkan kehidupan sosialnya untuk pencapaian tujuan yang sudah ditentukan. Penjelasan tentang dimensi agreeableness yang tidak dapat berperan pada motivasi breprestasi, lebih cenderung menggunakan dasar karakteristik yang berbeda dengan individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi. Orientasi dasar dari individu yang memiliki dominasi dimensi ini adalah keinginannya untuk mencapat kebahagiaan dengan menciptakan kedekatan interpersonal. Sehingga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa orientasi dasar ini jelas memperlihatkan karakter yang berbeda dengan orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi. Kim, Atkinson dan Umemoto (2001) menjelaskan bahwa individu yang tinggal di wilayah benua asia, akan cenderung
memiliki nilai kolektifitas yang tinggi, bekerja yang berorientasi pada kelompok, dan menjaga keharmonisan dalam situasi hubungan interpersonal. Sehingga individu yang hidup dalam budaya ini, tentunya lebih sesuai dengan adanya dominasi motivasu berafiliasi, bukannya motivasi berprestasi. Berbeda dengan negara-negara yang memiliki sistem nilai individualis seperti Amerika, yang lebih menekankan adanya pencapaian prestasi pribadi dibandingkan kelompok (Hofstede, 2000) Penelitian ini dilaksanakan dengan tidak melibatkan sejumlah sampel yang besar, sehingga lebih dapat representatif untuk memenuhi kajian lintas budaya. Karena pada dasarnya organisasi di Indonesia ini juga mengembangkan budaya organisasi yang berbeda-beda. Sehingga hal ini dirasakan menjadi kendala untuk mendapatkan hasil penelitian yang memilliki kekuatan untuk digeneralisasikan untuk organisasi lainnya. Mengingat bahwa penelitian ini hanya dilakukan pada satu cabang BUMN yang ada di Indonesia, maka dapat dikatakan penelitian ini bersifat studi kasus. Seperti halnya desain studi kasus lainnya, yang memang tidak memiliki kekuatan untuk dilakukan generalisasi, namun hanya berlaku untuk organisasi yang dijadikan kasus tersebut. Sebagai studi awal, penelitian ini sangat bermanfaat untuk dilakukan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif. Mungkin saja tidak berhenti pada takaran motivasi berprestasi saja, namun juga mengarah pada prestasi atau kinerja itu sendiri.
Kesimpulan Pada akhirnya hasil penelitian yang bertujuan untuk membahas peran kepribadian pada motivasi berprestasi, dengan menggunakan pendekatan kepribadian big five dan pendekatan yang dikemukakan oleh McClelland untuk motivasi berprestasi, disimpulkan: 1. dari lima dimensi kepribadian yang dianalisis perannya terhadap motivasi berprestasi, maka hanya satu dimensi yang menunjukkan pengaruh yang signifikan, yaitu consciencetiousness. 2. berdasarkan analisis deskriptif yang dilakukan terhadap subyek penelitian, diperoleh informasi, bahwa motivasi berprestasi subyek tergolong tinggi, karena 67% dari jumlah subyek menunjukkan skor di atas rata-rata kelompok
3. sementara itu untuk dimensi kepribadian 55 % didominasi oleh agreeableness, 51 % neuroticsm, 47 % openness to experience.
extraversion dan consciencetiousness dan 13 %
Daftar Pustaka
Ambrose, M.L., & Kilik, C.T., (1999) Old friends, new faces: Motivation research in the 1990s. Journal of Management, 25. 231-236 Baron, M.R., & Kenny, D.A., 1986, The Moderator-Mediator Variable Distinction in Social Psychological Research: Conceptual, Strategic, and Statistical Consideration, Journal of Personality and Social Psychology, 51, 1173 – 1182 Barrick, M.R., &Mount, M.K., (1991) The Big Five personality dimension and job performance : A meta analysis. Personnel Psychology, 44 (1). 1 – 26. Costa, P.T., Jr., & McCrae, R. R., (1992) Revised NEO Personality Inventory. Lutz, FL: Psychological Assessment Resources. Deci, E. L., & Ryan, R. M., (2000) Intrinsic and extrinsic motivations: classic definitions and new directions. Contemporary Educational Psychology, 25, 54–67 Goldberg, L. R., (1990) An alternative description of personality: The big five factor structure. Journal of Personality and Social Psychology, 59, 1216 – 1229. Hofstede, G., & Hofstede, G. J., (2005) Culture and organizations, software of the mind, USA: McGraw Hill Kim, B.S.K., Atkinson, D. R., dan Umemoto, D., (2001) Asian cultural values and counselling process: Current knowledge and direction for future research. The Counselling Psychologist, 29, 570 – 603. McClelland, D. C., Atkinson, J. W., Clark, R. A., & Lowell, E. L., 1953, Achievement Motive, New York : Appleton – Century – Crofts, Inc. McClelland, D. C., 1961, The Achieving Society, Van Nostrand : Princeton, N. J. McClelland, D.C., 1987, Human Motivation, New york : Cambridge Univercity Press
The
McCrae, R. R. & Costa, P. T. (1991). Adding liebe und arbeit : The full five-factor model and well-being. Personality and Social Psychology Bulletin, 17, 227-232. McCrae, R. R. & John, O. P. (1992). An introduction to the five-factor model and its applications. Journal of Personality, 2, 175-215. Organ, D. W. & Lingl, A. (1995). Personality, satisfaction, and organizational citizenship behavior. Journal of Social Psychology, 135, 339-350 Reynolds, P.D., Hay, M., Bygrave, W.D., Camp, S. M., dan Autio. E. (2000) Global entrepreneurship monitor: 2000 executive report. Kansas City, MO: Ewing Marion Kauffman Foundation Spector, P. E., (1996) Industrial and organizational psychology: research and practice. Canada: John Willey and Sons, Inc. Steers, R.M., 1975, Effects of need for achievement on the job performance-job attitude relationship, Journal of Applied Psychology, 60, 678-682 Steers, R. M., & Porter, L. W., (1987), Motivation and work behavior, Singapura : McGraw-Hill Steers, R. M., Porter, L. W., & Bigley, G. A.,(1996), Motivation and leadership at work, Singapura : McGraw-Hill Stewart, W. H., Jr., & Roth, P., L., (2005) Achievement motivation, depenability and entrepreneurial ststus: hunting the heffalump wit meta-analysis, Dalam http://www.clemson.edu, download tanggal 28 November 2005
Swagler, M. A., & Jome, L. M. (2005) The effects of personality and acculturation on the adjustment of North American sojourners in Taiwan. Journal of Counselling Psychology, 52 (4). 527 – 536. Swenson, D. X., 2000, David McClelland’s 3-Need Theory Achievement, Affiliation Power, Dalam http://www.css.edu/users/dsswenson/web/fachorne.htm, Download tanggal 28 Desember 2000