Hubungan parentification dengan Psychological Distress pada Remaja dengan Status Ekonomi Sosial Rendah Shelva Citra dan Fivi Nurwianti Program Studi Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
E-mail:
[email protected] Abstrak Literatur menunjukkan bahwa parentification dapat bersifat konstruktif dan destruktif, yang ditentukan dengan pemberian bimbingan dan dukungan dari keluarga. Pada remaja dengan Status Ekonomi Sosial rendah, kurang mendapatkan bimbingan dan dukungan, sehingga akan menimbulkan parentification yang bersifat destruktif. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan mental remaja, salah satunya akan menimbulkan psychological distress. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara parentification dengan psychological distress pada remaja dengan Status Ekonomi Sosial (SES) rendah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang melibatkan sebanyak 183 remaja usia 11-19 tahun dan bersekolah di Yayasan Sekolah Masjid Terminal (Master), Depok. Parentification diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Hooper (2009), yaitu Parentification Inventory (PI). Untuk psychological distress diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Weinberger (1995), yaitu Weinberger Adjustmen Inventory (WAI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara parentification dan psychological distress (r = 0,338, n =138, p > ,05). Selain itu, juga dilakukan perhitungan pada dimensi parentification (instrumental parentification, emosional parentification, dan perceiveved benefit parentification) dengan psychological distress. Hasil lain menunjukkan, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara instrumental parentification dan psychological distress (r = 0,199, n = 183, p < 0,05). Sementara itu, emotional parentification dan perceived benefit of parentification tidak terdapat berhubungan dengan psychological distress. Kata kunci: Parentification; Psychological Distress; Remaja; Status Ekonomi Sosial Rendah
Abstract The literature suggests that parentification can be constructive and destructive, which is determined by the provision of guidance and support from family. In adolescents with low social economic status, lack of guidance and support, so it will cause destructive parentification. This will affect the mental health of adolescene, one of them will lead to psychological distress. This study was conducted to examine the relationship between the psychological distress parentification in adolescents with low social economic status. This research is a quantitative study involving as many as 183 teenagers aged 11-22 years and attended the School of Masjid Terminal (Master), Depok. Parentification was measured using Parentification Inventory (PI) which was constructed by Hooper (2009). Psychological distress was measured using Weinberger Adjustmen Inventory (WAI) which was constructed by Weinberger (1975). The results showed that there was no significant correlation between psychological distress and parentification (r = 0338, n = 183, p > 0,05). Other results show, there is a positive and significant relationship between psychological distress and instrumental parentification (r = 0,199, n = 183, p < 0,05). Meanwhile, parentification emotional and perceived benefits of parentification are not associated with psychological distress. Key word: Adolescene, Low Socio-Economic Status , Parentification, Psychological Distress
1
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
2
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang menghadapi persoalan Status Ekonomi Sosial rendah. Situasi dengan SES rendah di Indonesia lebih dikenal dengan kemiskinan. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (BAPPENAS), salah satu tugas pokok pemerintah Indonesia sejak 2006 adalah mengatasi kemiskinan (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, 2009), yang berlanjut hingga tahun 2013. Hal ini menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan karena biaya negara yang dikeluarkan sebagai bantuan yang langsung menyentuh orang miskin tidak cukup besar yaitu hanya 9,01% atau sekitar 81,8 triliun (Stamboel, 2012). Menurut data dari Badan Penelitian Statistik (BPS) Indonesia, jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia hingga Maret 2013 mencapai 28,07 juta orang (Badan Penelitian Statistik, 2013). Jumlah ini mengalami penurunan daripada tahun sebelumnya yang berjumlah 28,59 juta orang, namun terjadi peningkatan biaya pengeluaran kebutuhan hidup sehari-hari dan menyebabkan penduduk miskin makin mendekati tingkat kemiskinan yang parah. Penduduk miskin berada jauh dari garis kemiskinan yang artinya jumlah biaya pengeluaran penduduk miskin sangat jauh dikatakan cukup dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi kemiskinan pada keluarga dapat mempengaruhi kondisi perkembangan remaja (Cowan & Cowan, 2002; Morrison & Corney, 2002; dalam Santrock, 2009). Menurut Goodman, Refrew, dan Mullick (2005), remaja dengan kondisi miskin memiliki keterbatasan dari sumber-sumber material, non-material, dan sosial. Kondisi ini berbeda dengan kondisi remaja dari lingkungan remaja pada umumnya yang tidak berada dalam kemiskinan. Pada remaja dengan kemiskinan, mereka harus ikut serta bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi oleh orang tuanya. Riset Gunawan dan Sugiyanto (2008) terhadap keluarga miskin di 17 provinsi di Indonesia menjelaskan bahwa orang tua dalam keluarga miskin mengutamakan dalam mengalokasikan waktunya untuk mencari nafkah dan menyelesaikan masalah keluarga. Orang tua lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dan menyerahkan pekerjaan rumah kepada anak remajanya. Adapun penyelesaian masalah keluarga diutamakan dalam mengatasi tingginya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Hasil riset juga menunjukkan bahwa keluarga miskin dalam mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah dengan melibatkan remaja untuk bekerja. Hal ini didukung oleh data terakhir yang diambil Survei Pekerja Anak (SPA) pada tahun 2009 menyatakan bahwa 4,05 juta remaja berusia 5-17 tahun dianggap sebagai remaja yang bekerja (International Labour Organization, 2009). Remaja yang bekerja ini umumnya masih
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
3
sekolah. Jenis pekerjaan yang dilakukan antara lain pekerjaan di sektor pertanian, jasa, dan industri. Selain itu anak yang bekerja juga bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar, seperti menjaga warung milik keluarga sendiri. Menurut konsep psikologi, fenomena dimana anak mengerjakan tugas rumah dan bekerja merupakan salah satu bentuk dari parentification yang merupakan suatu kondisi dimana remaja mendapatkan peran dan tanggung jawab yang umumnya dilakukan oleh orang dewasa (Hooper, 2007a). Pada kondisi ini, remaja akan melakukan peran dan tanggung jawab yang seharusnya tidak dilakukan oleh individu seusianya sehingga remaja mengasumsikan tugas-tugas tersebut tidak sesuai dengan level perkembangannya. Parentification dapat terjadi dalam kondisi dimana remaja menggantikan peran dari orang tuanya, seperti dengan menjadi orang tua bagi orang tuanya. Selain itu, parentification juga terjadi pada kondisi remaja menjadi partner bagi orang tua atau keluarganya, seperti remaja menjadi partner dalam mencari nafkah bagi orang tua. Kondisi parentification pada individu dapat dilihat dari bentuk tugas yang dikerjakan oleh individu tersebut. Menurut Hooper (2008) terdapat dua bentuk parentification, yaitu instrumental parentification dan emotional parentification. Tugas dalam bentuk fisik merupakan instrumental parentification, sedangkan melakukan dan memenuhi tugas emosional untuk orang tua dan keluarga merupakan emostional parentification. Pada remaja dengan SES rendah, kondisi instrumental dan emotional parentification menjadi peran dan tangung jawab yang harus dilakukan. Bentuk instrumental parentification pada remaja miskin yang terlihat adalah dengan menjadi partner orang tua mencari nafkah, membantu pekerjaan rumah yang ditinggalkan orang tua bekerja, dan menjaga saudara yang lebih muda. Adapun bentuk emotional parentification yang dapat dilihat pada remaja miskin adalah pemberian dukungan secara emosional pada orang tua yang lelah bekerja. Kondisi remaja miskin berbeda dari remaja pada umumnya, dimana tugas parentification harus dilakukan, agar kondisi keluarga dapat berfungsi normal. Remaja bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan hidup yang tidak bisa dicukupi oleh orang tua. Apabila remaja tidak bekerja, maka kebutuhan keluarga tidak akan terpenuhi. Selain itu, remaja miskin juga harus mengerjakan pekerjaan rumah karena tidak ada yang akan mengerjakan hal tersebut. Hal ini berbeda dengan kondisi remaja dari SES menengah keatas yang masih memiliki sumber daya orang lain untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak atau mencuci. Beberapa
penelitian
yang
dilakukan
menemukan
dampak
positif
dengan
diterapkannya parentification pada remaja. Dampak positif ini muncul karena parentification mengarahkan individu ke arah konstruktif, yaitu membangun kepribadian dan karakter dari
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
4
individu tersebut (Hooper, 2008). Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Gilford dan Reyolds (2011) yang menemukan individu dapat memiliki strategi coping stres yang baik, apabila sudah dilibatkan dengan tugas orang tua sejak dini. Strategi coping stres membuat individu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi sulit saat mereka kuliah. Dampak positif yang ditunjukkan oleh parentification mengarahkan individu untuk menyesuaikan diri dengan kondisinya. Namun tidak semua individu dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam menghadapi suatu peristiwa hidup yang bermakna, seperti perceraian; orang tua dan keluarga disfungsi; kemiskinan; dan sebagainya. Ketidakmampuan individu ini pada akhirnya akan menimbulkan dampak negatif pada individu. Dampak negatif parentification dapat dilihat pada studi Hooper dan Wallace (2010), yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara bentuk parentification dengan gejala kesehatan psikologis spesifik seperti kecemasan, depresi dan somatisasi, serta psychological distress secara global. Situasi parentification juga menyebabkan terganggunya tugas perkembangan remaja. Situasi ini mengganggu remaja dalam memusatkan dirinya untuk mengerjakan tugas perkembangan. Mereka lebih terfokus kepada kebutuhan lain yang harus dikerjakan. Remaja yang mengalami parentification menjadi tidak mampu memanfaatkan atau menggunakan sumber-sumber yang berasal dari dirinya sendiri dalam mengembangkan otonomi dan diri. Ketidakfokusan remaja pada tugas perkembangannya membuatnya mengalami kegagalan dalam mencapai kedewasaan yang dikatakan sehat. Remaja gagal untuk memenuhi tugas perkembangannya dalam menemukan identitas dirinya sendiri. Hal ini diperjelas dengan banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa parentification berhubungan dengan kondisi psikososial yang merusak, seperti depresi, cemas, kurang percaya diri, hubungan yang sulit, kemampuan sosial yang buruk dan masalah kesehatan (Jurkovic, 1999; Chase, 1999; Robinson, 1999; Boszormenyi-Nagy, 1986, 1973; Karpel, 1977; dalam Levine, 2009). Pada remaja yang mengalami dampak negatif prentification menunjukkan bahwa parentification dapat bersifat destruktif atau merusak pada individu tersebut (Hooper, 2008). Apabila kondisi ini tetap dipertahankan maka sifat destruktif pada remaja yang mengalami parentification akan menimbulkan perilaku maladaptif yang lebih parah atau psikopatologi. Pada remaja yang berasal dari keluarga miskin, parentification menjadi tuntutan yang diwajibkan orang tua atau menjadi kebutuhan yang harus dikerjakan. Akibatnya tanggung jawab tersebut dapat mempengaruhi perkembangan normal individu. Terutama orang tua yang memerintahkan tugas-tugas perkembangan yang lebih dewasa dari usia remaja. Hal ini didukung oleh pernyataan ahli bahwa kejadian yang bermakna seperti perceraian, alkoholisme, serta kemiskinan terjadi dalam keluarga, yang mempengaruhi pada peran dan
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
5
kapasitas orang tua, dampaknya remaja akan diminta orang tua menggantikan peran orang tua tersebut (Locke & Newcomb , 2004; Peris & Emery , 2005, dalam Tam, 2009). Hal selanjutnya yang akan tejadi adalah individu akan dituntut untuk memberikan dukungan emosional atau finansial yang digunakan untuk mengurangi tekanan orang tua dan melindungi sistem keluarga agar tetap utuh. Adanya tuntutan yang berlebihan dari orang tua kepada individu dapat menimbulkan stres pada individu itu sendiri (Powell, 2002). Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres merupakan keadaan dimana terjadi proses interaksi dan penyesuaian yang kontinu terhadap lingkungan sekitarnya, yang mengarahkan individu pada adanya persepsi yang tidak sesuai antara tuntutan fisik atau psikologis dalam situasi tertentu, dan sumber yang tersedia dari faktor biologis, psikologis dan lingkungan sosial yang dimiliki individu tersebut. Dengan kata lain, stres merupakan suatu respon dari masalah yang muncul dalam lingkungan sekitar individu. Faktor yang mempengaruhi stres dari lingkungan yang bersifat eksternal, disebut dengan stressor. Penyebab munculnya stressor pada individu adalah adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dengan sumber coping (Rice, 1999). Stres juga dipengaruhi oleh penilaian individu terhadap sumber stres. Saat sumber daya individu dirasakan cukup dalam menghadapi masa sulit, maka individu tersebut hanya mengalami stres ringan. Pada saat, individu tersebut mempersepsikan bahwa sumber daya yang ia miliki tidak cukup dalam menangani masalahnya, maka ia akan mengalami stres yang berat. Stres dapat dirasakan berbeda oleh individu. Individu bisa merasakan stres sebagai suatu hal menyenangkan atau tidak menyenangkan. Berdasarkan hal ini, Seyle (1974, dalam Rice, 1999) membagi stres menjadi dua yaitu, eustress dan distress. Stres yang membuat individu merasa senang dan mendapatkan pengalaman yang memuaskan disebut dengan eustres. Contoh dari eustress dapat dilihat pada individu yang berpartisipasi pada suatu kompetisi. Kondisi stres dapat memunculkan antisipasi dalam berkompetisi. Stres dapat menimbulkan motivasi untuk menang dalam kompetisi tersebut. Stres yang membuat individu merasa tidak senang dan merugikan disebut dengan distress. Distress akan membawa pengalaman yang tidak menyenangkan bagi yang mengalaminya, sehingga akan membawa dampak negatif bagi individu. Pada remaja parientified dengan SES rendah, mereka lebih rentan untuk mengalami psychological distress dibandingkan eustress. Kondisi orang tua yang sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan menyebabkan remaja harus mengerjakan segala pekerjaan rumah mulai dari membuat makanan, membersihkan rumah, mengasuh saudara dan sebagainya (Minuchin, 1974; Boszormenyi-Nagy dan Spark, 1973, dalam Leonard 2012). Parentification akan
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
6
membuat individu mengemban tugas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan seharusnya. Saat individu mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang dilakukan setiap hari serta tidak sesuai dengan tahap perkembangannya, dapat memunculkan tekanan atau kondisi tertekan pada individu. Kondisi tersebut akan menyebabkan individu kehilangan sumber daya yang tepat untuk dapat digunakan dalam mengatasi stressor yang ada. Selain itu, remaja akan mengalami ketidakpuasan terhadap segala hal yang dilakukannya. Beratnya tekanan yang dialami oleh individu akan menimbulkan respon yang berbentuk depresi, cemas, kurang percaya diri, dan low well being pada individu. Keempat kondisi ini akan muncul sebagai bagian dari psychological distress. Weinberger (1995) menjelaskan bahwa psychological distress merupakan respon psikologis individu terhadap kondisi yang dirasa terbatas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan pada diri dan kemampuannya. Adanya peran dan tanggung jawab yang dibebankan kepada remaja setiap hari, memberikan dampak psychological distress yang berbeda. Hasil penelitian oleh Hooper, Marotta, & Lanthier (2008), membuktikan bahwa bentuk emotional parentification berhubungan positif dengan psychological distress. Tugas remaja secara emosional berkaitan dengan menanggapi dan memenuhi kebutuhan emosional orang tua atau saudara kandung, serta bertindak sebagai seseorang yang dipercayai dalam keluarga dan penengah dalam mengatasi konflik-konflik yang terjadi di keluarga. Individu yang melaporkan dirinya mengalami emosional parentification, ternyata lebih mengalami psychological distress yang tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami instrumental parentification. Penelitian Hooper, Marotta, dan Lanthier (2008) yang menemukan hubungan positif antara parentification dengan psychological distress dilakukan pada mahasiswa, tanpa mengikutsertakan konteks lingkungan dalam parentification, yaitu konteks status sosialekonomi (SSE). Padahal menurut Boszormenyi-Nagy dan Spark (1973 dalam Baumann, 2006) dan Jurkovic (1997 dalam Baumann, 2006), konteks status sosial ekonomi akan mempengaruhi parentification dalam keluarga. Selain itu, penelitian Hooper, Marotta, dan Lanthier (2008) hanya dilakukan di Amerika, sehingga hasil penelitiannya belum dapat menggambarkan parentification yang terjadi di negara berkembang. Padahal menurut Becker (2007), parentification juga terjadi di negara berkembang seperti di negara-negara Afrika, dimana para orangtua banyak yang mengidap penyakit HIV/AIDS sehingga remaja menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dimiliki orangtua. Berdasarkan uraian diatas, peneliti merasa penting untuk melakukan penelitian terkait fenomena parentification dengan psychologycal distress pada remaja dengan SES rendah di Indonesia. Selain itu, kondisi kemiskinan pada negara berkembang seperti Indonesia dengan
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
7
kultur yang berbeda dengan negara Barat mendorong peneliti untuk mengetahui parentification di indonesia beserta hubungannya dengan psychological distress dalam konteks SES rendah yang ada di Indonesia. Tinjauan Teoritis Parentification. Selama 50 tahun terakhir, telah dilakukan penelitian-penelitian guna untuk menjelaskan konsep parentification. Minuchin dan Koleganya (1967, dalam Williams, 2010) memperkenalkan istilah parental child untuk pertama kalinya dalam menjelaskan individu yang diberikan wewenang untuk memenuhi peran dan tanggung jawab orang dewasa dalam keluarga. Perkembangan penelitian selanjutnya dilakukan oleh Boszormenyi-Nagy dan Spark (1973, dalam Pola, 1992), yang memperkenalkan istilah parentification untuk pertama kali. Konsep parenification tidak hanya dilihat dari fenomena pembalikan peran orang tua dan anak, namun juga sebagai dinamika antargenerasi. Orang tua yang mengalami parentification pada masa kecilnya, sehingga tidak terpenuhi kebutuhan yang seharusnya didapatkan pada masa pertumbuhannya menuju dewasa, maka akan berbalik meminta anak memenuhi kebutuhannya tersebut. Pada akhirnya, anak akan mengalami parentification karena mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan oleh orang tua. Jurkovic (1997, dalam Baumann, 2006) merupakan orang yang melanjutkan penelitian Minuchin mengenai parentification. Jurkovic mencoba untuk membuat batasanbatasan yang lebih jelas mengenai parentification agar dapat mudah dipahami. Menurut Jurkovic (1997 dalam Baumann, 2006) individu dikatakan mengalami parentification apabila terdapat pembalikan peran yang jelas antara orang tua dan anak. Salah satu contohnya, anak menjalankan tugas-tugas orang tua di keluarga. Tugas yang dilakukan merupakan tugas-tugas yang seharusnya belum menjadi tugas di usia perkembangannya. Jurkovic (1997, dalam Hooper, 2008) menjelaskan mengenai tipe parentification berdasarkan bentuk tugas dan tanggung jawab yang dijalankan individu, yaitu instrumental parentification dan emotional parentification. Pada instrumental parentification, peran dan tanggung jawab yang diberikan berbentuk tugas fisik. Individu berperan dalam melakukan tugas seperti menyiapkan makanan, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan penanganan masalah keuangan. Pada emotional parentification, peran dan tanggung jawab yang diberikan berbentuk tugas emosional. Bentuk tugas emosional misalnya memenuhi kebutuhan emosional orang tua atau saudara kandung atau bertindak sebagai sosok yang dipercayai dan pembawa kedamaian pada keluarga. Jurkovic (1997, dalam Hooper & Doehler, 2011) dalam tipe parentification-nya
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
8
juga menambahkan perceived fairness yang digunakan untuk melihat persepsi individu terhadap keadilan dari parentification yang dialaminya. Adapun bentuk tugas yang dikerjakan seperti mempersiapkan makan, mencari nafkah, dan menjadi penengah konflik pada keluarga. Konsep parentification Jurkovic (1997, dalam Hooper, 2008) juga menjelaskan bahwa parentification dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Parentification bersifat konstruktif terjadi ketika anak melakukan tugas dan tanggung jawab, orang tua tetap memberikan pengasuhan yang sesuai serta memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap kontribusi anak. Kondisi parentification yang bersifat konstruktif kemungkinan dapat terjadi pada anak yang mengerjakan tugas dan tanggung jawab keluarga sementara ketika orang tuanya sakit. Parentification dapat bersifat destruktif ketika anak mendapatkan parentification namun orang tua atau keluarga tidak memberi dukungan, bimbingan dan pengasuhan yang seharusnya. Konsep terbaru mengenai parentification dibawa oleh Hooper (2007a) yang melakukan pengembangan teori parentification dari peneliti-peneliti sebelumnya. Hooper melakukan penelitian parentification dengan melakukan peninjauan kembali terkait dengan konsep parentification dari berbagai sudut pandang. Hooper (2007a) mendefinisikan parentification, sebagai berikut: “Parentification is a type of role reversal, boundary distortion, and inverted hierarchy between parents and other family members in which adolescents assume developmentally inappropriate levels of responsibility in the family of origin” (pg. 20-24). Menurut Hooper (2007a), kondisi parentification dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk pembalikan peran antara orang tua dan anak, yang mana tugas dan tanggung jawab orang tua dikerjakan oleh anak. Terjadinya pembalikan peran, menimbulkan ketidakjelasan batasan-batasan dalam sistem keluarga yang akhirnya akan memunculkan pembalikan hirarki dalam keluarga, semua tanggung jawab dan peran orang tua dipegang oleh anak. Kondisi parentification terjadi apabila anak mengasumsikan tugas dan tanggung jawab yang dikerjakannya tidak sesuai dengan tugas perkembanganya yang seharusnya Psychological Distress. Weinberger (1995) menjelaskan bahwa psychological distress merupakan respon psikologis terhadap kondisi eksternal individu yang dianggap terbatas dan mengancam, sehingga menimbulkan keadaan dimana individu yang merasa tidak puas akan dirinya sendiri dan kemampuannya. Psychological distress akan memunculkan emosi negatif pada individu yang berbentuk depresi, kecemasan, kurang percaya diri, dan low well being. Pyschological distress akan muncul sebagai proses dimana individu tidak bisa melakukan penyesuaian diri
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
9
baik secara sosial ataupun emosional terhadap kondisi eksternal yang terbatas. Menurut Weinberger (1995) hilangnya penyesuaian diri terhadap kondisinya tersebut, akan menimbulkan masalah-masalah sosial dan emosional sehingga diperlukan dukungan sosial yang mampu menurunkan ancaman terhadap bahaya dan berkontribusi terhadap kemampuan seseorang dalam menghadapi tekanan. Kondisi ini dirasakan sesuai dengan remaja dengan Status Ekonomi Sosial rendah sebagai karakteristik pada penelitian ini, sehingga peneliti menggunakan definisi Psychological distress yang dikembangkan oleh Weinberger (1995). Matthews (2000) menyebutkan terdapat dua hal yang mempengaruhi psychological distress pada seseorang, yaitu interpersonal dan situasional. Faktor interpersonal berbentuk ciri kepribadian individu tersebut. Faktor situasional terkait dengan faktor lingkungan yang dianggap mengancam dan berbahaya oleh individu tersebut. Metode Untuk mendapatkan gambaran dari hubungan antara dua variabel dalam penelitian ini yaitu parentification dengan psychological distress, maka peneliti menggunakan metode kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk mengukur hubungan kedua variabel tersebut dengan menggunakan perhitungan statistik, sehingga dapat dianalisis untuk menetapkan variasi hubungan pada kedua variabel. Partisipan Penelitian. Partisipan penelitian diperoleh dengan menggunakan convinient sampling, yaitu dengan menggunakan ketersediaan data yang berada di tempat pengambilan data. Partisipan penelitian ini, secara keseluruhan berjumlah 187 orang yang merupakan siswa/i SMP dan SMA di yayasan Sekolah Masjid Terminal (Master), Depok. Akan tetapi, hanya 183 yang dapat dipergunakan dan diolah datanya karena memiliki karakteristik yang sesuai dengan karakteristik partisipan pada penelitian ini. Partisipan penelitian ini memiliki rentang usia dari 11-19 tahun, dengan 81 orang partisipan laki-laki (44.26%, n = 183) dan 102 orang partisipan perempuan (55.74%, n = 183) Pengambilan data dilakukan selama dua hari, yaitu rabu dan kamis/tanggal 18 Desember 2013 dan tanggal 19 Desember 2013. Pada hari rabu (18 Desember 2013), peneliti dan tim mengambil data pada siswa/i Sekolah Menengah Atas (SMA) yang bersekolah pada siang hari. Pada hari kamis (19 Desember 2013), peneliti dan tim mengambil data pada siswa/i Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang bersekolah pada pagi hari. Partisipan
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
10
penelitian diberikan sebuah kuesioner. Setelah menyelesaikan pengisian kuesioner partisipan diberikan reward, sebagai ucapan terima kasih telah berpartisipasi pada penelitian ini. Instrumen Penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk kuesioner. Untuk mengukur parentification pada remaja, peneliti menggunakan alat ukur Parentification Inventory (PI) yang dikembangkan oleh Hooper (2009). Untuk kepentingan penelitian, alat ukur ini diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh salah satu dosen Psikologi Universitas Indonesia, sehingga menjadi 19 item. Berdasarkan tugas dan tanggung jawab inidvidu, alat ukur ini terdiri dari 3 dimensi yaitu instrumental parentification, emotional parentification, dan perceived-benefit parentification. Item instrumental parentification berjumlah sebanyak 8 item, dengan contoh item seperti “Saya bekerja dan membantu keuangan keluarga”. Item emotional parentification berjumlah sebanyak 8 item, dengan contoh item seperti “Saya membantu orang tua saya dalam membuat keputusan-keputusan penting”. Item Perceived benefit of parentification berjumlah sebanyak 3 item, dengan contoh item seperti “Saya sangat menikmati peran saya didalam keluarga”. Alat ukur ini menggunakan Skala Likert sebagai respon yang harus dijawab oleh partisipan. Skala Likert 1 sebagai respon sangat tidak sesuai sampai dengan 4 sebagai respon sangat sesuai. Skor total parentification diperoleh dengan menjumlahkan skor pada masing-masing item, mulai dari item nomor 1 hingga item nomor 19. Rentang skor yang diperoleh dari skor total seluruh item (19 iem) adalah 19-76. Hasil reliabilitas diperoleh alpha cronbach sebesar 0.822 secara keseluruhan. Selain itu, koefisien reliabilitas diperoleh untuk emotional parentification sebesar 0.737, instrumental parentification sebesar 0.666, dan perceived benefit of parentification sebesar 0.719. Terdapat dua item yang memiliki nilai corrected item-total correlation dibawah 0,2, karena tidak ada item yang dapat mewakili, kedua item tersebut tetap digunakan. Alat ukur psychological distress yang digunakan dalam penelitian ini adalah Weinberger Adjustment Inventory (WAI) yang dikembangkan oleh Weinberger (1995). Pada dasarnya WAI digunakan untuk mengukur social-emosioanal adjustment
pada seluruh
tingkatan umur yang melihat dua dimensi besar dari psychological adjustment yaitu self restraint dan psychological distress. Namun, pada penelitian ini yang digunakan adalah WAI dengan dimensi psychological distress dengan total item 12. WAI membagi distress menjadi 4 subskala yang memprediksikan hubungan pada pengalaman kecemasan, depresi, kurang percaya diri, dan low well being. Untuk mendapatkan respon dari partisipan alat ukur WAI menggunakan Skala Likert dari 1 “Sangat Tidak Sesuai” sampai dengan 4 “Sangat Sesuai”.
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
11
Hasil reliabilitas diperoleh alpha cronbach sebesar 0.701 dan dilakukan penghapusan pada item 9-12. Teknik Pengolahan dan Analisis Data. Untuk melakukan pengolahan dan menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengolahan statistik dengan SPSS 13.0. Teknik statistik yang digunakan adalah (a) Pearson correlation yang digunakan untuk melihat korelasi antara parentification dan dimensinya dengan psychological distress; (b) Independent sample t-test yang digunakan untuk mengukur signifikan perbedaaan rata-rata antara dua kelompok; (c) Analysis of variance (ANOVA) yang digunakan untuk mengukur signifikan perbedaan rata-rata lebih dari dua kelompok. Hasil dan Analisis Analisis data utama. Berikut tabel 1 merangkum hasil perhitungan hubungan dimensi parentification dengan psychological distress. Tabel 1. Hasil Perhitungan Korelasi antara Dimensi Parentification dan Psychological Distress Variabel Psychological Distress
-Parentification -Instrumental Parentification -Emotional Parentification -Perceived Benefit of Parentification “ Signifikan pada L.O.S 0.01
r 0,101
Sig (p) 0,175
r2 0,010
0,199’’
0,007
0,040
0,041
0,577
0,0017
-0,112
0,133
0,012
Tabel 1 menunjukkan bahwa analisis data korelasi pearson mengungkapkan bahwa parentification dan psychologycal distress tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan, r = -,101, n = 183, p > ,01. Dengan demikian hipotesis null diterima, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara parentification dengan psychological distress. Selain itu, dari hasil tersebut juga didapatkan effect size (r2 = 0,010), yang berarti bahwa sebesar 1% variasi dari psychological distress dapat dijelaskan melalui variasi skor parentification, sedangkan 99% lainnya disebabkan oleh faktor lain. Pada tabel 1 juga menunjukkan bahwa dimensi instrumental parentification berhubungan positif dan signifikan dengan psychological distress, r = 0,199, n =183, p < ,01. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara intrumental parentification dengan psychological
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
12
distress. Dengan kata lain, semakin tinggi instrumental parentification, aka semakin tinggi pula kondisi psychological distress. Selain itu, diketahui terdapat effect size (r2 = ,040), dimana sebesar 4% variasi dari skor psychological distress dapat dijelaskan melalui variasi skor instrumental parentification, sedangkan 96% lainnya disebabkan oleh faktor lain. Pada tabel 1, juga menunjukkan bahwa dimensi emotional parentification tidak berhubungan secara signifikan dengan psychological distress, r = 0.042, n =183, p > ,01. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan secara signifikan antara emotional parentification dengan psychological distress. Selain itu, dari hasil analisis juga ditemukan effect size (r2 = ,0017), dimana sebesar 0,17% variasi skor psychological distress dapat dijelaskan melalui variasi skor emotional parentification, sedangkan 99,83% lainnya dijelaskan oleh faktor lain. Hasil yang sama juga ditemukan, bahwa dimensi perceived benefit of parentification tidak berhubungan secara signifikan dengan psychological distress, r = -,112, n = 183, p > ,01). Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan secara perceived benefit of parentification dengan psychological distress. Selain itu, ditemukan effect size (r2 = 0,0012), dimana sebesar 0,12% variasi skor psychological distress dapat dijelaskan melalui variasi skor perceived benefit of parentification, sedangkan 99,88% lainnya dijelaskan oleh faktor lain. Analisis data Tambahan. Hasil tambahan penelitian diperoleh dari melakukan perbandingan dua kelompok yang akan menggunakan perhitungan independent sample t-test dan perbandingan lebih dari dua kelompok yang menggunakan perhitungan one-way analysis of variance (ANOVA). Perbandingan dibuat berdasarkan beberapa data demografis partisipan yang akan dihubungkan dengan parentification dan psychological distress, yaitu usia, jenis kelamin, dan posisi dalam keluarga. Hasil menunjukkan bahwa parentification tidak berbeda secara signifikan pada remaja awal, tengah, dan akhir, F (2, 180) = 1,175, p > ,05. Selain itu, hasil juga
menunjukkan bahwa parentification yang dialami oleh responden laki-laki tidak
berbeda secara signifikan dengan responden perempuan, t (183) = 1,605, p > ,05. Selanjutnya berdasarkan tabel diatas, parentification tidak berbeda secara signifikan pada partisipan anak sulung, anak tengah, anak bungsu, dan anak tunggal, F (3, 180) = 0,487, p > ,05). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh analisis data ambahan yang menjelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran pada psychological distress yang dialami partisipan. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan psychological distress yang signifikan pada responden yang
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
13
termasuk remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir, F (2, 180) = 0,1985, p > ,05). Selain itu, hasil analisis tambahan juga ditemukan bahwa psychological distress tidak berbeda secara signifikan pada partisipan laki-laki dan perempuan, t (183) = -1,331, p > ,05). Tabel 4.9 juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan psychological distress pada anak sulung, anak tengah, anak bungsu, dan anak tengah, F (3, 180) = 0,186, p > ,05.
Kesimpulan Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara parentification dengan psychological distress pada remaja dari Status Ekonomi Sosial (SES) rendah. Artinya tingkat parentification yang dialami oleh seseorang tidak berhubungan secara positif dan signifikan dengan psychological distress. Dengan tidak adanya hubungan secara signifikan antara parentification dengan psychological distress pada remaja dengan SES rendah, peneliti menerima Ho dan menolak Ha. Hasil positif dan signifikan hanya ditemukan antara instrumental parentifcation dengan psychological distress. Artinya, semakin tinggi instrumental parentitification yang diterima individu maka akan semakin tinggi pula psychological distress yang dialaminya. Selain itu, berdasarkan analisis data tambahan, dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara parentification dengan usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran. Hasil yang sama juga ditemukan pada psychological distress, yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara psychologial distress dengan usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran. Pembahasan Hasil pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Hooper dan Wallace (2010), bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kondisi parentification dengan gejala kesehatan psikologis spesifik seperti kecemasan, depresi dan somatisasi, serta gejala distress secara global. Hasil penelitian ini berdasarkan penghitungan statistik diperoleh koefisien korelasi sebesar r = 0,338, n = 183, p > 0,01, yang menunjukkan hubungan tidak signifikan antara parentification dengan psychological distress. Tidak ada hubungan secara signifikan antara parentification dengan psychological distress dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh karakteristik partisipan itu sendiri. Kondisi psychological distress pada remaja yang mengalami parentification dipengaruhi oleh diberikannya dukungan dan bimbingan dari orang tua atau keluarga. Bimbingan dan dukungan, serta pengasuhan juga mengarahkan parentification pada bentuk konstruktif dan destruktif (Jurkovic, 1997 dalam Williams,
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
14
2010). Psychological distress muncul sebagai bentuk destruktif dari kondisi parentification, yang muncul karena individu tidak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari orang tua dan keluarga serta anak yang tidak mendapatkan haknya. Pada partisipan ini, dukungan dan bimbingan masih didapatkan dari keluarga dan lingkungan sosial mereka, sehingga dampak parentification yang bersifat destruktif tidak muncul. Hal ini dapat dilihat pada kondisi partisipan penelitian ini yang masih mendapatkan dukungan berupa hak untuk tetap bersekolah, belajar, dan bermain. Orang tua yang masih memberikan hak-hak anak, tidak menimbulkan tekanan pada individu tersebut sehingga tidak memunculkan psychological distress. Karakteristik partisipan sebagai masyarakat Indnesia juga diduga mempengaruhi tidak terdapat hubungan antara parentification dengan psychological. Masyarakat Indonesia menganut budaya kolektifis, dimana individu terikat dalam suatu keluarga yang saling bergantung satu dengan yang lainnya. Individu terikat dengan adanya tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan untuk keluarga. Keluarga merupakan wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak; mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat berfungi baik dalam masayarakat; serta memberikan kepuasan dan lingkungan sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Megawangi, 1994 dalam Sunarti, 2012). Masyarakat Indonesia berpendapat anak di keluarga harus dikembangkan, sehingga mengganggap remaja yang menjalankan tugas orang tua seperti mengurusi pekerjaan rumah, menjaga saudara, dan bekerja membantu orang tua adalah sesuatu yang lazim, dan sudah seharusnya dilakukan oleh anak dalam keluarga. Oleh karena itu, kondisi parentification di Indonesia tampaknya lebih membawa kepada bentuk konstruktif yang bersifat lebih membangun karakter individu itu sendiri. Remaja diharapkan mengambil peran untuk bertanggung jawab serta mandiri, yang dirasa penting untuk pengembangan karakter. Pada tahap ini, anak dipercayakan untuk melakukan tindakan yang diharapkan akan memunculkan tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua sehingga dapat dikatakan telah melalui perkembangan diri yang baik, seperti ketika orang tua yang menginginkan anaknya mandiri akan memberikan tanggung-jawab lebih dalam melakukan tugas pekerjaan rumah. Hal ini tergambarkan dari data yang dilaporkan oleh partisipan. Dimana 144 dari 183 partisipan melakukan tugas yang dilakukan oleh orang tua dengan alasan karena mereka sanggup untuk melakukannya terlepas dari orang tua mampu atau tidak. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak adanya paksaan bagi anak untuk melakukan tugas orang tua dan menggangap bahwa tugas tersebut sebagai hal yang sudah seharusnya mereka lakukan.
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
15
Berdasarkan hasil analisis data penelitian ini, dapat diinterpretasikan bahwa parentification hanya menyumbang 1% saja terhadap psychological distress. Untuk 99% sisanya berasal dari varians dari faktor lain. Peneliti menduga salah satu faktor tersebut adalah dari faktor intrapersonal yang dilihat dari ciri kepribadian berdasarkan urutan kelahiran. Melihat pada pada penelitian ini mayoritas partisipan merupakan anak tengah. Menurut Adler (1931, dalam Feist & Feist, 2009), anak tengah memiliki kepribadian untuk mampu beradaptasi dengan baik dan motivasi yang tinggi. Peneliti menduga bahwa partisipan dalam penelitian tidak mengganggap bahwa kondisi lingkungan SES rendah merupakan keadaan yang menekan sehingga dapat menimbulkan psychological distress. Psychological distress akan muncul pada individu yang mempersepsikan SES rendah sebagai sumber tekanan, sehingga ia mengalami kesulitan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan (Matthews, 2000). Pada penelitian ini ditemukan hanya instrumental parentification yang berhubungan secara positif dan signifikan dengan
psychological distress. Dari hasil penghitungan
diketahui bahwa hubungan keduanya adalah positif. Artinya semakin tinggi instrumental parentification maka akan semakin tinggi pula psychological distress yang dialami oleh individu. Hal ini juga cukup berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hooper, Marotta, dan Lanthier (2008), yang menyatakan bahwa parentification yang diprediksi memunculkan psychological distress adalah emotional parentification bukan instrumental parentification. Instrumental parentification yang berkorelasi dengan psychological distress diduga dipengaruhi oleh faktor situasional yaitu kondisi remaja dengan SES rendah pada partisipan penelitian ini. Kondisi dengan SES rendah kebanyakan terjadi di negara berkembang, sedangkan penelitian parentification dengan stress ataupun distress dilakukan di beberapa negara maju dengan karakteristik partisipan lebih kepada masalah struktur keluarga, seperti perceraian, orang tua yang sakit, dll. Kondisi individu parientified pada kondisi dengan SES rendah, memiliki kecenderungan menyebabkan individu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti membuat makanan, membersihkan rumah, mengasuh saudara dan sebagainya (Minuchin, 1974; Boszormenyi-Nagy dan Spark, 1973, dalam Leonard 2012). Tugas instrumental lebih memungkinkan untuk terjadi pada remaja dengan SES rendah dibandingkan emotional parentification. Kesibukkan orang tua untuk mencari nafkah, menyebabkan pemberian tugas kepada remaja yang terjadi secara terus menerus. Individu akan merasa tertekan dengan diberikannya tugas-tugas yang berkelanjutan. Peneliti juga berpendapat hubungan instrumental parentification dan psychological distress dipengaruhi oleh penggunaan waktu yang digunakan dalam melakukan tugas-tugas
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
16
instrumental tersebut. Peningkatan waktu mengerjakan tugas parentification dapat menimbulkan tekanan pada individu yang akan menimbulkan dampak negatif pada kesalahatan mental pada individu, salah satunya psychological distress (Jankowski, Hooper, Sandage, & Hannah, 2011). Tidak terdapatnya hubungan emotional parentification dengan psychological distress, diasumsikan dipengaruhi oleh usia partisipan. Usia partisipan yang mayoritas berada 15 tahun ke bawah mungkin belum dipercayakan oleh orang tua untuk menangani tugas-tugas emosional, seperti penengah konflik ataupun pembuat keputusan dalam keluarga. Hal ini dapat diketahui dari respon partisipan terhadap item tugas-tugas emosional. Kurang lebih 100 partisipan menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju untuk item-item emotional parentification, yang menandakan partisipan tidak mendapatkan tugas tersebut. Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara parentification dengan data kontrol, yaitu jenis kelamin. Awalnya peneliti berasumsi bahwa parentification yang dialami oleh perempuan lebih besar dibandingkan lakilaki. Hal ini dikarenakan banyaknya bentuk tugas parentification yang dikerjakan oleh perempuan yaitu mengerjakan semua pekerjaan rumah, merawat saudara; dibandingkan lakilaki (Stein, Rotheram-Borus, & Lester, 2007). Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan tidak terdapat perbedaan varians pada data parentification laki-laki dan perempuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Leonard (2012), yang mana penelitiannya tidak menemukan hubungan antara parentification dengan jenis kelamin seseorang. Tidak terdapat perbedaaan parentification yang dialami perempuan dan laki-laki dikarenakan perubahan pada struktur masyarakat, salah satunya peran yang harus dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan yang sama (Leonard, 2012), pada saat ini. Beberapa tugas rumah, saat ini bukan hanya dikerjakan oleh perempuan namun laki-lakipun ikut bertanggung jawab. Menurut McMahon dan Luthar (2007), terdapat hubungan antara urutan kelahiran dalam keluarga dengan parentification yang dialami. Pada anak sulung dalam keluarga cenderung mengalami parentification ditandai dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan seringkali menjadi sumber penyedia dukungan emosional bagi ibunya. Hasil ini berbeda dengan penemuan analisis data tambahan pada penelitian ini. Pada penelitian ini. parentification ditemukan tidak berbeda pada anak sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tidak meratanya persebaran karakteristik urutan kelahiran pada partisipan penelitian. Partisipan penelitian ini, hampir separuhnya berada posisi anak tengah yaitu sebanyak 91 orang (49,73%) dari total partisipan seluruhnya.
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
17
Hasil analisis pada tambahan juga menunjukkan bahwa psychological distress tidak berbeda secara signifikan berdasarkan jenis kelamin. Padahal menurut Mirowsky dan Ross (2003), perempuan lebih banyak mengalami psychological distress dibandingkan laki-laki yang disebabkan karena peran yang dibawa oleh perempuan lebih banyak dibandingkan lakilaki. Hasil yang berbeda disebabkan peran yang dibawa oleh partisipan penelitian ini sebagai remaja antara laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan, seperti sama-sama memiliki peran dan tanggung jawab membantu orang tua. Limitasi dan Saran Pada penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Untuk itu pada penelitian selanjutnya, sebaiknya peneliti perlu memperhatikan faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi hubungan kedua variabel, parentification dan psychological distress. Selain itu, peneliti menyadari penting untuk memperhatikan proses pengambilan data pada sampel dengan karakteristik remaja awal atau yang berada pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mengingat sampel pada penelitian ini adalah remaja SMP, saat melakukan pengambilan data peneliti cukup kewalahan untuk memantau mereka dalam mengisi kuesioner. Perlu untuk menyesuaikan jumlah sampel pada remaja awal dengan kapasitas yang mampu dipantau oleh peneliti dalam mengerjakan pengisian kuesioner. Untuk satu orang tester kemungkinan bisa mengadminstrasikan 20-30 orang dengan karakteristik remaja awal. Temuan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara instrumental parentification dengan psychological distress. Artinya semakin tinggi instrumental parentification yang dialami oleh individu, maka akan semakin tinggi pula psychological distress. Temuan ini menunjukkan bahwa perintah atau pemberian tanggung jawab berupa instrumental parentification
yang dalam item diwakilkan dengan tugas
bekerja, mencuci pakaian, berbelanja, dan sebagainya menyebabkan psychological distress pada remaja. Orang tua perlu memperhatikan bagaimana pemberian kerja pada remaja. Pekerjaan dapat diberikan dengan intruksi kerja yang tidak menekan anak dan pembagian waktu yang tepat sesuai dengan kondisi perkembangan anak.
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
18
Kepustakaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia. (2009). Penanggulangan kemiskinan. Diambil pada 27 Oktober 2013 dari ttp://www.bappenas.g o.id/files/3513/5211 /1083/bab-16---penanggulangankemiskinan__20090202 213335__175 8__1 6.pdf. Baumann, R. A. (2006). Childhood parentification and adjustment to college: an exploratory investigation (Master’s Thesis, Texas Woman;s University). ProQuest Dissertation and Thesis. (UMI: 1435461) Badan Pusat Statistik. (2013). Jumlah penduduk miskin maret 2013 mencapai 28,07 juta orang. Diambil pada 27 oktober 2013 dari http://www.bps.go.id/?news=1023. Becker, S. (2007). Global perspectives on children’s unpaid caregiving in the family: Research and policy on “young carers” in the UK, Australia, the USA and Sub-Saharan Africa. Global Social Policy, 7, 23–50. doi:10.1177/1468018107073892. Feist, J., & Feist, G.J. (2009). Theories of personality (7th ed.). New York: McGraw-Hill. Gilford, T. T., & Reynolds, A. (2011). "My mother's keeper": The effects of parentification on Blackfemale college studentd. Jurnal of Blasck Psychology, 37, 55-77. doi: 10.1177/0095798410372624. Gunawan & Sugiyanto. (2008). Kondisi keluarga fakir miskin. Diambil pada 18 Maret 2014 dari http://www.averroes.or.id/research/kondisi-keluarga-fakir-miskin.html. Goodman, R., Refrew, D., dan Mullick, M. (2005). Predicting type of psychiatric disorder from Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) scores in child mental health clinics in London and Dhaka. European Child and Adolescent Psychiatry, 9:129-134. Hooper, L. M. (2007a). The application of attachment theory and family systems theory to the phenomena of parentification. The Family Journal, 15(3), 217-223. doi: 10.1177/1066480707301290 Hooper, L. M. (2008). Defining and understanding parentification: implications for all counselors. The Alabama Counseling Association Journal, 34, 34-43. Diunduh dari http://www.parentification.ua.edu/uploads/1/8/9/ 9/18990327/hooper-defining.pdf Hooper, L.M. (2009). Parentification inventory (Available from L. M. Hooper, Departement of Educational Studies in Psycholgy, Research Methodology, and Counseling, The University of Alabama, Tuscaloosa, AL 35487). Hooper, L. M & Doehler, K. (2011). Assesing family caregiving: A comparison of three retrospective parentification measures. Journal of Marital and Family Therapy. doi: 10.1111/j.1752-0606.2011.00258.x
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
19
Hooper, L. M., Marotta., S. A., & Lanthier., R. P. (2008). Predictors of Growth and distress following childhood parentification: A retrospective exploratory study. Journal Child Family Study (2008), 17:693-705. doi: 10.1007?a10826-007-9184-8. Hooper,
L.
M.,
&
Wallace,
S.
A.
(2010).
Evaluating
the
parentification
questionnaire:Psychometric properties and psychopathology correlates. Contemporary Family Therapy, 32, 52–68. doi:10.1007/s10591-009-9103-9 Hooper, L. M., Wallace, A. A., Doehler, K., & Dantzler, J. (2012). Parentification, ethnic identity, and psychological health in Black and White American college students: Implications of family-of-origin and cultural factors. Jurnal of Comparative Family Studies, pp: 812-835. International Labour Organization. (2009). Pekerja anak indonesia tahun 2009. Diambil pada 27 Oktober 2013 dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/--ilo-jakarta/documents/ ublication/wcms_123584.pdf. Jankowski, P. J., Hooper, L. M., Sandage, S. J., dan Hannah, N. J. (2011). Parentification and mental health symptoms: mediator effects of perceived unfairness and differentiation of self. Journal of Family Theraphy, 2011. doi: 10.1111/j.1467 6427.2011.00574.x. Jurkovic, G. J., Thirkield, A., & Morrell, R. (2001). Parentification of adult children of divorce: A multidimensional analysis. Journal of Youth and Adolescence, 30, 245–257. Lazarus & Folkman. (1984). Stress, appraisal, and coping. USA: SPringer Publishing Company, Inc. Leonard, C. L. (2012). Asesing the impact of parentification on students’ adjustment to college (Doctoral Dissertation). ProQuest Dissertation and Thesis. (UMI No. 3545161). Levine. A. (2009). Parentification and adult psychosocial life distress. (Doctoral Disertation, Yeshiva University). Disertation Online (UMI No. 3376850) Matthews, G. (2000). Distress. Dalam G.Fink. Encyclopedia of stress. Volume 1 (A-D), 723729. New York: Academic Press. McMahon, T. J., & Luthar, S. S. (2007). Defining characteristics and potential consequences of caretaking burden among children living in urban poverty. American Journal of Orthopsychiatry, 77, 267–281. Mirowsky, J., dan Ross, C., E. (2003). Social causes of psychological distress 2ed. New York: Aldine De Gruyter. Papalia, D. E., Olds, S. W. & Feldman, R. D. (2009). Human development (eleventh edition). New York: McGraw-Hill.
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014
20
Pola, L. E. (1992). Parentification level as predictor of self esteem and academic achievement in Hispanic children (Doctoral Dissertation). Proquest Disertation and Theses; 1992; PsycArticles. Powel, M. (2002). Stress relief: The ultimate teen guide. USA: Scarecrow Press, Inc. Rice, L. P. (1999). Stress and Health (third edition). USA: Brooks/Cole Pubishing Company. Santrock, J. W. (2009). Educational psychology. New York: MC Graw-Hill Company, Inc. Stamboel, K. (2012). dalam Katalog Badan Pusat Statistik Indonesia. (2012). Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi indonesia. 11 November 2013. Diunduh dari http://www.bps.go.id/booklet /Booklet_Mei_2012.pdf Stein, J. A., Rotheram-Borus, M. J., & Lester, P. (2007). Impact of parentification on longterm outcomes among children of parents with HIV/AIDS. Family Process,46, 317333. doi:10.1111/j.1545-5300.2007.00214.x Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York: The McGraw Hill Companies, Inc. Sunarti, E. (2012). Fungsi dan peran keluarga. 27 Februari 2014. Diunduh dari http://euissunarti.staff.ipb.ac.id/files/2012/04/Dr.-Euis-Sunarti-OK-FUNGSI
-DAN-
PERAN-KELUARGA.pdf. Tam, O.K.W.L,. (2009). The parentified child in a child psychotherapist: A systematic literature
review
of
the
parentified
child,
exploring
its
effects
on
the
countertransference process in child psychotherapy (Doctoral Dissertation, Auckland University OF Technology). Diambil dari http://aut.researchgateway.ac.nz/bitstream /handle/10292/885/TamO.pdf?sequence=3. Weinberger, D. A. (1995). Distress and self-restraint as measures of adjustment acrossthe life-span: Confirmatory factor analyses in clinical and non-clinical samples. Psychological Assesssment, Vol 9(2), Jun 1997, 132-135. doi: 10.1037/10403590.9.2.132. Williams, K. (2010). Examining the construct of childhood parentification: an empirical investigation (Master’s Thesis). Proquest Diserrtation and Theses. (ISBN: 978-0-49468977-6).
Hubungan parentification…, Shelva Citra, FPsi UI, 2014