Hubungan Antara Parentification dengan Codependency pada Remaja Berstatus Sosial Ekonomi Rendah Tiara Priscarani dan Fivi Nurwianti Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16242, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara parentification dengan codependency pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Parentification didefinisikan sebagai gangguan dalam menentukan batas antar generasi, yang ditandai dengan adanya pertukaran peran fungsional dan/atau emosional antara orang tua dan anak (Hooper, 2007). Sedangkan codependency didefinisikan sebagai keinginan yang berlebihan akan penerimaan dari orang lain, disertai dengan kecenderungan untuk mengutamakan kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhan diri sendiri (Dear, 2002). Penelitian ini merupakan studi korelasional dan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini melibatkan 177 orang sebagai partisipan yang berada pada tahap perkembangan remaja (12-19 tahun), yang terdaftar dalam Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di wilayah Jakarta. Partisipan perempuan sebanyak 76 orang dan partisipan laki-laki sebanyak 101 orang. Variabel parentification diukur dengan menggunakan Parentification Inventory (Hooper 2009), dan variabel codependency diukur dengan menggunakan Composite Codependency Scale (Dear et al., 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parentification dengan codependency pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah, dengan r=.453, p<0.01. Hal tersebut menandakan bahwa semakin tinggi tingkat parentification, maka semakin tinggi pula codependency. Kata kunci: parentification; codependency; remaja; status sosial ekonomi rendah
Relationship Between Parentification and Codependency in Adolescents With Low Socioeconomic Status Abstract The purpose of this work is to find a relationship between parentification and codependency in adolescents with low socioeconomic status. Parentification is defined as a disturbance in boundary settings, indicated by a reversal of instrumental and/or emotional roles between parents and children (Hooper, 2007), whereas codependency is defined as an extreme desire of acceptance from others, often indicated by putting others‟ needs ahead of their own (Dear, 2002). This is a correlational research using a quantitative approach. A total of 177 participants were involved in this study, all are still in adolescence developmental stage (12-19 years old) and registered to Community Learning Centers in Jakarta area. There were 76 females and 101 males as participants. Parentification was measured by Parentification Inventory (Hooper, 2009), and codependency was measured by Composite Codependency Scale (Dear et al., 2012). Results showed that a significant positive relationship occurred between parentification and codependency in adolescents with low socioeconomic status (r=.453; p<0.01). The findings indicated that an increase in parentification tends to associate with an increase in codependency. Keywords: parentification; codependency; adolescents; low socioeconomic status
Pendahuluan Tahap perkembangan remaja adalah periode dimana seorang remaja memiliki tugas 1 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
untuk mengekplorasi dunia guna mengetahui jati dirinya (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Mereka yang tumbuh di lingkungan keluarga yang positif akan mampu melewati tahap remaja tanpa menimbulkan masalah yang serius (misalnya stres) dan menjadi seorang dewasa yang hidup sejahtera (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Disebutkan oleh Eccles dan Gootman (2002) bahwa salah satu tantangan di masa remaja adalah transisi dari ketergantungan dengan orang tua untuk menjadi seorang individu yang dewasa dan mandiri. Ditambah lagi menurut Erikson (dalam Miller, 2011), pada tahap remaja perkembangan identitas diri mengalami krisis. Maka dari itu, lingkungan keluarga khususnya orang tua memegang peran penting dalam membantu seorang remaja membangun struktur identitasnya (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Namun, kualitas hubungan antara remaja dan orang tua yang terjadi dalam keluarga tidak selalu baik. Pada umumnya orang tua membimbing remaja untuk secara maksimal mengenali dirinya sendiri, namun terdapat kondisi dimana remaja berperan sebagai orang tua. Kondisi ini dikenal sebagai parentification, yaitu kondisi di mana peran anak dan orang tua tertukar sehingga menyebabkan anak bertugas untuk memenuhi kebutuhan emosional, logistik, serta tanggung jawab orang tuanya (Broszormenyi-Nagy & Spark dalam Hooper, 2008). Terdapat dua tipe parentification, yaitu (1) instrumental, dimana anak diberikan tugas-tugas fungsional, dan (2) emosional, dimana anak berperan menjadi seseorang yang mencukupi kebutuhan emosional dan psikologis dari orang tuanya (Hooper, 2007). Jurkovic (1998) menyebutkan bahwa kondisi keluarga menjadi faktor munculnya parentification. Beberapa faktor yang memunculkan parentification dalam keluarga antara lain adalah konflik dalam pernikahan dan stres (Peris, Goeke-Morey, Cummings, & Emery, 2008), ketidakmampuan dalam menentukan batas hirarki generasi (Minuchin dalam Mayseless, Bartholomew, Henderson, & Trinke, 2004), buruknya kondisi kesehatan mental dan fisik orang tua (Bernard, 2010), dan keadaan ekonomi keluarga yang tidak menguntungkan (Burton, 2007). Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Burton (2007), parentification rentan muncul di keluarga yang berada di kelas ekonomi rendah. Sebagai upaya dalam bertahan menghadapi keadaan ekonomi keluarga yang tidak menguntungkan, bukan tidak mungkin apabila orang tua menjadikan anak mereka sebagai sumber dukungan utama. Hal tersebut apabila dilakukan dalam jangka panjang akan memunculkan kondisi parentification yang destruktif terhadap perkembangan anak (Jurkovic, 1998). Selain itu, Burton (2007) juga menambahkan bahwa keadaan ekonomi keluarga yang tidak menguntungkan merupakan pemicu terbesar parentification dibandingkan faktor pemicu lainnya. Sebagai keluarga dengan pendapatan yang rendah, mereka memiliki sumber daya yang terbatas sehingga resiko anak untuk mengalami parentification lebih tinggi 2 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
dibandingkan mereka yang berpendapatan cukup. Keluarga yang memiliki sumber daya lebih kemungkinan tidak harus meminta anak untuk turut membantu memenuhi kebutuhan orang tua. Keluarga berpendapatan rendah pun secara bersamaan diharuskan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi pengeluaran, sehingga mereka mengalami tekanan emosional yang lebih berat dibandingkan dengan keluarga berpendapatan cukup (Elder dalam Burton, 2007). Sementara itu pada Provinsi DKI Jakarta, Indonesia, isu kemiskinan sudah tidak asing lagi didengar oleh telinga. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Provinsi DKI Jakarta hingga bulan Maret 2014 mencapai 393 ribu orang, hampir 4% dari total penduduk Provinsi DKI Jakarta (Badan Pusat Statistik, 2014). Terlebih lagi di wilayah Jakarta yang memiliki biaya hidup paling tinggi di antara kota-kota di Indonesia lainnya, karena tercatat hingga bulan Maret 2014 bahwa Garis Kemiskinan wilayah Jakarta sebesar Rp447.797,00 per kapita per bulan (Badan Pusat Statistik, 2014). Diketahui bahwa dengan rata-rata empat orang anggota di setiap keluarga, remaja Jakarta yang berasal dari keluarga miskin kemungkinan akan bekerja di usia lebih awal untuk membantu perekonomian keluarga. Remaja yang bertugas untuk mencari nafkah keluarga adalah salah satu contoh bentuk parentification yang dijelaskan oleh Hooper (2007). Masalah yang terjadi pada anak yang mengalami parentification adalah mereka diminta oleh orangtuanya untuk mengerjakan tugas logistik dan emosional, meskipun dalam usia perkembangannya mereka belum siap untuk kedua hal tersebut. Mereka dibiasakan untuk mengabaikan kebutuhan mereka sendiri agar mampu membantu orang lain (Castro, Jones, & Mirsalimi, 2004). Ditambah lagi dalam parentification, anak terpaksa mengorbankan dirinya yang sesungguhnya dan cenderung beradaptasi untuk menjadi seseorang yang berorientasi terhadap orang lain (other-oriented). Tujuan anak rela memenuhi kebutuhan orang tua dan mengabaikan kebutuhannya adalah demi menjaga hubungan emosional yang tercipta diantara mereka (Jurkovic, Jessee, & Goglia dalam Castro, Jones, & Mirsalimi, 2004). Seringkali, peran “orang tua” ditanamkan ke dalam diri anak sehingga menjadi satu-satunya identitas diri yang dikenali oleh anak (Wells & Jones, 2000). Dampak yang terjadi adalah anak-anak ini secara ekstrim mengidentifikasi diri mereka sebagai caretaker yang sangat diperlukan dalam keluarga (Wells & Jones dalam Wells & Jones, 2000), sehingga mereka hanya merasa berharga ketika berhasil memenuhi kebutuhan orang lain (Wells & Jones dalam Wells & Jones, 2000). Oleh karena itu, Miller (dalam Wells, Glickauf-Hughes, & Jones, 1999) menyebutkan bahwa parentification dalam keluarga cenderung memunculkan codependency pada anak. 3 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
Wells, Glickauf-Hughes dan Jones (1999) menyatakan bahwa remaja parentified yang menjalankan peran orang tua erat kaitannya dengan codependency. Codependency didefinisikan sebagai penderitaan yang dirasakan seseorang sebagai akibat terlalu fokus pada kebutuhan dan perilaku orang lain (Whitfield, 1989). Whitfield (dalam Wells, GlickaufHughes, & Jones, 1999) menjelaskan bahwa codependency adalah kondisi dimana anak berkembang menjadi seseorang yang other-oriented, overconforming, dan penuh rasa malu atas ketidakmampuan diri. Pola ini muncul karena orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga terus-menerus meminta bantuan anak untuk memenuhinya. Didukung oleh pernyataan Hawkins dan Hawkins (2014), codependency dapat muncul apabila seseorang berada dalam situasi keluarga yang tidak memiliki batasan yang jelas dalam pembagian peran, sehingga dapat menyebabkan over-involvement terhadap orang lain. Hal ini menyebabkan anak berkembang menjadi seseorang yang tergantung akan kebutuhan orang lain (Miller dalam Wells, Glickauf-Hughes, & Jones, 1999). Menurut Whitfield, merupakan hal yang wajar apabila seseorang menunjukkan kepedulian terhadap orang lain, namun ketika dilakukan secara berlebihan akan membuat individu tersebut mengabaikan diri mereka sendiri dan merasa menderita pada akhirnya (Whitfield, 1989). Memiliki hubungan atau terlibat dengan individu yang membutuhkan tidak semerta-merta membuat seseorang menjadi codependent. Penyebab seseorang menjadi codependent adalah apabila ia terus melanjutkan hubungan tersebut dengan cara yang membuat ketergantungan orang yang dibantu semakin besar. Selain itu, ia tidak memiliki kemampuan dan keinginan untuk mengakhiri hubungan yang sebenarnya berupa siklus yang destruktif (McGrath & Oakley, 2011). Seperti yang telah diuraikan oleh Whitfield, dampak yang mungkin dirasakan pada individu yang codependent adalah kehilangan sense of self (Whitfield, 1989). Sense of self dijelaskan oleh Whitfield (1989) sebagai kepekaan terhadap perasaan, sensasi, dan intuisi yang dirasakan. Ditambah lagi pada tahap perkembangan remaja, terdapat beragam perubahan dalam diri individu, antara lain perubahan fisik, kognitif dan sosial (Brinthaupt & Lipka, 2002). Beragam perubahan ini juga diiringi oleh meningkatnya self-consiousness sehingga pemahaman akan identitas diri semakin kabur. Dampak yang dialami oleh remaja yang kehilangan sense of self dirinya adalah meningkatnya konflik dalam diri, stres, rendahnya kepercayaan diri dan kecemasan (Brinthaupt & Lipka, 2002). Ketidaktahuan akan identitas diri merupakan hal yang sebaiknya dihindari oleh remaja. Karena remaja tersebut tidak memiliki nilai-nilai yang dipegang teguh, akan lebih mudah bagi pengaruh buruk lingkungan, terutama dari teman sebaya, untuk masuk ke dalam kehidupan remaja. Kedekatan dengan teman sebaya ataupun peer group yang dinilai penting bagi 4 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
seorang remaja membuat remaja tersebut beresiko dalam melakukan perilaku-perilaku menyimpang (Brown & Klute, 2006). Sungguh disayangkan apabila seorang remaja mengalami dampak buruk tersebut. Tugas perkembangan yang harus dilalui seorang remaja tidak sedikit, dan pada tahap inilah pemahaman akan diri sendiri menjadi kurang stabil dibandingkan tahap perkembangan lainnya (Brinthaupt & Lipka, 2002). Terlebih lagi bagi mereka yang harus bekerja demi membantu perekonomian keluarga, karena kerap ditempatkan di situasi yang penuh tekanan (O‟Gorman dalam Fuller & Warner, 2000). Upaya remaja dalam mengenali identitasnya membutuhkan bimbingan dari orang tua, sementara mereka yang mengalami parentification tidak mendapatkan hal tersebut. Sehingga, apabila remaja diberikan terlalu banyak tanggung jawab seperti yang terjadi dalam parentification di keluarga berstatus sosial ekonomi rendah, peneliti merasa bahwa terdapat kemungkinan mereka mengalami tingkat codependency yang tinggi pula. Melihat bahwa penelitian mengenai parentification dan codependency sebelumnya kebanyakan dilakukan di negara Barat dan tidak membedakan status sosial ekonomi yang dimiliki partisipan, peneliti merasa bahwa parentification dan codependency adalah dua konstruk yang patut untuk diteliti pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah, khususnya di wilayah Jakarta. Maka dari itu, penelitian ini ingin melihat ada atau tidaknya hubungan antara parentification dengan codependency pada remaja yang berasal dari keluarga berstatus sosial ekonomi rendah. Sedangkan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat parentification dengan codependency pada remaja yang berasal dari keluarga berstatus sosial ekonomi rendah.
Tinjauan Teoritis Parentification Parentification dijelaskan sebagai gangguan dalam menentukan batas antar generasi, ditandai dengan adanya pertukaran peran fungsional dan/atau emosional antara anak dan orang tua (Hooper, 2007). Hal tersebut pun membuat anak mengorbankan kebutuhannya akan perhatian, kenyamanan dan bimbingan sehingga ia dapat membantu orangtua maupun saudara kandungnya untuk memenuhi kebutuhan logistik dan emosional mereka (Hooper, 2007). Jurkovic, Jesse, dan Goglia (dalam Jurkovic, 1997) menjelaskan bahwa parentification terbagi menjadi dua tipe berdasarkan jenis tugas yang diberikan kepada anak, yaitu instrumental dan expressive. Hooper (2007) kemudian menggunakan istilah instrumental 5 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
parentification dan emotional parentification untuk membedakan kedua tipe tersebut. Pertama, pada instrumental parentification, anak mengerjakan tugas-tugas instrumental seperti mengatur keuangan keluarga dan melakukan pekerjaan rumah tangga (Hooper, 2007). Tugas fungsional tersebut dapat berupa memasak, menjaga anggota keluarga yang lebih kecil atau sakit, dan mencari nafkah (Jurkovic, 1997). Kedua, pada emotional parentification seorang anak bertugas untuk memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis orangtuanya (Hooper, 2007). Anak mungkin saja diharuskan untuk berperan sebagai orang kepercayaan keluarga, figur pasangan, dan pengasuh yang diminta untuk memberikan kenyamanan dan dukungan bagi setiap anggota keluarga (Jurkovic, 1997). Selain kedua tipe diatas, penelitian yang dilakukan oleh Jurkovic dan Casey (dalam Hooper, 2008) terhadap remaja keturunan Latin menemukan hasil bahwa parentification dapat dilihat sebagai pengalaman yang konstruktif bagi anak apabila didalamnya terdapat perceived fairness, atau yang disebut juga sebagai perceived benefits of parentification. Apabila individu yang mengalami parentification melihat pengalaman tersebut sebagai hal yang adil dan saling menguntungkan (perceived benefits of parentification), maka dampak yang muncul akibat parentification tidak selalu buruk (Jurkovic dalam Hooper, 2012).
Codependency Codependency didefinisikan oleh Dear (2002) sebagai keinginan yang berlebihan akan penerimaan dari orang lain, disertai dengan kecenderungan untuk mengutamakan kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhan sendiri, dan terlibat dalam hubungan interpersonal seperti “caretaking” dan “rescuing”. Caretaking dijelaskan sebagai tanggung jawab untuk mengatur tingkah laku orang lain, sementara rescuing dijelaskan sebagai usaha memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari perilaku tidak bertanggung jawab orang lain (Dear, 2002). Dear, Roberts dan Lange (dalam Dear & Roberts, 2005) mengumpulkan literatur terkait codependency dan mengelompokkan karakteristiknya menjadi empat elemen besar. Keempat elemen tersebut adalah fokus eksternal, mengorbankan diri sendiri, kontrol interpersonal, dan menyembunyikan perasaan. Pertama, fokus eksternal merujuk pada atensi yang difokuskan pada tingkah laku, opini, dan ekspektasi orang lain, kemudian merubah tingkah laku diri sendiri agar sesuai dengan ekspektasi orang lain dan mendapatkan pengakuan dan kepercayaan diri. Kedua, mengorbankan diri sendiri merujuk pada kecenderungan untuk mengabaikan kebutuhan diri sendiri agar dapat fokus pada kebutuhan orang lain. Ketiga, kontrol interpersonal berarti keyakinan yang mendalam akan kemampuan 6 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
untuk memperbaiki masalah orang lain dan mengatur tingkah laku mereka. Keempat, menyembunyikan perasaan merujuk pada usaha yang disengaja untuk menekan perasaan dan emosi ke dalam diri. Keempat elemen tersebut merupakan karakteristik yang membentuk codependency, namun bukan merupakan elemen yang dapat diteliti secara terpisah karena merupakan satu kesatuan yang utuh.
Remaja Transisi dalam perkembangan individu dari tahap anak-anak menuju dewasa yang melibatkan adanya perubahan fisik, kognitif, emosional dan sosial disebut dengan tahap remaja (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Rentang usia tahap perkembangan remaja adalah 12-19 tahun (Spano, 2004). Menurut Spano (2004), rentang usia tersebut terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase remaja awal (12-14 tahun), fase remaja tengah (15-16 tahun), dan fase remaja akhir (17-19 tahun). Perubahan dalam diri remaja tidak hanya terjadi pada atribut fisik maupun kognitif, namun juga dalam kemampuan sosial, kepercayaan diri, dan keintiman dengan orang lain. Remaja juga mengalami pubertas, yaitu sebuah proses dimana seorang individu tumbuh untuk mencapai kematangan seksual dan memiliki kemampuan untuk bereproduksi (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Perlu diketahui bahwa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman sebaya dibandingkan keluarga maupun orang tua. Hal tersebut dikarenakan remaja sedang mengalami individuasi, yaitu usaha untuk mencapai kemandirian dan mengenali identitas diri (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), seorang remaja dihadapi oleh krisis yang dinamakan identity versus identity confusion. Pada tahap remaja tersebut, tugas perkembangan yang utama adalah mengetahui identitas dirinya. Identitas diri, dijelaskan oleh Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), adalah pemahaman koheren tentang diri sendiri, yang meliputi tujuan, nilai-nilai, dan pendirian individu tersebut. Remaja yang tidak mampu mengenali peran-peran yang ditujukan kepada dirinya akan mengalami kebingungan identitas, atau yang disebut identity diffusion. Akibatnya, remaja tersebut merasa dirinya bukan satu kesatuan melainkan serpihan tanpa inti (Miller, 2011). Apabila seorang remaja mampu melalui krisis dan memahami identitasnya, dalam dirinya akan tumbuh rasa kesetiaan atau fidelity. Fidelity berarti remaja tersebut memiliki loyalitas, kepercayaan, dan rasa memiliki terhadap orang yang dicintainya (Erikson dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
7 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
Gambaran Keluarga Berstatus Sosial Ekonomi Rendah Status sosial ekonomi menurut Santrock (2008) adalah pengkategorisasian masyarakat berdasarkan karakteristik ekonomis, edukasional, dan pekerjaan mereka. Selain itu, untuk menentukan status sosial ekonomi seseorang juga dapat menggunakan tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan sebagai indikator (Dalimunthe, dalam Anita, 2013). Di Indonesia, untuk dapat menentukan status ekonomi seseorang, selain melihat ketiga faktor diatas dapat juga dilakukan dengan melihat rata-rata pengeluaran per kapita per bulan. Disebutkan bahwa masyarakat yang tergolong miskin adalah individu yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Provinsi DKI Jakarta, batas garis kemiskinan sebesar Rp447.797,00 per kapita per bulan (Badan Pusat Statistik, 2014).
Remaja dalam Keluarga Berstatus Sosial Ekonomi Rendah Tahap perkembangan remaja yang dialami oleh individu yang hidup di lingkungan yang penuh sumber daya dapat dilalui secara perlahan dan bertahap. Berbeda dari mereka, individu yang hidup di lingkungan miskin hanya dapat mengalami tahap perkembangan remaja dalam waktu yang singkat (Dashiff, DiMicco, Myers, & Sheppard, 2009). Disebutkan oleh Dashiff, DiMicco, Myers, dan Sheppard (2009) bahwa tuntutan remaja yang berasal dari lingkungan miskin untuk menjadi dewasa datang lebih cepat pada umumnya. Berawal dari kondisi keuangan keluarga yang tidak menguntungkan, orang tua kemungkinan akan menghabiskan waktu lebih lama di tempat kerja guna mendapatkan upah. Hal tersebut membuat anak-anak dari keluarga miskin harus menjadi dewasa lebih cepat dari seharusnya, untuk menggantikan perang orang tua yang jarang berada di rumah (Dashiff, DiMicco, Myers, & Sheppard, 2009). Pernyataan diatas didukung oleh Leinonen, Solantaus, dan Punamaki (dalam Dashiff, DiMicco, Myers, & Sheppard, 2009) yang mengatakan bahwa tuntutan untuk menjadi dewasa khususnya diberikan pada anak-anak yang berasal dari keluarga dengan orang tua tunggal. Melihat fenomena tersebut, tahap perkembangan remaja yang seharusnya dilalui secara seragam oleh setiap anak ternyata sangat dipengaruhi oleh kondisi sosioekonomi (Dashiff, DiMicco, Myers, & Sheppard, 2009). Disebutkan bahwa perubahan di masa remaja membuat individu merasa rentan, terlebih lagi apabila kerentanan tersebut diperkuat dengan kondisi kemiskinan (Dashiff, DiMicco, Myers, & Sheppard, 2009). Phillips (2003) menggunakan model yang dikembangkan oleh Kerpelman et al. untuk menjelaskan pembentukan identitas diri pada remaja, khususnya yang tinggal dalam kemiskinan. Pembentukan identitas diri remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti yang dijelaskan oleh Kerpelman et al. (dalam 8 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
Phillips, 2003) dalam model identity process control. Faktor-faktor tersebut antara lain (1) standar hidup yang ditetapkan oleh remaja itu sendiri, (2) umpan balik yang diterima mengenai diri mereka dari lingkungan, dan (3) stres yang diakibatkan dari hidup dalam kemiskinan. Hidup dalam kemiskinan membuat seorang remaja memiliki keterbatasan dalam mengeksplorasi dan mengatasi ketiga faktor diatas, yang akhirnya berdampak pada kebingungan dalam menentukan identitas diri (Phillips, 2003).
Metode Penelitian Variabel penelitian ini adalah parentification dan codependency. Partisipan penelitian sebanyak 177 orang yang terdiri dari 76 orang perempuan dan 101 orang laki-laki. Sampel penelitian berupa remaja dalam rentang usia 12-19 tahun. Remaja dalam kelompok sampel ini berasal dari keluarga berstatus sosial ekonomi rendah, yang terdaftar dalam PKBM di wilayah Jakarta. Dipilihnya siswa dan siswi PKBM sebagai sampel penelitian adalah karena sebagian besar murid PKBM berasal dari keluarga berstatus ekonomi rendah. Selain itu, status ekonomi rendah partisipan juga dipastikan dengan melihat uang saku per hari, tingkat pendidikan terakhir yang diselesaikan oleh orang tua partisipan, dan jenis pekerjaan orang tua partisipan. Pemilihan sampel menggunakan teknik opportunity/convenience sampling berdasarkan alasan kemudahan akses terhadap sampel yang tergolong dalam populasi. Penelitian ini berupa studi one-shot, yang berarti bahwa penelitian ini hanya melakukan satu kali pengambilan data untuk memahami masalah atau fenomena yang sedang diteliti. Berdasarkan referensi periode saat penelitian dilakukan, penelitian ini adalah sebuah studi retrospektif karena dilakukan untuk melihat sebuah fenomena yang sudah terjadi di masa lampau. Sedangkan apabila dilihat berdasarkan kondisi alamiah dari penelitian ini, maka penelitian ini digolongkan dalam studi non-experimental karena tidak adanya manipulasi yang dilakukan terhadap salah satu variabel. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Partisipan diminta untuk mengisi dua buah kuesioner, yaitu Parentification Inventory (Hooper, 2009) dan Composite Codependency Scale (Dear et al., 2012). Teknik statistik yang digunakan untuk mengolah data penelitian adalah descriptive statistics, Pearson Product Moment Correlation, Independent Sample tTest, dan One Way Analysis of Variance (ANOVA) pada IBM SPSS Statistics for Macintosh.
9 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
Hasil Penelitian Diperoleh dari keseluruhan skor parentification, skor rata-rata sebesar 49.23 dengan standar deviasi 6.613. Sedangkan pada instrumental parentification diperoleh skor rata-rata 19.16 dengan SD 3.876, pada emotional parentification diperoleh skor rata-rata 20.47 dengan SD 3.284, dan pada perceived benefits of parentification diperoleh skor rata-rata 9.6 dengan SD 1.624. Sedangkan pada codependency diperoleh skor rata-rata sebesar 46.23 dengan standar deviasi 6.555. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara parentification dengan codependency pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor parentification diimbangi dengan tingginya skor codependency. Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh, koefisien korelasi r=.453, p<0.01. Selain hasil korelasi r, diperoleh juga angka r2=.205, yang artinya sebanyak 20.5% variasi skor codependency dapat dijelaskan melalui skor parentification. Tabel 1 Tabel Analisis Korelasi Positif antara Parentification dengan Codependency Variabel
r
r2
p
Parentification
.453**
.205
.000
Codependency **Korelasi signifikan pada LoS 0.01 (1-tailed).
Selain menghitung korelasi antara skor total parentification dengan skor total codependency, peneliti juga menghitung korelasi antara skor masing-masing jenis parentification dengan skor total codependency yang diuraikan secara rinci pada tabel 2. Tabel 2 Tabel Analisis Korelasi Positif antara Jenis Parentification dengan Codependency Subskala
r
r2
p
Keterangan
Instrumental
.373**
.139
.000
Signifikan pada
parentification
LoS 0.01 (1tailed)
Emotional
.351**
.123
.000
parentification
Signifikan pada LoS 0.01 (1tailed)
Perceived
.243**
.059
.001
Signifikan pada
benefits of
LoS 0.01 (1-
parentification
tailed)
10 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa masing-masing skor ketiga jenis parentification memiliki korelasi yang positif dengan codependency. Pada instrumental parentification diperoleh r=.373, p<0.01; pada emotional parentification diperoleh r=.351, p<0.01; serta pada perceived benefits of parentification diperoleh r=.243, p<0.01. Sebanyak 13.9% variasi skor codependency dapat dijelaskan melaui skor instrumental parentification, sebanyak 12.3% variasi skor codependency dapat dijelaskan melalui skor emotional parentification, dan sebanyak 5.9% variasi skor codependency dapat dijelaskan melalui skor perceived benefits of parentification. Ketiga subskala parentification memiliki korelasi signifikan dengan skor codependency, maka dari dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor pada masing-masing subskala parentification diimbangi dengan tingginya skor codependency. Pada penelitian ini tidak dilakukan perhitungan korelasi antara masing-masing elemen codependency dengan parentification, dikarenakan alasan bahwa elemen yang membentuk codependency merupakan kesatuan yang tidak dapat dihitung secara terpisah. Pada penelitian ini juga dilakukan beberapa analisis tambahan terkait skor rata-rata setiap variabel berdasarkan karakteristik demografis partisipan. Teknik penghitungan yang digunakan pada analisis tambahan ini adalah Independent Sampe T-Test atau ANOVA. Di bawah ini diuraikan perbandingan skor rata-rata parentification berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan saat ini, aktivitas dan suku bangsa partisipan. Rincian masing-masing skor dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Tabel Perbandingan Skor Parentification Berdasarkan Karakteristik Demografis Karakteristik
Signifikansi
Frekuensi
Skor Rata-Rata
Perempuan
76
49.30
t=.124
Laki-laki
101
49.18
p=.902
12-14 tahun
23
49.74
F=.082
15-16 tahun
57
49.09
p=.922
17-19 tahun
97
49.20
Setara SD
13
51.54
F=1.038
Setara SMP
67
48.67
p=.356
Setara SMA
97
49.31
F/t dan p
Keterangan
Jenis kelamin Tidak signifikan
Usia Tidak signifikan
Pendidikan saat ini
11 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Tidak signifikan
Universitas Indonesia
Karakteristik
Signifikansi
Frekuensi
Skor Rata-Rata
Bekerja
82
50.79
t=-2.982
Tidak bekerja
95
47.88
p=.003
F/t dan p
Keterangan
Aktivitas Signifikan
Berdasarkan tabel 3, baik partisipan perempuan maupun laki-laki memiliki skor ratarata untuk variabel parentification yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Kedua kategori jenis kelamin berada pada kelompok sedang dalam penggolongan tingkat parentification. Sedangkan apabila dilihat berdasarkan usia, skor rata-rata ketiga kelompok tidak jauh berbeda satu sama lain. Berdasarkan tingkat pendidikan saat ini, terlihat bahwa kelompok partisipan setara SD memperoleh skor rata-rata paling tinggi dibanding dua kelompok lainnya, yaitu 51.54. Partisipan yang sudah mempunyai pekerjaan juga terbukti memiliki skor rata-rata parentification yang lebih tinggi dibanding partisipan yang belum bekerja. Dari keseluruhan empat karakteristik demografis yang diuji, hanya karakteristik aktivitas partisipan yang mempunyai perbedaan skor rata-rata yang signifikan terhadap skor parentification. Dibawah ini diuraikan juga perbandingan skor rata-rata codependency berdasarkan masing-masing kelompok karekteristik demografis. Rincian masing-masing skor diuraikan pada tabel 4. Tabel 4 Tabel Perbandingan Skor Codependency Berdasarkan Karakteristik Demografis Karakteristik
Signifikansi
Frekuensi
Skor Rata-Rata
Perempuan
76
46.95
t=1.272
Laki-laki
101
45.68
p=.205
12-14 tahun
23
45.52
F=1.992
15-16 tahun
57
45.02
p=.140
17-19 tahun
97
47.10
Setara SD
13
46.15
F=1.974
Setara SMP
67
45.01
p=.142
Setara SMA
97
47.07
F/t dan p
Keterangan
Jenis kelamin Tidak signifikan
Usia Tidak signifikan
Pendidikan saat ini
12 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Tidak Signifikan
Universitas Indonesia
Karakteristik
Signifikansi
Frekuensi
Skor Rata-Rata
Bekerja
82
47.07
t=-1.605
Tidak bekerja
95
45.49
p=.110
F/t dan p
Keterangan
Aktivitas Tidak signifikan
Berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa partisipan perempuan memiliki skor ratarata codependency yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan laki-laki. Berdasarkan usia, terlihat bahwa skor rata-rata codependency paling besar diperoleh pada kelompok usia 17-19 tahun. Apabila dilihat berdasarkan tingkat pendidikan saat ini, urutan skor rata-rata codependency dari yang tertinggi hingga terendah merupakan kelompok setara SMA, setara SD, dan setara SMP. Sama dengan variabel sebelumnya, pada karakteristik aktivitas terbukti bahwa partisipan yang sudah memiliki pekerjaan mempunyai skor rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang belum bekerja. Keempat karakteristik demografis partisipan yang diuji tidak memiliki signifikansi dengan variabel codependency, artinya tidak terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan pada masing-masing karakteristik demografis terhadap skor codependency.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data penelitian, ditemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parentification dengan codependency, sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi tingkat parentification, maka semakin tinggi pula tingkat codependency yang dialami. Selain itu, ditemukan juga bahwa masing-masing jenis parentification mempunyai hubungan yang signifikan dengan codependency. Artinya, semakin tinggi instrumental parentification, emotional parentification dan perceived benefits of parentification akan diimbangi dengan tingginya codependency.
Pembahasan Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parentification dengan codependency pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori mengenai parentification. Disebutkan oleh Valleau, Bergner dan Horton (dalam Hooper, 2008) bahwa individu yang mengalami parentification akan menunjukkan karekteristik “care-taking” pada saat ia beranjak dewasa. Serupa dengan 13 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
penyataan sebelumnya, Jones dan Wells (dalam Hooper, 2008) juga menekankan adanya asosiasi antara parentification dengan karakteristik “people-pleasing” atau usaha untuk menyenangkan orang lain. Baik karakteristik “care-taking” maupun usaha menyenangkan orang lain termasuk dalam sifat yang terdapat pada individu yang codependent menurut Dear (2002) dan Whitfield (1989). Penemuan lain yang juga mendukung hasil penelitian ini adalah yang dikemukakan oleh Wells, Glickauf-Hughes, dan Jones (1999) seperti yang sudah dijelaskan diawal penelitian ini. Penelitian tersebut bertujuan untuk mencari apakah pengalaman parentification di masa kecil merupakan akar dari terbentuknya codependency, shame-proneness dan tingkat kepercayaan diri rendah. Wells, Glickauf-Hughes, dan Jones (1999) menemukan bahwa partisipan penelitian yang tergolong codependent ternyata mengalami parentification di masa kecilnya dan akan cenderung tetap melakukan peran-peran merawat orang lain pada hubungannya di usia dewasa. Selain hasil penelitian utama seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hasil analisis tambahan juga menemukan bahwa masing-masing jenis parentification juga memiliki hubungan yang signifikan dengan codependency. Pada hubungan antara instrumental parentification dengan codependency, penemuan penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jelastopulu dan Tzoumerka (2013). Jelastopulu dan Tzoumerka meneliti tentang fenomena parentification pada individu yang berasal dari keluarga dengan krisis ekonomi. Disebutkan dalam penelitiannya bahwa partisipan penelitian merasa memiliki kewajiban untuk berperan sebagai seseorang yang mencari nafkah dikarenakan kondisi keuangan keluarga yang tidak menguntungkan. Proses instrumental parentification tersebut terjadi dalam jangka waktu yang panjang sehingga Jelastopulu dan Tzoumerka (2013) mengemukakan dampak yang dialami partisipan penelitian, yaitu ketidaktahuan mengenai identitas diri. Semenjak masa kecil, partisipan hanya mengenali peran care-taker dengan cara mengurus keuangan keluarga, sehingga ia menjadi ragu-ragu untuk bertindak sebagai seseorang dengan peran yang berbeda (Jelastopulu dan Tzoumerka, 2013). Hubungan signifikan yang kedua adalah antara emotional parentification dengan codependency. Dijelaskan oleh Jurkovic (1997) bahwa salah satu peran anak dalam emotional parentification adalah menjadi individu yang bertugas memberi dukungan bagi orang tuanya. Menurut Peris (2006), emotional parentification merupakan hal yang membahayakan bagi anak karena lama-kelamaan dapat membuat anak merasa bertanggungjawab dalam menjaga kesejahteraan orang tua. Oleh karena itu, anak kerap bertindak sebagai “scapegoat” atau kambing hitam dalam keluarga dalam upaya menjaga kesejahteraan orang tuanya. Perilaku ini 14 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
disebut sebagai self-sacrifice role oleh Boszormenyi-Nagy dan Spark (1973) yang berarti mengorbankan diri sendiri dan merupakan bentuk perilaku dari parentification. Bentuk pengorbanan diri sendiri tersebut menggambarkan individu yang codependent, sesuai dengan karakteristik yang dikemukakan oleh Dear (2002). Sementara itu, pada penelitian ini ditemukan juga hubungan antara perceived benefits of parentification dengan codependency. Secara garis besar, item-item pada subskala perceived benefits of parentification mengukur tentang seberapa besar remaja menikmati perannya sebagai seseorang yang dibutuhkan dalam keluarga. Item-item tersebut tentu sejalan dengan konstruk codependency yang dikemukakan oleh Beattie (1992) bahwa individu yang codependent merasa senang apabila berada diantara orang-orang yang membutuhkan dirinya. Pada penelitian ini juga dilakukan perhitungan independent sample t-test dan ANOVA untuk melihat apakah terdapat perbandingan antara skor rata-rata pada masing-masing karakteristik demografis terhadap kedua variabel. Berdasarkan hasil analisis terhadap variabel parentification, ditemukan bahwa pada karakteristik aktivitas, remaja yang sudah bekerja memiliki skor rata-rata parentification lebih tinggi dibandingkan remaja yang belum bekerja. Hal ini tentu sesuai dengan teori penggolongan parentification oleh Jurkovic (dalam Hooper, 2007) bahwa dengan memiliki pekerjaan, remaja tersebut juga membantu keuangan keluarga dan merupakan bukti nyata dari bentuk instrumental parentification. Burton (2007) juga mengemukakan bahwa keadaan ekonomi keluarga yang tidak menguntungkan berkontribusi terhadap terjadinya parentification dalam keluarga. Hal tersebut dikarenakan orang tua tidak memiliki cukup pendapatan untuk menutupi kebutuhan keluarga sehingga mengharuskan anak untuk turut membantu secara finansial. Sedangkan apabila dibandingkan dengan faktor demografis lainnya, tidak terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan terhadap variabel parentification. Begitu juga halnya pada variabel kedua yaitu codependency, keempat karakteristik demografis yang diuji tidak memiliki perbedaan skor rata-rata yang signifikan pada masing-masing variasinya. Terlepas dari kondisi keuangan dan ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga, hal yang perlu dipertimbangkan dalam melihat fenomena parentification dan codependency adalah konteks budaya dalam masyarakat. Budaya terkadang menentukan bagaimana dinamika yang terjadi dalam keluarga, salah satunya adalah pembagian tanggung jawab antar anggota (Sang, Cederbaum, & Hurlburt, 2013). Disebutkan oleh Sang, Cederbaum, dan Hurlburt (2013) bahwa pada keluarga dari ras atau suku bangsa tertentu melihat bahwa anak juga perlu diberi tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan keluarga. Bahkan pada beberapa keluarga miskin atau kelas menengah kebawah sekalipun, memberikan 15 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
tanggung jawab kepada anak untuk membantu perekonomian keluarga merupakan hal yang lazim (Winton, dalam Sang, Cederbaum, & Hurlburt, 2013). Sementara itu, budaya juga dapat menentukan peran-peran seperti apa yang dianggap pantas untuk dikerjakan oleh masyarakatnya (Winton, dalam Sang, Cederbaum, & Hurlburt, 2013). Sebagai contoh, peran merawat (care-taking) dipandang lazim untuk dilakukan anak tertua dalam keluarga terhadap adik-adiknya yang masih kecil (Winton, dalam Sang, Cederbaum, & Hurlburt, 2013). Markus dan Kitayama (1991) juga menjelaskan mengenai budaya interdependent construal of self pada masyarakat di kebanyakan negara Timur. Interdependent construal of self, dijelaskan oleh Markus dan Kitayama (1991), adalah cara pandang seseorang terhadap dirinya yang tidak terlepas dari hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat. Individu yang memiliki interdependent construal of self termotivasi untuk melakukan peran-peran yang membuatnya tetap menjaga keharmonisan hubungan dengan orang lain. Padangan ini sesuai dengan karakteristik individu yang codependent menurut Whitfield (1989), karena mereka sulit untuk memandang dirinya sebagai individu mandiri yang lepas dari individu ataupun objek lain. Dapat disimpulkan bahwa dengan melihat status sosial ekonomi keluarga partisipan beserta budaya yang melekat pada masyarakat Indonesia, fenomena parentification yang ditemukan pada partisipan penelitian diiringi juga dengan adanya codependency dalam diri mereka.
Saran Di bawah ini diuraikan saran metodologis untuk dapat diterapkan pada penelitianpenelitian selanjutnya yang serupa. Pertama, peneliti pada penelitian selanjutnya sebaiknya menyisihkan waktu yang cukup lama untuk membina rapport dengan partisipan penelitian agar proses pengambilan data tidak terasa canggung. Kedua, status sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya parentification. Akan lebih baik apabila penelitian selanjutnya juga mengikutsertakan individu dengan status sosial ekonomi menengah dan atas untuk melihat apakah terdapat perbedaan dalam tingkat parentification yang dialami. Ketiga, melihat bahwa budaya masyarakat Timur berbeda dengan budaya masyarakat Barat, penelitian selanjutnya dapat lebih fokus dalam meneliti apakah terdapat perbedaan tingkat codependency pada individu dalam kelompok masyarakat yang berbeda. Keempat, penelitian selanjutnya juga dapat menggunakan teknik statistik regresi linear untuk melihat jenis parentification yang menjadi prediktor terbesar terhadap codependency. 16 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
Saran praktis yang dapat diberikan melalui penelitian ini antara lain ditujukan kepada para orang tua yang untuk membantu remaja memilah waktunya untuk berbagai kegiatan. Apabila kondisi keluarga mengharuskan anak untuk bekerja, maka sebisa mungkin anak juga mendapat waktu luang untuk mencoba hal lain selain pekerjaan dan sekolah. Selain itu, diketahui bahwa tingkat parentification yang tinggi diimbangi dengan tingkat codependency yang tinggi pula. Ditujukan bagi para guru PKBM bahwa remaja perlu dikenalkan dengan berbagai aktivitas lain agar dapat mengeksplorasi minat masing-masing. Kegiatan ekstrakurikuler, seperti olahraga contohnya, dapat dilakukan sehingga remaja tidak hanya terfokus pada kegiatan di sekolah ataupun kemampuan membantu di rumah. Terakhir, bagi para pembaca, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan untuk memperdalam pengetahuan tentang topik parentification dan codependency.
Daftar Referensi Anita, S. (2013). Pengaruh status sosial ekonomi, budaya dan pemeriksaan kehamilan terhadap kejadian bayi berat lahir rendah (bblr) di wilayah kerja puskesmas pancur batu kabupaten deli serdang tahun 2012. (Master's thesis, Medan, Indonesia). Retrieved
from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37295/4/Chapter
II.pdf Badan Pusat Statistik. (2014, July 1). Berita resmi statistik: Tingkat kemiskinan di dki jakarta maret
2014.
Retrieved
from
http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2014_07_01_12_50_20.pdf Beattie, M. G. (1992). Codependent no more: How to stop controlling others and start caring for yourself. (2nd ed.). Center City: Hazelden Foundation. Bernard, J. M. (2010). Exploring the predictors and outcomes of the adultification of adolescents.
(Doctoral
dissertation,
Purdue
University)Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/858608690?accountid=17242 Boszormenyi-Nagy, I., & Spark, G. M. (1973). Invisible loyalties: Reciprocity in intergenerational family therapy. Hagerstown, MD: Harper & Row. Brinthaupt, T. M., & Lipka, R. P. (2002). Understanding early adolescent self and identity: An introduction. In T. M. Brinthaupt & R. P. Lipka (Eds.), Understanding early adolescent self and identity: Applications and Interventions. Retrieved from http://www.sunypress.edu/pdf/60549.pdf
17 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
Brown, B. B., & Klute, C. (2006). Friendships, cliques, and crowds. In G. R. Adams & M. D. Berzonsky (Eds.), Blackwell Handbook of Adolescence (2nd ed., pp. 330-348). Malden, MA: Blackwell Publishing. Burton, L. (2007). Childhood adultification in economically disadvantaged families: A conceptual
model.
Family
Relations,
56(4),
329-345.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/213933555/fulltextPDF/490CAC8B34834562PQ/ 1?accountid=17242 Castro, D. M., Jones, R. A., & Mirsalimi, H. (2004). Parentification and the impostor phenomenon: An empirical investigation. The American Journal of Family Therapy, 32, 205-216. doi: 10.1080/01926180490425676 Dashiff, C., DiMicco, W., Myers, B., & Sheppard, K. (2009). Poverty and adolescent mental health. Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, 22(1), 23-32. doi: 10.1111/j.1744-6171.2008.00166.x Dear, G. E. (2002). The holyoake codependency index: further evidence of factorial validity. Drug and Alcohol Review, 21, 47-52. doi: 10.1080/09595230220119354 Dear, G. E., & Roberts, C. M. (2005). Validation of the holyoake codependency index. The Journal
of
Psychology,
139(4),
293-313.
Retrieved
from
http://e-
resources.pnri.go.id:2056/docview/213832570 Dear, G. E., Marks, A. D. G., Blore, R. L., & Hine, D. W. (2012). Development and validation of a revised measure of codependency. Australian Journal of Psychology, 64, 119-127. doi: 10.1111/j.1742-9536.2011.00034.x Eccles, J., & Gootman, J. A. (2002). Community programs to promote youth development. Washington
D.C.:
National
Academy
Press.
Retrieved
from
http://www.nap.edu/catalog.php?record_id=10022 Fuller, J. A., & Warner, R. M. (2000). Family stressors as predictors of codependency. Genetic, Social, and General Psychology Monographs, 126(1), 5-22. Hawkins, C. A., & Hawkins, R. C. (2014). Codependence, contradependence, genderstereotyped traits, personality dimensions and problem drinking. Universal Journal of Psychology, 2(1), 5-15. doi: 10.13189/ujp.2014.020102 Hooper, L. M. (2007). Expanding the discussion regarding parentification and its varied outcomes: Implications for mental health research and practice. Journal of Mental Health
Counseling,
29(4),
322-337.
Retrieved
from
http://www.parentification.ua.edu/uploads/1/8/9/9/18990327/hooper-expanding.pdf 18 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
Hooper, L. M. (2007). The application of attachment theory and family systems theory to the phenomena
of
parentification.
The
Family
Journal,
15(3),
217-223.
doi:
10.1177/1066480707301290 Hooper, L. M. (2008). Defining and understanding parentification: Implications for all counselors. The Alabama Counseling Association Journal, 42(1), 34-43. Hooper, L. M. (2012). Parentification. In R. J. R. Levesque (Ed.), Encyclopedia of Adolescence (Vol. 1). New York, NY: Springer Science & Business Media. Jelastopulu, E., & Tzoumerka, K. A. (2013). The effects of economic crisis on the phenomenon of parentification. Universal Journal of Psychology, 1(3), 145-151,. doi: 10.13189/ujp.2013.010307 Jurkovic, G. J. (1997). Lost childhoods: The plight of the parentified child. New York, NY: Brunner/Mazel, Inc. Jurkovic, G. J. (1998). Destructive parentification in families: Causes and consequences. In L. L. Abate (Ed.), Family psychopathology (pp. 237-255). New York: Guilford. Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224-253. Retrieved from http://www.iacmr.org/Conferences/WS2011/Submission_XM/Participant/Readings/Le cture8A_JiaLin/Markus et al (1991) Culture and Self - Implications for Cognition Emotion and Motivation-8a.pdf Mayseless, O., Bartholomew, K., Henderson, A., & Trinke, S. (2004). „„i was more her mom than she was mine:‟‟ role reversal in a community sample. Family Relations, 53(1), 78-86.
Retrieved
from
http://www.sfu.ca/psyc/faculty/bartholomew/otherpub_files/ofra.pdf McGrath, M. G., & Oakley, B. A. (2011). Codependency and pathological altruism. New York, NY: Oxford University Press. Miller, P. H. (2011). Theories of developmental psychology. (5th ed.). New York, NY: Worth Publishers. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. (11th ed.). New york, NY: McGraw-Hill. Peris, T. S. (2006). An investigation of emotional parentification in adolescence. (Doctoral dissertation,
University
of
Virginia).
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/304966353?accountid=17242 Peris, T. S., Goeke-Morey, M. C., Cummings, E. M., & Emery, R. E. (2008). Marital conflict and support seeking by parents in adolescence: Empirical support for the 19 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia
parentification construct. Journal of Family Psychology, 22(4), 633-642. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2965613/pdf/nihms243229.pdf Phillips, T. M. (2003). Identity formation in poor adolescents: Exploring the relationship between the developmental milieu of poverty and the primary task of adolescence. (Doctoral
dissertation,
Auburn
University).
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/305340901?accountid=17242 Sang, J., Cederbaum, J. A., & Hurlburt, M. S. (2013). Parentification, substance use, and sex among adolescent daughters from ethnic minority families: The moderating role of monitoring. Family Process, doi: 10.1111/famp.12038 Santrock, J. W. (2008). Educational psychology. (3rd ed.). New York, NY: McGraw-Hill. Spano, S. (2004). Stages of adolescent development. Research Facts and Findings, Retrieved from http://www.actforyouth.net/resources/rf/rf_stages_0504.cfm Wells, M., Glickauf-Hughes, C., & Jones, R. (1999). Codependency: A grass roots construct's relationship to shame-proneness, low self-esteem, and childhood parentification . The American Journal Of Family Therapy, 27(1), 63-71. Wells, M., & Jones, R. (2000). Childhood parentification and shame-proneness: A preliminary study. The American Journal of Family Therapy, 28(1), 19-27. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/230101200?accountid=17242 Whitfield, C. L. (1989). Co-dependence: Our most common addiction. Alcoholism Treatment Quarterly, 6(1), 19-36. Retrieved from http://dx.doi.org/10.1300/J020V06N01_03
20 Hubungan antara..., Tiara Priscarani, FPSI, 2014
Universitas Indonesia