HUBUNGAN ANTARA PARENTIFICATION DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA REMAJA BERSTATUS SOSIAL EKONOMI RENDAH Listia Anindia dan Fivi Nurwianti Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16242, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara parentification dengan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Parentification adalah bentuk pertukaran peran antara orang tua dan anggota keluarga lainnya, terdapat distorsi batasan, dan hirarki yang berkebalikan antar keduanya dimana anak-anak atau remaja menanggung tingkat tanggung jawab yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya (Hooper, 2009). Sementara itu kecemasan sosial didefinisikan sebagai kecemasan yang timbul karena adanya kemungkinan atau pun keberadaan dari evaluasi interpersonal, baik di situasi sosial yang nyata maupun imajiner (Schlenker & Leary dalam Leary, 1983). Penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan adalah Parentification Inventory oleh Hooper (2007) dan Brief Fear of Negative Evaluation II oleh Carleton, Collimore, dan Asmundson (2007). Partisipan dari penelitian ini sejumlah 177 orang remaja, 76 orang perempuan dan 101 orang laki-laki, dengan rentang usia 12-19 tahun di beberapa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara parentification dan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah (r = 0.224, p<0.01). Artinya, semakin tinggi skor parentification maka semakin tinggi pula skor kecemasan sosial. Kata kunci: Kecemasan sosial; Parentification; remaja; status sosial ekonomi rendah
The Relationship Between Parentification and Social Anxiety in Adolescents with Low Socioeconomic Status Abstract The objective of this study is to find out the relationship between parentification and social anxiety in adolescents with low socioeconomic status. Parentification is defined as a type of role reversal, boundary distortion, and inverted hierarchy between parents and other family members in which children or adolescents assume developmentally inappropriate levels of responsibility in the family (Hooper, 2012). While, social anxiety is defined as anxiety resulting from the prospect or presence of interpersonal evaluation in real or imagined social settings (Schlenker & Leary in Leary, 1983). The study is using correlational method and quantitative approach. The measurements used in this study were Parentification Inventory from Hooper (2007) and Brief Fear of Negative Evaluation II from Carleton, Collimore, and Asmundson (2007). Participants were 177 adolescents, 76 females dan 101 males, that ranged from 12-19 years old in several Community Learning Center (CLC) in Jakarta. The results showed a significant relationship between parentification and social anxiety in adolescents with low socioeconomic status (r = 0.224, p<0.01). This means that the higher the score of parentification, the higher the score of social anxiety in this study. Keywords: Adolescence; low socioeconomic status; parentification; social anxiety
1 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
Pendahuluan Remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang dialami oleh setiap manusia. Pada tahap inilah banyak terjadi perubahan dalam perkembangan fisik, kognitif, maupun sosial. Terdapat tugas-tugas perkembangan yang perlu dilakukan oleh remaja yaitu membangun hubungan sosial, mendapatkan kematangan dan kemandirian dari keluarga serta membangun tujuan vokasional (Albano, 2000). Butler (1999) juga mengemukakan bahwa remaja akan berusaha untuk mencari orang-orang untuk berbagi pengalaman hidup, dan membangun peran-peran orang dewasa bagi dirinya sesuai dengan harapan sosial seperti menjadi independen serta mandiri secara finansial. Akan tetapi tidak jarang hal tersebut membuat remaja diharuskan untuk menjalani tugas perkembangan yang melampaui tugas perkembangan yang seharusnya, misalnya menjadi tulang punggung terutama di dalam keluarga karena kondisi finansial. Fenomena yang berkaitan dengan hal tersebut adalah parentification. Parentification adalah pertukaran peran antara anak dan orangtua baik secara emosional maupun fungsional dimana anak bertanggung jawab atas kebutuhan emosional dan tingkah laku orangtuanya (Hooper, 2007). Menurut Williams (2010) konsep ini menekankan pada tugas-tugas fungsional yang dijalankan berkaitan dengan kesejahteraan dan kemampuan untuk bertahan hidup, seperti menyiapkan kebutuhan makan dan keuangan. Jelastopulu dan Tzoumerka (2013) menjelaskan bahwa parentification dapat terjadi akibat adanya stressor yang dialami oleh orangtua. Stressor tersebut biasanya adalah perceraian, ketergantungan obat, depresi, dan rendahnya status sosial ekonomi keluarga. Untuk itu, keadaan ekonomi keluarga juga berperan penting yang dapat menyebabkan parentification. Ketika keadaan ekonomi keluarga rendah, maka keluarga akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik itu kebutuhan fisik maupun kebutuhan emosional masing-masing anggota. Burton (2007) mengemukakan bahwa keluarga dengan keadaan ekonomi rendah diharuskan untuk dapat meningkatkan produktifitas dan menurunkan pengeluaran keluarga secara bersamaan. Untuk memenuhi hal tersebut, anak diharuskan untuk turut membantu pemenuhan kebutuhan finansial dan rumah tangga yang akhirnya membuat kebutuhan anak gagal untuk terpenuhi. Remaja harus menjalankan tugastugas di luar perkembangannya dan dapat mengganggu pemenuhan kebutuhannya sendiri terlebih lagi dengan keadaan ekonomi rendah sebagai stressor parentification. Hal ini dapat menjadi pengalaman negatif yang dapat mengganggu hubungannya dengan orangtua, dan hal tersebut nantinya mengganggu hubungan dirinya dengan orang lain. Di Indonesia, tidak sedikit remaja yang menjadi tulang punggung untuk menghidupi keluarganya karena keadaan
2 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
ekonomi. Setiawan dan Robbi (2013) mengemukakan mengenai remaja berusia 13 tahun bernama Tasripin yang harus memenuhi kebutuhan keluarga karena kondisi finansial. Tasripin harus bekerja menjadi buruh tani untuk dapat menghidupi adik-adiknya yang masih berusia sekolah dasar dengan kondisi rumah yang kumuh, makanan yang terbatas, dan pakaian yang lusuh. Selain Tasripin, menurut artikel koran dari sumut.com, Hamida yang berusia 19 tahun juga mengalami pengalaman yang sama. Karena kesulitan ekonomi, remaja ini terpaksa bekerja sebagai tukang setrika untuk dapat menghidupi ia dan adik-adiknya dan mereka harus tinggal di tanah wakaf kuburan. Kedua remaja tersebut terpaksa untuk terusmenerus bekerja dan mengabaikan kebutuhan mereka sendiri akan pendidikan karena tidak ada biaya. Dari kedua kasus ini dapat dilihat bahwa mereka mengalami parentification, yaitu mereka harus menjalankan tugas-tugas di luar tugas perkembangan yang mereka lalui, misalnya menjalin hubungan sosial dan mengembangkan tujuan vokasional, demi menghidupi keluarga karena keadaan keluarga yang membuat mereka tidak mungkin hanya berdiam diri. Minuchin dkk. (dalam Hooper, 2007) menyatakan bahwa dalam parentification orangtua menyerahkan peran mereka pada anak dengan menelantarkan kebutuhan fisik maupun psikologis keluarga. Tugas-tugas yang dilakukan anak sebagai wujud pertukaran peran sangat bervariasi, Menurut Jurkovic (dalam Williams, 2010) parentification dapat dibagi dua berdasarkan tugas yang dilakukan oleh anak, yaitu instrumental dan emotional parentification. Instrumental parentification meliputi pertukaran peran anak dan orangtua yang melibatkan kebutuhan fisik, baik kebutuhan dari orangtua maupun keluarga. Sementara itu emotional parentification adalah ketika anak diharuskan untuk memenuhi dan mendukung kebutuhan emosional dari orangtua. Cree (dalam Williams, 2010) mengemukakan beberapa dampak dari parentification yaitu menimbulkan kesulitan tidur, gangguan makan, bermasalah dengan kepolisian, selfharm, penyalahgunaan obat-obatan, dan kecemasan akan tidak punya teman. Peneliti lain seperti Lopez (dalam Gribble, 2001) juga menjelaskan dampak parentification yaitu hilangnya kemampuan remaja untuk dapat mengekspresikan rasa frustrasi yang dialaminya karena harus memberikan perhatian lebih untuk orangtua. Hal ini dapat menghambat perkembangan self-esteem, hubungan dengan teman sebaya serta peristiwa penting lainnya dalam tahapan perkembangan dan hubungan sosial. Berkaitan dengan hubungan sosial ini, Weiss (dalam Jurkovic, 1997) mengemukakan bahwa remaja yang mengalami parentification akan menjadi remaja yang penyendiri. Walaupun mereka tidak terisolasi, namun waktu mereka dengan teman sebaya menjadi berkurang. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab remaja yang yang besar terhadap keluarga sehingga menimbulkan kurangnya kemampuan 3 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
untuk berteman (Dawson dalam Jurkovic, 1997). Menurut Weiss (dalam Jurkovic, 1997) anak dengan tanggung jawab untuk membantu pekerjaan rumah di dalam keluarga hanya mendapatkan sedikit kesempatan untuk bersosialisasi. Artinya, seseorang akan kehilangan kesempatan untuk bergabung bersama teman sebaya, mencari teman, didengarkan oleh orang lain, belajar untuk mengungkapkan isi hati, dan mencari tahu bagaimana orang lain dapat menjalani kehidupannya (Butler, 1999). Kurangnya kesempatan untuk bersosialisasi ini erat kaitannya dengan kecemasan sosial, yaitu kecemasan yang timbul karena adanya kemungkinan atau pun keberadaan dari evaluasi interpersonal, baik di situasi sosial yang nyata maupun imajiner (Schlenker & Leary dalam Leary, 1983). Penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health (dalam Bracik, Krysta, & Zaczek, 2012) kecemasan sosial umumnya timbul pada awal masa remaja. Hal ini didukung oleh Albano (2000) yang mengemukakan bahwa kecemasan sosial pada biasanya dimulai dari usia 12 tahun. Menurut Essau dkk. (dalam Subasi, 2013), remaja, terutama pada tahapan awal, adalah tahapan perkembangan yang penting di mana dalam tahap ini kecemasan sosial dan kelainan psikologis lainnya meningkat. Buss (dalam Subasi, 2013) juga menjelaskan bahwa remaja adalah tahapan di mana seseorang mengalami tingkat kecemasan sosial yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada masa ini terjadi peningkatan kesadaran akan penilaian lingkungan sosial terhadap penampilan dan bagaimana bertingkah laku. Pada remaja, meningkatnya hal tersebut dapat menambah kecemasan akan evaluasi sosial (Loukas dkk., dalam Subasi, 2013). Butler (1999) mengemukakan bahwa keluarga adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan sosial. Seseorang mengembangkan kemampuan bersosialisasi serta membangun hubungan interpersonal dalam keluarga. Dukungan dalam bentuk perasaan dicintai dan diterima apa adanya dari keluarga, mampu untuk membuat seseorang percaya diri dalam melakukan hubungan di lingkungan luar dengan membangun self esteem dan self worth (Butler, 1999). Minuchin (dalam Peris, 2006) mengemukakan bahwa keluarga yang sehat adalah keluarga yang membina hubungan timbal balik antar anggotanya. Batasan peran dan tanggung jawab dari masing-masing anggota juga diperlukan untuk dapat membina hubungan yang sehat. Adanya parentification merupakan bentuk hubungan yang tidak sehat dalam keluarga. Kebutuhan anak yang tidak dapat terpenuhi serta kurangnya keberadaan orangtua merupakan wujud ketidakseimbangan yang timbul akibat parentification. Butler (1999) menjelaskan bahwa hal ini akan mempengaruhi bagaimana anak belajar untuk dapat mengetahui tingkah laku mana yang sesuai dan yang tidak sesuai di dalam lingkungan sosial. Ketika kesempatan anak untuk belajar akan hal tersebut berkurang, maka hal ini memperbesar 4 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
kemungkinan timbulnya kecemasan sosial karena kegugupan anak tentang bagaimana ia bertingkah laku yang seharusnya di dalam suatu situasi sosial. Berdasarkan uraian mengenai parentification dan kecemasan sosial dapat diketahui bahwa fenomena parentification dapat berdampak pada diri sendiri dan bagaimana seseorang dapat berhubungan dengan orang lain. Pertukaran peran yang dialami terutama dalam kondisi ekonomi rendah membuat kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi karena harus membantu dan memenuhi kebutuhan keluarga terlebih dahulu. Hal ini juga dapat membuat anak kesulitan untuk mendapatkan waktu untuk bersosialisasi sehingga mengganggu hubungan sosial dengan dunia luar. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini ingin melihat hubungan antara parentification dengan kecemasan sosial pada remaja dengan pertanyaan penelitian yaitu, apakah terdapat hubungan yang positif antara parentification dengan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah? Untuk itu, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan parentification dengan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah.
Tinjauan Teoritis Parentification Hooper (2012) mendefinisikan parentification sebagai bentuk pertukaran peran antara orangtua dan anggota keluarga lainnya, terdapat distorsi batasan, dan hirarki yang berkebalikan antar keduanya dimana anak-anak atau remaja menanggung tingkat tanggung jawab yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangan dan tanggung jawab tersebut tidak diakui, didukung, dan tidak dihargai. Terdapat dua jenis parentification yaitu emotional dan instrumental parentification berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan. Kemudian Jurkovic (1997) juga mengemukakan mengenai perceived fairness sementara Hooper (2007) mengemukakan mengenai perceived benefit dalam parentification. Jenis parentification, perceived fairness dan perceived benefit, dikemukakan berdasarkan subjektifitas atau penghayatan anggota keluarga yang mengalami parentification. Menurut Jurkovic, Morrell dan Thirkield (dalam Hooper, 2008) emotional parentification adalah keterlibatan anak dalam memenuhi kebutuhan sosioemosional anggota keluarga maupun keluarga secara keseluruhan. Lofton (2011) juga menjelaskan bahwa emotional parentification adalah keadaan dimana anak bertanggung jawab dalam 5 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
membantu orangtua dalam mengekspresikan dan menjaga emosi. Dalam hal ini anak menjadi pendengar, orang yang dipercaya, pengasuh, pemberi dukungan emosional, serta orang yang memediasi konflik dalam keluarga. Selain itu contoh dari emotional parentification adalah ketika anak diharapkan dapat berempati terhadap sulitnya orangtua dalam mendapatkan pekerjaan, atau kegagalan rumah tangga orangtua. Untuk itu dapat dikatakan bahwa emotional parentification merupakan jenis parentification yang lebih berbahaya karena dapat menekan kebutuhan anak dan mengganggu keseluruhan perkembangan anak (Hooper dalam Williams, 2010). Kemudian, Jurkovic dkk. (dalam Hooper, 2008) menjelaskan bahwa instrumental parentification adalah keterlibatan anak dalam menjaga keadaan fisik dan kesejahteraan keluarga. Hal ini meliputi kegiatan memasak, membersihkan rumah, membeli bahan makanan, dan kegiatan sehari-hari untuk mengurus orangtua serta saudara kandung. Jurkovic (1997) mengemukakan bahwa terdapat banyak pertanyaan terkait dengan parentification seperti apakah dibutuhkan keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan dan harapan dalam keluarga? Atau bagaimana cara anak untuk membayar pengasuhan dan kehidupan yang diberikan oleh orangtua? Secara etis dalam hubungan keluarga, orangtua menyadari bahwa kontribusi yang dilakukan kepada anak melebihi apa yang dilakukan anak kepada orangtua namun tidak mengharapkan balasan terhadap apa yang sudah dilakukan (Jurkovic, 1997). Untuk hubungan yang tidak etis, orangtua salah mengaplikasikan otoritas yang dimiliki terhadap anak sehingga menginginkan adanya timbal balik yang sesuai antara kedua belah pihak. Untuk itu, perceived fairness berkaitan dengan keadilan yang dipersepsi oleh anggota keluarga yang mengalami parentification. Kemudian dalam pengembangan dari perceived fairness yang dikemukakan Jurkovic, Hooper (2007) juga mengungkapkan istilah perceived benefit dalam penjelasan parentification, yaitu adanya persepsi keuntungan dalam menjalankan peran sebagai pengasuh dalam proses parentification. Kecemasan Sosial Schlenker dan Leary (dalam Leary, 1983) mengemukakan bahwa kecemasan sosial adalah “anxiety resulting from the prospect or presence of interpersonal evaluation in real or imagined social settings.” (Schlenker & Leary in Leary, 1983). Artinya adalah kecemasan yang timbul merupakan kecemasan karena adanya kemungkinan atau pun keberadaan dari evaluasi interpersonal baik di situasi sosial yang nyata maupun imajiner. Butler (1999) juga mendefinisikan kecemasan sosial sebagai perasaan takut dan gugup bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada saat menjalin hubungan dengan orang lain. Seseorang yang mengalami kecemasan sosial biasanya merasa bahwa mereka akan melakukan tingkah laku 6 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
yang akan memalukan diri dan orang lain. Terdapat juga pikiran bahwa mereka akan dinilai oleh orang lain tentang apa yang mereka katakan atau lakukan (Leary, 1983). Leary dan Kowalski (dalam Heerey & Kring, 2007) mengemukakan bahwa kekhawatiran berlebihan serta adanya persepsi bahwa hasil dari interaksi yang dilakukan dapat dikontrol merupakan elemen dari kecemasan sosial. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi dari Schlenker dan Leary untuk menjelaskan kecemasan sosial. Kecemasan sosial berbeda dengan jenis kecemasan lainnya. Perbedaan ini terletak dari pengalaman dalam situasi sosial yang memungkinkan adanya evaluasi sosial sebagai penyebab dari kecemasan. Berbagai situasi itu diantaranya adalah dikenalkan dengan orangorang baru, melakukan wawancara kerja, menjadi pusat perhatian, berbicara pada orang yang memiliki otoritas, dan menjadi bahan lelucon (Leary, 1983). Selain itu, kecemasan sosial biasanya terjadi ketika seseorang dalam situasi tidak teratur, baru, rancu, dan melibatkan orang asing (Leary & Kowalski dalam Brown, 2004). Clark dan Wells (dalam Gilbert, 2000) berpendapat bahwa ketakutan akan evaluasi negatif, diekspos dan menghindar dari lingkungan sosial merupakan ciri khas dari kecemasan sosial. Menurut American Psychiatric Association (dalam Parade, Leerkes & Blankson, 2010), karakteristik dari kecemasan sosial adalah perasaan takut pada saat berada di situasi sosial, terutama takut dipermalukan dalam situasi tersebut. Jones (2009) juga mengemukakan beberapa karakteristik dari kecemasan sosial yaitu memiliki reaksi negatif terhadap situasi sosial yang memungkinkan terjadinya evaluasi negatif, kurangnya kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dengan orang lain, tingkah laku menghindar, dan meningkatnya respon fisiologis. Kecemasan sosial dapat terjadi pada setiap orang pada waktu, situasi, dan tingkatan tertentu (Leary & Kowalski, 1995). Seseorang bisa saja mengalami kecemasan pada saat harus bertemu dengan orang baru, namun orang lain bisa saja tidak mengalami hal tersebut, atau mengalami kecemasan sosial dalam situasi lain. Kecemasan sosial dapat menjadi gangguan (social anxiety disorder) apabila kecemasan ini sudah mengganggu kehidupan sehari-hari, misalnya dalam hal sekolah, pekerjaan, waktu luang, dan hubungan dengan orang-orang terdekat. Pada situasi ekstrim, orang-orang yang mengalami kecemasan sosial dapat mengalami panic attack (Butler, 1999). Remaja Masa remaja adalah masa dimana terdapat perubahan fisik, kognitif, dan psikososial dari seseorang. Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009) remaja adalah masa transisi 7 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
dalam pekembangan yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional, dan sosial dalam situasi sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda. Menurut American Psychological Assosiation (2002), banyak definisi mengenai remaja salah satunya adalah periode yang diawali dengan masa pubertas sampai seseorang mandiri secara finansial. Stang dan Story (2005) mengemukakan bahwa remaja mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat pada saat mengalami pubertas. Remaja juga mengalami perubahan yang signifikan pada kemampuan untuk mengukur dan memahami informasi serta situasi yang kompleks. Spano (2004) mengemukakan bahwa rentang usia pada tahap perkembangan remaja adalah 12 sampai 19 tahun dengan pembagian remaja awal (12-14 tahun), remaja tengah (15-16 tahun), dan remaja akhir (17-19 tahun). Karakteristik Status Sosial Ekonomi Rendah Harton (dalam Rodiyah, 2013) menjelaskan bahwa status sosial ekonomi seseorang dapat dilihat dari pekerjaan, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Artinya, status sosial ekonomi orangtua dapat dilihat dari bagaimana tingkat pendidikan, jenis pekerjaan yang dilakukan, serta kualitas dan kuantitas dari penghasilan orangtua tersebut. Menurut Santrock (2011), status sosial ekonomi rendah berpengaruh pada pendidikan seseorang. Ia menambahkan bahwa seseorang dengan status sosial ekonomi rendah akan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, kurang berpengaruh dalam institusi sosial tertentu, serta kurangnya sumber daya ekonomi. Huston dan Bentley (dalam Santrock, 2011) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi orangtua cenderung berhubungan dengan lingkungan sekitar dan sekolah dimana anak berada. Hal ini mempengaruhi bagaimana orangtua mengasuh anak dan bagaimana penyesuaian diri anak tersebut (Leventhal, Dupere, & Brooks-Gunn dalam Santrock, 2011). Lingkungan dengan penduduk berpendapatan rendah atau banyak yang mengalami pengangguran cendurung membuat orangtua melakukan pengasuhan pada anak dengan kurang konsisten, kurang merangsang perkembangan anak, banyak memberi hukuman, serta timbulnya masalah pada anak di kemudian hari. Adapun kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (2014) adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita dibawah garis kemiskinan yang dalam hal ini ditentukan pada bulan September 2013 sejumlah Rp 292.951,00.
8 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
Metode Penelitian Sampel yang digunakan di dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 12 sampai 19 tahun dengan sosial ekonomi keluarga yang rendah. Pengambilan data dilakukan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah Bintaro, Petukangan, Guntur, dan Bangka. Alasan pemilihan PKBM ini sebagai tempat pengambilan data adalah karena PKBM merupakan instutusi non formal yang didirikan pemerintah untuk memfasilitasi anak-anak yang berstatus sosial ekonomi rendah untuk dapat mendapatkan pendidikan (Hiryanto, 2011). Kemudian, teknik pemilihan partisipan penelitian ini menggunakan non random sampling, yaitu convenience sampling. Alasan peneliti menggunakan teknik ini adalah karena peneliti perlu menyesuaikan antara tujuan penelitian dengan sampel yang diperlukan (Kumar, 2005). Desain Penelitian menurut Kumar (2005) terdiri dari tiga jenis, yaitu reference of period, number of contact, dan nature of the investigation. Berdasarkan reference of period, Penelitian ini termasuk penelitian retrospective karena situasi yang diteliti adalah situasi masa lalu. Kemudian berdasarkan number of contact, enelitian ini menggunakan desain one-shot study karena peneliti bertemu dengan partisipan hanya satu kali untuk memberikan kuesioner untuk data yang diperlukan. Terakhir, berdasarkan nature of the investigation, penelitian ini merupakan penelitian non experimental karena peneliti tidak memanipulasi variabel penelitian yang ada. Terdapat 2 variabel yang diukur dalam penelitian ini yaitu parentification sebagai variabel 1, dan kecemasan sosial sebagai variabel 2. Untuk mengukur parentification penelitian ini menggunakan Parentification Inventory oleh Hooper (2007), sementara itu untuk kecemasan sosial penelitian ini menggunakan Brief Fear of Negative Evaluation II oleh Carleton, Collimore, dan Asmundson (2007). Pengolahan data yang diperoleh dari alat ukur Parentification Inventory dan Brief Fear of Negative Evaluation II menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science) for macintosh. Beberapa teknik yang digunakan adalah descriptive statistic, pearson correlation, independent sample t-test, dan One Way Analysis of Variance (ANOVA). Hasil Penelitian Secara keseluruhan, skor rata-rata total dari parentification adalah sebesar 49,23 dengan standar deviasi 6,613. Berdasarkan penggolongan parentification juga dapat dilihat bahwa rata-rata pada golongan emotional adalah 20,47, pada instrumental sebesar 29,26, dan pada perceived benefit sebesar 9,60. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan 9 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
positif yang signifikan antara parentification dengan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Untuk mencari hubungan antara kedua variabel tersebut, peneliti menggunakan metode korelasi Pearson. Berikut adalah hasil pengolahan yang diperoleh. Tabel 1 Korelasi antara Parentification dan Kecemasan Sosial R
r2
Sig. (1-tailed)
0,224
0,05
0,001
Keterangan Signifikan pada LoS 0,01
Dari tabel di atas ditemukan bahwa hasil penghitungan koefisien korelasi adalah r = 0.224, p< 0.01, artinya adalah semakin tinggi skor parentification maka semakin tinggi pula skor kecemasan sosial. Hasil perhitungan coefficient of determination (r2) pada korelasi yang dihasilkan dari skor alat ukur PI dan BFNE-II adalah r2=0.005 menunjukkan bahwa sebesar 5% variansi skor kecemasan sosial dapat dijelaskan melalui variansi skor parentification. Kemudian peneliti juga melakukan perhitungan korelasi antara penggolongan dari parentification yaitu emotional, instrumental, dan perceived benefit dengan kecemasan sosial. Hasil analisis data tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Korelasi Penggolongan Parentification dengan Kecemasan Sosial Penggolongan Parentification
r
r2
Signifikansi
Keterangan
Emotional Instrumental Perceived Benefit
0.139 0.213 0.123
0.019 0.045 0.015
0.066 0.004 0.103
Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan
Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa penggolongan parentification yang dilihat dari emotional dan perceived benefit tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kecemasan sosial (r=0.139, r=0.123). Akan tetapi penggolongan instrumental parentification dan kecemasan sosial memiliki hubungan yang signifikan yaitu dengan r=0.213. Analisis Berdasarkan Karakteristik Demografis Untuk memperdalam hasil penelitian, peneliti menjelaskan analisis tambahan untuk melihat perbedaan rata-rata skor parentification dan kecemasan sosial berdasarkan beberapa karakteristik demografis diantaranya adalah berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan yang ditempuh saat ini, dan status pekerjaan partisipan. Adapun teknik yang digunakan dalam menganalisis data teknik analisis Independent Sample T-Test dan ANOVA.
10 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
Tabel 3 Analisis Parentification berdasarkan Data Demografis Karakteristik Jenis Kelamin Usia Pendidikan Saat ini Status Pekerjaan
Jenis Karakteristik Perempuan Laki-laki 12-14 tahun 15-16 tahun 17-19 tahun SD SMP SMA Bekerja Tidak Bekerja
n 76 101 23 95 59 13 67 97 82 95
Rata-rata Skor 49.30 49.18 49.74 49.09 49.20 51.54 48.67 49.31 50.79 47.88
Signifikansi
Keterangan
t=0.124 p=0.902 F=0.082 p=0.922
Tidak Siginifikan Tidak Signifikan
F=1.038 p=0.356
Tidak Signifikan
t=-2.982 p=0.003
Signifikan
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara skor parentification dengan karakteristik demografis partisipan yaitu jenis kelamin, pendidikan saat ini, dan usia namun ditemukan skor rata-rata yang signifikan pada status pekerjaan partisipan. Di bawah ini adalah tabel yang menjelaskan hubungan skor kecemasan sosial dengan karakteristik demografis partisipan. Tabel 4 Analisis Kecemasan Sosial berdasarkan Data Demografis Karakteristik Jenis Kelamin Usia Pendidikan Saat ini Status Pekerjaan
Jenis Karakteristik Perempuan Laki-laki 12-14 tahun 15-16 tahun 17-19 tahun SD SMP SMA Bekerja Tidak Bekerja
n 76 101 23 57 97 13 67 97 82 95
Rata-rata Skor 27.72 25.42 25.22 25.14 27.43 25.31 25.76 27.00 26.94 25.95
Signifikansi
Keterangan
t=2.227 p=0.027 F=2.412 p=0.093
Signifikan
F=0.815 p=0.444
Tidak Signifikan
t=-0.953 p=0.342
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara skor kecemasan sosial dengan karakteristik demografis partisipan yang terdiri dari usia, pendidikan saat ini, dan status pekerjaan. Namun peneliti menemukan bahwa terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara kecemasan sosial dan jenis kelamin partisipan.
11 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parentification dan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Berdasarkan hasil yang sudah ditemukan, maka hipotesis alternatif diterima dan hipotesis null ditolak. Sehingga, semakin remaja mengalami parentification, maka semakin tinggi pula kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Peneliti juga menghubungkan penggolongan parentification dengan kecemasan sosial. Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut
ditemukan
bahwa
penggolongan
instrumental
parentification
berhubungan signifikan dengan kecemasan sosial. Artinya remaja yang mengalami instrumental parentification, yaitu remaja yang mengerjakan pekerjaan rumah dan kebutuhan fisik, lebih mengalami kecemasan sosial daripada remaja yang membantu kebutuhan emosional dari keluarga (emotional parentification). Dapat diketahui pula bahwa persepsi keuntungan yang didapatkan dari parentification juga tidak berpengaruh terhadap kecemasan sosial remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara parentification dan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara parentification dan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Whitehead (2010) yang menjelaskan bahwa dampak dari parentification berperan penting dalam hubungan sosial remaja di sekolah. Kebanyakan murid-murid melihat anak yang mengalami parentification sebagai anak yang yang kurang bersosialisasi dan cenderung menjauhi diri dari teman sebayanya (Coplan, Giradi, & Findlary, dalam Whitehead, 2010). Penolakan terhadap anak yang mengalami parentification menjadikan mereka sebagai tipe yang tidak disukai (Coplan, Prakash, O'Niel, and Armer's, dalam Whitehead) karena mereka cenderung menyendiri, dan tidak termotivasi untuk berhubungan dengan teman sebaya. Uraian diatas menunjukkan adanya indikasi kecemasan sosial jika dilihat dari tingkah laku menghindar dan menyendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leary dan Kowalski (1995) yang mengemukakan bahwa aspek tingkah laku dari orang yang mengalami kecemasan sosial adalah meminimalisir atau menjauhi interaksi sosial serta berusaha untuk tidak berada di dalam situasi sosial. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh La Greca dkk (dalam Ginsburg, La Greca, Silverman 1998) dijelaskan bahwa anak yang mengalami 12 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
penolakan lebih memungkinkan untuk mengalami kecemasan sosial daripada anak yang tidak mengalami penolakan. Beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa parentification berhubungan dengan kecemasan secara umum. Jelastopulu dan Tzumerka (2013) mengemukakan bahwa kecemasan yang dialami oleh orang tua karena kondisi finansial dapat membuat anak mengalami kecemasan yang sama. Jelastopulu dan Tzoumerka (2013) bahwa dengan keadaan sosial ekonomi rendah, membuat kecemasan pada orang tua yang kemudian membuat anak juga merasakan kecemasan akan hal tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Burton (2007) juga menyebutkan bahwa anak akan menyadari tekanan yang dialami atas kesulitan finansial orang tua. Hal ini menurut Weiss (dalam Burton, 2007) membuat anak tidak terbebas dari stress dan kecemasan orang tua tentang kondisi finansial tersebut. Untuk itu dengan adanya tekanan dan masalah sosial ekonomi yang rendah dapat menyebabkan anak juga merasakan kecemasan-kecemasan yang dialami oleh orang tua. Karena kecemasan itu lah anak akan bergerak dan bertanggung jawab untuk ikut mengerjakan pekerjaan rumah dalam rangka membantu kesulitan yang dialami orang tua (Burton, 2007). Tanggung jawab serta beban pekerjaan yang besar inilah menjadikan anak kehilangan waktu untuk bersosialisasi (Weiss dalam Jurkovic 1997). Penjelasan diatas mendukung hasil penelitian korelasi antara penggolongan instrumental parentification dengan kecemasan sosial dengan r=0.213. Adanya hasil korelasi yang signifikan ini sesuai dengan kesimpulan peneliti bahwa dengan membantu pekerjaan rumah, keperluan logistik, maupun bekerja untuk membantu keluarga akan menyita waktu sehingga kurangnya kesempatan untuk bersosialisasi yang menyebabkan anak mengalami kecemasan sosial. Selain itu penjelasan bahwa anak yang mengalami parentification diharuskan bekerja juga sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara parentification dan aktivitas dari partisipan. Artinya, partisipan yang bekerja lebih mengalami parentification daripada partisipan yang tidak bekerja. Keadaan sosial ekonomi rendah ini membuat anak diharuskan bekerja untuk mencari uang agar dapat tetap bertahan hidup serta memenuhi kebutuhan keluarga (Burton, 2007). Kemudian peneliti juga menemukan hubungan yang tidak signifikan antara kecemasan sosial dan emotional parentification serta perceived benefit. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Arredondo (2013) bahwa emotional parentification tidak berhubungan dengan internalizing behavior yaitu tingkah laku yang merugikan bagi diri sendiri seperti rendahnya self-esteem dan tingginya kecemasan seseorang. Dalam hal ini internalizing behavior yang dimaksud adalah kecemasan di dalam lingkungan sosial. Jika dilihat dari item-item perceived benefit, ketiga item ini menunjukkan adanya penerimaan dan apresiasi dari keluarga terhadap 13 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
anak. Hal ini bertolak belakang dengan salah satu faktor dalam keluarga yang dapat menyebabkan kecemasan sosial, yaitu tidak adanya penerimaan serta apresiasi terhadap apa yang dilakukan anak di lingkungan keluarga (Butler, 1999). Hasil Coefficient of determination (r2) yang didapatkan dari hasil korelasi menunjukkan bahwa kekuatan korelasi antara kedua variabel tidak terlalu kuat. Nilai r2 yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebesar 0.05, artinya sebesar 5% variansi skor kecemasan sosial dapat dijelaskan variansi skor parentification. Sementara itu 95% variansi lain dapat dijelaskan melalui faktor error maupun faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan di dalam penelitian ini. Untuk itu dapat dikatakan bahwa masih terdapat faktor lainnya yang lebih berperan dalam kecemasan sosial pada remaja. Faktor lain yang menyebabkan kecemasan sosial ini bisa saja faktor biologis maupun pengalaman negatif dari masing-masing partisipan yang berbeda-beda. Faktor biologis ini menurut Leary (1983) dapat berupa sistem rangsang dalam tubuh dan tempramen yang berbeda-beda pada setiap orang. Seseorang dapat bereaksi terhadap stimulus kecemasan sosial lebih cepat daripada orang lain yang mungkin mendapatkan stimulus yang sama. Selain itu menurut Zupanick dan Dombeck (2014) karakterisktik kepribadian neurotik juga berpengaruh pada kecemasan sosial seseorang dan karakteristik ini mempengaruhi bagaimana seseorang menginterpretasi situasi dalam lingkungan sosialnya. Kemudian jika ditinjau dari pengalaman negatif, tentu setiap orang memiliki pengalaman negatif yang dapat diinterpretasi berbeda oleh masing-masing orang. Mungkin saja pada partisipan dalam penelitian ini memiliki pengalaman yang berbeda-beda di dalam kehidupan mereka, walaupun parentification juga dapat menjadi pengalaman yang traumatis (Belsky, Briere, Chase, & Cicchetti, dalam Hooper, 2007) namun terdapat kemungkinan bahwa pengalaman lain dapat lebih menjelaskan kecemasan sosial. Kedua faktor ini, yaitu faktor biologis dan pengalaman negatif tidak dapat diukur dan dikontrol dalam penelitian ini. Jika dikaitkan dengan faktor demografis, kecemasan sosial memiliki hubungan yang signifikan dengan jenis kelamin partisipan. Perempuan memiliki skor rata-rata kecemasan sosial lebih besar dari pada laki-laki yang artinya partisipan perempuan dari penelitian ini lebih banyak yang mengalami kecemasan sosial daripada partisipan laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ingles, Piqueras, Garcia-Fernandez, Garcia-Lopez, Delgado dan Ruiz-Esteban (2011) yang mengindikasikan bahwa perempuan memiliki tingkat kecemasan sosial yang lebih tinggi daripada laki-laki. Para peneliti menyimpulkan bahwa wanita lebih mengalami gejala fisik dan kognitif kecemasan sosial di ruang publik, serta ketakutan sosial. Sementara itu laki-laki memiliki karakteristik yaitu lebih melarikan diri dari 14 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
situasi sosial yang ditakuti. Selain itu, penelitian lain Crick dan Lad serta La Greca dan Stone (dalam Ginsburg, La Greca, Silverman, 1998) yang menjelaskan bahwa perempuan lebih mengalami kecemasan sosial terutama terhadap evaluasi sosial. Dijelaskan pula dalam penelitian tersebut bahwa hal ini terjadi karena perempuan lebih peduli tentang apa pendapat dan penilaian orang lain tentang dirinya karena hal tersebut penting bagi self-esteem dan identitas perempuan. Kemudian, apabila dikorelasikan dengan usia, tidak ada perbedaan ratarata skor yang signifikan antara antara usia dan kecemasan sosial. Penemuan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Leary dan Kowalski (1995) bahwa kecemasan sosial dimulai dari remaja awal dan mencapai puncaknya pada saat remaja pertengahan. Dalam hal ini peneliti menduga bahwa sampel yang tidak seimbang jumlahnya dalam hal usia mempengaruhi signifikansi tersebut. Jumlah dari partisipan yang berusia 17-19 tahun, yaitu merupakan remaja akhir, lebih banyak jumlahnya daripada kelompok usia remaja lainnya. Hal ini membuat pada remaja akhir skor rata-rata kecemasan sosial lebih tinggi, begitu pula pada tingkat pendidikan dari partisipan. Hasil korelasi aktivitas partisipan dengan kecemasan sosial juga ditemukan tidak signifikan walaupun kecemasan sosial pada penggolongan instrumental parentification memiliki hasil yang signifikan. Hal ini dikarenakan aktivitas bekerja untuk mencari uang hanya merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak tugas-tugas instrumental parentification seperti menjaga saudara kandung, menyiapkan makanan, serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga (Minuchin, dalam Peris,2003). Kemudian, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan ratarata skor yang signifikan antara jenis kelamin dan parentification. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Williams (2010) dengan dua kelompok sampel yaitu remaja dan dewasa. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata skor yang signifikan antara parentification dan jenis kelamin pada kedua kelompok sampel penelitian. Peris dkk (dalam Williams 2010) juga menemukan hasil penelitian yang sama. Artinya tidak ada perbedaan tingkat parentification yang dialami baik oleh perempuan maupun laki-laki. Kemudian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara parentification dan usia serta tingkat pendidikan. Hasil penelitian dari Moffett (2007) menunjukkan hasil yang sejalan dengan penelitian ini, yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan pengalaman parentification. Saran Pada bagian ini akan dijelaskan terkait saran mengenai penelitian ini untuk peneliti yang akan melanjutkan penelitian ini maupun yang akan melakukan penelitian serupa. Penelitian 15 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
ini melibatkan 177 partisipan dari lima PKBM di daerah Jakarta. Akan lebih baik apabila penelitian ini lebih melibatkan banyak partisipan dari berbagai macam sekolah, baik formal maupun informal agar lebih representatif pada populasi. Kemudian, untuk memperdalam hasil penelitian, peneliti seharusnya menambahkan data penghasilan orang orang tua dan urutan kelahiran partisipan. Hal ini akan mempermudah peneliti lain dalam melakukan penelitian lanjutan maupun penelitian baru. Diketahui bahwa terdapat hubungan antara parentification dan kecemasan sosial pada remaja berstatus sosial ekonomi rendah. Terdapat pula hubungan yang signifikan antara kecemasan sosial dan instrumental parentfication. Untuk itu sebaiknya orang tua lebih menjalankan peran mereka sebagai orang tua yang mendampingi anaknya di setiap tahapan perkembangan, terutama remaja. Selain itu orang tua juga perlu memperhatikan tugas-tugas rumah serta tanggung jawab yang diberikan kepada anak, jangan sampai anak tidak terlibat dalam hubungan sosial di luar keluarga. Selanjutnya, pengajar di sekolah diharapkan untuk memperhatikan situasi anak di dalam rumah terutama di dalam keluarga mereka. Hal ini penting agar anak remaja juga mendapat bimbingan dan informasi dari lingkungan sekolah mengenai apa yang harus dilakukan dalam situasi-situasi tertentu di dalam keluarga. Peran konselor di sekolah juga sangat penting dalam menangani hal ini. Daftar Referensi Albano, M. (2000). Social phobia in children and adolescence. 4(3), Retrieved from www.aboutourkids.org/files/articles/jan_feb_4.pdf American Psychological Assosiation. (2002). Developing adolescents: A reference for professionals. Retrieved from http://www.apa.org/pi/families/resources/develop.pdf Arredondo, P. (2013). The relationship of parentification to adolescent psychological adjustment in single parent mexican and mexican-american female-headed families. (Doctoral
dissertation).
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/1417778513/143342EF9391F39EBFE/1?accountid =17242 Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik. (2014). Berita resmi statistik: Profil kemiskinan indonesia
di
indonesia
september
2013.
Retrieved
from
website:
http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jan14.pdf Baldwin, M., & Main, K. (2001). Social Anxiety and the Cued Activation of Relational Knowledge. personality and social psychology bulletin.
16 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
Bracik, J., Krysta, K., & Zaczek, A. (2012). Impact of family and school environment on the development of social anxiety disorder: A questionnaire study . Psychiatria Danubina, 24,
125-127.
Retrieved
from
http://www.hdbp.org/psychiatria_danubina/pdf/dnb_vol24_sup1/dnb_vol24_sup1_125. pdf Brown, R. A. (2004). The effects of social anxiety on english language learning in japan. Retrieved from http://www.bunkyo.ac.jp/faculty/lib/slib/kiyo/Inf/if30/if3002.PDF Burton, L. (2007). Childhood adultification in economically disadvantaged families: A conceptual
model.
Family
Relations,
56(4),
329.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/213933555/96E8FB23A5DC479DPQ/1?accounti d=17242 Butler, G. (1999). Overcoming social anxiety and shyness. London: Robinson Publishing. Carleton, R. N., Collimore, K. C., & Asmundson, G. J. G. (2007). Social anxiety and fear of negative evaluation: Construct validity of the BFNE-II. Journal of Anxiety Disorders, 21, 131-141. doi:10.1016/j.janxdis.2006.03.010 Gilbert, P. (2000). The relationship of shame, social anxiety and depression: The role of the evaluation of social rank. Clinical Psychology and Psychotherapy, (7), 174–189. Ginsburg, G. S., La Greca, A. M., & Silverman, W. K. (1998). Social anxiety in children with anxiety disorder: Relation with social and emotional functioning. Journal of Abnormal Child Psychology, 26(3), 175. Heerey, E. A., & Kring, A. M. (2007). Interpersonal consequences of social anxiety. Journal of Abnormal Psychology, 116(1), 125-134. doi: 10.1037/0021-843X.116.1.125 Hiryanto. (2011). Strategi pengelolaan dan pengembangan pusat kegiatan belajar masyarakat (pkbm). Hooper, L. M. (2008). Defining and understanding parentification: Implications for all counselors. The Alabama Counseling Association Journal, 4(1), Hooper, L. M. (2007). The application of attachment theory and family systems theory to the phenomena of parentification. The family journal: counseling and therapy for couples and families, 15(3), 217-223. doi: 10.1177/1066480707301290 Hooper, L. M., & Wallace, S. A. (2009). Evaluating the parentification questionnaire: Psychometric properties and psychopathology correlates. doi: 10.1007/s10591-0099103-9
17 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
Hooper, L. M., & Doehler, K. (2012). Assessing family caregiving: A comparison of three retrospective parentification measures. Journal of Marital and Family Therapy, 38(4), 653-666.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/1150195071/142FA9B9E442F904526/2?accountid =17242 Hooper,
L.
M.
(2012).
What
is
parentification?.
Retrieved
from
http://www.parentification.ua.edu/what-is-parentification.html Ingles, C. J., Piqueras, J. A., Garcia-Fernandez, J. M., Garcia-Lopez, L. J., Delgado, B., & Ruiz-Esteban,
C.
(2011).
Gender
and
age
differences
in
cognitive,
psychophysiological and behavioural responses of social anxiety in adolescence. Psychology in Spain, 15(1). Jelastopulu, E., & Tzoumerka, K. A. (2013). The effects of economic crisis on the phenomenon of parentification. Universal Journal of Psychology, 1(3), 145-151. doi: 10.13189/ujp.2013.010307 Jones, A.M. (2009). How Influential Are They? The Role of Parents, Social Support, Attachment, and Autonomy in College Students’ Likelihood to Experience Social Anxiety. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/305027980 Jurkovic , G. J. (1997). Lost childhoods: The plight of the parentified child . New York : Brunner/Mazel Inc Jurkovic, G. J. (1998). Destructive parentification in families: Causes and con- sequences. In L.
L.
Abate
(Ed.),
Family
Guilford.
psychopathology
(pp.
237-255).
New
Retrieved
York: from
http://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=0TvxEZMAUdQC&oi=fnd&pg=PA23 7&dq=parentification
and
social
anxiety&ots=bjs128qKeL&sig=Rw2rVekXm4WvELvjYyHBNDxHyVs&redir_esc=y Leary , M. R. (1983). Understanding social anxiety: Social, personality, and clinical perspectives. (Vol. 153). Beverly Hills : SAGE Publication. Leary , M. R., & Kowalski, R. M. (1995). Social anxiety . New York: Guilford Press. Retrieved
from
http://books.google.co.id/books?id=NkIlSXNuoNgC&printsec=frontcover Lofton, T. N. (2011). When Playing House Becomes A Reality: An Investigation Of The Effect
Of
Parentification
On
Self-Concept.
(Master's
thesis)Retrieved
http://search.proquest.com/docview/879554215?accountid=17242
18 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
from
Moffett, B. (2007). Parentification in child-headed households within the context of hiv and aids.
(Master's
thesis).
Retrieved
http://wiredspace.wits.ac.za/bitstream/handle/10539/5378/Parentification
from in
child-
headed households.pdf?sequence=1 N.n. Remaja medan rawat 2 adik di kuburan. (2014, April 7). sumutpos. Retrieved from http://sumutpos.co/2014/04/77530/remaja-medan-rawat-dua-adik-di-kuburan Papalia, D., Olds, S., & Feldman, R. (2009). Developmental Psychology. New York: McGraw-Hill. Parade, S., Leerkes, E., & Blankson, A. Attachment to Parents, Social Anxiety, and Close Relationships of Female Students over the Transition to College. Journal of Youth Adolescence , 127-137. Doi: 10.1007/s10964-009-9396-x Peris, T. S. (2006). An investigation of emotional parentification in adolescence. (Doctoral dissertation)Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/304966353/1433785CD454B5AFF93/1?accountid= 17242 Rodiyah. (2013). Hubungan status sosial ekonomi orangtua dengan hasil belajar kompetensi perawatan kulit wajah bermasalah siswa kelas xi smk negeri 6 padang. (Master’s thesis).
Retrieved
from
http://download.portalgaruda.org/article.php?captcha=khond&article=24251&val=1480 &title=&yt0=Download%2FOpen Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology . New York: McGraw-Hill. Setiawan , A., & Robbi (2013, April 21). Kerja keras bocah tasripin mengurus 3 adiknya berbuah
manis.
Vivanews.
Retrieved
from
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/407564-kerja-keras-bocah-tasripin-mengurus3-adiknya-berbuah-manis Spano, S. (2004). Stages of adolescent development. Research Facts and Findings, Retrieved from http://www.actforyouth.net/resources/rf/rf_stages_0504.cfm Stang , J., & Story , M. (2005). Guidelines for adolescent nutrition services. Retrieved from http://www.epi.umn.edu/let/pubs/img/adol_ch1.pdf Subasi, H. G. (2013). The validity and reliability of the interaction anxiousness scale: Gender and social status differences among turkish adolescents. International Journal of Humanities
and
Social
Science,
3(3),
Retrieved
http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_3_No_3_February_2013/26.pdf
19 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014
from
Whitehead, C. L. (2010). Teacher perceptions of the effects of parentification on social interactions in the school setting. (Master's thesis). Williams, K. (2010). Examining the construct of childhood parentification: An empirical investigation.
(Master's
thesis)Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/822196654/143343235A5487B4349/1?accountid=1 7242 Zupanick, C. E., & Dombeck, M. (2014). Biological explanations of anxiety disorders. Retrieved from http://sevencounties.org/poc/view_doc.php?type=doc&id=38470&cn=1
20 Hubungan antara.…, Listia Anindia, FPsi UI, 2014