1
Hubungan Antara Harga Diri dan Kecemasan Sosial Pada Remaja Perempuan Korban Bullying Lorensia Jen Putriana Ndoily
[email protected] Ari Pratiwi Ratri Nurwanti Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya ABSTRACT This study aim to determine whether there is a relationship between self-esteem with social anxiety in girls victims of bullying. Bullying causes more negative impact on the victim, and more girls are victims of bullying than boys. Bullying also give negative impact one of which is the low self-esteem that can trigger social anxiety. Subjects in this study were all female students in Senior High School "X" who became victims of bullying (N = 82). Researchers gave Olweus Bully/Victims Questionare use to find out any student who is being bullied, Rosenberg Self-esteem Scale use to measure self-esteem of the subject (r = 0.617) and Social Interactions Anxiety Scale use to measure social anxiety of the subject (r = 0.800). Results of Pearson Product Moment correlation analysis in this study indicate if the value of correlation coefficient of self-esteem variables against social anxiety worth -0.066 to 0.555 significance (p> 0.05). Based on the analysis it can be concluded that there was no significant correlation between the variables of self-esteem and social anxiety variables. So the alternative hypothesis proposed in this study was rejected. Keywords – bullying, girls, self-esteem, social anxiety ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara harga diri dengan kecemasan sosial pada remaja perempuan korban bullying. Tindakan bullying banyak menyebabkan dampak negatif bagi korbannya, dan studi menunjukkan bahwa remaja perempuan lebih banyak menjadi korban bullying daripada remaja laki-laki. Bullying juga menimbulkan dampak negatif salah satunya adalah rendahnya harga diri yang hal tersebut dapat memicu terjadinya kecemasan sosial. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa perempuan di SMA “X” yang menjadi korban bullying (N= 82). Peneliti memberikan Olweus Bully/Victims Questionare untuk mengetahui siapa saja siswa yang menjadi korban bullying, Rosenberg Self-esteem Scale untuk mengukur harga diri subjek (rxx’ = 0,617) dan Social Interactions Anxiety Scale untuk mengukur kecemasan sosial subjek (rxx’ = 0,800). Hasil analisis korelasi Pearson Product Moment pada penelitian ini menunjukkan jika nilai koefisien korelasi variabel harga diri terhadap kecemasan sosial bernilai -0,066 dengan signifikansi 0,555 (p > 0,05). Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara variabel harga diri dan variabel kecemasan sosial. Sehingga hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian ini ditolak. Kata Kunci – Bullying, Perempuan, Harga Diri, Kecemasan Sosial
2
LATAR BELAKANG Kekerasan sudah menjadi suatu tindakan yang tidak asing lagi terjadi di kalangan masyarakat. Secara umum Wiyani (2012) menjelaskan bahwa kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Kekerasan sering dikaitkan dengan tindakan agresi, dimana kekerasan dan agresi sama-sama tindakan yang menyakiti orang lain. James (2010) menambahkan bahwa bullying termasuk jenis perilaku agresi, yang biasanya terjadi di sekolah-sekolah. Seperti yang ditimbulkan oleh agresi, perilaku bullying juga menimbulkan bahaya, baik fisik ataupun emosional yang hal tersebut terjadi secara sengaja. Menurut Lee (dalam Adiyanti, 2011) bullying merupakan subkategori perilaku agresif yang buruk karena dilakukan secara langsung, berulang-ulang, ditujukan kepada korban, terutama yang tidak mampu mempertahankan dirinya secara efektif. Adanya tradisi sekolah dan ada ancaman senior atau alumnus jika tak mengikuti aturan mereka, maka jika ada tradisi bullying mereka enggan untuk mengadukannya ke pihak lain termasuk orang tua. Banyak remaja yang menjadi korban bullying di sekolah tidak melaporkan kepada pihak sekolah, sehingga membuat tindakan bullying semakin merajalela dan tidak tertangani dengan tepat. Menurut Wimmer (2009) jenis kelamin juga mempengaruhi tindakan bullying, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wimmer (2009), laki-laki cenderung melakukan tindakan bullying fisik, dan verbal. Sedangkan perempuan cenderung melakukan bullying fisik, verbal, dan juga mental. Dalam penelitian sebelumnya Edmonton (dalam Khairiah, 2013) yang memperlihatkan bahwa korban bullying cenderung memiliki harga diri yang rendah, aspek citra diri ini yang tidak mampu mereka tampilkan sehingga mereka menjadi target dari pelaku. Harter (dalam Quatman, 2001) menjelaskan bahwa harga diri diasosiasikan sebagai salah satu fenomena atau bagian yang penting dalam psikologi diantara penilaian positif dan negatif. Semakin tinggi harga diri diasosiasikan dengan pembentukan strategi coping yang baik, tingginya motivasi, serta emosi secara positif secara keseluruhan. Selain itu, semakin rendahnya harga diri seseorang akan lebih berisiko terkena gangguan kepribadian, seperti kecemasan, kurangnya motivasi, melakukan tindakan bunuh diri, gangguan makan, kekerasan atau kenakalan, gangguan perilaku, dan juga depresi. Menurut Rudolph (dalam Rayle, 2007) menjelaskan jika seringkali remaja perempuan lebih mudah diserang atau dibully daripada remaja laki-laki. Hal tersebut menurut Crawford dan Unger (dalam Rayle, 2007) mengakibatkan banyak remaja perempuan yang mengalami tindakan bullying dan kondisi yang negatif lainnya seperti stres, gangguan makan, bahkan pelecehan seksual. Adanya harga
3
diri yang rendah maka akan memicu timbulnya permasalahan yang lain. Pada beberapa penelitian mengaitkan rendahnya harga diri dengan adanya kecemasan sosial. La Greca (dalam Fitria, 2013) menyatakan jika orang yang memiliki harga diri yang rendah akan memiliki perasaan takut gagal ketika terlibat dalam hubungan sosial, dan hal tersebut merupakan karakteristik timbulnya kecemasan sosial. Fenomena kecemasan sosial dengan mudah dapat terjadi, karena setiap orang memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah tersebut, akan tetapi tingkat kecemasan sosial setiap orang berbeda-beda. Seseorang yang memiliki kecemasan sosial akan cenderung cemas dan tidak nyaman ketika berhadapan dengan orang lain, yang disertai dengan perasaan malu, takut, karena berpikir sesuatu yang buruk akan terjadi. Menurut Loudin (dalam Ahmad, 2013) kecemasan sosial adalah keadaan dimana seseorang percaya bahwa persepsi orang lain tentang mereka berbeda dari persepsi mereka tentang diri mereka sendiri. Dalam studinya Segrin (dalam Rojas, 2008) menunjukkan bahwa orang yang menderita kecemasan sosial sering merasa tidak termotivasi untuk terlibat dalam interaksi sosial dengan orang lain. Orang dengan kecemasan sosial merasa mereka akan menghambat komunikasi mereka dan orangorang yang ada di sekitar mereka karena kegugupan yang mereka alami. Azar (dalam Bano, 2012) menjelaskan rata-rata perempuan memiliki kecemasan sosial lebih tinggi daripada lakilaki. Ini dimungkinkan karena laki-laki sangat enggan untuk mencari bantuan untuk memecahkan permasalahan mereka, karena mereka merasa malah akan menunjukkan kelemahan mereka sendiri. Oleh karena itu sulit untuk mengetahui kapan seorang remaja laki-laki mengalami kecemasan sosial, meskipun mereka juga pernah mengalami kecemasan sosial tersebut. Menurut Puklek & Vidmar (dalam Levpuscek, 2004) perempuan lebih memiliki kecemasan sosial lebih tinggi dalam bentuk kognitif karena sebagai bentuk kekhawatiran tentang evaluasi negatif dari masyarakat sekitar dari pada laki-laki. Dalam penelitian terdahulu telah ada beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan bullying dengan harga diri pada remaja, namun masih sangat jarang adanya penelitian tentang bullying dengan kecemasan sosial. Pentingnya dilakukan penelitian ini adalah atas dasar alasan utama, dimana tindakan bullying bisa mempengaruhi harga diri yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi remaja dan bullying dapat juga mempengaruhi kecemasan sosial pada remaja sehingga akan memicu kecemasan sosial pada remaja menjadi tinggi, sehingga nantinya remaja dapat mengetahui dampak dari tindakan bullying.
4
LANDASAN TEORI Bullying Sullivan (dalam Darney, 2013) mengatakan bahwa bullying adalah tindakan agresi yang dilakukan oleh seseorang atau berkelompok terhadap seseorang atau kelompok lain. Oyaziwo (dalam Darney, 2013) menjelaskan jika bullying merupakan suatu tindakan yang ditandai oleh dua pihak yang mengalami pertikaian yang tidak seimbang dalam hal kekuasaan, fisik, dan ataupun mental. Bullying dapat dilakukan secara verbal, psikologis, maupun fisik. Bentuk perilaku tersebut dikatakan sebagai salah satu bentuk deliqunce (kenakalan remaja), karena perilaku tersebut melanggar norma masyarakat, dan dapat dikenai hukuman oleh lembaga hukum (Kim & Thornton, Adilla, 2009). Sejiwa (2008) membagi bullying menjadi beberapa jenis, yaitu bullying fisik, bullying verbal, dan bullying mental atau psikologis. Menurut Morrison, Rigby, Field, Sullivan & Pearce (dalam Astuti, 2008) penyebab terjadinya bullying dikarenakan adanya perbedaan kelas (senioritas), keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif, dan lain-lain. Colvin (dalam Freeman, 2009) menjelaskan bahwa bullying juga mempunyai dampak jangka panjang bagi anak-anak. Seorang anak yang menunjukkan perilaku bullying pada usia sekolah dasar akan lebih mengarahkan mereka pada masalah yang serius, seperti penyalahgunaan hubungan, pelecehan seksual pada usia sekolah lanjutan, dan akhirnya melakukan tindakan kekerasan yang lebih serius pada masa dewasa. Smith (dalam Abdullah, 2013) memaparkan jika bullying di sekolah merupakan salah satu masalah yang umum dan serius, karena apabila seorang siswa terlibat dalam tindakan bullying maka akan menimbulkan masalah karier dan perkembangan siswa di sekolah. Bullying merupakan tindakan yang tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, namun dilakukan juga oleh perempuan. Menurut James (2010) remaja perempuan melakukan tindakan bullying jenis verbal dan juga bullying dalam hubungan dengan teman sebaya daripada laki-laki. Fekkes (dalam Damour, 2013) memaparkan jika remaja perempuan melakukan tindakan bullying secara tidak langsung seperti menyebarkan gosip tentang korban mereka.
Harga Diri Menurut Deaux, Dane & Wrightsman (dalam Sarwono, 2009) harga diri (self-esteem) merupakan penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri. Morris Rosenberg (dalam Flynn, 2003) mendefinisikan harga diri adalah suatu penilaian baik positif atau pun negatif terhadap suatu yang objek yaitu dirinya sendiri. Selain penilaian terhadap diri sendiri
5
menurut Santrock (dalam Novariandhini, 2012) ada hal lain yang penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk pencapaian prestasi yang tinggi adalah keyakinan seseorang bahwa individu dapat menguasai situasi dan menghasilkan hasil (outcomes) yang positif. Teori harga diri dari Rosenberg (Flynn, 2003) dipengaruhi oleh dua faktor yaitu gambaran penilaian, dan perbandingan sosial. Menurut Coopersmith (dalam Fitria, 2013) ada empat faktor yang dapat mengembangkan harga diri seseorang, yang pertama dan yang terpenting adalah besarnya perasaan menghargai, perasaan mau menerima, dan merima perlakuan yang diberikan oleh orang lain terhadap hidupnya. Faktor yang kedua adalah pengalaman keberhasilan, status dan juga posisi seseorang ketika mereka meraih sukses. Selanjutnya, pengalaman tersebut diinterpretasikan dan dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi menjadi faktor ketiga dalam mengembangkan harga diri. Faktor yang terakhir adalah tentang cara individu ketika menanggapi adanya peningkatan pengaruh dari orang lain. Coopersmith (dalam Fitria, 2013) juga menambahkan bahwa ada pula faktor yang menjadi penghambat adanya harga diri yaitu, perasaan takut dalam kehidupan sehari-hari, Perasaan bersalah, yang terbagi menjadi dua konsep yang saling berhubungan. Yakni, perasaan bersalah yang dialami individu karena melanggar nilai-nilai yang ada di norma mereka sendiri, dan memahami kesalahan yang telah dilakukan sebagai pelanggaran nilai yang telah diberikan oleh orang yang dihormati atau orang yang ditakuti. Menurut Casey-Cannon (dalam Rayle, 2007) remaja yang menjadi korban bullying sering mengalami rendahnya harga diri dan juga akan sering untuk tidak masuk sekolah. Casey-Cannon (dalam Rayle 2007) juga menambahkan jika harga diri yang rendah yang dimiliki oleh remaja perempuan korban bullying akan mempengaruhi perencanaan karir mereka dibandingkan dengan remaja perempuan yang tidak menjadi korban, karena akan mempengaruhi pengembangan diri dan sosial mereka. Kecemasan Sosial Menurut Schkenkar dan Leary (dalam Fitria, 2013) mendefinisikan kecemasan sosial adalah suatu pengalaman ketika seseorang termotivasi untuk membuat kesan yang diinginkan oleh orang lain tetapi tidak yakin apakah akan berhasil atau tidak. Loudin, Loukas dan Robinson (dalam Ahmad, 2013) menambahkan bahwa kecemasan sosial dapat terjadi ketika seseorang percaya jika persepsi orang lain terhadap dirinya berbeda dengan persepsi mereka tentang dirinya sendiri. Brown (1997) menambahkan bahwa kecemasan sosial adalah perasaan takut yang terus menerus terjadi terutama di situasi sosial ketika bertemu dengan
6
orang asing, atau mungkin perasaan takut karena merasa diawasi oleh orang lain. Individu dengan kecemasan sosial juga merasa malu karena takut melakukan perbuatan yang memalukan ketika berada di lingkungan sosial. La Greca dan Lopez (dalam Olivarez, 2005) mengemukakan tiga aspek dalam kecemasan sosial yaitu, ketakutan terhadap evaluasi negatif dari orang lain, Bentuk penghindaran sosial dan rasa tertekan dalam situasi yang baru atau ketika berhubungan dengan orang baru/orang asing, dan bentuk penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara umum atau dialami dengan orang yang sudah dikenal. Menurut Mattick and Clarke (dalam Brown, 1997) kecemasan sosial memiliki dua konsep yang hampir sama yaitu, kecemasan sosial terjadi ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, dan kecemasan sosial terjadi ketika seseorang diamati atau diteliti oleh orang lain. Ingman (1999) mengemukakan gejala kecemasan sosial dalam beberapa bagian yaitu gejala fisik, gejala dalam bentuk tingkah laku, dan gejala kognitif. Kecemasan sosial juga menimbulkan beberapa dampak, La Greca & Lopez (dalam Festa, 2011) menjelaskan bahwa remaja dengan tingkat kecemasan sosial yang tinggi melaporkan jika mereka mempunyai teman yang lebih sedikit. La Greca & Lopez (dalam Ahmad, 2013) menambahkan jika kecemasan sosial akan menimbulkan berbagai masalah, terutama pada gangguan fungsi sosial dan juga adanya persepsi negatif terhadap diri sendiri. Remaja yang mengalami kecemasan sosial akan mengalami masalah ketika berhubungan dengan teman sebaya, dan mengalami hambatan dalam mengembangkan kemampuan dalam lingkungan masyarakat. Bullying banyak menimbulkan dampak negatif bagi seseorang, terutama bagi remaja perempuan. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah rendahnya harga diri. Menurut Casey-Cannon (dalam Rayle, 2007) remaja perempuan yang menjadi korban bullying akan mengalami gangguan psikologis salah satunya adalah rendahnya harga diri. Seseorang yang memiliki harga diri yang rendah maka akan rentan mengalami kecemasan sosial. Remaja Menurut Juditha (2011) remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau menjadi tumbuh dewasa. Hurlock (dalam Juditha, 2011) menjelaskan jika adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan Adiyanti (2011) juga menambahkan jika masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dinamika, karena pada masa tersebut terjadi perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat. Pada periode ini merupakan masa transisi dan remaja cenderung memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya kenakalan dan kekerasan baik sebagai korban maupun sebagai pelaku
7
dari tindak kekerasan. mental, emosional sosial, dan fisik. Papalia (2008) masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia dua puluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan satu dengan yang lain. Papalia (2008) menambahkan remaja perempuan dicirikan dengan kematangan organ reproduksi memunculkan awal ovulasi dan menstruasi. Panggul pada remaja perempuan akan berubah menjadi lebih lebar untuk memudahkan proses persalinan, dan lapisan lemah disimpan dibawah kulit. Banyak anak perempuan pada sekolah menengah pertama akan terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Perkembangan remaja dicirikan dengan adanya perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan psikososial.
METODE Partisipan dan Desain Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah semua siswa perempuan kelas X, XI, dan XII di SMA “X” yang menjadi korban bullying. Screening dilakukan terhadap 813 siswi menggunakan Olweus Bully/Victim Questionnaire (BVQ) untuk menyeleksi siswa mana yang telah menjadi korban bullying. Maka didapatkan 82 orang siswa yang menjadi korban bullying dan menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif, dengan pendekatan korelasional. Alat ukur dan Prosedur Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dan skala. Peneliti melakukan adaptasi untuk kuesioner dalam bentuk skala yang nantinya akan digunakan. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah Olweus Bully/Victim Questionnaire (BVQ) yang terdiri dari 23 pertanyaan Untuk mengetahui apakah subjek menjadi korban bullying atau tidak. Salah satu aitem dalam kuesioner tersebut adalah “saya dipukul, ditendang, didorong atau dikurung didalam ruangan”. Pilihan jawaban pada kuesioner tersebut cenderung bervariasi namun kebanyakan pilihan jawaban dalam kuesioner tersebut adalah “beberapa kali dalam seminggu” dan “hal itu tidak terjadi pada saya dalam beberapa bulan terakhir”. Kemudian peneliti menggunakan skala Rosenberg Self esteem Scale, yang berupa skala likert yang terdiri dari 10 item dengan lima alternatif jawaban mulai dari “sangat tidak sesuai” sampai “sangat sesuai”. Jika subjek mendapatkan nilai yang tinggi pada skala tersebut, maka dikatakan jika subjek memiliki harga diri yang tinggi pula. Salah satu contoh dari aitem skala harga diri adalah “saya menerima keadaan diri saya seperti apa adanya”.
8
Selain itu, peneliti juga menggunakan Social Interactions Anxiety Scale (SIAS). Skala tersebut terdiri dari lima (0-4) pilihan jawaban mulai dari “sangat sesuai” sampai “sangat tidak sesuai”. Skala tersebut terdiri dari 20 aitem yang apabila subjek mendapatkan nilai yang tinggi maka subjek mempunyai kecemasan sosial yang tinggi begitu pula sebaliknya. Salah satu aitem pada skala tersebut adalah “saya mengalami kesulitan melakukan kontak mata dengan orang lain”. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil pengujian reliabilitas untuk Rosenberg Self-esteem Scale sebesar 0,617. Sedangkan pengujian reliabilitas untuk Social Interactions Anxiety Scale (SIAS) didapatkan hasil reliabilitas 0,800. Prosedur penelitian yang dilakukan yaitu dengan menggunakan fasilitas laboratorium komputer yang dimiliki oleh sekolah karena penyebaran skala dilakukan secara online kepada 813 siswa. Peneliti secara langsung memberikan tiga alat ukur sekaligus yaitu Olweus Bully/Victim Questionnaire (BVQ), Rosenberg Self esteem Scale dan Social Interactions Anxiety Scale (SIAS) dikarenakan untuk menghemat waktu dan biaya agar lebih efisien, dan didapatkan 82 orang yang menjadi korban bullying. Setelah semua data didapatkan maka dilakukan pengolahan data berupa analisis data untuk menguji hipotesis.
HASIL 1. Hasil uji asumsi penelitian Uji asumsi pada penelitian ini yaitu uji normalitas, dan uji linieritas. Berikut adalah hasil dari uji normalitas dan linieritas. Tabel 1. Hasil uji normalitas Variabel
Hasil KolmogorovSmirnov Harga diri 0,593 Kecemasan 0,767 sosial
Nilai signifikansi 0,873 0,598
Keterangan Normal Normal
Berdasarkan tabel hasil uji normalitas dapat diketahui jika kedua variabel berdistribusi normal (p = 0,873) dan (p = 0,598) Tabel 2. Hasil uji linieritas F(deviation from linierity) Kecemasan sosial * 0,960 harga diri
Nilai signifikansi 0,517
Keterangan Linier
9
Berdasarkan hasil uji linieritas, dapat diketahui bahwa korelasi antara variabel harga diri dengan kecemasan sosial memiliki nilai F sebesar 0,960 dan nilai signifikansinya sebesar (p = 0,517).
2. Hasil uji hipotesis penelitian Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 20.00 for Windows dengan teknik Product Moment Pearson. Berikut adalah hasil uji hipotesis penelitian. Tabel 3. Hasil uji hipotesis
Harga diri Kecemasan sosial
Pearson correlation Sig. (2 tailed) Pearson correlation Sig. (2 tailed)
Harga diri 1 -0,066 0,555
Kecemasan sosial -0,066 0,555 1
Berdasarkan hasil analisis diketahui jika nilai koefisien korelasi variabel harga diri terhadap kecemasan sosial bernilai -0,066 (p = 0,555). Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara variabel harga diri dan variabel kecemasan sosial. Maka dapat dikatakan jika hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian ini ditolak.
DISKUSI Menurut Erol (2011) seseorang dengan harga diri yang tinggi cenderung lebih bisa untuk menerima dukungan dari lingkungan sosial mereka, dan tingkat untuk timbulnya stres lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan kesehatan mereka. Selain itu, Coopersmith (Fitria, 2013) menjelaskan jika seseorang yang memiliki harga diri yang rendah maka mereka akan cenderung meremehkan kemampuan mereka sendiri. Sesuai dengan penjelasan Ahmad (2013) konsekuensi seseorang yang memiliki harga diri yang negatif maka akan mengalami berbagai psikopatologis, salah satunya berkaitan dengan hubungan interpersonal seseorang dengan orang lain menjadi kurang baik, serta akan memiliki kepercayaan diri yang rendah ketika berhadapan dengan situasi sosial. Salah satu contohnya adalah kecemasan sosial, menurut Fitria (2013) seseorang yang mengalami kecemasan sosial maka akan memiliki rasa takut dan ragu-ragu untuk mengekspresikan diri mereka dan seringkali menghindar ketika
10
ada ancaman sosial. Hal inilah yang menyebabkan harga diri sangat berkaitan dengan kecemasan sosial. Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri dan kecemasan sosial. Subjek dalam penelitian ini memiliki harga diri yang masuk dalam kategori sedang dan juga kecemasan sosial yang masuk dalam kategori sedang, namun tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan. Hal tersebut dimungkinkan karena siswa yang menjadi subjek penelitian belum benar-benar mengungkapkan penilaian mereka terhadap harga diri mereka sendiri, sehingga mereka yang menjadi korban bullying hanya menampilkan penilaian harga diri yang baik-baik saja sehingga jika
dilihat secara
keseluruhan mereka memiliki harga diri yang berada pada kategori sedang. Tetapi ketika diberikan skala kecemasan sosial, mereka nampak memiliki kecemasan sosial yang berada pada kategori sedang. Apabila mereka mengalami kecemasan sosial maka akan mempengaruhi kepercayaan diri mereka ketika berinteraksi dengan orang lain. Subjek dalam penelitian ini rata-rata memiliki harga diri yang sedang, dimana mereka sudah cukup mampu untuk memaksimalkan kemampuan yang mereka miliki, namun masih sering merasa takut ketika harus menempatkan diri mereka di tengah-tengah masyarakat (Nurvia, 2007). Pada siswa yang memiliki harga diri sedang seringkali mereka merasa kurang percaya diri akan apa yang mereka miliki. Menurut Coopersmith (Nurvia, 2007) seseorang dengan harga diri yang berada pada kategori sedang memiliki ciri yang sama dengan seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi. Hal yang membedakannya adalah individu dengan harga diri sedang cenderung untuk bergantung pada penerimaan sosial atau penilaian dari orang lain dan mendukung sistem nilai yang ada di masyarakat, namun mereka kurang yakin terhadap diri mereka. Tetapi secara umum siswa yang memiliki harga diri yang sedang sama dengan siswa yang memiliki harga diri yang tinggi. Dalam penelitian ini peneliti mengaitkan variabel harga diri dan kecemasan sosial pada remaja perempuan korban bullying. Menurut Schkenkar dan Leary (dalam Fitria, 2013) kecemasan sosial adalah suatu pengalaman ketika seseorang termotivasi untuk membuat kesan yang diinginkan oleh orang lain tetapi tidak yakin apakah akan berhasil atau tidak. Berdasarkan hasil dari tabel di atas diketahui jika rata-rata subjek memiliki kecemasan sosial dalam kategori sedang Hal ini berarti subjek sudah cukup mampu untuk sekedar berinteraksi dengan orang lain, dan sedikit mengurangi anggapan negatif mereka jika orang lain akan memberikan penilaian yang negatif tentang diri mereka. Maka siswa yang menjadi korban bullying dengan tingkat kecemasan sosial yang sedang sudah cukup mampu untuk memulai
11
berinteraksi dengan orang lain, karena masih dalam katergori sedang yang berarti mereka juga bisa mengalami tingginya kecemasan sosial, hal ini dikarenakan tingkatan sedang berada diantara tinggi dan rendah. Dalam kehidupan sehari-hari mereka akan cenderung merasa waspada ketika akan berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, mereka juga akan sering memberikan penilaian negatif tentang diri mereka sendiri karena merasa tidak mampu atau merasa takut jika apa yang mereka tampilkan tidak sesuai dengan apa yang orang lain pikirkan. hasil dari penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ahmad (2013) yang meneliti tentang hubungan antara harga diri dan kecemasan sosial pada remaja, ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel namun dengan arah hubungan yang negatif, sehingga semakin tinggi harga diri maka semakin rendah kecemasan sosial begitu pula sebaliknya. Hal ini dimungkinkan karena pemahaman subjek tentang bullying masih kurang, sehingga subjek kurang paham tentang konsep dari tindakan bullying. Maka menyebabkan subjek penelitian kurang bisa membedakan antara tindakan bullying dengan tindakan yang tidak mencirikan bullying seperti memberikan nama olokan yang dianggap sebagai candaan dalam pertemanan, sehingga tidak mempengaruhi perkembangan mereka di sekolah. Selain itu dimungkinkan karena subjek belum mampu mengungkapkan atau memberikan penilaian terhadap harga diri mereka secara jujur, agar orang lain menganggap mereka memiliki harga diri yang tinggi. Pada penelitian ini peneliti melakukan analisis tambahan tambahan guna untuk mengetahui apakah ada faktor lain yang berpengaruh pada penelitian ini. Untuk analisis tambahan, peneliti menganalisis adakah pengaruh dari intensitas tindakan bullying dengan harga diri remaja perempuan korban bullying. Dari hasil analisis didapatkan nilai koefisien bullying lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,733 yang dapat diartikan jika tidak ada pengaruh yang signifikan antara intensitas tindakan bullying dengan harga diri remaja perempuan.
12
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, N. 2013. Meminimalisasi bullying di sekolah. Jurnal Magistra. No.83 Adilla, N., 2009. Pengaruh kontrol sosial terhadap perilaku bullying pelajar di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal kriminologi Indonesia. Vol. 05 No.1 Hal: 56-66 Adiyanti, MG., & Wahyuni, S. 2011. Correlation between perception toward parents’ authoritarian parenting and ability to empathize with tendency of bullying behavior on teenagers. Jurnal Psikologi. Vol.7 No.2 hal:106-118 Ahmad, Z.R., Bano, N., Ahmad, R., Khanam, S.J. 2013. Social anxiety in adolescents: does self-esteem matter?. Asian journal of social sciences & humanities. Vol. 02 No. 02 Bano, N., Ahmad, R, Z., & Ali, Z, A. 2012. Relationship of harga diri and harga diri: a comparative study between male and female adolescents. Pakistan Journal of Clinical Psychology. Vol. 11 No.2 hal: 15-23 Brown, E. J., Turovsky, J., Heimberg, R. G., Juster, H. R., Brown, T. A., & Barlow, D. H. 1997. Validation of the Social Interaction Anxiety Scale and the Social Phobia Scale Across the Anxiety Disorders. Psychological Assesment. American Psychological Association. Vol. 9 No.1 Damour, L. 2013. Girls and their peers. A series of research and informational publications Darney, C., Howcroft, G., Stroud, L., 2013. The impact that bullying at school has on individual’s self-esteem during young adulthood. International Journal of Education and Research. Vol. 01 No.8 Erol, R,Y., & Orth, U. 2011. Self-esteem development From age 14 to 30 years: A longitudinal study. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 101 No.3 Festa, C.C. & Ginsburg, G.S., 2011. Parental and Peer Predictors of Social anxiety in Youth. Child Psychiatry Hum Dev. No. 42 Fitria, I., Brouwer, R. J., Khan, S.U.R., Almigo, N., 2013. Does Self-esteem Contribute Any Effect to Social anxiety among International University Students. Malaysian Journal of Research. Vol. 01 No. 1 Hal : 10-19 Flynn, H.K. 2003. Self-esteem theory and measurement: A critical review. Journal of feminist theory & culture. Vol. 3 No. Freeman, J.G., Samdal, O., Klinger, D.A., Dur, W., Griebler, R., Currie, D., & Rasmussen, M. 2009. The relationship of schools to emotional health and bullying. Int J Public Health. Vol. 54 Ingman, K, A. 1999. An Examination Of Social Anxiety, Social Skills, Social Adjustment, and Self-construal in Chinese and American Students at an American University. Dissertation. James, A. 2010. School Bullying. Research Briefing Juditha, C. 2011. Hubungan penggunaan situs jejaring sosial facebook terhadap perilaku remaja di kota Makassar. Jurnal Penelitian IPTEK-KOM. Vol. 13. No. 1
13
Khariah, S., Muhdi, N., Budinono. 2013. Korelasi Antara Perilaku Bullying dan tingkat Selfesteem pada pelajar dua buah SMPN di Surabaya. Jurnal Psikiatri Surabaya. Vol. 1 No. 2 Novariandhini, D.A., Latifah, M. 2012. Harga diri, efikasi diri, motivasi belajar, dan prestasi akademik, siswa SMA pada berbagai model pembelajaran. Jur. Ilm. Kel & Kons. Vol. 5 No. 2 Olivarez, J., Sanchez- Garcia, R., Lopez-Pina, J. 2009. The liebowitz social anxiety scale for children and adolescents. Journal of Psicothema. Vol. 21 No. 3 Papalia D, Olds S, and Feldman R. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana Quatman, T., Watson., Cary, M., 2001. Gender differences in adolescent self-esteem: An exploration of domains. The Journal of Genetic Psychology. Vol. 162 No.1 hal: 93117 Rayle, A., Moorhead, H., Green, J., Griffin, C. A., & Ozimek, B. 2007. Adolescent Girl-toGirl Bullying: Wellness-Based Interventions for School Counselors. Journal Of School Counseling. Vol. 5 No. 6 Rojas, S.L., Bartlett, J.C., Thomas, N.K., Donnelly, K.A., & Barchard, A.K. 2008. The Relationship between Social anxiety and Emotional Expressivity. International Journal of Education and Research. Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A., (2009) Psikologi Sosial. Jakarta. Salemba Humanika Sejiwa. 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan Di Sekolah Dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta. Grasindo. Wimmer, R. 2009. Views on gender differences in bullying in relation to language and gender role socialisation. Pragmatics and Intercultural Communication. Vol. 2 No.1 hal: 18-26 Wiyani, N.A. 2012. Save Our Children from School Bullying. Jogjakarta. Ar-ruzz Media