HUBUNGAN ANTARA MASALAH ADJUSTMENT TO COLLEGE WORK DENGAN PSYCHOLOGICAL DISTRESS PADA MAHASISWA ASING DI UNIVERSITAS INDONESIA Bianca marella Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email:
[email protected] Abstrak: Relokasi mahasiswa asing dapat menimbulkan beban bagi banyak mahasiswa asing. Kesulitan yang lebih berat pada mahasiswa asing disebabkan oleh perbedaan budaya, bahasa, dan sistem pendidikan sebagai stress tambahan yang tidak dialami oleh mahasiswa lokal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah masalah adjustment to college work memiliki hubungan signifikan dengan psyhological distress pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan alat ukur HSCL-25 untuk mengetahui tingkat psychological distress, dan Mooney Problem-Checklist untuk mendata masalah adjustment to college work. Partisipan dalam penelitian ini adalah 107 mahasiswa asing yang mengikuti program akademik degree dan non-degree di lingkungan Universitas Indonesia, yang dikumpulkan dengan teknik accidental sampling dan snowball sampling. Berdasarkan hasil penghitungan statistik, diketahui tidak ada hubungan signifikan antara masalah adjustment to college work dengan psychological distress. Namun, dari hasil analisis tambahan diketahui masalah “Mencemaskan ujian-ujian” dan “Takut gagal di perguruan tinggi” memiliki hubungan signifikan dengan psychological distress pada mahasiswa asing di UI. Kata Kunci : adjustment to college work, psychological distress, mahasiswa asing, Universitas Indonesia
1.
Pendahuluan Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri Indonesia dengan akreditasi A dari BAN-PT (2012), Universitas Indonesia (UI) tengah berusaha meningkatkan mutunya dengan visi internasionalisasi, sebagai jawaban atas tantangan globalisasi. Salah satu perwujudan visi tersebut adalah program studi untuk mahasiswa asing. Per Juli 2012, sebanyak 387 mahasiswa asing mendaftarkan izin tinggal mereka di kantor imigrasi Depok sebagai mahasiswa di UI. Namun jumlah ini masih jauh jika dibandingkan dengan Multimedia University (MMU). Perguruan tinggi swasta pertama di Malaysia tersebut telah meluluskan sebanyak 3273 mahasiswa asing dari 70 negara dalam kurun 12 tahun terakhir, dan menarik 2538 mahasiswa asing pada tahun ajar 2012/2013. Maka, UI berusaha meningkatkan jumlah mahasiswa asing untuk belajar di UI dengan mempromosikan program-program yang dapat melibatkan mahasiswa dari luar Indonesia. Adapun program studi yang melibatkan mahasiswa asing terbagi menjadi dua, antara lain program degree dan program non-degree. Program degree seperti program Kelas Khusus Internasional (KKI) dan program pertukaran pelajar; sementara program non-degree seperti program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Di samping dari ada dan tidak adanya gelar yang diperoleh setelah menyelesaikan masa belajar penuh, tidak ada perbedaan
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
tuntutan akademis dari segi peraturan akademik; kurikulum pendidikan; serta kualifikasi pengajar; yang dibebankan kepada mahasiswa asing dari kedua belah program. Di akhir masa belajar penuh, mahasiswa asing dari kedua belah program sama-sama diwajibkan untuk membuat karya tulis ilmiah sebagai bukti akhir hasil pembelajaran mereka. Visi untuk menarik lebih banyak mahasiswa asing ke UI harus diikuti oleh tanggung jawab untuk menyambut baik dan mempertahankan kesejahteraan mereka. Berpindah ke negara lain untuk tujuan studi, dapat disebut sebagai relokasi, yang dialami oleh mahasiswa asing merupakan fenomena yang unik. Hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa asing lebih berat dibandingkan dengan yang dihadapi oleh mahasiswa lokal karena mereka juga menghadapi hambatan akibat adanya relokasi. Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa relokasi dapat menyulitkan bagi beberapa individu (Inman, Ladany, Constantine & Morano, 2001; Sodowsky & Lai, 1997). Hal ini dikarenakan individu harus meninggalkan banyak hal yang ada di daerah asalnya seperti keluarga, teman, rutinitas, aturan, kebiasaan, serta bahasa. Apabila ditambah dengan penyesuaian terhadap sistem pendidikan yang baru, proses penyesuaian tersebut dapat menjadi proses yang menekan dan menimbulkan stress. Banyak dari mahasiswa yang mengalami tingkat stress yang tinggi akibat dari tekanan dan pemaksaan diri yang disebabkan oleh adanya perubahan (Misra & McKean, 2000). Lazarus (1976) mengatakan bahwa penyesuaian (adjustment) dibutuhkan dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan dan sosial sebagai bentuk dari pemecahan masalah. Menurut Lazarus (1976), adjustment merupakan proses psikologis dimana individu mampu mengatur atau mengatasi berbagai tekanan atau tuntutan. Dalam keterkaitannya dengan mahasiswa asing, literatur menunjukkan bahwa mahasiswa asing dapat menyesuaikan diri dengan baik apabila mereka dapat beradaptasi terhadap sistem akademis (Golde, 2000). Ross, Niebling & Heckert (1999) juga menemukan bahwa 73% sumber stress yang dialami oleh mahasiswa berasal dari peningkatan beban belajar. Bastien (2011) menulis bahwa mahasiswa asing seringkali dinilai sebagai individu yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi. Ekspektasi kemampuan intelektual yang tinggi dari orang-orang di sekitar mereka seringkali menimbulkan stress akademik dalam diri mahasiswa asing, yang kemudian mendorong mereka untuk lebih berfokus pada kepentingan pencapaian akademis. Menurut Bastien (2011), hal ini menyebabkan penyesuaian terhadap sistem akademis seringkali menjadi fokus utama dalam proses adjustment bagi mahasiswa asing. Mahasiswa asing perlu menyesuaikan diri mereka dalam segi akademis karena sistem pendidikan di negara yang baru ( misalnya dalam hal harapan pengajar, dinamika kelas, sistem penilaian atau pengujian, serta bentuk tugas kuliah ) bisa jadi sangat berbeda dari sistem pendidikan di negara asal mereka (Bastien, 2011). Hal ini didukung oleh penelitian Mori (2000) dan Poyrazli, Arbona, Bullington, & Pisecco (2001) menegaskan bahwa adjustment dalam bidang akademis merupakan kunci kesuksesan dalam proses adjustment mahasiswa asing. Mooney (1978) menyebut masalah adjustment pada bidang akademis sebagai masalah adjustment to college work. Mooney mendata kumpulan masalah yang umum dihadapi dalam dunia perkuliahan; misalnya seperti permasalahan keefektifan individu dalam menghadapi tuntutan tugas dan kurikulum, serta kemampuan belajar individu; sebagai masalah adjustment to college work. Penelitian ini merupakan bagian dari payung penelitian Kesehatan Mental 3 dan memiliki tujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara masalah adjustment to college work dengan psychological distress pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological distress dan gambaran masalah adjustment to college work pada mahasiswa asing di UI.
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
2.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan tipe penelitian kuantitatif dengan desain retrospektif dan crosssectional. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: •
“Apakah ada hubungan yang signifikan antara masalah adjustment to college work dengan psychological distress pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia?” Sementara Hipotesis Null (Ho) untuk penelitian ini adalah:
•
Tidak ada hubungan yang signifikan antara masalah adjustment to college work dengan psychological distress pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia
2.1. Variabel Penelitian Variabel psychological distress didefinisikan sebagai tingkat psychological distress individu didefinisikan sebagai skor yang diperoleh dari pengisian alat ukur HSCL-25. Cut-off score pada alat ukur ini adalah 1,75. Sehingga Individu yang memiliki skor ≥1,75 pada alat ukur HSCL-25 berarti memiliki tingkat psychological distress yang tinggi, sedangkan individu yang memiliki skor <1,75 pada alat ukur HSCL-25 berarti memiliki tingkat psychological distress yang rendah. Sementara variabel masalah adjustment to college work didefinisikan sebagai masalah adjustment to college work yang dipilih oleh responden untuk menggambarkan permasalahan yang tengah dia hadapi dalam dua minggu terakhir sebelum pengisian alat ukur. Item Mooney’s Problem Check List-College Form yang mengukur masalah adjustment to college work terdiri dari item nomor 41 – 45, 96 – 100, 151 – 155, 206 – 210, 261 – 262, dan 316 – 320. Nilai individu didapat dari hasil frekuensi kemunculan dikali dengan bobot masalah. Semakin tinggi nilai yang diperoleh mengindikasikan semakin banyaknya masalah yang dialami. 2.2. Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa asing di lingkungan Universitas Indonesia, baik yang berasal dari program degree maupun program non-degree. Dalam penelitian ini, tim peneliti menggunakan dua teknik pengambilan sampel untuk mempermudah pengambilan data mahasiswa asing, yakni accidental sampling dan snowball sampling. Teknik accidental merupakan metode yang berdasarkan pada kemudahan mengakses sampel populasi (Kumar, 2005). Peneliti berkeliling dan meminta mahasiswa asing yang ditemui untuk mengisi kuesioner. Tim peneliti juga menggunakan snowball sampling, dimana metode tersebut merupakan metode pemilihan sampel menggunakan jaringan sosial (Kumar, 2005). Tim peneliti menitipkan kuesioner pada partisipan yang sudah mengisi kuesioner untuk diberikan pada mahasiswa asing lain. Dari 121 kuesioner yang dikembalikan, terdapat 107 data mahasiswa asing yang dapat diolah untuk penelitian ini. 2.3. Alat Ukur Booklet kuesioner payung penelitian Kesehatan Mental 3 yang digunakan untuk pengambilan data terdiri dari 10 bagian. 9 diantaranya merupakan kuesioner penelitian yang dibutuhkan oleh masing-masing peneliti dalam payung penelitian, sementara bagian kesepuluh merupakan data demografis. Alat ukur psychological distress adalah Hopkins Symptoms CheckList-25 (HSCL-25), yang merupakan alat ukur lapor diri yang terdiri dari 25 item mengenai kemunculan dan intensitas gejala depresi dan kecemasan. Hopkins Symptoms Check List-25 (HSCL-25) adalah salah satu instrumen yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi gejala kecemasan dan depresi (Kaaya, 2002). Kaaya (2002) juga menjelaskan bahwa HSCL-25 merupakan alat ukur yang dapat dipakai secara lintas budaya.
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
Pada penelitian ini, HSCL-25 yang digunakan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Jepang dan Korea serta digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu yang juga mengukur psychological distress (Turnip & Hauff, 2007; Utama, 2010; Maishella, 2011). Item-item pada HSCL-25 memiliki konsistensi internal Cronbach’s Alpha senilai 0,94 (Utama, 2010). Berdasarkan data-data tersebut, HSCL-25 dapat dikatakan konsisten dalam mengukur tingkat distress. HSCL-25 menggunakan skala Likert, dengan rentang skala dari 1 sampai dengan 4. Skala 1 mewakili pernyataan “tidak mengganggu sama sekali”, skala 2 mewakili pernyataan ”sedikit mengganggu”. Skala 3 mewakili pernyataan “agak mengganggu”, dan skala 4 mewakili pernyataan “sangat mengganggu”. Alat ukur masalah akademik mahasiswa adalah Mooney Problem CheckList 1950 Revisions. Mooney Problem CheckList 1950 Revisions, yang dikonstruksi oleh Ross L. Mooney dan Leonard V. Gordon. Alat ukur ini diperuntukkan bagi mahasiswa dan bertujuan untuk membantu para mahasiswa untuk mengekspresikan masalah pribadi yang sedang mereka alami. Mooney Problem Check List tidak mengukur intensitas atau kekuatan dari masalah yang dihadapi oleh para siswa, melainkan hanya untuk mendata masalah yang dihadapi oleh mahasiswa. Alat ukur ini dipakai secara berkala dan telah dipakai untuk mengukur permasalahan mahasiswa reguler UI pada penelitian Kesehatan Mental sebelumnya (Maishella, 2011; Utama, 2010). Terakhir, data demografis meliputi data pribadi, data keluarga, kehidupan akademik dan kehidupan sosial. Informasi mengenai data pribadi terdiri dari pertanyaan mengenai jenis kelamin, usia subjek, usia ayah dan ibu subjek, fakultas, semester, IP terakhir, IP kumulatif, kewarganegaraan, anak ke/dari, status pacaran, status pernikahan orang tua, domisili di Indonesia, frekuensi komunikasi subjek dengan orangtua, waktu pertama kali studi dan waktu berakhir studi di Indonesia. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan perhitungan frekuensi dan Pearson correlation. 3.
Hasil dan Kesimpulan Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki merupakan subjek terbanyak dalam penelitian ini, dengan frekuensi sebanyak 55 partisipan (51.4 %), perempuan berjumlah 35 partisipan (32.7 %), sementara 17 partisipan tidak diketahui (17.9 %). Dari asal negara, partisipan terbanyak berasal dari Korea Selatan dengan frekuensi sebesar 56 orang (52.3 %). Jepang merupakan partisipan kedua terbanyak dengan frekuensi sebesar 18 orang (16.8 %). Sementara 33 orang sisanya (30.8%) berasal dari berbagai negara, seperti Taiwan, Prancis, Jerman, Brunei, India, Turki, dan Cina. Berdasarkan usia, sebanyak 81 partisipan (75.7 %) berusia antara 18 hingga 30 tahun; 15 partisipan (14 %) berusia mulai dari 31 tahun ke atas; dan sebanyak 11 partisipan (10.3 %) tidak diketahui usianya. Berdasarkan program studi, mayoritas partisipan berasal dari program non-degree yakni program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) sebanyak 51 partisipan (47.7 %), sisanya tersebar dalam program degree di berbagai fakultas sebanyak 41 partisipan (38.3 %) dan sebanyak 15 partisipan (14 %) tidak diketahui baik asal program studi maupun fakultasnya. Berikut merupakan gambaran tingkat psychological distress mahasiswa asing di UI: Psychological
N
Persentase
≥ 1.75
80
73.8 %
< 1.75
27
26.2 %
Distress
Dari 107 subjek, terdapat 27 subjek yang memperoleh cut-off score lebih besar sama dengan 1.75, yang berarti subjek memiliki tingkat psychological distress yang tinggi. Sementara, 80 subjek memperoleh cut-off score di bawah 1,75, berarti subjek memiliki tingkat psychological distress rendah.
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
Distress Distress Dari tabel di samping, dapat dilihat bahwa Tinggi Rendah laki-laki merupakan jenis kelamin dengan tingkat distress rendah terbesar, yakni Laki – laki 11 52 sebanyak 52 dari total 76 partisipan Perempuan 15 24 dengan distress rendah. Sementara itu, terdapat 11 partisipan laki-laki dengan distress tinggi. Wanita merupakan jenis kelamin dengan tingkat distress tinggi terbesar, yakni sebanyak 15 dari total 26 partisipan dengan distress tinggi. Terdapat pula 24 partisipan wanita dengan distress rendah. Berikut merupakan gambaran masalah adjustment to college work mahasiswa asing di UI:
Adjustment to College Work
Frekuensi
Persentase
Tidak tahu bagaimana cara belajar dengan efektif
9
8.4 %
Lambat dalam hitungan
9
8.4 %
Tidak memberi cukup waktu untuk belajar
9
8.4 %
Bermasalah ketika berbicara di depan kelas
6
5.6 %
Bermasalah dalam membuat catatan kuliah
6
5.6 %
Tidak bisa mengekspresikan diri melalui kata-kata
6
5.6 %
Tidak bisa berkonsentrasi dengan baik
6
5.6 %
Takut untuk berpendapat dalam diskusi kelas
6
5.6 %
Mencemaskan ujian-ujian
6
5.6 %
Membutuhkan liburan/cuti dari pendidikan
5
4.7 %
Latar belakang pendidikan yang tidak sesuai
5
4.7 %
Takut gagal di perguruan tinggi
5
4.7 %
Mudah teralihkan saat belajar
4
3.7 %
Melupakan hal yang sudah dipelajari di sekolah
4
3.7 %
Tidak mempunyai perencanaan kerja
4
3.7 %
Mendapat nilai rendah
4
3.7 %
Tidak menyelesaikan tugas pada waktunya
4
3.7 %
Perbendaharaan kata terlalu sedikit
4
3.7 %
Tidak punya rencana pendidikan yang baik
4
3.7 %
Pendidikan sekolah menengah yang kurang baik
3
2.8 %
Punya terlalu banyak minat di luar bidang akademis
3
2.8 %
Tidak terlalu tertarik pada buku
3
2.8 %
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
Ingatan yang buruk
2
1.9 %
Lemah dalam penalaran logis
2
1.9 %
Lambat dalam memahami teori dan abstraksi
2
1.9 %
Tidak cukup cerdas dalam hal akademis
2
1.9 %
Lemah dalam mengeja atau tata bahasa
2
1.9 %
Lemah dalam karya tulis
1
0.9 %
Bermasalah dalam mengorganisasi tugas makalah
1
0.9 %
Lemah dalam membaca
0
-
Bermasalah dalam membuat catatan kuliah
0
-
Tabel di atas menunjukkan bahwa masalah yang paling dihadapi oleh partisipan adalah “Tidak tahu bagaimana cara belajar dengan efektif”, “Lambat dalam hitungan”, dan “Tidak memberi cukup waktu untuk belajar”. Sementara masalah yang tidak dihadapi oleh partisipan adalah “Lemah dalam membaca” dan “Bermasalah dalam membuat catatan kuliah”. Persentase subjek yang memiliki masalah adjustment to college work tidak melebihi 8.4 % maka dapat dikatakan bahwa kurang lebih sebesar 91.6 % dari total subjek tidak memiliki masalah dalam adjustment to college work. 3.1. Hasil Utama Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, hasil utama penelitian ini mengenai hubungan antara psychological distress dan masalah adjustment to college work. Hasil koefisien korelasi (r) yang diperoleh adalah 0.111 dengan signifikansi (p) di atas 0.05 yang berarti tidak signifikan pada los 0.05, atau dapat pula ditulis sebagai r = ,111, n = 107, p > .05, twotailed. Hasil ini menandakan bahwa hipotesis null (Ho) penelitian diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak sehingga dapat diinterpretasikan bahwa tidak terdapat hubungan antara psychological distress dengan masalah adjustment to college work pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. 4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil utama penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara masalah adjustment to college work dengan psychological distress pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Hasil analisis tambahan penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa asing Universitas Indonesia memiliki dua masalah yang berhubungan signifikan dengan psychological distress, yakni masalah “Mencemaskan ujian-‐ujian” dan “Takut gagal di perguruan tinggi”. Selain itu dapat disimpulkan bahwa mahasiswa asing Universitas Indonesia memiliki tingkat psychological distress yang rendah serta tidak memiliki masalah adjustment to college work yang signifikan. 5.
Diskusi
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian, yang menyatakan akan terdapat hubungan signifikan antara masalah adjustment to college work dengan psychological distress. Dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya, tingkat psychological
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
distress dan adjustment pada mahasiswa asing memiliki hubungan dengan kemampuan berbahasa, lama tinggal, cultural distance, dan dukungan sosial. Keempat faktor tersebut akan dilihat dalam konteks akademis dan non-akademis yang mungkin dapat menjelaskan ketidaksesuaian hasil penelitian hal ini dengan hipotesis penelitian. Dalam kaitannya dengan konteks akademis, Poyrazli dkk (2001) berpendapat bahwa kemampuan bahasa memiliki hubungan kuat dengan adjustment dalam bidang akademis pada mahasiswa asing. Hal ini dikarenakan mahasiswa asing membutuhkan komunikasi untuk mengakomodasi kebutuhan akademisnya. Kegiatan belajar – mengajar, pengenalan dan pembuatan tugas, dan proses administrasi merupakan sebagian dari hal-hal yang harus dihadapi oleh mahasiswa terkait dengan kehidupan akademisnya di negara baru. Olivas & Li (2006) mengungkapkan bahwa kemampuan berbahasa yang rendah akan meningkatkan distress dengan cara mengurangi kecenderungan mahasiswa asing untuk mencari interaksi sosial, yang kemudian mengurangi akses terhadap informasi berguna yang mungkin dapat memfasilitasi adjustment. Dapat dikatakan bahwa kemampuan berbahasa penting bagi proses adjustment dan berhubungan dengan psychological distress mahasiswa asing. Selama pengambilan data, Peneliti turut mengobservasi lingkungan di sekitar para mahasiswa asing. Peneliti menemukan bahwa para mahasiswa asing mayoritas, yakni mahasiswa Korea Selatan dan Jepang, cenderung untuk berkumpul dengan teman-teman senegaranya. Baik ketika mengerjakan tugas bersama di Perpustakaan Pusat, makan siang, maupun ketika break di tengah pelajaran. Peneliti berpendapat bahwa mungkin kebiasaan tersebut juga mereka lakukan dalam berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai mahasiswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Ward,dkk (2001) yang menyatakan bahwa secara umum orang akan cenderung untuk mencari, merasa lebih nyaman dengan, serta lebih memilih untuk bersama dengan orang yang lebih serupa dengan dia. Mahasiswa asing akan lebih memilih untuk mengkonsultasikan kesulitan akademisnya kepada temanteman senegaranya, yang berbicara dalam bahasa yang sama dengan dirinya, daripada berkonsultasi dengan pihak lain yang mengharuskan dirinya untuk berbicara dalam bahasa yang berbeda. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan rendahnya tingkat psychological distress dan sedikitnya kesulitan adjustment mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Partisipan penelitian ini merupakan mahasiswa asing yang terdiri dari mahasiswa program BIPA yang merupakan program pembelajaran kebudayaan dan bahasa Indonesia; serta mahasiswa program Kelas Khusus Internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Minat masyarakat Indonesia untuk mempelajari bahasa Inggris terus meningkat. Bahasa Inggris masih dipandang sebagai salah satu keterampilan yang harus dimiliki demi memiliki daya saing di dunia sekolah, kampus, dan juga di dunia karier (Rustam, 2012). Sehingga, jumlah orang yang dapat berbicara dalam bahasa Inggris juga semakin lama semakin meningkat. Lingkungan di sekitar partisipan, kampus Universitas Indonesia, merupakan lingkungan akademis dimana terdapat banyak orang-orang terpelajar yang mampu menggunakan bahasa Inggris dengan baik. Masyarakat Indonesia pun cenderung familiar dan terbuka terhadap budaya asing, sehingga dapat diasumsikan bahwa mahasiswa asing di UI tidak mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan kebutuhan akademis maupun kebutuhan sehari-harinya. Dengan kata lain proses adjustment yang lebih mudah. Selain kemampuan berbahasa, Poyrazli & Grahame (2007) menyebutkan bahwa salah satu kesulitan yang seringkali dihadapi oleh mahasiswa asing adalah menemukan dan mengerti sistem pendidikan di negara baru. Hal-hal seperti dalam berhubungan dengan karyawan universitas dan teman sekelas, berhubungan dengan gaya mengajar dan kurikulum yang berbeda, diskusi kelas dan harapan terhadap tugas, dikhawatirkan dapat mempengaruhi performa akademis mahasiswa asing di negara baru (Poyrazli & Grahame, 2007). Dari hasil penelitian, diketahui bahwa mahasiswa asing di UI tidak memiliki masalah adjustment to
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
college work. Jika dilihat dari asal negara mayoritas partisipan penelitian ini, yakni Korea Selatan dan Jepang, hal tersebut mungkin disebabkan oleh sistem pendidikan di negara asal mereka. yang memiliki beberapa persamaan dengan sistem pendidikan di Indonesia, misalnya dalam kuantitas materi pelajaran, durasi jam belajar di institusi pendidikan, jenis kurikulum, serta metode pengajaran. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tidak banyak adjustment yang dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan sistem pendidikan di Universitas Indonesia. Selain itu terdapat pula kemungkinan penyebab dari adanya keunggulan program nondegree. Mahasiswa asing dari program BIPA dapat memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang program yang lebih tinggi apabila terdapat hal yang tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Apabila mahasiswa mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru, mahasiswa tersebut disarankan untuk menyelesaikan program yang tengah diikuti terlebih dahulu dan kemudian dipersilakan untuk tidak melanjutkan ke program selanjutnya. Walaupun dapat berhenti sebelum menyelesaikan program pendidikan penuh, namun program non-degree memungkinkan mahasiswa asing untuk mendapatkan bukti sah, berupa sertifikat, sebagai tanda sudah menyelesaikan jenjang program tertentu. Fleksibilitas ini diasumsikan memiliki hubungan dengan rendahnya tingkat psychological distress pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Hal berbeda yang terkait dengan kehidupan akademis mahasiswa asing adalah tuntutan pendidikan yang dibebankan pada siswa-siswa di Korea Selatan dan Jepang. Tekanan terhadap keberhasilan di dunia pendidikan sangat besar dan berat. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh, semakin tinggi tuntutan serta tekanan yang mereka alami. Misalnya di Korea Selatan, menurut mantan Menteri Pendidikan Korea Selatan, Ahn Byongman, siswa di Korea Selatan menghabiskan waktu sebesar rata-rata 7.6 jam untuk belajar di dalam kelas (Lee, 2011). Untuk siswa SMA, rutinitas belajar mereka meliputi sesi belajar individu di sekolah, bimbingan belajar sesudah sekolah, dan belajar individu hingga tengah malam. Ketiga hal ini merupakan jam belajar rutin dan normal bagi siswa di Korea Selatan. Mendekati ujian masuk bersama ke perguruan tinggi, waktu belajar tersebut akan meningkat. Ujian tersebut, yang berdurasi selama delapan jam ini, akan menentukan universitas mana yang dapat mereka masuki. Banyak siswa kelas 3 SMA yang rela tidur hanya lima jam sehari selama setahun, demi belajar untuk menghadapi ujian tersebut. Tekanan ketika mengikuti ujian kelulusan begitu besar sehingga kasus siswa yang bunuh diri karena gagal dalam ujian merupakan hal yang kerap terjadi setiap tahun di masyarakat Korea maupun Jepang. Menurut South Korea Presidential Advisory Council on Education, Science and Technology (Lee, 2011), beban psikologis yang begitu tinggi menyebabkan siswa di Korea Selatan rentan terhadap tingkat bunuh diri tinggi. Statistik mencatat sebanyak lebih dari 200 siswa yang bunuh diri di tahun 2009, dan sekitar 150 siswa di tahun 2010. Waktu belajar program reguler di Universitas Indonesia umumnya memiliki persamaan dengan waktu belajar siswa SMA di Jepang dan Korea Selatan, yakni kurang lebih mulai pukul delapan pagi hari hingga pukul empat sore. Sementara jadwal belajar rutin program BIPA dimulai pukul sembilan pagi hingga pukul dua belas siang. Durasi waktu ini masih jauh lebih singkat jika dibandingkan dengan jam belajar yang biasa ditempuh siswa SMA di Korea Selatan dan Jepang. Tekanan belajar yang dimiliki oleh siswa di Indonesia tidak sebesar tekanan yang dialami di Korea Selatan. Melihat fakta di atas, wajar apabila mahasiswa asing Korea Selatan, yang merupakan mayoritas partisipan penelitian ini, tidak menemui masalah adjustment dengan sistem pendidikan yang berkaitan dengan jam belajar. Hal ini dikarenakan mereka sudah terbiasa dengan tekanan serta durasi belajar yang panjang. Selain dalam konteks akademis, dapat pula dilihat konteks non-‐akademis yang berhubungan dengan tingkat psychological distress dan masalah adjustment to college. Berdasarkan faktor lama tinggal, hasil dari penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa semakin lama mahasiswa asing tinggal di negara
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
yang baru maka semakin rendah psychological distress mereka. Hasil penelitian Sodowsky & Plake (1992) di Amerika, menemukan bahwa mahasiswa asing yang sudah tinggal di atas enam tahun di Amerika memiliki tingkat distress yang lebih rendah dibandingkan mahasiswa asing yang tinggal antara dua sampai empat tahun. Dalam kaitannya dengan aspek non-‐akademis, partisipan penelitian ini memiliki periode tinggal antara enam bulan sampai dua tahun di Indonesia, sehingga seharusnya mereka masih memiliki tingkat distress yang cukup tinggi. Namun, mahasiswa asing di Universitas Indonesia diasumsikan datang ke negara baru dengan pengetahuan spesifik kapan waktu mulai dan berakhirnya program pendidikan yang mereka ikuti di Indonesia. Sehingga mereka telah memperkirakan kapan mereka dapat kembali ke negara asal. Fakta tersebut diasumsikan berhubungan dengan rendahnya tingkat distress mahasiswa asing. Berdasarkan faktor cultural distance, Fritz, Chin, & DeMarinis (2008) menemukan bahwa individu tidak akan bereaksi sama terhadap semua bentuk budaya yang baru. Budaya yang berbeda membutuhkan proses adaptasi yang berbeda pula. Dapat dilihat di hasil demografis partisipan bahwa sebagian besar partisipan penelitian ini juga berasal dari wilayah regional Asia, sama dengan Indonesia. Fritz, dkk (2008) menyatakan bahwa semakin mirip budaya setempat dengan latar belakang budaya individu pendatang, proses adjustment yang dibutuhkan akan semakin mudah. Semakin mudah proses adjustment yang dialami oleh mahasiswa asing, semakin rendah tingkat psychological distress yang dialami. Hal ini juga didukung oleh Steele (2008) yang melakukan penelitian terhadap mahasiswa asing Cina di Singapura. Steele menemukan bahwa mahasiswa Cina yang belajar di Singapura tidak mengalami homesickness, loneliness, kecemasan, kurang dukungan sosial, juga tidak mengalami kesulitan dalam adjustment, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun yang berkaitan dengan budaya. Hal ini dikarenakan budaya dan bahasa pengantar yang digunakan di Singapura, hampir serupa dengan yang digunakan di Cina. Maka, Steele (2008) menyimpulkan bahwa semakin mirip budaya negara baru dengan negara asal mahasiswa asing, lebih mudah adjustment yang mereka alami. Adapun faktor cultural distance juga berkaitan dengan faktor dukungan sosial, terutama dukungan sosial dari lingkungan lokal di sekitar mahasiswa asing. Indonesia dapat dikatakan familiar dengan budaya Jepang dan Korea Selatan, hal ini dapat pula berlaku sebaliknya. Popularitas negara Korea Selatan meningkat drastis selama lima tahun belakangan, meningkatkan penggemar Korean pop (K-pop) di Indonesia. Di lingkungan Universitas Indonesia sendiri terdapat beberapa restoran yang khusus menyajikan makanan Korea. Restoran Jepang pun tidak sulit untuk ditemukan di kawasan Depok. UI juga memiliki Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk penggemar budaya Korea yang bernama Hangugo Dongari. Ada pula UKM untuk mahasiswa yang menggemari bentuk kesenian beladiri dari Jepang, seperti Aikido dan Kendo. Secara umum, warga Indonesia cenderung untuk terbuka terhadap budaya baru. Dilihat dari bukti-bukti di atas, dapat disimpulkan bahwa lingkungan sosial di sekitar mahasiswa asing UI mendukung kehadiran mahasiswa asing. Hal ini sesuai dengan kesimpulan dari Sumer, dkk (2008) yang mengatakan bahwa mahasiswa asing dengan tingkat dukungan sosial tinggi cenderung memiliki tingkat adjustment yang tinggi dan tingkat depresi yang lebih rendah. Stephan, dkk (1999) menyarankan bahwa kecemasan menurun seiring dengan tingkat pengenalan individu akan satu sama lain, dan ketika kecemasan menurun maka perilaku maladaptif yang kadang ditampilkan oleh kaum pendatang cenderung untuk tidak muncul (Hullet & Witte, 2001). Selain dari dukungan dari lingkungan masyarakat lokal, Kashima & Loh (2006) mengatakan jika mahasiswa asing membentuk pertemanan dengan sesama mahasiswa asing atau mahasiswa lokal, mereka akan cenderung untuk mengalami proses adjustment yang baik. Hasil penelitian Ye (2006) juga membuktikan bahwa mahasiswa asing
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
yang puas dengan jaringan dukungan sosialnya memiliki tingkat perasaan negatif yang lebih rendah. Sesuai dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, dilihat dari hasil penelitian yang membuktikan tingkat psychological distress yang rendah dan adjustment yang baik, maka dapat diasumsikan bahwa mahasiswa asing di Universitas Indonesia memiliki sumber dukungan sosial yang baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan tingkat psychological distress pada mahasiswa asing Universitas Indonesia, walaupun sumber serta bentuk dukungan sosial tersebut belum diketahui dengan pasti. Interaksi sosial dengan individu dari latar belakang budaya yang serupa dapat memfasilitasi adjustment mahasiswa asing dengan cara tetap menjaga hubungan dengan nilai budaya asal mereka (Yeh & Inose, 2003; Misra dkk., 2003). Sarafino (2002) menyatakan bahwa jaringan sosial yang dimiliki individu satu dengan yang lain dapat saja berbeda-beda, tergantung dari frekuensi pertemuan, dan kedekatan hubungan tersebut. Dukungan sosial dapat bersumber dari keluarga, teman, pasangan/suami/istri, dan masih banyak lagi (Sarafino, 2002). Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga dan pasangan, yang memiliki latar belakang budaya yang sama dengan mahasiswa asing, bukan satu-satunya sumber utama dukungan sosial mahasiswa asing. Sumber dukungan sosial yang dimiliki mahasiswa asing di Universitas Indonesia juga dapat berasal dari teman-teman jurusan program studi yang memiliki kewarganegaraan berbeda. Selain keempat faktor yang berhubungan dengan tingkat psychological distress dan adjustment secara umum, terdapat faktor-faktor lain yang berhubungan dengan adjustment to college mahasiswa asing. Penelitian Stoever (2001) menemukan bahwa adjustment to college merupakan fenomena multideterminasi yang berhubungan dengan tiga faktor berbeda, antara lain: faktor akademis (misalnya prestasi di masa SMA); faktor sosial (misalnya strategi social coping); dan faktor individual (misalnya locus of control dan optimisme). Dari faktor akademis seperti prestasi di masa SMA, Stoever (2001) menemukan bahwa mahasiswa yang berprestasi di masa SMA lebih mampu mengatasi tuntutan akademis di perkuliahan, dikarenakan bentuk tugas-‐tugas akademis di perkuliahan yang hampir serupa dengan tugas di masa sekolah (misalnya mencatat dan mengikuti ujian). Dari faktor individual, locus of control berhubungan signifikan dengan penyesuaian akademis. Mahasiswa yang yakin bahwa mereka dapat mengontrol performa akademis mereka (internal locus of control) memiliki tingkat adjustment yang lebih baik. Faktor individual juga berkaitan dengan faktor sosial, dikarenakan mahasiswa dengan internal locus of control terbukti memiliki social adjustment yang lebih baik. Mahasiswa yang lebih optimis, akan cenderung untuk mencari dukungan sosial dan menolak untuk menghindari masalah sehingga lebih sukses dalam membina hubungan interpersonal di perguruan tinggi. Peneliti berpendapat bahwa faktor individual dari Stoever juga berkaitan dengan tugas perkembangan individu. Menurut Arnett (2007), individu yang berada di usia antara 20-30 tahun memiliki karakteristik self-focused dan age possibilities. Karakteristik ini merupakan kondisi dimana individu merasa independen dengan pilihan serta perubahan hidup yang mengarahkan dirinya pada masa depan yang dia inginkan. Ditambah dengan uraian Papalia (2008) yang menjelaskan mengenai perkembangan kognitif di masa young adulthood, dimana individu di masa ini lebih terbuka dengan ide-ide baru yang disediakan oleh lingkungan akademis yang berbeda. Dari kedua ciri perkembangan tersebut, dapat dikatakan bahwa mahasiswa asing di UI, yang mayoritas berusia 20-‐40 tahun, kemungkinan sudah menyadari resiko serta kesulitan yang mungkin mereka hadapi di Indonesia. Namun mereka juga sudah memahami seberapa kapasitas diri mereka dalam menyesuaikan diri di lingkungan baru. Sehingga apabila mereka bersedia datang ke Indonesia, diasumsikan bahwa sedikit banyak mereka sudah mengetahui bagaimana cara mengatasi masalah
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
adjustment yang mungkin mereka temui di Indonesia. Mereka juga mungkin menyadari hal yang sama dengan Montgomery & Cote (2003, dalam Papalia 2008) yakni bahwa proses perkuliahan dan perubahan lingkungan akademis di negara baru dapat menawarkan berbagai keuntungan kepada mereka. Papalia (2008) menyebutkan bahwa mahasiswa dengan tingkat adaptasi dan kemampuan problem-‐solving yang baik, actively engaged dengan kegiatan dan lingkungan akademis, terbukti mampu menyesuaikan diri dengan baik dalam kehidupan perkuliahan. Jika dibandingkan dengan keempat faktor yang berhubungan dengan psychological distress dan adjustment secara umum pada penjelasan sebelumnya, faktor sosial merupakan faktor yang selalu ditemukan berhubungan dengan adjustment mahasiswa asing. Maka, dapat diasumsikan bahwa faktor sosial (non-akademis) merupakan kunci kesuksesan adjustment pada mahasiswa. Terkait dengan hasil penelitian ini, Peneliti berpendapat apabila faktorfaktor di atas ditambahkan sebagai faktor pendukung adjustment to college pada mahasiswa asing, maka akan diperoleh penjelasan yang lebih luas mengenai faktor yang berhubungan dengan psychological distress pada mahasiswa asing di UI. Di samping faktor-faktor yang berhubungan dengan psychological distress dan adjustment to college pada mahasiswa asing, diketahui bahwa terdapat dua jenis adjustment yang umum dihadapi oleh mahasiswa asing. Diketahui bahwa adjustment pada mahasiswa terbagai dalam aspek akademis dan non akademis. Penyesuaian akademis meliputi kemahiran berbahasa lokal, pemahaman sistem pendidikan baru dan strategi belajar efektif. Al-Sharideh & Goe (1998) menambahkan bahwa penyesuaian akademis merujuk pada masalah spesifik yang dialami dalam konteks akademis dan strategi yang mereka gunakan untuk mengatasi stress yang berhubungan dengan sistem akademis yang berbeda. Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini mahasiswa asing di Universitas Indonesia tidak mengalami kesulitan dalam masalah penyesuaian akademis. Hal ini disertai dengan asumsi bahwa mereka tidak bermasalah dengan penyesuaian budaya, dukungan sosial, kemampuan berbahasa, motivasi internal (locus of control dan optimisme), serta dalam hal akademis menyangkut materi, waktu belajar, dan strategi belajar efektif. Namun, hasil analisis tambahan penelitian menunjukkan bahwa psychological distress mahasiswa asing di UI berhubungan signifikan dengan kecemasan dalam menghadapi ujian dan kemungkinan gagal di perguruan tinggi. Berdasarkan karakteristik penyesuaian akademis menurut kesimpulan Tseng & Newton (2002), dapat dikatakan bahwa hal tersebut dikarenakan mereka belum benar-benar memahami tentang sistem pendidikan di Indonesia. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa mereka tidak memiliki masalah akademis yang terkait dengan materi, waktu belajar, dan strategi belajar efektif. Kecemasan mereka mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan dalam standar penilaian atau evaluasi belajar, serta ekspektasi pengajar terhadap tugas yang dibebankan. Dikarenakan mereka kurang memahami standar penilaian serta ekspektasi para pengajar terhadap tugas mereka, maka mereka menjadi cemas akan adanya kemungkinan gagal dalam memperoleh nilai yang memuaskan dan tidak lulus. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini erat kaitannya dengan jumlah partisipan yang tidak merata. Partisipan mayoritas berasal dari Korea Selatan dan Jepang, yang memiliki beberapa persamaan dengan budaya Indonesia, sehingga tidak diperlukan banyak penyesuaian diri. Selain dari karakteristik partisipan, hasil penelitian juga erat kaitannya dengan jumlah partisipan. Jumlah partisipan dalam penelitian ini sudah memenuhi syarat penghitungan statistik, namun jumlah partisipan yang lebih besar akan lebih menunjukkan hubungan yang lebih kuat dan diperoleh gambaran korelasi yang lebih luas dan signifikan. 6.
Tinjauan Pustaka
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
Al-Qaisy, L.M. (2010). Adjustment of college freshmen: the importance of gender and the place of residence. International Journal of Psychological Studies. 2 (1). Anglin, D. M., & Wade, J. C. (2007) Racial socialization, racial identity, and black students’ adjustment to college. Journal Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology. 13(3). 207– 215 Antonio, A.L., Chang, M.J., Hakuta, K., Kenny, D.A., Levin, S., & Milem, J.F. (2004). Effects of racial diversity on complex thinking in college students. Psychological Science, 15(8), 507-510 Arnett, J.J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist, 55(5), 469-480 Arnett, J.J. (2007). Emerging adulthood: What is it and what is good for?. Journal compilation Society for Research in Child Development, 1(2), 68-73. Multimedia University Demographics : MMU student population as at 31 Dec 2012. Artikel diunduh pada tanggal 16 Mei 2013 dari http://www.mmu.edu.my/index.php?req=28 Babiker, I. E., J. L. Cox, and P. M. Miller. (1980). The measurement of cultural distance and its relationship to medical consultations, symptomatology and examination performance of overseas students at Edinburgh University. Social Psychiatry 15, 109-116. Bastien, G (2011). Searching for success: Predictors of academic adjustment of international students. The University of Mississippi. Tesis. Brackney, B., & Karabenick, S. (1995). Psychopathology and academic performance: The role of motivation and learning strategies. Journal of Counseling Psychology, 42(4), 456–465 Cetinkaya-Yildiz, E., Cakir, S.G, Kondakci, Y. (2011). Psychological distress among international students in Turkey. International Journal of Intercultural Relations, 35, 534-539. Constantine, Madonna G., Sumie Okazaki and Shawn O. Utsey. (2004). Self concealment, social self-efficacy, acculturative stress, and depression in African, Asian, and Latin American international college students. American Journal of Orthopsychiatry, 74(3), 230-241. Copeland, A.P., & Norell, S.K. (2002). Spousal adjustment on international assignments: the role of social support. International Journal of Intercultural Relations, 26 (3), 255-272. Davis, D.L (2011). Gambaran masalah penyesuaian diri pada mahasiswa tahun pertama UI. Universitas Indonesia. Skripsi. Dyrbye, L. N., Thomas, M. R., & Shanafelt, T. D. (2006). Systematic review of depression, anxiety, and other indicators of psychological distress among U.S and Canadian medical students. Academic Medicine, 81, 354-373. Fritz, M.V., Chin, D., & DeMarinis, V. (2008). Stressors, anxiety, acculturation and adjustment among international and North American students. International Journal of Intercultural Relations, 32, 244–259. Grayson, J., P. (2003). The consequences of early adjustment to university. Netherlands: Kluwer Academic Publishers, 46, 411-429 Golde, C. (2000). Should I stay or should I go? Student descriptions of the doctoral attrition process. The Review of Higher Education, 23, 199-227. Gravetter, F.J., & Forzano, L.B. (2009). Research Methods for the Behavioral Sciences. (3rd ed). USA: Wadsworth Cengage Learning Huebner, E. S., Suldo, S. M., Smith, L. C., & McKnight, C. G. (2004). Life satisfaction in children and youth: Empirical foundations and implications for school psychologists. Psychology in the Schools, 41, 81–93.
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
Hullett, C. R., & Witte, K. (2001). Predicting intercultural adaptation and isolation: Using the extended parallel process model to test anxiety/ uncertainty management theory. International Journal of Intercultural Relations, 25, 125–139. Inman, A.G., Ladany, N., Constantine, M.G., & Morano, C.K. (2001). Development and preliminary validation of the Cultural Values Conflict Scale for South Asian Women. Journal of Counseling Psychology, 48, 17-27 Kaaya, S. F., Fawzi, M. C. S., Mbwambo J. K, Lee B., Msamanga G. I., Fawzi W. (2002). Validity of the Hopkins Symptom Checklist-25 amongst HIV positive pregnant women in Tanzania. Acta Psychiatr Scand, 106, 9–19 Katkovsky, W. & Gorlow, L. (1976). The Psychological of Adjustment: Current Concept & Application (3rd ed.). New York: McGraw-Hill Inc. Kashima, E. S., & Loh, E. (2006). International students’ acculturation: Effects of international, conational, and local ties and need for closure. International Journal of Intercultural Relations, 30(4), 471–485. Science Direct. Kitzrow, M. A. (2003). The Mental Health Need of Today’s College Students: challenges and recomendation. NASPA Journal,. 41(1), 167-181. Kumar, R. (2005). Research methodology (2nd ed.). Sage Publications Ltd. London. Lazarus, R. S. (1976). Pattern of adjustment (3rd ed.). McGraw-Hill, Inc. Lee, J.Y. (2011). South Korean students' 'year of hell' culminates with exams day. Artikel diunduh pada tanggal 16 Mei 2013 dari http://edition.cnn.com/2011/11/10/world/asia/south-korea-exams Maishella, P (2011). Masalah adjustment to college work dan faktor prediktor psychological distress pada mahasiswa tahun kedua di Universitas Indonesia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi. Matthews, G. (2000). Distress. Fink (ed) in Encyclopedia of stress. Volume 1 (A-D). New York: Academic Press Mirowsky, J & Ross, C.E (2003). Social causes of psychological distress (2nd ed.). New York: Walter de Gruyter, Inc. Misra, R., Castillo, L. G. (2004). Academic stress among college students: comparison of American and international students. International journal of sress management, 11(2), 132-148. Misra, R., Crist, M., & Burant, C. J. (2003). Relationships among life stress, social support, academic stressors, and reactions to stressors of international students in the United States. International Journal of Stress Management, 10(2), 137-157. Misra R, McKean M. (2000) College Students’ Academic Stress and its Relation to Anxiety, Time Management, and Leisure Satisfaction, American Journal of Health Studies, 16 (1), 41-51. Mirowsky, J & Ross, C.E. (2003). Social Causes of Psychological distress. New York: Aldine de Gruyter. Mooney, R.L. & Gordon, L.V. (1978). Mooney problem check-list. United Stated of America: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Mori, S. (2000). Addressing the mental health concerns of international students. Journal of Counseling & Development, 78(2), 137–145. Olivas, M. & Li, C. (2006). Understanding stressors of international students in higher education: What college counselors and personnel need to know. Journal of Instructional Psychology, 33(3), 217-212. Pengantar program Internasional Universitas Indonesia. Diunduh pada tanggal 21 Maret 2013 dari www.ui.ac.id/international/page/pengantar Peraturan Menteri nomor 25 tahun 2007. Diunduh pada tanggal 4 Maret 2013 dari http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/Mendiknas_25_2007.pdf
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
Pallant, J. (2011). SPSS Survival Manual: A step by step guide to data analysis using SPSS (4th ed). Allen & Unwin. Australia. Poyrazli, S., Arbona, C., Bullington, R., & Pisecco, S. (2001). Adjustment issues of Turkish college students studying in the United States. College Student Journal, 35(1), 52-62. Poyrazli S., Arbona, C., Amaury, N., McPherson, R. & Pisecco, S. (2002). Relation between assertiveness, academic self efficacy, and psychosocial adjustment among international graduate students. Journal of College Student Development, 43, 632-642. Poyrazli, S., Grahame, K.M. (2007). Barriers to adjustment: Needs of international students within a semi-urban campus community. Journal of Instructional Psychology, 34(1), 2845. Puspitorini, Dwi. Ketua Program BIPA FIB UI (2013, Juni 20). Wawancara pribadi. Ramsay, S., Jones, E., & Barker, M. (2007). Relationship between adjustment and support types: Young and matured-aged local and international first year university students. Higher Education, 54, 247-265. Rickwood, D., Deane, F. P., Wilson, C. J., dan Ciarrochi, J. (2005). Young people’s helpseeking for mental health problems. Australian e-Journal for the Advancement of Mental Health, 4(3). Ross, S.E., Niebling, B.C., & Heckert, T.M. (1999). Sources of stress among college students. College Student Journal, 33 (2), p.312. Rustam, D. (2012). Minat belajar bahasa Inggris di Indonesia meningkat. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2013 dari http://www.dikti.go.id/?p=5627&lang=id Sarafino, E.P., Smith, T.W. (2002). Health Psychology. Biopsychosocial Interactions. (7th ed). John Wiley & Sons. Inc. USA Sarwono, S.W. (1978). Teknologi pembinaan mahasiswa kumpulan karya tulis, proyek pembinaan mahasiswa, Direktorat Kemahasiswaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Selye, H. (1978). The stress of life (revised edition). McGraw-Hill, Inc. United States of America Smith, R. A., Khawaja, N.G (2011). A review of the acculturation experiences of international students. International Journal of Intercultural Relations, 35, 699– 713. Sodowsky, G. R., & Lai, E. W. M. (1997). Asian immigrant variables and structural models of cross-cultural distress. In A. Booth (Ed.), International migration and family change: The experience of U.S. immigrants (pp. 211–237). Mahwah, NJ: Erlbaum. Sodowsky, G. R., & Plake, B. S. (1992). A study of acculturation differences among international people and suggestions for sensitivity to within-group differences. Journal of Counseling and Development, 71, 53–59. Stallman, H.M. (2008). Prevalence of psychological distress in university students, implication for service delivery. Australian Family Physician, Vol 37 (8), 673-677 Steele, K. D (2008). Perceptions of Chinese international students in Singapore: adjustment issues and support. University of Toronto. Tesis. Stephan, W. G., Stephan, C. W., & Gudykunst, W. B. (1999). Anxiety in intergroup relations: A comparison of anxiety/uncertainty management theory and integrated threat theory. International Journal of Intercultural Relations, 23(4), 613–628. Stoever, S. (2001). Multiple predictors of college adjustment and academic performance for undergraduates in their first semester. University of North Texas. Disertasi Sumer, S., Poyrazli, S., & Grahame, K. (2008). Predictors of depression and anxiety among international students. Journal of counseling and development, 86(4), 429 Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia nomor 547/SK/R/UI/2005. Pedoman penyelenggaraan program pendidikan Kelas Khusus Internasional di Universitas Indonesia. Diunduh pada tanggal 10 Mei 2013 dari
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/6/1d087cd25e7fe3eb6a14e2616ec01e576fd145 e2.pdf Trice, A. G. (2004). Mixing it up: International graduate students' social interactions with American students. Journal of College Student Development, 45(6), 671-687 Tseng, W.C. & Newton, F.B. (2002). International students’ Strategies for Well-Being. College Student Journal, 36 (4) Turner, C. E. (1967). Personal and Community Health. (13th ed). USA : The C.V. Mosby Company Turnip, S. S., & Hauff, E. (2007). Household roles, poverty, and psychological distress in internally displaced persons affected by violent conflicts in Indonesia. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 42, 997-1004 Undang-Undang Republik Indonesia Pendidikan Tinggi nomor 12 tahun 2012. Diunduh pada tanggal 28 Mei 2013 dari http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/sites/default/files/UUPT12-thn-2012.pdf Undang-undang pendidikan Tinggi No. 22 Tahun 1961. Diunduh pada tanggal 4 Maret 2013 dari http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/Mendiknas_25_2007.pdf Universitas Indonesia. (2006). Himpunan peraturan akademik universitas indonesia. Depok: UI Press University of Indonesia rankings: Asian University Rankings 2012. Diunduh pada tanggal 21 Maret 2013. http://www.topuniversities.com/node/2592/ranking-details/asian-universityrankings/2012 Utama, B. (2010). Kesehatan Mental dan Masalah-Masalah Pada Mahasiswa S1. Depok: Universitas Indonesia. Skripsi. Virdhani, M.H. (2012). News Kampus: Ratusan mahasiswa asing ajukan izin tinggal di Depok. Artikel diunduh pada tanggal 21 Maret 2013 dari http://kampus.okezone.com/read/2012/07/31/373/670934/ratusan-mahasiswa-asingajukan-izin-tinggal-di-depok Ward, C., Bochner, S., & Furnham, A. (2001). The psychology of culture shock (2nd ed.). Philadelphia PA: Taylor and Francis Inc Ward, C. & Searle, W. (1991). The impact of value discrepancies and cultural identity on psychological and socio-cultural adjustment of sojourners. International Journal of Intercultural Relations, 15, 209-225. Wilton, L., Constantine, M.G (2003). Length of Residence, Cultural Adjustment Difficulties, and Psychological Distress Symptoms in Asian and Latin American International College Students. Journal of College Counseling. ProQuest Psychology Journals, 177. Ye, J. (2006). An examination of acculturative stress, interpersonal social support, and use of online ethnic social groups among Chinese international students. Howard Journal of Communication, 17(1), 1–20. Yeh, C. J., & Inose, M. (2003). International students' reported English fluency, social support satisfaction, and social connectedness as predictors of acculturative stress. Counselling Psychology Quarterly, 16, 15-28. Zhang, N. & Dixon, D. N. (2003). Acculturation and attitudes of Asian international students toward seeking psychological help. Journal of Multicultural Counseling and Development, 31, 205-221.
HUbungan antara..., Bianca Marella, FSI-UI, 2013