Hubungan antara Pola Asuh Orang tua dengan Motivasi Berprestasi pada Mahasiswa Sulung di Universitas Indonesia dengan Batasan Usia Remaja Nabela Sinatryani, Adhityawarman Menaldi, Pratiwi Widyasari 1. 2.
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa sulung di Universitas Indonesia dengan batasan usia remaja. Variabel pola asuh orangtua diukur dengan menggunakan kuesioner Parental Authority Questionnaire (PAQ) dan motivasi berprestasi diukur dengan Achievement Motives Scale Revised (AMS-R). Responden pada penelitian ini adalah 243 mahasiswa Universitas Indonesia. Dengan menggunakan One-way Analysis of Variance (ANOVA), hasil korelasi menunjukkan bahwa pola asuh orang tua memiliki hubungan dengan hope of success dalam motivasi berprestasi yakni, ayah sebesar F(242)=7.042, p=0.001 dan ibu sebesar F(242)=14.138, p=0.000. Kemudian pola asuh orang tua juga memiliki hubungan dengan fear of failure dalam motivasi berprestasi yakni, ayah sebesar F(242)= 12.465, p=0.001 dan ibu sebesar F(242)=15.886, p=0.000. Pola asuh orang tua secara otoritatif membuat remaja memiliki hope of success dalam motivasi berprestasi dan pola asuh secara otoriter membuat remaja memiliki fear of failure dalam motivasi berprestasi.
The Correlation between Parenting Style and Achievement Motivation for Firstborn Adolescent Student in University of Indonesia Abstract This quantitative research aim for the relationship between parenting style and achievement motivation among firstborn adolescent student in University of Indonesia. Using questionnaire as a instrument, Parental Authority Questionnaire was use to measure parenting style, and Achievement Motives Scale Revised was use to measure achievement motivation. 243 adolescents were asked to complete the questionnaires. Using One-way Analysis of Variance (ANOVA), parenting style has been found significance with hope of success dimension in achievement motivation, for father F(242)=7.042, p=0.001 and mother F(242)=14.138, p=0.000. This research also shows significance result between parenting style and fear of failure dimension in achievement motivation, for father F(242)= 12.465, p=0.001 and mother F(242)=15.886, p=0.000. Authoritative parenting style make adolescent have hope of success in achievement motivation and authotitarian parenting style make them have fear of failure in achievement motivation. Keywords: parenting style, achievement motivation, birth order, first-born child, McClelland, Adler.
Pendahuluan Selama hidupnya, manusia melalui beberapa tahapan perkembangan. Salah satu tahapan yang dilaluinya ialah tahapan remaja. Berdasarkan fase perkembangan manusia, remaja berada
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
pada periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan yang meliputi perubahan mendasar dalam aspek biologis, kognitif, dan psikososial (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Ketiga aspek perubahan dasar tersebut (biologis, kognitif dan psikososial) terjadi secara universal. Akan tetapi, dampak psikologis yang ditimbulkan pada tiap individu dapat berbeda-beda. Salah satu penyebab dari kondisi tersebut disebabkan oleh hasil interaksi antara ketiga aspek perubahan dasar tersebut dengan lingkungan. Pernyataan tersebut sejalan dengan teori ekologi yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1981 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) yang mementingkan faktor lingkungan terhadap perilaku remaja. Ia menekankan keberadaan significant others dalam keluarga sebagai elemen dari lingkungan pertama yang paling berpengaruh dalam membentuk perilaku remaja. Bronfenbrenner (1981 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009), telah menyebutkan bahwa perilaku remaja dapat dibentuk melalui interaksi individu dengan lingkungan, dimana salah satu perilaku tersebut juga dapat muncul dalam bidang pendidikan atau akademik. Significant others, lebih khususnya orang tua dapat mendukung kegiatan belajar remaja dengan cara memberikan nasihat pembelajaran, menunjukkan rasa ketertarikan dalam proses pembelajaran, dan memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas sekolah (Plunkett & Bamaca-Gomez, 2003 dalam Rachim, 2008). Berdasarkan tahap perkembangan manusia, setiap tahapan perkembangan individu tentunya memiliki tugas-tugas yang berbeda. Pada umumnya remaja memiliki tugas untuk menjalani pendidikan. Mengingat pentingnya akan keberhasilan dan pentingnya pendidikan di Indonesia, setiap individu dituntut untuk memperoleh berprestasi akademik yang baik. Sari dan Zulkaida (2012) mengatakan bahwa kebutuhan berprestasi merupakan salah satu motif yang berperan penting pada masa remaja. Hal itu karena, kebutuhan berprestasi yang tinggi akan mendorong remaja untuk berfokus pada pencapaian prestasi. Salah satu keberhasilan individu dalam pendidikan ditunjukkan dengan adanya pencapaian prestasi akademiknya. Namun, pada kenyataannya kini tuntutan prestasi akademik pada siswa semakin tinggi, sementara motivasi siswa itu sendiri masih kurang optimal (Sugiyanto, 2006). Hal inilah yang menjadi salah satu faktor menurunnya tingkat keberhasilan siswa dalam berprestasi. Terdapat berbagai institusi pendidikan yang menyediakan tempat agar remaja dapat mengemban ilmu di dunia pendidikan, khususnya pada dunia perkuliahan. Salah satu institusi pendidikan yang menjadi fokus utama pada penelitian ini adalah Universitas Indonesia.
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
Universitas Indonesia merupakan salah satu universitas favorit di Indonesia, sehingga untuk dapat diterima berkuliah, mahasiswa harus melewati persaingan yang ketat. Berdasarkan perolehan data dari website UI (www.ui.ac.id) ditemukan bahwa pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 jumlah pendaftar mengalami kenaikan sedangkan jumlah penerimaan semakin sedikit, sehingga untuk dapat diterima sebagai Mahasiswa Universitas Indonesia diperlukan jiwa kompetisi dan motivasi berprestasi yang tinggi dalam bersaing. Motivasi berprestasi tidak hanya diperlukan ketika persaingan penerimaan masuk. Telah diketahui bahwa Universitas Indonesia juga memiliki standar nilai dan prestasi yang tinggi, sehingga mahasiswa juga memerlukan motivasi berprestasi yang tinggi selama menjalani kehidupan perkuliahan untuk mendapatkan prestasi yang tinggi. Sugiyanto (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dan prestasi akademik. Dalam artian, individu yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah akan memperoleh prestasi akademik yang rendah pula. Padahal dengan memiliki hasil prestasi akademik yang rendah akan memengaruhi buruknya tingkatan atau jenjang akademiknya di masa mendatang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh McCormik dan Carrol (2003) pada mahasiswa Universitas Saint Louis juga menunjukkan bahwa rata-rata 30% dari jumlah mahasiswa tingkat pertama yang gagal akan mengalami kegagalan untuk menjalani tingkat berikutnya. Selain itu, 50% dari jumlah mahasiswa yang gagal akan mengalami kegagalan untuk menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dalam jangka waktu lima tahun. Hal tersebut dapat terjadi karena rendahnya motivasi berprestasi pada siswa. Atkinson (1964) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai keinginan atau dorongan untuk bertindak karena adanya harapan untuk mendapatkan tujuan bernilai berdasarkan batasan, yang di dalam prosesnya dapat terjadi tindakan mencapai keberhasilan (motive of success) atau tindakan menghindari kegagalan (avoid of failure). Sejalan dengan konsep motivasi yang dikemukakan oleh Atkinson tersebut, Lang dan Fries (2006) menyebutkan istilah yang berbeda dari motive of success dan avoid of failure. Mereka menjelaskan bahwa terdapat dua dimensi dalam motivasi berprestasi, yaitu dorongan untuk mendekat yang disebut harapan untuk sukses atau Hope of Success (HS) dan dorongan untuk menolak yang disebut dengan ketakutan dengan kegagalan atau Fear of Failure (FF). Maka dari itu, untuk melihat motivasi berprestasi seseorang dapat diukur melalui dua dimensi, yakni hope of success dan fear of failure.
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
Pencapaian motivasi berprestasi seseorang dapat dipengaruhi oleh lingkungan rumah atau keluarga, sekolah, guru, dan teman sebaya (Schunk, Pintrich, & Meece, 2007). Akan tetapi, diantara aspek-aspek tersebut lingkungan rumah merupakan faktor penentu utama bagi motivasi berprestasi pada remaja (Coleman, 1990, dalam Idrus, 2004). Hal tersebut disebabkan karena sepanjang hidupnya seseorang lebih banyak menghabiskan waktu dengan anggota keluarganya yang dapat memengaruhi segala aspek kehidupannya termasuk motivasi berprestasi (Leman, 2009 dalam Murphy, 2012). Secara umum telah diketahui bahwa faktor keluarga sangat lekat dengan keterkaitannya dalam penerapan pola asuh orang tua pada anak. Pola asuh orang tua merupakan aktivitas kompleks yang mencakup perilaku khusus dari orang tua, baik secara individu maupun bersamasama dalam mengasuh dan memengaruhi pencapaian anak, yakni ibu maupun ayah. Baumrind (1991 dalam Darling, 1999) menjelaskan bahwa terdapat tiga tipe pola asuh, yaitu (1) pola asuh permisif (2) Pola asuh otoriter, dan (3) pola asuh otoritatif. Dalam memotivasi anak belajar, orang tua memiliki perbedaan cara sesuai dengan kepribadian masing-masing anak. Orang tua dapat memperlakukan dan merespon anaknya dengan cara yang berbeda berdasarkan urutan kelahiran mereka (Srivastava, 2011). Anak yang berada pada urutan kelahiran yang berbeda memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda pula (Murphy, 2012). Teori urutan kelahiran menyatakan bahwa posisi seseorang dalam keluarga mereka memengaruhi perilaku mereka baik di rumah maupun di sekolah (Dreikurs, 1958 dalam Murphy, 2012). Menurut Adler, seorang tokoh psikologi kepribadian dengan pendekatan sosial, terdapat empat tipe anak berdasarkan urutan kelahiran, yaitu anak sulung, anak tengah, anak bungsu dan anak tunggal dimana urutan kelahiran dapat dilihat menjadi dua sudut pandang, yaitu ordinal dan psikologis. Urutan kelahiran ordinal adalah urutan kelahiran yang dilihat berdasarkan urutan anak lahir di dunia dalam suatu keluarga. Sedangkan, urutan kelahiran psikologis adalah urutan kelahiran yang dilihat berdasarkan persepsi anak dalam memandang dirinya atau mempresentasikan dirinya dalam struktur keluarga (Adler, 1938; Leman, 1998; Orgler, 1963; Shulman & Mosa, 1997 dalam Griffin 2001). Dalam penelitian ini, salah satu kriteria yang menjadi sampel penelitian ialah anak sulung. Alasan peneliti memilih subjek anak sulung disebabkan adanya karakteristik anak sulung yang sangat berorientasi pada akademik dan memiliki prestasi akademik yang tinggi/high academic achiever. (Sulloway, 1996 dalam Eckstein dkk, 2010). Anak sulung juga memiliki rasa tanggung
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
jawab yang besar dan cenderung lebih memperhatikan prestasi akademis dibandingkan saudaranya yang lain. Bahkan kerap kali ia berperan sebagai mentor atau tutor untuk mengajari dan mengasuh adik-adiknya (Kluger, 2011 dalam Murphy, 2012). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Snell, Hargrove dan Falbo (1986 dalam Maus, 2013) juga ditemukan bahwa anak sulung dan anak tunggal memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dibandingkan dengan anak yang lahir di urutan kelahiran berikutnya dalam aspek kompetitif. Selain dari karakteristik anak sulung itu sendiri, terdapat beberapa respon dan sikap orang tua dalam memperlakukan anak sulung. Ketika anak pertama atau anak sulung telah lahir, biasanya orang tua bahkan keluarga besar akan sangat tertarik dengan keberadaan anak tersebut. Akan tetapi di sisi lain, orang tua juga memiliki harapan yang besar akan keberhasilan anak pertamanya. Orang tua cenderung mengharapkan anak sulung untuk dapat mencapai suatu tujuan atau mimpi yang telah diidamkan oleh kedua orang tuanya (Murphy, 2012). Orangtua memberikan tekanan yang lebih dalam hal berprestasi, tanggung jawab dan banyak terlibat dalam aktivitas anak sulungnya (Rothbart, dalam Santrock 2009). Tuntutan orang tua dan standar tinggi yang diberikan pada anak sulung berdampak pada baiknya pencapaian akademis dan profesional, tetapi hal tersebut dapat menimbulkan rasa bersalah, kecemasan, dan kesulitan dalam menghadapai tekanan yang lebih besar (Santrock, 2009). Sikap orang tua agar tetap dapat mewujudkan tuntutan dan harapan mereka dapat tercermin dari pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya (Baumrind, 1991 dalam Darling, 1999). Dengan adanya perbedaan cara penerapan pola asuh oleh orang tua tentunya juga dapat memengaruhi dampak perbedaan motivasi berprestasi pula. Orang tua yang memberikan reward atas keberhasilan yang telah dicapai anaknya, tidak terlalu mengkritik dan memberikan hukuman ketika anak mengalami suatu kegagalan dapat menciptakan motivasi berprestasi yang tinggi (Shaffer, 2001). Sedangkan, orang tua yang bersikap acuh dan memberikan hukuman ketika anak mengalami kegagalan dapat menciptakan motivasi berprestasi yang rendah (Shaffer, 2001). Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah dipaparkan, peneliti merasa tertarik melihat hubungan antara pola asuh dan motivasi berprestasi pada remaja sulung karena pola asuh merupakan salah satu faktor penting dalam motivasi berprestasi. Orang tua yang menerapkan pola asuh yang berbeda dalam keluarga dapat menghasilkan motivasi berprestasi pada anak yang berbeda pula. Khususnya, motivasi berprestasi merupakan hal yang penting pada masa remaja
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
karena motivasi berprestasi memiliki dampak pada prestasi akademik yang dapat berpengaruh terhadap jenjang pendidikan remaja selanjutnya. Selain itu, peneliti juga menemukan sikap orang tua yang berbeda dalam memperlakukan anak yang lahir dengan urutan kelahiran sulung. Orang tua memiliki tuntutan tinggi pada anak sulung dalam berbagai hal, salah satunya dalam bidang akademik. Sikap orang tua dalam mewujudkan tuntutannya dapat tercermin melalui pola asuh yang diterapkan pada anak sulung dimana karakteristik anak sulung itu sendiri tergolong ke dalam high academic achiever dan memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. Meskipun anak sulung memang telah dipandang memiliki motivasi prestasi yang tinggi, hingga kini peneliti belum menemukan penelitian yang membahas motivasi berprestasi pada masing-masing dimensi, yakni hope of success dan fear of failure. Dengan membahas motivasi berprestasi dari kedua dimensi tersebut, peneliti dapat melihat kecenderungan seseorang yang membuat mereka termotivasi dalam berprestasi, yaitu apakah seseorang termotivasi dalam berprestasi karena dorongan ingin meraih kesuksesan atau karena ketakukan akan kegagalan. Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan latar belakang dan keterkaitan antar variabel, masalah dalam penelitian ini adalah (a) Apakah terdapat hubungan pola asuh ibu secara otoriter, permisif, dan otoritatif dengan hope of success pada remaja dengan urutan kelahiran sulung di Universitas Indonesia? (b) Apakah terdapat hubungan pola asuh ibu secara otoriter, permisif, dan otoritatif dengan fear of failure pada remaja dengan urutan kelahiran sulung di Universitas Indonesia? (c) Apakah terdapat hubungan pola asuh ayah secara otoriter, permisif, dan otoritatif dengan hope of success pada remaja dengan urutan kelahiran sulung di Universitas Indonesia? (d) Apakah terdapat hubungan pola asuh ayah secara otoriter, permisif, dan otoritatif dengan fear of failure pada remaja dengan urutan kelahiran sulung di Universitas Indonesia? Selain itu peneliti ini juga bertujuan mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter, permisif, dan otoritatif denga ndimensi hope of success dan fear of failure dalam motivasi berprestasi pada remaja dengan urutan kelahiran sulung di Universitas Indonesia.
Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa dasar teori untuk menjelaskan variabel-variablel yang diukur dan karakteristik dari sampel penelitian, yaitu pola asuh orang tua, motivasi berprestasi, remaja dan urutan kelahiran, khususnya pada anak sulung.
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
a. Pola Asuh Orang tua Pola asuh orang tua pola asuh atau parenting merupakan suatu aktivitas kompleks yang mencakup perilaku khusus dari orang tua, baik secara individu maupun bersama-sama dalam mengasuh dan memengaruhi pencapaian anak (Darling:1). Dalam menerapkan pola pengasuhan diperlukannya interaksi antara orang tua dan anak. Interaksi yang tercipta dapat berupa respon orang tua kepada anaknya. Menurut Baumrind (1991 dalam Darling, 1999) pola asuh pada dasarnya merupakan sikap dan kebiasaan orang tua yang diterapkan dalam mengasuh dan membesarkan anak di rumah. Sikap dan kebiasaan tersebut secara konsisten cenderung mengarah ke arah pola asuh tertentu. Ia mengklasifikasikan bahwa terdapat tiga tipe pola asuh, yaitu: a. Otoriter (Authoritarian) Pola pengasuhan otoriter adalah pola pengasuhan yang menekankan pada orang tua sebagai pusat kontrol dan pengambilan keputusan. Respon orang tua yang menerapkan pola pengasuhan otoriter memiliki respon demanding yang tinggi tetapi dengan respon responsive yang rendah (Maccoby & Martin dalam Chiew, 2011). Dengan adanya respon demanding yang tinggi menunjukkan fokus orang tua terhadap penerapan kontrol yang tinggi pada anak. Kontrol terhadap anak ditunjukan untuk mendapatkan kepatuhan segera maupun jangka panjang (Maccoby & Martin dalam Chiew, 2011). Kepatuhan sering ditegakkan dengan hukuman fisik atau kekerasan lain. Jarang diusahakan dengan adanya keterangan mengenai aturan-aturan maupun larangan. Orang tua menetapkan harapan dan standar yang tinggi atas perilaku anak, menekankan aturan perilaku tanpa memperhatikan kebutuhan anak, mengharapkan aturan yang akan dilaksanakan tanpa pertanyaan dan diskusi. Sementara dengan adanya penerapan pola asuh otoriter, hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif pada diri anak, yaitu anak selalu dihantui rasa ketakutan dan was-was, tidak berani mengambil keputusan, tidak berani berpendapat, banyak bergantung pada orang lain, pasif, inisiatifnya cenderung tidak muncul tetapi di luar rumah anak cenderung agresif, rendah diri, tidak memiliki pendirian yang tetap dan mudah terpengaruh orang lain, tidak termotivasi, tidak bahagia, memiliki keterampilan sosial dan perilaku menolong yang rendah, suka memaksa dan berperilaku menyimpang (Baumrind,1991 dalam Darling, 1999). b. Permisif (Permissive)
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
Orang tua menerapkan pola bebas dalam mengasuh anak. Anak merupakan pusat kontrol dan pengambilan keputusan dalam berbagai perilaku. Menurut Maccoby dan Martin (dalam Chiew, 2011), orang tua memiliki respon demanding yang rendah tetapi dengan respon responsive yang tinggi. Anak lebih bebas berbuat sekehendaknya dan orang tua tidak perlu dianggap berkuasa dan tidak mendorong anak untuk patuh (Sukadji, 2000). Selain itu, orang tua juga memberikan atmosfir atau lingkungan rumah dengan penuh cinta dan dukungan dalam keluarga, akan tetapi orang tua memiliki sedikit harapan dan standar atas perilaku anak dan kurang menghukum perilaku yang tidak pantas (Baumrind, 1991 dalam Darling, 1999). Dampak dari penerapan pola asuh permisif, anak menjadi merasa kurang mendapatkan kasih sayang sehingga menuntut perhatian, malas belajar karena kurangnya kontrol dari orang tua, memikirkan diri sendiri, tidak termotivasi, tergantung kepada orang lain, tidak patuh dan impulsif. Shaffer (2001) menambahkan bahwa anak dari orang tua dengan pola asuh permisif biasanya kurang mampu mengendalikan diri, kurang melibatkan diri pada kegiatan sekolah dan kebanyakan dari mereka berakhir dengan mengkonsumsi obat-obatan. c. Otoritatif (Autorithative) Pola asuh otoritatif merupakan kombinasi antara pola asuh otoriter dan pola asuh permisif. Dalam pola ini kontrol yang digunakan orang tua menekankan perkembangan otonomi anak dalam batas yang wajar. Anak tetap memiliki kebebasan, namun masih berada dalam kontrol orang tua. Orang tua menggunakan apapun yang dapat dipakai untuk mendapatkan kontrol perilaku anak seperti penalaran atau alasan dan kekuasaan secara terbuka. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif memiliki respon tinggi dalam aspek demanding dan responsive (Maccoby & Martin, dalam Chiew, 2011). Mereka mendorong adanya “give and take” berbentuk verbal, berpartisipasi dalam menemukan alasan di belakang suatu aturan atau kebijaksanaan, dan menegaskan larangan-larangan bila anak tidak mau patuh terhadap aturan yang telah disepakati bersama (Sukadji, 2000). Maka dari itu, dengan adanya penerapan pola asuh otoritatif, hal ini dapat menjadikan anak merasa bahagia, percaya diri, memiliki rasa ingin tahu, mandiri, disukai oleh orang lain, menghormati orang lain dan berhasil di sekolah (Baumrind, 1991 dalam Darling, 1999). Pola asuh orang tua tentunya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor, seperti situasi pernikahan dengan pasangannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2008); Konteks sosial (Bempechat dan Shernoff; dalam Christenson, 2012); Hubungan orang tua - remaja (Hosley & Montemayor;
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
dalam Lamb, 2007); Pendidikan orang tua (Goldschneider & Waite, 1991; dalam Lamb, 2007); Karakteristik anak (Pleck; dalam Lamb, 2007).
b. Motivasi Berprestasi Dalam menjelaskan variabel motivasi berprestasi, peneliti menggunakan definisi yang dikemukakan oleh Atkinson (1964) yaitu motivasi berprestasi merupakan keinginan atau dorongan untuk bertindak karena adanya harapan untuk mendapatkan tujuan yang bernilai, yang di dalam prosesnya dapat terjadi tindakan pendekatan keberhasilan atau tindakan penghindaran kegagalan. Terdapat dua aspek yang di ukur dalam motivasi berprestasi yaitu motive of success (mencapai keberhasilan) dan motive of avoide failure (menghindari kegagalan). Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Atkinson (1964) tersebut, Lang dan Fries (2006) mengemukakan istilah baru dalam aspek motivasi berprestasi, yaitu aspek hope of success (HS) dan fear of failure (FF). Kedua dorongan tersebut merupakan akar dari studi eksperimental yang menunjukkan bahwa individu tidak hanya berbeda dalam kecenderungan mereka untuk mengejar kesuksesan, tetapi juga dapat dipisahkan dengan kecenderungan mereka untuk menghindari kemungkinan kegagalan (Heckhausen, 1991 dalam Lang & Fries, 2006). McClelland (1987) dan Fernald dan Fernald (2000) menjelaskan bahwa terdapat faktorfaktor yang dapat memengaruhi motivasi berprestasi, yaitu pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan, keluarga, latar belakang budaya tempat seseorang, peniruan tingkah laku (modelling), lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung, harapan orang tua terhadap anaknya, dan jenis kelamin. Kemudian, Lang dan Fries (2006), menjelaskan mengenai ciri-ciri dari karakteristik seseorang melalui dua aspek motivasi berprestasi, yaitu hope of success dan fear of failure. Seseorang yang memiliki karakteristik tinggi pada hope of success akan tampil menjadi lebih baik (Heckausen, 1991; Spangler, 1992 dalam Lang & Fries, 2006), lebih cenderung tetap bertahan (Splanger, 1992 dalam Lang & Fries, 2006), menikmati tugas-tugas yang terkait dengan berprestasi (Puca & Schmalt, 1999 dalam Lang & Fries, 2006), mengevaluasi diri menjadi lebih positif setelah mengerjakan tugas-tugas yang terkait dengan berprestasi (Heckausen, 1991 dalam Lang & Fries, 2006), cenderung lebih berpengalaman dalam mengerjakan tugas-tugas (Puca & Schmalt, 1999 dalam Lang & Fries, 2006), dan cenderung mengatur diri sendiri dalam
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
menetapkan tujuan yang realistis dan menantang dibandingkan orang-orang yang memiliki motivasi rendah dalam mencapai kesuksesan (Birney, Burdick & Teevan, 1969 dalam Lang & Fries, 2006). Kemudian karakteristik seseorang yang memiliki motivasi tinggi pada fear of failure, yaitu merasa lebih khawatir ketika mengerjakan tugas yang berhubungan dengan berprestasi (Elliot & McGregor, 1999 dalam Lang & Fries, 2006), mengevaluasi diri menjadi lebih negatif setelah mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan berprestasi (Heckhausen, 1991 dalam Lang & Fries, 2006), kurang berpengalaman dalam mengerjakan tugas-tugas (Puca &Schmalt, 1999dalam Lang & Fries, 2006), kurang menetapkan tujuan secara realistis dan menantang (Birney, dkk dalam Lang & Fries, 2006), memiliki lebih banyak tes kecemasan dibandingkan individu yang memiliki motivasi rendah dalam menghindari kegagalan (Elliot & McGregor, 1999 dalam Lang & Fries, 2006).
c. Remaja Adolescence atau remaja merupakan istilah yang berasal dari Kata Latin adolescere yang artinya “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 2000). Hingga kini banyak tokohtokoh yang mendefinisikan dan menentukan batasan usia remaja secara bervariasi. Menurut Soetjiningsih (2004) masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan masa kanak-kanak yang dimulai saat terjadinya perubahan kematangan seksual, yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda. Sementara, menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009) remaja ialah seseorang yang berada pada periode peralihan dari masa kanakkanak menuju kedewasaan yang meliputi perubahan mendasar dalam aspek biologis, kognitif, dan psikososial (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Ia juga mengemukakan bahwa batasan usia remaja dimulai pada usia 11 tahun hingga 19 atau 20 tahun. Selain itu, Sarwono (2001) menjelaskan, bahwa batasan usia remaja di Indonesia dimulai dari usia 11 tahun hingga 24 tahun dan belum menikah berdasarkan beberapa pertimbangan dari berbagai aspek dan budaya di Indonesia. Berdasarkan uraian mengenai remaja di atas, peneliti memutuskan untuk menggunakan batasan usia remaja yang diungkapkan oleh Sarwono (2001) karena batasan usia tersebut sesuai dengan pertimbangan latar belakang sosial dan budaya masyarakat di Indonesia.
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
Mengingat pentingnya motivasi berprestasi pada masa remaja, penelitian ini memilih untuk fokus pada remaja yang berkuliah di Universitas Indonesia. Peneliti memilih mahasiswa Universitas Indonesia karena Universitas Indonesia tergolong ke dalam universitas favorit di Indonesia, sehingga untuk dapat diterima terdapat persaingan yang ketat antar calon mahasiswanya. Berdasarkan perolehan data dari website UI (www.ui.ac.id) ditemukan bahwa pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 jumlah pendaftar mengalami kenaikan sedangkan jumlah penerimaan semakin sedikit, sehingga untuk dapat diterima sebagai Mahasiswa Universitas Indonesia diperlukan jiwa kompetisi dan motivasi berprestasi yang tinggi dalam bersaing. Selain itu, motivasi berprestasi juga penting dalam kehidupan perkuliahan, dimana Universitas Indonesia memiliki standar prestasi akademik yang tinggi sehingga dengan adanya hal itu motivasi berprestasi sangat diperlukan bagi Mahasiswa Universitas Indonesia.
d. Urutan Kelahiran Urutan kelahiran atau birth order merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh seorang tokoh psikologi kepribadian dengan pendekatan sosial, Alfred Adler. Ia mengemukakan bahwa urutan kelahiran didasarkan pada keyakinan bahwa keturunan, lingkungan, dan kreativitas individual bergabung menentukan kepribadian pada urutan kelahiran yang merupakan faktor penting dalam pengembangan kepribadian (Alwisol, 2006). Dalam teorinya, Adler juga menjelaskan bahwa terdapa tempat tipe anak berdasarkan urutan kelahiran, yaitu anak sulung atau pertama, anak tengah, anak bungsu atau anak terakhir, dan anak tunggal, dimana masing-masing anak memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda (Feist & Feist, 2009). Selain itu, dalam teori urutan kelahiran dijelaskan pula bahwa urutan kelahiran dapat dipandang menjadi dua definisi yaitu urutan kelahiran aktual atau ordinal dan urutan kelahiran psikologis. Urutan kelahiran aktual atau biasa disebut ordinal adalah posisi urutan kelahiran ketika seseorang lahir di dunia dalam suatu struktur keluarga, seperti anak pertama, anak tengah, anak terakhir atau anak tunggal (Murphy, 2012). Sementara, urutan kelahiran psikologis didefinisikan
sebagai
bagaimana
cara
seseorang
memandang
posisi
dirinya
atau
mempresentasikan dirinya dalam struktur keluarga (Kalkan, 2008 dalam Murphy, 2012). Dalam penelitian ini, salah satu kriteria dari populasi yang digunakan dalam sampel penelitian ialah remaja yang berada pada urutan kelahiran pertama atau sulung yang bersifat
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
ordinal. Karakteristik anak pertama atau anak sulung menurut Murphy (2012) digambarkan sebagai pribadi yang kuat atau powerful, tertekan, taat pada peraturan dan mudah dipengaruhi oleh pihak otoritas. Anak sulung juga seorang organisator yang baik, high academic achiever, dan berorientasi pada kekuasaan serta cenderung ke arah kepemimpinan (Leman, 1999). Anak sulung sering dikenal sebagai “experimental child”, karena pada saat anak tersebut lahir orang tua belum memiliki pengalaman, baik dalam hal merawat maupun mendidik. Kekurangan pengetahuan dan pengalaman ini membawa akibat tersendiri dalam diri anak. Orang tua cenderung terlalu cemas, terlalu melindungi, dan belum menyadari secara penuh peranan menjadi orang tua (Gunarsa, 2009). Ketika anak pertama atau anak sulung telah lahir biasanya orang tua bahkan keluarga besar akan sangat tertarik dengan keberadaan anak tersebut. Orang tua dan keluarga akan memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh untuk anak sulung hingga lahir anak selanjutnya (Kluger, 2011 dalam Murphy, 2012). Anak sulung biasanya mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan stimulus verbal yang lebih dibandingkan anak yang lahir kemudian (Berns, 2004). Berdasarkan dari pencapaian prestasinya, anak sulung secara umum mendapatkan nilai lebih tinggi dalam segala aspek keberhati-hatian. Anak sulung dinilai oleh orang tua dan saudara sebagai orang yang lebih disiplin, dan teratur. Lebih lanjut lagi, mereka juga dianggap sebagai orang yang berprestasi dalam keluarga (Healey & Ellis, 2007; Paulhus, Trapnell & Chen, 1999; Plowman, 2005; Sulloway, 2007). Anak pertama atau anak sulung juga memiliki karakteristik untuk lebih berfokus kepada orientasi berprestasi akademik, sehingga ia bersikap untuk lebih sabar dalam menekuni dunia pendidikan (Hertwig, Davis & Sulloway, dalam Sulloway, 2007). Ia memiliki rasa tanggung jawab yang besar dan cenderung lebih berprestasi dalam bidang akademisnya dibandingkan saudaranya yang lain. (Sulloway, 1996 dalam Eckstein dkk, 2010). Selain itu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Snell, Hargrove dan Falbo (1986 dalam Maus, 2013) juga ditemukan bahwa anak sulung dan anak tunggal memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dibandingkan dengan anak yang lahir di urutan kelahiran berikutnya dilihat dari aspek kompetitif. Kebanyakan anak pertama memiliki intelegensi yang tinggi. Orang tua cenderung mengharapkan anak sulung untuk dapat mencapai suatu tujuan atau mimpi yang telah diidamkan oleh kedua orang tuanya (Murphy, 2012). Mereka yang dilahirkan sebagai anak sulung biasanya diharapkan lebih disiplin, dibatasi, dan lebih dipaksakan oleh orang tuanya.
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
Tingkah laku yang matang dari anak pertama juga sangat diharapkan oleh orang tua mereka dibandingkan saudara-saudara mereka yang lainnya (Berns, 2004). Ibu dari anak pertama menerapkan tekanan yang lebih dalam hal pencapaian prestasi dibandingkan dengan anak terakhir (Berns, 2004). Tuntutan orang tua dan standar tinggi yang diberikan pada anak sulung berdampak pada baiknya pencapaian akademis dan profesional, tetapi hal tersebut dapat menimbulkan rasa bersalah, kecemasan, dan kesulitan dalam menghadapai tekanan yang lebih besar (Santrock, 2009). Pate, Rotella, dan McClenaghan (dalam Hidayatullah, 2013) mengemukakan bahwa dengan adanya tekanan dari orang tua, anak dapat merasa gelisah dan takut dengan kegagalan yang akan mengecewakan orang tua mereka, sehingga ketakutan kegagalan yang dialami oleh anak juga dapat berdampak kepada motivasi berprestasinya.
Metode Penelitian Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah Mahasiswa Sulung di Universitas Indonesia yang berada di usia 18-24 tahun sebanyak 243 responden. Dalam pelaksanaan penelitian, responden diminta untuk mengisi kuesioner berbentuk booklet yang di dalamnya mengukur dua variabel berbeda. Variabel pertama yang diukur adalah variabel pola asuh orang tua dengan menggunakan Parental Authority Quesstionaire (PAQ). Alat ukur ini diciptakan oleh Buri (1991) yang terdiri dari 30 item favorable dengan Skala Likert 1 hingga 5. PAQ melihat pola asuh orang tua dengan mengukur dari kategori pola asuh orang tua yang diterapkan, yaitu permisif, otoriter, dan otoritatif. Selanjutnya, variabel kedua yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel motivasi berprestasi dengan menggunakan Achievement Motives Scale-Revised (AMS-R). Alat ukur ini diciptakan oleh Lang & Fries (2006) yang terdiri dari 10 item favorable dengan Skala Likert 1 hingga 4. AMS-R melihat motivasi berprestasi dengan mengukur dari dua aspek yaitu hope of success dan fear of failure. Teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab pertanyaan utama penelitian ialah dengan menggunakan One-Way Analysis of Variance (ANOVA).
Hasil Penelitian Berdasarkan dari gambaran pola asuh orang tua, pola asuh dominan yang diterapkan baik dari ayah maupun ibu adalah pola asuh otoritatif yaitu, ayah sebesar 43.2% dan ibu sebesar
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
39.91%. Kemudian, dari skor rata-rata pada gambaran aspek motivasi berprestasi, diperoleh hasil bahwa responden memiliki hope of success yang lebih tinggi dibandingkan dengan fear of failure (M=16.58). Dari hasil utama penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa pola asuh orang tua memiliki hubungan yang signifikan dengan hope of success dalam motivasi berprestasi yakni, ayah sebesar F(242)=7.042, p=0.001 dan ibu sebesar F(242)=14.138, p=0.000. Kemudian pola asuh orang tua juga memiliki hubungan yang signifikan dengan fear of failure dalam motivasi berprestasi yakni, ayah sebesar F(242)= 12.465, p=0.001. Dari perolehan skor rata-rata tertinggi dari hubungan pola asuh orang tua dengan motivasi berprestasi didapatkan bahwa baik pola asuh ayah maupun ibu yang membuat remaja memiliki hope of success ialah dengan menerapkan pola asuh otoritatif, (M= 17.5) pada ayah dan (M=17.4) pada ibu. Sementara, pola asuh yang dapat membuat remaja memiliki fear of failure ialah pola asuh otoriter, (M=15.16) pada ayah dan (M=14.96) pada ibu.
Pembahasan Dari hasil analisis utama yang dilakukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua baik ibu maupun ayah dengan hope of success dan fear of failure motivasi berprestasi pada remaja dengan urutan kelahiran anak sulung di Universitas Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh Dornbusch et al. (1987, Schunk, Pintrich, & Meece, 2008) bahwa bagaimana cara orang tua mengasuh anak memiliki pengaruh terhadap motivasi berprestasi pada remaja. Brooks (2011) juga mengatakan bahwa pengaruh pola asuh orang tua terhadap dunia pendidikan juga terjadi ketika anak telah berada di dalam kelompok usia remaja (Dornbusch et al. 1987; Schunk, Pintrich, & Meece, 2008). Dari hasil penelitian didapatkan hasil, bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif memiliki hubungan dengan hope of success pada remaja sulung. Sementara, orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter memiliki hubungan dengan fear of failure pada remaja sulung. Berdasarkan ciri-ciri karakteristik yang di kemukakan oleh Lang dan Fries (2006), ketika remaja memiliki hope success ia akan memandang dirinya ke arah yang lebih positif dalam hal berprestasi, seperti mereka akan tampil menjadi lebih baik, lebih cenderung tetap bertahan, menikmati tugas-tugas yang terkait dengan berprestasi, mengevaluasi diri menjadi lebih positif setelah mengerjakan tugas-tugas yang terkait dengan berprestasi, cenderung lebih berpengalaman
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
dalam mengerjakan tugas-tugas, dan cenderung mengatur diri sendiri dalam menetapkan tujuan yang realistis dan menantang dibandingkan orang-orang yang memiliki motivasi rendah dalam mencapai kesuksesan. Sementara, ketika remaja memiliki fear of failure ia akan memandang dirinya ke arah yang lebih negatif dalam hal berprestasi, seperti merasa lebih khawatir ketika mengerjakan tugas yang berhubungan dengan berprestasi, mengevaluasi diri menjadi lebih negatif setelah mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan berprestasi, kurang berpengalaman dalam mengerjakan tugas-tugas, kurang menetapkan tujuan secara realistis dan menantang, memiliki lebih banyak tes kecemasan dibandingkan individu yang memiliki motivasi rendah dalam menghindari kegagalan. Maka dari itu, untuk dapat menciptakan motivasi berprestasi ke arah yang lebih positif, orang tua perlu menerapkan pola asuh otoritatif dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan teori yang telah dijabarkan, bahwa orang tua yang menjadi modal dalam berperilaku berprestasi dan memberikan hadiah kepada remaja atas prestasi mereka, dapat membuat mereka menjadi berorientasi pada prestasi (Huston-Stein & Higgens-Trenk, 1978 dalam Santrock, 2003). Sedangkan, orang tua yang memberikan tekanan yang lebih dalam hal berprestasi dan standar tinggi yang diberikan pada anak sulung akan berdampak pada baiknya pencapaian akademis dan profesional, tetapi hal tersebut dapat menimbulkan rasa bersalah, kecemasan, ketakutan dalam kegagalan, dan kesulitan dalam menghadapai tekanan yang lebih besar (Santrock, 2009). Pada teori yang telah dijelaskan, karakteristik dari anak sulung ialah memiliki motivasi berprestasi yang baik Snell, Hargrove dan Falbo (1986 dalam Maus, 2013) dan respon orang tua dalam memerlakukan anak sulung ialah dengan memberikan harapan dan tekanan yang lebih dalam bidang akademis, dan memaksakan kehendak orang tua dalam menentukan pilihan (Murphy, 2012). Dampak dari respon orang tua dalam memerlakukan anak dengan cara tersebut adalah anak dapat memiliki baiknya pencapaian akademik yang baik dan profesional tetapi anak memiliki ketakutan dalam kegagalan atau fear of failure (Santrock, 2009). Namun dari hasil penelitian, diperoleh bahwa walaupun anak sulung memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, mereka memiliki dimensi hope of success yang lebih tinggi, artinya anak sulung memiliki motivasi berprestasi tinggi karena adanya harapan untuk sukses. Perbedaan hasil temuan tersebut dapat disebabkan
karena pada penelitian ini respon orang tua dalam
memerlakukan anak sulung dengan membuat atmosifir yang baik dalam keluarga dan memberi
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
dukungan, yang dapat tercermin pada pola asuh otoritatif. Ditinjau dari analisis tambahan mengenai hubungan motivasi berprestasi dengan jenis kelamin, didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin dan motivasi berprestasi. Sementara, pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa jenis kelamin dapat memengaruhi motivasi berprestasi dalam diri individu (Fernald & Fernald, 2000). Motivasi berprestasi dengan jenis kelamin yang berbeda dapat menunjukkan motivasi berprestasi yang berbeda pula. Laki-laki lebih berusaha maksimal dalam belajar jika dibandingkan perempuan sehingga prestasi tinggi biasanya berkaitan dengan maskulinitas. Perempuan tidak menampilkan karakteristik perilaku berprestasi seperti laki-laki karena mereka khawatir akan penolakan masyarakat pada prestasi yang telah diraihnya. Perbedaan hasil temuan tersebut dapat disebabkan karena salah satu karakteristik dari subjek penelitian ini adalah anak sulung, yang mana salah satu karakteristiknya memiliki orientasi akademik dan motivasi berprestasi yang tinggi, baik bagi laki-laki maupun perempuan (Murphy, 2012). Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik tersebut, jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap motivasi berprestasi. Berdasarkan analisis tambahan tentang hubungan pola asuh yang orang tua dengan pendidikan orang tua diperoleh hasil bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan pendidikan terakhir mereka. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang telah dikemukakan oleh Goldschneider dan Waite (1991, dalam Lamb, 2007) yang menyatakan bahwa pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh. Semakin tinggi pendidikan orang tua akan berkorelasi positif dengan kelekatan yang terjalin dengan anaknya. Perbedaan hasil temuan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti budaya dan juga pengalaman pola asuh yang diterima oleh orang tua. Apabila orang tua yang dulunya dididik dan tumbuh dalam budaya yang menerapkan pola asuh otoriter, mereka dapat menerapkan pola asuh yang serupa kepada anaknya. Sedangkan, apabila orang tua yang dididik dan tumbuh dalam budaya yang menerapkan pola asuh otoritatif, mereka juga dapat menerapkan pola asuh yang sama kepada anaknya. Selain itu, perbedaan tersebut dapat disebabkan bahwa orang tua di zaman sekarang banyak mendapatkan psiko-edukasi mengenai penerapan pola asuh dalam keluarga, sehingga orang tua lebih banyak menerapkan pola asuh otoritatif kepada anaknya. Berdasarkan faktor-faktor yang telah dijelaskan, maka dapat dikatakan bahwa bisa saja pendidikan terakhir orang tua tidak memiliki hubungan terhadap pola asuh.
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
Kesimpulan Dari hasil utama penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa tipe pola asuh yang diterapkan oleh ibu maupun ayah memiliki hubungan dengan hope of success dan fear of failure dalam motivasi berprestasi. Pada penelitian ini diperoleh pula bahwa mahasiswa sulung di Universitas Indonesia dengan batasan usia remaja lebih banyak diasuh dengan tipe pola asuh ibu dan ayah secara otoritatif, dan remaja sulung yang diasuh dengan pola tersebut memiliki hope of success yang tinggi dalam motivasi berprestasi. Sementara, remaja sulung yang diasuh dengan pola asuh otoriter memiliki fear of failure yang tinggi dalam motivasi berprestasi.
Saran Saran metodologis yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya ialah peneliti dapat melakukan analisis tambahan dengan membahas faktor lain yang berhubungan dengan variabel pola asuh orang tua dan motivasi berprestasi, misalnya budaya. Selain itu, dilihat dari keunikan urutan kelahiran, dengan membahas dari keempat karakteristik individu berdasarkan urutan kelahiran, yaitu anak sulung, anak tengah, anak bungsu, dan anak tunggal. Dalam pemilihan populasi, peneliti juga dapat memperluas sampel penelitian agar hasil penelitian dapat digeneralisasi ke ranah yang lebih luas yaitu remaja dalam lingkup masyarakat. Kemudian yang terakhir, peneliti dapat menggunakan teknik probability sampling dalam melakukan pengambilan sampel agar hasil penelitian dapat mempresentasikan populasi secara lebih baik. Selain saran metodologis, penelitian ini juga memiliki saran praktis guna sebagai sumber informasi dan referensi bagi para orang tua mengenai pola asuh yang tepat, dalam memotivasi anak agar memiliki motivasi berprestasi yang baik, yakni dengan menerapkan pola asuh otoritatif. Dalam bidang akademis, hasil penelitian ini juga dapat menjadi suatu acuan dan dasar bagi para pengajar dalam menangani siswa yang mengalami motivasi berprestasi yang rendah ketika berdiskusi dengan orang tua dengan melihat dari pola asuh yang diterapkan. Kemudian, hasil penelitian ini juga dapat membantu psikolog atau konselor menentukan keputusan dalam melakukan konseling untuk merubah pola pikir seseorang dalam memandang motivasi berprestasi menjadi ke arah yang lebih positif, yakni dorongan untuk mencapai keberhasilan. Terakhir, penelitian ini dapt menjadi bahan referensi bagi mahasiswa atau peneliti selanjutnya
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
yang ingin melakukan penelitian terkait dengan pola asuh, motivasi berprestasi, dan urutan kelahiran. Daftar Referensi Alwisol. (2006). Psikologi kepribadian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Malang. Atkinson, J.W. (1964). An introduce to motivation. New Jersey: D.Van Nostrand Company, Inc. Baumrind, D. (2003). Effects of authoritative parental control on child behavior. Barkeley: EBSCO Publishing. Berns, Roberta M. (2004). Child, family, school, and community. (6th ed.) USA: Wadsworth. Brooks, J. B. (2001). The process of parenting (6th ed). New York: McGraw-Hill. Chiew, L. Y. (2011). A Study of relationship between parenting styles and self-esteem: Selfesteem’s indicator- parenting Styles. (Research Project). Universitas Tunku Abdul Rahman. Darling, N. (1999). Parenting Style and It Correlates. ERIC DIGEST. Illinois: University of Illinois. Retrieved from http://ceep.crc.uiuc.edu/eecearchive/digests/1999/darlin99.pdf. Eckstein, D. dkk. (2010). A review of 200 Birth-oder studies: Lifestyle characteristics. The Joumal of Individuai Psychology. Vol.66 (4), Winter. University of Texas Press. Feist, J & Feist, G.J. (2009). Theories of personality (7th ed). Singapore: McGraw-Hill. Fernald, L. D. & Fernald, P. S. (2000). Introduction to psychology (5th ed). India: A.I.T.B.S Publisher & Distributors. Garliah, L & Nasution, F. K. S. (2005). Peran pola asuh orang tua dalam motivasi berprestasi. Psikologia. Vol. 1 (1). Universitas Sumatera Utara. Gunarsa, S.D. (2009). Dari anak sampai usia lanjut: Bunga rampai psikologi perkembangan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Griffin, T. L. (2001). The adult-only child, birth order and marital satisfaction as measured by the enrich couple inventory. (Disertasi). Georgia: Bell & Howell Information and Learning Company. Hidayatullah, Royan. (2013). Hubungan antara dukungan orang tua dan motivasi terhadap berprestasi olahraga renang atlet di club renang tirta kencana bandung. IKOR. Vol. 1 (3).Universitas Pendidikan Indonesia. Hurlock, E. B. (2000). Perkembangan anak jilid II (6th Ed.). (Meitasari, Tjandrasa). Jakarta : Erlangga. Idrus, Muhammad. (2004). Metode penelitian ilmu sosial. Yogyakarta : Erlangga. Lang, J. W. B., & Fries, S. (2006). A revised 10-item version of the Achievement Motives Scale. Psychometric Properties in German-Speaking,. Journal of PsychologySoc 22, 216-224. Hogrefe & Huber Publisher. Lamb, M. E. (2007). The role of the father (3rd ed). New York: John Wiley & Sons, Inc. Leman, Kevin. (1999). The birth order book: Why you are the way you are. USA: Revell a division of Baker Publishing Group. Maus, Z. A. (2013). Effects of birth order upon self-esteem and motivation in Middle-borns. McKendree University. McCormik & Carrol. (2003). Locus of Control and Self-effiicacy: Key to academics success. Retrieved from http://www.nacada.ksu.edu/ NationalConf/2002/Uploads. McClelland, D. C. (1987). Human motivation. New York: Cambridge University Press.
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014
Murphy, L. J. (2012). The impact of birth order on romantic relationships. (Thesis). Adler Graduate School. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human development. (10th Ed.). McGrawHill: New York. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. (11th Ed.). McGrawHill: New York. Rachim, S. A. (2008). Keterlibatan ayah terhadap motivasi berpresptasi remaja putri. (Skripsi tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia, Depok. Santrock, J. W. (2003). Adolesence: Perkembangan remaja (Edisi: 6). Jakarta: Erlangga. Santrock, J.W. (2009). Educational psychology (5th Ed.). New York: McGraw-Hill. Sari, A. W., & Zulkaida, A. (2012). Hubungan antara konformitas kelompok dengan motivasi berprestasi pada remaja akhir. Jurnal Psikologi. Universitas Gunadarma. Sarwono, Sarlito. (2001). Psikologi sosial: Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta: Balai pustaka. Schunk, D. H., Pintrich, P.R., & Meece, J.L. (2010) Motivation in education: Theory, research and Application (3rd Ed.). Prentince Hall: New Jersey. Shaffer, D. R. (2001). Developmental psychology: Childhood and adolescene. (6th Ed.). California: Brook/Cole Publishing Company. Sugiyanto. (2006). Pentingnya motivasi berprestasi dalam mencapai keberhasilan akademik siswa. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Universitas Negeri Yogyakarta. Sukadji, S. (2000). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga Pengambangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Sulloway, J. F. (2007). Birth Order. Evolutionary Family Psychology. 162-182. Soetjiningsih (2004). Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto. Srivastava, S. K. (2011). Study the effect of achievement motivation among Birth Orders. Journal of Psychosoc. Vol 6 No. 2 p. 169-178.
Hubungan antara..., Nabela Sinatryani, FPSI UI, 2014