HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI POLA ASUH ORANG TUA DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA Fariz Arifprawira
[email protected] Dosen Pembimbing : Evi Afifah Hurriyati, S.SI., M.SI. Binus University : Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530. Telp. (62-21) 535 0660 Fax. (62-21) 535 0644
ABSTRACT Adolescent is a period in which a person experiences a transition from children to adulthood. Adolescent age range varies depending on the culture and the intended use. Emotional regulation ability or skill to manage the emotion becomes necessary for individuals to be effective in coping with the various problems that pushed him to experience anxiety and depression. Emotion regulation is one important aspect for the development of the individual. Emotion regulation is the process whereby we affect the emotions we have, when we have emotions, and how we experience and express emotions. Parents are the most influential factors on the condition of adolescents. Parents have a tendency to form certain characteristics in the process of socialization, which then forms a pattern called parentint style. The research carried out to examine the relationship between perceived parenting style with emotion regulation strategies on adolescents. researchers distributed questionnaires to 72 participants with the criteria of adolescents aged 13 to 16 years old, female or male. Analysis in this research using correlational analysis., With two variables: the perception of parenting parents as an independent variable and emotion regulation strategies as the dependent variable (FA). Keyword : Parenting style, Emotion Regulation Strategy, Adolescent ABSTRAK Remaja adalah masa dimana seseorang mengalami transisi dari anak-anak menuju dewasa. Rentang usia remaja bervariasi bergantung pada budaya dan tujuan penggunaannya. Kemampuan regulasi-emosi atau keterampilan mengelola emosi menjadi penting bagi individu untuk dapat efektif dalam melakukan coping terhadap berbagai masalah yang mendorongnya mengalami kecemasan dan depresi. Regulasi emosi merupakan salah satu aspek penting bagi perkembangan individu. Regulasi emosi adalah proses dimana kita mempengaruhi emosi yang kita miliki, ketika kita memiliki emosi, dan bagaimana kita
mengalami dan mengekspresikan emosi. Orang tua merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi remaja. Orang tua memiliki kecendrungan untuk membentuk karakteristik tertentu dalam proses sosialisasi, yang kemudian membentuk suatu pola yang disebut pola asuh orang tua. Penelitian di laksanakan untuk melihat hubungan antara persepsi pola asuh orang tua dengan strategi regulasi emosi pada remaja. peneliti menyebarkan kuesioner kepada 72 partisipan dengan kriteria remaja berusia 13 hingga 16 tahun, berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Analisa pada penelitian ini menggunakan analisa korelasional., dengan dua variabel yaitu persepsi pola asuh orang tua sebagai variabel independen dan strategi regulasi emosi sebagai variabel dependen (FA). Kata Kunci: pola asuh orang tua, strategi regulasi emosi, remaja PENDAHULUAN Remaja adalah masa dimana seseorang mengalami transisi dari anak-anak menuju dewasa. Batasan usia remaja menurut Santrock (2012) berawal dari usia 10-13 tahun sampai dengan 20 tahun dan masa remaja dibagi menjadi dua periode yaitu masa remaja awal antara 10-13 tahun dan masa remaja akhir usia 18-22 tahun. Berbagai peristiwa yang sebelumnya tidak dialami oleh individu terjadi di tahap perkembangan remaja salah satunya adalah pubertas. Pubertas mengakibatkan perubahan fisik dan emosi pada remaja. Pubertas juga sebagai penanda individu memasuki masa remaja (Santrock, 2008). Kondisi emosi remaja diibaratkan seperti petasan yang dapat meledak kapan pun dimana pun tanpa diketahui sebelumnya. Tingkatan emosional remaja juga berubah dengan cepat (Rosenblum & Lewis dalam Santrock, 2012). Salah satu permasalahan yang sering dialami remaja adalah masalah tidak percaya diri karena menilai dirinya kurang dan merasa tidak memiliki kelebihan yang bisa dipakai sebagai modal dalam bergaul. Perasaan ini kemudian meluas ke hal-hal yang lain, seperti malu berhubungan dengan orang lain atau malas bergaul, tidak percaya diri tampil di muka umum, menarik diri, pendiam atau bahkan menjadi seorang yang pemarah (Guntoro, dalam Rahayu 2006). Perasaan muncul karena adanya respon dari situasi yang dirasakan atau diinteprestasikan oleh remaja. Perasaan merupakan respon dari proses emosi yang dirasakan atau terjadi pada diri seseorang (Lewis, 2010). Emosi menurut orang awam sering disalah artikan sebagai perasaan. Emosi adalah bagaimana cara seseorang dalam merespon situasi dalam berbagai cara (William James dalam Lewis, 2008). Regulasi emosi merupakan salah satu aspek penting bagi perkembangan individu. Regulasi emosi adalah proses dimana kita mempengaruhi emosi yang kita miliki,
ketika kita memiliki emosi, dan bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi (Gross, 2002). Regulasi emosi mengacu pada proses biologis, sosial, perilaku dan proses kognitif sadar dan tidak sadar. Dalam pendekatan perilaku, emosi diregulasi dari respon perilaku, seperti menggigit lidah ketika marah, menggigit jari ketika cemas, dan sebagainya. Dalam masa remaja, individu belajar meregulasi emosi dari konsekuensinya terhadap orang lain (Jabeen, 2015). Kemampuan regulasi-emosi atau keterampilan mengelola emosi menjadi penting bagi individu untuk dapat efektif dalam melakukan coping terhadap berbagai masalah yang mendorongnya mengalami kecemasan dan depresi. Individu yang mampu mengelola emosiemosinya sebagai efektif, akan lebih memiliki daya tahan untuk tidak terkena kecemasan dan depresi. Terutama jika individu mampu mengelola emosi-emosi negatif yang dialaminya seperti perasaan sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi. (Thompson & Goleman dalam Safaria, 2007). Dalam meregulasi emosi terdapat dua strategi yang di gunakan oleh individu, yaitu cognitive reappraisal dan suppression. Cognitive Reapraisal yaitu sebuah bentuk perubahan pemikiran mengenai situasi untuk mengurangi dampak emosional (Gross, 2002). Cognitive reappraisal merupakan strategi regulasi emosi paling efektif. Dampak dari strategi cognitive reappraisal membuat perasaan negative berkurang dan meningkatkan perasaan positif. Lalu yang kedua strategi regulasi emosi yang digunakan oleh individu adalah Suppression. Suppression adalah strategi regulasi emosi untuk menghambat perilaku emotion-expressive (ekspresi atau reaksi pada saat terjadinya respon dari emosi) yang sedang berlangsung (Gross, 2002). Bentuk dari suppression terjadi melalui reaksi fisiologis seperti menggigit jari, relaksasi melalui pernapasan, berteriak, dan lain sebagainya, hal tersebut dilakukan untuk menekan emosi yang sedang berlangsung. Dampak dari suppression adalah dapat mengurangi perasaan negative namun juga mengurangi perasaan positif (Sheppes & Gross, 2012) Orang tua dapat membentuk kemampuan dan bentuk regulasi emosi pada anak-anak dari interaksi dan hubungan antara orang tua dan anak (Parke, Cassidy, Burks, Carson, & Boyum dalam Jabeen, 2015).Orang tua merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi remaja. Hal ini dikarenakan sejak lahir orang tua adalah sosok yang paling sering berinteraksi dan memiliki peran dalam kehidupan remaja. Orang tua memiliki kecenderungan untuk membentuk karakteristik tertentu dalam proses sosialisasi, yang kemudian membentuk suatu pola yang disebut pola asuh orang tua (Kastutik & Setyowati, 2014). Dalam karakteristik yang terbentuk ada empat jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, yaitu
authoritarian parenting, authoritative parenting, neglectful parenting, indulgent parenting, Baumrind (dalam Santrock, 2009). Pengaruh orang tua terhadap remaja baik secara langsung maupun tidak langsung terjadi melalui pola asuh orang tua tersebut. Dalam membentuk regulasi emosi pada remaja, remaja belajar dari konsekuensinya atas perilakunya dari orang tua melalui operant conditioning dan modelling. Operant conditioning adalah pembentukan perilaku atau sikap dari efek menyenangkan yang dapat menguatkan hubungan stimulus antara respon (Skinner, dalam Santrock 2009). Sedangkan modeling proses belajar dengan mengamati tingkah laku atau perilaku dari orang sekitar kita termasuk orang tua. Modeling yang artinya meniru, dengan kata lain juga merupakan proses pembelajaran dengan melihat dan memperhatikan perilaku orang lain kemudian mencontohnya (Bandura, dalam Santrock 2008) . Hasil dari modeling atau peniruan tersebut cenderung menyerupai bahkan sama perilakunya dengan perilaku orang yang ditiru tersebut. Mengaplikasikan regulasi emosi dalam kehidupan dapat berdampak baik dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademik, kemudahan dalam membina hubungan dengan orang lain dan meningkatkan resiliensi Gottman (dalam Widuri, 2007). Regulasi emosi tidak hanya melibatkan pengalamanan afektif, tetapi juga melibatkan proses kognitif, perilaku, dan fisiologis. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa regulasi emosi merupakan faktor penting pada kemampuan anak dan remaja untuk mendorong perilaku prososial dan proakademik, Pekrun (dalam Kurniasih, 2013). Untuk mencegah perilaku yang bermasalah pada remaja dapat dilakukan melalui pengasuhan dan regulasi emosi (Jabeen, 2015).
METODE PENELITIAN Subjek Penelitian dan Teknik Sampling Karakteristik subjek penelitian pada penelitian ini adalah remaja sekolah berusia 1316 tahun, tinggal bersama orang tua, dan bergender laki-laki atau perempuan. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling non probability sampling, yang artinya setiap unsur dalam populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Metode yang digunakan adalah accidental sampling, yaitu penentuan sampel berdasarkan kebetulan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, desain penelitian ini spesifik dan terstruktur. Desain penelitian ini adalah korelasional, penelitian yang didesain dengan tujuan utama untuk menginvestigasi ada atau tidaknya hubungan antara dua atau lebih variable
Alat Ukur Penelitian Alat Ukur Persepsi Pola Asuh Orang Tua Penelitian ini menggunakan alat ukur pola asuh berdasarkan teori Baumrind yang peneliti adaptasi dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi Psikologi Universitas Bina Nusantara. Alat ukur ini membagi pola asuh orang tua berdasarkan jenisnya yaitu authoritarian parenting, authoritative parenting, indulgent parenting, dan neglectful parenting. Alat ukur ini terdiri dari 40 item berskala likert 4 skala dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju. Alat Ukur Strategi Regulasi Emosi Alat ukur strategi regulasi emosi ini merujuk pada teori strategi dalam meregulasi emosi menurut Gross dan Emotion Regulation Questinnaire (ERQ) dibuat oleh Gross dan John pada tahun 2003. Alat ukur ini akan diadaptasi menjadi Bahasa Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 2 aspek, yaitu suppression dan reappraisal yang memiliki total item sebanyak 10 item. Skala yang digunakan adalah likert yang mana angka 1 menunjukan sangat tidak setuju sampai ke angka 7 sangat setuju. Prosedur Penelitian Persiapan yang dilakukan oleh peneliti mencari remaja usia 13-16 tahun melalui beberapa orang. Setelah mendapatkan remaja yang sesuai dengan penelitian peneliti meminta kesediaannya untuk mengambil data. Pada penelitian ini independent variable adalah persepsi pola asuh orang tua sedangkan dependant variable adalah strategi regulasi emosi. Hipotesis umum dari penelitian ini adalah persepsi pola asuh orang tua mempunyai hubungan dengan strategi regulasi emosi pada remaja. Setelah peneliti mendapatkan responden, responden dijelaskan tujuan penelitian dari pengesian kuesioner. Sebelumnya responden di Tanya terlebih dahulu apakah bersedia untuk mengisi kuesioner. Setelah responden bersedia kemudian peneliti memberikan kuesioner. Setelah kuesioner telah diisi peneliti menanyakan pada responden apakah ada teman atau kerabat yang seumuran untuk dijadikan responden berikutnya, lalu memberikan cinderamata sebagai tanda terima kasih.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penghitungan alat ukur didapat jumlah responden yang mempersepsikan pola asuh orang tuanya authoritarian sebanyak 42 responden atau 58,3% dari total responden, persepsi pola asuh authoritative sebanyak 17 responden atau 23,7% dari total
responden, persepsi pola asuh neglectful sebanyak 1 responden atau 1,3% dari total responden, dan persepsi pola asuh indulgent sebanyak 16,7% dari total responden. Dari penghitungan SPSS tidak ditemukan adanya hubungan antara persepsi pola asuh orang tua dengan strategi regulasi emosi berikut ini adalah hasil dari analisa menggunakan SPSS: nilai koefisien antara persepsi pola asuh orang tua authoritative dengan dimensi strategi regulasi emosi reappraisal sebesar -0,032 dengan taraf signifikansi 0,904. Hasil tersebut berarti pada tidak ada hubungan antara persepsi pola asuh orang tua authoritative dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja. nilai koefisien antara persepsi pola asuh orang tua authoritative dengan dimensi strategi regulasi emosi suppression sebesar 0,009 dengan taraf signifikansi 0,974. Hasil tersebut berarti tidak ada hubungan antara persepsi pola asuh authoritative dan strategi regulasi emosi suppression pada remaja. nilai koefisien antara persepsi pola asuh orang tua authoritarian dengan dimensi strategi regulasi emosi reappraisal sebesar 0,054 dengan taraf signifikansi 0,733. Hasil tersebut berarti tidak ada hubungan antara persepsi pola asuh orang tua authoritarian dan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja. nilai koefisien antara persepsi pola asuh orang tua authoritarian dengan dimensi strategi regulasi emosi supression sebesar 0,146 dengan taraf signifikansi 0,357. Hasil tersebut berarti tidak terdapat hubungan antara persepsi pola asuh orang tua authoritarian dan strategi regulasi emosi supression pada remaja. nilai koefisien antara persepsi pola asuh orang tua indulgent dengan dimensi strategi regulasi emosi reappraisal sebesar -0,431 dengan taraf signifikansi 0,162. Hasil tersebut berarti tidak ada hubungan antara persepsi pola asuh orang tua indulgent dan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian telah dilakukan dengan jumlah responden sebanyak 42 orang yang berada di wilayah Bekasi dan Bogor. Responden berusia antara 13-16 tahun dan yang paling banyak adalah responden berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan hasil analisa SPSS yang sudah ditampilkan dan dijelaskan sebelumnya, disimpulkan dari 8 hipotesis yang diajukan tidak ada yang memiliki hubungan. Persepsi orang tua yang paling banyak dipersepsikan oleh responden adalah authoritarian sedangkan yang paling sedikit adalah neglectful. Dari 8 hipotesa ada 6 hipotesa yang dapat dianalisa. Hal tersebut dikarenakan hanya ada 1 responden yang mewakili variabel persepsi pola asuh neglectful, sehingga penghitungan SPSS tidak dapat dilakukan. Hasil penelitian ini bertolak belakang dari penelitian mengenai pola asuh
orang tua dan regulasi emosi sebelumnya. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya disuimpulkan bahwa regulasi emosi berkembang melalui interaksi dan pengasuhan orang tua (Parke dalam Jabeen, 2015), namun dalam penelitian ini mendapatkan hasil yang tidak memiliki hubungan antara pola asuh orang tua dan strategi regulasi emosi. Kemungkinan yang menyebabkan tidak ada hubungan antara variabel persepsi pola asuh orang tua dengan strategi regulasi emosi karena ada factor internal dan eksternal. Secara internal berfokus pada komponen biologis dari regulasi emosi, jika kematangan dari dukungan sistem biologis yang berpengaruh terhadap kemampuan kognisi baik maka akan menjadi sarana peningkatan fungsi regulasi emosi dan regulasi perilaku yang semakin baik begitupula sebaliknya (Gross dalam Putri, 2012). Secara eksternal dalam masa remaja, individu belajar meregulasi emosi dari konsekuensinya terhadap orang lain (Jabeen, 2015). Remaja sedang senang dengan dunia luarnya sehingga banyak informasi-informasi yang ditanggap. Maka belum tentu juga hanya orang tua yang dapat mempengaruhi strategi regulasi emosi pada remaja. Dari penelitanpenelitian tentang pola asuh dan regulasi emosi sebelumnya responden yang dikategorikan untuk dapat mengikuti penelitian kebanyakan adalah remaja usia 20 tahun keatas sedangkan dalam penelitian ini responden yang bisa mengikuti penelitian berusia 13-16 tahun. Umur mungkin dapat memberikan perbedaan hasil karena dalam usia 13-16 tahun remaja masih menggali informasi sebanyak-banyaknya. Sehingga kematangan atau kesadarannya terhadap pola asuh orang tuanyan atau strategi regulasi emosi masih belum cukup baik.
Saran Alat ukur yang digunakan oleh peneliti dalam mengukur persepsi pola asuh orang tua dari Intan Sari memiliki reabilitas sangat baik dan validitas cukup baik. Alat ukur strategi regulasi emosi dari Gross yang digunakan peneliti memiliki reliabilitas yang cukup baik dan validitas yang cukup. Kedua alat ukur ini bisa digunakan kembali dalam penelitian berikutnya karena memiliki reliabilitas dan validitas yang baik. perhatikan beberapa hal seperti responden dan kalimat-kalimat pada alat ukur yang disebarkan terutama alat ukur regulasi emosi. Tingkat kesulitan bahasa harus disesuaikan dengan umur dari responden. Dari bentuk aslinya alat ukur regulasi emosi ditujukan untuk orang dewasa awal sehingga penyesuaian bahasa harus dilakukan bagi responden yang masih remaja. Saran bagi penelitian selanjutnya, jika memungkin mendapatkan data kualitatif agar gambaran hasil penelitian lebih jelas. Penelitian berikut sebaiknya juga mencari fenomena lain yang berhubungan dengan strategi regulasi emosi dan dapat menambahkan beberapa
variabel lain persepsi pola asuh orang tua untuk melihat faktor lain yang mempengaruhi strategi regulasi emosi. Peneliti berharap agar penelitian yang telah dijalankan ini dapat membantu dalam perkembangan ilmu psikologi di Indonesia terutama mengenai psikologi emosi dan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa persepsi pola asuh orang tua yang mendominasi penelitian dengan total persentase sebanyak 58,3% adalah pola asuh authoritarian. Hal tersebut bisa berdampak pada hasil penelitian. Pola asuh authoritarian dapat memberi dampak buruk pagi para remaja karena tingginya kemauan orang tua terhadap anaknya, sebaiknya orang tua mengikuti seminar tentang dampak buruk dari pola asuh authoritarian agar anak-anak mereka dapat berkembang lebih baik lagi.
Referensi Gross, J. (2002). Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequences. Psychophysiology, 281-291. Jabeen, F., Anis-ul-Haque, M., & Riaz, M. N. (2015). Parenting Style as Predictor of Emotion Regulation among Adolescents. Michigan: Proquest. Kastutik, & Setyowati, N. (2014). Perbedaan Perilaku Antisosial Remaja di Tinjau dari Pola Asuh Orang tua di SMP Negeri 4 Bojonegoro. Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, I, 174-189. Kurniasih, Wulan., Prastisti, W. Dinar (2013). Regulasi Emosi Remaja Yang Diasuh Secara Otoriter Oleh Orangtuanya. Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013, 293-301. Lewis, M., Jones, J. M., & Barrett, L. F. (2010). Handbook of Emotion (3rd ed.). New York: Guilford Press. Putri, B. Wahyuning. (2012). Hubungan antara Komunikasi Orangtua-Remaja dengan Regulasi Emosi Pada Remaja di Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta. S1 thesis, Fakultas Humaniora Jurusan Psikologi. Universitas Bina Nusantara: Jakarta Safaria, T. (2007). Kecenderungan Penyalahgunaan NAPZA di Tinjau dari Tingkat Regiulitas Regulasi Emosi, Motif Berprestasi, Harga Diri, Keharmonisan Keluarga, dan Pengaruh Negatif Teman Sebaya. Humanitas, IV, 13-24. Santrock, J. W. (2008). Life-Span Development (11th ed.). New York: Mc Graw Hill. Santrock, J. W. (2009). Child Development (12th ed.). New York: McGraw Hill. Santrock, J. W. (2012). Adolescene (14th ed.). New York: Mc Graw Hill. Sheppes, Gal & Gross, J. James. (2012). Emotion Regulation Effectiveness: What Works When. Standford: Standford University
Widuri, E. Listyanti. (2007). Regulasi Emosi dan Resiliensi pada Mahasiswa Tahun Pertama. Humanitas, IV, 111-118.