1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DENGAN KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA
Oleh : RIDHAYATI FARIDH 04320316
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
2
HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DENGAN KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA
Ridhayati Faridh Hj. Ratna Syifa’a Rachmahana
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi negatif antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja dimana semakin tinggi regulasi emosi remaja maka semakin rendah kecenderungan kenakalan remajanya. Begitu pula sebalik nya, semakin rendah regulasi emosi remaja maka semakin tinggi kecenderungan kenakalan remajanya. Subjek dalam penelitian ini merupakan siswa – siswi SMA PIRI 2 Yogyakarta kelas X dan kelas XI tahun ajaran 2007/2008 dengan rentang usia antara 15-17 tahun dan berjumlah 59 subyek dimana. teknik pengambilan samplingnya adalah purposive sampling. Pengambilam sampel dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2008. Penelitian ini menggunakan 3 skala, yaitu: skala kecenderungan kenakalan remaja yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek kecenderungan kenakalan remaja yang dikemukakan oleh Jasen (Sarwono, 2002) dan berjumlah 20 aitem; skala regulasi emosi disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek – aspek kontrol diri yang diungkapkan oleh Thompson (Kostiuk & Gregory, 2002), dan berjumlah 10 aitem; dan skala kontrol diri juga disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek – aspek kontrol diri yang diungkapkan oleh Averill (Ahyani, 2004) dan Liebert (1979), dan berjumlah 24 aitem.
3
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan program komputer yaitu program SPSS seri 16.0 for windows untuk menguji apakah hipotesis penelitian yang diajukan terbukti. Berdasarkan teknik korelasi product-moment dari Pearson yang dilakukan, diketahui bahwa adanya korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja dimana dengan koefisien korelasi sebesar -0,385 dan p=0,001 atau p<0,05. Ini berarti hipotesis yang diajukan terbukti, artinya ada korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja.
Kata Kunci : Kecenderungan Kenakalan Remaja, Regulasi Emosi, dan Kontrol Diri
4
Pengantar Dalam perjalanan hidupnya manusia melewati fase - fase kehidupan sejak ia dilahirkan. Salah satu fase yang dilewati itu adalah masa remaja. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara anak – anak dan masa dewasa. Perkembangan seseorang dalam masa anak – anak dan remaja akan membentuk perkembangan diri anak tersebut ketika dewasa. Pada periode ini, seorang remaja akan mengalami konflik yang semakin kompleks seiring dengan berbagai perubahan
yang
ada
dalam
diri
mereka
sendiri
(http://arsip.info/keluarga/anak/usia/remaja/permasalahan/). Seperti halnya dengan tahap perkembangan yang lain, pada masa remaja seseorang juga dituntut untuk menyelesaikan tugas perkembangannya. Piknus (Agustiani, 2006) mengemukakan beberapa tugas perkembangan yang penting pada masa ini, yaitu : menerima bentuk tubuh yang dimiliki dan hal – hal yang berkaitan dengan fisiknya; mencapai kemandirian emosional dan figur – figur otoritas; mengembangkan keterampilan dalam komunikasi interpersonal, belajar membina relasi dengan teman sebaya dengan orang dewasa, baik secara individu maupun kelompok; menemukan model untuk diidentifikasi; menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan dan sumber – sumber (yang ada pada dirinya); memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai dan prinsip yang ada; dan meninggalkan bentuk – bentuk reaksi dan penyesuaian yang kekanak – kanakan. Tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja umumnya merupakan bagian tuntutan dari lingkungan sekitarnya. Kebanyakan remaja sudah mempelajari perbedaan perilaku mana yang dapat diterima dan yang tidak dapat
5
diterima oleh lingkungannya. Akan tetapi pada kenyataannya, dalam beberapa media cetak maupun elektronik memberitakan bagaimana perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja dan perlu diwaspadai. Ada beberapa perilaku yang dapat diwaspadai pada remaja antara lain: perilaku seksual remaja dan kehamilan remaja, kenakalan remaja, penyakit yang psikosomatis, dan bunuh diri. Beberapa data mencatat adanya peningkatan dalam kenakalan remaja, seperti data yang berasal dari Bimmas Polri Metro Jaya di Jakarta pada tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar, di tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 orang pelajar dan pada tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri dan di tahun berikutnya korban meningkat menjadi 37 orang (http://www.e-psikologi.com/remaja). Selain kasus perkelahian pelajar, beberapa survey juga mencatat kasus mengenai seks bebas dilakukan oleh remaja yang belum menikah. Pada tahun 1991 sebuah penelitian yang dilakukan di Bandung menunjukkan dari responden pelajar SMP diketahui 10,53% pernah melakukan ciuman bibir, sebanyak 5,6% melakukan ciuman dalam dan 3,86% pernah berhubungan seksual (www.kompas.com). Masalah seks bebas ini dapat dipicu oleh adanya informasi yang diterima tidak diolah dengan baik oleh remaja sehingga tidak terkontrolnya perilaku seksual remaja yang pada saat itu sedang mengalami perubahan organ reproduksi yang semakin matang sehingga menyebabkan dorongan dan gairah seksual remaja meningkat (Dariyo, 2004). Selain itu, bentuk kenakalan yang dilakukan oleh remaja juga terkait dengan penyalahgunaan obat. Beberapa survey juga mencatat keterlibatan remaja
6
dalam penggunaan narkoba. Menurut data BNN pada tahun 2004, pengguna napza terbesar ada pada kelompok usia 15 – 24 tahun dan data BNN di tahun 2005 menyebutkan dari 3,6 juta pecandu di Indonesia (hampir sekitar 1-1,5% penduduk) terdapat rata – rata 15 ribu orang meninggal akibat napza setiap tahunnya yang sebagian besar adalah kaum muda yang usianya di bawah 30 tahun (www.aidsindonesia.or.id). Dalam sebuah penelitian remaja disebutkan bahwa remaja beresiko menjadi ketergantungan adalah mereka yang: dalam keluarganya ada anggota keluarga yang terlibat narkoba; sedang depresi atas berbagai sebab (keluarga yang berantakan, kesulitan ekonomi, dan lain – lain); merasa rendah diri;
dan
merasa
bahwa
napza
adalah
mode
yang
harus
(http://www.keluargasehat.com/keluarga-remajaisi).
Gossop
menambahkan
menyebabkan
bahwa
salah
satu
faktor
yang
(1994)
diikuti juga
seseorang
menggunakan napza adalah adanya kecemasan dan depresi pada dirinya. Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja – remaja yang gagal dalam menjalani proses – proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak – kanaknya (http://whandi.net/?pilih=news&mod). Secara umum masa remaja dianggap sebagai suatu periode transisi dengan perilaku antisosial yang potensial, disertai dengan banyak pergolakan hati dan batin pada fase remaja (Kartono, 2005). Dalam bukunya, Kartono (2005) mengungkapkan bahwa remaja yang melakukan kejahatan pada umumnya kurang memiliki kontrol diri dan segala gejala kejahatan yang muncul merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak yang mengandung unsur dan usaha:
7
kedewasaan seksual; pencarian identitas kedewasaan; adanya ambisi materiil yang tidak terkendali; kurang atau tidak adanya disiplin diri. Hurlock (Nurhidayad, 2004) berpendapat bahwa seorang remaja harus memiliki kemampuan untuk mengontrol perilakunya agar ia tidak mengikuti kemauan orang lain yang dapat bertentangan dengan keinginan serta aturan – aturan yang berlaku dalam masyarakat. Banyaknya hal positif maupun negatif yang ada disekitar remaja yang dapat membuat seorang remaja ingin mencoba melakukan
hal
tersebut.
Kenakalan
remaja
dapat
dikatakan
sebagai
ketidakmampuan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal perilaku. Kemampuan dalam mengontrol diri terkait dengan bagaimana seseorang mengendalikan emosi dalam dirinya. Dalam konsep populer dikatakan bahwa semakin berhasil seseorang dalam menekan ekspresi yang tampak maka semakin baik pengendalian dirinya, dan disamping itu konsep ilmiah mengatakan bahwa pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial (Elfida, 1995). Pada usia remaja umumnya terjadi perkembangan yang sengat pesat pada kognitif, fisik, kematangan seksual dan emosional. Diusia ini seorang remaja umumnya mengalami konflik yang kompleks, sehingga masa remaja sering dikenal dengan masa “strom and stress”. Pada masa remaja seseorang sangat rentan untuk terkena pengaruh dari lingkungannya dan hal ini merupakan akibat karena adanya perubahan – perubahan secara fisik maupun mental sehingga menyebabkan munculnya tuntutan lingkungan terhadap perannya. Seorang remaja seringkali mengalami kesulitan dan tidak mampu untuk menghadapi masalah –
8
masalah perubahan fisiologis, psikologis maupun psikososial dengan baik dan ditambah lagi adanya tuntutan untuk menyelesaikan tugas perkembangannya baik itu dari keluarga maupun lingkungan (Dariyo, 2004). Thornburg (Trinovita, 1995) mengatakan bahwa seorang remaja dikatakan terlibat dalan kenakalan apabila ia memiliki problem – problem emosional atau problem – problem kepribadian yang mencetuskan perilaku anti sosial. Banyak perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja tidak hanya dikarenakan oleh ketidakmampuan mengontrol diri, tetapi juga karena adanya tekanan/masalah.. Oleh karenanya, kemampuan mengelola emosi perlu dilakukan agar seseorang dapat terhindar dari perilaku – perilaku antisosial, terutama bagi remaja yang sedang mengalami konflik yang beragam dan kompleks. Kemampuan mengelola emosi ini disebut juga dengan regulasi emosi. Thompson (Kostiuk & Gregory, 2002) menggambarkan regulasi emosi sebagai kemampuan merespon proses – proses ekstrinsik dan intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan. Ini berarti apabila seseorang mampu mengelola emosi – emosinya secara efektif, maka ia akan memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi masalah. Hurlock (1993) berpendapat bahwa remaja cenderung memiliki emosi yang bergejolak. Di usia remaja, kemampuan untuk mengelola emosi belum berkembang secara matang. Hal ini membuat remaja cenderung untuk mengikuti emosinya dalam berbagai tindakan. Gross & Mun’oz dkk (Kendall & Michael, 2001) mengatakan bahwa regulasi emosi ditunjukkan
9
sebagai suatu proses integral dalam kemampuan sosioemosional dan kesehatan mental. Regulasi emosi meliputi pengurangan emosi atau menghentikan emosi, terkadang juga termasuk meregulasi emosi yang meningkat (Fredrickson, 1998). Regulasi emosi memiliki hubungan antara anak dengan lingkungannya contohnya dengan keluarga. Kombinasi dari kelekatan yang tidak kuat dan perilaku-perilaku pola asuh orangtua dapat menyebabkan anak mengalami ketidakmampuan meregulasi emosi serta terlibat dalam perilaku-perilaku mengganggu, pada akhirnya mendorong strategi pola asuh yang salah dimana hal ini memperburuk perilaku mengganggu pada anak, yang kemudian memperburuk perilaku-perilaku mengganggu anak-anak (Kostiuk & Gregory, 2002). Temperamen orangtua terutama ayah yang agresif, meledak – ledak, suka marah dan sewenang – wenang juga merupakan pencetus munculnya perilaku kenakalan pada remaja, sebab hal ini tidak hanya mentransformasikan defect temperamennya saja tapi juga menimbulkan iklim yang mendemoralisasikan
secara psikis sekaligus
merangsang reaksi emosional yang sangat impulsif kepada anak – anak (Trinovita, 1995). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Chang dkk (Pasold, 2006) ditemukan bahwa ayah dan ibu yang pola asuhnya kasar berkaitan erat dengan regulasi emosi dan agresi pada anak. Pola asuh yang kasar membuat regulasi emosi anak buruk dan tingkat agresi pada anak menjadi tinggi. Regulasi emosi memiliki hubungan dengan bentuk kelekatan dan perilaku pola asuh yang kemudian mempunyai hubungan dengan kesulitan perilaku (Kostiuk & Gregory,
10
2002). Hetherington & Parke (Desviyanti, 2005) mengatakan seorang anak yang mampu meregulasi dirinya ? yang dalam hal ini terkait dalam regulasi emosi? , maka ia akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang diterima oleh orangtua dan lingkungannya. Melihat uraian permasalahan yang telah dijelaskan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja.
Metode Penelitian Data dalam penelitian ini diambil dari remaja yang masih berstatus pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) PIRI 2 Yogyakarta, dengan rentang usia 15 – 17 tahun. Subyek penelitian diambil berdasarkan purposive sampling, dimana subyek penelitian dipilih berdasarkan ciri – ciri atau sifat yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan dalam penelitian ini. Ciri subyek yang diinginkan dalam penelitiian ini meliputi: kondisi lingkungan sekitar sekolah yang mendukung terjadinya tindak kenakalan seperti kerentanan terjadinya perkelahian pelajar antar sekolah; perilaku siswa ketika berada di sekolah seperti pelanggaran terhadap peraturan sekolah, perkelahian antara teman sekelas, perilaku terhadap guru. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan skala. Skala dalam penelitian ini teridiri dari 3 skala, yaitu : skala kecenderungan kenakalan remaja, skala regulasi emosi dan skala kontrol diri. Skala kecenderungan kenakalan remaja disusun berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Jasen (Sarwono, 2002) dan terdiri dari 20 aitem. Skala regulasi
11
emosi disusun berdasarkan aspek Thompson (Kostiuk & Gregory, 2002) dengan jumlah aitem sebanyak 10 aitem. Skala kontrol diri disusun dengan menggunakan aspek milik Averill (Ahyani, 2004) dan Liebert (1979), terdiri dari 24 aitem. Skala – skala dalam penelitian ini menggunakan empat alternatif jawaban yang harus dipilih salah satunya oleh subyek. Skala kecenderungan kenakalan remaja terdiri dari pernyataan favorabel dan unfavorabel. Untuk pernyataan favorabel jawaban Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 4, untuk jawaban Sesuai (S) mendapat skor 3, untuk jawaban Tidak Sesuai (TS) mendapat skor 2 dan untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapat skor 1. Sedangkan untuk pernyataan unfavorabel jawaban Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 1, untuk jawaban Sesuai (S) medapat skor 2, untuk jawaban Tidak Sesuai mendapat skor 3 dan untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapat skor 4. Skala regulasi emosi juga terdiri dari empat alternatif jawaban yang harus dipilih oleh subyek. Skala kecenderungan kenakalan remaja terdiri dari pernyataan favorabel dan unfavorabel. Untuk pernyataan favorabel jawaban Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 4, untuk jawaban Sesuai (S) mendapat skor 3, untuk jawaban Tidak Sesuai (TS) mendapat skor 2 dan untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapat skor 1. Sedangkan untuk pernyataan unfavorabel jawaban Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 1, untuk jawaban Sesuai (S) medapat skor 2, untuk jawaban Tidak Sesuai mendapat skor 3 dan untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapat skor 4. Skala kontrol diri terdiri dari empat alternatif jawaban yang harus dipilih oleh subyek. Skala kecenderungan kenakalan remaja terdiri dari pernyataan
12
favorabel dan unfavorabel. Untuk pernyataan favorabel jawaban Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 4, untuk jawaban Sesuai (S) mendapat skor 3, untuk jawaban Tidak Sesuai (TS) mendapat skor 2 dan untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapat skor 1. Sedangkan untuk pernyataan unfavorabel jawaban Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 1, untuk jawaban Sesuai (S) medapat skor 2, untuk jawaban Tidak Sesuai mendapat skor 3 dan untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapat skor 4. Untuk mengetahui adanya hubungan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja digunakan teknik product-moment dari Pearson. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan aplikasi komputer yaitu program SPSS seri 16.0 for windows.
Hasil Penelitian Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik product-moment karena data telah memenuhi persyaratan normalitas dan linearitas. Uji korelasi tersebut menunjukkan hasil sebagai berikut : Tabel 1 Analisis korelasi product-moment Kecenderungan Kenakalan Remaja dan Regulasi Emosi Product-moment Regulasi Emosi
Kecenderungan Kenakalan Remaja -0,385
p 0,001
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari skala Kontrol Diri digunakan sebagai analisis tambahan dimana selain regulasi emosi, penelitian ini juga ingin melihat bagaimana hubungan antara kontrol diri dengan kecenderungan kenakalan
13
remaja. Uji korelasi pada analisis tambahan ini dilakukan dengan teknik productmoment. Hasil yang ditunjukkan adalah sebagai berikut: Tabel 2 Analisis korelasi product-moment Kecenderungan Kenakalan Remaja dan Kontrol Diri Product-moment Kontrol Diri Sedangkan
Kecenderungan Kenakalan Remaja -0,627
korelasi
antara
regulasi
emosi
dengan
p 0,000 kontrol
diri,
menunjukkan hasil: Tabel 3 Analisis korelasi product-moment Regulasi Emosi dan Kontrol Diri Product-moment Kontrol Diri
Regulasi Emosi 0,606
p 0,000
Pembahasan Hasil analisis data melalui korelasi product-moment dari Perason didapat koefisien korelasi antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja sebesar -0,385 dengan p=0,001 atau p<0,005. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja. Ini berarti semakin tinggi tingkat regulasi emosi yang dimiliki oleh remaja maka semakin rendah tingkat kecenderungan kenakalannya, begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat regulasi emosi yang dimiliki oleh remaja maka semakin tinggi tingkat kecenderungan kenakalannya. Melihat hasil penelitian ini maka dapat dikatakan hipotesis yang diajukan oleh peneliti bahwa ada hubungan negatif antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja, sepenuhnya terbukti.
14
Dalam penelitian ini menyertakan analisis tambahan dengan menggunakan faktor lain yang mempengaruhi kenakalan remaja yaitu kontrol diri. Disini, kontrol diri dikorelasikan dengan kecenderungan kenakalan remaja dan juga dikorelasikan dengan regulasi emosi. Dari hasil analisis tambahan yang mengkorelasikan kontrol diri dengan kecenderungan kenakalan remaja, ditemukan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara kontrol diri dengan kecenderungan kenakalan remaja dimana koefisien korelasinya sebesar -0,627 dengan p=0,000 dimana p<0,005. Ini berarti semakin tinggi tingkat kontrol diri yang dimiliki oleh remaja maka semakin rendah kecenderungan kenakalannya. Selain itu, dari hasil analisis tambahan yang mengkorelasikan kontrol diri dengan regulasi emosi ditemukan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara kontrol diri dengan regulasi emosi dengan kontrol diri sebesar 0,606 dengan p=0,000 atau p<0,005. Ini berarti semakin tinggi tingkat regulasi emosi yang dimiliki oleh remaja maka akan diikuti pula dengan tingginya tingkat kontrol dirinya. Dari hasil uji linearitas terhadap variabel regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja diperoleh hasil F=9,401 dengan p=0,004 karena p<0,05 maka dapat dikatakan bahwa variabel regulasi emosi mempunyai korelasi yang linear dengan variabel kecenderungan kenakalan remaja. Ini berarti hubungan antara variabel penelitian ini mengikuti garis linear. Dalam hal ini hubungan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja adalah negatif, artinya semakin tinggi tingkat regulasi emosi yang dimiliki oleh subyek maka akan diikuti dengan kecenderungan kenakalan yang rendah. Begitu pula
15
dengan hasil uji linearitas terhadap kontrol diri dengan variabel kecenderungan kenakalan remaja yang memperoleh hasil yang linear yaitu F=34,798 dengan p=0,000 atau p<0,05 sehingga hubungan antara kontrol diri dengan variabel kecenderungan kenakalan remaja mengikuti garis linear. Hal ini menunjukkan bahwa subyek penelitian ini memiliki kemampuan meregulasi emosi yang baik dalam menghadapi permasalahan di usia remaja sehingga perilaku yang dimunculkan dalam mengahadapi masalah tidak dipengaruhi oleh emosi yang negatif dan dapat mengarahkan perilakunya kearah yang positif sehingga membuatnya terhindar dari perilaku kenakalan yang dilakukan oleh teman sebayanya atau perilaku kenakalan yang ada dilingkungannya. Subyek dalam penelitian ini memiliki tingkat regulasi emosi yang sangat tinggi, hal ini dapat dilihat dengan hasil rerata empirik subyek yaitu 30,2203 (X>24). Demikian pula halnya dengan tingkat kontrol diri subyek dalam penelitian ini yang berada pada kategori sangat tinggi dengan rerata empirik 74,6441 (X > 57,6). Sedangkan untuk tingkat kecenderungan kenakalan remaja, subyek dalam penelitian ini berada pada kategori sedang dengan rerata empirik 36,1525 (24 < X = 36). Dalam penelitian ini kontribusi variabel regulasi emosi terhadap kecenderungan kenakalan remaja adalah sebesar 0,148. Hal ini berarti sumbangan efektif variabel regulasi emosi terhadap variabel kecenderungan kenakalan remaja adalah sebesar 14,8%. Disamping itu kontribusi kontrol diri terhadap variabel kecenderungan kenakalan remaja adalah sebesar 0,393. Hal ini berarti sumbangan efektif kontrol diri terhadap variabel kecenderungan kenakalan remaja adalah
16
sebesar 39,3%. Sisanya sebesar 45,9% merupakan pengaruh dari faktor lain, baik itu berasal dari dalam maupun dari luar diri subyek penelitian yang memungkinkan memberikan pengaruh terhadap kecenderungan kenakalan remaja pada subyek seperi faktor pengabaian dari orangtua, pola asuh orangtua, kekerasan pada anak, obat – obatan, dan teman sebaya yang terlibat dalam kenakalan remaja. Sebagaimana halnya dengan yang dikemukakan oleh Kostiuk & Gregory (2002) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa kombinasi dari kelekatan yang tidak kuat dan perilaku-perilaku pola asuh orangtua dapat menyebabkan anak mengalami ketidakmampuan meregulasi emosi serta terlibat dalam perilakuperilaku mengganggu, pada akhirnya mendorong strategi pola asuh yang salah dimana hal ini memperburuk perilaku mengganggu pada anak, yang kemudian memperburuk perilaku-perilaku mengganggu anak-anak. Hal ini sejalan dengan Stemberg (Suprihadi, 1996) yang mengatakan bahwa kurangnya pengawasan dari orangtua dan sikap permisif yang berlebihan dapat meningkatkan probabilitas terjadinya perilaku kenakalan pada remaja. Senada dengan Kostiuk & Gregory (2002), dalam penelitian Chang dkk (Pasold, 2006) ditemukan bahwa ayah dan ibu yang pola asuhnya kasar berkaitan erat dengan regulasi emosi dan agresi pada anak. Pola asuh yang kasar membuat regulasi emosi anak buruk dan tingkat agresi pada anak menjadi tinggi. Hasil penelitian – penelitian tersebut khususnya mengenai pola asuh orangtua
yang
berkaitan
dengan
regulasi
emosi
pada
anak
sehingga
mempengaruhi perilaku menggagu pada anak dan agresi anak, relevan dengan
17
temuan peneliti dalam penelitian ini. Adanya pola asuh yang salah seperti pola asuh yang kasar dan kelekatan yang tidak kuat, dapat membuat anak tidak mampu meregulasi emosinya dengan baik sehingga ketika memasuki usia remaja mengalami kesulitan dalam menghadapi permasalahan yang semakin kompleks dan dengan adanya kesulitan dalam mengelola emosi dapat membuat seseorang cenderung mengikuti emosinya dalam berbagai tindakan. Hal ini dapat membuat seorang remaja menjadi rentan dalam perilaku kenakalan, sebab kemampuan meregulasi emosi merupakan kemampuan yang dapat membantu seseorang dalam menjaga diri dan perilakunya untuk tidak didominasi oleh emosi negatif dalam menghadapi berbagai masalah. Groz & Mun’oz dkk (Kendall dan Michael, 2001) mengatakan bahwa regulasi emosi ditunjukkan sebagai suatu proses integral dalam kemampuan sosioemosional dan kesehatan mental. Hurlock (1993) berpendapat bahwa remaja cenderung memiliki emosi yang bergejolak. Di usia remaja, kemampuan untuk mengelola emosi belum berkembang secara matang. Bentuk pola asuh tidak hanya berfungsi untuk mengembangkan kemampuan regulasi emosi seseorang, tapi juga sekaligus berguna untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam mengontrol diri. Adanya kemampuan mengelola emosi yang baik dapat membantu seseorang dalam mengontrol dirinya untuk tidak terlibat dalam perilaku yang negatif terutama ketika sedang mengalami masalah dan tekanan. Ini berarti, kemampuan dalam meregulasi emosi mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengontrol dirinya sehingga dengan adanya kemampuan mengontrol diri yang baik dapat membuat seseorang mengarahkan perilakunya
18
dengan baik dan terhindar dari kenakalan remaja. Hal ini sesuai dengan temuan peneliti dalam penelitian ini yang menemukan bahwa terdapat korelasi positif anatar regulasi emosi dengan kontrol diri, dimana semakin baik regulasi emosi remaja maka semakin baik pula kontrol dirinya dimana hal ini sejalan dengan Hetherington & Parke (Desviyanti, 2005) yang mengatakan bahwa seorang anak yang mampu meregulasi dirinya –yang dalam hal ini terkait dengan regulasi emosi–, maka ia akan dapat memahami dan mengetahui periku seperti apa yang dapat diterima oleh orangtua dan lingkungannya. Dalam penelitian ini juga menemukan bahwa ada kontribusi kontrol diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Dengan kata lain, kontrol diri juga dapat mempengaruhi kecenderungan seorang remaja untuk terlibat dalam perilaku kenakalan. Sebagaimana halnya dengan yang dikemukakan oleh Neal (2004) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa
pengabaian dari orangtua,
kekerasan pada anak, obat – obatan, menyaksikan kekerasan domestik, teman sebaya yang terlibat dengan kenakalan remaja merupakan variabel yang secara statistik berhubungan dengan kenakalan remaja. Senada dengan Neal (2004), Wills & Cleary dkk (Moss dkk, 2006) kontrol diri yang rendah memiliki hubungan positif dengan remaja dan teman sebaya dalam penggunaan obat – obatan Hasil penelitian Neal (2004) dan Wills & Cleary dkk (Moss dkk, 2006) tersebut khususnya mengenai faktor teman sebaya yang terlibat dengan kenakalan remaja, relevan dengan temuan peneliti dalam penelitian ini dimana kontrol diri mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja. Dengan adanya kemampuan
19
untuk mengontrol diri maka seorang remaja tidak terpengaruh pada perilaku teman sebayanya yang terlibat dalam perilaku kenakalan remaja. Kemampuan kontrol diri yang baik merupakan kemampuan untuk mengatur serta mengarahkan perilaku seseorang dalam menghadapi stimulus dari luar dirinya sehingga dapat menghasilkan perilaku yang positif. Ketidakmampuan seorang remaja dalam mengatur dan mengarahkan perilakunya dapat membuatnya terlibat dalam perilaku kenakalan yang dilakukan oleh teman sebayanya. Hasil penelitian dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Elfida (1995) yang menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara kontrol diri dengan kecenderungan
kenakalan
remaja.
Dalam
penelitiannya,
Elfida
(1995)
menyatakan bahwa seseorang yang mampu mengontrol dirinya dengan baik maka dapat mengatasi faktor – faktor dari luar dirinya yang dapat menimbulkan kecenderungan kenakalan remaja. Penelitian ini masih banyak memiliki kekurangan diantaranya adalah jumlah sampel yang diambil sebagai subyek penelitian sangat sedikit dan hanya mewakili daerah tertentu saja yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dari sekian banyak faktor kenakalan remaja penelitian ini hanya meneliti beberapa faktor kenakalan remaja saja. Pada penelitian ini reliabilitas skala regulasi emosi hanya sebesar 0,723 dan ini menunjukkan skala regulasi emosi memiliki reliabilitas yang kurang bagus. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan kalimat yang cukup panjang pada setiap aitemnya sehingga dapat membuat subyek malas membacanya dengan seksama sehingga pemahaman subyek terhadap pernyataan disetiap aitemnya menjadi kurang.
20
Kelemahan berikutnya adalah adanya jumlah aitem yang sangat sedikit pada skala regulasi emosinya dan ketidakseimbangan jumlah aitem favorabel dan unfavorabel sehingga aspek – aspek yang ingin diwakili dalam variabel tersebut kurang terwakili dalam skala yang digunakan pada penelitian ini, serta penggunaan kalimat yang cukup panjang sehingga banyak subyek yang mengeluhkan hal tersebut.
Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini adalah : 1. Ada korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi regulasi emosi subyek maka semakin rendah kecenderungan kenakalannya. Selain itu penelitian ini juga menemukan: ?
Ada korelasi negatif yang signifikan antara kontrol diri dengan kecenderungan kenakalan remaja. Ini berarti semakin tinggi kontrol diri subyek maka akan semakin rendah kecenderungan kenakalannya, begitu pula sebaliknya.
?
Ada korelasi positif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kontrol diri. Ini berarti semakin tinggi regulasi emosi subyek maka semakin tinggi pula kontrol dirinya.
21
2. Berdasarkan deskripsi data penelitian, diketahui bahwa tingkat regulasi emosi dan kontrol diri subyek berada dalam kategori sangat tinggi sedangkan untuk kecenderungan kenakalan remaja berada pada kategori sedang. Kontribusi variabel regulasi emosi terhadap kecenderungan kenakalan remaja dalam penelitian ini adalah 0,148. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangan efektif variabel regulasi emosi terhadap variabel kecenderungan kenakalan remaja adalah sebesar 14,8%. Saran – saran 1. Saran bagi subyek penelitian Subyek penelitian diharapkan untuk tetap mempertahankan tingkat regulasi emosi dan tingkat kontrol dirinya yang termasuk dalam kategori sangat tinggi, dan sebagaimana halnya dengan hasil penelitian ini bahwa kontrol diri memiliki korelasi negatif dengan kecenderungan kenakalan remaja. Oleh karenanya, jelaslah bahwa dengan kemampuan kontrol diri yang baik subyek dapat mengarahkan dan mengatur perilakunya kearah yang positif sehingga dapat terhindar dari perilaku kenakalan remaja. Selain itu, subyek juga disarankan untuk terus meningkatkan kemampuannya dalam mengelola emosi sehingga meskipun saat sedang menghadapi masalah atau tekanan subyek dapat mengarahkan perilakunya ke hal yang positif. Dengan terus meningkatkan kemampuan dalam meregulasi emosi dan mengontrol diri, subyek tidak hanya memberikan pengaruh positif bagi dirinya tapi juga bagi lingkungan dan teman sebayanya untuk menjadi tauladan yang baik, sehingga dengan begitu perilaku kenakalan remaja dapat diminimalisir dan dapat ditanggulangi.
22
2. Saran bagi sekolah Melihat tingkat regulasi emosi dan kontrol diri subyek yang masuk dalam kategori sangat tinggi, diharapkan pihak sekolah dapat memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para siswa untuk mempertahankan kemampuan dalam meregulasi emosi dan mengontrol diri, baik secara rutin maupun secara temporer sebagaimana dalam hasil penelitian yang menunjukkan bahwa regulasi emosi mempengaruhi kontrol diri dimana dalam hal ini kontrol diri dapat mengurangi kecenderungan kenakalan remaja sehingga masalah kenakalan remaja dapat direduksi. Sekolah dapat mempertahankan kemampuan meregulasi emosi dan mengontrol diri siswa – siswinya melalu kegiatan ektrakurikuler yang ada disekolah. Dengan lebih meningkatkan keaktifan ekstrakurikuler yang ada disekolah dapat membuat siswa – siswi mengisi waktu mereka dengan kegiatan positif sehingga adanya kegiatan ini juga dapat membantu siswa – siswi untuk terhindar dalam perilaku kenakalan. Dengan mendidik para siswa untuk mengelola emosinya serta mengarahkan dan mengatur perilakunya kearah yang positif, berarti pihak sekolah juga telah membantu pemerintah dalam menanggulangi kenakalan remaja di Indonesia. 3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih mendalam mengenai kenakalan remaja diharapkan dapat melakukan penelitian dengan metode penelitian yang lain untuk mendapatkan data yang lebih banyak dan detail. Selain itu, diharapkan juga kepada peneliti selanjutnya yang menggunakan penelitian kuantitatif untuk dapat
23
meneliti kecenderungan kenakalan remaja dengan menggunakan faktor – faktor lain yang mempengaruhi kenakalan remaja secara keseluruhan. Bagi peneliti yang ingin meneliti dengan variabel yang sama, diharapkan dapat menyertakan aspek – aspek penelitian disetiap variabelnya dengan baik sehingga dalam penelitian yang dilakukan dapat lebih terlihat kontribusinya.