PENGARUH PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Disusun oleh Raina Fatia Karima 1110070000006
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015
MOTTO :
Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful. ― B ob Dylan Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri. ― Ibu Kartini Happiness always looks small while you hold it in your hands, but let it go, and you learn at once how big and precious it is.
― Maxim Gorky
v
Persembahan: Kupersembahkan karya ini untuk kedua orang tuaku, mamah, bapak, kakakku dan sahabatku, yang selalu mencurahkan doa serta dukungannya kepadaku. Terimakasih untuk semuanya.
vi
ABSTRAK A) B) C) D)
Fakultas Psikologi Desember 2014 Raina Fatia Karima Pengaruh Psychological Capital dan Kepuasan Kerja terhadap Psychological Well-Being pada Petugas Pemadam Kebakaran E) xvi + 130 Halaman F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari setiap variabel yang dianalisis (independent variable) terhadap psychological well-being (dependent variable) pada petugas pemadam kebakaran. Independent variabel yang diteliti dalam penelitian ini antara lain psychological capital (self-efficacy, hope, resiliency, optimism) dan kepuasan kerja (pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker, communication) serta variabel mana yang paling mempengruhi psychological well-being. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis regresi berganda, serta pengujian validitas konstruk menggunakan teknik Analisa Faktor Konfirmatori (CFA). Sampel berjumlah 200 petugas pemadam kebakaran. Sampel penelitian di tentukan dengan menggunakan teknik non probability sampling. Instrument pengumpulan data menggunakan Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB), Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans, Avolio, et al., 2007dan Satisfaction Scales (JSS).
G) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari psychological capital dan kepuasan kerja terhadap psychological wellbeing pada petugas pemadam kebakaran. Hasil uji hipotesis minor yang menguji self-efficacy, hope, resiliency, optimism, pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker dan communication, hanya optimisme saja yang memiliki pengaruh terhadap psychological well-being, sedangkan sisanya tidak berpengaruh terhadap psychological well-being. H) Bahan bacaan: 36; buku: 2 + jurnal: 26 + tesis: 2 + artikel: 6
vii
ABSTRACT I) J) K) L)
Faculty of Psychology Desember 2014 Raina Fatia Karima The influence of psychological capital and job satisfaction on Psychological well-being in fire fighter M) xvi + 130 Pages N) This study was done to see the extent of the influence of each variable were analyzed (independeny variable) on psychological well-being (dependent variable) in fire fighter. Independent variables examined in this study include psychological capital (self-efficacy, hope, resiliency, optimism) and job satisfaction (pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker, communication), which variable most affect psychological well-being. The approach used in this study is a quantitative method, analysis with multiple regression (SPSS 17.0), and testing construct validity using Confirmatory Factor Analysis (CFA). Sample are 200 fire fighte. The technique sampling is determined by using the non-probability sampling technique. Data collection instrument using a Likert scale, Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB), Satisfaction Scales (JSS), and Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24), scale was developed by Luthans, Avolio, et al., 2007. Based on the results, that there are significant effect of job satisfaction and psychological capital on psychological well-being of fire fighter. The results of the minor hypothesis test that self-efficacy, hope, resiliency, optimism, pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker and communication, only optimism which has an influence on psychological well-being, while the rest had no effect on psychological well-being.
O) The literature: 36; book: 2 + journal: 26 + thesis: 2 + article: 6
viii
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim Syukur Allhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Psychological Capital dan Kepuasan Kerja terhadap Psychological Well-Being pada Petugas Pemadam Kebakaran”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selama pengerjaan skripsi ini peneliti dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan pelajaran hidup yang berarti bagi peneliti. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh wakil dekanat dan jajaran dekanat lainnya yang telah memfasilitasi pendidikan mahasiswa dalam rangka menciptakan lulusan berkualitas.
ix
2. Ibu Neneng Tati Sumiyati, M.Si, Psi pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan penuh dan do’a kepada seluruh mahasiswa. 3. Bapak Drs. Akhmad Baidun, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi dengan penuh kesabaran dan kesungguhan telah memberikan banyak saran dan kritik kepada peneliti selama masa penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas waktu yang berharga dan tenaganya untuk membimbing dan memberikan masukan kepada peneliti. 4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan limpahan ilmu yang tidak ternilai dan banyak membantu peneliti. 5. Kepada kedua orang tua dan saudara-saudaraku, saya mengucapkan banyak terima kasih atas doa pada setiap sujudnya, mamah dan bapak yang tak pernah putus memberikan semangat, selalu penuh rasa cinta, kasih dan sayang, dan dukungan baik moril maupun materil. Teteh yang selalu siap membantuku saat kesulitan serta bersedia mendengarkan keluh kesah peneliti saat proses penyusunan skripsi ini 6. Sahabat-sahabat saya emmeku Dina, Okta, Ditta, Hanna, Ira, dan Rias khusunya Ira dan Rias yang selalu mendukung peneliti, selalu siap mendengarkan keluh kesah peneliti, tselalu dapat membuat peneliti memiliki energi yang lebih untuk dapat menyelesaikan penelitian ini. 7. Terima kasih kepada petugas pemadam kebakaran yang telah mau menajadi responden dalam penelitian ini dan terimakasih pada Dinas
x
Peamadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana yang sudah mengijinkan saya untuk melakukan penelitian. 8. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat Peneliti sebutkan satu per satu, terima kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga amal baik serta jasa mereka senantiasa di terima Allah SWT. Selain itu mengingat kekeurangan dan keterbatasan Peneliti, maka segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan Peneliti sebagai bahan penyempurnaan. Serta semoga pembaca dapat memanfaatkan karya sederhana ini. Amin.
Jakarta, Desember 2014
Raina Fatia Karima
xi
DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan ........................................................................................ ii Halaman Pengesahan ......................................................................................... iii Halaman Pernyataan ......................................................................................... iv Motto ................................................................................................................... v Persembahan ...................................................................................................... vi Abstrak ................................................................................................................ vii Kata Pengantar .................................................................................................. ix Daftar Isi ............................................................................................................. xii Daftar Tabel ........................................................................................................ xv Daftar Gambar ................................................................................................... xvi Daftar Lampiran ................................................................................................ xvii
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 1.2
Latar Belakang ........................................................................... Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 1.2.1 Pembatasan Masalah .......................................................... 1.2.2 Rumusan Masalah .............................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 1.3.1 Tujuan Penelitian ............................................................ 1.3.2 Manfaat Teoritis ............................................................. 1.3.2 Manfaat Praktis .............................................................. 1.4 Sistematika Penulisan ................................................................ BAB II
1 8 8 9 11
11 11 11 12
LANDASAN TEORI 2.1
Psychological Well-Being .......................................................... 2.1.1 Definisi Psychological Well-Being ................................. 2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being ................................. 2.1.3 Faktor-faktor Psychological Well-Being ...................... .. 2.1.3.1 Faktor Demografis ..................................................... 2.1.3.2 Kepuasan Kerja .......................................................... 2.1.3.3 Dukungan Sosial ..........................................................
xii
14 14 15 20 20 22 23
2.2
2.3
2.4 2.5
2.1.4 Pengukuran Psychological Well-Being ...................... ... Psychological Capital ................................................................. 2.2.1 Definisi Psychological Capital........................................ 2.2.2 Dimensi Psychological Capital....................................... 2.2.3 Pengukuran Psychological Capital....... .......................... Kepuasan Kerja .......................................................................... 2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja ................................................ 2.3.2 Aspek Kepuasan Kerja .................................................... 2.3.3 Teori Kepuasan Kerja...................................................... 2.3.3.1 Teori Proses Bertentangan ........................................... 2.3.3.2 Teori Ketidaksesuaian .................................................. 2.3.3.3 Model dari Kepuasan Bidang ....................................... 2.3.3.4 Teori Dua Faktor dari Herzberg ................................... 2.3.4 Pengukuran Kepuasan Kerja ........................................... Kerangka Berpikir ...................................................................... Hipotesis Penelitian..................................................................... 2.5.1 Hipotesis Mayor ....... ...................................................... 2.7.2 Hipotesis Minor ..............................................................
24 24 24 28 32 33 33 35 36 36 37 38 40 40 42 50 50 50
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .................. 3.2 Variabel dan Definisi Operasional ............................................. 3.2. 1 Variabel Penelitian ............................................................... 3.2. 2 Definisi Operasional Variabel ............................................. 3.2.2.1 Psychological Well-Being............................................... 3.2.2.2 Psychological Capital..................................................... 3.2.2.3 Kepuasan Kerja............................................................... 3.3 Instrumen Pengumpulan Data .................................................... 3.3.1 Alat Ukur Psychological Well-Being .............................. 3.3.2 Alat Ukur Psychological Capital ................................... 3.3.3 Alat Ukur Kepuasan Kerja ............................................. 3.4 Pengujian Validitas Konstruk .................................................... 3.4.1 Uji Validitas Konstruk Psychological Well-Being ......... 3.4.1.1 Uji Validitas Dimensi Otonomi .............................. 3.4.1.2 Uji Validitas Dimensi environmental mastery ........ 3.4.1.3 Uji Validitas Dimensi personal growth .................. 3.4.1.4 Uji Validitas Dimensi positive relations ................. 3.4.1.5 Uji Validitas Dimensi purpose in life...................... 3.4.1.6 Uji Validitas Dimensi self-acceptance ....................
xiii
52 52 52 53 53 54 54 55 56 57 58 60 62 62 63 63 64 65 66
3.5 3.6
3.4.2 Uji Validitas PWB dengan Model Second Order .......... 3.4.3 Uji Validitas Konstruk Psychological Capital ............. 3.4.4 Uji Validitas Konstruk Kepuasan Kerja ......................... Moetode Analisis Data ............................................................... Prosedur Penelitian .....................................................................
66 67 72 82 84
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 4.2
BAB V
Deskripsi Hasil Penelitian .......................................................... 4.1.1 Ketegorisasi Skor Variabel Penelitian ............................ Uji Hipotesis Penelitian ............................................................. 4.2.1 Pengujian Hipotesis Mayor ............................................ 4.2.2 Pengujian Hipotesis Minor ............................................. 4.2.3 Pengujian Proporsi Varians .............................................
86 88 90 90 92 95
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 5.2 5.3
Kesimpulan ................................................................................ Diskusi ....................................................................................... Saran ........................................................................................... 5.3.1 Saran Metodologis .......................................................... 5.3.2 Saran Praktis ...................................................................
99 99 105 106 106
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 107 LAMPIRAN ........................................................................................................ 111
xiv
DAFTAR TABEL Tabel 3.1
Format Skoring Skala Likert ............................................................ 55
Tabel 3.2
Blueprint Skala Psychological Well-Being ...................................... 57
Tabel 3.3
Blueprint Skala Psychological Capital ........................................... 58
Tabel 3.4
Blueprint Skala Kepuasan Kerja ....................................................... 59
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ............................................ 87
Tabel 4.2
Norma Skor Variabel ....................................................................... 88
Tabel 4.3
Kategorisasi Skor Variabel Penelitian …………………................. 89
Tabel 4.4
Model Summary …………………….............................................. 91
Tabel 4.5
Anova ………………..................................................................... 92
Tabel 4.6
Koefisien Regresi ……………………........................................... 92
Tabel 4.7
Proporsi Varians Independent Variabel .......................................... 96
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 49
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Kuesioner
Lampiran 2
Analisis Konfirmatorik PWB (otonomi)
Lampiran 3
Analisis Konfirmatorik PWB (environmentl mastery)
Lampiran 4
Analisis Konfirmatorik PWB (personal growth)
Lampiran 5
Analisis Konfirmatorik PWB (positive relations with others)
Lampiran 6
Analisis Konfirmatorik PWB (purpose in life)
Lampiran 7
Analisis Kon firmatorik Psychological Well-Being (self-acceptance)
Lampiran 8
Analisis Konfirmatori Psychological Well-Being (second order)
Lampiran 9
Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (self-efficacy)
Lampiran 10 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Hope) Lampiran 11 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Resiliency) Lampiran 12 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Optimisme) Lampiran 13 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Pay) Lampiran 14 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Promotion) Lampiran 15 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Supervision) Lampiran 16 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Fringe Benefit) Lampiran 17 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Contingen Reward) Lampiran 18 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Operating Condition) Lampiran 19 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Coworker) Lampiran 20 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Nature of Work) Lampiran 21 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Cmmunication) Lampiran 22 Proporsi Varians Masing-Masing IV
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemadam kebakaran merupakan petugas atau karyawan yang dilatih dan bertugas untuk memadamkan kebakaran dan penyelamatan. Petugas pemadam kebakaran selain terlatih untuk menyelamatkan korban dari kebakaran, juga dilatih untuk menyelamatkan korban kecelakaan lalu lintas, gedung runtuh, dan lain-lain (Gadis, 2013). Pemadam kebakaran sangat penting peranannya di Indonesia karena kondisi wilayah Indonesia yang sering mengalami bencana alam dan kebakaran, baik di pemukiman, perkantoran maupun tempat lainnya. Kebakaran di wilayah DKI Jakarta sepanjang tahun 2011 tercatat sekitar 963 kasus, tahun 2012 tercatat 1.008 kasus, tahun 2013 tercatat 486 kasus, dan sepanjang tahun 2014 (Januari sampai dengan April 2014) tercatat 280 kasus (Lenny, 2014). Kebakaran yang terjadi di wilayah DKI Jakarta setiap tahun semakin meningkat, sehingga dibutuhkan lebih banyak personel pemadam kebakaran. Berdasarkan analisis jabatan oleh Dinas Kebakaran di DKI Jakarta pada akhir tahun 2013, kebutuhan personel pemadam kebakaran untuk DKI mencapai 4.001 personel, dan saat ini terdapat 2.606 personel. Sedangkan jumlah personel pemadam kebakaran di Jakarta masih sangat sedikit, sehingga beban kerja petugas pemadam kebakaran lebih berat. Beban berlebih menyebabkan petugas pemadam kebakaran sering mengalami kecelakaan di saat bertugas. Kepala Pemadam Kebakaran
Sektor
VI,
Makasar,
Jakarta
Timur,
Bambang
Mujianto
mengungkapkan, beban berat yang harus ditanggung petugas pemadam kebakaran
1
2
bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya kecelakaan kerja di kalangan pemadam kebakaran. Peristiwa kecelakaaan petugas pemadam kebakaran saat melakukan operasi pemadaman seringkali terjadi, seperti luka-luka bahkan meninggal dunia. Berdasarkan data Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta (Januari 2012 sampai dengan Desember 2012) terdapat 23 personel pemadam kebakaran yang mengalami kecelakaan. Jumlah kecelakaan kerja yang paling banyak terjadi pada September 2012, terdapat 7 petugas pemadam yang terluka saat bertugas oleh karena itu pemadam kebakaran membutuhkan asuransi jiwa untuk menunjang kesehatannya (Kompas, 2014). Pemberian asuransi jiwa kepada petugas pemadam kebakaran menjadi hal yang mendasar dan menjadi perhatian utama. Bambang Mujianto mengatakan "Kalau sudah menyangkut korban manusia tidak boleh ditempatkan lebih rendah dari prioritas lain. Jika kebakaran menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, ada korban jiwa dan kerugian material maka itu harus menjadi prioritas (Fauzan, 2009). Petugas pemadam kebakaran memanfaatkan askes (Asuransi Kesehatan) untuk membayar perawatan, tetapi askes tidak dapat digunakan untuk menangani luka bakar. Sehingga untuk membayar biaya perawatan, para personel kebakaran menyisihkan uangnya untuk membantu personel lain yang terkena luka bakar. Petugas pemadam kebakaran tidak jarang mendapatkan cemoohan dan cacian warga apabila mobil pemadam kebakaran terlambat datang saat peristiwa kebakaran terjadi. Petugas kebakaran mempertaruhkan nyawanya untuk menerobos api, asap, dengan resiko terperangkap dan berbagai bahaya lainnya dalam menyelesaikan pekerjaannya. Salah seorang petugas pemadam kebakaran
3
yang ditemui indosiar di kantor Pusat Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Selatan, Jalan Baru Pasar Jumat, adalah Suroto (50 tahun) yang merupakan satu dari 100 pasukan pemadam kebakaran yang telah bekerja lebih dari 27 tahun. “Menurut Suroto, menjadi petugas pemadam kebakaran harus siap fisik dan mental” (Suprihatin, 2014). Berdasarkan hasil survey di Amerika oleh Dow Jones (1997) mengenai jenis pekerjaan yang banyak menimbulkan stress. Pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran menduduki peringkat kedua sebagai pekerjaan yang stressfull, karena tuntutan yang beresiko dan penuh dengan tantangan dalam menjalankan tugasnya, pemadam kebakaran rentan terhadap stress yang cukup tinggi. Pemadam kebakaran harus memadamkan api dengan cepat agar dapat menolong korban, tempat atau barang yang terbakar. Selain itu pemadam kebakaran harus memikirkan keselamatannya sendiri. Menjadi seorang pemadam kebakaran harus siap fisik dan mental, pekerjaan menjadi petugas pemadam kebakaran dan penyelamatan merupakan pekerjaan yang sangat menantang dan beresiko tinggi. Menurut Leigh (dalam Malek, 2010) pemadam kebakaran merupakan pekerjaan yang dapat membuat individu stressful dan berbahaya, dan menempati peringkat lima sebagai pekerjaan yang memiliki tingkat kematian tinggi di Amerika Serikat. Bukti menunjukkan bahwa secara langsung atau tidak langsung sifat pekerjaannya dapat menyebabkan stress. Selain itu, Moran (dalam Malek, 2010) menemukan bahwa bekerja sebagai pelayanan darurat seperti pemadam kebakaran, ambulan dll tidak hanya mengalami stress sehari-hari tetapi pemadam kebakaran mengalami stress pada
4
saat terjadi kejadian darurat dan dapat menyebabkan trauma. Beaton dan Murphy (dalam Malek, 2010) mengemukakan bahwa stress kerja sebagai pemadam kebakaran rumit dan beragam. Profesi sebagai petugas pemadam kebakaran memiliki jam kerja tidak teratur dan harus tetap siaga 24 jam. Akibatnya, petugas cenderung tidak bersemangat, tidak benergi, sulit berkonsentrasi, sakit kepala dan mengalami insomnia. Sehingga petugas kebakaran melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, rentan kecelakaan (karena mengantuk), perubahan mood dan sering ijin karena sakit (Tryana, 2012). Dari fenomena di atas bahwa seorang petugas kebakaran memiliki tingkat stress yang cukup tinggi dan mungkin akan mempengaruhi psychologycal well-being para petugas pemadam kebakaran. Psychological well-being merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya (Ryff, 1989). Petugas pemadam kebakaran harus memiliki psychological well-being yang baik, karena dalam menjalankan tugasnya dibutuhkan fisik dan juga psikis yang sehat sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Psychological well-being dapat dipengaruhi oleh psychological capital. Penelitian yang berfokus pada PsyCap yaitu penelitian Avey, Luthans, Smiths, dan Palmer (2010) serta penelitian Peterson, Balthazard, Waldman, dan Thatcher (2008) yang menyatakan bahwa psychological capital dapat meningkatkan well-
5
being pada karyawan. PsyCap memiliki empat dimensi yaitu Self-Efficacy, Hope, Optimism, dan Resiliency. Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara well-being dan self-efficacy. Individu yang memiliki self- efficacy tinggi akan memiliki psychological well being yang tinggi, akan lebih percaya diri, tegas, memiliki aspirasi yang tinggi dan komitmen yang kuat terhadap apa yang ingin di capai. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi dapat mengelola dan mengatasi pengalaman buruk yang pernah dialami. Seorang petugas pemadam kebakaran harus memiliki self-efficacy yang tinggi, dimana petugas harus yakin terhadap kemampuannya dalam mengatasi kebakaran. Individu yang memiliki harapan yang tinggi terhadap kehidupannya dan memiliki keinginan untuk mencapai suatu tujuan maka akan memiliki psychological well-being yang tinggi pula. Seorang petugas harus memiliki harapan terhadap pekerjaan yang dilakukan sehingga akan mendapatkan hasil yang maksimal. Peneliti melakukan wawancara bahwa harapan seorang petugas pemadam kebakaran pada saat proses pemadaman masih sangat rendah, dimana terkadang petugas merasa putus asa pada saat proses pemadaman karena api yang tidak kunjung padam sehingga akan mempengaruhi psychological well-being petugas karena tidak berhasil memadamkan api. Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009) menunjukkan bahwa optimisme dapat meningkatkan psychological well-being dan dapat memiliki penyesuaian yang lebih baik terhadap peristiwa kehidupan
6
yang penuh stres. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi terhadap optimisme maka memiliki tingkat kepuasan yang tinggi, rendahnya tingkat stress, anxiety dan gejala depresi. Power (dalam Sandeep Singh dan Mansi 2009) menyatakan bahwa optimisme lebih berorientasi terhadap pencapaian pada setiap tugas dalam hidup, pengambilan keputusan dengan cepat, dan memilih solusi yang terbaik dalam menangani masalah. Individu yang optimis memiliki kualitas hidup yang tinggi dan memiliki resiko yang lebih rendah dari semua penyebab kematian. Pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran dapat menyebabkan stress, cemas dan gejala depresi sehingga dengan memiliki optimisme terhadap pekeraannya maka seorang petugas akan memiliki tingkat stress yang rendah dan akan mempengaruhi psychological well-beingnya. Kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran sering kali terjadi dan kecelakaan dapat menyebabkan individu trauma dan sulit untuk bangkit kembali dan menyesuaikan dengan lingkungan. Sehingga seorang petugas pemadam kebakaran harus memiliki resiliensi, dimana resiliensi yaitu dapat bangkit kembali dari pengalaman yang buruk dan juga dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Seorang petugas harus memiliki resiliensi yang tinggi, sehingga akan cepat bangkit kembali dari pengalaman buruknya dan juga akan mempengaruhi psychological well-beingnya. Psychological capital yang dimiliki karyawan dapat meningkatkan nilainilai potensial karyawan dalam berbagai hal, seperti dalam mengambil sudut pandang yang berbeda, mengambil kesempatan, mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dan mampu meningkatkan well-being (Avey, Luthans, Smiths,
7
& Palmer, 2010). Individu dengan psychological capital yang tinggi akan lebih fleksibel dan mudah beradaptasi untuk melakukan beberapa hal dalam memenuhi tuntutan pekerjaan. Dimana di saat yang bersamaan psychological capital yang dimiliki akan membantu mengembangkan dan meningkatkan kemampuan serta well-being yang dimiliki (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Psychological well-being juga dapat di pengaruhi oleh kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011) terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being. Individu yang merasa puas dengan pekerjaannya cenderung merasa baik secara psikologis. Perilaku ini dapat dengan jelas terlihat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011), bahwa apabila terdapat perbedaan yang ditemukan dalam sampel tentang kepuasan kerja juga ditemukan perbedaan dalam psychological well-being. Terdapat penelitian lain juga yang menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan terhadap psychological well-being. Individu yang merasa senang akan pekerjaannya maka akan puas secara pekerjaan dan juga psychological well-beingnya (Luthans dkk, 2010). Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 15 petugas pemadam kebakaran, sebagian petugas pemadam mengatakan bahwa mereka puas terhadap pekerjaannya saat ini, sebagiannya lagi mengatakan bahwa mereka merasa tidak puas terhadap pekerjaanya. Hasil wawancara yang dilakukan yaitu petugas memiliki keluhan mengenai tunjangan yang diberikan. Petugas merasa kurang terhadap tunjangan yang diberikan, karena tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Selain itu, kurangnya penghargaan terhadap pekerjaan yang
8
dilakukan oleh petugas pemadam kebakaran oleh pemerintah. Ketka terjadi kecelakaan kereta di bintaro, yang pertama kali datang ke TKP yaitu petugas pemadam kebakaran tetapi yang diberikan penghargaan hanya polisi dan tentara dan yang di sorot oleh media hanya tentara dan polisi. Sehingga petugas pemadam kebakaran merasa kurang dihargai dan diperhatikan. Selain itu, sebagai petugas pemadam kebakaran harus memiliki komunikasi dan rekan kerja yang baik sehingga dapat meningkatkan kepuasan terhadap pekerjaannya, tetapi petugas merasa kurang puas terhadap komunikasi antar petugas maupun rekan kerjanya. Sehingga pekerjaan yang petugas pemadam kebakaran lakukan kurang maksimal, dan akan merasa tidak puas terhadap pekerjaannya sehingga akan mempengaruhi psychological well-being ptugas. Berdasarkan penelitian dan fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan riset mengenai “Pengaruh Psychological Capital dan Kepuasan Kerja Terhadap Psychological Well-Being Petugas Pemadam Kebakaran”. 1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah Untuk terarahnya pembahasan, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Psychological well-being yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang
9
kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. 2. Psychological capital yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadaptkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan (resiliency). 3. Job satisfaction (kepuasan kerja) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang merasakan puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya 1.2.2 1.
RUMUSAN MASALAH
Apakah
terdapat
pengaruh
yang
signifikan
self-efficacy
terhadap
psychological well-being? 2.
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan hope terhadap psychological wellbeing?
3.
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan optimism terhadap psychological well-being?
10
4.
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan resiliency terhadap psychological well-being?
5. Apakah
terdapat
pengaruh
yang
signifikan
kepuasan
gaji
terhadap
psychological well-being? 6.
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan promosi terhadap psychological well-being?
7.
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kepemimpinan terhadap psychological well-being?
8.
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan tunjangan terhadap psychological well-being?
9.
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan penghargaan terhadap psychological well-being?
10. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan prosedur kerja terhadap psychological well-being? 11. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan rekan kerja terhadap psychological well-being? 12. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan sifat pekerjaan terhadap psychological well-being? 13. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan komunikasi terhadap psychological well-being?
11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Psychological capital dan kepuasan kerja terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran. 1.3.2. Manfaat Teoritis Manfaat Teoriris dari penelitian ini yaitu: Mengembangkan penerapan ilmu psikologi khususnya psikologi industri dan organisasi, sehingga dapat menjadi referensi bagi akademisi, praktisi, dan masyarakat yang berminat untuk melakukan penelitian tentang psychological well-being, psychological capital dan kepuasan kerja di bidang psikologi industri dan organisasi. 1.3.3. Manfaat Praktis 1. Psychological well-being bisa meningkatkan kepuasan kerja setiap petugas. Petugas yang puas terhadap pekerjaannya akan memiliki Psychological wellbeing yang baik. 2. Memberikan
masukan
terhadap
instansi
agar
lebih
memperhatikan
psychological well-being para petugasnya. 3. Menjadi acuan dalam melihat psychological well-being dan psychological capital dari petugas, sehingga dapat diaplikasikan sebagai evaluasi bagi instansi untuk mencapai tujuan.
12
1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan mengenai psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja. Bab II Landasan Teori Landasan teori berisi uraian mengenai teori-teori yang terkait dalam menjawab masalah penelitian yang telah diajukan, dalam hal ini adalah teori psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja. Bab III Metode Penelitian Pada bab ini akan diuraikan metode penelitian, yang meliputi permasalahan penelitian, hipotesis penelitian variabel penelitian, tipe dan desain penelitian, partisipasi penelitian, metode pengambilan data, instrumen penelitian, prosedur penelitian, dan teknik statistika yang digunakan dalam penelitian mengenai psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja. Bab IV Hasil dan Interpretasi Hasil Penelitian Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan interpretasi hasil penelitian, meliputi gambaran umum penelitian, analisis utama penelitian, serta
13
analisis tambahan penelitian mengenai psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja. Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Pada bagian kesimpulan berisi jawaban terhadap permasalahan penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Pada bagian diskusi, akan dibahas hasil penelitian. Selain itu, juga akan diberikan pembahasan mengapa suatu hipotesis penelitian ditolak atau diterima, serta keterbatasan-keterbatasan penelitian. Bagaimana saran berisi saran-saran metodelogis untuk keperluann penelitian selanjutnya serta saran-saran praktis sesuai dengan permasalahan dan hasil penelitian.
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Definisi Psychological Well-Being Istilah psychological well-being dipopulerkan oleh Ryff dengan konsep yang berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja, tetapi juga berkaitan dengan kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically well-being). Menurut Ryff (1989) manusia dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental negatif, seperti terbebas dari kecemasan, tercapainya kebahagiaan dan lain-lain. Ryff (1989) merumuskan konsep psychological well-being yang merupakan integrasi dari beberapa teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsepsi mengenai kesehatan mental (Ryff, 1989). Berdasarkan teori tersebut, Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat
hidup
lebih
bermakna,
serta
berusaha
mengeksplorasi
dan
mengembangkan dirinya. Ryff (1989) menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan 14
15
perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (selfactualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya tanda depresi (Ryff, 1995). Bradburn menyatakan bahwa happiness (kebahagiaan) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap individu (Ryff dan Singer, 1998). Berdasarkan uraian diatas, pada penelitian ini, peneliti menggunakan definisi psychological well being menurut Ryff (1998). Hal ini menjelaskan bahwa psychological well-being merupakan sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya 2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being Ryff (1989) mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis dalam enam dimensi, yakni dimensi penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
16
1. Penerimaan diri (self-acceptance) merupakan bagian utama dari kesehatan mental. Ryff (1989) menyimpulkan bahwa penerimaan diri mengandung arti sebagai sikap yang positif terhadap diri sendiri. Sikap positif ini adalah mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif, serta memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk menjadi pribadi yang bukan dirinya. Dengan kata lain tidak menjadi dirinya sendiri. 2. Hubungan yang positif dengan orang lain (positive relationship with others) merupakan dimensi yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan hangat, saling mempercayai, dan saling peduli akan kebutuhan serta kesejahteraan pihak lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari kondisi mental yang sehat. Selain itu, teori selfactualization mengemukakan konsep hubungan positif dengan orang lain sebagai perasaan empati dan afeksi serta kemampuan untuk membina hubungan yang mendalam. Membina hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan salah satu dari criterion of maturity. Teori perkembangan manusia juga menekankan intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain.
17
Dalam dimensi ini, individu yang dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, dan juga memiliki rasa afeksi dan empati yang kuat terhadap orang lain. Sementara itu, individu yang dikatakan rendah atau kurang baik dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dengan orang lain, sulit bersikap hangat dan enggan memiliki ikatan dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995). 3. Otonomi (autonomy) adalah pribadi mandiri, dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Individu memiliki internal locus of evaluation, yakni tidak mencari persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dirinya dengan standar yang telah ditetapkan sendiri. Oleh karena itu, individu tidak memikirkan harapan dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Individu yang otonom juga tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan. Individu tidak menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam bentuk tertentu. Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Individu yang mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. Hal ini menandakan bahwa baik dalam dimensi ini. Sementara individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, individu akan membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain dan cenderung bersikap konformis. Dengan kata lain
18
individu yang tidak terpengaruh dengan persepsi orang lain dan tidak bergantung dengan orang lain adalah individu yang memiliki autonomy yang baik, sedangkan individu yang mudah terpengaruh serta bergantung pada orang lain adalah individu yang memiliki autonomy yang rendah (Ryff & Keyes 1995). 4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) menggambarkan adanya suatu perasaan kompeten dan penguasaan dalam mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal di luar dirinya, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas serta mampu mengendalikannya. Menurut Ryff (1989), individu yang memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk mengatur lingkungannya. Individu seperti mampu mengendalikan kegiatannya yang kompleks sekalipun, juga dapat menggunakan kesempatan yang ada secara efektif, dan mampu memilih, atau bahkan menciptakan lingkungan yang selaras dengan kondisi jiwanya. Individu yang mampu memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktifitas fisik maupun mental. Individu dengan kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Dengan kata lain, individu memiliki kemampuan dalam menghadapi kejadian di luar dirinya (lingkungan eksternal). Sementara itu, Individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menunjukkan ketidakmampuan untuk
19
mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar (Ryff & Keyes 1995). 5. Tujuan hidup (purpose in life) adalah kondisi mental sehat sehingga memungkinkan individu untuk menyadari bahwa seseorang memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang dijalaninya, serta mampu memberikan makna pada hidup yang pernah dilakukan. Teori perkembangan juga menekankan pada berbagai perubahan tujuan hidup sesuai dengan tugas perkembangan dalam tahap perkembangan tertentu. Definisi kematangan juga menekankan pemahaman yang jelas tentang tujuan hidup dan rasa. teori life span development mengacu pada berbagai perubahan tujuan atau tujuan dalam hidup, seperti menjadi produktif dan kreatif. Dengan demikian, orang yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, niat, dan rasa keterarahan, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup itu bermakna. 6. Pertumbuhan pribadi (personal growth) merupakan optimal psychological functioning tidak hanya bermakna pada pencapaian terhadap karakteristik tertentu, tetapi pada bagaimana individu terus mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, bertumbuh, dan meningkatkan kualitas pada dirinya (Ryff, 1989). Kebutuhan akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif utama dari dimensi pertumbuhan diri. Keterbukaan akan pengalaman baru merupakan salah satu karakteristik dari fully functioning person (Ryff, 1989). Teori perkembangan juga menekankan pada pentingnya manusia untuk bertumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap periode pada tahap perkembangannya.
20
Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan luas (Ryff, 1995). Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan
diri,
merasa
bosan
dan
kehilangan
minat
terhadap
kehidupannya, serta merasa tidak mampu mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik (Ryff, 1995). 2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah faktor demografi, dukungan sosial, dan religiusitas antara lain: 2.1.3.1 Faktor Demografis Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain adalah sebagai berikut: 1. Usia. Ryff dan Keyes (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi psychological well-being. Dalam penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan
dan
dimensi
otonomi
mengalami
peningkatan
seiring
bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya.
21
Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan siring bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dari penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir. 2. Jenis Kelamin. Penelitian Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Psychological well-being memiliki empat aspek, keempat aspeknya konsisten tida memiliki pengaruh yang signifikan antara laki-laki maupun wanita. 3. Status Sosial Ekonomi. Menurut Ryff dan Singer (2008) mengatakan bahwa perbedaan kelas sosial ekonomi memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis individu. Ryff (Ryan & Deci, 2001) juga menjelaskan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Banyak dampak negatif dari rendahnya status ekonomi, tampak dari proses hasil perbandingan sosial, dimana individu yang lebih rendah membandingkan dirinya kurang beruntung dari pada orang lain dan tidak mampu mendapatkan sumber daya yang dapat menyesuaikan
kesenjangan
yang
dirasakan.
Ditemukan
kesejahteraan
psikologis yang tinggi pada individu yang memiliki status pekerjaan yang tinggi.
22
4. Budaya. Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujun hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita. 2.1.3.2 Kepuasan Kerja Psychological well-being secara konsisten memiliki hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez dan Jimenez-Figueroa (2011) yang berjudul ”Psychological well-being, perceived organizational support and job satisfaction amongs Chilean prison employees” menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being, yang artinya bahwa individu yang merasa puas terhadap pekerjaannya cenderung akan merasa baik secara psikologisnya. Perilaku dapat dengan jelas terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez dan JimenezFigueroa (2011) adalah ketika terdapat perubahaan pada kepuasan kerja, maka ditemukan juga perubahan pada psychological well-beingnya. Selain penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez dan JimenezFigueroa (2011), juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Luthans dkk (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja
23
dan
psychological
well-being.
Individu
yang
merasa
senang
terhadap
pekerjaannya maka akanpuas terhadap pekerjaannya dan juga psychological wellbeingnya. 2.1.3.3 Dukungan Sosial Menurut Davis (Pratiwi, 2000; Rahayu, 2008), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh individu yang didapat dari orang lain atau kelompok (Cobb, 1976; Gentry & Kobasa, 1984; Wallston, Alagna, DeVellis, & De Vellis, 1983; Wills, 1974; Sarafino, 1990; Rahayu 2008). Dukungan dapat datang dari siapa saja, termasuk keluarga, teman, rekan kerja ataupun lingkungan sekitar. Dari penelitian yang dilakukan oleh Cobb (1976), Cohen & McKay (1984), House (1984), Schaefer, Coyne, & Lazarus (1981), dan Wills (1984), ada empat jenis dukungan sosial (dalam Sarafino, 1990), yaitu: 1. Dukungan Emosional (Emotional Support) melibatkan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang. Dukungan ini memberikan rasa nyaman, aman, dimiliki, dan dicintai pada individu penerima, terutama pada saatsaat stress. 2. Dukungan Penghargaan (esteem support) muncul melalui pengungkapan penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran atau perasaan, dan juga perbandingan yang positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini membangun harga diri, kompetensi, dan perasaan dihargai.
24
3. Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support) melibatkan tindakan konkrit atau memberikan pertolongan secara langsung. 4. Dukungan Informasional (informational support) meliputi nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang. 2.1.4
Pegukuran Psychological Well-Being
Pengukuran psychological well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ryff Scales of Psychological Well-being yang merupakan skala untuk mengukur psychological well-being yang disusun oleh Carol D. Ryff yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. Skala ini disusun berdasarkan enam dimensi dari psychological well-being, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan perkembangan pribadi. Dalam Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB) terdapat 42 item, secara teoritis instrumen fokus terhadap pengukuran enam dimensi psychological wellbeing dan setiap dimensi memuat 7 item namun pada penelitian ini diadaptasi menjadi 26 item. Pada skala asli terdapat enam pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, agak setuju, agak tidak setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, namun sesuai dengan kebutuhan peneliti, skala dibuat menjadi empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. 2.2 Psychological Capital (PsyCap) 2.2.1 Definisi Psychological Capital (PsyCap) Luthans, Youssef dan Avolio (2007, p:3) mendefinisikan Psychological Capital atau PsyCap, sebagai:
25
is an individual’s psychological state of development and is characterized by: (1) having confidence to take on and put in the necessary effort to succed at challenging tasks (self-efficacy); (2) making a positive attribution about succeeding now and in the future (optimisme); (3) persevering toward goals and when necessarry, redirecting paths to goals in order to succeed (hope); and (4) when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even beyond to attain success (resiliency). Dengan kata lain, Luthans, Youssef dan Avolio (2007), mendefinisikan psychological capital sebagai sebuah kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadaptkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan (resiliency). PsyCap mengacu pada keadaan psikologis positif individu yang terdiri dari empat komponen yaitu: self-efficacy, hope, optimisme, dan resiliensi (. Luthans et al, 2007a). PsyCap berasal dari positive organizational behaviour (POB). POB didefinisikan sebagai studi dan penggunaan "positive human strengths and psychological capacities", dapat dikembangkan dan diatur untuk meningkatkan kinerja karyawan di tempat kerja (Luthans et al ., 2007a, hlm. 59). Untuk
26
mempertimbangkan yang menjadi bagian konstruk POB, Luthans (2002) berpendapat bahwa individu harus melibatkan karakteristik state-like yang bertentangan dengan karakteristik trait. Karakteristik state-like adalah emosi manusia dan suasana hati yang fleksibel dan rentan terhadap perubahan berdasarkan konteks atau situasi, seperti kebahagiaan dan kesenangan, sedangkan trait lebih statis dan sulit untuk berubah, seperti kecerdasan dan bakat (Luthans, 2002; Luthans et al., 2007a). Dalam hal ini penting untuk mengetahui bahwa Psychological capital merupakan psychological states positif dari individu dan bukanlah psychological traits (Envick, 2005). Allport dan Odbert (Feist & Feist dalam Mahardini, 2009) menjelaskan bahwa trait merupakan karakteristik yang secara relatif menetap pada diri individu, sedangkan state melibatkan tingkah laku, pikiran dan tindakan yang bisa dipelajari dan dikembangkan oleh setiap orang (Envick, 2005). Luthans, Youssef dan Avolio (2007) juga menjelaskan bahwa psychological capital merupakan psychological state sehingga psychological capital dapat berubah sepanjang waktu, baik meningkat maupun menurun. Tidak seperti traditional human dan social capital, psychological capital dapat berkembang secara terus menerus sepanjang waktu (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Froman (2009) juga menjelaskan bahwa Psychological capital dilihat sebagai aset yang dapat dikembangkan, sehingga dapat membantu perusahaan dalam mencapai performa kerja yang efektif dan hasil perusahaan yang diinginkan (Froman, 2009). Menurut Luthans, Youssef & Avolio (2007), terlihat bahwa terdapat hubungan yang positif antara Psychological capital terhadap performa kerja,
27
psychological capital dapat digunakan untuk meningkatkan kompetisi dalam mencapai keuntungan dan kesuksesan perusahaan dengan melihat potensi secara keseluruhan dari sumber daya manusia yang dimiliki (Avolio dalam Luthan, Youssef & Avolio, 2007). Selain itu Avey, Luthans, Smiths, dan Palmer (2010) juga menjelaskan bahwa karyawan dengan Psychological capital tinggi, maka kesejahteraan individu di lingkungan kerja akan tinggi. Dengan adanya Psychological capital diharapkan dapat meningkatkan potensi sumber daya manusia dalam organisasi (Mahardini, 2009), individu yang mengembangkan konsep yang lebih sehat atau positif pada diri sendiri, akan mempertinggi produktivitas individu dan kesuksesan dari organisasi (Schultz, dalam Mahardini, 2009). Maka dapat disimpulkan bahwa psychological capital sebagai sebuah kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik-karakteristik self-efficacy, optimisme, hope, dan resiliency. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi Luthans, Youssef dan Avolio (2007), yang mendefinisikan psychological capital sebagai sebuah kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (selfefficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadaptkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan (resiliency).
28
2.2.2 Dimesi dari Psychological Capital (PsyCap) Terdapat empat dimensi yang menyusun Psychological capital (Luthans, Youssef & Avolio, 2007), yaitu: 1. Efikasi Diri (Self-Efficacy) Albert Bandura (1997), mengemukakan self-efficacy didefinisikan sebagai "kepercayaan akan kemampuan dirinya mengarahkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil dalam melaksanakan tugas tertentu "(Stajkovic & Luthans, 1998b, p. 66). Bandura (1997) telah mengidentifikasi empat sumber yang diakui secara luas pengembangan efficacy. Pertama, ketika individu berhasil menyelesaikan tugas yang menantang, individu pada umumnya lebih percaya diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas. Kedua, personal efficacy dipengaruhi ketika individu merasakan sendiri belajar dengan cara mengamati (yaitu, modeling) dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. Jika berhasil pada tugas yang diberikan, maka personal efficacy meningkat. Dampak dari modeling tergantung pada seberapa mirip individu melihat dirinya sendiri dengan melihat peran yang dilakuakn berhasil menyelesaikan tugas. Jika proses meniru individu snagat mirip, maka proses pengembangan efficacy menjadi lebih efektif (Bandura, 1997). Stajkovic dan Luthans (dalam Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010) mendefinisikan efikasi diri atau self-efficacy sebagai keyakinan diri individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengarahkan segala usaha agar berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugas yang dihadapinya. Individu dengan
29
self-efficacy yang tinggi akan berani untuk menetapkan tujuan dan dapat mengendalikan diri sendiri dalam keadaan sulit, berani menerima tantangan, memiliki motivasi yang kuat, mampu mengerahkan segala usaha dalam mencapai tujuan dan tetap gigih walaupun menghadapi rintangan (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Singh dan Manshi (2009) menyatakan bahwa individu dengan tingkat self-efficacy tinggi memiliki psychological well-being yang tinggi pula, individu akan merasa lebih percaya diri, memiliki aspirasi yang tinggi dan komitmen yang kuat terhadap apa yang ingin di capai. 2. Harapan (Hope) Konstruk hope dalam psikologi positif memiliki perkembangan teoritis yang cukup pesat dan secara umum dianggap sebagai "empowering way of thinking" (Snyder, 1994, p. 2). Dalam merumuskan teori hope, Snyder dengan asumsinya, bahwa individu pada umumnya berorientasi pada tujuan yaitu individu berperilaku seperti, mencoba untuk mencapai sesuatu. Harapan atau hope didefinisikan oleh Envick (2005) sebagai hasrat atau keinginan yang disertai dengan pengharapan akan pemenuhan dari hasrat atau keinginan tersebut. Snyder (dalam Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010) mendefinisikan harapan sebagai positive emotional state dengan dua komponen penting yaitu (1) agency (energi untuk mencapai tujuan) dan (2) pathways (perencanaan untuk mencapai tujuan). Agency atau kekuatan keinginan merupakan kondisi kognitif dimana individu mampu menetapkan tujuan, memiliki kekuatan (energy), dan locus of control internal, sedangkan kondisi dimana individu mampu menemukan
30
cara lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika cara pertama mengalami kendala disebut pathway. 3. Optimisme (Optimisme) Dalam PsyCap, optimisme adalah individu yang mengharapkan peristiwa positif dan diinginkan di masa yang akan datang (Luthans, Youssef, et al., 2007). Individu yang optimis dan kehilangan pekerjaannya akan menghubungkan penyebab kehilangan pekerjaannya ke dalam keadaaan situasi sementara. Carver dan Scheier (2002) ketika individu memiliki harapan positif, individu akan terus berusaha meskipun menghadapi kesulitan. Sebaliknya, individu yang pesimis adalah individu yang secara konstan memiliki pikiran yang negatif dan meyakini peristiwa yang tidak diinginkan akan terjadi. Dapat disimpulkan bahwa individu yang optimis akan melakuakan sesuatu dengan lebih baik dibandingkan dengan pesimis. Menurut Seligman (dalam Luthans F, Luthans W, LuthansC, 2004), optimisme adalah cara menginterpretasi kejadian positif oleh individu yang digunakan dalam menjelaskan kejadian yang baik maupun yang buruk, penjelasan dari optimisme memiliki dua dimensi penting yaitu waktu (permanence) dan tempat (pervasiveness). Permanence berhubungan dengan waktu, saat terjadi kejadian buruk individu yang optimis melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang sementara, sebaliknya individu pesimis akan melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang permanen. Pervasiveness berhubungan dengan tempat yang memiliki penjelasan secara spesifik mengenai suatu kejadian yang buruk adalah individu
31
yang optimis, sedangkan individu yang menjelaskan secara universal adalah individu yang pesimis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa optimisme memiliki hubungan positif dengan well-being. Misalnya dalam konteks kewirausahaan ditemukan bahwa optimisme bertentangan dengan pesimis, optimis sering mengalami berbagai jenis pengalaman yang sulit (Scheier, Carver, & Bridges, 2001). Sedangkan pesimis cenderung mudah putus asa terhadap kesulitan yang dihadapinya, optimis dapat bertahan, siap terhadap tantangan yang diberikan, dan dapat mencapai tujuannya (Carver, & Scheier, 2003). Individu optimis cenderung mensyukuri setiap perubahan yang terjadi, mampu melihat kesempatan yang tersedia dan fokus dalam mendapatkan kesempatan tersebut (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Singh dan Manshi (2009) melengkapi definisi dari optimismee diatas sebagai harapan atau dugaan terhadap hal yang positif, keyakinan bahwa segala sesuatau adalah baik dan akan mendapat hasil yang terbaik pula. 4. Resilienci (Resiliency) Resiliensi adalah kondisi dimana individu dapat bertahan dan bangkit kembali dari pengalaman yang negatif dan dapat beradaptasi kembali dengan adanya perubahan stress yang dihadapi (Tugade & Fredrickaon dalam Hmieleski & Carr, 2007). Luthans (dalam Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan seseorang untuk bangkit kembali saat mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dan dapat beradaptasi kembali dari kegagalan tersebut.
32
Menurut Masten dan Reed (2002), resiliensi merupakan positif coping dan dapat beradaptasi kembali dari kesulitan yang dihadapi. Ketika resiliensi diterapkan di tempat kerja, dapat digambarkan sebagai positif psikologi untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahakan perubahan positif dan meningkatnya tanggung jawab (Luthans, 2002a, p. 702). Selain itu menurut Block dan Kremen (1996), Coutu (2002), serta Masten (2001), individu yang memiliki resiliensi tinggi cenderung lebih efekti dalam berbagai pengalaman, termasuk penyesuaian. Richardson (2002) menemukan bahwa resiliensi dapat meningkat bahkan tumbuh setelah individu mengalami peristiwa buruk. Artinya bahwa individu dapat lebih resilien terhadap situasi yang merugikan dan dapat bangkit kembali dari peristiwa sebelumnya. 2.2.3 Pengukuran Psychological Capital Pengukuran psychological capital dalam penelitian ini menggunakan PCQ-24 (analisis validitas ditemukan oleh Luthan, Avolio, et al., 2007, dan Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). PsyCap memiliki 4 aspek, setiap aspek terdiri atas 6 item dan total setiap item yaitu 24 item. Aspek Psycap yaitu hope, self-efficacy, resilience dan optimisme. Semua item menggunakan 6 poin skala likert dengan respon pilihan dari 1 = strongly disagree to 6 = strongly agree. Setiap item menggambarkan penetapan skala sebelum di terbitkan dan diuji. Item hope diadaptasi dari Snyder dan rekannya (1996). Contoh item dari subscale hope yaitu: “ There are lots ways around any problem,” dan “Right now I see my self as being pretty successful at work”. item self- efficacy diadaptasi dari Parker’s (1998) mengukur self-efficacy dalam situasi kerja. Contoh item self efficacy: “I
33
feel confident analyzing a long-term problem to find a solution,” and “I feel confident presenting information to a group of colleagues”. Item resiliensi diadaptasi dari Wagnild dan Young’s (1993), contoh item resiliency: “I usually manage difficulties one way or another at work,” and “I feel I can handle many things at a time at this job.” Item optimismee diadaptasi dari Scheier dan Carver’s (1985), contoh item optimismee “I’m optimistic about what will happen to me in the future as it pertains to work” and “I approach this job as if ’every cloud has a silver lining.” Psychological capital dalam penelitian ini menggunakan skala Likert dan menggunakan alat ukur Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans, Avolio, et al., 2007). Konsisten dengan 4 subscale, setiap subscale terdiri atas 6 item dengan total jumlah item yaitu 24. Setiap subscale terdiri atas self-efficacy, hope, optimisme, and resilience. 2.3 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) 2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) Ada pernyataan yang mengatakan bahwa kepuasan adalah suatu perasaan yang menyenangkan
merupakan
hasil
dari
persepsi
individu
dalam
rangka
menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh nilai-nilai kerja yang pneting bagi dirinya. Penjelasan kepuasan kerja tersebut dipertegas oleh Wagner III & Hollenbeck (1995, hlm. 206-207) yang mengutip ungkapan Locke, bahwa kepuasan kerja adalah: “a pleasurable feeling that results from the perpection that one’s job fulfills or allows for the fulfillment of one’s important job value.” Sementara itu, Locke juga mencatat bahwa perasaan yang berhubungn
34
dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja cenderung lebih mencerminkan penaksiran dari karyawan yang berhubungan dengan pengalaman kerja pada waktu sekarang dan masa lalu daripada harapan untuk masa yang akan dating. Kemudian Locke (1976) mendefinisikan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu tingkat emosi positif dan menyenangkan individu. Dengan kata lain, kepuasan kerja adalah hasil pemikiram individu terhafap pekerjaan atau pengalaman positif dan menyenangkan dirinya Howell dan Dipboye 1986 (dalam munandar, 2001) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya, dengan kata lain kepuasan kerja memcerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Menurut Fleisman dan Bass (1977) kepuasan kerja merupakan suatu tindakan efektif karyawan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja tersebut dianggap sebagai hasil pengalaman karyawan dalam kaitannya dengan penilaian terhadap diri sendiri seperti apa yang dikehendaki atau diharapkan dari pekerjaannya. Kepuasan kerja juga dapat diartikan sebagai perasaan individu tentang pekerjaannya dan sikap individu terhadap berbagai aspek dalam pekerjannya, sikap yang baik dan persepsi bahwa secara konsisten dapat mempengaruhi tingkatan antara individu dan organisasi (Ivancevich & Matteson 2002; Spector 1997). Individu dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi secara umum akan menunjukkan sikap positif, sedangkan individu yang tidak puas akan menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjann mereka. Selain itu kepuasan kerja juga dapat di artikan sebagai bagian dari pekerjaan yang merasakan puas atau
35
tidak puas terhadap pekerjaanya (Spector 1997). Berdasarkan uraian diatas, pada skripsi ini peneliti menggunakan teori spector (1997). 2.3.2 Aspek Kepuasan Kerja Menurut Spector (1997) terdapat sembilan aspek yang sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja seseorang. Diantaranya aspek tersebut adalah 1. Gaji (pay) : kepuasan imbalan jasa berupa uang yang diterima karyawan sesuai dengan beban yang telah ditanggugnya. 2. Promosi (promotioni): kepuasan akan mendapatkan kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang dalam pekerjaan atau jabatan. 3. Kepemimpinan (supervision): kepuasan terhadap perilaku atasan. Termasuk dalam pengarahan, masukan dan pengawasan atasan. 4. Tunjangan (fringe benefits): kepuasan akan keuntungan atau tunjangan yang didapatkan. 5. Penghargaan (contingent rewards): kepuasan terhadap penghargaan yang diberikan terhadap performa yang baik. 6. Prosedur kerja (operating conditions): kepuasan akan peraturan dan prosedur yang ada diperusahaan. Termasuk didalmnya adalah prosedur perusahaan yang berupa administrasi, peraturan yang ditetapkan serta kebijakan perusahaan. 7. Rekan kerja (coworkers): kepuasan terhadap rekan kerja. Seberapa jauh kesesuaian yang dirasakan ketika berinteraksi dengan rekan kerja. 8. Sifat pekerjaan (nature of work): kepuasan terhadap jenis pekerjaan yang dilakukan, karakteristik dari pekerjaan itu sendiri yang akan dilaksanakan oleh seorang karyawan memang sesuai dan menyenangkan.
36
9. Komunikasi (communication): yaitu kepuasan komunikasi yang terjalin dalam perusahaan. 2.3.3 Teori kepuasan kerja Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual karena setiap orang memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda. Semakin positif penilaian seseorang terhadap suatu pekerjaan, semakin tinggi pula kepuasan kerjanya. Begitu pun sebaliknya, semakin negatif penilaian seseorang terhadap suatu pekerjaan semakin rendah kepuasan kerjanya. Adapun teori mengenai kepuasan kerja yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut: 2.3.3.1 Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory) Teori proses-bertentangan dari Landy (dalam Munandar, 2001) memadang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium). Teori proses-bertentangan mengasumsikan bahwa kondisi emosional yang ekstrim tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja (dengan emosi yang berhubungan) memacu mekanisme fisiologikal dalam system pusat saraf yang membuat aktif emosi yang bertentangan atau berlawanan. Di hipotesiskan bahwa emosi yang berlawanan, meskipun lebih lemah dari emosi yang asli, akan terus ada dalam jangka waktu yang lebih lama. Teori ini menyatakan bahwa jika individu memperoleh ganjaran pada pekerjaan mereka, maka mereka akan senang, sekaligus ada rasa tidak senang (yang lebih lemah). Setelah beberapa saat rasa senang menurun dan dapat
37
menurun sedemikian rupa sehingga orang merasa agak sedih sebelum kembali ke normal. Ini dikarenakan emosi tidak senang (emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama. Berdasarkan asumsi bahwa kepuasan kerja bervariasi secara mendasar dari waktu ke waktu, akibatnya bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai. 2.3.3.2 Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory) Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh Proter. Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharisnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Locke (dalam wijono, 2010) mengembangkan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan maka pegawai tersebut menjadi puas. Sebaliknya, apabila yang didapat pegawai lebih rendah daripada yang diharapkan, akan menyebabkan pegawai tidak puas. Menurut Locke teori ketidaksesuaian mengungkapkan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dari beberapa aspek pekerjaan menggunakan dasar pertimbangan dua nilai (values), yaitu (1) ketidaksesuaian yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dia terima dalam kenyataannya dan (2) apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu tersebut. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan individu. Contohnya, seorang supervisor mempunyai keinginan lebih mengutamakan aspek kenaikan jabatan daripada kenaikan gaji, maka
38
supervisor tersebut akan memberi ranking yang lebih tinggi pada aspek kenaikan jabatan dibanding dengan kenaikan gaji. Sementara itu, Locke juga mengatakan bahwa perasaan puas atau tidak puas yang dimiliki oleh individu sangat bersifat pribadi. Mengapa demikian? Karena perasaan tersebut muncul tergantung dari cara individu mempersepsikan ketidaksesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil yang telah dicapainya. Pemindahan individu dari tempat kerja dengan ruangan yang sempit ke tempat kerja yang mempunyai ruangan luas, akan menunjang kepuasan individu lain yang merasa perubahan tempat kerja yang ruangannya lebih luas yang tidak memberi perasaan nyaman bagi dirinya. Contohnya, individu yang mengalami “fobia” pada tempat kerja yang ruangannya luas akan menjadi “nervous” dan tidak senang bila ditempatkan pada ruangan kerja yang lebih luas. 2.3.3.3 Model dari Kepuasan Bidang/Bagian (Facet Satisfaction) Kapuasan bidang menurut model (Lawler dalam Wijono, 2010) mempunyai kaitan erat dengan teori keadilan J. Adams. Model Lawler mengatakan bahwa individu akan merasa puas terhadap bidang tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya, hubungan antara rekan kerja, atasan dan bawahan, dan / atau gaji). Individu dapat menerima dan melaksanakan pekerjaannya dengan senang hati dalam bidang yang dia persepsikan, maka hasilnya akan sama dengan jumlah yang dia persepsikandari yang secara aktual mereka terima. Berikutnya ada dua ilustrasi yang dapat dikemukakan untuk memperjelas pernyataan di atas yaitu pertama, individu yang mempersepsikan hubungan interaksi dengan atasannya yang seharusnya berjalan baik, lancar, dan
39
memuaskan. Jika hal tersebut terwujud, maka dapat menunjang produktivitas kerjanya karena hubungan interaksi antara dirinya dengan atasannya tersebut secara nyata terjadi dibandingkan dengan rekan kerjanya. Tetapi, jika individu mempersepsikan tentang hubungan interaksinya dengan atasan jauh melebihi dari rekan kerjanya yang lain, maka dia akan merasa bersalah dan tidak adil. Sebaliknya, jika dia mempersepsikan bahwa hubungan interaksinya yang dialami kurang baik dan lancar dari yang sesungguhnya terjadi, maka dia merasa tidak puas. Kedua, adanya persepsi individu terhadap jumlah “income” yang seharusnya dia terima atas dasar hasil penelitian prestasi kerjanya dengan persepsinay tentang income yang secara nyata dia terima. Seandainya individu mempersepsikan income yang dia terima lebih besar dari yang sesungguhnya dia terima, maka dia akan merasa bersalah dan tidak adil. Sebaliknya, jika dia mempersepsikan bahwa income yang dia terima kurang dari yang sepatutnya dia terima, maka dia merasa tidak puas. Sementara itu, Lawler juga mengatakan bahwa jumlah dari bidang yang dipersepsikan individu akan menjadi sesuai tergantung dari bagaimana individu mempersepsikan nilai dari pekerjaan dan karakteristik pekerjaannya. Selain itu, persoalan yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana individu mempersepsikan “input and ouptut” dari orang lain yang digunakan sebagai pembanding bagi dirinya sendiri. Akhirnya, jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang terhadap apa yang individu terima secara nyata tergantung dari hasil output yang secara
40
nyata individu terima dan hasil output yang dipersepsikan dari orang dengan siapa individu akan membandingkan dirinya sendiri. 2.3.3.4 Teori Dua Faktor dari Herzberg Mneurut Herzberg, orang menginginkan dua macam faktor kebutuhan, yaitu: (Herzberg’s dalam Dessler, 2000 : 334). Pertama, kebutuhan akan kesehatan atau kebutuhan akan pemeliharaan. Hal ini berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman lahiriyah. Faktor pemeliharaan meliputi balas jasa, kondisi kerja fisik, dan bermacam-macam tunjangan lainnya. Hilangnya faktor pemeliharaan ini dapat menyebabkan timbulkan ketidakpuasan (Dissatisfier = faktor hygienis) dan tingkat absensi karyawan serta turnover akan meningkat. Faktor-faktor pemeliharaaan ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari pimpinan agar kepuasan dan kegairahan kerja karyawan dapat ditingkatkan. Kedua, faktor pemeliharaan ini menyangkut kebutuhan psikologis seseorang. Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan pekerjaan (job
content)
yang apabila terdapat
dalam
pekerjaan
akan
menggerakkan tingkat motivasi yang kuat yang dapat menghasilakan prestasi kerja yang baik. Jika kondisi ini tidak ada maka konidisi ini ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian faktor ini dinamakan Satisfier atau motivator yang meliputi: prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan, dan pengembangan potensi individu. 2.3.4
Pengukuran Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja memiliki beberapa pengeukuran diantaranya, yaitu Job Descriptive Index (JDI), Minesota Satisfaction Qestionnaire (MSQ), Job
41
Satisfaction Survey (JSS). Pengukuran kepuasan kerja yang sering digunakan adalah Job Descriptive Index (JDI) yang dikembangkan di Negara maju (Smith, Kendall & Hulin, dalam Schlutz, & Schlutz, 2006). JDI mengukur lima dimensi kepuasan kerja, yaitu kepuasan terhadap gaji, peluang promosi, pengawasan dan rekan kerja. JDI dapat diselesaikan dalam waktu 15 menit dan sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa. MSQ (Weiss, Dawis, Lofquist, & England, 1966), skala ini memiliki dua bentuk yaitu item yang versi panjang dan vesi pendek sebanyak 20 item. Selain JDI, kepuasan kerja dapat diukur dengan menggunakan gabungan Sembilan sub-skala dari Job Satisfaction Survey (JSS). Alat ukur ini dikembangkan oleh Spector (1985). Sub-skala ini adalah pay, promotion, supervision, fringe benefist, contingen rewards, operating procedures, coworkers, nature of work, dan communication. Pada skala JSS, setiap sub-skala memiliki empat pertanyaan denga total pertanyaan sebanyak 36 item. Skala ini menggunakan 6 skala likert, mulai dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju untuk menunjukkan tingkat kepuasan kerja peserta. Vaiditas dari JSS sendiri telah dibandingkan dengan skala JDI, yang merupakan skala yang sebagian besar mengukur kepuasan kerja. Dalam penelitian ini, akan menggunakan The Job Satisfaction Survey (JSS) yang dibuat oleh Spector (1997). JSS menilai 9 aspek dari kepuasan kerja (gaji, promosi, tunjangan, penghargaan, prosedur operasional, rekan kerja, sifat kerja, dan komunikasi) yang terdiri dari 36 item. Hal ini dikarenakan skala JSS
42
adalah skala yang terperinci dalam mengukur kepuasan kerja dan sesuai dengan teori yang peneliti gunakan pada penelitian ini. 2.4 Kerangka Berpikir Kesejahteraan pekerja (employee wellbeing) merupakan salah satu faktor yang tidak bisa lepas dari isu penting dalam suatu perusahaan, karena kesejahteraan pekerja memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengefektifkan biaya yang berhubungan dengan penyakit dan kesehatan pekerja (Danna & Griffin, 1999), ketidakhadiran (absenteeism), pergantian pekerja (turnover), (Spector, 1997), performa kerja (job performance), dan kepuasan kerja (job satisfaction) (Russel, 2008). Berdasarkan Page dan Vella-Brodrick (2009) terdapat 3 komponen dari employee wellbeing, yaitu subjective well-being (kepuasan kehidupan dan dispositional affect), workplace wellbeing (kepuasan kerja dan hal-hal terkait pekerjaan) dan yang terakhir adalah psychological wellbeing (penerimaan diri, hubungan interpersonal positif, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan perkembangan diri). Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Kesehatan dan kesejahteraan penting dalam dunia kerja karena memiliki efek tertentu pada setiap karyawan (Boyd, dalam Danna & Griffin, 1999). Para
43
peneliti telah menyadari bahwa kesehatan dan well-being yang rendah dapat memberikan efek negatif terhadap karyawan dan organisasi. Kesehatan pekerja dan kesejahteraan psikis harus menjadi perhatian yang lebih penting karena kesadaran bahwa unsur lain di tempat kerja menimbulkan risiko bagi pekerja. Maka dari itu penting bahwa setiap karyawan memiliki psychological well-being karena dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Psychological well-being juga dapat dipengaruhi oleh psychological Capital seperti Self-Efficacy, Hope, Optimisme, Resiliency juga berpengaruh terhadap psychological well-being. Sandeep Singh dan Mansi (2009), menyatakan bahwa psychological capital (self-efficacy) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi individu memiliki self-efficacy maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya. Self-efficacy sebagai keyakinan diri individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengarahkan segala usaha agar berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugas yang dihadapinya, sehingga karyawan yang memiliki selfefficacy tinggi akan memiliki psychological well-being yang tinggi. Petugas yang memiliki hope (harapan) yang tinggi terhadap tujuan yang dimilikinya dan memiliki keinginan untuk mewujudkannya maka memiliki psychological well-being yang baik. Petugas yang selalu memiliki harapan terhadap pekerjaannya bahwa petugas bisa melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan memiliki harapan yang tinggi pada saat proses pemadaman berlangsung maka akan memiliki psychological well-being yang baik pula.
44
Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009) menunjukkan bahwa optimisme dapat meningkatkan psychological well-being dan dapat memiliki penyesuaian yang lebih baik terhadap peristiwa kehidupan yang penuh stress. Petugas yang memiliki optimsime yang tinggi maka akan memiliki tingkat stress yang rendah, karena ketika petugas memadamkan kebakaran harus memiliki optimisme yaitu cara petugas dalam mencapai tujuannya agar berhasil serta pengambilan keputusan yang cepat sangat dibutuhkan pada saat proses pemadaman. Individu yang memiliki optimisme tinggi maka memiliki psychological well-being yang tinggi pula, karena dengan adanya optimisme individu akan selalu berfikir positif dalam setiap kejadian yang dialaminya ssehingga dapat melaksanakan pekerjaan dengan maksimal dan dapat meningkatkan psychological well-beingnya. Individu yang memiliki resiliency yang tinggi dapat bertahan dan bangkit kembali dari pengalaman negatif dan dapat beradaptasi kembali dengan adanya perubahan dari stress yang dihadapinya. Individu yang pernah mengalami suatu pengalaman negatif dan bisa bangkit lagi dari pengalaman negatifnya akan memiliki psychological well-being yang tinggi karena individu tersebut pernah mengalami pengalaman negatif dan tidak ingin mengalaminya kembali. Sehingga resiliency dapat mempengaruhi psychological well-being. Faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being adalah kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan individu yang merasakan puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya. Penelitian sebelumnya mengenai kepuasan kerja, bahwa kepuasan kerja signifikan memprediksi psychological well-being.
45
Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011) terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being. Individu yang merasa puas dengan pekerjaannya cenderung merasa baik secara psikologis. Perilaku ini dapat dengan jelas terlihat dalam hasil penelitiannya, bahwa apabila terdapat perbedaan yang ditemukan dalam sampel tentang kepuasan kerja juga ditemukan perbedaan dalam psychological well-being. Kepuasan kerja memiliki Sembilan aspek yaitu gaji, promosi, supervisi, tunjangan, penghargaan, prosedur kerja, rekan kerja, sifat pekerjaan dan komunikasi. Kepuasan terhadap gaji yaitu kepuasan terhadap uang yang diterima oleh karyawan sebagai hasil dari pekerjaan yang dikerjakannya. Gaji merupakan faktor utama dalam kepuasan kerja, apabila gaji yang dirasakan sesuai dengan harapan, maka individu akan merasa puas. ketika individu sudah memiliki kepuasan yang tinggi maka individu akan merasa aman dan nyaman ketika bekerja sehingga semakin puasnya individu terhadap gaji maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya. Kepuasan promosi merupakan kepuasan mendapatkan kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang dalam pekerjaannya atau jabatannya. Promosi memberikan perkembangan individu, lebih bertanggung jawab dan meningkatkan status sosial. Kepuasan kerja diperoleh dari pengalaman kerja individu yang merasa mendapatkan peluang promosi yang adil, sehingga tidak berpikir untuk mencari profesi dan perusahaan lain. Jadi semakin puasnya individu terhadap proses promosi yang ada pada perusahaan maka akan semakin tinggi pula psychological well-beingnya karena dengan adanya promosi maka
46
akan meningkatkan status sosial individu dan dapat meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupannya maupun psikisnya. Kepuasan terhadap atasan merupakan kepuasan terhadap perilaku atasan. Menurut Locke (dalam munandar, 2001), tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan seorang atasan ialah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Dukungan dan perhatian dari atasan kepada karyawan membuat individu merasa lebih bersemangat dalam bekerja dan merasa nyaman berada dilingkungan pekerjaan. Apabila atasan memiliki sikap yang baik terhadap bawahannya dan memiliki hubungan yang baik maka individu memiliki kepuasan atasan yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi psychological well-beingnya dan juga karyawan suka terhadap pekerjaannya. Kepuasan terhadap tunjangan merupakan kepuasan terhadap tunjangan yang didapatkan. Tunjangan sangat penting untuk karyawan seperti tunjangan kesehatan, asuransi dll. Tunjangan yang diberikan juga harus disesuaikan dengan pekerjaan yang dilakukannya karena dapat mempengaruhi puas atau tidak puasnya karyawan terhadap perusahaan, sehingga apabila karyawan merasa puas terhadap tunjangan yang didapat maka karyawan merasa nyaman dan aman di pekerjaannya tetapi apabila karyawan tidak puasa terhadap tunjangannya maka karyawan merasa tidak nyaman dan aman pada pekerjaannya. Jadi semakin puasnya individu terhadap tunjangan yang diberikan maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya karena individu merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan pekerjaannya.
47
Kepuasan
terhadap
penghargaan
merupakan
kepuasan
terhadap
peghargaan yang diberikan terhadap performa yang baik. Menurut spector, 1997 (dalam munandar, 2001), contoh dari penghargaan adalah apresiasi, pengakuan dan imbalan untuk kerja yang baik. Ketidakpuasan kerja karyawan bisa terjadi jika karyawan merasa upaya mereka tidak dihargai atau tidak mendapatkan penghargaan yang wajar. Jadi apabila karyawan diberikan penghargaan atas usahanya terhadap pekerjaannya maka karyawan merasa puas terhadap pekerjaannya begitu pula dapat meningkatkan psychological well-beingnynya, karena individu merasa kebutuhannya atas penghargaan telah dipenuhi. Kepuasan terhadap prosedur kerja yaitu puas terhadap peraturan dan prosedur yang ditetapkan. Apabila prosedur yang telah ditetapkan sesuai dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan tidak mempersulit pekerjaannya maka karyawa puas terhadap perosedur kerja yang ditetapkan sehingga akan mempengaruhi psychological well-being individu. Kepuasan rekan kerja merupakan kepuasan terhadap rekan kerja satu timnya. Robbins, 1993 (dalam munandar, 2001) mengatakan memiliki teman yang ramah dan rekan kerja yang suportif dapat meningkatkan kepuasan kerja. Karyawan yang puas terhadap rekan kerjanya dan memiliki rekan kerja yang kompeten dalam mekakukan pekerjaannya, maka akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi pula dan dapat mempengaruhi psychological well-beingnya. Kepuasan nature of work/ sifat pekerjaan merupakan kepuasan terhadap jenis pekerjaan yang dilakukan, dan karakteristik dari pekerjaan itu sendiri yang dilaksanakan oleh seorang karyawan memang sesuai dan menyenangkan. Individu
48
yang cocok dan sesuai terhadap pekerjaannya maka individu akan malakukan pekerjaannya dengan baik dan setiap pekerjaan akan selalu menyenangkan. Petugas pemadam kebakaran secara langsung dan tidak langsung memiliki sifat pekerjaan yang berbahaya, dimana petugas dapat membahayakan dirinya sendiri pada saat proses pemadaman. Jadi apabila individu puas terhadap sifat pekerjaannya yaitu sesuai dengan dirinya, puas terhadap jenis pekerjaannya maka memiliki kepuasan sifat pekerjaan yang tinggi pula dan dapat mempengaruhi psychological well-beingnya. Kepuasan komunikasi merupakan kepuasan komunikasi yang terjalin dalam perusahaan. Menurut Suehr, 1982 (dalam Wijono, 2011) mengatakan bahwa komunikasi merupakan salah satu faktor penting dalam keseluruhan proses moral. Komunikasi dapat dilihat dari ketidakhadiran kerja yang cenderung menjadi sumber utama dari ketidakpuasan dengan syarat individu diletakkan pada posisi penting dalam suatu jalinan komunikasi yang erat. Jadi jika jalinan komunikasi yang erat antar setiap petugas pemadam kebakaran diciptakan, maka akan terjadi kepuasan kerja yang tinggi bagi setiap petugas pemadam kebakaran dan akan mempengaruhi psychological well-being petugas.
49
Gambar 2.1 Pengaruh Kepuasan Kerja dan Psychological Capital terhadap Psychological Well-being Petugas Pemadam Kebakaran Psychological Capital Self-Efficacy Hope
Optimisme Resiliency Psychological Well-Being Kepuasan Kerja Kepuasan Gaji Kepuasan Promosi Kepuasan Kepemimpinan Kepuasan Tunjangan Kepuasan Penghargaan Kepuasan Prosedur Kerja
Kepuasan Rekan Kerja Kepuasan Sifat Pekerjaan Kepuasan Komunikasi
50
2.5 Hipotesis Penelitian Penelitian ini diuji menggunakan analisis statistik, dengan hipotesis yang akan diuji adalah hipotesis nihil, yaitu “ Tidak terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kerja dan psychological capital terhadap psychological well-being”. Sedangkan hipotesis mayor dan hipotesis minor dalam penelitian ini yaitu: 2.5.1 Hipotesis mayor H1:
Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kerja dan psychological capital terhadap psychological well-being
Hipotesis minor H2:
Terdapat pengaruh yang signifikan self-eficacy terhadap psychological well-being.
H3:
Terdapat pengaruh yang signifikan hope terhadap psychological wellbeing.
H4:
Terdapat pengaruh yang signifikan optimisme terhadap psychological wellbeing.
H5:
Terdapat pengaruh yang signifikan resiliency terhadap psychological wellbeing.
H6:
Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan gaji terhadap psychological well-being.
H7:
Terdapat
pengaruh
yang
signifikan
kepuasan
promosi
terhadap
psychological well-being. H8:
Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kepemimpinan terhadap psychological well-being.
51
H9:
Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan tunjangan terhadap psychological well-being.
H10: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan penghargaan dari perusahaan terhadap psychological well-being. H11: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan prosedur kerja terhadap psychological well-being. H12: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan rekan kerja terhadap psychological well-being. H13: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan sifat pekerjaan terhadap psychological well-being. H14: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan komunikasi terhadap psychological well-being.
BAB 3 METODE PENELITIAN Dalam bab tiga ini akan dibahas mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional dan variabel, instrumen pengumpulan data, pengujian validitas konstruk, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data 3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah petugas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana Jakarta Selatan berjumlah 480. Sedangkan sampel pada penelitian ini sebanyak 200 orang. Petugas pemadam kebakaran dibagi menjadi tiga tim yaitu tim a, tim b, dan tim c, setiap tim sudah memiliki jadwal tugasnya masing-masing. Pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu non-probability sampling. Non probability sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel dimana tidak setiap partisipan dalam suatu populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Kriteria populasi dalam penelitian ini yaitu merupakan petugas pemadam kebakaran dan bukan officer dan petugas tetap. 3.2 Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Psychological Well-being Efikasi Diri (Self-Efficacy) Harapan (Hope) Optimisme (Optimism) Resiliensi (Resiliency) Gaji (pay)
52
53
7. Promosi (promotion) 8. Kepemimpinan (supervisioni) 9. Tunjangan (fringe benefit) 10. Penghargaan (contingent reward) 11. Prosedur kerja (operating conditions) 12. Rekan kerja (co-worker) 13. Sifat pekerjaan ( nature of work) 14. Komunikasi (communication) Variabel terikat atau dependent variabel (outcome variabel) dalam penelitian ini adalah psychological well-being, sedangkan variabel lainnya variabel bebas atau independent variabel (predictor variabel) yaitu psychological capital dan kepuasan kerja. 3.2.2 Definisi Operasional Setelah menentukan variabel mana yang menjadi variabel dependen dan variabel independen, selanjutnya menentukan definisi operasional dari variabel penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini. Definisi operasioan variabel penelitian dijelaskan di bawah ini. 3.2.2.1 Psychological well-being Psychological well being merupakan sebuah kondisi dimana petugas pemadam kebakaran memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Dapat diukur dengan menggunakan alat ukur ryff scale of psychological well-being (RSPWB) yang terdiri dari enam aspek yaitu: otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), pertumbuhan pribadi ( personal growth), hubungan positif dengan orang
54
lain (positive relations with others), tujuan hidup (purpose in life), penerimaan diri (self-acceptance). 3.2.2.2 Psychological Capital Psychological capital yang dimaksud dalam penelitian ini, sebagai sebuah kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki
keyakinan
terhadap
kemampuan
diri
dalam
mengambil
dan
mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadapkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan (resiliency).
Dapat
diukur
dengan
menggunakan
psychological
capital
questionnaire 24 (PCQ-24) yang terdiri dari empat aspek yaitu: self-efficacy, optimism, hope, resiliency. 3.2.2.3 Kepuasan Kerja Job satisfaction (kepuasan kerja) yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan individu yang dapat merasa puas atau tidak puas petugas pemadam kebakaran terhadap pekerjaanya. Dapat diukur dengan menggunakan job satisfaction scale (JSS) terdiri dari Sembilan aspek yaitu: gaji (pay), promosi (promotion), kepemimpinan (supervisioni), tunjangan (fringe benefit), penghargaan (contingent reward), prosedur kerja (operating conditions), rekan kerja (co-worker), sifat pekerjaan ( nature of work), komunikasi (communication).
55
3.3 Instrumen Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner. Kuesioner adalah suatu daftar pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu hal atau dalam suatu bidang yang bertujuan untuk memperoleh data berupa jawaban dari para responden. Adapun instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian yaitu kuisioner dalam bentuk skala Likert. Skala yang digunakan yaitu skala psychological well being, kepuasan kerja dan psychological capital berisi pernyataan yang sesuai dengan indikator variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Skala psychological well being, kepuasan kerja dan psychological capital disusun dengan menggunakan empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS) dengan tidak menggunakan pilihan jawaban tengah (netral/raguragu). Peneliti membagi dua kategori pernyataan, yaitu favorable dan unfavorable serta menentukan bobot nilai. Untuk item favorable, skor subjek bergerak dari nilai 4, 3, 2, 1. Sementara untuk item unfavorable, skor subjek bergerak dari nilai 1, 2, 3, 4. Nilai untuk keempat pilihan jawaban adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Format Skoring Skala Likert Alternatif Pilihan Jawaban Sangat tidak setuju (STS) Tidak setuju (TS) Setuju (S) Sangat setuju (SS)
Favorable 1 2 3 4
Pernyataan Unfavorable 4 3 2 1
56
Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah berjumlah 4 bagian. Pertama, bagian yang mengungkap data diri responden. Kedua, bagian yang mengungkap psychological well-being. Ketiga, bagian yang membahas kepuasan kerja, dan bagian keempat mengungkap tentang psychological capital. Adapun instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu: 3.3.1 Psychological well-being Skala psychological well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ryff Scales of Psychological Well-being yang merupakan skala untuk mengukur psychological well-being yang disusun oleh Carol D. Ryff yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. Skala ini disusun berdasarkan enam dimensi dari psychological well-being, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan perkembangan pribadi. Dalam Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB) terdapat 42 item dan setiap dimensi terdiri atas 7 item, tetapi dalam penelitian ini peneliti mengadaptasi menjadi 26 item yang sudah disesuaikan dengan sampel penelitian. Pada skala asli terdapat enam pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, agak setuju, agak tidak setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, namun sesuai dengan kebutuhan peneliti, skala dibuat menjadi empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Adapun blue print dari skala psychological wellbeing dapat dilihat dari tabel 3.2 berikut:
57
Tabel 3.2 Blue Print Psychological Well-being No 1
2
3
4
5
6
Dimensi
Indikator
Perilaku yang tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan Memiliki kepribadian yang mandiri Penguasaan Perilaku individu yang dapat lingkungan mengatur keadaan lingkungannya (environmental sehingga sesuai dengan kebutuhan mastery) dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya Pertumbuhan Keinginan dalam diri untuk terus pribadi ( tumbuh, terbuka akan pengalaman personal growth baru Tidak tertarik akan hal yang baru merasa nyaman terhadap kehidupannya Hubungan Memiliki kemampuan untuk positif dengan berhubungan dengan orang lain orang lain Saling menyayangi (positive Saling mempercayai relations with others) Tujuan hidup Memiliki tujuan untuk masa depan (purpose in life) Membuat rencana masa depan menjadi kenyataan Penerimaan diri Mampu menerima berbagai aspek (selfpositif maupun negatif acceptance) Memiliki perasaan positif terhadap masa lalu Merasa tidak puas terhadap diri sendiri Total item Otonomi (autonomy)
Item Fav Unfav 1,7,13,18 23
Jumlah 5
2,8,14,19
-
4
3,9,15
25
4
4,10,16,20
24
5
5,11,26
21
4
6,12,17,22
-
4
22
4
26
3.3.2 Psychological Capital Psychological capital dalam penelitian ini menggunakan skala Likert dan menggunakan alat ukur Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans, Avolio, et al., 2007). Konsisten dengan 4 dimensi yang dimiliki PsyCap, setiap dimensi terdiri atas 6 item dengan total 24 item. Dimensi PsyCap terdiri atas self-efficacy, hope, optimism, dan resilience. Pada skala asli terdapat enam pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, agak setuju, agak tidak setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, namun sesuai dengan
58
kebutuhan peneliti, skala dibuat menjadi empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Adapun blue print dari skala PsyCap dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut: Tabel 3.3 Blue Print Psychological Capital No
Dimensi
Indikator
1
Self-Efficacy
2
Hope
3
Resiliency
4
Optimism
Keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengarahkan vsegala usaha agar berhasil Sukses dalam melaksanakan tugas yang dihadapinya hasrat atau keinginan yang disertai dengan pengharapan akan pemenuhan dari hasrat atau keinginan tersebut Individu dapat bertahan dan bangkit kembali dari pengalaman yang negatif Dapat beradaptasi kembali dengan adanya perubahan stress yang dihadapi Individu mensyukuri setiap perubahan yang terjadi, mampu berpikir positif terhadap suatu yang akan terjadi dimasa depan Memiliki motivasi tinggi Mampu melihat kesempatan yang tersedia dan fokus untuk mendapatkannya Total item
Nomor Butir Fav Unfav 1,5,9,13,17,2 1
Jumlah 6
2,6,10,14,18, 22
-
6
7,11,15,19,2 3
3
6
4,8,12,16,24
20
6
22
2
24
3.3.3 Kepuasan Kerja (job satisfaction) Untuk mengukur kepuasan kerja, peneliti mengadaptasi dari alat ukur Job Satisfaction Scales (JSS) yang terdiri dari 36 item. Skala ini pertama kali dibuat oleh Spector pada tahun 1997. Pada umumnya digunakan oleh perusahaan untuk membantu mengelola, melatih, dan mempertahankan karyawan yang berharga (Liu et al, 2004 dalam Watson dkk, 2004). Job Satiafaction Scale (JSS) ini terdiri
59
dari sembilan aspek, yaitu: pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingent rewards, operating condiitions, co workers, nature of work, communication (Spector, dalam Watson, 2004). Sembilan aspek ini dirancang untuk menilai sikap karyawan tentang aspek pekerjaan. Tabel 3.4 Blueprint Skala Kepuasan Kerja No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Aspek
Indikator
Kepuasan terhadap kesesuaian gaji Kenaikan gaji yang diterima. Promotion Kepuasan akan adanya kesempatan promosi Proses promosi sama dengan proses promosi perusahaan pada umumnya. Supervision Kepuasan berinteraksi dengan atasan Kepuasan terhadap perilaku atasan Fringe Benefit Kepuasan terhadap tunjangan yang diberikan perusahaan Contingent Kepuasan terhadap Reward pengehargaan yang diberikan perusahaan Operating Kepuasan terhadap prosedur Conditions dan peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan Coworkers Kepuasan terhadap rekan kerja Kompetensi yang dimiliki rekan kerja Nature of Kepuasan terhadap Work kesesuaian jenis pekerjaan yang dilakukan Communicatio Kepuasan komunikasi yang n terjalin dalam perusahaan Kurangnya komunikasi yang jelas antar perusahaan dan karyawan Total item Pay
Item
Jumlah
Fav 1,28
Unfav 10,19
4
11,20,33
2
4
3,30
12,21
4
13,22
4,29
4
5,23
14,32
4
15,24,31
6
4
7,25
16,34
4
17,27,35
8
4
9
18,26,36
4
20
16
36
60
3.4 Pengujian Validitas Konstruk Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teknik analisis statistik yang disebut Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan bantuan lisrel 8.7. Adapun logika dasar CFA adalah sebagai berikut (Umar, 2012): 1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor. Sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melaluli analisis terhadap respon (jawaban) atas item-itemnya. 2. Bahwa pada suatu faktor diteorikan setiap item hanya mengukur atau memberi informasi tentang faktor tersebut saja. 3. Berdasarkan teori yang dipaparkan diatas, dapat disusun sehimpunan persamaan matematis. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi (dengan menggunakan data yang tersedia) matriks korelasi antar item yang seharusnya diperolah jika teori tersebut (unidimensional) benar. Matriks korelasi ini dinamakan sigma (∑). Kemudian matriks ini akan dibandingkan dengan matriks korelasi yang diperoleh secara empiris dari data (disebut matriks S). Jika teori tersebut benar (unidimensional), maka seharusnya tidak ada perbedaan yang signifikan antar elemen matriks ∑ dengan elemen matriks. Secara matematis dapat dituliskan: ∑- S = 0 4. Pernyataan matematik inilah yang dijadikan hipotesis nihil (Ho) yang akan dianalisis menggunakan CFA. Dalam hal ini, dilakukan uji signifikansi dengan menggunakan Chi Square. Jika Chi Square yang dihasilkan tidak signifikan (nilai p>0,05), maka dapat disimpulkan, bawa hipotesis nihil yang menyatakan:
61
“tidak ada perbedaan antara matriks S dan ∑” tidak ditolak. Artinya teori unidimensional dapat diterima, bahwa item atau subtes yang di ukur hanya mengukur satu faktor saja. 5. Jika teori diterima (model fit), langkah selanjutnya, adalah menguji hipotesis tentang signifikan tidaknya masing-masing item dalam mengukur apa yang hendak diukur. Uji hipotesis ini dilakukan dengan t-test. Jika nilai t signifikan ( > 1,96), berarti item yang bersangkutan signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur. Dengan cara seperti ini, dapat dinilai butir item mana yang valid dan yang tidak valid dalam konteks validitas kontruk. Dengan kata lain, analisis faktor konfirmatori dalam hal ini adalah pengujian terhadap hipotesis nihil (H0): S - ∑ = 0. Artinya tidak ada perbedaan antar matriks korelasi yang diharapkan oleh teori dengan matriks korelasi yang diperoleh dari hasil observasi. 6. Setelah itu dilihat apakah ada item yang muatan faktornya negatif. Perlu dicatat bahwa untuk alat ukur yang bukan mengukur kemampuan (misal: mengenali emosi diri) jika ada pernyataan negatif, perlu dilakukan penyesuaian arah skoringnya yang dirubah menjadi positif. Jika sudah dibalik, maka berlaku perhitungan umum dimana item bermuatan faktor negatif di drop. Apabila kesalahan pengukurannya berkorelasi terlalu banyak dengan kesalahan pengukuran pada item lain, maka item seperti ini pun dapat di drop karena bersifat sangat multidimensional.
62
3.4.1 Uji Validitas Konstruk Psychological Well-being Pada uji validitas konstruk variabel PWB, penulis melakukan uji validitas dengan model CFA, yaitu model first order dan model second order. Dimana pada awalnya penulis mengelompokkan item berdasarkan item dari PWB dan kemudian setelah dikelompokkan dihitung melalui perhitungan CFA dengan model first order. Berikut first order dari setiap dimensi PWB: 3.4.1.1 Uji Validitas berdasarkan dimensi otonomi. Dalam perhitungan data CFA model satu faktor dari dimensi otonomi diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 15,87, df = 5, P-value = 0,00722, RMSEA = 0,105. . Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 3,73, df = 4, P-value = 0.44403, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan faktor pada lampiran 2. Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan koefisien dari lima item dimensi otonomi, dapat dilihat bahwa kelima item
63
memiliki T-value > 1,96 dan koefisien bermuatan positif yang artinya, tidak ada item yang di-drop pada dimensi otonomi ini. 3.4.1.2 Uji Validitas berdasarkan dimensi environmental mastery. Dalam perhitungan data CFA model satu faktor dari dimensi environmental mastery diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 7,47, df = 2, P-value = 0,02382, RMSEA = 0,117. . Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan ChiSquare = 1,31, df = 1, P-value = 0.25230, RMSEA = 0.040. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan faktor pada lampiran 3. Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan koefisien dari empat item dimensi environmental mastery, dapat dilihat bahwa keempat item memiliki T-value > 1,96 dan koefisien bermuatan positif yang artinya, tidak ada item yang di-drop pada dimensi environmental mastery ini. 3.4.1.3 Uji Validitas berdasarkan dimensi personal growth. Dalam perhitungan data CFA model satu faktor dimensi personal growth diperoleh skor awal
64
perhitungan Chi-Square = 5,13, df = 2, P-value = 0,07682, RMSEA = 0,089. Perolehan P-value = 0,07682 (P > 0,05, tidak signifikan) maka artinya, model ini sudah fit. Hal ini menunjukkan bahwa model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima satu faktor saja, yaitu personal growth. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan faktor pada lampiran 4. Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan koefisien dari empat item dimensi personal growth, dapat dilihat bahwa keempat item memiliki T-value > 1,96 dan koefisien bermuatan positif yang artinya, tidak ada item yang di-drop pada dimensi personal growth ini. 3.4.1.4 Uji Validitas berdasarkan dimensi positive relations with others. Dalam perhitungan data CFA model satu faktor dari dimensi positive relations with others diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 19,54, df = 5, P-value = 0,00152, RMSEA = 0,121. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak dua kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 4,17, df = 3, P-value = 0.24348, RMSEA = 0.044. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja.
65
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan faktor pada lampiran 5. Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan koefisien dari lima item dimensi positive relations with others, dapat dilihat bahwa terdapat dua item yang harus di-drop karena T-value < 1,96. 3.4.1.5 Uji Validitas berdasarkan dimensi purpose in life. Dalam perhitungan data CFA model satu faktor dari dimensi purpose in life diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 26,52, df = 2, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,248. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 3,11, df = 1, Pvalue = 0,07791, RMSEA = 0.103. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan
66
faktor pada lampiran 6. Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan koefisien dari lima item dimensi purpose in life, dapat dilihat bahwa terdapat satu item yang harus di-drop karena T-value < 1,96. 3.4.1.6 Uji Validitas berdasarkan dimensi self-acceptance. Dalam perhitungan data CFA model satu faktor dimensi self-acceptance diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 0,24, df = 2, P-value = 0,88596, RMSEA = 0,000. Perolehan P-value = 0,88596 (P > 0,05, tidak signifikan) maka artinya, model ini sudah fit. Hal ini menunjukkan bahwa model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima satu faktor saja, yaitu self-acceptance. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan faktor pada lampiran 7. Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan koefisien dari lima item dimensi self-acceptance, dapat dilihat bahwa terdapat satu item yang harus di-drop karena T-value < 1,96. 3.4.2 Uji validitas PWB dengan model second order Setelah dilakukan perhitungan data CFA dengan model first order, maka didapatkan 22-item valid yang kemudian penulis ujikan kembali menggunakan model second order. Dalam perhitungan data CFA dengan model second order variabel PWB ini diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 698,67, df = 204, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,110. Terlihat bahwa perolehan P-value = 0,00000
67
(P < 0,05, signifikan) maka artinya, model ini belum fit. Maka penulis melakukan modifikasi terhadap model ini, yaitu dengan membebaskan setiap item untuk berkorelasi. Peneliti melakukan modifikasi sebanyak 59 kali, setelah melalui 59 kali modifikasi, diperoleh nilai Chi-Square = 174,75 df = 146, P-value = 0,05247, RMSEA = 0,031, dengan P-value > 0,05 yang artinya, model ini sudah fit. Dimana item yang ada pada variabel PWB ini berarti hanya mengukur satu faktor saja, yaitu PWB. Selanjutnya, penulis melihat muatan faktor dari variabel PWB dengan melakukan uji hipotesis nihil dari setiap item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan faktor lampiran 8. Berdasarkan data yang diperoleh dari 22item yang telah diuijikan, dapat dilihat bahwa terdapat 5 item yang memiliki Tvalue < 1,96 sehingga item tersebut harus di-drop. 3.4.3
Uji Validitas Konstruk Psychological Capital
1. Psychological Capital (Self-efficacy) Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur psychological capital self-efficacy . Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 62.57, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA= 0.173. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak tiga kaliterhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 8.70, df = 6, P-value =
68
019143, RMSEA = 0.048. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu strategi psychological capital (self-efficacy). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 9. Berdasarkan lampiran 9, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 2. Psychological Capital (Hope) Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur psychological capital hope. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
69
39.93, df = 9, P-value = 0.00001, RMSEA= 0.131. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak tiga kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 8.56, df = 6, P-value = 019991, RMSEA = 0.046. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu strategi psychological capital (hope). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 10. Berdasarkan lampiran 10, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor.
70
3. Psychological Capital (Resiliency) Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur psychological capital resiliency. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan ChiSquare = 18.19, df = 9, P-value = 0.03300, RMSEA= 0.072. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 11.30, df = 8, P-value = 018501, RMSEA = 0.046. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu strategi psychological capital (resiliency). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 11. Berdasarkan lampiran 11, nilai t bagi koefisien muatan faktor item nomor 13 tidak signifikan karena t <1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang negatif, maka diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya negatif yaitu item 13. Diketahui terdapat item yang saling berkorelasi dengan item yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional pada dirinya masing-masing. Item nomor 13 didrop karena memiliki korelasi
71
terhadap item lain. Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 13 akan didrop, artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam perhitungan faktor skor. 4. Psychological Capital (Optimisme) Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur psychological capital optimisme. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan ChiSquare = 61.76, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA= 0.172. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak tiga kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 10.35, df = 6, P-value = 011080, RMSEA = 0.060. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu strategi psychological capital (optimisme). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 12. Berdasarkan lampiran 12, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat
72
korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 3.4.4 Uji Validitas Konstruk Kepuasan Kerja 1. Kepuasan Kerja (Pay) Peneliti menguji apakah keempat item ada yang bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja pay. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square = 2.90, df = 2,
P-value = 0.2349,
RMSEA= 0.047. Oleh sebab itu, peneliti tidak perlu
melakukan modifikasi terhadap model. P-Value >0.05 (tidak signifikan) yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (pay). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 13. Berdasarkan lampiran 13, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
73
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item tidak memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 2. Kepuasan Kerja (Promotion) Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja (promotion). Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 12.97, df = 2, P-value = 0.00152, RMSEA= 0.166. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.08, df = 1, P-value = 0.77160, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (promotion) Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
74
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 14. Berdasarkan lampiran 14, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item tidak memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 3. Kepuasan Kerja (Supervision) Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja (supervision). Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 45.14, df = 2, P-value = 0.00000, RMSEA= 0.329. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.84, df = 1, P-value = 0.35939, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan
75
satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (supervision) Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 15. Berdasarkan lampiran 15, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 4. Kepuasan Kerja (Fringe Benefit) Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja (fringe benefit). Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan ChiSquare = 9.71, df = 2, P-value = 0.00779, RMSEA= 0.139. Oleh sebab itu,
76
peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.01, df = 1, P-value = 0.92452, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (fringe benefit) Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 16 Berdasarkan lampiran 16, nilai t bagi koefisien muatan faktor item nomor 14 tidak signifikan karena t <1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang negatif, maka diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya negatif yaitu item 14. Diketahui terdapat item yang saling berkorelasi dengan item yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional pada dirinya masingmasing. Item nomor 14 didrop karena memiliki korelasi terhadap item lain. Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 14 akan didrop, artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam perhitungan faktor skor. 5. Kepuasan Kerja (Contingen Reward) Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja (contingen reward). Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil
77
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 19.44, df = 2, P-value = 0.00006, RMSEA= 0.209. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.07, df = 1, P-value = 0.79055, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (contingen reward). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 17. Berdasarkan lampiran 17, nilai t bagi koefisien muatan faktor item nomor 17 tidak signifikan karena t <1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang negatif, maka diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya negatif yaitu item 17. Diketahui terdapat item yang saling berkorelasi dengan item yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional pada dirinya masing-masing. Item nomor 17 didrop karena memiliki korelasi terhadap item lain. Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 17 akan didrop, artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam perhitungan faktor skor.
78
6. Kepuasan Kerja (Operating Condition) Peneliti menguji apakah keempat item ada yang bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja operating condition. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square = 3.31, df = 2, P-value = 0.19143, RMSEA= 0.057. Oleh sebab itu, peneliti tidak perlu melakukan modifikasi terhadap model. P-Value >0.05 (tidak signifikan) yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (operating condition). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 18. Berdasarkan lampiran 18, nilai t bagi koefisien muatan faktor item nomor 21 tidak signifikan karena t <1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang negatif, maka diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya negatif yaitu item 21. Diketahui terdapat item yang saling berkorelasi dengan item yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional pada dirinya masingmasing. Item nomor 21 didrop karena memiliki korelasi terhadap item lain. Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 21 akan didrop, artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam perhitungan faktor skor.
79
7. Kepuasan Kerja (Coworker) Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja (coworker). Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 27.04, df = 2, P-value = 0.00000, RMSEA= 0.251. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.29, df = 1, P-value = 0.58943, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (coworker). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 19. Berdasarkan lampiran 19, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak
80
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 8. Kepuasan Kerja (Nature of Work) Peneliti menguji apakah keempat item ada yang bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja nature of work. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square = 0.92, df = 2, P-value = 0.63037, RMSEA= 0.000. Oleh sebab itu, peneliti tidak perlu melakukan modifikasi terhadap model. P-Value >0.05 (tidak signifikan) yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (nature of work). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampian 20. Berdasarkan lampiran 20, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak
81
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 9. Kepuasan Kerja (Communication) Peneliti menguji apakah keempat item ada yang bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kepuasan kerja communication. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square = 2.08, df = 2, P-value = 0.35417, RMSEA= 0.014. Oleh sebab itu, peneliti tidak perlu melakukan modifikasi terhadap model. P-Value >0.05 (tidak signifikan) yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (communication). Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 21. Berdasarkan lampiran, nilai t bagi koefisien muatan faktor item nomor 33 tidak signifikan karena t <1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang negatif, maka diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya negatif yaitu item 33. Diketahui terdapat item yang saling berkorelasi dengan item yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional pada dirinya masingmasing. Item nomor 33 didrop karena memiliki korelasi terhadap item lain.
82
Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 33 akan didrop, artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam perhitungan faktor skor. 3.5
Metode Analisis Data
Untuk menguji hipotesis penelitian mengenai pengaruh kepuasan kerja dan psychological capital terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran, maka peneliti mengolah data yang didapat dengan menggunakan Multiple Regression Analysis (analisis regresi berganda). Teknik analisis regresi berganda ini digunakan untuk menentukan ketepatan prediksi dan ditujukan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari variabel bebas (IV), yaitu kepuasan kerja dan psychological capital dengan psychological well-being (DV). Regresi berganda merupakan metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan antara variabel terikat (Dependent; respon; Y) dengan lebih dari satu variabel bebas (Independent; predictor; X) Persamaan regresi penelitian adalah :
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4+ b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + b11X11 + b12X12+b13X13+e
Keterangan: Y a b X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
: Nilai prediksi Y (Psychological well-being) : Konstan (intercept) : Koefisien regresi yang distandarisasikan untuk masing-masing X : Gaji : Promosi : Kepemimpinan : Tunjangan : Penghargaan : Prosedur kerja : Rekan kerja
83
X8 : Sifat pekerjaan X9 : Komunikasi X10 : Self-efficacy X11 : Hope X12 : Resiliency X13 : Optimism e : Residu Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yaitu koefisien korelasi berganda
antara
kepuasan
kerja
dan
psychological
capital.
Besarnya
psychological well-being yang disebabkan faktor yang telah disebutkan tadi ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau R². R² menunjukkan variasi atau perubahan variabel terikat (Y) disebabkan variabel bebas (X) atau digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) atau merupakan perkiraan proporsi varians dari intense yang dijelaskan oleh kepuasan kerja dan psychological capital. Untuk mendapatkan nili R², digunakan rumusan sebagai berikut :
R2 =
Untuk membuktikan apakah regresi X pada Y signifikan atau tidak, maka dapat diuji dengan menggunakan uji F, untuk membuktikan hal tersebut dengan menggunakan rumus :
Dimana k adalah jumlah independen variabel dan N adalah jumlah sampel. Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya, dapat dilihat apakah variabel independen yang diujikan memiliki pengaruh terhadap dependen variabel.
84
Kemudian dilanjutkan dengan uji t yang digunakan untuk melihat apakah pengaruh yang diberikan variabel bebas (X) signifikan terhadap variabel terikat (Y) secara sendiri atau parsial. Uji ini digunakan untuk menguji apakah sebuah variabel bebas (X) benar-benar memberikan kontribusi terhadap variabel terikat (Y), oleh karenanya sebelum didapat t dari tiap IV, harus didapat dahulu nilai standart eror estimate dari b (koefisien regresi) yang didapatkan melalui akar mean square dibagi SSx. Setelah didapat nilai Sb barulah bisa dilakukan uji t, yaitu hasil bagi dari b (koefisien regresi) dengan Sb itu sendiri. Uji t akan dilakukan sebanyak 13 kali sesuai dengan hipotesis nihil yang hendak diujikan. Uji t dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
t
b Sb
Dimana b adalah koefisien regresi dan sb adalah standart error dari b. Hasil uji t ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti. Seluruh perhitungan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17.0. 3.6 Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini, perlu melalui beberapa tahapan, yaitu: Prosedur Penelitian melalui data terbaru yang diminta langsung oleh peneliti kepada responden yang menjadi responden adalah Petugas Pemadam Kebakaran dengan jumlah 200 orang. Sebelum diadakan penelitian di lapangan ada beberapa tahapan yang harus disiapkan, yaitu:
85
1. Dimulai dengan perumusan masalah 2. Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan teoritis yang tepat mengenai variabel penelitian. 3. Menentukan metode apa yang digunakan dalam penelitian, sehingga dapat membantu dalam proses penghitungan data 4. Mengadaptasi dan memodifikasi item-item yang baku agar sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh peneliti . 5. Menyiapkan “Blue Print” yang terdiri dari item yang bersifat “Favorable & Unfavorable”. 6. Melakukan pengujian dilapangan.
BAB 4 HASIL PENELITIAN Pada bab empat peneliti akan mebahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu, analisis deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian. 4.1 Deskripsi Hasil Penelitian Sebelum diuraikan secara lebih terperinci tentang beberapa sub bab selanjutnya, perlu dijelaskan bahwa skor yang digunakan dalam analisis statistik adalah skor murni (tscore) yang merupakan hasil proses konversi dari raw score. Proses ini ditujukan agar mudah dalam membandingkan antar skor hasil pengukuran variabel-variabel yang diteliti. Dengan demikian semua raw score pada setiap variabel harus diletakkan pada skala yang sama. Secara teknis komputasinya yang ditempuh adalah dengan melakukan transformasi dari raw score menjadi z-score. Untuk menghilangkan bilangan negatif dari z-score, semua skor ditransformasi keskala T yang semuanya positif dengan menetapkan mean = 50 dan standar deviasi = 10. Selanjutnya untuk menjelaskan gambaran umum tentang statistik deskriptif dari variabel dalam penelitian ini, indeks yang menjadi patokan adalah mean, median, standar deviasi (SD), nilai maksimal dan minimal dari masing-masing variabel. Nilai tersebut disajikan dalam tabel 4.1 berikut ini.
86
87
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian PWB
N 200
Minimum 26.43
Maximum 79.24
Mean 50.0003
Std. Deviation 8.28397
Efficacy
200
26.34
73.20
50.0000
8.67745
Hope
200
15.59
71.37
50.0000
8.72052
Resiliensi
200
22.44
71.61
50.0000
8.71924
Optimisme
200
19.71
65.86
50.0000
8.80654
Pay
200
27.14
73.00
50.0000
8.10827
Promosi
200
35.19
72.49
50.0000
6.99743
Supervisi
200
26.62
71.27
50.0000
8.70604
Fb
200
30.65
72.11
50.0000
8.45098
Reward
200
29.31
74.12
50.0000
8.58190
Operating
200
15.57
71.21
50.0000
8.72559
Coworker
200
26.95
65.18
50.0000
9.20763
Now
200
2.94
59.02
50.0000
8.67231
Komunikasi
200
27.73
70.17
50.0000
9.90600
Mengingat semua skor telah diletakkan pada skala yang sama, maka semua mean pada setiap skala adalah 50 dan standar deviasi adalah 10. Dari tabel 4.8 juga dapat diketahui skor terendah DV (psychological well-being) adalah 26.43 dan skor tertinggi adalah 79.24. Psychological Capital (Self-Efficacy) skor terendah 26.34 dan skor tertinggi 73.20. Psychological Capital (Hope) skor terendah 15.59 dan skor tertinggi 71.37. Psychological Capital (Resiliency) skor terendah 22.44 dan skor tertinggi 71.61. Psychological Capital (Optimisme) skor terendah 19.71 dan skor tertinggi 65.86. Skor terendah dari Kepuasan Kerja (Pay) 27,14 dan skor tertinggi 73,00 Kepuasan Kerja (Promotion) skor terendah 35.19 dan skor tertinggi 72.49. Kepuasan Kerja (Supervision) skor terendah 26.62 dan skor tertinggi 71.27.
88
Kepuasan Kerja (Fringe Benefit)) skor terendah 30.65 dan skor tertinggi 72.11. Kepuasan Kerja (Contingen Reward) skor terendah 29.31 dan skor tertinggi 74.12. Kepuasan Kerja (Operating Condition) skor terendah 15.57 dan skor tertinggi 71.21. Kepuasan Kerja (Coworker) skor terendah 26.95 dan skor tertinggi 65.18. Kepuasan Kerja (Nature of Work) skor terendah 2.94 dan skor tertinggi 59.02. Kepuasan Kerja (Communication) skor terendah 27.73 dan skor tertinggi 70.17. 4.1.1
Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Dengan menggunakan standar deviasi dan mean dari skala T ini, maka dapat ditetapkan kategori skor seperti yang tertera pada tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2 Norma Skor Variabel Norma Interpretasi X < Mean Rendah X > Mean Tinggi Setelah kategorisasi tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentase kategori untuk psychological well-being, self-efficacay, hope, resiliency, optimism pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker, dan communication, , sebagaimana yang akan dijabarkan di tabel 4.3
89
Kategorisasi Skor Variabel Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Variable Psychological WellBeing Self-Efficacy Hope Resiliency Optimisme Pay Promotion Supervision Fringe Benefit Contingen Reward Operating Condition Coworker Nature of Work Communication
Rendah 112 126 126 67 130 104 92 88 99 95 48 142 85 92
Kategori dan Persentasi Skor % Tinggi % 56 % 88 44 % 63 % 63 33.5% 65% 52 % 46 % 44 % 49.5 % 47.5 % 24 % 71 % 42.5 % 46 %
74 74 133 70 96 108 112 101 105 152 58 115 108
37 % 37% 66.5% 45% 48 % 54 % 56 % 50.5 % 52.5 % 76 % 29 % 57.5 % 54%
Total 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200
Berdasarkan tabel 4.3, dapat disimpulkan bahwa pada variabel psychological well-being sebagian responden memiliki psychological well-being pada tingkat yang rendah yaitu sebanyak 112 orang atau 56 %. Responden memiliki tingkat kepuasan self-efficacy yang rendah, yaitu sebanyak 126 orang atau 63 %. Responden memiliki tingkat kepuasan hope yang rendah, yaitu sebanyak 126 orang atau 63 %. Responden memiliki tingkat kepuasan resiliency yang tinggi, yaitu sebanyak 133 orang atau 66,5 %. Responden memiliki tingkat kepuasan optimisme yang tinggi, yaitu sebanyak 130 orang atau 65 %. Responden Kepuasan pay pada tingkat yang rendah yaitu sebanyak 104 orang atau 52 %. Responden memiliki tingkat kepuasan promotion yang tinggi, yaitu sebanyak 108 orang atau 54 %. Responden memiliki tingkat kepuasan supervisin yang tinggi, yaitu sebanyak 112 orang atau 56 %. Responden memiliki
90
tingkat kepuasan fringe benefit yang tinggi, yaitu sebanyak 101 orang atau 50.5 %. Responden memiliki tingkat kepuasan contingen reward yang tinggi, yaitu sebanyak 105 orang atau 52.5 %. Responden memiliki tingkat kepuasan operating condition yang tinggi, yaitu sebanyak 152 orang atau 76 %. Responden memiliki tingkat kepuasan coworker yang rendah, yaitu sebanyak 142 orang atau 71 %. Responden memiliki tingkat kepuasan promotion yang tinggi, yaitu sebanyak 108 orang atau 54 %. Responden memiliki tingkat kepuasan nature of work yang tinggi, yaitu sebanyak 115 orang atau 57,5 %. Responden memiliki tingkat kepuasan communication yang tinggi, yaitu sebanyak 108 orang atau 54 %. 4.2 Uji Hipotesi Penelitian Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software SPSS 17 seperti yang sudah dijelaskan pada bab 3, dalam regresi ada tiga hal yang dilihat, yaitu melihat R square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV berpengaruh secara signifikan terhadap DV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien dari masing-masing IV. 4.2.1 Hipotesis Mayor Langkah pertama peneliti melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen (%) varians dari dependent variable, yaitu psychological well-being yang diprediksikan oleh keseluruhan independent variable.
91
Selanjutnya dapat kita lihat bahwa perolehan R square sebesar 0.353. Hal ini berarti 32,9% dari bervariasinya psychological well-being ditentukan oleh bervariasinya independent variable yang diteliti. Sedangkan 67,1% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian. Adapun R square dapat dilihat pada tabel 4.4 Tabel 4.4 Tabel Model Summary R R Square 1 .574a
.329
Adjusted R Square .282
Std. Error of The estimate 7.01713
a. Predictors: (Constant), OPTIMISME, PAY, KOMUNIKASI, OPERATING, PROMOSI, SUPERVISI, COWORKER, NATURE, REWARD, RESILIENSI, FRINGE, EFFICACY, HOPE b. Dependent Variable: PWB Adapun langkah kedua peneliti menganalisis dampak dari seluruh independent variable terhadap psychological well-being. Adapun uji F dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini. Dimana dari tabel dibawah, dapat dilihat bahwa nilai Sig. pada kolom paling kanan dapat diketahui bahwa (p < 0.05), maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari seluruh independent variable terhadap psychological well-being ditolak. Artinya, terdapat pengaruh yang signifikan dari kepuasan kerja (pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker, nature of work, communication) dan psychological
capital
psychological well-being.
(self-efficacay,
hope,
resiliency,
optimism)
terhadap
92
Tabel 4.5 ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 4497.524 9158.671 13656.195
Df 13 186 199
Mean Square 345.963 49.240
F
Sig .000a
7.026
a. Predictors: (Constant), OPTIMISME, PAY, KOMUNIKASI, OPERATING, PROMOSI, SUPERVISI, COWORKER, NATURE, REWARD, RESILIENSI, FRINGE, EFFICACY, HOPE b. Dependent Variable: PWB 4.2.2 Hipotesis Minor Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi tiap independent variable. Jika nilai absolut dari t > 1.96 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa IV tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap psychological wellbeing. Adapun penyajiannya ditampilkan pada tabel 4.6 berikut. Tabel 4.6 Koefisien Regresi Coefficientsa Model (Constant) EFFICACY HOPE RESILIENSI OPTIMISME PAY PROMOSI SUPERVISI FRINGE REWARD OPERATING COWORKER NATURE KOMUNIKASI
Unstandardized Coefficients B Std. Error 14.935 5.752 -.096 .108 .203 .115 .126 .081 .220 .093 .021 .080 .044 .084 .115 .068 -.104 .078 .017 .073 .101 .068 .099 .066 -.023 .070 -.023 .054
Standardized Coefficients Beta
-.100 .214 .132 .234 .020 .037 .121 -.106 .018 .107 .110 -.024 -.028
T
2.596 -.887 1.761 1.546 2.377 .257 .521 1.691 -1.339 .238 1.499 1.513 -.325 -.426
Sig.
.010 .376 .080 .124 .018 .797 .603 .092 .182 .812 .136 .132 .746 .671
93
a. Dependent Variable : PWB Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.6 dapat disampaikan persamaan regresi sebagai berikut : Psychological Well-bieng = 14.935 - 0.096 (effikasi diri) + 0.203 (hope) + 0,126 (resiliensi) + 0,220 (optimisme)* + 0,021 (pay) + 0,044 (promosi) + 0,115 (supervisi) – 0,104 (fringe) + 0,017 (reward) + 0,101 (operating) + 0,099 (coworker) – 0,023 (nature) – 0,023 (komunikasi) Keterangan: Signifikan (*) Dari tabel di atas, untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan, kita cukup melihat nilai Sig pada kolom yang paling kanan (kolom ke-6), jika P < 0.05, maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap psychological well-being dan sebaliknya. Dari hasil diatas, hanya koefisien kepuasan kerja (operating condition) dan psychological capital (resiliensi) yang signifikan, sedangkan lainnya tidak. Hal ini berarti bahwa dari 13 hipotesis minor terdapat 2 yang signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh setiap IV adalah sebagai berikut : 1. Variabel self-efficacy dari psychological capital diperoleh koefisien regresi sebesar -0,096 dengan signifikasi 0,376 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa self-efficacy tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
94
2. Variabel hope dari psychological capital diperoleh koefisien regresi sebesar 0,203 dengan signifikasi 0,080 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hope tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 3. Variabel resiliency dari psychological capital diperoleh koefisien regresi sebesar 0,126 dengan signifikasi 0,124 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa resiliency tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 4. Variabel optimisme dari psychological capital diperoleh koefisien regresi sebesar 0,220 dengan signifikasi 0,018 (p<0.05) yang berarti bahwa variabel optimisme secara positif dan signifikan mempengaruhi psychological well-being artinya semakin tinggi optimisme maka semakin tinggi pula psychological wellbeing. 5. Variabel pay diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,021 dengan signifikansi 0,797 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pay tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 6. Variabel promosi diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,044 dengan signifikasi 0,603 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa promosi tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 7. Variabel supervisi diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,115 dengan signifikasi 0,092 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa supervisi tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
95
8. Variabel fringe benefit diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,104 dengan signifikasi 0,182 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa fringe benefit tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 9. Variabel contingen reward diperoleh nilai koefisien regresi 0,017 dengan signifikasi 0,812 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa contingen reward tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 10. Variabel operating condition diperoleh koefisien regresi sebesar 0,101 dengan signifikasi 0,136 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa operating condition tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 11. Variabel coworker diperoleh koefisien regresi sebesar 0,099 dengan signifikasi 0,132 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa coworker tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 12. Variabel nature of work diperoleh koefisien regresi sebesar -0,023 dengan signifikasi 0,746 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nature of work tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 13. Variabel communication diperoleh koefisien regresi sebesar -0.023 dengan signifikasi 0,671 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa coworker tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan. 4.2.3 Pengujian Proporsi Varians Selanjutnya peneliti ingin mengetahui bagaimana penambahan proporsi varians setiap independent variabel terhadap psychological well-being. Pada tabel 4.7 kolom
96
pertama adalah IV yang dianalis satu per satu, kolom kedua merupakan penambahan varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu persatu tersebut, kolom ketiga merupakan nilai murni varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu per satu, kolom keempat adalah nilai F hitung bagi IV yang bersangkutan. Kolom DF adalah derajat bebas bagi IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan dunemerator yang telah ditentukan sebelumnya, nilai kolom inilah yang akan dibandingkan dengan nilai F hitung. Apabila F hitung lebih besar daripada F tabel, maka kolom selanjutnya, yaitu kolom signifikansi yang dituliskan signifikan dan sebaliknya. Tabel 4.7 Proporsi varians untuk masing-masing Independent Variabel Model Summary Model
R
R Square
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
.410a .494b .508c .526d .526e .533f .548g .556h .556i .566j .573k .573l .574m
.168 .244 .258 .277 .277 .284 .301 .309 .309 .321 .328 .329 .329
Adjusted R Square .164 .237 .247 .262 .258 .262 .275 .280 .276 .285 .289 .286 .282
Std. Error of The estimate 7.57336 7.23723 7.19028 7.11643 7.13435 7.11733 7.05263 7.03033 7.04738 7.00619 6.98525 7.00175 7.01713
R Square Change .168 .076 .014 .019 .000 .007 .017 .008 .000 .012 .007 .001 .000
Keterangan: 1. 2. 3. 4.
Efficacy : Self-efficacy Hope : Hope Resiliensi : Resiliency Optimisme : Optimisme
8. Fringe : Fringe Benefit 9. Reward : Contingent Reward 10. Operating : Operating Conditions 11. Coworker : Coworker
97
5. Pay : Pay 6. Promosi : Promotion 7. Supervision : Supervision
12. Nature : Nature Of Work 13. Komunikasi: Communication 14. PWB : Psychological Well-Being
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel psychological capital (self-efficacy) memberikan sumbangan sebesar 16,8 % dalam varians psychological well-being. 2. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel psychological capital (hope) memberikan sumbangan sebesar 7,6 % dalam varians psychological well-being. 3. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel psychological capital (resiliency) memberikan sumbangan sebesar 1,4 % dalam varians psychological well-being. 4. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel psychological capital (optimisme) memberikan sumbangan sebesar 1,9 % dalam varians psychological well-being. 5. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (pay) memberikan sumbangan sebesar 0 % dalam varians psychological well-being. 6. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (promotion) memberikan sumbangan sebesar 0,7 % dalam varians psychological well-being.
98
7. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (supervision) memberikan sumbangan sebesar 1,7 % dalam varians psychological well-being. 8. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (fringe benefit) memberikan sumbangan sebesar 0,8 % dalam varians psychological well-being. 9. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (reward) memberikan sumbangan sebesar 0 % dalam varians psychological well-being. 10.Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (operating condition) memberikan sumbangan sebesar 1,2 % dalam varians psychological well-being. 11.Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (coworker) memberikan sumbangan sebesar 0,7 % dalam varians psychological well-being. 12.Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (nature of work) memberikan sumbangan sebesar 0,1 % dalam varians psychological well-being. 13.Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable, variabel kepuasan kerja (communication) memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians psychological well-being.
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Setelah peneliti melakukan penelitian dan mendapatkan hasil serta menganalisis hasil yang didapat, maka pada bab ini peneliti akan menyimpulkan hasil dari penelitian. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari permasalahan penelitian. Peneliti akan memaparkan pada penjelasan berikut ini. Berdasarkan hasil uji hipotesis peneliti, maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah “terdapat pengaruh yang signifikan dari kepuasan kerja dan psychological capital terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran”. Kemudian hasil uji hipotesis minor yang menguji signifikansi setiap koefisien regresi terhadap dependent variabel, diperoleh bahwa hanya variabel psychological capital (optimisme) yang memberikan pengaruh signifikan terhadap psychological well-being. Dengan demikian hanya satu hipotesis minor yang diterima, yaitu terdapat pengaruh yang signifikan dari optimisme terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran. 5.2 Diskusi Berdasarkan hasil uji t, didapatkan kesimpulan bahwa psychological capital memiliki pengaruh terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sandeep dan Mansi (2009) yang
99
100
menyatakan bahwa psychological capital memiliki pengaruh terhadap psychological well-being. Hal ini sejalan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Luthans, Avey, Smith, dan Palmer (2010) bahwa psychological capital siginifikan mempengaruhi psychological well-being. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa psychological capital secara positif dapat meningkatkan psychological well-being karyawan, selain itu terdapat hubungan yang positif dari waktu ke waktu antara psychological capital dan psychological well-being. Hal ini sejalan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Kenneth Cole (2006) menyatakan bahwa psychological capital signifikan mempengaruhi well-being. Semakin tingginya psychological capital individu maka semakin tinggi pula well-being. Psychological capital memiliki empat aspek, dari empat aspek tersebut hanya satu aspek yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran, yaitu optimisme (psychological capital). Dimensi optimisme (psychological capital) dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009) yang menyatakan bahwa optimisme memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological wellbeing. Semakin tinggi optimisme individu maka semakin tinggi pula psychological well-being. Selain itu penelitian Deepali Mital dan Madhu Mathur (2011) juga
101
menyatakan bahwa, optimisme positif memiliki
hubungan dan signifikan
mempengaruhi psychological well-being. Petugas yang memiliki optimisme tinggi, maka akan memiliki psychological well-being yang tinggi. Petugas akan selalu memandang kejadian atau situasi yang sulit sebagai keadaan sementara sehingga petugas akan terus berusaha menghadapi kesulitan. Seperti dalam proses pemadaman seorang petugas harus memiliki optimisme yang tinggi sehingga petugas dapat memadamkan api dengan maksimal, karena memiliki keyakinan dan harapan bahwa mereka dapat memadamkan api dengan maksimal dan tanpa adanya kecelakaan. Optimisme dapat membantu individu mengatasai stress dan dapat mengurangi resiko sakit. Menurut Seligman (1991) optimisme memberikan pengaruh yang besar terhadap well-being, dan dapat mempengaruhi pertumbuhan pribadi, hubungan dengan orang lain, dan tingkatan kesenangan terhadap pekerjaan. Jadi jika petugas memiliki optimisme yang tinggi dengan selalu berfikir positif pada segala situasi khususnya pada proses pemadaman dan selalu memiliki harapan yang tinggi pada saat situasi sulit, maka dapat memunculkan psychological well-being yang tinggi. Dimensi self-efficacy (psychological capital) dalam penelitian ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological wel-being. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009) yang menyatakan bahwa psychological capital (self-efficacy) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Dalam penelitiannya menyatakan
102
bahwa semakin tinggi individu memiliki self-efficacy maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya, tetapi dalam penelitian ini self-efficacy tidak mempengaruhi psychological well-being. Dalam penelitian ini self-efficacy yang dimiliki oleh petugas pemadam kebakaran masih sangat rendah. Keyakinan diri individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengarahkan segala usaha agar berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugas yang dihadapinya masih sangat rendah. Dimensi hope (psychological capital) dalam penelitian ini tidak signifikan mempengaruhi psychological well-being hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Luthans dkk, 2010) yang menyatakan bahwa psychological capital memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being, tetapi dalam hope yang merupakan dimensi psychological capital tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Mungkin hope (harapan) yang dimiliki oleh petugas masih sangat rendah, sehingga petugas kurang berusaha lebih keras dalam mencapai tujuan yang dimilikinya. Dimensi resiliency (psychological capital) dalam penelitian ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wolin dan Wolin (dalam Luthans dkk, 2007) menyatakan bahwa resiliensi memiliki kontribusi dalam meningkatkan well-being. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Srivastava dan Sinha (2005) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara resiliency dengan well-
103
being. Menurut Luthans (dalam Avey dkk, 2010) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan seseorang untuk bangkit kembali saat mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dan dapat beradaptasi kembali dari kegagalan tersebut. Mungkin pada saat terjadi trauma atau kecelakaan, petugas memiliki kesulitan untuk bangkit kembali dan sulit untuk beradaptasi dari kejadian yang dialaminya. Selain psychological capital, variabel lain yang turut diuji dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja. Berdasarkan hasil uji t, didapatkan kesimpulan bahwa dimensi kepuasan kerja tidak signifikan pengaruhnya terhadap psychological wel-being pada petugas pemadam kebakaran. Hasil ini tidak sejalan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011) terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being. Individu yang merasa puas dengan pekerjaannya cenderung merasa baik secara psikologis. Semakin tinggi individu puas terhadap pekerjaannya maka semakin tinggi pula psychological well-being individu. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Luthans dkk, 2010 menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan terhadap psychological well-being. Individu yang merasa senang terhadap pekerjaannya maka puas secara pekerjaan dan juga psychological well-beingnya. Kepuasan kerja memiliki sembilan aspek, dari sembilan aspek tidak ada yang signifikan mempengaruhi psychological well-being. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa aspek kepuasan kerja yaitu kepuasan gaji, promosi, supervisi, tunjangan, penghargaan, prosedur kerja, rekan kerja, sifat
104
pekerjaan dan komunikasi tidak dapat menentukkan psychological well-being individu. Dimana petugas pemadam kebakaran tidak puas akan gaji yang diberikan, promosi yang tidak sesuai, merasa tidak puas terhadap sikap atasan, tunjangan yang diberikan cenderung tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, petugas pemadam kebakaran tidak mendapatkan penghargaan atas pekerjaannya, prosedur kerja yang ditetapkan tidak sesuai, rekan kerja yang kurang kompeten, sifat pekerjaan yang tidak cocok, serta kurangnya komunikasi akan menyebabkan individu tidak puas terhadap pekerjaannya sehingga akan mempengaruhi psychological well-being individu. Terdapat 13 variabel yang diteliti, tetapi hanya satu independent variabel yang berpengaruh signifikan terhadap psychological well-being, dan independent variabel lainnya yang tidak berpengaruh signifikan adalah self-efficacy, hope, resiliency, gaji, promosi, supervisi, tunjangan, penghargaan, prosedur kerja, rekan kerja, sifat pekerjaan dan komunikasi. Bagaimanapun, ketidaksesuaian atau perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian terdahulu mungkin disebabkan oleh beberapa faktor penting seperti sampling error, perbedaan penggunaan instrument penelitian, background sample, serta hal lain yang tidak ikut diteliti dalam penelitian ini. Selain itu, latar belakang kultur yang berbeda antara penelitian terdahulu dan penelitian ini juga menyebabkan perbedaan hasil serta partisipan yang kurang serius saat mengisi skala sehingga respon menjadi tidak terpola, atau kondisi serta situasi pada saat partisipan mengisi skala yang tidak kondusif menyebabkan partisipan
105
menjadi tidak konsentrasi dalam memberikan responnya, atau bisa juga dikarenakan oleh banyaknya item dan tidak semua item mencakup konsep yang bisa dimengerti secara jelas oleh partisipan. Meskipun begitu, terdapat pula yang hasilnya sesuai dengan penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti juga melakukan kategorisasi terhadap nilai yang didapatkan dari responden penelitian variabel penelitian, hasil kategorisasi yang pertama, responden penelitian memiliki psychological well-being yang rendah, mungkin dikarenakan sifat pekerjaan sebagai pemadam kebakaran yang dapat menimbulkan stress dan trauma sehingga petugas memiliki PWB yang rendah. Kedua, psychological capital petugas pemadam kebakaran secara general masih rendah. Baik dalam self-efficacy, hope, optimisme, masih tergolong kategori rendah. Aspek resiliensi termasuk kategori tinggi, dimana petugas pemadam kebakaran lebih cepat bangkit kembali dari pengalaman yang pernah dialaminya. Ketiga yaitu kepuasan kerja dalam penelitian ini bervariasi. Gaji dan rekan kerja masih dalam tegolong rendah, serta promosi supervisi, tunjangan, penghargaan, prosedur kerja dan sifat pekerjaan tergolong dalam kategori tinggi. Hal ini dimungkinkan petugas sudah merasa puas terhadap pekerjaan yang dilakukannya. 5.3 Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyadari bahwa masih terdapat kekurangan didalamnya. Untuk itu, peneliti memberikan beberapa saran untuk bahan
106
pertimbangan sebagai penyempurnaan penelitian selanjutnya yang terkait dengan penelitian serupa, yaitu saran metodologis dan saran praktis. 5.3.1 Saran Metodologis 1.Varians dari tiga belas independent variable (IV) yang diteliti menyumbang 32,9 %. Sisanya kemungkinan disumbangkan oleh variabel lainnya. Oleh karena itu, disarankan bagi peneliti selanjutnya dapat menambah variabel lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being. Selain IV pada penlitian ini, independent variable yang cocok di petugas pemadam kebakaran yaitu dukungan sosial. 2.Instrument dalam penelitian ini menggunakan alat ukur baku dari bahasa asing yang memiliki istilah yang jarang digunakan. Responden dalam penelitian ini mempertanyakan istilah yang digunakan. Sehingga disarankan agar penelitian selanjutnya lebih memahami karakteristik sampel yang digunakan dan dikaitkan dalam pembuatan instrument penelitian agar mudah dipahami responden. 5.3.2 Saran Praktis 1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang signifikan berpengaruh secara positif terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran adalah psychological capital (optimisme). Hal ini menunjukkan bahwa petugas pemadam kebakaran telah memiliki optimisme yang baik dalam melaksanakan pekerjaannya, tetapi optimisme yang dimiliki petugas pemadam kebakaran masih perlu dikembangkan lagi sehingga dapat melaksanakan pekerjaannya dengan memuaskan yaitu dengan cara selalu berpikir positif pada setiap kejadian,
107
diberikan dorongan langsung oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan sehingga akan meningkatkan optimisme petugas, dan memiliki keyakinan terhadap kemampuannya pada tugas yang dijalankan dan juga dapat diadakannya seminar tentang optimisme terhadap pekerjaan. 2. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh petugas pemadam kebakaran, karena dengan adanya dukungan sosial petugas dapat melaksanakan tugas dengan sangat baik. Dukungan yang sangat diperlukan pada saat proses pemadaman dilakukan yaitu dukungan masyarakat, dengan adanya dukungan masyarakat seperti masyarakat memberikan jalan pada saat mobil pemadam datang dan pada saat proses pemadaman, masyarakat tidak saling berebut selang karena dapat mengganggu proses pemdaman sehingga kinerja petugas pemadam tidak maksimal. Masyarakat harus mendukung petugas dalam melaksanakan tugasnya, masyarakat juga harus tenang pada saat kebakaran sehingga petugas dapat melakukan pekerjaannya dengan baik, selain itu masyarakat juga tidak usah takut untuk menghubungi petugas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana karena tidak dipungut biaya. 3. Kepuasan terhadap rekan kerja dalam penelitian ini masih sangat rendah, dimana petugas pemadam kebakaran tidak puas dengan rekan kerjanya dan merasa tidak sesuai dengan rekan kerjanya saat ini. Dalam petugas pemadam kebakaran sudah memiliki program untuk mengenal satu sama lain yaitu untuk meningkatkan tali kekeluargaan seperti terdapat pengajian dan setelah pengajian terdapat pertukaran
108
pendapat dengan petugas lain, selain itu terdapat program seperti melakukan olahraga dengan tujuan untuk lebih saling mengenal. Berdasarkan hasil ini, diharapkan petugas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana dapat terus meningkatkan dan memperbarui program yang sudah ada karena dilapangan terkadang petugas tidak ikut serta dalam program yang sudah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA Ansari, S. A (2010). Cross validation of ryff scales of psychological wellbeing: Translation into urdu language. College of Business Management, Karachi, 244-259. Avey, J. B., Luthans, F., Smith, R. M & Palmer, N. F (2010). Impact of positive psychological capital on employee well-being over time. Journal of Occupational Health Psychology, 17-28. Avey, J. B., Reichard, R. J., Luthans, F & Mhatre, K. H. Meta- Analysis of the impact of positive psychological capital on employee, attitudes, behaviors, and performance. Human Resource Development Quarterly, 22, 127-152. Brough, P (2005). A comparative investigation of the predictors of work-related psychological well-being within police, fire and ambulance workers. New Zealand Journal of Psychology, 34, 127-134. Chien, J. D & Lim, K. G (2012). Strength in adversity: The influence of psychological capital on job search. Journal of Organizational Behavior, 811–839. Dodge, R., Daly, P. A., Huyton, J & Sanders D. L (2012). The challenge of defining well-being. International Journal of Wellbeing, 222-235. Herbert, M (2011). An exploration of the relationships between psychological capital (hope, optimism, self-efficacy, resilience), occupational stress, burnout and employee engagement. Thesis. Industry Psychology University of Stellenbosch. Hilal, F. 2003. Asuransi untuk petugas damkar terlambat. Diamil dari http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=762s. 10 April 2014 (12.50) Hmieleski, K. M & Carr, J. C (2007). The relationship between entrepreneur psychological capital and well-being. Frontiers of Entrepreneurship Research, 1-12. Novianita, G (2013). Kesejahteraan psikologis pemadam kebakaran. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia.
Kompas. (2013). Personel pemadam kebakaran terbatas. Diambil dari, http://lipsus.kompas.com/gebrakan-jokowi/2013/03/02. 10 April 2014 (13.45). Lenny, 2014. Hingga April 2014, 280 Kasus Kebakaran Terjadi di Jakarta. (2014). Diambil dari http://www.beritasatu.com/aktualitas/181535-hingga-april-2014280-kasus-kebakaran-terjadi-di-jakarta /2014/05/02. 10 April 2014 (09.00). Lumley, J. E., Coetzee, M., Tladinyane, R & Ferreira, N (2011). Exploring the job satisfaction and organisational commitment of employees in the information technology environment. Southern African Business Review. 15, (15). 100-118. Luthans, F., Avey, J. B., Avolio, B. J & Peterson, S. J (2010). The Development and resulting performance impact of positive psychological capital. Human Resource Development Quarterly, 21, 41-67. Luthans, F., Luthans, K. W & Luthans, B. C (2004). Positive psychological capital: Beyond human and social capital. Business Horizons, 45-50. Malek A. Mohd Dahlan (2010). Stress and psychological well-being in uk and malaysian fire fighters. Cross Culture Management: an International Journal, 17, 50-61. Mittal, D & Mathur, M (2011). Positive forces of life and psychological well-being among corporate professionals. Journal of Management & Public Policy, 3(1), 36-48. Munandar, A. S (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. UI-Press. Novianita, G. (2013). Kesejahteraan psikologis petugas pemadam kebakaran. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Pegertian pemadam kebakaran. (2013). Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemadam_kebakaran/2013/11/11. 10 April 2014 (08.45). Rothner, E & Com, H. B (2005). Psychological well-being and job satisfaction of employees in a financial institution. Thesis. North West University Ryff, C. D & Keyes, C. L (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology. 69, (4). 719-727.
Ryff, C. D & Singer, B (1996). Psychological well-being: meaning, measurement, and implications for psychotherapy research. Psychotherapy and Psychosomatics, 14-23 Ryff, C. D (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology. 57, (6). 1069-1081. Sarafino, Edward P. 1990. Health psychology. Singapore: John Wiley & Sons. Suprihatin, 2014. Siap mental dicerca dan dicemooh. Diambil dari, http://www.indosiar.com/ragam/siap-mental-dicerca-dan-dicemooh_21286. 11 April 2014 (11:30). Singh, S & Mansi (2009). Psychological capital as predictor of psychological wellbeing. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. 35, (2). 233-238. Spector, P. E (1985). Measurement of human service staff satisfaction: development of the job satisfaction survey. American Journal of Community Psychology. 13, (6). 693-713. Spector, P. E (2000). Psychology industry and organizational. United States of America. Stam, M. P (2012). Linking psychological capital, structural empowerment and percieved staffing adequacy to new graduate nurses’ job satisfaction. Thesis. The University Of Western Ontario. Tenggara, H., Zamralita, & Tommy, P (2008). Kepuasan kerja dan kesejahteraan karyawan. Phronesis Jurnal Ilmiah Psikologi dan Industri. 10, 96-115. Wijono ,S. (2010). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: Kencana.
Yanez, C. B & Figueroa (2011). Psychological well-being, perceived organizational support and job satisfaction amongst chilean prison employees. Psychology Department, Talca University, 13, 91-99. Zhao, Z & Hou, J (2009). The study on psychological capital development of intrapreneurial team. International Journal of Psychological Studies. 1, (2). 3540
Lampiran 2 Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (otonomi)
Muatan Faktor Item PWB (Otonomi) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 1 0.88 0.25 3.50 V 2 0.25 0.09 2.65 V 3 0.32 0.11 2.98 V 4 0.77 0.23 3.29 V 5 0.24 0.09 2.60 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 3 Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (environmentl mastery)
Muatan Faktor Item PWB (environmental mastery) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 1 0.58 0.08 7.01 V 2 0.76 0.09 8.60 V 3 0.59 0.08 7.23 V 4 0.35 0.09 4.13 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 4 Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (personal growth)
Muatan Faktor Item PWB (Personal Growth) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 1 0.46 0.10 4.70 V 2 0.81 0.13 6.02 V 3 0.31 0.09 3.49 V 4 0.33 0.09 3.74 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 5 Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (positive relations with others)
Muatan Faktor Item PWB (positive relations with others) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 1 0.71 0.15 4.76 V 2 0.14 0.10 1.41 X 3 0.45 0.11 4.11 V 0.40 0.10 3.93 V 4 0.08 0.10 0.89 X Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 6 Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (purpose in life)
Muatan Faktor Item PWB (purpose in life) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 1 0.61 0.11 5.64 V 2 0.78 0.13 6.16 V 3 -0.01 0.09 -0.07 X 4 3.90 0.09 3.90 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 7 Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (self-acceptance)
Muatan Faktor Item PWB (Self-acceptance) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 1 0.49 0.12 4.24 V 2 -0.06 0.09 -0.65 X 3 0.34 0.10 3.60 V 4 0.79 0.16 4.84 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 8 Analisis Konfirmatori Psychological Well-Being (second order)
Muatan Faktor Item Psychological Well-being No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 1 0.49 0.11 4.27 V 2 0.36 0.10 3.46 V 3 0.30 0.09 3.23 V 4 0.37 0.10 3.83 V 5 0.67 0.10 6.77 V 6 0.67 0.09 7.24 V 7 0.44 0.09 4.75 V 8 0.77 0.18 4.32 V 9 0.41 0.10 4.11 V 10 0.63 0.13 4.75 V 11 0.36 0.10 3.80 V 12 0.58 0.09 6.44 V 13 0.30 0.08 3.99 V 14 0.41 0.10 4.06 V 15 0.58 0.14 4.09 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 9 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (self-efficacy)
Muatan Faktor Dimensi Psychological Capital (Self-Efficacy) Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
No item 1 0.53 0.07 8.01 2 0.51 0.07 7.60 3 0.78 0.07 11.67 4 0.82 0.07 12.36 5 0.64 0.07 9.74 6 0.91 0.08 11.49 Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
V V V V V V
Lampiran 10 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Hope)
Muatan Faktor Dimensi Psychological Capital (Hope) Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
No item 7 0.63 0.07 9.16 8 0.66 0.07 9.75 9 0.54 0.07 7.17 10 0.77 0.06 11.85 11 0.59 0.07 8.22 12 0.77 0.07 11.68 Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
V V V V V V
Lampiran 11 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Resiliency)
Muatan Faktor Dimensi Psychological Capital (Resiliency) Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
No item 13 0.11 0.08 1.49 14 0.86 0.06 13.61 15 0.72 0.07 10.75 16 0.37 0.08 4.87 17 0.62 0.07 8.98 18 0.73 0.07 11.04 Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
X V V V V V
Lampiran 12 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Optimisme)
Muatan Faktor Dimensi Psychological Capital (Optimisme) Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
No item 19 0.21 0.08 2.62 20 0.14 0.06 2.41 21 1.22 0.35 3.52 22 1.74 0.47 3.74 23 0.14 0.06 2.34 24 0.37 0.12 3.08 Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
V V V V V V
Lampiran 13 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Pay)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Pay) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 1 0.51 0.08 6.33 V 2 0.56 0.08 7.01 V 3 0.73 0.08 8.92 V 4 0.57 0.08 7.13 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 14 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Promotion)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Promotion) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 5 0.76 0.18 4.22 V 6 0.26 0.10 2.61 V 7 0.42 0.12 3.64 V 8 0.33 0.10 3.17 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 15 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Supervision)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Supervision) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 9 0.56 0.09 6.47 V 10 0.38 0.08 4.91 V 11 0.40 0.08 5.11 V 12 1.07 0.12 9.07 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 16 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Fringe Benefit)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Fringe Benefit) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 13 0.84 0.09 9.10 V 14 -0.15 0.08 -1.81 X 15 0.64 0.09 7.52 V 16 0.48 0.08 6.11 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 17 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Contingen Reward)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Contingen Reward) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 17 0.04 0.07 0.56 X 18 0.55 0.09 5.85 V 19 0.39 0.08 4.67 V 20 0.97 0.13 7.40 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 18 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Operating Condition)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Operating Condition) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 21 0.04 0.08 0.53 X 22 0.31 0.08 3.76 V 23 0.93 0.14 6.58 V 24 0.64 0.11 5.80 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 19 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Coworker)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Coworker) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 25 0.46 0.13 3.62 V 26 0.22 0.08 2.66 V 27 1.30 0.31 4.26 V 28 0.22 0.008 2.68 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 20 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Nature of Work)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Nature of Work) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 29 0.38 0.07 5.19 V 30 0.48 0.07 6.76 V 31 0.91 0.07 13.31 V 32 0.82 0.07 11.89 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 21 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Cmmunication)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Communication) No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan 33 0.05 0.08 0.60 X 34 0.28 0.13 2.17 V 35 0.30 0.13 2.21 V 36 0.90 0.35 2.55 V Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 22 Proporsi varians masing-masing Independent Variabel Model Summary
Model
d1 i2 m 3 e4 n5 s6 i7 o8 n9 0 10 11 12 13
Change Statistics R R Square a .410 .168 .494b .244 c .508 .258 .526d .277 e .526 .277 .533f .284 .548g .301 h .556 .309 .556i .309 .566j .573k .573l .574m
Adjusted R Std. Error of Square the Estimate .164 7.57336 .237 7.23723 .247 7.19028 .262 7.11643 .258 7.13435 .262 7.11733 .275 7.05263 .280 7.03033 .276 7.04738
.321 .328 .329 .329
.285 .289 .286 .282
R Square Change F Change .168 40.096 .076 19.819 .014 3.581 .019 5.089 .000 .022 .007 1.929 .017 4.557 .008 2.220 .000 .077
7.00619 6.98525 7.00175 7.01713
.012 .007 .001 .000
8.921 2.135 .115 .181
1 1 1 1 1 1 1 1 1
df2 198 197 196 195 194 193 192 191 190
Sig. F Change .000 .000 .060 .025 .884 .166 .034 .138 .782
1 1 1 1
189 188 187 186
.000 .146 .735 .671
df1
a. Predictors: (Constant), EFFICACY b. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE c. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI d. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME e. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY f. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY, PROMOSI g. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY, PROMOSI, SUPERVISI h. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY, PROMOSI, SUPERVISI, FB i. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY, PROMOSI, SUPERVISI, FB, REWARD j. Predictors: (Constant), OPERATING, FB, OPTIMISME, PROMOSI, SUPERVISI, REWARD, RESILIENSI, PAY, EFFICACY, HOPE k. Predictors: (Constant), OPERATING, FB, OPTIMISME, PROMOSI, SUPERVISI, REWARD, RESILIENSI, PAY, EFFICACY, HOPE, COWORKER l. Predictors: (Constant), OPERATING, FB, OPTIMISME, PROMOSI, SUPERVISI, REWARD, RESILIENSI, PAY, EFFICACY, HOPE, COWORKER, NOW m. Predictors: (Constant), OPERATING, FB, OPTIMISME, PROMOSI, SUPERVISI, REWARD, RESILIENSI, PAY, EFFICACY, HOPE, COWORKER, NOW, KOMUNIKASI