HUBUNGAN PENGGUNAAN SUMBER INFORMASI KAMPANYE DAN PARTISIPASI POLITIK (Kasus Pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong Bogor)
LAYUNG PARAMESTI MARTHA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dan Partisipasi Politik (Kasus Pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mana pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015 Layung Paramesti Martha NIM I352114071
RINGKASAN LAYUNG PARAMESTI MARTHA. Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dan Partisipasi Politik (Kasus Pilpres 2014 di Kabupaten Bogor) dibimbing oleh AMIRUDDIN SALEH dan PARLAUNGAN ADIL RANGKUTI. Kampanye politik pilpres 2014 telah berlangsung dari tanggal 4 Juni s/d 5 Juli 2014 yang dilaksanakan oleh pasangan calon dan tim kampanye masingmasing. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana saluran komunikasi baik media massa maupun media sosial (new media) menjadi sumber informasi pilpres tahun 2014 dibandingkan dengan saluran komunikasi antarpribadi, dan bagaimana tingkat penggunaan pemilih terhadap sumber informasi selama kampanye dapat memengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat Cibinong. Penelitian dilakukan pada bulan September – Oktober 2014, di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor dengan total 200 responden yang tersebar di empat kelurahan diambil secara purposif berdasarkan empat batas wilayah administratif. Hipotesis diuji dengan Korelasi rank Spearman. Hasil koefisien korelasi menunjukkan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi politik dalam hal keterlibatan dalam kampanye serta keterlibatan mengawasi pemilu yang rendah, sementara keterlibatan dalam memberikan suara yang cukup baik. Dalam variabel karakteristik demografis pemilih, korelasi yang nyata negatif yang ditemukan antara jenis kelamin dan keterlibatan dalam kampanye dan antara lingkungan tempat tinggal dan keterlibatan keterlibatan dalam kampanye. Sementara afiliasi politik berhubungan sangat nyata positif dengan keterlibatan dalam kampanye dan keterlibatan memberikan suara. Sebaliknya, variabel usia, pendapatan, dan pendidikan tidak memiliki hubungan dengan semua dimensi kampanye keterlibatan. Sebagaimana dimensi karakteristik demografi termasuk jenis kelamin, asal kelahiran, dan lingkungan tempat tinggal juga memiliki korelasi sangat nyata negatif dengan penggunaan sumber informasi kampanye. Indikator dari jenis kelamin dan asal kelahiran memiliki korelasi negatif yang sangat nyata dengan jumlah sumber penggunaan informasi. Indikator kelahiran juga memiliki korelasi sangat nyata negatif dengan seringnya mengakses sumber kampanye informasi kampanye. Afiliasi politik berkorelasi nyata positif dengan jumlah penggunaan sumber informasi kampanye. Sementara, penggunaan sumber informasi kampanye memiliki korelasi sangat nyata positif dengan partisipasi politik dalam dimensi keterlibatan dalam kampanye, pemungutan suara, dan pengawasan pemilu. Kata Kunci: partisipasi politik, penggunaan sumber informasi, kampanye politik
SUMMARY
LAYUNG PARAMESTI MARTHA. Relationship between the Campaign Source of Information Use and Political Participation (Case in Indonesian Presidental Election 2014 at Sub-District of Cibinong Bogor). Supervisied by AMIRUDDIN SALEH and PARLAUNGAN ADIL RANGKUTI.
Indonesian presidential election campaigns had been held by the candidates and the campaign team respectively from June, 4th-July, 5th 2014. This study was aimed to know the extent of utilization of communication channels both mass media and social media (new media) as source of information, compared with interpersonal communication channel, and how the level of utilization of the information sources by voters during the political campaign influenced the level of political participation in Cibinong. This study had been conducted in September-Oktober 2014 at Sub-District of Cibinong, Bogor Regency. A number of 200 people were chosen as pemilihts by using purposive sampling technique. The collected data were analyzed with Spearman’s Rank correlation test. Results showed that political participation in the engagement of campaigns as well as the surveillance were poor, while the participation in voting was quite good. In the variable of demographic characteristics, a negative significant correlation was found between sex and the campaign engagement and so between the birthplace and campaign engagement. While political affiliation had a positive significant correlation with campaign engagement and voting engagement. On the contrary, the variable of age, income, and education had no correlation with all dimensions of the campaigns engagement. In the variable of demographic characteristic, a negative significant correlation also found between sex, birthplace, and environment, with utilization of campaign source of information. All dimensions of demographic characteristics including sex, birthplace, and environment had a significant negative correlation with utilization of campaign source of information use. The indicator of sex and birthplace had a significant negative correlation with the amount of source of information use. The indicator of birthplace also had a significant negative correlation with the frequent of accessing campaign sources of information. Political affiliation had a a positive correlation with amount of source of information use. The utilization of campaign sources of information had a significant positive correlation with political participation in the dimension of the engagement in the campaign, voting, and surveillance for the election. Keywords: political participation, source of information use, political campaign
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
HUBUNGAN PENGGUNAAN SUMBER INFORMASI KAMPANYE DAN PARTISIPASI POLITIK (Kasus Pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong Bogor)
LAYUNG PARAMESTI MARTHA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, karena atas hidayah dan petunjukNya, karya ilmiah berjudul Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dan Partisipasi Politik (Kasus Pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong Bogor) ini berhasil diselesaikan. Terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Amiruddin Saleh, MS dan Dr Ir Parlaungan Adil Rangkuti, MS selalu komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberi bimbingan, dorongan, arahan dan masukan untuk penulis. Ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada Bapak Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA selaku penguji luar komisi yang telah memberi koreksi dan saran untuk perbaikan tesis ini. Kemudian ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Djuara P. Lubis yang telah berkenan mendorong dan mengarahkan penulis, kepada Ibu Dr Krishnarini Matindas MS atas bimbingan dan semangatnya, para sahabat Atika Rusli KMP 2011, Ezi Hendri KMP 2011, Amalia Dianah KMP 2012, Bapak Muslim Unversitas Pakuan, Ibu Ratih Universitas Pakuan, Bapak Aldinsyah Boer STIE Triguna, Ibu Lia dan Ibu Hetti di sekretariat KMP, para narasumber, informan dan semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian tesis. Ungkapan terima kasih atas limpahan doa, perkenan dan kasih sayang penulis sampaikan kepada keluarga khususnya ibunda Retno Indro Estuti, ayahanda Sukendra Martha, adik-adikku Lalita Paraduhita Martha dan Tawang Amuhara dan anakku tercinta Kafi Alkhaira Martha. Serta tidak lupa ucapan terima kasih tak terhingga untuk Muadz Mughni Mustofa, para kerabat dan teman-teman seperjuangan di angkatan genap KMP 2011 dan KMP 2012 Sekolah Pascasarjana IPB. Sementara proses menuju ujian tesis, sebagian hasil penelitian dari tesis ini telah disetujui untuk diterbitkan pada Jurnal KMP Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (Forkapi) Edisi Februari Tahun 2015 Volume 13 No 2. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca, pemerhati bidang komunikasi politik, komunikasi pembangunan dan penulis pada khususnya.
Bogor, November 2015
Layung Paramesti Martha
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Sumber-Sumber Informasi Karakteristik Demografi Responden Media Televisi dan Komunikasi Massa Komunikasi Politik dan Strategi Komunikasi Pembangunan Media Sosial sebagai Media Baru (New Media) Komunikasi Massa dan Komunikasi Antarpribadi Keterdedahan Informasi Kampanye dan Strategi Pemasaran Politik Teori Dampak dan Kegunaan (Uses and Effect) Partisipasi Politik Penelitian Terdahulu 3 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Hipotesis Penelitian 4 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Data dan Instrumentasi Penelitian Definisi Operasional Validitas dan Relialibilitas Instrumentasi Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian Partisipasi Politik Keterlibatan dalam Kampanye Keterlibatan Memberikan Suara Keterlibatan Mengawasi Pemilu Penggunaan Sumber Informasi Kampanye
1 1 5 7 7 9 9 11 14 16 18 20 23 25 27 30 34 40 40 43 43 44 44 45 46 46 51 54 54 55 55 57 58 60 62 64
Jumlah Sumber Informasi Kampanye Frekuensi Mengakses Sumber Informasi Kampanye Durasi Mengakses Sumber Informasi Kampanye Hubungan Karakteristik Demografis Pemilih dengan Penggunaan dengan Sumber Informasi Kampanye Hubungan Karakteristik Demografis Pemilih dengan Partisipasi Politik Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dengan Partisipasi Politik
65 66 68 69 71 74
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
76 76 77
DAFTAR PUSTAKA
78
RIWAYAT HIDUP
94
DAFTAR TABEL 1 Jumlah sumber informasi kampanye, 2014 2 Frekuensi sumber informasi kampanye, 2014 3 Durasi mengakses sumber informasi kampanye, 2014 4 Partisipasi politik, 2014 5 Luas tanah dan penggunaan tanah Kecamatan Cibinong, 2014 6 Sebaran rataan skor dari peubah partisipasi politik, 2014 7 Sebaran rataan skor dari indikator keterlibatan dalam kampanye, 2014 8 Sebaran rataan skor dari indikator keterlibatan memberikan suara, 2014 9 Sebaran rataan skor dari indikator keterlibatan mengawasi pemilu, 2014 10 Sebaran rataan skor dari indikator jumlah sumber informasi kampanye, 2014 11 Sebaran rataan skor dari indikator frekuensi mengakses sumber informasi kampanye, 2014 12 Sebaran rataan skor dari indikator durasi mengakses sumber informasi Kampanye, 2014 13 Hubungan karakteristik demografis dengan penggunaan sumber informasi kampanye, 2014 14 Hubungan karakteristik demografis dengan partisipasi politik, 2014 15 Hubungan penggunaan sumber informasi kampanye dengan partisipasi politik, 2014
48 49 50 51 56 58 58 61 63 65 67 68 70 72 74
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran 2 Peta Administrasi Kecamatan Cibinong
42 89
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Kuesioner Penelitian Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Gambar 2 Peta Administrasi Kecamatan Cibinong Karakteristik Demografis Pemilih Penggunaan Sumber Informasi Kampanye Tingkat Partisipasi Politik
84 85 89 90 91 93
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemilihan umum pesiden dan wakil presiden (pilpres) tahun 2014 adalah wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis sesuai Pancasila dan Undang Undang Dasar Tahun 1945. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2014 Pasal 1, pemilihan umum, selanjutnya disingkat pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres), adalah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pilpres 2014 adalah momentum yang tepat untuk memperbaiki nasib bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik dengan cara memilih kepemimpinan baru. Pada tanggal 9 Juli 2014, masyarakat Indonesia telah melaksanakan pemungutan suara dengan memilih presiden dan wakil presiden periode 2014-2019 yang akan menggantikan Presiden dan Wakil Presiden RI ke VI yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Kedua pasang peserta pilpres 2014 adalah pasangan calon nomor urut 1 yaitu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, sedangkan pasangan calon nomor urut 2 (dua) yaitu Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla. Menurut hasil rekapitulasi perhitungan suara, pasangan calon dan tingkat partisipasi politik masyarakat Cibinong memperoleh peringkat tertinggi se Kabupaten Bogor yaitu 82,22% di mana jumlah perolehan suara pasangan calon nomor urut 1 mengungguli pasangan calon nomor urut 2 yaitu 107.445: 58.743 suara. Proses demokrasi pilpres 2014 dilakukan melalui sosialisasi, publikasi, dan pendidikan pemilih yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan instansi terkait. Kotler dan Roberto mengartikan kampanye ialah sebuah upaya yang dikelola oleh satu kelompok (agen perubahan) yang ditujukan untuk memersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau membuang ide, sikap dan perilaku tertentu (Cangara 2009:284). Kampanye politik akan menjadi salah satu kegiatan yang penting dilakukan oleh masing-masing kandidat sebagai sarana untuk membangun citra (image) dan meyakinkan (beliefs) pemilih atas visi, misi, program kandidat dan kompetensi serta legitimasinya (Suryatna 2007:19). Relevan dengan hal tersebut, sumber informasi dalam mensosialisasikan pilpres 2014 pada kelompok sasaran berasal dari media komunikasi baik media massa maupun media sosial. Kampanye politik pilpres 2014 telah berlangsung dari tanggal 4 Juni s/d 5 Juli 2014 yang dilaksanakan oleh pasangan calon dan tim kampanye masing-masing. Menurut Mulyana (2014:243), salah satu pemanfaatan teknologi komunikasi yang potensial adalah untuk memperlancar dan mempercepat pemilihan umum (kampanye, perhitungan suara dan penyampaian hasilnya). Sejalan dengan pernyataan Abugaza (2013:117) bahwa perubahan
1
2
teknologi dalam dunia internet telah membuka ruang komunikasi yang lebih interaktif, yang semula hanya komunikasi satu arah menjadi komunikasi berbagai arah. Fenomena maraknya penggunaan media sosial sebagai medium kampanye lebih disukai karena murah, bersifat transparan dan mudah diakses sehingga mendorong tingkat partisipasi politik masyarakat. Zachry (2009:3) mengatakan bahwa model kampanye politik telah digantikan oleh kehadiran media baru (new media). Pada pilpres 2014 ini, pengumpulan media massa, parade, orasi politik, pemasangan atribut seperti umbul-umbul, poster, spanduk, dan pengiklanan melalui media massa lainnya terlihat lebih sepi karena masyarakat telah beralih pada kampanye dengan menggunakan berbagai aplikasi media sosial seperti facebook, twitter, myspace, whatsapp, blackberry message (BBM), path, instagram, line, blog (situs blogspot.com), situs berita online (detik.com, okezone.com, kompas.com, dan sejenisnya), forum online (kaskus.com, kompasiana.com, dan sejenisnya), youtube, website dan lain-lain. Popularitas media sosial telah mengubah perspektif bahwa media massa mempunyai kekuatan paling ampuh untuk menggerakkan massa. Media sosial kini telah menjadi tren dalam komunikasi pemasaran. Kampanye politik dewasa ini telah menunjukkan adanya kesadaran baru bagi para kandidat yang bersaing dalam pemilu tentang pentingnya pemasaran dalam bidang perpolitikan. Keefektivan arus informasi politik melalui saluran-saluran komunikasi yang melekat pada kehidupan masyarakat merupakan kerangka kajian komunikasi pemasaran politik. Sayuti (2014:52) mengatakan bahwa keunikan dan pentingnya sumbangan komunikasi pemasaran politik ini terletak pada kedudukan strategi di dalam kampanye pemilihan umum memengaruhi tujuan, prioritasprioritas, kebijakan-kebijakan dan perilaku partai politik. Menurut Dilla, sebagai sebuah pendekatan dan strategi, komunikasi pembangunan senantiasa memerlukan perencanaan komunikasi yang baik. Para ahli umumnya melihat, kajian komunikasi pembangunan menitikberatkan pada studi tentang efek komunikasi sehingga memerlukan persiapan dan perencanaan yang matang dalam menganalisisnya (Dilla 2012:179). Cibinong adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang melakukan proses demokratisasi politik masyarakatnya melalui pilpres 2014. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1982, ibu kota Kabupaten Bogor dipindahkan dan ditetapkan di salah satu kecamatan yaitu Cibinong. Sejak tahun 1990 pusat kegiatan pemerintahan menempati Kantor Pemerintahan di Cibinong. Sementara pusat pemerintahan Kecamatan Cibinong berada di Kelurahan Cirimekar. Dari sisi demografi, total jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2010, Kabupaten Bogor adalah daerah yang memiliki populasi tertinggi yaitu sebanyak 43.053.735 jiwa atau 11,08% dari total populasi penduduk Jawa Barat. Kabupaten Bogor secara garis besar terdiri atas tiga wilayah yaitu wilayah timur, barat, dan tengah meliputi 40 kecamatan, 410 desa dan 16 kelurahan. Kabupaten Bogor mempunyai luas wilayah 2.071.21 km² dan jumlah penduduk yang mencapai 4.771.932 jiwa (Kemenkeu 2012:7). Wilayah Kecamatan Cibinong dibagi ke dalam empat batas administratif yaitu wilayah utara, barat, selatan dan timur. Luas wilayah Kecamatan Cibinong adalah 43,36 km, sedangkan Kecamatan Cibinong sendiri terbagi menjadi 12 kelurahan yaitu Pondok Rajeg, Karadenan, Harapan Jaya, Nanggewer, Nanggewer
3
Mekar, Cibinong, Pakansari, Tengah, Sukahati, Ciriung, Cirimekar dan Pabuaran. Menurut Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dilansir oleh KPUD Kabupaten Bogor, jumlah penduduk Kecamatan Cibinong yang dapat menggunakan hak pilihnya mencapai 204.392 orang yang terdiri dari jumlah pemilih laki-laki 102.573 orang dan pemilih perempuan 101.819 orang, yang disebar di 411 buah Tempat Pemungutan Suara (TPS) (Pemkab Bogor 2014:40). Pemilihan Kecamatan Cibinong sebagai lokasi penelitian dikarenakan kondisi daerahnya yang mampu mengembangkan potensi yang dimiliki dengan memanfaatkan kultur campuran masyarakat Cibinong yang mempunyai karakteristik rural-urban. Sebagai ibukota Kabupaten Bogor, Cibinong menjadi pusat kegiatan perdagangan, pemerintahan dan pembangunan yang paling maju di Kabupaten Bogor. Begitu pesatnya pemukiman dan perumahan penduduk yang terus bertambah, laju pertumbuhan ekonomi dan usaha juga meningkat, berimbas pada akses informasi yang dicapai dengan mudah di wilayah ini. Permasalahannya, karakteristik masyarakat Cibinong tersebut mewakili masyarakat Indonesia secara umum yang masih menganut budaya kolektif dan paternalistik yang berarti bahwa nilai, harapan, cita-cita, pilihan, atau keputusan individu masih sangat dipengaruhi oleh pemimpin kelompoknya. Menurut Mulyana (2014:66), dalam masyarakat Amerika (yang menganut budaya individualis) saja pilihan politiknya masih kuat dipengaruhi pilihan politik keluarga, apalagi dalam masyarakat Indonesia yang menganut budaya kolektivis, keseragaman mencoblos partai tertentu di kalangan keluarga, kerabat, komunitas etnik atau agama tertentu, tidaklah mengherankan, khususnya di kalangan masyarakat yang masih tradisional. Selanjutnya, Mulyana mengatakan, sebagian rakyat Indonesia tampaknya tidak mudah dibujuk secara politik lewat media massa. Kesetiaan mereka kepada partai politik lebih bersifat primordial alih-alih merupakan pilihan rasional. Para calon presiden pun belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh perangkat teknologi komunikasi yang ada (termasuk media sosial), untuk meningkatkan kredibilitas dan elektabilitas mereka (Mulyana 2014:110). Terpaan media dan pergaulan sehari-hari jelas akan memengaruhi sikap dan perilaku. Terpaan media akan lebih mudah diterima oleh orang yang biasa menyesuaikan diri dengan hal-hal yang baru. Proses penerimaan pesan media tergantung dari tingkat terpaan seseorang terhadap jenis media tertentu. Begitu pun menurut Nurudin, pembujukan yang dilakukan orang lain berpengaruh terhadap proses penerimaan pesan-pesan media massa (Nurudin 2007:233). Sejalan dengan yang dikatakan Suryatna (2007:89), bahwa media massa berfungsi sebagai perangkat politik yang mampu membentuk sikap, keyakinan politik dan membentuk opini masyarakat. Media massa yang biasa digunakan dalam kampanye politik adalah media cetak, media elektronik, media luar ruang (outdoor) dan media format kecil. Sementara, terpaan media massa (media exposure) adalah penggunaan media, baik jenis media cetak, audio maupun audio visual, maupun kombinasi antar media dalam suatu kegiatan kampanye politik, penyebaran informasi kampanye tidak hanya dilakukan melalui media massa, tetapi juga komunikasi tatap muka seperti kampanye terbuka (rapat umum) dan komunikasi antarpribadi. Sanur (2014:18) meyakinkan bahwa tidak semua masyarakat bisa dijangkau dengan media sosial. Televisi masih menjadi media yang paling banyak
4
dikonsumsi masyarakat. Bahkan dari hasil monitoring Yose Rizal, pendiri situs politicalwave.com, diketahui bahwa calon presiden (capres) dan partai yang paling banyak menghiasi layar televisi bukanlah capres yang paling populer di media sosial. Oleh sebab itu, selain media sosial dan televisi, model kampanye dengan cara tatap muka, dialog yang intens, silaturahmi yang terus-menerus tetap disuka masyarakat, dan nampaknya akan terus menjadi model kampanye di masa depan. Penggunaan media sosial dan televisi sebagai media kampanye yang paling sering dikonsumsi adalah kegiatan seseorang dalam mencari informasi mengenai calon selama kampanye pilpres 2014. Sebagaimana hasil penelitian Mcleod dan Chafee (dalam Wan Abas 2013:9) yang menunjukkan bahwa komunikasi keluarga memengaruhi penggunaan media, termasuk televisi dengan menekankan nilai keluarga dalam hal kepatuhan kepada kekuasaan. Sementara Klapper (Johnson-Cartee & Copeland 2004:113-114) berargumen bahwa media bekerja dalam suatu jaringan pengaruh dan kebanyakan pengaruh ini misalnya keluarga, agama, teman-teman, pendidikan, jauh lebih penting dalam menciptakan sikap, kepercayaan dan perilaku daripada media. Saluran komunikasi antarpribadi (interpersonal) dianggap lebih memengaruhi khalayak pemilih karena komunikasi antarpribadi terjadi dalam pergaulan sehari-hari melalui kontak langsung atau tatap muka dengan keluarga, tetangga dan pemuka pendapat (opinion leader), baik secara sengaja maupun tidak sengaja masih sering dilakukan pada masa kampanye pilpres 2014 sehingga memungkinkan seseorang terkena pengaruh dari komunikasi tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana saluran komunikasi baik media massa maupun media sosial (new media) menjadi sumber informasi pilpres 2014 dibandingkan dengan saluran komunikasi antarpribadi, dan bagaimana tingkat penggunaan pemilih terhadap sumber informasi selama kampanye dapat memengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat Cibinong. Penggunaan terhadap media sosial dan saluran televisi (media massa) yang selama ini gencar menayangkan informasi politik selama kampanye pilpres 2014, serta intensitas komunikasi tradisional atau tatap muka, yaitu dengan keluarga, teman, tetangga dan pemuka pendapat (opinion leader) dapat memengaruhi tingkat partisipasi politik di Kecamatan Cibinong. Apabila komunikasi berjalan lancar, wajar dan sehat, sistem politik akan mencapai tingkat kualitas responsif yang tinggi terhadap perkembangan aspirasi dan masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman (Cangara 2009:17). Pengetahuan dan pemahaman tentang informasi mengenai calon selama kampanye akan dapat menunjukkan sejauh mana tingkat efektivitas penyelenggaraan kampanye pilpres 2014 secara langsung dalam membangun kesadaran politik dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan tata kehidupan politik yang lebih demokratis dalam menuju terwujudnya suatu pemerintahan yang baik (good governance) yang didukung dan dipercaya masyarakat (Suryatna 2007:4). Dari latar belakang di atas, penelitian difokuskan untuk mengetahui bagaimana tingkat penggunaan sumber informasi meliputi saluran media massa (televisi); media sosial meliputi facebook, twitter, blackberry message (BBM), whatsApp, path, instagram, line, blog (situs blogspot.com), situs berita online (detik.com, okezone.com, kompas.com dan sejenisnya), youtube, website; dan penggunaan sumber informasi yang mengandalkan saluran komunikasi
5
antarpribadi di antaranya tatap muka dengan keluarga, teman, tetangga dan pemuka pendapat (opinion leader) pada kampanye pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong? lalu sejauh mana penggunaan sumber informasi tersebut memengaruhi partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong? Perumusan Masalah Dalam Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2014 tentang rekapitulasi hasil pemilu presiden dan wakil presiden terpilih Tahun 2014, Pasal 42 menyebutkan bahwa KPU/KIP kabupaten/kota mengumumkan rekapitulasi penghitungan suara di tingkat website kabupaten/kota di tempat yang mudah diakses oleh masyarakat dan/atau, sedangkan Pasal 28 menyebutkan bahwa PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) mengumumkan rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kecamatan di tempat yang mudah diakses oleh masyarakat. Sejauh ini, Pasal 5 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2014 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pilpres Tahun 2014 sudah dilaksanakan. Proses rekapitulasi hasil perhitungan suara di Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan telah dilaksanakan tanggal 10-12 Juli 2014, penyampaian berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat kecamatan kepada KPU kabupaten/kota sudah dilaksanakan tanggal 13-15 Juli 2014. Sementara KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil perhitungan suara dan penyusunan berita acara dan pengumuman salinan sertifikat tanggal 1617 Juli 2014, hingga penetapan hasil pemilu secara nasional sudah digelar tanggal 21-22 Juli 2014. Materi kampanye yang meliputi visi, misi dan program pasangan calon kemudian disebarluaskan dalam metode kampanye yang tercantum dalam Pasal 15 Peraturan KPU Nomor 16 Tahun 2014 di antaranya; (a) pertemuan terbatas; (b) tatap muka dan dialog; (c) penyebaran melalui media massa cetak dan media elektronik; (d) penyiaran melalui radio dan/atau televisi; (e) penyebaran bahan kampanye kepada umum; (f) pemasangan alat peraga di tempat kampanye dan di tempat lain yang ditentukan oleh KPU; (g) debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Berdasarkan metode kampanye yang diatur oleh undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa media komunikasi baik cetak maupun elektronik serta media antarpribadi seperti pertemuan tatap muka, rapat umum dan kegiatan lainnya berkontribusi secara aktif dalam pembangunan nasional, khususnya pada pilpres 2014. Pemerintah menyadari berbagai bentuk media komunikasi dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan akan informasi kampanye sehingga diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang dalam pemilu. Seperti yang dikatakan Cangara (2009:380) dalam teori komunikasi, media massa seperti televisi, radio dan surat kabar memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mengubah image, wawasan dan persesi penerima, sementara komunikasi antarpribadi dan kelompok memiliki kekuatan untuk mengubah perilaku khalayak sasaran. Namun, penelitian terbaru mengatakan, model kampanye Obama melalui media sosial, telah membangunkan wilayah bawah sadar kita untuk mampu memaksimalkan media sosial ini. Tidak ketinggalan pilkada DKI Jakarta yang
6
dimenangi Jokowi telah dibantu oleh pemaksimalan media sosial sebagai salah satu metode kampanye (Abugaza 2013:117). Di Indonesia, belum banyak penelitian serius mengenai peran media kontemporer seperti media baru (new media) dalam komunikasi pembangunan. Oleh karena itu, penelitian yang mengangkat kasus pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong ini penting, mengingat Cibinong adalah ibu kota Kabupaten Bogor yang mengalami pertumbuhan pembangunan yang cukup pesat dan paling maju dibandingkan kecamatan lainnya. Pendekatan komunikasi pembangunan dinilai memiliki peran strategis dalam proses penyebaran informasi secara merata dan usaha perubahan perilaku dengan memanfaatkan media komunikasi seperti media massa dan media sosial serta peran komunikasi antarpribadi di Kecamatan Cibinong. Namun, karakteristik masyarakat Cibinong masih menganut paham paternalistik di mana pendapat tokoh masyarakat dan pemuka pendapat (opinion leader) dapat memengaruhi pilihan politik seseorang. Budaya kolektivis juga masih melekat pada masyarakat Cibinong yang masih tergolong primordial, di mana pilihan politik sering kali memiliki keseragaman dengan pilihan politik keluarga, teman atau tetangga. Menurut Mulyana (2014:134), tidak mungkin menerapkan suatu strategi diseminasi informasi bersifat seragam (nasional) di semua daerah di Indonesia. Diperlukan modifikasi dan cara penyebaran informasi yang sesuai dengan karakteristik budaya masyarakat yang bersangkutan, termasuk kepemilikan media dan tingkat ekonominya. Sumber informasi kampanye utama yang masih banyak diminati adalah media massa yaitu televisi karena sifatnya yang serempak dan massif. Kehadiran media baru (new media) semakin melengkapi kebutuhan informasi kampanye melalui berbagai aplikasi media sosial seperti facebook, twitter, blog (situs blogspot.com), situs berita online (detik.com, okezone.com, kompas.com, dan sejenisnya), forum online (kaskus.com, kompasiana.com, dan sejenisnya), youtube, website dan televisi. Sementara sumber informasi lainnya menggunakan saluran komunikasi antarpribadi meliputi tatap muka dengan orang tua, pasangan (suami atau isteri), teman, pemuka pendapat (opinion leader) dan tim sukses calon pada kampanye pilpres 2014. Tujuan penggunaan sumber informasi kampanye yang melibatkan berbagai saluran komunikasi tersebut adalah untuk menyosialisasikan pentingnya keikutsertaan rakyat dalam pilpres 2014 sehingga dapat mendongkrak tingkat partisipasi politik di Kecamatan Cibinong. Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana media komunikasi yaitu media massa dan media sosial menjadi sumber informasi pilpres 2014 dibandingkan dengan komunikasi antarpribadi, dan sejauh mana penggunaan media tersebut memengaruhi tingkat partisipasi politik di Kecamatan Cibinong. Penelitian berjudul Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dan Partisipasi Politik (Kasus Pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong) diharapkan menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk memperbaiki sosialisasi undang undang pilpres pada pemilu selanjutnya. Berdasarkan paparan di atas, beberapa rumusan masalah di antaranya sebagai berikut: 1. Sejauh mana partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014? 2. Sejauh mana pola penggunaan sumber informasi kampanye politik digunakan secara optimal pada pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong?
7
3. 4. 5.
Sejauh mana hubungan karakteristik demografis pemilih dengan penggunaan sumber informasi kampanye pada pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong? Sejauh mana hubungan karakteristik demografis pemilih dengan partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014? Sejauh mana hubungan penggunaan sumber informasi kampanye dengan partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014? Tujuan Penelitian
Penelitian penggunaan sumber informasi kampanye oleh pemilih pada kasus kampanye pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong menggunakan model uses and effects (kegunaan dan dampak) berkaitan dengan media exposure (terpaan media) karena mengacu pada kegiatan menggunakan media. Penelitian uses and effects merupakan sintesis antara pendekatan uses and gratifications dan teori tradisional tentang efek. Model ini banyak ditemukan pada riset mengenai pengaruh atau efek media terhadap khalayak. Pola keterdedahan terhadap sumber informasi bukan hanya kegiatan mengakses sumber informasi tapi apakah seseorang itu benar-benar terbuka terhadap pesan atau isi dari sumber informasi kampanye baik media massa, media sosial maupun komunikasi antarpribadi. Penggunaan sumber informasi kampanye tentunya berkaitan dengan tingkat partisipasi politik. Melimpahnya berbagai sumber informasi kampanye bergantung pada kemampuan media dalam memersuasi dan seberapa besar khalayak yang menjadi pengguna aktif sumber informasi tersebut. Kuatnya pengaruh media dalam menyosialisasikan pilpres 2014 akan menentukan seberapa besar dukungan masyarakat yang diukur dari tingkat partisipasi politik. Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan penelitian adalah: 1. Menganalisis tingkat partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014. 2. Menganalisis pola penggunaan sumber informasi kampanye politik pada pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong. 3. Menganalisis hubungan karakteristik demografis pemilih dengan penggunaan sumber informasi kampanye pada pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong. 4. Menganalisis hubungan karakteristik demografis pemilih dengan partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014. 5. Menganalisis hubungan pola penggunaan sumber informasi kampanye dengan partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014. Manfaat Penelitian Berkaitan dengan judul penelitian di atas, maka kegunaan penelitian terbagi menjadi manfaat praktis dan manfaat teoritis, antara lain: 1. Secara Praktis a. Bagi Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Bogor: Penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi yang dijadikan rekomendasi untuk menetapkan kebijakan pemerintah dan peraturan penyelenggaraan pemilu lima tahun mendatang. b. Bagi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bogor:
8
2.
Penelitian ini diharapkan dapat mengurai permasalahan teknis dan nonteknis dalam penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Bogor. Di samping itu, hasil penelitian dapat menjadi bahan evaluasi dan rekomendasi dalam melakukan kegiatan sosialisasi Undang-Undang Pilpres di Kabupaten Bogor Tahun 2014 dengan tujuan meningkatkan partisipasi politik pemilih. c. Bagi tim sukses partai politik atau calon: Hasil penelitian diharapkan dapat membantu mengumpulkan informasi dan memberi masukan dalam hal stategi dan langkah-langkah yang perlu diambil oleh partai atau calon dalam mencapai tujuan yaitu memenangkan pemilu serta merangkul pihak-pihak yang turut menentukan dalam pemberian suara. d. Bagi kalangan akademisi: Penelitian diharapkan dapat menjadi referensi, masukan dan menambah keilmuan komunikasi politik khususnya berhubungan dengan pentingnya pemanfaatan sumber informasi selama kampanye politik dalam pelaksanaan pemilu. Hasil penelitian ini dapat berguna untuk mempelajari riset kampanye untuk Ilmu Pemasaran Politik. Secara Teoritis a. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan sebagai pengembangan Ilmu Komunikasi yang dapat menambah wawasan keilmuan di bidang Komunikasi Politik maupun Komunikasi Massa serta dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. b. Sebagai bahan bacaan yang memiliki informasi bermanfaat bagi siapapun yang ingin menekuni ilmu komunikasi politik yang berhubungan dengan media massa atau riset teori uses and effect. Selain itu, hasil penelitian dapat digunakan untuk melengkapi bahan pustaka dari disiplin Ilmu Komunikasi Pembangunan.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini dipaparkan beberapa konsep yang menjadi tinjauan pustaka di antaranya, sumber-sumber informasi, karakteristik demografis pemilih, media televisi dan komunikasi massa, komunikasi politik dan strategi komunikasi pembangunan, media sosial sebagai media baru (new media), komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi, keterdedahan informasi, kampanye, dan strategi pemasaran politik, teori dampak dan kegunaan (uses and effect), dan tingkat partisipasi politik. Berikut pemaparan masing-masing sub-bab bagian tinjauan pustaka. Sumber- Sumber Informasi Setiap komunikasi manusia terdiri dari serangkaian sistem yang digabung menjadi rantai. Sistem ini diartikan sebagai segala bagian dari rantai informasi yang bisa terwujud di satu keadaan atau lebih atau di mana satu kejadian atau lebih bisa terjadi. Sistem komunikasi bisa berupa kabel telepon, udara, atau saraf penglihatan manusia. Sistem tidak hanya meliputi saluran informasi tetapi juga sumber, pengirim (transmitter), penerima dan sasaran. Dari sudut pandang teori informasi, komunikasi terjadi ketika dua sistem yang sesuai yang digabungkan melalui satu atau lebih sistem yang tidak berhubungan, mempunyai keadaan yang serupa sebagai akibat dari transfer sinyal melalui sebuah rantai (Schramm 1955:132). Informasi adalah hasil dari proses intelektual seseorang. Proses intelektual adalah mengolah/memroses stimulus, yang masuk ke dalam diri individu melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak/pusat syaraf untuk diolah/diproses dengan pengetahuan, selera dan iman yang dimiliki seseorang. Setelah mengalami pemrosesan, stimulus itu dapat dimengerti sebagai informasi. Informasi ini bisa diingat di otak, bila dikomunikasikan kepada individu/khalayak, maka akan berubah menjadi pesan (Wiryanto 2006:29). Sementara, pesan adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh seseorang dalam bentuk simbol yang dipersepsi dan diterima oleh khalayak dalam serangkaian makna. Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan manusia telah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi, isyarat, dan warna sampai pada simbolsimbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya, seperti radio, televisi, telegram, telex, dan satelit (Cangara 2009:317). Dengan demikian, semua pesan adalah informasi. Namun, tidak semua informasi adalah pesan. Pada dasarnya, setiap manusia memerlukan informasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kualitas dari suatu informasi, menurut Syukri tergantung dari tiga hal, yaitu informasi harus akurat, tepat pada waktunya, dan relevan. akurat berarti suatu informas harus bebas dari kesalahan-kesalahan, dan tidak menyesatkan, yang berarti harus jelas mencerminkan maksudnya. Relevan berarti informasi tersebut mempunyai manfaat untuk pemakainya. Selain informasi dikatakan bernilai, apabila manfaatnya lebih efektif dibanding biaya penggunaannya (Syukri 2011:81).
9
10
Di antara banyak kebutuhan manusia, kebutuhan yang paling mencolok peningkatannya adalah kebutuhan akan informasi. Oleh karena itu, pemilihan sumber informasi menentukan seseorang terhadap pemenuhan kebutuhannya. Di samping itu, pemilihan sumber informasi seseorang juga didasarkan pada pola kebiasaan. Meyers et al. (2006) dalam Novianto (2012:21) menyatakan bahwa pola kebiasaan diartikan bila di masa lalu sebuah sumber informasi dapat memenuhi kebutuhan seseorang, maka ia akan cenderung menggunakan sumber informasi tersebut untuk waktu selanjutnya. Leckie et al. (1996) dan Ishak (2006) dalam Novianto (2012:21) menambahkan bahwa pengetahuan seseorang tentang sumber informasi (awareness of information sources) yang akan digunakan, seperti kecepatan akses (accessibility), kualitas (quality), ketepatan waktu (timeliness), kepercayaan (trustworthiness), kebiasaan (familiarty) dan keberhasilan sebelumnya (previous success) akan berdampak lansung pada pelaksanaan pencarian informasi (information is sought), sehingga hal inilah yang mendorong seseorang untuk memilih media yang tepat sebagai sumber informasi bagi pemenuhan kebutuhannya. Menurut Cangara (2009:327), sifat informasi dapat dibedakan atas dua macam, yakni informasi yang bersifat aktual dan informasi yang bersifat umum. Informasi yang bersifat aktual ditandai dengan kebaruan atas kejadian informasi itu, sementara berita yang bersifat umum digolongkan dalam kategori publikasi, misalnya berita tentang pelaksanaan seminar strategi politik yang dihadiri ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dianggap sebagai berita umum atau berita tentang kunjungan duta besar ke Universitas. Dalam komunikasi politik, informasi sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan, misalnya peta kekuatan lawan, peta wilayah daerah potensi pemilih, dan peta wilayah di mana partai kurang mendapat dukungan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan informasi sebagai keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun non-elektronik. Dengan demikian pemahaman tentang informasi politik mengacu pada definisi tersebut dengan menekankan pada konten politik. Jika kita mengevaluasi teori informasi menurut kriteria yang diberikan, teori informasi akan memungkinkan orang untuk mengatur, menyusun, dan menghubungkan data dan menunjukkan kesamaan dan hubungan yang sebelumnya tidak terlihat. Teori informasi bersifat heuristik, dalam arti ia membimbing kita menuju fakta dan metode baru dan tidak dikenali sebelumnya. Teori informasi cukup umum untuk mengorganisir material jumlah yang besar, yang sebagian besar bersifat strategis atau penting bagi periset komunikasi (Severin & Tankard 2011:75). Menurut Hapsari (2012:11), media komunikasi yang dimaksud dapat dikategorikan dalam dua bagian, yakni media umum dan media massa. Media umum ialah media yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, contoh telepon, handphone, telegram, OHP, LCD proyektor, dan sebagainya. Media massa menurut Nurudin (2007:5) antara lain televisi, radio, internet, majalah, koran, tabloid, buku dan film (film bioskop dan bukan negatif film yang dihasilkan kamera).
11
Pada model aspek kebutuhan media yang coba digambarkan oleh Nurudin (2007:194), dapat dijelaskan bahwa kebutuhan individu menentukan beragam pilihan atas media yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhannya, yang dalam hal ini bisa berupa pemenuhan kebutuhan yang non-media dan pemenuhan kebutuhan dengan media. Sumber pemuas kebutuhan yang berhubungan dengan non-media di antaranya komunikasi interpersonal seperti peneguhan kontak dengan keluarga dan teman-teman, sedangkan penggunaan media massa terbagi menjadi jenis-jenis media seperti televisi, radio, majalah, film; isi media; konteks sosal dan terpaan media. Dari tinjauan di atas, dapat diketahui bahwa informasi merupakan sistem yang terintegrasi dari hasil pengolahan stimulus dengan pengetahuan untuk dapat dimengerti manusia. Meskipun tidak semua informasi dapat dikomunikasikan menjadi pesan, namun transfer informasi memiliki peran penting dalam penelitian komunikasi politik di mana masyarakat memperoleh informasi dari berbagai sumber baik media massa, media sosial (new media) maupun media antarpribadi yang berasal dari komunikasi tatap muka secara langsung (komunikasi antarpribadi). Dalam hubungannya dengan informasi politik yang dapat diterima oleh khalayak tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pemilu, sumber informasi memiliki peran penting. Sumber informasi yang berasal dari media massa dan media sosial menyebarkan informasi secara massif dan cepat. Sementara, sumber informasi interpersonal mengandalkan komunikasi antarpribadi, meskipun kecepatan jangkauannya lebih lambat namun kekuatan informasi yang disampaikan pada komunikasi antarpribadi jauh lebih kuat. Banyak fakta mengungkapkan bahwa informasi interpersonal lebih memiliki pengaruh yang lebih kuat pada masyarakat umum terutama pada isu-isu tertentu yang membuat masyarakat menjadi terancam. Karakteristik Demografi Pemilih Karakteristik adalah ciri khas seseorang dalam meyakini, bertindak ataupun merasakan. Setiap pemilih merupakan individu dalam masyarakat yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Karakterstik demografis pemilih adalah ciri khas yang diyakini di dalam diri pemilih berdasarkan aspek demografi. Venus (2012:126) menjelaskan, dalam bahasa yang sederhana segmentasi dapat diartikan sebagai pengelompokkan khalayak ke dalam kategori-kategori tertentu berdasarkan ciri-ciri umum yang dimiliki baik secara geografi, demografi maupun psikografi. Dari aspek demografi khalayak umumnya dikelompokkan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi seperti usia, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, ukuran keluarga hingga status sosial ekonomi mereka. Sejalan dengan pendapat Rakhmat (2002:66) bahwa anteseden meliputi peubah individual yang terdiri dari data demografi seperti usia, jenis kelamin dan faktor-faktor psikologi komunikan, seperti peubah lingkungan seperti organisasi, sistem sosial, dan struktur sosial. Menurut Putra (2012:14), anteseden merupakan karakteristik dari khalayak pengguna media. Anteseden meliputi peubah individual yang terdiri dari data demografi seperti usia, jenis kelamin dan
12
organisasi, sistem sosial, dan struktur sosial. komponen anteseden terdiri dari komponen individu, termasuk data demografi dan peubah lingkungan. Mengenai sifat, karakteristik dan keinginan masyarakat yang menjadi target sasaran kampanye, Cangara (2009:314) melihat dari tiga aspek, yakni (1) aspek sosiodemografik; (2) aspek profil psikologi; dan (3) aspek karakteristik perilaku masyarakat. Untuk membuat peta tentang target sasaran (khalayak), Kotler dalam Cangara (2009:314) mengajukan enam hal yang perlu dipetakan, yakni (1) demografi; (2) kondisi ekonomi; (3) kondisi fisik misalnya lokasi, perumahan dan jalan raya; (4) teknologi yang tersedia, misalnya jaringan telekomunikasi, mobilitas transportasi; (5) partai politik yang dianut masyarakat; dan (6) kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Dengan riset, dapat diketahui target atau peta wilayah khalayak, keinginan, sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang mereka pegang. Dalam konteks politik, data tentang daerah sasaran sangat penting karena bisa memberi informasi untuk dijadikan acuan dalam menetapkan langkah-langkah kampanye, terutama dalam kaitannya dengan strategi, pendekatan, tema, penyusunan pesan, dan pemilihan media yang tepat. Terkait dengan perilaku politik, perbedaan-perbedaan besar dalam hal keyakinan politik dari orang-orang pada kelompok umur yang berbeda dengan kelas sosial, pendidikan, agama dan kelompok etnis yang berbeda telah menjadi perhatian dari banyak survei pendapat. Usia yang berbeda dan pengalamanpengalaman hidup yang berhubungan dengan umur tersebut memengaruhi perilaku politik seseorang. Lipset (2007:126) menambahkan, aktivitas-aktivitas yang diarahkan oleh pekerjaan ini memengaruhi kemampuan individu untuk terlibat dalam aktivitas politik. Partisipasi rendah di kalangan masyarakat paling miskin sebagian karena perjuangan untuk hidup yang hanya sedikit energi mereka untuk “berinvestasi” dalam aktivitas politik, yang hasilnya tidaklah pasti. Seperti yang dikemukakan oleh seorang sosiolog, ketersediaan waktu yang lebih sedikit dalam politik mencerminkan isolasi yang lebih dalam dari perhatian dan aktivitas di luar keluarga. Hal ini menunjukkan, mobilitas, baik tempat tinggal, sosial, atau pekerjaan, juga memberikan kontribusi menurunkan tingkat keterlibatan dalam politik karena berbagai jenis mobilitas mengurangi sejauh mana individu terlihat di dalam berbagai bentuk aktivitas. Mobilitas juga meningkatkan kemungkinan bahwa mereka yang mengalaminya akan terkena tekanan-tekanan politik yang sangat berarti. Aspek demografis lainnya adalah jenis kelamin yang menentukan tingkat partisipasi politik dalam suatu masyarakat. Perbedaan jenis kelamin dalam pemberian suara mencerminkan keterlibatan laki-laki dan wanita dalam aktivitas politik. Tingkat pemberian suara di kalangan wanita yang universal barangkali sebagian karena gagasan tradisional tentang “tempat wanita” sebagai hanya di rumah. Menurut Lipset (2007:136), asumsi tekanan yang saling bertentangan juga bisa membantu menjelaskan perbedaan tingkat pemberian suara antara pria dan wanita. Terdapat banyak bukti bahwa wanita di sebagian masyarakat lebih konservatif dan lebih religius dibandingkan pria, dengan perbedaan paling kentara di kalangan kelas buruh. Perbedaan nilai menurut jenis kelamin barangkali terjadi karena perbedaan dalam pengalaman hidup. Suami lebih terkena, baik di tempat
13
kerja maupun dalam aktivitas di luar waktu kerja, oleh nilai-nilai berbeda di masyarakat. Wanita, terutama ibu rumah tangga, berhubungan hanya dengan sedikit orang dengan pengetahuan luas secara politik dari latar belakang dan kepentingan yang sama sehingga karenanya wanita lebih berpeluang untuk mempertahankan nilai-nilai konservatif yang telah dimiliki. Sementara, wanita dari kelas buruh, karenanya mendapatkan tekanan dari pandangan-pandangan yang berbeda, yakni dari nilai-nilai lebih liberal dari kelas sosial yang menjadi orientasi mereka, nilai-nilai yang dibawa pulang oleh suami mereka dari tempat kerja, dan tekanan dari elemen-elemen yang lebih konservatif dari pengalaman hidup mereka. Berada di bawah tekanan saling bertentangan yang lebih banyak daripada yang mengenai suami mereka membuat para wanita kelas buruh condong untuk menarik diri sepenuhnya dengan tidak membuat keputusan politik. Surbakti dalam Sastroatmodjo (1995:91-93) menyebutkan dua peubah penting yang memengaruhi tingkat partisipasi politik seseorang, yakni kesadaran politik seseorang dan kepercayaan politik. Aspek kesadaran politik meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara baik hak politik, hak ekonomi maupun jaminan sosial dan hukum. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat ditandai dengan beberapa karakteristik sosial individu; di antaranya pengetahuan, status sosial dan ekonomi; afiliasi politik, sikap, nilai-nilai, kepribadian. Sementara Milbrath menyebut karakteristik sosial individu meliputi status ekonomi, karakter suku usia, jenis kelamin dan keyakinan/ agama. Kelompok sosial dianggap menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu pemahaman terhadap pengelompokan sosial, baik secara formal (seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi keagamaan, organisasi profesi dan sebagainya) maupun secara informal (seperti keluarga, pertemanan ataupun kelompok kecil lainnya) merupakan faktor yang sangat penting dalam memahami perilaku pemilih, karena kelompok-kelompok tersebut mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Gerald Pomper (dalam Sudaryanti 2008:57) memerinci pengaruh pengelompokan social dalam kajian voting behavior kedalam dua peubah, yaitu peubah predisposisi sosial ekonomi pemilih. Menurutnya, predisposisi sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku pemilih. Preferensipreferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak. Predisposisi sosial ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan semacamnya. Selain itu, dengan mengendalikan peubah demografik seperti partai politik, pendidikan, dan gender, berdasarkan survei dan data penelitian dari 1972 hingga 1992, West (1993) dalam (Kaid 1999:429) menyimpulkan bahwa iklan politik seorang kandidat menimbulkan dampak penting atas penilaian mengenai rasa suka terhadap kandidat dan informasi mengenai isu dan sifat kandidat. Milbrath dalam (Sastroatmodjo 1995:92) menyatakan bahwa keterbukaan dan kepekaan seseorang terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi, organisasi, dan melalui media massa akan memberikan pengaruh bagi keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik.
14
Dari penjelasan di atas, karakteristik demografis pemilih menjadi aspek yang berkaitan erat dengan tingkat partisipasi politik karena memiliki ciri demografi atau karakteristik sosial ekonomi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan afiliasi politik. Karakteristik demografis pemilih sendiri mencerminkan faktor-faktor yang menentukan perubahan sistem demokrasi untuk berkembang, sedangkan beragamnya tingkat partisipasi menjelaskan konsensus dalam pola pemberian suara dalam suatu masyarakat. Dengan melakukan identifikasi dan segmentasi sasaran, maka proses perencanaan selanjutnya akan lebih mudah, hingga akhirnya akan melancarkan pelaksanaan kampanye. Salah satu contohnya dengan menetapkan sasaran kampanye adalah orang-orang desa, maka proses perencanaan pesan juga akan menjadi mudah karena secara terfokus kita akan membuat pesan yang sesuai dengan karakteristik orang desa. Memahami masyarakat yang menjadi target sasaran dalam sebuah kampanye merupakan hal yang sangat penting karena semua aktivitas komunikasi diarahkan ke mereka. Media Televisi dan Komunikasi Massa Komunikasi menurut Lasswell dalam Siagian (2000:7) adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Unsur-unsur komunikasi menurut Berlo (1960) dalam Siagian (2000:7) terdiri dari S-M-C-R, di mana S (source) adalah sumber yang memberikan pesan, M (message) adalah pesan yang disampaikan, C (channel) adalah saluran komunikasi yang menyebarkan pesan dan R (receiver) adalah penerima. Rogers and Shoemaker dalam Siagian (2000:7) menyatakan bahwa saluran komunikasi dibagi menjadi saluran interpersonal dan media massa. Saluran interpersonal adalah saluran yang melibatkan pertemuan tatap muka (sumber dan penerima) antara dua orang atau lebih, misalnya rapat atau pertemuan kelompok, percakapan langsung, pembicaraan dari mulut ke mulut, dan sebagainya. Saluran media massa adalah saluran penyampai pesan yang memungkinkan sumber mencapai suatu audiens dalam jumlah besar, yang dapat menembus batasan waktu dan ruang, misalnya radio, televisi, film, surat kabar, dan sebagainya. Elvinaro dalam bukunya Komunikasi Massa Suatu Pengantar, memberikan pengertian bahwa komunikasi massa adalah: Pengertian komunikasi massa, pada satu sisi adalah proses dimana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain diartikan sebagai bentuk komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak maupun elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Ardianto & Erdinaya 2005:31). Dalam pengertian lain, Wright (1959:15) mengatakan bahwa komunikasi massa bisa didefinisikan dalam tiga ciri di antaranya: 1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen, dan anonim. 2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara.
15
3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar (Severin & Tankard 2011:4). Pada masa lalu, media massa elektronik dimiliki dan dikuasai pemerintah sehingga para komunikator pusat leluasa dalam segala permasalahan mulai dari peraturan waktu, pemilihan pesan, penetapan metode penyajian sampai kepada penentuan biaya. Pengaruh televisi itu kuat terhadap kehidupan manusia, sudah diduga dan disadari ketika media massa itu pada tahun 1962 mulai dimunculkan di tengah-tengah masyarakat (Effendy 2002:122). Kelebihan media massa elektronik adalah bisa menembus ruang dan waktu, sehingga informasinya sangat cepat dan serempak meliputi semua wilayah yang berada dalam radius penerimaan. Selain cepat, pesan-pesan juga disertai gambar hidup yang berwarna sehingga menarik untuk ditonton oleh pemirsa. Penyebarluasan media sangat menentukan keberhasilan suatu kampanye, sebab jika tidak, selain akan membuang waktu dan tenaga, juga bisa menjadi pemborosan dari segi uang. Terkait dengan penyebarluasan media televisi, selain waktu, jangkauan, juga perlu diperhatikan televisi itu sendiri. Acara-acara yang disajikan oleh televisi sedapat mungkin bisa diisi, misalnya talkshow, partai-partai, debat kandidat calon, interaktif dan semacamnya (Cangara 2009:409). Televisi merupakan media elektronik yang bersifat audio visual sehingga televisi dianggap sebagai media yang paling mudah mempengaruhi khalayak. Maka dari itu sebagai media komunikasi massa, televisi merupakan media yang sangat efektif dalam hal penyajian berita. Televisi adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision yang mempunyai arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penyiaran televisi dalam Undang-Undang Nomor 32 Bab 1 Pasal 1 Ayat 4 tentang Penyiaran, menyebutkan, bahwa media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan (Effendy 2002:23). Saluran televisi merupakan salah satu jenis sumber informasi media konvensional yang berhubungan dengan tingkat partisipasi karena kekuatannya mampu membentuk sikap, keyakinan politik dan opini masyarakat. Media televisi baik nasional, lokal swasta maupun lokal pemerintah, dinilai menjadi saluran media massa paling efektif dalam melakukan jajak pendapat dalam pilpres 2014. Penggunaan televisi sebagai saluran informasi “Televisi Pemilu” selama kampanye pilpres 2014 menunjukkan dan mempromosikan figur, karakter serta memperkenalkan kandidat pada seluruh masyarakat di Kecamatan Cibinong. Tingkat penggunaan televisi oleh pemilih diukur dari jumlah sumber informasi kampanye, intensitas sumber informasi dan durasi yang digunakan untuk mengakses sumber informasi kampanye tersebut. Penggunaan televisi sebagai sumber informasi kampanye bagi khalayak pemilih memiliki peranan yang besar untuk meningkatkan pengetahuan pemilih mengenai sejumlah kandidat dan berbagai aktivitas politik yang bisa diikuti, seperti pidato, debat kandidat, rapat partai, jadwal dan tahapan pilpres, serta pandangan publik mengenai kandidat.
16
Komunikasi Politik dan Strategi Komunikasi Pembangunan Perkembangan studi komunikasi politik dinilai cukup lambat di Indonesia karena tekanan rezim orde baru. Namun sejak reformasi demokrasi digulirkan, komunikasi politik menjadi kajian menarik dalam disiplin ilmu komunikasi. Berangkat dari konsep ilmu komunikasi dan politik sebagai bidang yang mempelajari perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik juga berkaitan dengan perilaku politik, telaah konsep ini mendekati pada pengertian komunikasi politik. Dengan demikian, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta memengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak menjadi target politik (Cangara 2009:35). Unsur komunikasi politik terdiri dari berbagai unsur yaitu sumber, pesan, media atau saluran, penerima dan efek komunikasi politik (Cangara 2009:37). Dengan kata lain, komunikasi politik merupakan aliran informasi melalui masyarakat dengan berbagai struktur yang terdapat dalam sistem politik. Adapun fungsi komunikasi politik menurut Sastroatmodjo adalah fungsi struktur politik menyerap berbagai aspirasi, pandangan-pandangan, dan gagasan-gagasan yang berkembang dalam masyarakat dan menyalurkan sebagai bahan dalam penentuan kebijaksanaan. Lebih lanjut, fungsi komunikasi politik juga merupakan fungsi penyebarluasan rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kepada rakyat (Sastroatmodjo 1995:123). Fungsi ini yang membawa arus informasi timbal balik dari rakyat kepada pemerintah begitu pula sebaliknya. Penjelasan hubungan komunikasi dengan pembangunaan dalam berbagai hal melibatkan masalah yang luas dan selalu menyentuh bidang-bidang spesialisasi lain seperti komunikasi politik, komunikasi sosial-budaya dan kebijakan komunikasi. sedangkan ulasan yang dikemukakan Pye dalam Dilla (2012:116) mengenai peranan komunikasi dalam pembangunan, merupakan bagian dari tinjauan komunikasi politik dalam masyarakat. Komunikasi memiliki peran yang tidak sederhana bagi pelaksanaan pembangunan. Banyak proses pembangunan yang tidak mencapai sasarannya hanya karena rendahnya frekuensi informasi dan komunikasi kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan tingkat partisipasi yang memadai. Padahal, partisipasi masyarakat sangat diperlukan bagi usaha pencapaian tujuan pembangunan (Dilla 2012:118). Aliran informasi massa ini dijalankan oleh media massa dari media cetak hingga elektronik sebagai alat strategis dalam sistem politik. Lebih dari sekedar tempat mengalirnya informasi, media massa berperan penting dalam membentuk pendapat massa (opini publik). Pendapat massa ini sengaja menggiring pendapat atau pandangan masyarakat terhadap suatu ulasan tajuk rencana yang menjadi isu aktual dalam masyarakat. Penerapan komunikasi politik yang baik akan membawa dampak positif pada kehidupan politik. Perubahan kehidupan politik dapat dimulai dari adanya keterbukaan politik dalam mengembangkan aspirasi masyarakat, hingga pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan berkaitan dengan kepentingan rakyat. Hedebro (1979) dalam (Dilla 2012:119) mengidentifikasi salah satu aspek komunikasi dan pembangunan yang saling berkaitan menggunakan pendekatan
17
yang lebih spesifik dengan memahami peranan media massa dapat dipakai secara efisien untuk mengajarkan pengetahuan tertentu kepada masyarakat suatu bangsa. Selain itu, pandangan yang dikemukakan Schramm (1964) dalam Dilla (2012:123), media massa mempunyai potensi membuka dan meluaskan cakrawala pemikiran masyarakat agar menjadi masyarakat maju. Artinya media massa mempunyai kekuatan pengendali pengetahuan khalayak melalui pesan-pesannya. Dengan mengorganisasi isi pesan, media massa pada dasarnya dapat membantu masyarakat memusatkan perhatian pada masalah-masalah pembangunan. Beberapa prinsip umum mengenai potensi saluran komunikasi dewasa ini yakni media penyiaran media penyiaran (broadcast media), media cetak, media rakyat (folk media) dan komunikasi antar pribadi. Potensi saluran komunikasi yang lebih penting dari ketiga hal di atas adalah mampu menjangkau khalayak dengan cepat, efektif dan efisien. Melalui ketiga media ini, komunikasi yang efektif dapat diwujudkan dalam mempercepat proses sosialisasi ide pembangunan secara menyeluruh (Dilla 2012:187-188). Kajian komunikasi pembangunan, khususnya dalam perencanaan komunikasi, bukan hanya menyangkut bagaimana melakukan transformasi ide dan pesan melalui penyebaran informasi, melainkan juga memerlukan analisis atas sifat sumber, pesan, saluran dan karakteristik lapisan khalayak penerima ide baru (difusi-inovasi), sehingga suatu perencanaan komunikasi selalu dikonsentrasikan pada pendayagunaan unsur-unsur tersebut sebagai pendekatan komunikasi pembangunan partisipatoris antara pemerintah, agen perubahan dan masyarakat. Para ahli umumnya melihat kajian komunikasi pembangunan menitikberatkan perhatiannya pada studi tentang efek komunikasi sehingga memerlukan persiapan dan perencanaan yang matang dalam menganalisisnya (Dilla 2012:179). Senada dengan pentingnya studi komunikasi pembangunan dalam pemilu, Cangara (2009:37-39) mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan elemen yang dinamis dan yang menentukan sosialisasi politik dan partisipasi politik. Dalam hal ini, komunikasi politik menentukan corak perilaku insan politik (Maran 2001:159). Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptanya pemahaman terhadap sistem pemerintahan dan partai-partai politik, di mana nuansanya akan bermuara pada pemberian suara dalam pemilihan umum. Pemberian suara sangat menentukan terpilih tidaknya seorang kandidat untuk posisi mulai tingkat presiden dan wakil presiden, anggota DPR, MPR, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota sampai tingkat DPRD. Dengan mengombinasikan seluruh saluran media komunikasi yang ada sebagai strategi kampanye dalam pelaksanaan pilpres 2014, masyarakat dapat memiliki pendirian, sikap dan pilihan politik setelah menerima beragam informasi kampanye tersebut. Namun, kemampuan khalayak dalam menggunakan media konvensional dan tradisional (tatap muka) secara efektif masih rendah. Demi menunjang kebutuhan informasi kampanye, dibutuhkan teknik kampanye politik baru untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada masyarakat luas. Menurut Sayuti (2014:133), teknologi jaringan komputer (internet) saat ini telah menjadi elemen teknologis utama dari kampanye politik modern. Fungsi komunikasi politik yang terdapat dalam berbagai saluran komunikasi memiliki andil dalam mempercepat laju pembangunan. Pemanfaatan teknologi komunikasi media baru
18
(new media) menjadi strategi baru dalam menerapkan komunikasi pembangunan di seluruh sektor kehidupan. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi politik dan strategi komunikasi pembangunan memiliki hubungan erat dengan pola penggunaan sumber informasi kampanye oleh khalayak pemilih. Keberhasilan dalam penyelenggaraan pilpres 2014 juga ditentukan dari tingkat penggunaan saluran komunikasi sebagai sumber informasi kampanye dalam menyebarluaskan pesan-pesan politiknya. Media Sosial sebagai Media Baru Saluran berita televisi berkembang jumlahnya dan format berita yang berbeda kini muncul dalam dunia penyiaran sampai saluran hiburan (Chadwick 2013:2). Menurut Chadwick (2013:3), monopoli pemberitaan melalui televisi sudah menghilang, tidak hanya karena situs berita online yang lebih siap menghadapi risiko dengan mempublikasikan cerita tanpa standar verifikasi yang dibutuhkan jurnalis profesional, tapi juga karena hubungan secara horizontal dari komunikasi media sosial kini lebih disukai di mana berita akan disebarkan ke seluruh jaringan interpersonal sebelum keterangan resmi didapat. Beberapa pemberitaan politik kini diberitakan pertama kali secara online dan diambil materinya oleh televisi dan wartawan media cetak dengan mengikuti perkembangan email, twitter, facebook dan blog. Bagi Effendi (2010:130-142), komunikasi dengan menggunakan media internet secara teknis dan fisik merupakan fenomena baru dalam proses komunikasi yang dilakukan manusia pada akhir abad 20 dan telah menjadi bagian integral dari masyarakat, pendidikan, industri dan pemerintahan. Secara akademis, komunikasi bermedia internet merupakan konsep dan area studi yang relatif masih baru serta belum banyak tersentuh. Beberapa eksplorasi tentang media internet memberikan kontribusi pada terminologi komunikasi bermedia internet atau computer mediated communication. Pixy Ferris secara general mendefinisikan komunikasi bermedia internet sebagai “interaksi secara interpersonal yang dihubungkan oleh komputer, yang meliputi komunikasi asynchronousdan synchronous melalui fasilitas dalam internet.” John December mendefinisikan sebagai telekomunikasi dengan menggunakan komputer dalam bentuk massa. Sementara itu, terminologis aplikatifnya, komunikasi bermedia internet adalah “penggunaan komputer beserta fasilitas dan kemampuannya untuk didayagunakan sebagai alat penyampai pesan baik bersifat massa ataupun pribadi.” Media sosial sendiri mulai terdengar di Indonesia sejak kemunculan friendster tahun 2002, dan mulai ramai menjadi gerakan sosial dan menyatu keseharian masyarakat sejak kehadiran facebook tahun 2006 kemudian twitter tahun 2006. Facebook dan twitter sangat lekat dengan pengguna di Indonesia. Berdasarkan data socialbakers.com bulan Maret 2013, pengguna facebook di Indonesia mengalami peningkatan cukup besar selama enam bulan terakhir, Indonesia secara peringkat menempati posisi keempat pengguna facebook dengan jumlah 47.165.080. Jumlah pengguna facebook, twitter, youtube, linkedln dan google+ ketika diakumulasikan jumlahnya telah mencapai 19,20 persen dari jumlah penduduk Indonesia, kondisi ini memberikan gambaran betapa besarnya potensi media sosial untuk bisa memengaruhi kehidupan sosial kemasyarakatan, sebut saja contoh kasus Prita Mulyasari yang mendapatkan keadilan dari
19
keberadaan media sosial melalui gerakan koin untuk Prita, gerakan #saveKPK yang telah menjadi semangat dan moral kegerakan KPK untuk melawan diskriminasi (Abugaza 2013:41). Lebih lanjut, perubahan teknologi dalam dunia internet telah membuka ruang komunikasi yang lebih interaktif, yang semula hanya komunikasi satu arah menjadi komunikasi berbagai arah. Media sosial memungkinkan penciptaan dan pertukaran informasi dengan cepat dan masif. Integrasi politik dan media sosial mulai terasa sejak kemenangan Obama pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2008. Model kampanye Obama melalui media sosial telah membangunkan wilayah bawah sadar kita untuk mampu memaksimalkan media sosial ini. Orientasi politik dan media sosial jelas, seperti yang digambarkan Howard Rheingold, politik bisa lebih berkualitas dengan dunia maya, karena setiap orang terdorong untuk bisa berpartisipasi, disebabkan ruang artikulasi mereka tidak memiliki lagi batasan. Penafsiran cara yang baru maksud di sini adalah masyarakat bisa menyalurkan hak politik dengan menggunakan kecanggihan teknologi informasi, seperti tidak lagi harus menghadiri kampanye untuk bisa bertemu kandidat, tidak lagi harus terganggu dengan pemasangan baliho. Cukup berinteraksi dengan media sosial, mereka bisa menentukan pilihannya (Abugaza 2013:117-118). Dalam bidang politik, software sosial dapat digunakan untuk alat demokrasi dan partisipasi. Software sosial membantu menciptakan, menukar dan menghubungkan konten tanpa pengetahuan dalam memprogram teknologi informasi. Dari sudut pandang politisi, mereka membutuhkan banyak sumber daya (waktu dan uang) untuk memastikan perkembangan diskusi terkini dan memantau reputasinya dalam komunitas virtual. Topik lebih lanjut muncul untuk mengakhiri skandal atau krisis politik tertentu. Melalui monitoring media sosial dari jaringan sosial, politisi dapat menerima instrumen untuk mengidentifikasi perkembangan multi informasi sejak dini. Informasi yang hilang dapat dikumpulkan dan disarikan dalam bentuk laporan, yang digeneralisasi untuk orang, topik dan partai tertentu (Stieglitz & Kaufhold 2011:779). Semakin meningkatnya peranan penting kampanye politik dengan menggunakan internet terjadi dalam kampanye politik pemilihan presiden yang dilakukan tim kampanye Barrack Obama. Tim kampanye Obama memberikan penekanan yang sangat besar pada penggunaan saluran komunikasi berupa media sosial (social media) dan media baru (new media) untuk menarik perhatian, melibatkan sekaligus untuk mengikat para audiensnya untuk memilihnya. Media sosial dan media baru yang digunakan tim Barrack Obama meliputi facebook, youtube, dan blogging. Berbagai situs-situs sosial yang ada di internet lainnya juga tidak terlewatkan dari penggunaannya untuk kampanye Obama. Media baru tersebut secara sangat mengejutkan dan hampir sulit dipercaya berhasil meraih warga negara berusia muda dan membantu publik di dalam berkomunikasi satu sama lain sehingga mampu mempromosikan berbagai langkah dukungan yang berakhir dengan pemilihan Obama untuk menjadi pemenang pemilihan umum kepresidenan (Sayuti 2014:134) Sebagaimana kehadiran media baru (new media) sebagai instrumen yang digunakan untuk membangun dialog antara masyarakat dan pemerintah, Obama dan McCain mempertahankan akun twitter, youtube, myspace, facebook dan website interaktif masing-masing. Obama juga memantau akun dalam eons,
20
blackplanet, faithabse, glee, migente, mybatanga dan asian ave, serta semua situs jaringan sosial yang ditujukan untuk masyarakat berdasarkan aspek demografis tertentu (Zachry 2009:7). Karakter media sosial atau media baru (new media) adalah (a) partisipasi; media sosial mendorong kontribusi dan umpan balik (feedback) dari setiap orang yang tertarik. Setiap orang dapat melakukannnya secara bersama-sama berdasarkan kesadaran sendiri; (b) keterbukaan; setiap kata telah dipublikasikan dimedia sosial berpeluang untuk ditanggapi oleh orang lain karena pada dasarnya media sosial bersifat terbuka untuk siapa saja; (c) saling terhubung; sifat media sosial adalah berjejaring, media sosial dapat melakukan percakapan dua arah atau lebih, beda halnya dengan media konvensional hanya memiliki satu arah. Antara satu dengan yang lainnya akan saling terhubung, dan keberhasilan media sosial terletak pada link-link yang menghubungkan media sosial dengan situs-situs, antara media sosial, juga perorangan; (d) advokasi; media sosial memungkinkan siapa saja mampu menjangkau orang banyak serta mendapat dukungan terhadap satu isu yang sedang mereka perjuangkan. Media ini juga memudahkan satu komunitas atau lembaga nirlaba untuk menyebarkan pesan sosial kejaringan mereka masing-masing. Perkembangan media hibrid saat ini telah menjadi tren baru dalam kampanye politik modern. Teknologi komunikasi yang menggunakan jaringan komputer (internet) berupa email, website dan podcast telah memungkinkan komunikasi dalam berbagai bentuknya menjadi jauh lebih cepat dan efisien, dapat dengan mudah menghubungkan dan melibatkan warga negara dalam jumlah yang sangat massal dan mencapai audiens sasarannya masing-masing dalam bilangan yang ekstra besar. Perangkat teknologi internet tersebut bahkan digunakan untuk penggalangan dana biaya kampanye, untuk melobi, untuk merekrut dan mengorganisasikan para relawan dan untuk mengumpulkan, membentuk, dan mengaktivasi komunitas yang menjadi pendukung partai politik dan para kandidat (Sayuti 2014:133). Maraknya penggunaan saluran media sosial sebagai sumber informasi kampanye pilpres 2014 terlihat ramainya pemberitaan politik seputar kandidat. Pengukuran tingkat penggunaan saluran media sosial diamati dari jumlah sumber informasi, frekuensi dan durasi selama mengakses teknologi hibrid tersebut. Kecanggihan teknologi internet dalam berbagai fitur yang ditawarkan semakin menegaskan kehandalan media baru (new media) dalam menciptakan ruang bagi kandidat dan masyarakat untuk saling mengisi dengan menampilkan strategi kandidat berupa profil, citra, prestasi, sekaligus memersuasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Komunikasi Massa dan Komunikasi Antarpribadi Pada dasarnya, komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Untuk mengetahui komunikasi sebagai proses yang berbeda dengan komunikasi interpersonal dan komunikasi intrapersonal, John R Bittner (1996) dalam Nurudin (2007:6) memberikan penjelasan. Dalam komunikasi massa kita membutuhkan gatekeeper (penapis informasi atau palang pintu) yakni beberapa individu atau kelompok dari individu ke individu yang lain melalui media massa (surat kabar, majalah, televisi, radio, video tape, compact disk, buku). Selanjutnya, Nurudin berpendapat bahwa media massa adalah alat-
21
alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas (Nurudin 2007: 9). Komunikasi dalam komunikasi massa (mass mediated) tidak terlepas dari jenis komunikasi antarpribadi (non-mediated) yang berlangsung dalam konteks tatap muka. Perbedaan komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi terletak pada jenis saluran yang digunakan dalam penerusan pesan-pesannya dan dengan segala konsekuensinya (Wiryanto2006:13). Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang. Barnlund mendefinisikan komunikasi antarpribadi sebagai pertemuan antara dua, tiga orang, atau mungkin empat orang, yang terjadi sangat spontan dan tidak berstruktur. Saluran komunikasi antarpribadi dapat digunakan untuk melihat struktur keluarga karena saluran komunikasi ini paling tinggi frekuensinya digunakan untuk berkomunikasi. Komunitas yang ada di sekeliling tempat tinggal berperan di dalam mendukung lancarnya komunikasi antarpribadi di antara keluarga dan masyarakat (Wiryanto 2006:32-34). Saluran komunikasi antarpribadi adalah suatu bentuk komunikasi yang berlangsung secara tatap muka, tetapi karena pesan-pesannya yang sangat pribadi (privacy) dan tidak boleh didengar orang lain, kecuali mereka yang terlibat langsung dalam komunikasi disebut komunikasi antarpribadi (Cangara 2009:380). Pada hakikatnya, komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi ini paling efektif mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang. Komunikasi antarpribadi bersifat dialogis. Artinya, arus balik terjadi secara langsung. Taylor dan Altman, sebagaimana dikutip oleh DeVito (1997:237-238) menekankan, bahwa dengan berkembangnya hubungan sosial, maka keluasan dan kedalaman komunikasi antarpribadi akan meningkat. Sumber-sumber informasi di pedesaan dari negara-negara berkembang, seperti di Indonesia, cenderung melalui jalur komunikasi antarpribadi. Caranya menggunakan jasa juru penyuluh, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Peranan keempat sumber informasi tersebut cukup penting sebagai agen perubahan dalam menyebarkan ide-ide baru. Kredibilitas keempat sumber sangat terpercaya untuk mengajak orang lain dalam menerima ide-ide baru (Wiryanto 2006:36-37). Menurut Bungin (2008:278), Lazarsfeld mengajukan gagasan mengenai “komunikasi dua tahap” (two step flow) dan konsep “pemuka pendapat”. Konsep ini muncul dikarenakan informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada para pemuka pendapat, dan dari pemuka pendapat kemudian kepada orang lain yang kurang aktif dalam masyarakat. Mengutip Sendjaja (2002:5.16), teori komunikasi dua tahap dan konsep pemuka pendapat memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut: (a) individu tidak terisolasi dari kehidupan sosial, tetapi merupakan anggota dari kelompokkelompok sosial dalam berinteraksi dengan orang lain; (b) respons dan reaksi terhadap pesan dari media tidak terjadi secara langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial tersebut; (c) ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai penerimaan dan perhatian, dan
22
yang kedua berkaitan dengan repson dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya mempengaruhi atau penyampaian informasi; (d) individu tidak bersikap sama terhadap pesan media, melainkan memiliki berbagai pesan yang berbeda dalam proses komunikasi, dan khususnya dapat dibagi di antara mereka yang secara aktif menerima dan menyebarkan gagasan dari media, dan mereka yang semata-mata hanya mengandalkan hubungan personal dengan orang lain sebagai panutannya; (e) individu-individu yang berperan aktif (pemuka pendapat) ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap masing-masing lain, dan memiliki pesan sebagai sumber informasi dan panutan. Secara garis besar, menurut teori ini media massa tidak bekerja dalam situasi sosial yang pasif, tetapi memiliki akses ke dalam jaringan hubungan sosial yang sangat kompleks, dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan, dan kekuasaan yang lainnya (Bungin 2008: 278-279). Selama tahun 1980-an, studi komunikasi antarpribadi dicirikan sejumlah perspektif teoritis yang baru dan segar. Pemeo pada tahun 1980-an ialah hubungan dan pesan-pesan atau relationship and messages. Bagi pihak tertentu, istilah hubungan merupakan sinonim bagi proses yang dirancang oleh ungkapan komunikasi antarpribadi; bagi yang lainnya, hubungan merupakan sebuah konteks biasanya hubungan pribadi untuk mempelajari komunikasi antarpribadi. Fokus pada pesan-pesan yang termasuk proses-proses kognitif dan produk berupa lisan dan tulisan dianggap merupakan kepentingan khusus bagi mereka yang percaya ini merupakan di mana para ilmuwan komunikasi dapat melakukan sumbangan khusus bagi pemahaman mengenai transaksi antarpribadi. Menurut definisinya, fungsi komunikasi antarpribadi adalah sebagai tujuan di mana komunikasi digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi utama komunikasi ialah mengendalikan lingkungan guna memperoleh imbalan-imbalan tertentu berupa fisik, ekonomi dan sosial (Budyatna & Ganiem 2011: 25-27). Penggabungan saluran media massa dan saluran antarpribadi merupakan alat yang paling efektif untuk mencapai khalayak dengan ide-ide baru dan mempengaruhi mereka memanfaatkan inovasi. Bentuk penggabungan antara kedua saluran itu disebut sebagai forum-forum media (mass media forums, media forum). Selanjutnya, Wiryanto mengatakan bahwa berbagai tipe forum media, semuanya adalah bentuk-bentuk komunikasi massa yang dikombinasikan dengan dampak komunikasi antarpribadi dalam kelompok-kelompok kecil (Wiryanto 2006:86-88). Menurut Hapsari (2012:27) dalam tesisnya mengatakan bahwa pada komunikasi antarpribadi, proses komunikasi berlangsung secara tatap muka; sedangkan pada komunikasi kelompok, selain berlangsung secara tatap muka, proses komunikasi juga mengikat mereka yang terlibat. Pada komunikasi massa, proses komunikasi berlangsung satu arah (linier), selain memiliki kemampuan melipatgandakan penyebaran pesan komunikasi, komunikasi massa juga memiliki daya memengaruhi (persuasi) khalayak dalam jumlah yang tak terbatas. Untuk itu, McQuail (1987) dalam Hapsari (2012:27) membedakan jenis perubahan yang mungkin terjadi dengan menggunakan media massa, yakni: (1) menyebabkan perubahan yang diinginkan; (2) menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan; (3) menyebabkan perubahan kecil (bentuk dan intensitas); (4) memperlancar perubahan (suka atau tidak); (5) memperkuat yang ada; (6) mencegah perubahan.
23
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa menjadi faktor pembentuk hubungan komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi. Penggunaan saluran komunikasi massa dan saluran komunikasi antarpribadi sebagai sumber informasi untuk menggali pesan-pesan politik sesuai karakteristik demografis masyarakat. Para pakar komunikasi pembangunan umumnya memanfaatkan penggabungan saluran media massa dan saluran antarpribadi sebagai instrumen, alat, atau pendekatan untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan. Terkait dengan kombinasi saluran media massa yaitu televisi dan media antarpribadi seperti kontak atau tatap muka dengan keluarga, teman, tetangga dan pemuka pendapat; sebagai sumber informasi kampanye dapat diamati dari sejauh mana pola penggunaan sumber informasi kampanye tersebut dimanfaatkan secara optimal. Pola penggunaan sumber informasi kampanye diukur dari jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi dan durasi menggunakan saluran media massa dan media antarpribadi selama kampanye. Penjelasan pola penggunaan sumber informasi kampanye menjadi rujukan dalam bertindak dan menganalisis fenomena pilpres 2014. Keterdedahan Informasi Menurut Robert Hanick et al. (1986) dalam Sanjaya (2012:57) mendefinisikan media adalah sesuatu yang membawa informasi antara sumber (Source) dan penerima (receiver) informasi. Jadi, Menurut Rossi dan Breidle (1966) dalam Sanjaya (2012:57) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk tujuan pendidikan seperti televisi, radio, internet yang merupakan jaringan di dalam komputer. Internet dapat dikatakan media pembelajaran, dikarenakan di dalam internet terdapat berbagai macam informasi yang berguna yang dapat menambah pengetahuan. Seperti mekanisme pemilihan merupakan informasi di dalam bidang tertentu yang dapat menambah pengetahuan pemilih tentang bagaimana cara pemilih. Keterdedahan media massa adalah perilaku penggunaan media komunikasi melalui media massa. Khairil dalam tesisnya menulis bahwa kebutuhan yang melandasi penggunaan media massa seperti radio dan televisi dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) kebutuhan kognitif, kebutuhan yang bertalian dengan penambahan informasi, pengetahuan dan pemahaman akan lingkungan; (2) kebutuhan afektif, kebutuhan ini bertalian dengan penambahan pengalaman, kesenangan dan emosional; (3) kebutuhan integritas pribadi, meliputi kebutuhankebutuhan untuk menambah kredibilitas, kepercayaan, stabilitas dan status individu; (4) kebutuhan integritas sosial yaitu kebutuhan penambahan kontak sosial dengan lingkungan, dan (5) kebutuhan untuk mengurangi ketegangan dan dorongan untuk mencari hiburan (Khairil 1994:12). Selanjutnya, Khairil (1994:31) mengemukakan bahwa keterdedahan pada media siaran sangat berkaitan dengan perilaku seseorang anggota kelompok dalam mencari informasi dari berbagai sumber dan jenis media komunikasi yang digunakan di lingkungannya. Keterdedahan ialah mendengarkan, melihat, membaca, atau secara lebih umum mengalami, dengan perhatian minimal pada pesan media. Sedangkan Khairil menyatakan bahwa akan lebih mudah menangkap dan menyimpan pesan melalui penglihatan dan pendengaran. Menurut
24
Rakhmat, peubah media boleh berupa media elektronik (radio, televisi, video tape recorder), media cetak (majalah, surat kabar, buletin), atau saluran interpersonal (ceramah, diskusi, kontak dan sebagainya). Pengukuran pendapat menunjukkan segera setelah terpaan komunikasi, respons setuju lebih banyak pada sumber yang berkredibilitas tinggi daripada sumber berkredibilitas rendah (Rakhmat 2002:6263). Pengukuran keterdedahan media massa dilihat dari aspek-aspek yang berkaitan dengan penggunaan media massa. Aspek-aspek keterdedahan media yang diukur dalam penelitian ini antara lain frekuensi, lama dan waktu mencari informasi di media massa. Keempat media massa yaitu televisi, radio, surat kabar, stiker dan internet dipilih dengan pertimbangan bahwa masyarakat banyak memiliki media siaran dan menunjukkan aktivitas yang tinggi dari keempat media komunikasi tersebut. Menurut Rosengren (1974:277) dalam Rakhmat (2002:65), penggunaan media terdiri dari jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media jenis isi media yang dikonsumsi dan berbagai hubungan antara individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan. Efek media dapat dioperasionalisasikan sebagai evaluasi kemampuan media untuk memberikan kepuasan (Rakhmat 2002:65). Terpaan media dipakai sebagai padanan media exposure yaitu perilaku penggunaan media komunikasi. Penelitian terpaan media menunjukkan keragaman baik dari jenis, jumlah media maupun cara pengukurannya. Menurut, Baehaki (2002:22) aspek-aspek terpaan media yang diukur umumnya adalah: (1) waktu yang digunakan dalam rangka mengikuti berbagai media, (2) jenis-jenis isi media yang diikuti, (3) berbagai hubungan antara individu yang mengonsumsi baik dengan isi media maupun dengan media pada umumnya (Rosengren 1974 dalam Baehaki 2002:22). Selanjutnya, McLeod dan Becker (1974) dalam Baehaki (2002:22) mengatakan bahwa salah satu contoh tentang pengukuran atas waktu yang digunakan dalam mengikuti media dilakukan oleh Mc Leod dan Becker (1974) mengajukan pertanyaan "Rata-rata dalam seminggu berapa jam anda biasanya menonton televisi setelah pukul lima petang? sedangkan tentang jenisjenis isi media yang dikuti, "Bagaimanakah kekerapan anda menonton jenis-jenis acara televisi berikut ini? acara-acara dikategorikan atas: siaran berita nasional, lokal, khusus dan dokumenter. Adapun kekerapan dikategorikan atas: sering, kadang-kadang, jarang dan tidak pernah. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa keterdedahan informasi kampanye merupakan aktivitas dalam mencari, mendengar, dan melihat media tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan informasi mengenai calon atau kandidat. Tingkat keterdedahan sumber informasi kampanye diukur dari pola penggunaaan media massa, media sosial dan saluran komunikasi antarpribadi selama kampanye. Dalam konteks pilpres 2014, pengukuran keterdedahan informasi kampanye dilihat dari jumlah sumber informasi kampanye yang diperoleh, frekuensi menggunakan jenis sumber informasi kampanye, dan lamanya waktu (durasi) dalam mengakses sumber informasi kampanye tersebut. Analisis keterdedahan sumber informasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana jumlah informasi yang bertambah dan pengetahuan tentang kandidat yang diperoleh dapat mengubah atau meneguhkan pilihan politik seseorang. Peran keterdedahan informasi melalui pesan-pesan kampanye dengan mekanisme
25
semakin banyak individu yang terekspos pesan kampanye, maka akan mendorong individu tersebut untuk berpartisipasi dalam pilpres 2014. Kampanye dan Strategi Pemasaran Politik Secara umum kampanye bisa diklasifikasikan ke dalam dua bentuk kampanye; (1) kampanye menjelang pemilu (short-term). Kampanye ini digunakan sebagai ajang kompetisi jangka pendek menjelang pemilu untuk mengingatkan, membentuk dan mengarahkan opini publik dalam waktu yang singkat; (2) kampanye yang kampanye yang bersifat permanen dan berlaku untuk jangka panjang (Firmanzah 2006:275). Perencanaan komunikasi politik yang strategis berkaitan dengan dua hal yaitu (1) beriorientasi pada meningkatkan image lembaga sponsor, seperti partai politik, melalui strategi kampanye public relations dan (2) komunikasi informasi politik sebagai produk lembaga sponsor itu melalui advokasi, pendidikan politik, pemasaran politik (Gono 2010:65). Dalam kampanye politik yang bersifat pemanen, titik perhatian tidak hanya terbatas pada periode menjelang pemilu, tetapi sebelum dan sesudah pemilu juga berperan amat penting dalam pembentukan image politik yang nantinya akan mempengaruhi prilaku pemilih dan mengevaluasi kualitas para kandidat. Di antara instumen partai tersebut masing-masing memiliki strategi kampanye tersendiri yaitu: 1. Strategy of Publicy Strategi ini menitik beratkan pada penggunaan media masa sebagai instrumen untuk penyampaian pesan partai atau kontestan individu pada saat melakukan kampanye. 2. Strategy of Persuation Stretegi ini menekankan pada sisi emosional (afektif), di mana kandidat yang bersangkutan dituntut untuk melakukan hubungan emosional dengan masyarakat. Tujuannya agar masyarakat lebih lebih akrab serta mengenal lebih dalam mengenai visi-misi maupun kandidat capres dan cawapres. 3. Strategy of Argumentation Langkah seperti ini umumnya dilakukan sebagai upaya mengantisipasi informasi yang kurang menguntungkan bagi kandidat yang bersangkutan. 4. Strategy of Image Strategi ini bagian dari upaya pembentukan citra positif untuk menjaga citra lembaga atau organisasi serta calon yang diusungnya. Langkah seperti ini, tidak hanya menampilkan segi promosi, tetapi bagaimana membentuk publikasi nonkomersial dengan menampilkan kepedulian terhadap lingkungan sosial (humanity relations and social marketing) yang nantinya akan memberikan keuntungan bagi citra lembaga atau organisasi serta kandidat secara keseluruhan (corporate image) (Ruslan 2007:28). Sebuah kampanye politik merupakan usaha terorganisasi yang berusaha untuk memengaruhi proses-proses pembuatan keputusan di dalam kelompok spesifik. Di dalam alam kehidupan demokratis, kampanye politik juga disebut dengan kampanye pemilihan umum. Kampanye politik juga dilakukan untuk pemilihan wakil rakyat di parlemen dan untuk melakukan referendum. Kampanye politik pada pemilihan wakil rakyat di parlemen ditujukan untuk memengaruhi pilihan rakyat agar tertuju kepada calon tertentu, sedangkan pada pemilu
26
referendum, kampanye ditujukan untuk menggiring pemilih pada salah satu dari dua pilihan yang tersedia, misalnya apakah suatu wilayah akan memisahkan diri dari negara induknya atau tetap menjadi bagian dari negara tersebut (Sayuti 2014:101-102). Penekanan pada strategi menurut Sayuti (2014:53) juga memunculkan sebuah fokus baru yang tersendiri dan terpisah dari penggunaan teknik-teknik promosi dan urusan-urusan pencapaian keseluruhan sasaran strategis dari partai politik dan para kandidat. Fokus baru ini, secara efektif memutar balik perspektif yang ditawarkan oleh kajian mengenai kampanye dan pendekatan-pendekatan dalam komunikasi pemasaran politik. Ediraras et al. (2013:584) mengatakan bahwa rasio yang dapat diterima masyarakat menjadi lebih kritikus, untuk memenangkan peperangan ini dalam pemilihan ditentukan oleh strategi yang diterapkan oleh kandidat dan partai untuk mencapai sasaran pemilih. Strategi ini merupakan syarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menang dalam kompetisi (Porter 1998). Namun demikian, perencanaan pemasaran untuk partai politik, sampai sekarang, telah diabaikan dalam literatur dan tampaknya ada kurangnya pertimbangan komponen strategis yang terkait dengan kampanye pemasaran politik (Butler & Collins 1996; Baines et al. 1999 dalam Ediraras 2013:584). Dalam perkembangannya, pemasaran politik telah mengalami beberapa definisi penekanan. Penekanannya berubah dari waktu ke waktu, seperti O'Leary dan Iredale (1976) menekankan pada penggunaan bauran pemasaran (marketing mix) untuk memasarkan sebuah partai politik. Yorke dan Meehan (1986) mengajukan penggunaan ACORN sebagai dasar untuk menargetkan pemilih. Kunci dan Harris (1996) percaya bahwa pemasaran politik harus memperhatikan posisi. Peras (1997) menyarankan untuk menggunakan riset opini dan analisis lingkungan. Sebab, menurut Wright, kondisi daerah ini sangat berbeda dengan daerah lain. Smith dan Sounders (2002) menekankan pentingnya menggunakan proses untuk segmen pemetaan inginkan dan butuhkan pemilih, sehingga calon dapat memposisikan dirinya secara pribadi. Ediraras et al. (2013:585-587) mengemukakan, studi dasar pemasaran politik, secara konseptual sebagai pemasaran politik, hanya istilah adalah perkawinan antara dua disiplin ilmu sosial yaitu Ilmu Politik dan Pemasaran. Studi ilmiah Pemasaran Politik telah mengembangkan definisi yang beragam dan berubah. Shama (1975) dan Kotler (1982) menekankan pada proses transaksi antara pemilih dan kandidat. O'Leay & Iradela (1976) menekankan penggunaan bauran pemasaran untuk mempromosikan partai politik. Lock dan Harris (1996) mengemukakan bahwa perhatian pada posisi pemasaran politik. Peras (1997) menggunakan riset opini dan analisis lingkungan. Jadi, pemasaran politik bertujuan untuk membangun dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi dan perilaku pemilih. Selanjutnya, Ediraras et al. (2013:586) mengatakan perilaku pemilih umumnya diharapkan untuk mendukung berbagai dimensi, terutama menetap di pihak tertentu atau kandidat. Dalam kampanye pemilihan atau kampanye politik, marketing politik adalah sebuah proses. Proses ini harus dilakukan melalui dua hal utama, yaitu program pemasaran dan segmentasi pemilih. Segmentasi pasar politik adalah proses identifikasi tipe pemilih. Untuk partai politik dan kandidat, setidaknya konsep pemasaran politik dapat dilakukan melalui beberapa metode: mengkomunikasikan pesan dan ide-ide; identitas diri berkembang, kredibilitas dan
27
transparansi; interaksi dan respon terhadap masyarakat internal dan eksternal oleh partai politik; pencitraan; memberikan pelatihan, pengolahan dan menganalisis data untuk keuntungan kampanye. Pengaruh terus menerus dan mendorong masyarakat untuk mendukung partai politik (Newman 1994). Ketika merencanakan pemasaran bertujuan untuk menghasilkan dukungan politik dan publik figur (Baines et al. 2002). Meski masih dalam tahap perencanaan, itu tidak berarti mengabaikan peran media massa. Sebaliknya, pada tahap ini, peran saluran komunikasi massa yang dibutuhkan (Dowling, 2002; Davies et al. 2003). Dalam melaksanakan mobilisasi, partai politik memungkinkan untuk memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki. Penggunaan sumber daya dapat dilakukan melalui pemasaran politik. Pemasaran politik adalah ilmu baru yang mencoba untuk menggabungkan teori pemasaran dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, dapat dikatakan pemasaran politik masih remaja, namun keberadaannya telah menjadi tren dalam politik di negara-negara maju yang menganut demokrasi (Cass 2001 dan Nursal 2004 dalam Ediraras et al. 2013:587). Partai politik dan calon perseorangan bersaing memanfaatkan pengetahuan ini untuk strategi kampanye yang baik untuk memobilisasi pemilih, dukungan politik dalam pemilihan umum kepala negara atau kepala daerah serta menjaga citra sepanjang waktu dalam pemilu jeda (Cass 2001 dalam Ediraras et al. 2013:587). Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa perencanaan kampanye pilpres 2014 melibatkan proses komunikasi yang berlangsung secara dialogis (dua arah) di mana pesan, gagasan, visi, misi dan program kerja capres dan cawapres disosialisasikan pada masyarakat dengan harapan bisa mempengaruhi persepsi masyarakat sehingga kandidat yang dicalonkan mendapat citra positif di masyarakat. Adapun cara yang digunakan setiap pasangan calon dalam aksi kampanyenya adalah dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi baik media massa, media sosial maupun saluran antarpribadi sebagai instrumen politiknya. Interaksi masyarakat dan kandidat melalui media sosial dan media interaktif selama kampanye pilpres 2014 telah membuktikan efektivitas penggunaan sumber informasi kampanye sebagai strategi pemasaran politik. Fungsi komunikasi sosial dan komunikasi politik menunjukkan akurasi pesan yang disampaikan melalui twitter, facebook, blog, youtube, situs berita online, website dan televisi sangat mumpuni dalam menyebarkan pesan-pesan politik. Peran strategis media sosial dan media massa dalam komunikasi politik tersebut berhasil menggalang kekuatan, dukungan terhadap gerakan pro-demokrasi sehingga mendorong tingkat partisipasi politik. Teori Dampak dan Kegunaan Menurut Sendjaja (2002:541), teori uses and effect pertama kali dikemukakan oleh Sven Windahl (1979), merupakan sintesis antara pendekatan uses and gratifications dan teori tradisional mengenai efek. Konsep ‘use’ (penggunaan) merupakan bagian yang sangat penting atau pokok dari pemikiran ini. Karena pengetahuan mengenai penggunaan media yang menyebabkannya, akan memberikan jalan bagi pemahaman dan perkiraan tentang hasil dari suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media massa dapat memiliki banyak arti.
28
Ini dapat berarti exposure yang semata-mata menunjuk pada tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tersebut dapat menjadi suatu proses yang lebih kompleks, di mana isi terkait harapan-harapan tertentu untuk dapat dipenuhi, fokus dari teori ini lebih kepada pengertian yang kedua (Bungin 2008:287). Model dampak dan kegunaan dalam bahasa Inggris uses and effect, di mana kebutuhan bukan merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan penggunaan media. Kepuasan individu mengenai apakah akan digunakan atau tidaknya isi media massa ditentukan oleh karakteristik individu, harapan-harapan, persepsi individu serta tingkat pencapaian media (Hoetasoehoet 2002:70). Terkait pemikiran uses and effect, kebutuhan hanya salah satu dari faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya penggunaan media. Karakter individu, harapan dan persepsi terhadap media, dan tingkat akses kepada media, akan membawa individu kepada keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan isi media massa. Mengenai hubungan antara pengguna dan hasilnya dilakukan dengan memperhitungkan isi media. Pada teori efek tradisional, karakteristik isi media menentukan sebagian sebagian besar dari hasil. Dalam hal ini, penggunaan media hanya dianggap sebagai faktor perantara, dan hasil dari proses tersebut dinamakan efek. Teori uses and gratification hanya akan dianggap berperan sebagai perantara, yang memperkuat atau melemahkan efek dari isi media (Yanto 2013:1) Komunikasi massa merupakan sejenis kekuatan sosial yang dapat menggerakan proses sosial kearah suatu tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Akan tetapi, untuk mengetahui secara tepat dan rinci mengenai kekuatan komunikasi massa tidaklah mudah. Donald K. Robert mengungkapkan bahwa efek hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa. Menurut Stamm (1990) menyatakan bahwa efek komunikasi massa terdiri dari primary effect dan secondary effect (Ardianto & Erdinaya 2005:48). Menurut Steve M. Chaffee, efek media massa dapat dilihat dari tiga pendekatan. Pertama adalah efek dari media massa yang berkaitan dengan pesan ataupun media itu sendiri. Kedua adalah dengan melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa yang berupa perubahan sikap, perasaan dan perilaku atau dengan istilah lain dikenal sebagai perubahan kognitif, afektif dan behavioral. Ketiga yaitu observasi terhadap khalayak (individu, kelompok, organisasi, masyarakat atau bangsa) yang dikenai efek komunikasi massa (Ardianto & Erdinaya 2005:49). Perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap) dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). Secara tradisional, ada beberapa jenis efek yang disebabkan media. Menurut John R Bittner (1996), fokus utama dari efek ini adalah tidak hanya bagaimana media mempengaruhi audience tetapi juga bagaimana audience mereaksi pesan-pesan media yang sampai pada dirinya. Menurut Steven M. Chaffee, jenis-jenis efek komunikasi massa dipengaruhi oleh dua pendekatan (Ardianto & Erdinaya 2005:49-56), yaitu: 1. Efek Kehadiran Media Massa McLuhan berpendapat bahwa media adalah sebuah pesan. Oleh karena itu, bentuk media sebenarnya sudah dapat mempengaruhi khalayak, artinya yang dapat mempengaruhi khalayak bukan apa hanya apa yang disampaikan oleh media, tetapi jenis media komunikasi yang digunakanpun dapat memberikan pengaruh. Menurut Steven, ada lima
29
jenis efek kehadiran media massa sebagai benda fisik, yaitu efek ekonomis, efek sosial, efek pada penjadwalan kegiatan, efek penyaluran dan efek perasaan orang terhadap media. a. Efek media massa. Kehadiran media massa di tengah kehidupan dapat menumbuhkan berbagai perkembangan usaha baik dari sektor produksi, distribusi dan konsumsi jasa media massa, seperti keberadaan televisi baik milik pemerintah maupun swasta dapat memberikan sumbangsih lapangan pekerjaan. b. Efek sosial. Efek sosial berkaitan dengan perubahan pada struktur interaksi sosial sebagai akibat dari kehadiran media massa, seperti kehadiran televisi dapat meningkatkan status sosial pemiliknya. c. Efek penjadwalan kegiatan. Munculnya media massa juga berdampak pada penjadwalan kegiatan, seperti anak-anak yang dulunya mandi pagi sekarang mengubah jadwal dengan menonton televisi. d. Efek hilangnya perasaan tidak nyaman. Orang menggunakan media untuk memuaskan kebutukan psikologinya dengan tujuan untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman, misalnya seseorang yang lagi kesepian atau sendirian dirumah akan memilih menonton televisi untuk mengisi kesepian. e. Efek menumbuhkan perasaan. Kehadiran media massa ternyata tidak hanya dapat menghilangkan suatu perasaan tetapi juga dapat menumbuhkan. Terkadang seseorang dapat menumbuhkan perasaan positif dan negatif terhadap media. Seperti seseorang yang hobi bola makanya ia akan senang saat membaca majalah bola. 2. Efek Pesan. Dalam bagian ini akan dibahas mengenai efek pesan media massa yang meliputi efek kognitif, efek afektif dan efek behavioral. a. Efek kognitif. Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membuat khalayak dalam yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif. b. Efek afektif. Tujuan dari komunikasi massa bukan sekedar memberitahu khalayak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira dan lain-lain. Adapun faktor-faktor yang berpegaruh dalam efek afektif antara lain: suasana emosional, skema kognitif, suasana terpaan, predisposisi individual dan identifikasi khalayak dengan tokoh dalam media massa. Suasana emosional merupakan suatu perasaan yang disimpulkan dari suatu respons terhadap media, seperti seseorang yang sedang menonton film horor akan merasa ketakutan setelah melihatnya dan orang yang sedang menonton film komedi akan merasa lucu saat menonton. Skema kognitif merupakan naskah yang ada dalam pikiran yang menjelaskan tentang alur peristiwa. Suasana terpaan (setting of exposure) merupakan suatu kondisi yang saat kita melihat film horor, kita akan berpikiran bahwa makhluk seperti itu kehidupannya sebagaimana yang dilihat pada film. Presdisposisi individual merupakan faktor yang mengacu pada karakteristik individu, seperti seseorang yang mempuyai sifat sensitif maka tidak dapat diajak untuk bercanda. Faktor identifikasi, dalam hal ini menunjukan sejauh mana seseorang merasa terlibat dengan tokoh yang ditonjolkan media massa.
30
Dengan identifikasi, penonton, pembaca dan pendengar menempatkan dirinnya pada posisi tokoh. c. Efek behavioral. Efek ini merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Seperti tanyangan kekerasan yang ditampilkan pada televisi akan membuat orang menjadi kasar dan beringas. Dengan memahami beberapa model komunikasi massa maka dalam penelitian ini mengacu pada Model uses and effect. Hal ini dengan harapan bahwa teori ini dapat menjelaskan perilaku pemilih yang menjadi obyek penelitian, yang mempunyai peran aktif untuk memilih dan menggunakan media untuk mendapatkan informasi tentang pilpres 2014. Dalam hubungannya dengan tingkat partisipasi politik dalam pilpres 2014, maka masyarakat memerlukan informasi tentang kandidat yang akan dipilih, program-program/isu-isu yang akan diusung oleh kandidat jika terpilih nanti, citra diri kandidat dan bahkan berbagai hal yang berkaitan dengan pilpres 2014. Oleh karena itu, khalayak berusaha secara aktif untuk mendapatkan, menggunakan dan memilih jenis media massa secara sungguh-sungguh untuk memuaskan kebutuhannya berupa informasi, berita ataupun pesan-pesan politik yang berhubungan dengan pilpres 2014. Dalam hubungannya dengan pola penggunaan sumber informasi yang dapat diterima oleh khalayak tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pilpres 2014, maka komunikasi antar pribadi meskipun kecepatan jangkauannya lebih lambat namun kekuatan informasi yang disampaikan pada komunikasi interpersonal (antarpribadi) jauh lebih kuat. Pandangan teori uses and effect menyatakan bahwa penggunaan media merupakan salah satu kebutuhan sekaligus menimbulkan berbagai efek media yang terkait dengan apa yang diketahui dari isi media. Bila dikaitkan dengan penelitian ini, efek media dari kegiatan mencari, menonton dan mengakses media sehingga kebutuhan informasi kampanye sehingga tercapai perubahan perilaku yang positif. Pada faktanya, informasi interpersonal lebih memiliki pengaruh yang lebih kuat pada masyarakat umum; terutama pada isu-isu tertentu yang membuat masyarakat menjadi terancam. Dalam konteks efek normal, media hanyalah menambah pengetahuan. Untuk mengubah perilaku masyarakat lebih efektif bila dilakukan komunikasi interpersonal dan komunikasi media hibrid (media baru). Adanya internet dan media sosial memiliki kemampuan merekam interaksi sosial dalam jumlah besar (massal) sehingga melengkapi saluran komunikasi lainnya. Informasi dalam media sosial tidak dibatasi oleh ruang, waktu, status pendidikan dan strata sosial. Media sosial adalah media informasi online berbasis aplikasi internet yang memungkinkan penggunanya dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi secara virtual. Partisipasi Politik Partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang bertujuan memengaruhi kebijakan pemerintah. Secara umum, Budiharjo (1982:1) dalam Sastroatmodjo (1995:68) mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung
31
memengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy). Partisipasi politik juga dapat mencakup kegiatan yang memengaruhi pemerintah, terlepas efektif atau tidak, berhasil atau gagal, karena pada dasarnya setiap warga negara berhak memengaruhi dan mengetahui proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan itu. Semua bentuk partisipasi politik berhubungan dengan kepentingan masyarakat secara luas begitu pula demi kepentingan pembangunan. Beriringan dengan Sastroatmodjo, Ramlan Subakti, sebagaimana dikutip Arifin Rahman mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan ikut serta dalam menentukan pemimpin pemerintahan (Rahman 2002:129). Dengan partisipasi politik kita mengacu pada semua aktivitas yang sah oleh semua warga negara untuk memengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan tindakan-tindakan yang mereka ambil. Partisipasi politik mengacu pada kegiatan seseorang atau sekelompok orang secara sukarela untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa atau memengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan yang diambil oleh mereka dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Budiharjo 2005:40). Pada umumnya partisipasi politik masyarakat ada yang sifatnya mandiri (autonomous) dimana individu dalam melakukan kegiatannya atas dasar inisiatif dan keinginan sendiri. hal ini boleh jadi atas dasar rasa tanggung jawabnya dalam kehidupan politik, atau karena didorong oleh keinginan untuk mewujudkan kepentingannya ataupun kepentingan kelompoknya. Namun tidak jarang pula partisipasi yang dilakukan bukan karena kehendak individu yang bersangkutan, akan tetapi karena diminta atau digerakkan oleh orang lain dan bahkan dipaksa oleh kelompoknya. Partisipasi dalam bentuk terakhir ini adalah partisipasi yang digerakkan atau sering disebut dengan mobilized political participation. Partisipasi politik masyarakat biasanya bersumber pada basis-basis sosial-politik tertentu, kecuali partisipasi yang mengambil bentuk contacting, partisipasi politik pada umumnya merupakan sebuah tindakan kolektif (Gaffar 1998:241). Pemberian suara yang menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara merupakan salah satu bentuk nyata dari partisipasi politik. Perhatian masyarakat dalam pemilihan umum ditunjukkan dengan besar kecilnya jumlah pemilih dalam menyumbangkan suara mendorong tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat. Partisipasi politik berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi partisipasi yang bersifat sukarela (otonom) dan atas desakan orang lain (dimobilisasi). Sementara, bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya dikategorikan menjadi partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individu berwujud kegiatan yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Maksud partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga negara secara serentak untuk memengaruhi penguasa seperti kegiatan pemilihan umum (Sastroadmodjo 1995:77). Di negara demokratis seperti Indonesia, pemilihan umum merupakan alat untuk memberi kesempatan kepada rakyat untuk memengaruhi kebijaksanaan pemerintah dan sistem politik yang berlaku. Pemilihan umum adalah bentuk partisipasi politik yang lebih luas dibandingkan dengan partisipasi politik lainnya karena bukan hanya memberikan suara, tapi juga menyangkut semboyan-
32
semboyan yang diberikan dalam kampanye, bekerja untuk membantu pemilihan, membantu di tempat pemungutan suara, mencari dukungan untuk calon. Namun, kegiatan pemilihan umum tetap merupakan bentuk partisipasi politik kolektif yang besar yang membedakannya dari partisipasi politik lainnya. Bentuk partisipasi politik seseorang dapat dilihat dengan jelas melalui aktivitas-aktivitas politiknya, begitu juga dalam masyarakat dapat dilihat dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan bersama oleh masyarakat. Menurut pendapat Mas’oed dan McAndrews (2001:47), kegiatan politik konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern. Bentuk nonkonvensional termasuk beberapa yang mungkin legal maupun yang illegal, penuh kekerasan, dan revolusioner. Bentuk-bentuk partisipasi politik konvensional menurut Mas’oed dan McAndrews adalah pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan dan komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif. Sedangkan, bentuk partisipasi politik non-konvensional adalah pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan politik terhadap harta benda (perusakan, pengeboman, pembakaran), tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan), perang gerilya dan revolusi. Peran serta masyarakat merupakan kata lain dari istilah standar dalam ilmu politik, yaitu partisipasi politik. Dalam ilmu politik, partisipasi diartikan sebagai upaya warga masyarakat baik secara individual maupun kelompok, untuk ikut serta dalam memengaruhi pembentukan kebijakan publik dalam sebuah negara (Gaffar 1998:30). partisipasi adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap pertanggung jawaban bersama (Rahman 2002:128). Menurut Huntington dan Nelson John M, partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah (Huntington 1990:6). Peran serta atau partisipasi politik masyarakat secara umum dapat kita katergorikan dalam bentuk-bentuk berikut: - Electoral activity, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pemilihan, termasuk dalam kategori ini adalah ikut serta dalam memberikan sumbangan untuk kampanye, menjadi sukarelawan dalam kegiatan kampanye, ikut mengambil bagian dalam kampanye atau rally politik sebuah partai, mengajak seseorang untuk mendukung dan memilih sebuah partai atau calon pemimpin, memberikan suara dalam pemilihan, mengawasi pemberian dan perhitungan suara, menilai calon-calon yang diajukan dan lain-lainnya. - Lobbying, yaitu tindakan dari seseorang atau sekelompok orang untuk menghubungi pejabat pemerintah ataupun tokoh politik dengan tujuan untuk memengaruhinya menyangkut masalah tertentu. - Organizational activity, yaitu keterlibatan warga masyarakat ke dalam organisasi sosial dan politik, apakah ia sebagai pemimpin, aktivitas, atau sebagai anggota biasa. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dengan secara langsung pejabat pemerintah atau tokoh politik, baik dilakukan secara individu maupun kelompok orang yang kecil jumlahnya. Biasanya, dengan bentuk partisipasi seperti ini akan mendatangkan
33
manfaat bagi yang sedang melakukannya violence, yaitu dengan cara-cara kekerasan untuk memengaruhi pemerintah, yaitu dengan cara kekerasan, pengacauan dan pengrusakan terhadap barang atau individu (Gaffar 1998:241242). Munculnya transaksi demokrasi di Indonesia dimulai dari penerpaan multi partai yang dimaksudkan sebagai penguatan lembaga perwakilan rakyat. Namun, kualitas demokrasi yang dipertontonkan melalui panggung parlemen ini dianggap belum cukup kuat untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi yang lebih substansial, khususnya yang berkaitan dengan responsibilitas, akuntabilitas dan transparansi. Mengingat besarnya manfaat pemilu langsung bagi pengembangan demokrasi, partisipasi publik dan percepatan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat, maka sungguh disayangkan bila ajang ini harus cacat dan dibikin rusak dengan praktek money politic, unfair game, tidak siap kalah dan lain-lain. Sangat dibutuhkan peran dan kejujuran dari semua pihal agar dapat mewujudkan pemilu demokratis dan harmonis di Indonesia yang legitimate untuk memimpin nasional dan mewujudkan keberhasilan bangsa (Mustofa 2013:68). Mengingat akan peran strategis kehadiran pengawas pemilu dalam mewujudkan integritas pelaksanaan pemilu, maka pengawas pemilu dituntut untuk memiliki kapasitas yang cukup memadai untuk mengawasi seluruh proses tahapan pelaksanaan pemilu di semua lini penyelenggaraan pemilu. Namun tuntutan tersebut untuk kondisi saat ini belum bisa terpenuhi. Hal itu mengingat adanya keterbatasan jumlah anggota pengawas pemilu bila dibandingkan persoalan pemilu yang terus berkembang dari sisi modus. Sedangkan sisi lainnya adalah adanya ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap pengawas pemilu. Atas dasar realitas tersebut maka dipandang penting keterlibatan berbagai pihak sesuai dengan fungsinya masing-masing untuk terlibat dalam pengawasan pemilu. Partisipasi berbagai pihak dalam pengawasan pemilu tersebut sangat penting untuk menunjang pelaksanaan pemilu yang langsung umum bebas dan rahasia (luber) dan jujur dan adil (jurdil) serta demokratis. Hal ini yang disebut dengan pengawasan partisipatif. Peran-peran partisipatif masyarakat dan para pihak dalam pengawasan pemilu tersebut untuk menujang pelaksanaan tugas dan kewenangan pengawas pemilu demi terselenggaranya pemilu yang demokratis (Najib et al. 2004:14). Bintoro Tjokroamidjojo dalam Hempri dan Suparjan (2003:58) mengungkapkan bahwa kaitan partisipasi masyarakat dengan pembangunan sebagai berikut: 1) Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. 2) Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan. 3) Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Dari semua bentuk partisipasi politik, kegiatan pemilu menjadi partisipasi politik yang paling nyata dalam menyalurkan aspirasi demi pemerintahan yang demokratis. Kegiatan pemberian suara memiliki pengaruh yang besar dalam pelaksanaan pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong dalam upaya memengaruhi keputusan pemerintah. Meskipun, pada kenyataannya kegiatan ini tidak selalu
34
memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Terkait dengan pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong, tingkat partisipasi politik masyarakat terdiri dari beberapa aspek antara lain keterlibatan dalam penyelenggaraan kampanye, keterlibatan dalam pengawasan pemilu dan keterlibatan (partisipasi) dalam memberikan suara/ menggunakan hak pilih. Perolehan tingkat partisipasi politik mencerminkan kesadaran dan pemahaman politik warga negara dalam menggunakan hak pilih secara luber dan jurdil. Penelitian Terdahulu Penelitian Aziz (2010:11-12) berjudul Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pelaksanaan Pemilukada Putaran Kedua di Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2010 menyimpulkan bahwa partisipasi politik masyarakat di Kecamatan Harau meliputi partisipasi politik konvensional berupa diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif dan pemberian suara (voting). Bentuk partisipasi politik konvensional yang dominan di Kecamatan Harau adalah pemberian suara (voting). Tingginya tingkat penurunan partisipasi politik masyarakat di Kecamatan Harau disebabkan oleh beberapa aspek, di antaranya alasan teknis, ekonomis, apatis dan pesimis, idealis, kurangnya kesadaran, dan alasan tidak berada di tempat. Alasan teknis terjadi karena pemilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), alasan ekonomis biasanya alasan oleh masyarakat yang berada pada status pekerjaan lebih rendah yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, alasan apatis dan pesimis dikarenakan sikap acuh tak acuh, tidak percaya dan dikarenakan pemilih bingung untuk memilih siapa dalam pemilukada, alasan idealis dengan memilih golput karena bosan dengan janji janji para calon yang dianggap muluk-muluk serta karena seringnya dan pelaksanaan pemilu yang berdekatan waktu pelaksanaannnya, kurangnya kesadaran masyarakat karena masih rendahnya pendidikan politik masyarakat sehingga masyarakat tidak tahu apa manfaat dan tujuan pemilukada, dan terakhir faktor seperti kuliah/bekerja di luar kota. Sementara, hasil penelitian Sasmita (2011:223) berjudul Peran Informasi Politik terhadap Partisipasi Pemilih Pemula dalam Pemilu/Pemilukada adalah pemilih pemula yang terinformasikan dengan baik memiliki kecenderungan berpartisipasi dalam pemilu/pemilukada kendati partisipasi tersebut berbentuk partisipasi yang dimobilisasi. Sebagian besar pemilih pemula memperoleh informasi dari jalur informal seperti media massa, keluarga, dan organisasi sosial politik kemasyarakatan tempat mereka berkecimpung. Informasi yang diperoleh lewat pendidikan politik di sekolah disinyalir masih sangat minim. Meskipun memiliki informasi politik memadai, sebagian pemilih pemula masih dipengaruhi ikatan emosional dan komersial dalam menentukan pilihan politiknya. Kecenderungan irrasional dari pemilih pemula ini hendaknya dapat dihindari melalui pendidikan politik yang secara intensif dilakukan pemerintah dan partai politik. Pemerintah tidak bisa melepaskan tanggung jawab pelaksanaan pendidikan politik kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Partai politik pun harus mampu membuktikan komitmennya kepada pemilih
35
pemula hingga pemilih pemula tidak enggan berpartisipasi dalam kehidupan politik dan kenegaraan. Penelitian Amanda (2011:138-139) mengenai Pola Penggunaan Media Massa terutama media cetak sebagai komunikasi politik pasangan calon kepala derah dalam pemilu kepala daerah 2010 di lima kabupaten/kota di Bali, mendapatkan beberapa kesimpulan. Penelitian ini dilakukan pada tiga media cetak yang beredar di Bali yakni Bali Post, Radar Bali dan Nusa Bali. Dari tiga bentuk komunikasi politik yang digunakan para pasangan calon kepala derah dalam pemilu kepala daerah di Bali pada tahun 2010, ternyata bentuk komunikasi politik yang paling sering digunakan adalah dalam bentuk berita. Tercatat jumlah berita kampanye mencapai 112 dari 198 bentuk komunikasi politik atau sekitar lebih dari 56 persen dari total jumlah komunikasi politik. Salah satu hasil penelitian yang cukup menarik adalah adanya korelasi yang selaras antara tingginya kuantitas komunikasi politik pasangan calon kepala daerah dengan hasil pemilu kepala daerah. Hal ini membuktikan bahwa pemilu kepala daerah di lima kabupaten/kota, ternyata di empat kabupaten/ kota, pasangan calon kepala derah yang memiliki kuantitas komunikasi yang tinggi ternyata berhasil memenangkan pemilu kepala daerah di kabupaten/kotanya. Penelitian lainnya yang relevan adalah tesis berjudul Penyelengaraan Sistem Elektronik untuk Pemilu oleh Syukri (2011:188-189) menghasilkan kesimpulan di antaranya (a) terkait dengan penyelenggaraan pemilu dengan sistem electronic voting, penerapan e-voting pada dasarnya sesuai dengan kaedah hukum dalam Undang Undang terkair dengan pemilihan umum pada negara yang bersangkutan (b) penerapan e-KTP akan dilakukan dalam dua tahap selama dua tahun mulai 2011. E-KTP juga merupakan program untuk mensukseskan pemilu 2014; lalu aspek hukum yang terkait penyelenggaraan evoting (a) metode e-voting pada dasarnya dapat digunakan dalam pilkada dengan syarat tidak melanggar asas langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil dan (b) ditinjau dari sisi kebabsahan suara dalam pemilihan dengan menggunakan e-voting memilih dengan menyentuh layar sepanjang tujuan dan alasannya sama dengan mencoblos atau mencontreng, maka keabsahannya sama. e-voting merupakan teknologi tepat guna untuk mewujudkan pemilihan yang langsung umum bebas rahasia (luber), jujur adil (jurdil), efektif dan efisien. Selanjutnya, penelitian Sanur (2014:20) berjudul Efektivitas Kampanye Pemilu Legislatif 2014 menyimpulkan bahwa kampanye rapat umum yang saat ini telah beralih pada kampanye dalam media sosial seperti facebook dan twitter, di mana media sosial mampu menjadi media dialog antara caleg maupun parpol dengan konstituennya. Hal ini merupakan fenomena baru di Indonesia yang akan terus berkembang. Namun demikian, yang perlu diperhatikan ialah bahwa media sosial juga membuat semakin maraknya terjadi kampanye hitam yang dapat semakin merusak tatanan politik dan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus berperan lebih baik dalam memberi dorongan maupun melakukan pengawasan dengan cara merangkul komunitas pengguna media sosial untuk menyukseskan pemilu melalui sosialisasi dan edukasi kepemiluan dan demokrasi, serta mendorong para pengguna media sosial untuk tetap mengembangkan etika dalam perbincangan di dunia maya melalui sosialiasi dan edukasi yang lebih intensif dan kreatif.
36
Penelitian lain berjudul Perilaku dan Sikap Sosial-Politik Mahasiswa dalam Pilpres 2009 yang ditulis oleh Pradhanawati (2010:186) menghasilkan temuan bahwa perilaku dan sikap sosial-politik di kalangan mahasiswa pada pilpres 2009 menunjukkan gejala yang positif walaupun perilaku dan sikap sosial politik mahasiswa sangat unik dan sulit ditebak dalam menentukan pilihannya. Dalam perspektif teori interaksi simbolik (symbolic interaction theory), mahasiswa memaknai simbol-simbol dalam interaksi simbolik melalui sikap sosial-politiknya yang ditandai dengan keinginan mereka untuk menggunakan hak pilih. Keputusan itu diperkuat dengan kenyakinan mereka bahwa pilpres 2009 dapat mengubah kondisi bangsa Indonesia dari persoalan kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan lain-lain. Mahasiswa juga memandang bahwa pilpres dianggap sangat penting, walaupun di sisi lain distribusi pemahaman mahasiswa terhadap visi, misi dan program yang diusung oleh ketiga kandidat ternyata tidak merata. Nampaknya, faktor kepribadian kandidat sangat memengaruhi mahasiswa dalam perilaku memilih (voting behavior) untuk menentukan sikap sosial politiknya, meskipun bukan faktor pertimbangan yang utama. Dalam perspektif pertukaran sosial yang lebih banyak menggambarkan saling manfaat yang bisa diperoleh dalam hubungan antara kandidat dengan pemilih. Keuntungan atau saling manfaat yang diperoleh itu dapat bersifat materiil, tetapi bisa juga bersifat immateriel dan sosial, termasuk popularitas yang bisa diperoleh masing-masing pihak. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya dukungan terhadap teori pertukaran sosial (social exchange theory) yaitu terjadinya pertukaran sosial akibat dari interaksi sosialnya dalam hal ini terjadi interaksi kepentingan antara kandidat dan pemilih, proposisi rasionalitas sebagai dasar dari perilaku dan sikap mahasiswa dalam pilpres 2009. Sementara, penelitian berjudul Analisa Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam Pemilu oleh Arianto (2011:55-59), faktor Internal diantaranya alasan teknis dan pekerjaan pemilih. Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Dalam pemahaman penulis, faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih. Faktor ektenal adalah faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik. Faktor administratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek administrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya, diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan, dan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam
37
pemilihan. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golongan putih (golput). Faktor berikutnya yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Upaya elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir golput administratif. Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka meminimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW. Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidakpercayaan dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Dari hasil penelitian tesis Sudaryanti (2008:101) yang berjudul Perilaku Pemilih Melalui Pola Penggunaan Komunikasi Massa dan komunikasi Interpersonal dalam Pilkada Tahun 2005 di Surakarta (Studi Deskriptif tentang Perilaku di Kalangan Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kota Surakarta Melalui Pola Penggunaan Komunikasi Massa dan Komunikasi Interpersonal Dalam Pilkada tahun 2005 di Surakarta) dapat diambil simpulan bahwa perilaku pemilih dalam penelitian ini adalah perilaku dikalangan PNS Pemerintah Kota Surakarta melalui pola penggunaan komunikasi massa dan komunikasi interpersonal dalam pilkada tahun 2005 di Surakarta, bahwa PNS secara aktif mencari informasi atau berita-berita politik mengenai pilkada dari media massa lokal yaitu koran Harian Solo Pos, koran Harian Jawa Pos Radar Solo dan koran Harian Suara Merdeka, baik secara berlangganan maupun dengan membeli secara eceran. Di samping itu juga mencari berita-berita politik atau informasi tentang pilkada dengan melihat televisi (TATV), mendengarkan radio Solo Pos FM dan mengakses internet. Dari berbagai informasi atau berita politik tentang pilkada yang diperoleh melalui media massa, kemudian dikembangkan lagi melalui komunikasi interpersonal. Informasi atau berita-berita politik tentang Pilkada yang diperoleh melalui media massa hanya memberikan pengetahuan saja, sedangkan untuk mengetahui lebih jelas mengenai latar belakang kandidat, isu-isu/program-program politik kandidat, dan partai politik yang mengusung kandidat hanya diperoleh secara jelas melalui komunikasi interpersonal. Sementara itu, informasi-informasi mengenai figur kandidat, citra diri kandidat, kemampuan, pengalaman, perilaku dan sikap-sikap pribadi kandidat diperoleh dari pembicaraan-pembicaraan secara informal. Dari pembicaraan-pembicaraan antar PNS secara formal ini yang lebih memberikan dorongan bagi PNS untuk menentukan pilihannya terhadap calon kepala daerah. Adanya perubahan paradigma dalam pilkada, dari pilkada dengan sistem perwakilan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi pilkada dengan sistem pemilihan langsung, secara umum telah terjadi pula perubahan pada perilaku PNS Pemerintah Kota Surakarta dalam memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Perubahan perilaku terjadi karena ada perubahan dasar
38
hukum dalam pilkada, terutama yang mengatur hak-hak politik PNS dalam pilkada. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai revisi dari Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan dilengkapi dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia No.SE/08/M.PAN/3/2005, menjadi dasar dalam memberikan kesempatan PNS untuk menggunakan hak-hak politiknya dalam pilkada, telah membuahkan perubahan perilaku PNS untuk bisa berpolitik tanpa mengurangi netralitasnya sebagai pilar birokrasi. Penelitian berjudul Pengaruh Iklan Politik dalam Pemilukada Minahasa terhadap Partisipasi Pemilih Pemula di Desa Tounelet Kecamatan Kakas yang ditulis oleh Fenyapwain (2013:13-14), menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara iklan Politik dalam pemilukada di Minahasa terhadap partisipasi pemilih pemula di desa Tounelet kecamatan Kakas, dengan dihasilkannya Korelasi Pearson Product Moment sebesar 0,416, sehingga menyatakan bahwa terdapat tingkat hubungan yang cukup tinggi atau hubungan yang cukup kuat. Iklan politik dalam Pemilukada di Minahasa dapat memberikan sumbangan /kontribusi terhadap partisipasi pemilih pemula di Desa Tounelet kecamatan Kakas atau memiliki nilai koefisien determinan sebesar 17,30% dan sisanya 82,70% ditentukan oleh peubah lain seperti faktor lingkungan tempat pemilih pemula bergaul, keluarga, tingkat pendidikan, nilainilai sosial yang dianutnya, dan lain sebagainya. Jika dikaitkan dengan teori yang digunakan yaitu teori efek moderat yang mengasumsikan bahwa pengaruh media massa tidak berada pada posisi yang tak terbatas ataupun terbatas, melainkan akan sangat tergantung pada individu yang diterpa pesan media massa. Banyak peubah yang ikut berpengaruh terhadap proses penerimaan pesan diantaranya: tingkat pendidikan, lingkungan sosial, keluarga, kebutuhan, sistem nilai yang dianutnya dan lain-lain. Ini artinya ada efek yang dimiliki oleh media massa, tapi efek itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kebutuhan dan sistem nilai yang dianutnya. Suharnomo (2013:10) dalam tulisannya berjudul Kepemimpinan Tepa Selira: Sebuah Kontruksi Sosial Kepemimpinan Jawa Joko Widodo menghasilkan kesimpulan bahwa proses kontruksi sosial kepemimpinan Jawa pada Jokowi sesuai dengan teori Kontruksi Sosial dari Berger dan Luckman (1990) melalui tiga tahapan yakni eksternalisasi, yaitu menjadikan budaya Jawa sebagai sumber kearifan lokal bagi Kota Solo dan dilestarikan sebagai kekuatan Kota Solo. Sebagai komitmen Joko Widodo dalam menjalankan pemerintahan yang berkiblat pada kearifan lokal Jawa ini Joko Widodo abadikan dengan menyetujui moto"Solo The Spirit of Java.” Tahap kedua adalah obyektivasi, tahap kedua dalam upaya konstruksi kepemimpinan Jawa pada Jokowi dilakukan melalui proses interaksi dengan masyarakat. Bukti adanya obyekivasi adalah sistem relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) tanpa kekerasan dan dilakukan Joko Widodo dengan apik dan berhasil. Tahap ketiga adalah internalisasi dengan menjadi walikota segala aktivitas kepemimpinan yang Joko Widodo lakukan akan menjadi sorotan dan segala kebijakan yang Jokowi ambil akan memengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada di Kota Solo. Temuan yang paling unik bahwa gaya kepemimpinan Jawa yang diterapkan oleh Joko Widodo sangat unik yakni berlandaskan filosofi tepa selira,
39
di mana gaya kepemimpinan ini adalah gaya kepemimpinan yang menjunjung tinggi kesamaan derajat antar sesama manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Joko Widodo terbukti efekif diterapkan dalam memimpin wilayah daerah Surakarta sebagai walikota, dengan menggunakan indikator adanya kemajuan Kota Solo dengan sistem birokrasi yang semakin baik, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Solo yang meningkat, tingkat korupsi yang semakin berkurang, kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat serta berbagai ajang seni budaya bertaraf internasional yang diselenggarakan di Kota Solo. Penelitian selanjutnya, Pengaruh Faktor Eksternal Terhadap Keputusan Memilih Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI Putaran Pertama dari Perspektif political marketing (Survei di Desa Woro Kecamatan Keponharu, Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur) yang ditulis oleh Arif Sugiono (2009:561), menyimpulkan bahwa kajian political marketing adalah sesuatu yang baru, diawal kemunculannya di Indonesia hasil pada studi ini menunjukkan bahwa pengaruh diluar peubah ini masing sangat besar, sehingga peluang bagi peneliti-peneliti lain yang tertarik dengan fokus kajian political marketing dapat mengembangkan konfigurasi teoritis dengan memunculkan peubah-peubah lain (faktor eksternal di luar ini serta faktor internal) baik melalui studi ekploratif maupun explanatory tentang voter behavior di Indonesia dari perspektif political marketing masih sangat terbuka. Selain itu, peluang penelitian yang memfokuskan pada perilaku non-voting (faktor yang mempengaruhi dan besarnya pengaruh faktor tersebut) dari perspektif political marketing juga sangat terbuka. Sebagaimana hasil temuan di atas, dapat disarankan bagi partai-partai politik, yang akan mencalonkan kadernya ke pemilihan umum presiden (pilpres) di waktu-waktu mendatang seharusnya; pertama, mempersiapkan dengan baik program-program yang akan ditawarkan oleh kandidat tersebut sehingga kehadiran tim sukses yang benar-benar berkualitas dari berbagai pakar dibidangnya sangat dibutuhkan dan mampu melakukan analisis dan merumuskan strategi dengan baik dan benar. Salah satunya adalah membuat program-program yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang benar-benar dihadapi masyarakat; kedua, dalam melakukan seleksi untuk rekrutmen seorang kandidat, latar belakang pendidikan harus lebih diperhatikan karena beradasarkan temuan diatas, latar belakang pendidikan menjadi pertimbangnan utama dalam menentukan pilihannya. Semakin tinggi tingkat pendidikannya akan semakin dipertimbangkan oleh para pemilih; ketiga, bagi partai politik atau tim sukses dalam menentukan strategi berkaitan dengan pencitraan sosial harus mengalami perubahan. Memposisikan seorang kandidat dengan menempatkan sang kandidat tersebut merupakan representasi kelompok, golongan atau kelas tertentu sudah kurang begitu efektif. Akan lebih baik pada bagaimana seorang kandidat harus lebih terfokus pada pentingnya management issue dalam menanggapi peristiwaperistiwa yang terjadi, dengan memperhatikan kajian-kajian psikologi massa dan komunikasi massa menjelang pemilihan umum berlangsung, dengan tetap mengedepankan etika political marketing. Hal itu didasarkan pada temuan studi di atas dimana pengaruh peristiwa muthakir dan isu-isu epistemik mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam keputusan memilih dibanding citra sosial.
40
Berkaitan dengan stakeholder yang berkaitan dengan pelaksanakan pemilihan umum, yang dalam hal ini KPU, pemerintah/Departemen Dalam Negeri (Depdagri), partai politik, tim sukses dan pihak-pihak lainnya, akan lebih baik apabila dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus lebih mengedepankan etika dan akuntabilitas. Dikarenakan tingkat perhatian, ketertarikan pemilih sebelum menetukan pilihan sangat tinggi. Pada kondisi seperti ini pemilih lebih fokus pada fungsinya dalam mengevaluasi segala kejadian yang berlangsung selama proses-proses tahapan pemilu, yang hasil evaluasi tersebut dijadikan referensi dalam menentukan pilihannya dalam pemilihan umum. Berbagai hasil penelitian tersebut merupakan salah satu pemicu pemikiran untuk membuat sebuah kajian yang sama, namun dalam aspek yang berbeda yaitu pada penggunaan sumber informasi kampanye oleh masyarakat Kecamatan Cibinong di mana penelitian-penelitian sebelumnya belum dikaji secara mendalam. Seperti yang telah dibahas dalam latar belakang bahwa informasi memiliki peran yang penting dalam berbagai sektor kehidupan, khususnya kehidupan politik yaitu dalam penyelenggaraan pilpres setiap lima tahun sekali. Berbagai hasil temuan mengenai penggunaan sumber informasi kampanye dalam pemilu dan pengaruhnya terhadap tingkat partisipasi politik menambah argumen logis bahwa penelitian ini layak untuk dikaji dalam sebuah penelitian ilmiah. KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Pemilihan umum merupakan landasan penting bagi sistem demokrasi masyarakat Indonesia. Setelah pelaksanaan pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014, proses pemilu berlanjut untuk memilih presiden dan wakil presiden pada tanggal 9 Juli 2014. Sebagai demokrasi prosedural, keberhasilan pemilu dalam suatu negara dapat diukur dari tingkat partisipasi masyarakatnya. Menurunnya partisipasi pemilih dalam pemilu tentu juga mempunya implikasi pada rendahnya partisipasi politik masyarakat untuk bersedia ikut mengawasi seluruh tahapan pilpres. Padahal kegiatan menggunakan hak pilih dalam pilpres merupakan bentuk partisipasi masyarakat secara nyata yang turut menentukan presiden dan wakil presiden pilihan rakyat, tindakan, kebijakan dan strategi yang mereka lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Menyikapi tantangan menurunnya tingkat partisipasi politik setiap pemilu, media sosialisasi pilpres harus lebih ditingkatkan sehingga dapat menanamkan kesadaran politik masyarakat. Meskipun, menjelang pilpres 2014, masyarakat Cibinong telah dibombardir informasi politik baik melalui berbagai media dan saluran komunikasi. Namun, minimnya kesadaran politik masyarakat pada penyelenggaraan pemilu tentu berdampak pada tingkat partisipasi politik yang belum mencapai target pemerintah. Keberhasilan kampanye ditandai dengan strategi komunikasi pemasaran politik melalui penggunaaan media komunikasi. Pemilihan media sebagai saluran kampanye didasari dengan pertimbangan sifat, karakteristik dan jangkauan media itu sendiri. Pada kasus kampanye pilpres 2014, tren media
41
yang sedang berkembang adalah penggunaan media sosial (new media). Sementara penyebarluasan sumber informasi kampanye melalui media massa paling gencar dilakukan oleh televisi. Meskipun tergolong usang, kekuatan tunggal televisi di antara media massa lainnya dinilai perkasa dan efektif memengaruhi sikap dan khalayak. Televisi dianggap sebagai media yang memiliki kredibilitas tinggi di mata khalayak. Selebihnya, pengaruh media interpersonal (antarpribadi) turut menentukan partisipasi politik seseorang karena budaya koletif bangsa yang masih kental dan paham paternalistik yang masih berkembang di beberapa daerah, tak terkecuali Kecamatan Cibinong. Jumlah pemberitaan mengenai aktivitas politik kandidat dalam media sosial maupun media massa tidak menjamin penyampaian informasi mengenai jadwal pemilu, tahapan, visi, misi dan program para pasangan calon berjalan efektif dan efisien tepat sasaran sesuai pola komunikasi karakeristik masyarakat Cibinong. Kompetisi antar kandidat membuat masyarakat di Kecamatan Cibinong pun semakin sulit menentukan pilihan, salah satunya karena timbulnya ketidakpastian informasi (uncertainty) berkaitan dengan seluruh informasi kampanye tersebut. Oleh karena itu, pasangan capres dan cawapres harus cermat dalam menerapkan strategi komunikasi pemasaran politiknya sesuai dengan kebutuhan informasi dan karakteristik masyarakat setempat; misalnya dengan cara menyosialisasikan diri secara intensif melalui saluran komunikasi sosial, publik atau saluran media antarpribadi agar lebih menyentuh masyarakat. Komunikasi pembangunan dalam pemilu dipandang sebagai tindakan komunikasi yang terencana dalam menyebarluaskan informasi dalam berbagai saluran komunikasi sehingga memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemungutan suara. Kajian komunikasi pemasaran politik dihasilkan dari sintesis antara kajian komunikasi politik dan pemasaran politik. Pada pilpres 2014, kegiatan komunikasi pemasaran politik dilakukan seiring dengan munculnya generasi pengguna media sosial aktif juga turut memberi daya dukung bagi berkembangnya media sosial di Indonesia, contohnya facebook, twitter, blackberry message (BBM), whatsApp, path, instagram, line, blog (situs blogspot.com), situs berita online (detik.com, okezone.com, kompas.com, dan sejenisnya), forum online (kaskus.com, kompasiana.com, dan sejenisnya), youtube dan website KPUD. Media sosial adalah media informasi online berbasis aplikasi internet yang memungkinkan penggunanya dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi secara virtual. Sementara komunikasi antarpribadi melengkapi sumber informasi melalui media massa dan media sosial (new media) dengan tujuan memersuasi untuk berpartisipasi dalam pemilu. Penggunaan media sebagai sumber informasi kampanye sesuai dengan teori uses and effect (dampak dan kegunaan) di mana kegunaan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu proses komunikasi massa. Sementara sebagian besar hasil dari proses tersebut ditentukan oleh karakteristik isi media. Berdasarkan tema dan materi sosialisasi oleh KPUD Kabupaten Bogor, penggunaan sumber informasi kampanye media massa khususnya elektronik dan komunikasi tatap muka ditunjukkan dengan kegiatan pengembangan partisipasi masyarakat, pendidikan, dialog dan acara resmi, telah menjadi salah satu sumber informasi kampanye pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong. Dalam penelitian ini, karakteristik demografis pemilih diindikasikan memiliki hubungan dengan
42
tingkat penggunaan sumber informasi kampanye, sedangkan tingkat penggunaan sumber informasi kampanye dapat memengaruhi tingkat partisipasi politik. Pentingnya hubungan penggunaan sumber informasi kampanye dan pengaruhnya terhadap tingkat partisipasi politik menjadi acuan para pemilik media sekaligus sebagai pedoman sosialisasi pemilu bagi pemilih. Penggunaan sumber informasi kampanye adalah perilaku seseorang dalam memanfaatkan sumber informasi terkait materi kampanye pilpres 2014 yang didasarkan pada: (a) jumlah sumber informasi kampanye yang diterima pemilih, (b) frekuensi penggunaan sumber informasi kampanye oleh pemilih, dan (c) durasi mengakses sumber informasi kampanye oleh pemilih. Sumbersumber informasi yang diamati adalah: (a) saluran media konvensional (media massa) yaitu televisi, (b) saluran media sosial (new media) yaitu facebook, twitter, blackberry message (BBM), whatsApp, path, instagram, line, youtube, situs berita online dan website, dan (c) saluran media interpersonal yaitu kontak dengan keluarga, teman, tetangga dan pemuka pendapat (opinion leader). Kerangka berpikir dalam penelitian ini berangkat dari dugaan adanya hubungan karakteristik demografis (X 1 ) dan tingkat penggunaan sumber informasi kampanye (X 2 ) dengan tingkat partisipasi politik (Y 1 ). Tingkat partisipasi politik diukur dari keikutsertaan kampanye, keikutsertaan pengawasan Pemilu dan partisipasi memberikan hak suara/ menggunakan hak pilih. Sementara tingkat penggunaan sumber informasi kampanye (X 2 ) terbagi menjadi tiga aspek, yaitu jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dan durasi mengakses sumber informasi kampanye. Karakteristik demografis (X 1 ) berhubungan dengan penggunaan sumber informasi kampanye (X 2 ). Lalu karakteristik demografis (X 1 ) juga berhubungan dengan partisipasi politik (Y 1 ). Tingkat penggunaan sumber informasi kampanye (X 2 ) kemudian berhubungan dengan partisipasi politik (Y 1 ). Hubungan antar peubah dalam penelitian hubungan penggunaan sumber informasi kampanye dan partisipasi politik dalam kasus pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong dapat dilihat pada Gambar1. Karakteristik Demografis (X1) Karakteristik Demografis (X1) X1.1 Jenis kelamin X1.1 Jenis kelamin X1.2 Usia X1.2 Usia X1.3 Pendidikan X1.3 Pendidikan X1.4 Pendapatan X1.4 Pendapatan X1.5 Asal Kelahiran X1.5 Asal Kelahiran X1.6 Lingkungan tempat tinggal X1.6 Lingkungan tempat tinggal X1.7 Afiliasi Politik X1.7 Afiliasi Politik
Penggunaan Sumber Informasi Kampanye (X2) - Jumlah sumber informasi kampanye - Frekuensi mengakses sumber informasi kampanye - Durasi mengakses sumber informasi kampanye
Tingkat Partisipasi Politik (Y1) - Keterlibatan dalam kampanye - Keterlibatan memberikan suara - Keterlibatan mengawasi pemilu
Gambar 1 Kerangka pemikiran
43
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang didapat melalui tinjauan teoritis maka diajukan hipotesis penelitian sebanyak tiga yaitu sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik demografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal, afiliasi politik) dengan partisipasi politik. 2. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik demografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal, afiliasi politik) dengan penggunaan sumber informasi. 3. Terdapat hubungan nyata antara penggunaan sumber informasi kampanye dengan partisipasi politik.
3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka penelitian ini dirancang sebagai pendekatan kuantitatif dengan metode survei deskriptif korelasional. Dalam penelitian ini, penelitian menggunakan metode teknik penelitian korelasional yaitu metode yang meneliti hubungan di antara peubahpeubah. Metode korelasional bertujuan untuk mencoba meneliti sejauh mana hubungan di antara peubah-peubah, hubungan yang dicari itulah yang disebut dengan korelasi. Studi korelasional mencoba meneliti sejauh mana variasi pada satu faktor berkaitan dengan variasi pada faktor lain (Rakhmat 2002:27). Penelitian ini terdiri dari dua kelompok peubah, yaitu peubah bebas dan peubah tak bebas. Peubah bebas adalah karakteristik demografis pemilih dan penggunaan sumber informasi selama kampanye. Peubah tak bebas adalah tingkat partisipasi politik. Penelitian uses and effect ini diarahkan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat tersebut. Kriyantono (2009:55-56) menyebutkan bahwa riset kuantitatif adalah riset yang menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Semuanya harus obyektif dengan diuji dahulu apakah batasan konsep dan alat ukur sudah memenuhi prinsip relialibilitas dan validitas. Dengan kata lain, periset berusaha membatasi konsep atau peubah yang diteliti dengan cara mengarahkan riset dalam setting yang terkontrol, lebih sistematik dan terstruktur dalam sebuah desain riset. Desain riset ini sudah harus ditentukan sebelum riset dimulai. Pendekatan kuantitatif menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2007:53), sangat memperhatikan aspek pengukuran, yaitu bagaimana mengkonversi realitas sosial atau fenomena sosial yang ada ke dalam angka-angka untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan alat statistik tertentu. Menurut Kriyantono (2009:59), survei adalah metode riset dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan datanya. Tujuannya untuk memperoleh informasi tentang sejumlah pemilih yang dianggap mewakili populasi tertentu. Secara umum, metode survei terdiri dari dua jenis, yaitu deskriptif dan eksplanatif (analitik). Jenis survei deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan (mendeskripsikan) populasi yang sedang diteliti. Dalam perkembangannya, metode survei memungkinkan menggunakan wawancara sebagai instrumen riset di samping kuesioner. Tujuannya adalah untuk memperdalam analisis dan interpretasi data. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive), yaitu dengan memilih daerah penelitian berdasarkan ciri atau alasan yang dipandang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti. Pemilihan Kecamatan Cibinong sebagai lokasi penelitian sebagai ibukota Kabupaten Bogor, Kecamatan
43
44
Cibinong menjadi pusat kegiatan perdagangan, pemerintahan dan pembangunan yang paling maju di Kabupaten Bogor. Karakteristik masyarakat Cibinong yang berciri kolektif dan paternalistik tentu memiliki hubungan dengan penggunaan sumber informasi kampanye dengan tingkat partisipasi politik pada pilpres 2014. Penetapan lokasi penelitian di empat kelurahan yaitu Pabuaran, Nanggewer, Sukahati dan Ciriung dilakukan secara sengaja didasarkan atas pertimbangan batas wilayah administratif Kecamatan Cibinong. Waktu penelitian tentang Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dan Partisipasi Politik dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan September–Oktober 2014. Populasi dan Sampel Populasi adalah kumpulan obyek penelitian, sedangkan sampel adalah bagian yang diamati dari suatu kumpulan obyek penelitian tersebut (Rakhmat 2002:78). Populasi dalam penelitian adalah masyarakat yang mempunyai hak pilih pada pilpres tahun 2014 di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilih adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jumlah pemilih terdaftar adalah 204.392 pemilih, yang terdiri dari jumlah pemilih lakilaki 102.573 orang dan pemilih perempuan 101.819 orang, dan disebar di 411 buah Tempat Pemungutan Suara (TPS) (PPK:2014:1). Sampel penelitian diambil di 12 kelurahan yang berbeda di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor terutama wilayah yang sering dijadikan lokasi kampanye, memiliki aksesibilitas tinggi terhadap sumber informasi untuk mengetahui bagaimana corak karakteristik demografis pemilih dan sejauh mana pola penggunaan sumber informasi dalam merespon pesan-pesan kampanye. Jumlah sampel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebanyak 200 pemilih (sampel) dari empat kelurahan. Adapun 50 sampel yang tersebar di empat kelurahan diambil secara sengaja berdasarkan jarak wilayah geografis terdekat dengan pusat kota di Kecamatan Cibinong yang terdiri dari empat klaster wilayah administratif, di antaranya wilayah Utara yang berbatasan dengan Kota Depok diwakilkan oleh Kelurahan Pabuaran; wilayah Selatan yang berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja diwakilkan oleh Kelurahan Nanggewer; wilayah Barat yang berbatasan dengan Kecamatan Bojong Gede diwakilkan oleh Kelurahan Sukahati; dan wilayah Timur yang berbatasan dengan Kecamatan Citeureup diwakilkan oleh Kelurahan Ciriung. Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode purposif, yaitu pengambilan sampel dari anggota populasi dengan pertimbanganpertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Sampling purposif, menurut Rakhmat (2002:81) menggunakan prinsip kerandoman, yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap berdasarkan penilaian tertentu mewakili statistik, tingkat signifikansi, dan prosedur pengujian hipotesis. Jumlah total sampel yang diteliti adalah sebanyak 200 pemilih, dibagi ke dalam empat kelurahan yaitu Pabuaran, Ciriung, Nanggewer dan Sukahati. Masing-masing diambil 50 sampel pemilih per kelurahan secara unproporsionate simple random sampling dengan bantuan aplikasi randomizer. Tujuan pengambilan sampel menggunakan teknik sampling secara acak (sederhana)
45
dikarenakan populasi besar, untuk menghemat biaya, mempermudah peneliti dan mempersingkat waktu penelitian. Data dan Instrumentasi Penelitian Jenis data penelitian yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder, yaitu: 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari pemilih melalui instrumen kuesioner di lokasi penelitian yang disusun berdasarkan peubahpeubah yang diteliti. Data primer dikelompokkan ke dalam tiga kelompok pertanyaan meliputi karakteristik demografis pemilih, tingkat penggunaan sumber informasi kampanye, dan tingkat partisipasi politik. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran hasil-hasil penelitian yang sudah ada, kajian pustaka yang relevan, serta pencatatan data yang telah dikumpulkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, seperti: KPU (Komisi Pemilihan Umum), KPUD (Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Daerah), Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu), BPS (Biro Pusat Statistik), Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bogor), PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), PPS (Panitia Pemungutan Suara), Kecamatan Cibinong, Kelurahan Nanggewer, Kelurahan Sukahati, Kelurahan Ciriung, Kelurahan Pabuaran, RW dan RT setempat dan instansi yang terkait lainnya. Instrumentasi merupakan alat ukur untuk mengumpulkan data. Instrumentasi dalam penelitian ini menggunakan alat bantu kuesioner tertutup berupa daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah dalam penelitian. Kuesioner tersebut terdiri dari tiga bagian utama yakni bagian pertama berisikan item-item pertanyaan terkait dengan karakteristik demografis pemilih; bagian kedua berisikan item-item pertanyaan mengenai penggunaan sumber informasi selama kampanye; bagian ketiga berisi item-item pertanyaan terkait partisipasi politik. Definisi Operasional Definisi operasional peubah adalah penjelasan pengertian mengenai beberapa peubah yang diukur. Dalam rangka memudahkan pemahaman terhadap peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dilakukan perumusan definisi operasional untuk memperjelas pengertian tentang peubah yang diteliti dan cara mengukurnya. Pengukuran pada dasarnya adalah upaya peneliti menghubungkan antara konsep dengan realitas yang diukur. Membangun pengukuran diperlukan proses konseptualisasi dan operasionalisasi sehingga tujuan penelitian tercapai. Konseptualisasi adalah proses menentukan secara tepat apa dimaksudkan ketika menggunakan istilah-istilah khusus. Operasionalisasi dilakukan untuk menjelaskan peubah berdasarkan bangun keterukuran atau definisi operasional. Peubah-peubah tersebut diperjelas dan diubah bentuknya sehingga dapat diukur dan digunakan secara operasional. Indikator dan parameter dituangkan dalam definisi operasional, kemudian dikembangkan dalam bentuk daftar pertanyaan/pernyataan sebagai acuan atau
46
instrumen penelitian. Berikut operasionalisasi peubah yang mencakup tiga peubah utama penelitian, yaitu: 1. Karakteristik demografis pemilih (X 1 ) dapat diukur dengan sub-peubah yang mencakup umur, tingkat pendidikan, pendapatan, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal dan afiliasi politik yang masing-masing dioperasionalkan sebagai: a. Jenis kelamin (X 1.1 ) diukur berdasarkan perbedaan status biologis pemilih dengan skala pengukuran nominal yang dikelompokkan menjadi dua sifat atau kategori yaitu, laki-laki dan perempuan. b. Usia (X 1.2 ) diukur berdasarkan masa hidup yang telah dilalui pemilih sejak lahir sampai saat penelitian, yang diukur berdasarkan skala rasio yang dibedakan menjadi tiga kategori yaitu muda, dewasa dan dewasa lanjut. c. Pendidikan (X 1.3 ) diukur berdasarkan jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh/dicapai pemilih sampai saat penelitian dilakukan. Konstruk pendidikan dihitung berdasarkan tahun lamanya tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti, diukur dengan skala rasio dan dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (Sekolah Dasar/SD dan Sekolah Menengah Pertama/SMP), sedang (Sekolah Menengah Umum/SMU), dan tinggi (Diploma, S1/S2). d. Pendapatan (X 1.4 ) diukur berdasarkan besarnya pengeluaran rata-rata pemilih satu bulan terakhir sampai saat penelitian dilakukan. Diukur menggunakan skala rasio dan dinyatakan dalam satuan rupiah serta dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah (Rp.200.000 – Rp.1.250.000, sedang (Rp.1.300.000-Rp.2.350.000), dan tinggi (Rp.2.500.000-Rp.10.000.000). e. Asal kelahiran (X 1.5 ) diukur berdasarkan daerah asli yang menjadi tempat kelahiran pemilih menggunakan skala nominal dan dinyatakan dalam satuan nama daerah serta dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu asli Cibinong/Bogor dan pendatang (luar Cibinong/Bogor). f. Lingkungan tempat tinggal (X 1.6 ) diukur berdasarkan kondisi daerah pemukiman tempat tinggal pemilih yang dipengaruhi oleh corak mata pencaharian penduduk sekitar sejak berdomisili di Kecamatan Cibinong sampai saat penelitian dilakukan. Diukur menggunakan skala nominal dan dikelompokkan ke dalam empat kategori. g. Afiliasi Politik (X 1.7 ) diukur berdasarkan identifikasi pemilih yang kedekatan hubungan pemilih dengan suatu partai politik (parpol) baik sebagai simpatisan maupun anggota parpol tertentu pada saat penelitian dilakukan. Konstruk afiliasi politik diukur berdasarkan skala nominal dan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu dekat dengan parpol, kurang dekat dengan parpol dan tidak dekat dengan parpol. 2. Penggunaan sumber informasi kampanye (X 2 ) adalah aktivitas seseorang dalam menggunakan media elektronik, media sosial dan saluran interpersonal berdasarkan jumlah sumber informasi, frekuensi dan durasi menggunakan sumber informasi kampanye melalui seluruh perangkat teknologi internet baik melalui handphone, komputer (PC), laptop atau tablet selama masa kampanye tanggal 4 Juni 2014- 5 Juli 2014. Konstruk penggunaan sumber informasi diukur dari tinggi rendahnya tingkat keterdedahan informasi selama kampanye dapat yang dikaji mencakup:
47
a. Jumlah sumber informasi kampanye diukur dari skor, bobot, proporsi atau prosentase sumber informasi kampanye yang diperoleh dari media konvensional, media hibrid dan saluran interpersonal. Pengukuran indikator-indikator penggunaan sumber informasi kampanye pilpres 2014 tanggal 4 Juni- 5 Juli 2014 menggunakan lima skor jawaban, yaitu: 1 = tidak ada, 2 = sedikit, 3 = cukup, 4 = banyak, 5= sangat banyak. Kategori pengukuran peubah penelitian selanjutnya ditranformasikan ke skala ordinal menjadi lima kategori, yaitu tidak ada, sedikit, cukup, banyak dan sangat banyak. Indikator dan parameter tingkat penggunaan sumber informasi kampanye pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Jumlah sumber informasi kampanye, 2014 Indikator Jumlah sumber informasi kampanye
Parameter 1. Media elektronik (elektronik) - Jumlah stasiun televisi swasta nasional yang ditonton selama kampanye. - Jenis program acara atau topik yang ditonton di televisi selama kampanye. - Jumlah program berita, dialog, debat atau talkshow yang ditonton selama kampanye. 2. Media hibrid (new media) - Jumlah aplikasi media sosial yang diakses selama kampanye. - Preferensi topik yang dicari selama kampanye - Jumlah situs berita online, blog dan website yang dicari selama kampanye. 3. Saluran interpersonal - Jumlah saluran interpersonal (kontak dengan keluarga, teman, tetangga dan pemuka pendapat) yang digunakan selama kampanye. - Preferensi topik yang dibicarakan selama kampanye.
b. Frekuensi mengakses sumber informasi kampanye diukur dari jumlah satuan kali penggunaan sumber informasi atau pengulangan terpaan informasi selama kampanye yang diperoleh pemilih dari media konvensional, media hibrid dan saluran interpersonal. Pengukuran indikator-indikator frekuensi mengakses sumber informasi kampanye pilpres 2014 tanggal 4 Juni- 5 Juli 2014 menggunakan tiga skor jawaban, yaitu: 1= tidak pernah, 2= jarang, 3= sering dan 4= selalu. Kategori pengukuran peubah penelitian selanjutnya ditranformasikan ke skala ordinal menjadi empat kategori, yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Indikator dan parameter tingkat penggunaan sumber informasi kampanye pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Frekuensi sumber informasi kampanye, 2014
48
Indikator
Parameter
Frekuensi sumber informasi kampanye
1. Media elektronik (televisi) - Jumlah satuan kali menonton televisi selama kampanye. - Pilihan waktu menonton televisi selama kampanye 2. Media hibrid (new media). - Jumlah satuan kali mengakses (update status, tweet dan re-tweet) melalui media sosial selama kampanye. - Jumlah satuan kali berkomentar atau menyukai (status/ tweet/ tulisan/ video) dalam media sosial selama kampanye. - Jumlah aktivitas dalam mem-posting atau meng-upload gambar tentang pemilu selama kampanye - Jumlah aktivitas menonton video tentang pemilu. - Jumlah aktivitas dalam membaca berita politik/ mencari informasi tentang pemilu di situs online, blog atau website selama kampanye. - Jumlah aktivitas dalam berinteraksi atau chatting dalam forum online selama kampanye. 3. Saluran interpersonal - Jumlah satuan kali tatap muka dengan keluarga ( orang tua, suami/ isteri, adik, kakak dan saudara lainnya) selama kampanye. - Jumlah aktivitas berdiskusi, bertanya, mencari informasi atau meminta masukan/ pendapat tentang capres/ cawapres pilihan selama kampanye. - Jumlah satuan kali ajakan atau himbauan untuk memilih kandidat tertentu.
c. Durasi mengakses sumber informasi kampanye diukur dari lamanya waktu atau jumlah satuan jam penggunaan sumber informasi selama kampanye yang diperoleh pemilih dari media konvensional, media hibrid dan media interpersonal. Pengukuran indikator-indikator durasi mengakses sumber informasi kampanye pilpres 2014 tanggal 4 Juni- 5 Juli 2014 menggunakan lima skor jawaban, yaitu: 1= tidak pernah, 2= sebentar, 3= cukup lama, 4= lama, dan 5= sangat lama. Kategori pengukuran peubah penelitian selanjutnya ditranformasikan ke skala ordinal menjadi lima kategori, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Indikator dan parameter tingkat penggunaan sumber informasi kampanye pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Durasi Mengakses Sumber Informasi Kampanye, 2014
49
Indikator Durasi mengakses sumber informasi kampanye
3.
Parameter 1. Media elektronik (televisi) - Jumlah satuan jam setiap menonton televisi selama kampanye. 2. Media hibrid (new media) - Jumlah satuan jam (lamanya waktu) mengakses setiap kali mengakses media sosial selama kampanye. - Jumlah satuan jam setiap kali menonton video tentang Pemilu selama kampanye. - Jumlah satuan jam setiap kali membaca berita/ mencari informasi tentang pemilu di situs online, blog atau website selama kampanye. - Jumlah satuan jam dalam berinteraksi atau chatting dalam forum online selama kampanye. 3. Saluran interpersonal - Jumlah satuan jam (lamanya waktu) tatap muka dengan keluarga, teman, tetangga dan pemuka pendapat selama kampanye. - Jumlah satuan jam dalam mendiskusikan topik tentang Pemilu (calon yang diunggulkan). - Jumlah aktivitas bertanya, mencari informasi atau meminta masukan/ pendapat tentang capres/ cawapres pilihan selama kampanye.
Partisipasi politik (Y 1 ) diukur dari keikutsertaan yang dilakukan oleh pemilih untuk terlibat dalam seluruh tahapan pilpres 2014. Konstruk tingkat partisipasi politik diukur dari keterlibatan dalam kampanye, keterlibatan dalam pengawasan pemilu, dan keterlibatan dalam memberikan suara. Indikator tingkat partisipasi politik yang dikaji mencakup: a. Keterlibatan dalam kampanye diukur dari tingkat keaktifan pemilih yang terlibat dalam penyelenggaraan kampanye pilpres 2014 tanggal 4 Juni- 5 Juli 2014. b. Keterlibatan memberikan suara diukur dari tingkat keaktifan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara pilpres tanggal 9 Juli 2014 di Kecamatan Cibinong. c. Keterlibatan mengawasi pemilu diukur dari tingkat keaktifan pemilih dalam mengawasi seluruh tahapan pilpres 2014 Kecamatan Cibinong dari tahap persiapan, pelaksanaan sampai penyelesaian. Pengukuran indikator tingkat keterlibatan dalam kampanye pilpres 2014 yang diukur dengan menggunakan empat skor jawaban, yaitu: 1 = apatis, 2 = kurang aktif, 3 = cukup aktif, 4= aktif dan 5= sangat aktif. Kategori pengukuran peubah penelitian selanjutnya ditranformasikan ke skala ordinal menjadi empat kategori, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.
Tabel 4 Partisipasi politik, 2014
50
Indikator a. Keterlibatan dalam kampanye
Parameter -
b. Keterlibatan memberikan suara
-
-
c. Keterlibatan mengawasi pemilu
-
Tingkat keaktifan menghadiri kampanye terbuka. Tingkat keaktifan menyumbang untuk kegiatan kampanye. Tingkat keaktifan membagikan alat peraga/umbulumbul/tanda gambar pasangan calon. Tingkat keaktifan memakai atribut/lambang/simbol salah satu pasangan calon. Tingkat keaktifan mengajak/menghimbau orang lain mengikuti kampanye terbuka. Tingkat keaktifan menjaga keamanan dan ketertiban jalannya kampanye. Tingkat keaktidan mencari tahu dan menyebarkan materi kampanye meliputi visi, misi dan program pasangan calon.
Tingkat keaktifan dalam memberikan suara pada pemilu. Tingkat kekatifan mengajak/ menghimbau orang lain untuk memberikan suara. Tingkat keaktifan mendukung sistem pemilu secara langsung/dipilih langsung oleh rakyat Tingkat keaktifan mendukung hasil pemilu yaitu penetapan pasangan calon terpilih.
Tingkat keaktifan menegur jika ada oknum calon yang membagikan sembako/uang/mukena/kaos dan lain-lain. Tingkat keaktifan melaporkan ke pihak yang berwenang (RT/RW/PPK) jika menemukan kecurangan baik dalam kampanye maupun pemilihan. Tingkat keaktifan memberi masukan/ ide untuk kesuksesan pemilihan pada pihak yang berwenang (RT/RW/PPK). Tingkat keaktifan memantau jumlah perhitungan suara tingkat Kecamatan/ nasional. Tingkat keaktifan mengikuti jalannya sidang sengketa pilpres 2014.
Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi Menurut Rakhmat (2002:17), bila seorang peneliti mulai mengukur gejala yang ditelitinya, ia berhadapan dengan persoalan reliabilitas dan validitas alat ukur yang digunakannya. Dalam penelitian ilmiah, kedua syarat alat ukur ini sangat penting. Tanpa keduanya, penelitian tidak lagi bersifat ilmiah. Validitas menurut Rakhmat (2002:19) berarti kesucian alat ukur dengan apa yang hendak kita ukur. Ada tiga macam validitas yaitu validitas isi, validitas prediktif dan validitas konstruk. Secara umum, validitas riset kuantitatif menurut Kriyantono
51
(2009:68) terletak pada penentuan metodologinya. Dalam konteks penelitian ini,validitas alat ukur yang digunakan adalah validitas konstruk. Untuk menguji apakah instrumen yang digunakan, dalam hal ini kuesioner memenuhi persyaratan validitas, pada dasarnya dengan cara menghitung korelasi Pearson. Cara analisisnya dengan cara menghitung koefisien korelasi antara masing-masing nilai pada nomor pertanyaan dengan nilai total dari nomor pertanyaan tersebut. Selanjunya, koefisien korelasi yang diperoleh r masih harus diuji signifikansinya bisa menggunakan uji t atau membandingkannya dengan r tabel. Bila t hitung > dari t tabel atau r hitung > dari r tabel, maka nomor pertanyaan tersebut valid. Bila menggunakan program komputer, asalkan r yang diperoleh diikuti p < 0,05 berarti nomor pertanyaan itu valid.
a. b. c. d. e.
Kurang dari 0,20 0,20 – 0,40 0,40 – 0,70 0,70 – 0,90 Lebih dari 0,90 diandalkan.
= = = = =
hubungan rendah sekali hubungan rendah tapi pasti hubungan yang cukup berarti hubungan yang tinggi hubungan sangat tinggi; kuat sekali; sangat
Uji Validitas instrumen penelitian dilakukan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson, diperoleh hasil nilai r hitung = 0,109– 0.859 > nilai r 0.05 = 0,361, di mana terdapat 7 item yang tidak valid, 2 dibuang dan 5 dimodifikasi, sehingga dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian sahih. Nilai r tabel dengan N=30 adalah 3,61, sehingga nilai yang terdapat pada kolom Corrected Item-Total Correlation yang lebih kecil dari r tabel (0,361), maka item pertanyaan perlu diperbaiki. Sebaliknya, nilai yang terdapat pada kolom Corrected Item-Total Correlation yang lebih besar dari r tabel (0,361) artinya item/ pertanyaan termasuk valid. Berdasarkan hasil uji validitas yang dilakukan, terdapat lima (5) item/ pertanyaan yang dimodifikasi, antara lain: pertanyaan pada bagian IIA nomor 1 di bagian peubah penggunaan sumber informasi kampanye tentang jumlah stasiun televisi yang ditonton selama kampanye. Pilihan jawaban lebih dari dua stasiun televisi diganti menjadi tiga stasiun televisi; bagian IIC nomor 25 yang mempertanyakan tentang frekuensi tatap muka dengan orang tua selama kampanye diganti menjadi frekuensi tatap muka untuk membicarakan pilpres 2014 dengan orang tua; selanjutnya pertanyaan bagian IIC nomor 26, IIC nomor 27 dan IIC nomor 35 tentang frekuensi tatap muka dengan saluran interpersonal selama kampanye ditambah redaksinya menjadi frekuensi tatap muka untuk membicarakan pilpres 2014 dengan saluran interpersonal.
52
Sementara uji validitas dari item/pertanyaan dari peubah partisipasi politik III nomor8 tentang memberikan suara sesuai dengan tata cara mencoblos yang menunjukkan nilai validitas 0,273 tersebut harus dibuang. Selanjutnya, pertanyaan III nomor10 tentang memilih pejabat daerah secara langsung melalui pilkada diganti menjadi penetapan bupati, wakil bupati dan walikota melalui pemilihan secara langsung. Reliabilitas artinya memiliki sifat dapat dipercaya. Suatu alat ukur dinyatakan memiliki realibilitas apabila digunakan berkali-kali oleh peneliti yang sama dan oleh peneliti yang lain tetap memberikan hasil yang sama (Forcese dan Richer 1973:71). Menurut Rakhmat (2002:17-18), ada tiga cara untuk menentukan relialibilitas yaitu antaruji, antarbutir dan antarpenilai. Reliabilitas antarpenilai biasanya dinyatakan dengan angka kesepakatan di antara penilai. Untuk mencapai reliabilitas alat ukur yang maksimal maka akan dilakukan penyempuraan instrumen melalui pengujian terhadap pemilih yang terdiri dari 30 jumlah pemilih yang tersebar di empat kelurahan di Kecamatan Cibinong. Dalam penelitian ini untuk menguji reliabilitas dari kuesioner peneliti menggunakan metode Alpha Cronbach. Peubah yang diteliti dinyatakan reliabel apabila nilai Alpha Cronbach “α” adalah lebih besar dari r tabel. Rumus ini ditulis seperti berikut.
k ∑ σb ) α =( )(1 − (σ 2t ) k −1 2
Keterangan: α : Koefisien Alpha Cronbach k : Jumlah butir pertanyaan ∑σ b 2 : Jumlah varian butir σt2 : Jumlah varian total Kriteria: Instrument dikatakan reliabel: Jika α > r tabel (df: α, n-2) Berdasarkan uji reliabilitas instrumen penelitian dari peubah penggunaan sumber informasi kampanye dengan metode alpha Cronbach dan diolah menggunakan statistical package for social science (SPSS) for Windows versi 22.0, diperoleh nilai Alpha Cronbach sebesar 0,951 dan peubah partisipasi politik sebesar 0,934 dari total 38 pertanyaan yang berarti sangat reliabel.
53
Pengumpulan Data Penentuan teknik atau metode pengumpulan data merupakan kelengkapan atau pengembangan metode riset yang dipilih agar data bisa dikumpulkan. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar koding (coding sheet). Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa cara yaitu: 1. Kuesioner (questioner), yaitu sejumlah pertanyaan tertutup dan terbuka untuk mengukur peubah penelitian yang ditujukan bagi pemilih. Pengisian kuesioner dilakukan oleh pemilih yaitu masyarakat Kecamatan Cibinong. Tujuannya adalah guna memperoleh data tentang: karakteristik demografis pemilih ( ), tingkat penggunaan sumber informasi kampanye ( ) dan tingkat partisipasi politik ( ). 2. Wawancara (interview), yaitu melakukan tanya jawab lisan secara langsung dengan pemilih untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. 3. Dokumentasi (documentation), yaitu mengumpulkan data dengan cara penelusuran dan pencatatan data, dokumen, arsip, maupun referensi yang relevan di instansi yang ada kaitannya dengan penelitian. Pengolahan dan Analisis Data Data dapat dianalisis dengan menggunakan tabulasi silang atau tabel yang biasa. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan seperti dalam bentuk tabel. Analisis data yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian menggunakan dua macam teknik analisis data yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Analisis deskriptif menggunakan tabel distribusi frekuensi, persentase, nilai rata-rata skor jawaban pemilih dan total rataan skor. Alat analisis statistik inferensial yang digunakan adalah uji korelasi rank Spearman. Hal ini sesuai dengaan model uses and effect yang menjelaskan perilaku pemilih sebagai objek penelitian dengan cara mengukur penggunaan media (terpaan media) sebagai salah satu kebutuhan kemudian menimbulkan efek media. Aspek terpaan media yang diukur diantaranya waktu dan jenis-jenis isi media yang diikuti. Berdasarkan pada tujuan penelitian, model teoritis yang dikembangkan dan hipotesis yang diajukan, maka untuk keperluan deskripsi penelitian di pergunakan interpretasi data dari masing-masing peubah. Hasil perhitungan skor untuk melihat sebaran pada masing-masing peubah. Interpretasi data dilakukan atas hasil perhitungan skor dengan instrumen kuesioner melalui kriteria interpretasi skor dengan uji Rank-Order (Spearman’s Rho Rank-Order Correlations). Teknik ini digunakan untuk mencari koefisien korelasi antara data ordinal/ interval dan data ordinal lainnya. Dalam teknik ini, setiap data dari peubah-variebel yang diteliti harus ditetapkan peringkatnya dari yang terkecil sampai terbesar sebagai berikut : Keterangan: rs n
= Nilai koefisien korelasi rank Spearman = Selisih tiap pasangan rank = Banyaknya pasangan data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu kota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas sekitar 2.301,95 km² terletak di antara 6.19°-6.47° lintang selatan dan 106°1-107°103’ bujur timur. Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kota Depok di sebelah utara, Kabupaten Purwakarta di sebelah timur, Kabupaten Sukabumi di sebelah selatan, Kabupaten Lebak di sebelah barat, Kabupaten Tangerang di sebelah barat daya, Kabupaten Bekasi di sebelah timur laut, Kabupaten Cianjur di sebelah tenggara. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 16 kelurahan, 430 desa, 3.882 RW dan 15.561 RT. Dari jumlah tersebut, mayoritas desa yakni 235 desa berada pada ketinggian sekitar kurang dari 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan 145 desa berada di antara 500–700 m dpl dan sisanya 50 desa berada di atas ketinggian lebih dari 700 m dpl. Kecamatan Cibinong adalah salah satu organisasi perangkat daerah di Kabupaten Bogor yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Bogor dengan kondisi bentangan lahan dataran. Kecamatan Cibinong terletak pada ketinggian 120 -140 Meter di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2.15-2.65 mm/tahun dan suhu antara 22 C°–31 C°. Luas wilayah Kecamatan Cibinong adalah 4.243,023 Ha dengan batas wilayah kerja sebagai berikut : Sebelah Utara : Kota Depok Sebelah Selatan : Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Babakan Madang Sebelah Barat : Kecamatan Bojonggede Sebelah Timur : Kecamatan Citeureup Jumlah penduduk berdasarakan laporan setiap kelurahan sampai bulan Desember 2009 sebanyak 267.681 jiwa, terdiri dari 135.222 laki-laki dan 132.459 perempuan dengan kepala keluarga sebanyak 80.156 KK. Sektor lapangan usaha masyarakat Kecamatan Cibinong, tidaklah berbeda dengan sektor lapangan yang ada di wilayah Kecamatan lainnya di Kabupaten Bogor. Tiap sektor lapangan usaha senantiasa membawa pengaruh bagi peningkatan dan penurunan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) masyarakat, yang secara tidak langsung akan berpengaruh pula bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sementara jenis pekerjaan tersebut di atas, dikelompokkan ke dalam kategori sektor primer (pertanian, peternakan, dan perkebunan), sektor sekunder (industri, pengolahan, pengrajin) dan sektor tersier (bangunan, perdagangan, hotel/restoran, jasa dan jasa perusahaan), maka struktur perekonomian masyarakat Cibinong didominasi kelompok sektor sekunder dan tersier yang didukung oleh sektor primer. Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan wilayah, perencanaan yang ditetapkan harus berpijak kepada struktur sosial yang ada sehingga program yang ditetapkan akan sejalan dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dengan ciri masyarakat perkotaan. Dalam program pembangunan daerah Kabupaten Bogor, dengan mempertimbangkan perkembangan wilayah, karakteristik wilayah, dan pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional, Kecamatan Cibinong termasuk ke dalam 55
56
wilayah pembangunan tengah yang merupakan simpul-simpul jasa distribusi barang dan jasa serta pendorong pengembangan wilayah. Sedangkan bila dilihat berdasarkan karakteristik wilayah, Kecamatan Cibinong merupakan wilayah pusat pemerintahan Kabupaten Bogor dengan kondisi pengembangan yang sangat bervariasi, diantaranya untuk pengembangan pertanian, perkotaan, perumahan, industri, perdagangan, perkantoran dan jasa. Berdasarkan potensi Kecamatan Cibinong, luas tanah yang paling tinggi tingkat penggunaannya secara berurutan (dalam satuan ha) adalah pemukiman, fasilitas umum, ladang/tegalan dan perkebunan. Sebagai wilayah pengembangan perumahan, industri, perdagangan, perkantoran dan jasa di Kabupaten Bogor, potensi pengembangannya banyak didukung oleh letak geografis Kecamatan Cibinong yang berdekatan dengan akses jalan tol menuju Kota Bogor dan Propinsi DKI Jakarta. Letak Kecamatan Cibinong yang sangat strategis, maka spesifikasi Kecamatan Cibinong sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Bogor memerlukan pengembangan infrastruktur yang melengkapi kedudukannya sebagai ibukota kabupaten dan pemenuhan kebutuhan masyarakatnya yang majemuk. Hal ini tentunya dapat didukung dengan luasan lahan dan wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan perkotaan. Penjelasan lebih rinci mengenai luas tanah dan penggunaan tanah Kecamatan Cibinong dapat dilihat di Tabel 5. Tabel 5 Luas tanah dan penggunaan tanah Kecamatan Cibinong, 2014 No.
1. 2.
3.
4. 5. 6. 7.
8. 9.
Penggunaan tanah
Permukiman Fasilitas Umum a. Perkantoran b. Sekolah c. Pertokoan/Perdagangan d. Pasar e. Terminal f. Tempat Peribadatan g. Kuburan/Makam h. Jalan i. Taman Rekreasi j. Lapangan Olah Raga k. Lain-Lain Pertanian Sawah a. Pengairan Teknis (irigasi) b. Pengairan setengah Teknis c. Irigasi Pedesaan d. Tadah Hujan Ladang/Tegalan Perkebunan Hutan Perikanan Darat/Air Tawar a. Tambak b. Kolam c. Empang Rawa/Situ Lain-lain
Luas (dalam ha)
1.990,720
Sumber : Potensi Kecamatan Cibinong (Monografi Kecamatan Cibinong 2014:1)
140,3 41,95 69,45 14 8 51,86 54 223,04 10,5 147,16 29,11 57,1 102 12,12 27,8 465,16 433,4 20 2,85 14,96 125,01 114,5 135,35
57
Terkait dengan pelaksanaan pilpres 2014, data sertifikat rekapitulasi dan rincian perhitungan perolehan suara dari setiap desa atau kelurahan di tingkat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014 menyebutkan bahwa jumlah pemilih terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah sebanyak 204.392 pemilih, yang terdiri dari 102.573 pemilih laki-laki dan 101.819 pemilih perempuan dan disebar di 411 buah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sementara lokasi penelitian terpusat di empat kelurahan yang ditetapkan secara purposif berdasarkan batas wilayah kerja secara geografis diantaranya: Sebelah Utara : Kelurahan Pabuaran (Kota Depok) Sebelah Selatan : Kelurahan Nanggewer (Kecamatan Sukaraja) Sebelah Barat : Kelurahan Sukahati (Kecamatan Bojong Gede) Sebelah Timur : Kelurahan Ciriung (Kecamatan Citeureup) Partisipasi Politik Partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang bertujuan memengaruhi kebijakan pemerintah. Sebagaimana Marliana Tarigan (2009:29) dalam tesisnya berjudul Partisipasi Politik Masyarakat Kabupaten Temanggung Dalam Pelaksanaan pilkada tahun 2008, menyimpulkan bahwa partisipasi politik adalah suatu rangkaian kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat baik langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan masyarakat. Sebagai demokrasi prosedural, keberhasilan pemilu antara lain bisa diukur tingkat partisipasi (Najib 2004:x). Bentuk partisipasi politik yang paling nyata di Indonesia mengacu pada semua kegiatan seseorang atau sekelompok orang secara sukarela untuk ikut serta aktif dalam pemilihan umum, salah satunya pilpres 2014. Pengertian tingkat partisipasi politik bukan hanya diukur dari besar kecilnya jumlah pemilih tapi lebih berorientasi pada tinggi rendahnya keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam seluruh tahapan pilpres 2014. Penyelenggaraan pilpres 2014 berpedoman pada tahapan, program dan jadwal sebagaimana diatur dalam peraturan KPU. Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tahapan Pilpres Pasal 4 dibagi ke dalam tiga proses yaitu tahapan persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian. Sejalan dengan Samuel P. Huntington dan Joan Nelson yang membagi salah satu bentuk partisipasi politik ke dalam kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif (Setiowati 2014:8). Indikator partisipasi politik dalam penelitian ini dapat dilihat secara tahapan keseluruhan dimulai dari (a) keterlibatan dalam kampanye, (b) keterlibatan dalam memberikan suara dan (c) keikutsertaan mengawasi pemilu. Studi-studi tentang partisipasi yang dikutip dari Tarigan (2009:41) dapat menggunakan skema-skema klasifikasi yang agak berbeda-beda, salah satunya kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Tercapainya tingkat partisipasi politik pada pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong dlihat dari rataan skor masing-masing indikator. Nilai rataan skor masing-masing indikator selanjutnya dibagi menjadi tiga kategori yakni rendah, sedang dan
58
tinggi. Rataan skor dan kategori tingkat partisipasi politik secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Sebaran rataan skor dari peubah tingkat partisipasi politik, 2014 Tingkat partisipasi politik
Rataan skor*
Keterlibatan dalam kampanye Keterlibatan memberikan suara Keterlibatan mengawasi pemilu
1,71 2,28 1,96
*
Rentang skor 1,00-2,17 = rendah; 2,18-3,35= sedang; 3,36-4,53 =tinggi
Tabel 6 memberikan gambaran spesifik bagaimana pelaksanaan tahap persiapan pilpres 2014 yang diukur dari dimensi keterlibatan dalam kampanye. Kecenderungan dimensi keterlibatan dalam kampanye tergolong rendah (skor 1,71) dalam tingkat partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Sementara dimensi keterlibatan memberikan suara dalam Pilpres Tahun 2014 dinilai sedang atau cukup aktif yaitu mencapai skor 2,28. Sejalan dengan dimensi keterlibatan memberikan suara, dimensi keterlibatan mengawasi pemilu dalam peubah tingkat partisipasi politik masih dikategorikan rendah dengan sebaran skor sebesar 1,96. Dengan kata lain, kesadaran masyarakat Kecamatan Cibinong dalam menggunakan hak pilih relatif lebih baik dibandingkan dengan keterlibatan kampanye maupun inisiatif mengawasi pemilu. Dari hasil wawancara dengan para pemilih, penulis menyimpulkan bahwa terdapat kecenderungan pemilih pasif, artinya tidak memahami sosialisasi pentingnya proses demokrasi pilpres dimulai tahap persiapan kampanye sampai pengawasan pemilu. Pemilih beranggapan bahwa antusiasme warga dalam pilpres hanya pada hari perhitungan suara atau tahap keterlibatan memberikan suara di mana hak pilih memengaruhi rekapitulasi perhitungan suara di tingkat kecamatan bahkan nasional. Apalagi selama ini kegiatan kampanye dan fungsi pengawasan pemilu seringkali diwarnai politik uang (money politic) yang menghubungkan elit politik dari parpol tertentu dengan massanya di daerah. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ferdinando S Pardede, SIP, Kasubag Teknis Pemilu dan Hupmas KPUD Kabupaten Bogor dalam kutipan wawancaranya berikut ini. “Partisipasi politik sebenarnya tidak perlu pakai kuesioner, karena data di kita itu berdasarkan hasil rekapitulasi suara. Apalagi dalam kasus pilpres 2014 termasuk kategori tinggi yaitu 82,2%. Cara menghitung partisipasi politik itu gampang, jumlah DPT (suara sah dan tidak sah) dibandingkan dengan jumlah DPT secara total di Kecamatan. Tingkat partisipasi politik di Cibinong itu sebenarnya prestasi karena memang trennya itu untuk Cibinong terutama daerah-daerah urban cenderung rendah. Tapi untuk pilpres 2014 ini memang meningkat secara signifikan.”
1. Keterlibatan dalam Kampanye Keterlibatan dalam kampanye diukur dari tingkat keaktifan pemilih yang terlibat dalam penyelenggaraan kampanye pilpres 2014 pada tanggal 4 Juni-5 Juli Tahun 2014. Keterlibatan dalam kampanye pilpres 2014 merupakan salah satu tahapan persiapan dan pelaksanaan yang menjadi tolak unsur keberhasilan strategi
59
marketing politik. Artinya, untuk melihat tingkat partisipasi politik dalam suatu masyarakat, maka relevansinya ialah mengukur keterlibatan dalam kampanye. Hasil yang diharapkan dalam tahap persiapan dan pelaksanaan kampanye pilpres tahun 2014 ialah tingginya tingkat keaktifan masyarakat selama kegiatan kampanye tersebut. Berangkat dari hal tersebut maka keterlibatan dalam kampanye merupakan aspek pertama yang menjadi ukuran dari tingkat partisipasi politik. Tabel 6 di atas memberikan gambaran spesifik bagaimana kecenderungan dimensi keterlibatan dalam kampanye. Kecenderungan dimensi keterlibatan dalam kampanye tergolong rendah dalam tingkat partisipasi politik, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Hal tersebut telihat dari sebaran rataan skor sebesar 1,71 dan masuk kategori rendah. Artinya, tingkat keaktifan masyarakat Cibinong selama pelaksanaan kampanye pilpres 2014 dinilai kurang sesuai dengan hasil yang diharapkan pemerintah. Dengan kata lain, keterlibatan dalam kampanye yang dilihat dari sebaran tingkat keaktifan dalam menghadiri kampanye, menyumbang dana kampanye, membagikan alat peraga, memakai atribut, mengajak orang lain mengikuti kampanye, menjaga keamanan kampanye, dan menyebarkan materi kampanye, belum memenuhi harapan KPU, KPUD maupun pemerintah. Menurut Najib (2004:xii), dalam pelaksanaan kampanye tentu membutuhkan dana dalam jumlah besar. Sangat dimungkinkan bagi partai politik untuk menggunakan dana kampanye yang bersumber dari uang kas partai politik, sumbangan dari para calon legislatif (caleg) maupun sumbangan dari pihak lain. Sementara Bawono (2008:31) dalam Carolina (2005:1) berpendapat bahwa partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuat kebijakan pemerintah. Sebaran frekuensi dan persentase dimensi keterlibatan dalam kampanye untuk mengukur tingkat partisipasi politik dapat digambarkan melalui item-item pertanyaan yang menjadi dasar penyusunan kuesioner dalam Tabel 7 di bawah ini: Tabel 7 Sebaran rataan skor dari indikator keterlibatan dalam kampanye, 2014 Keterlibatan dalam kampanye Mengikuti kampanye terbuka Menyumbang materiil kegiatan Membagikan alat peraga Membagikan atribut calon Mengajak mengikuti kampanye terbuka Menjaga keamanan kampanye Mencari tahu materi kampanye
Rataan skor* 1,78 1,46 1,53 1,86 1,56 2,05 1,70
*Rentang skor 1,00-2,23 = kurang aktif; 2,24-3,47 = cukup aktif; 3,48-4,71 = aktif
Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa rataan skor dalam mengikuti kampanye terbuka hanya 1,78 persen atau tergolong kurang aktif. Sementara frekuensi masyarakat yang sangat aktif dalam mengikuti kampanye terbuka hanya 2,00 persen. Artinya, hanya sekitar 4 dari 96 pemilih yang mengikuti kampanye terbuka. Sementara hanya sekitar 1.0 persen pemilih yang
60
sangat aktif membagikan atribut kampanye dan 1.0 persen yang sangat aktif mencari tahu materi kampanye seperti visi misi, tahapan, program kerja dan jadwal pelaksanaan pilpres 2014. Dari tabel ini dapat diperoleh gambaran bahwa mayoritas masyarakat Cibinong cenderung apatis (tidak peduli) dalam pelaksanaan kampanye pilpres tahun 2014. Bagian terendah adalah mereka yang kurang aktif. Kelompok apatis menurut Tarigan, sebetulnya tidak termasuk dalam piramida karena tidak mengikuti permainan tersebut. Namun demikian agak sulit mengabaikan bentuk ini mengingat dalam realitas politik, kelompok itu memang eksis dan terkadang membawa pengaruh politik (Tarigan 2009:40). Namun, fakta lain yang mengemuka melalui wawancara dengan beberapa narasumber, adalah minimnya sosialisasi dan publikasi dari KPU, KPUD sehingga informasi tahapan, program dan jadwal kampanye tidak dapat diakses secara maksimal. Salah satu faktor penyebab diantaranya adalah kurangnya dialog dan koordinasi antara KPU, Bawaslu, KPUD dengan perangkat desa (Ketua RT, Ketua RW, Ketua PPK, PPS, serta tokoh masyarakat) yang dapat menyalurkan aspirasi, gagasan dan evaluasi terkait pelaksanaan pemilu. Tarigan (2009:49) mengatakan bahwa individu memperoleh orientasi politik dan pola tingkah-laku politiknya melalui proses sosialisasi politik, dan pengalamannya mengenai gejala sosial dan politik melalui berbagai tingkatan dan tipe partisipasi politik (atau melalui ketidakikutsertaanya dalam partisipasi sedemikian itu), merupakan bagian dari proses sosialisasi yang berkesinambungan, serta merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi partisipasinya di kemudian hari. 2. Keterlibatan Memberikan Suara Keterlibatan memberikan suara merupakan salah satu dimensi yang menjadi indikator dari tingkat partisipasi politik. Penelitian ini melihat dimensi keterlibatan memberikan suara sebagai bentuk nyata tercapainya partisipasi politik dalam pilpres 2014. Dengan kata lain, dimensi keterlibatan memberikan suara melihat sejauh mana pemilih yang terlibat dalam memberikan aspirasi, dukungan, pendapat termasuk menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara di dalam pilpres 2014 tercapai secara baik. Jika melihat data pada Tabel 8, sebaran skor untuk dimensi keterlibatan memberikan suara sebagai salah satu indikator pencapaian tingkat partisipasi politik dinilai masuk dalam kategori sedang dengan perolehan angka 2,28. Kondisi ini menjelaskan bahwa di dalam pilpres 2014 ada kecenderungan peningkatan partisipasi politik di mana saluran aspirasi pemilih dalam memberikan suara telah bekerja cukup optimal. Guna dapat mencermati lebih jauh terkait dimensi keterlibatan memberikan suara, lebih jelasnya dapat dilihat itemitem pertanyaan kuesioner dalam Tabel 8:
61
Tabel 8 Sebaran rataan skor dari indikator keterlibatan memberikan suara, 2014 Keterlibatan memberikan suara Mengajak/ menghimbau orang lain untuk memberikan suara Mendukung penetapan bupati, wakil bupati dan walikota melalui pemilihan secara langsung Mendukung penetapan hasil pemilu secara nasional
Rataan skor* 2,06 2,33 2,44
*
Rentang skor 1,00-2,33 = kurang aktif; 2,34-3,67 = cukup aktif; 3,68-5,00 = aktif
Salah satu tujuan masyarakat terlibat dalam kegiatan pemilihan umum (pilpres 2014) ialah keterlibatannya dalam memberikan suara atau pendapat terkait penyelenggaraan pilpres 2014 antara lain mengajak atau menghimbau orang lain untuk memberikan suara atau menggunakan hak pilih, mendukung penetapan bupati, wakil bupati dan walikota melalui pemilihan secara langsung, serta mendukung penetapan hasil pemilu secara nasional. Menurut Romli (2008:1), dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, rakyat berpartisipasi langsung menentukan pemimpin daerah. Pilkada langsung juga merupakan wujud nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas. Melalui pemilihan secara langsung, kepala daerah harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat. Pilkada langsung lebih accountable, karena rakyat tidak harus ‘menitipkan’ suara melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tetapi dapat menentukan pilihan berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan. Terdapat sejumlah kelebihan pilkada langsung, antara lain: (1) memutus politik oligarki oleh sekelompok elit politik dalam penentuan kepala daerah; (2) memperkuat checks and balances dengan DPRD; (3) legitimasi yang kuat, karena langsung mendapat mandat dari rakyat; (4) menghasilkan kepala daerah yang akuntabel; dan (5) menghasilkan kepala daerah yang lebih peka dan responsif terhadap tuntutan rakyat. Berdasarkan Tabel 8 di atas tergambar bahwa dimensi keterlibatan memberikan suara dalam pilpres 2014 dinilai cukup aktif. Hal ini terlihat dari skor jawaban pemilih di data frekuensi terpusat pada jawaban 1(apatis), 2(kurang aktif) dan 3(cukup aktif). Artinya, keterlibatan memberikan suara yang tergolong cukup aktif telah memenuhi standar tingkat partisipasi politik masyarakat tapi perlu dipertahankan prestasinya pada pemilu atau pilpres mendatang melalui pendidikan politik. Sesuai dengan pandangan Bawono (2008:43) dalam tesisnya yang berjudul Persepsi dan Perilaku Pemilih Terhadap Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum Legislatif 2004 di Kabupaten Nganjuk, bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah. Kesadaran politik ialah kesadaran sebagai warga negara atau perilaku memilih dalam menggunakan hak pilihnya. Sedangkan kepercayaan kepada pemerintah, menyangkut persepsi warga negara/ masyarakat terhadap sistem pilpres yang digunakan. Persepsi tersebut meliputi persepsi terhadap kemampuan individu untuk mengamati stimulus yang menyangkut pengetahuan, sikap dan tanggapantanggapan tentang pemilu.
62
3. Keterlibatan Mengawasi Pemilu Keterlibatan mengawasi merupakan dimensi ketiga yang menjadi ukuran dari tingkat partisipasi politik. Keterlibatan mengawasi pemilu direpresentasikan melalui sikap seseorang yang secara sukarela menjalankan fungsi tahapan penyelesaian pilpres 2014 dimulai keaktifannya menegur oknum calon yang melakukan politik uang (moneypolitic) dengan membagikan sembako, uang dan sejenisnya; keaktifan melaporkan kecurangan baik dalam kampanye maupun pemilihan; keaktifan memberi masukan atau ide kepada pihak yang berwenang terkait kesuksesan pilpres 2014; keaktifan memantau jumlah perhitungan suara (rekapitulasi suara) di tingkat Kecamatan Cibinong maupun nasional; dan keaktifan mengikuti jalannya sidang sengketa pilpres 2014. Menurut Najib (2004:xii), perubahan sistem pemilu dari sistem proporsional dengan daftar tertutup menjadi sistem proporsional dengan daftar terbuka yang diintrodusir dalam pemilu 2004 membawa konsekuensi pada merebaknya praktek politik transaksional dalam bentuk politik uang. Dari pemilu ke pemilu kecenderungan praktek politik uang selalu meningkat. Sementara, menurut Bawono (2008:256), untuk menuju pemilu yang demokratis dengan partisipasi yang tinggi dari masyarakat diperlukan adanya upaya pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan adanya strategi pemberdayaan masyarakat yang lebih sesuai agar dalam melakukan pengembangan masyarakat dalam pendidikan politik dan demokratisasi dapat berhasil dengan baik. Sejalan dengan dimensi keterlibatan memberikan suara, dimensi keterlibatan mengawasi pemilu dalam peubah tingkat partisipasi politik masih dikategorikan rendah dengan sebaran skor sebesar 1,96. Dengan kata lain, tingkat keaktifan atau keikutsertaan masyarakat Kecamatan Cibinong dalam memberikan suara dan mengawasi pemilu relatif lebih baik dibandingkan dengan dimensi keterlibatan dalam kampanye. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa antusiasme anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam pilpres 2014 tergolong rendah. Bentuk sikap atau semangat yang nyata ialah dalam bentuk keikutsertaan atau keterlibatan aktif anggota masyarakat dalam seluruh tahapan pilpres 2014 mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian. Fungsi pengawasan pemilu dalam pilpres 2014 menjadi kewajiban seluruh warga negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban pemilu. Menurunnya partisipasi pemilih dalam pemilu tersebut tentu juga punya implikasi pada rendahnya partisipasi publik untuk bersedia ikut mengawasi seluruh tahapan pemilu dan sekaligus bersedia melaporkan pada pengawas pemilu jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran pemilu. Padahal keterbatasan jumlah personal dan daya dukung yang dimiliki oleh pengawas pemilu sesungguhnya berakibat adanya kebutuhan bagi pengawas pemilu akan hadirnya pengawas partisipatif. Kehadiran pengawas partisipatif ini diharapkan akan mampu menutup kekosongan pengawas pemilu pada obyek-obyek pengawasan pemilu akibat keterbatasan personal pengawas pemilu (Najib 2004:x). Berikut ini dalam Tabel 9 disajikan sebaran frekuensi dan persentase item-item pertanyaan kuesioner terkait dimensi keterlibatan mengawasi pemilu.
63
Tabel 9 Sebaran rataan skor dari indikator keterlibatan mengawasi pemilu, 2014 Keterlibatan mengawasi pemilu
Rataan skor*
Menegur jika ada oknum membagikan sembako/uang dan lainlain Melaporkan jika ada kecurangan pemilu Memberi masukan/ ide untuk kesuksesan pemilu Memantau jumlah perhitungan suara tingkat kecamatan/ nasional Mengikuti sidang sengketa pilpres 2014
1,88 1,95 1,99 2,00 1,97
*
Rentang skor 1,00-2,13 = kurang aktif; 2,14-3,27 = cukup aktif; 3,28-4,40 = aktif
Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa skor jawaban pemilih terpusat pada skor 1-2 (kurang aktif). Artinya, secara umum anggota masyarakat kurang memahami bahwa fungsi pengawasan pemilu berperan penting dalam menentukan keberhasilan pilpres 2014. Rendahnya keterlibatan mengawasi pemilu sebagai indikator menunjukkan minimnya kesadaran masyarakat dalam mendorong terlaksananya pemilu agar berlangsung tertib dan demokratis, dengan seminimal mungkin terjadinya pelanggaran pemilu. Diharapkan ke depannya, masyarakat dapat menyadari pentingnya menunjang pelaksanaan pemilu yang luber jurdil serta demokratis. Hal ini yang disebut dengan pengawasan partisipatif. Peranperan partisipatif masyarakat dan para pihak dalam pengawasan pemilu tersebut untuk menujang pelaksanaan tugas dan kewenangan pengawas pemilu demi terselenggaranya pemilu yang demokratis (Najib 2004:14). Secara umum dapat disimpulkan bahwa kecenderungan tingkat partisipasi politik menunjukkan nilai yang kurang memuaskan. Ketiga indikator yang digunakan untuk melihat partisipasi politik belum memperlihatkan nilai yang relatif tinggi. Dimensi keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu misalnya memiliki nilai dengan kategori rendah. Hal ini juga diperkuat oleh nilai indikator keterlibatan dalam kampanye pilpres 2014 di mana usaha untuk mencapai tujuan meningkatkan partisipasi politik dinilai sangat rendah. Arti lain, peran keikutsertaan anggota masyarakat dalam seluruh tujuan tahapan pilpres 2014 belum terpenuhi. Menurut warga, hal ini dikarenakan kurangnya keyakinan, minimnya insiatif menanamkan semangat, hilangnya harapan dan kesadaran politik masyarakat bahwa pilpres 2014 dapat memperbaiki nasib bangsa di kabinet pemerintahan yang baru. Namun, beberapa dugaan yang muncul dalam konteks demokratisasi adalah masyarakat yang belum memiliki kesadaran berdemokrasi yang benar. Menurut Aziz (2010:2-3), pembentukan warga negara yang demokrasi dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan atau civic education. Aktualisasi dari civic education sebenarnya terletak pada tingkat partisipasi politik masyarakat di setiap momentum politik seperti pemilu. Pemerintahan otonom yang demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri. Mereka tidak hanya menerima dan memenuhi tuntutan orang lain, yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat di wujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya.
64
Penggunaan Sumber Informasi Kampanye Bab ini menyajikan pola penggunaan sumber informasi kampanye pilpres 2014 di Kecamatan Cibinong, baik melalui saluran media massa (elektronik) yaitu televisi, saluran media sosial (new media) dan media interpersonal. Sumber informasi kampanye pilpres 2014 kali ini sebagai wadah komunikasi politik bagi pasangan calon nomor urut 1 yaitu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, sedangkan pasangan calon nomor urut 2 yaitu Ir. Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla. Penelitian dilakukan di 4 (empat) wilayah administratif yang mewakili Kecamatan Cibinong sebagai ibukota Kabupaten Bogor, yaitu Kelurahan Pabuaran, Kelurahan Nanggewer, Kelurahan Sukahati dan Kelurahan Ciriung. Rakhmat (2002:65) mengemukakan bahwa pengukuran keterdedahan media massa dilihat dari aspek-aspek yang berkaitan dengan penggunaan media massa. Aspek-aspek keterdedahan media yang diukur dalam penelitian antara lain frekuensi, lama dan waktu mencari informasi di media massa. Sementara, menurut Nurudin (2007:194) sumber pemuas kebutuhan yang berhubungan dengan non-media di antaranya komunikasi interpersonal seperti peneguhan kontak dengan keluarga dan teman-teman, sedangkan penggunaan media massa terbagi menjadi jenis-jenis media; isi media; terpaan media dan konteks sosial dan terpaan media. Indikator dalam menjelaskan sekaligus mengukur pola penggunaan sumber informasi kampanye terdiri dari jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dan durasi mengakses sumber informasi kampanye. 1. Jumlah Sumber Informasi Kampanye Jumlah sumber informasi kampanye merupakan salah satu aspek yang dilihat dalam mengukur penggunaan media massa. Terpaan media dipakai sebagai padanan media exposure yaitu perilaku penggunaaan media komunikasi di mana penelitian terpaan media menunjukkan keragaman baik dari jenis, jumlah media maupun cara pengukurannya. Jumlah sumber informasi kampanye terbagi menjadi tiga (3) parameter, diantaranya saluran televisi (media elektronik), saluran media sosial/ media hibrid (new media) dan saluran interpersonal. Griffien menyatakan bahwa ”bentuk media saja sudah dapat mempengaruhi khalayak”. Lebih ditegaskan lagi bahwa ”the medium is the message”, media saja sudah menjadi pesan. Dengan demikian, melalui media massa pemilih dapat mengenali wajah kandidat misalnya melalui televisi, koran, majalah, internet dan sebagainya, mendengarkan suaranya, mengetahui isuisu/program-program politiknya, partai politik yang mengusung kandidat dan sebagainya melalui radio atau tape recorder dan lain-lain. Selanjutnya, khalayak berusaha secara aktif mencari sumber media yang paling baik dan yang dapat memenuhi kebutuhannya (Sudaryanti 2008:70). Lalu, penyebaran informasi melalui media massa akan menimbulkan dampak lebih kuat apabila didukung oleh komunikasi antar pribadi, dalam arti bahwa informasi tersebut kemudian juga ramai dibicarakan orang (Sudaryanti 2008:26). Sementara, semakin meningkatnya peranan penting kampanye politik dengan internet, saluran media sosial dan media baru (new media) lebih banyak diandalkan dalam pemilu modern karena faktor efisiensi dan jangkauan audiens yang besar dalam jumlah yang sangat massal.
65
Dengan memanfaatkan teori efek komunikasi massa model uses and effects, yang menggambarkan perilaku manusia setelah diterpa media tertentu untuk mengetahui penggunaan media yang menyebabkan proses komunikasi politik terjadi. Untuk dapat memaparkan sejauh mana pola penggunaan sumber informasi kampanye yang dilihat dari dimensi jumlah sumber informasi kampanye, sebaran rataan skor tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran rataan skor dari indikator jumlah sumber informasi kampanye, 2014 Jumlah sumber informasi kampanye Jumlah stasiun televisi dan jenis program acara Jumlah media sosial, situs dan forum online Jumlah saluran keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat
Rataan skor* 1,87 2,08 1,53
*Rentang skor 0,90-1,83= rendah; 1,84-2,77= sedang; 2,78-3,7 =tinggi
Jumlah sumber informasi kampanye diukur dengan tiga parameter yakni jumlah stasiun televisi dan jenis program acara, jumlah media sosial, situs dan forum online, serta jumlah saluran keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat. Tabel 10 menjelaskan jumlah sumber informasi kampanye sebagai aspek dalam menjelaskan pola penggunaan sumber informasi kampanye hanya sebesar 1,87 dan masuk kategori sedang. Artinya, peran stasiun televisi sebagai corong pemerintah tidak digunakan secara maksimal oleh masyarakat Kecamatan Cibinong. Minimnya jumlah stasiun televisi dan program acara yang ditonton selama masa kampanye pilpres tahun 2014 yakni tercatat 2,57 menunjukkan jumlah variasi atau jenis stasiun televisi serta program acara yang diakses sebagai saluran pemilu masuk kategori cukup banyak (cukup tinggi). Sama halnya dengan parameter jumlah stasiun televisi dan jenis program acara, jumlah media sosial, situs dan forum online menempati urutan rataan skor tertinggi dibandingkan dua parameter lainnya yaitu sebesar 2,08 dan masuk dalam kategori sedang. Perolehan skor ini menunjukkan jumlah perangkat media sosial seperti blackBerry message (BBM), twitter, whatsApp, facebook dan lainnya masih menjadi sumber informasi utama. Sementara sebagian masyarakat aktif mengakses website atau situs online (misalnya www.kpud.com, www.detik.com, www.kompas.com) sebesar 2,06 dan masuk dalam kategori sedang, serta keaktifan mengikuti forum online (misalnya www.kaskus.com) mencapai skor 2,33 yang dinilai sedang atau cukup aktif. Menurut Kaplan dan Haenlein, ada enam jenis media sosial: proyek kolaborasi (misalnya wikipedia), blog dan microblogs (misalnya twitter), komunitas konten (misalnya youtube), situs jaringan sosial (misalnya facebook), virtual game (world of warcraft), dan virtual sosial (misalnya second life) (Lesmana 2012 :10). Kuatnya pengaruh media sosial dalam pemilu juga ditegaskan oleh Tri Handayani, SH, M.Si, Kasubbag Program dan Anggaran KPUD Kabupaten Bogor dalam wawancara sebagai berikut. “Kalau melihat sumber informasi, bicara pemilih pasti kan masyarakat dewasa, rata-rata kegiatannya kalau tidak sekolah ya kerja. Makanya tadi saya smpaikan banyak pekerja di cibinong itu tinggalnya di wilayah pemukiman. Berbeda dengan pekerja urban Gunung Puteri yaitu banyak
66
pendatang. Karena mereka tidak pernah melihat matahari sehariharinya sehingga saya tidak yakin media elektronik televisi dan radio itu digunakan, saya lebih cenderung menduga mereka menggunakan media sosial, apalagi media cetak. Seberapa besar sih orang membaca koran. Artinya bagi masyarakat kita merasa tidak ada pengaruh membaca berita di koran atau tidak. Bahkan headline berita di media sosial sering kali lebih cepat muncul dibandingkan media lain. Jadi, saya lebih cenderung melihat media sosial lebih banyak digunakan dibandingkan media lainnya. Apalagi karakteristik masyarakat kita yang tidak mungkin melihat media konvensional seperti televisi, radio dan koran.”
Salah satu kajian yang pernah dilakukan oleh Political Wave adalah pada pelaksanaan pilkada DKI, bahwa kekuatan sosial media sangat berpengaruh pada hasil akhir suatu pemilu. Membuktikannya secara akademik juga sulit, tetapi data faktual mengatakan sosial media berpengaruh pada pemenang pemilu. Dari segi jumlah, pengguna sosial media mayoritas adalah anak muda. Artinya, anak muda sudah mulai peduli terhadap isu pemilu. Kemudian, efek lain adalah sosial media juga berpengaruh untuk menembus birokrasi. Karena banyak para pemimpin terlibat aktif di media sosial. Pengguna sosial media juga mayoritas adalah orangorang yang teredukasi dan terbiasa dalam beragumentasi (Perludem 2014:10). Sementara, tingkat penggunaan saluran interpersonal atau media antarpribadi yaitu melakukan kontak dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat selama kampanye dinilai rendah dengan besaran skor hanya 1,53. Artinya, jumlah sumber informasi kampanye yang diperoleh melalui ajakan saluran interpersonal tersebut terbilang sedikit. Dengan kata lain, masyarakat kurang aktif dalam berinteraksi (tatap muka) dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat sebagai sumber informasi mengenai calon presiden/wakil presiden selama kampanye pilpres 2014. Dalam hubungannya dengan informasi yang dapat diterima oleh khalayak tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pilkada, maka komunikasi antar pribadi meskipun kecepatan jangkauannya lebih lambat namun kekuatan informasi yang disampaikan pada komunikasi interpersonal (antarpribadi) jauh lebih kuat. Banyak fakta, informasi interpersonal lebih memiliki pengaruh yang lebih kuat pada masyarakat umum; terutama pada isu-isu tertentu yang membuat masyarakat menjadi terancam. Dalam konteks efek normal, media hanyalah menambah pengetahuan. Untuk merubah perilaku masyarakat lebih efektif bila dilakukan komunikasi interpersonal (contoh: seminar, presentasi, penyuluhan dan lain-lain) (waspadaonline.html) (Sudaryanti 2008:45). 2. Frekuensi Mengakses Sumber Informasi Kampanye Frekuensi mengakses sumber informasi kampanye merupakan aspek kedua yang dilihat dalam dimensi penggunaan media massa. Ardianto & Erdinaya (2005:164) mengemukakan bahwa terpaan media massa (media exposure) adalah penggunaan media, baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan (longevity). Frekuensi penggunaan media adalah mengumpulkan data khalayak tentang berapa kali sehari seseorang menggunakan media dalam satu minggu (untuk meneliti program harian); beberapa minggu seseorang menggunakan dalam satu bulan (untuk program mingguan dan tengah bulanan) serta berapa kali sebulan seseorang menggunakan media dalam satu tahun (untuk
67
mengetahui program bulanan). Dari ketiga pola tersebut yang sering dilakukan adalah pengukuran frekuensi program harian. Terpaan media dapat diartikan sebagai keadaan terlibat khalayak tertentu dalam masyarakat di suatu negara atau daerah, bisa juga dikatakan sebagai usaha mencari data khalayak tentang penggunaan media, frekuensi penggunaan (Ardianto & Erdinaya 2005:164). Untuk dapat menjelaskan sejauh mana pola penggunaan sumber informasi kampanye yang dilihat dari dimensi frekuensi mengakses sumber informasi kampanye, sebaran rataan skor tersaji pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran rataan skor dari indikator frekuensi sumber informasi kampanye, 2014 Frekuensi mengakses sumber informasi kampanye Frekuensi menonton televisi dan program acara Frekuensi mengakses media sosial, situs dan forum online Frekuensi tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat
Rataan skor* 2,62 1,40 1,68
*Rentang skor 0,95-1,77 = rendah; 1,78-2,60= sedang; 2,61-3,42 =tinggi
Tabel 11 di atas memberikan gambaran spesifik bagaimana kecenderungan dimensi frekuensi sumber informasi kampanye dalam pilpres 2014. Dimensi frekuensi mengakses sumber terbagi menjadi tiga (3) parameter yaitu mengukur jumlah satuan kali aktivitas atau rutinitas masyarakat dalam menggunakan saluran televisi, saluran media sosial dan saluran interpersonal. Dari perolehan data yang terkumpul, frekuensi menonton televisi dan program acara yang ditayangkan dinilai relatif cukup baik di Kecamatan Cibinong. Hal tersebut telihat dari sebaraan rataan skor sebesar 2,62 dan masuk kategori cukup tinggi atau cukup sering. Artinya, jumlah aktivitas atau rutinitas dalam menggunakan saluran televisi sebagai media konvensional telah sesuai dengan hasil yang diharapkan oleh KPUD dan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pemikiran Subiakto & Ida (2014:110), ada keyakinan bahwa populer tidaknya seorang calon presiden banyak dipengaruhi penampilannya di televisi. Semakin sering seorang calon presiden tampil di televisi, semakin populer dia. Adapun bagi calon yang jarang muncul di televisi, kecil kemungkinannya memenangkan pemilihan. Begitu pula acara perdebatan lewat televisi, dipandang sebagai momentum yang sangat menentukan bagi keberhasilan seorang kandidat presiden. Berbeda dengan parameter frekuensi menonton televisi dan program acara, parameter frekuensi mengakses media sosial, situs dan forum online dalam peubah penggunaan sumber informasi kampanye dikategorikan rendah dengan sebaran skor hanya sebesar 1,40. Dengan kata lain, frekuensi mengakses informasi melalui media sosial, situs dan forum online adalah terendah dibandingkan dengan dua parameter lainnya. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa tingkat keaktifan masyarakat dalam mengakses media sosial/media hibrid (new media) diantaranya aktivitas mengupdate status, menyukai status, menggugah foto, mengomentari status, memutar video, membaca website/situs online, forum online selama kampanye pilpres tahun 2014 tergolong jarang. Sejalan dengan pemikiran Lesmana bahwa new media adalah istilah yang lebih luas dalam studi
68
media yang muncul di bagian akhir abad ke -20 yang mengacu pada permintaan akses ke konten kapan saja, di mana saja, pada perangkat digital, serta umpan balik dari pengguna secara interaktif, partisipasi secara kreatif dan pembentukan komunitas sekitar konten media (Lesmana 2012:13) Sementara parameter ketiga dalam mengukur indikator frekuensi mengakses sumber informasi kampanye yaitu frekuensi menggunakan saluran interpersonal/ media antarpribadi melalui tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat. Dari Tabel 11, dapat diketahui sebaran rataan skor yang diperoleh dari parameter terakhir ini dinilai relatif rendah atau jarang yakni hanya sebesar 1,68. Artinya, jumlah satuan kali tatap muka atau interaksi dengan anggota keluarga seperti ayah, ibu, suami, isteri atau anak; teman; tetangga; dan pemuka opini (tokoh masyarakat) yang disegani, tidak digunakan secara optimal. Dengan kata lain, masyarakat tidak memiliki inisatif atau tidak mudah terbujuk atau mengajak anggota keluarga, kerabat, teman atau tetangganya untuk terlibat dalam kegiatan pilpres 2014. Di samping itu, masyarakat Kecamatan Cibinong memiliki kecenderungan untuk mencerna informasi berdasarkan keyakinan, pendirian dan pilihan politiknya bukan berasal dari pendapat yang dipengarui keluarga, teman, tetangga atau tokoh masyarakat yang dikenal. Hal ini terlihat dari ketidakaktifan membicarakan atau berdiskusi mengenai isu pilpres 2014. 3. Durasi Mengakses Sumber Informasi Kampanye Durasi mengakses sumber informasi kampanye merupakan aspek ketiga yang dilihat dalam dimensi penggunaan media massa. Dimensi durasi mengakses sumber terbagi menjadi tiga parameter yaitu mengukur lama menonton televisi dan program acara; lama mengakses media sosial, situs dan forum online; serta lama tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat. Untuk pengukuran peubah durasi penggunaan media menghitung berapa lama khalayak bergabung dengan suatu media (berapa jam sehari) atau berapa lama (menit) khalayak mengikuti suatu program (Ardianto & Erdinaya 2005:164). Durasi diartikan dengan waktu yang dihabiskan untuk mengakses sumber informasi diantaranya jumlah satuan jam, panjang (lama) atau durasi menonton tayangan atau program acara di televisi, mengakses media sosial/media hibrid (new media) dan media interpersonal selama kampanye pilpres tahun 2014. Pola penggunaan sumber informasi kampanye yang dilihat dari dimensi durasi sumber informasi kampanye, sebaran rataan skor tersaji pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran rataan skor dari indikator durasi mengakses sumber informasi kampanye, 2014 Durasi mengakses sumber informasi kampanye Lama menonton televisi dan program acara Lama mengakses media sosial, situs dan forum online Lama tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat *Rentang skor 1,00-1,69= rendah; 1,70-2,39= sedang; 2,40-3,08 =tinggi
Rataan skor* 1,88 1,52 1,60
69
Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa skor parameter lama menonton televisi dan program sebesar 1,88 yaitu masuk dalam kategori sedang. Artinya, tingkat terpaan melalui saluran televisi dinilai rendah atau jumlah waktu yang digunakan untuk mengakses informasi kampanye dari televisi terbilang kurang panjang /kurang lama (sebentar). Begitu pula parameter lama mengakses media sosial, situs dan forum online masih dinilai kurang lama dilihat dari besaran skor hanya 1,52. Skor dari parameter kedua ini merupakan nilai rataan skor terendah dibandingkan parameter lainnya. Sementara sebaran rataan skor dari parameter lama tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat dinilai relatif rendah. Hal tersebut terlihat dari rataan skor parameter ketiga ini yang masuk dalam kategori rendah. Berdasarkan pengertian terpaan media yang telah dijelaskan oleh Rosengren dalam Rakhmat (2009:66), maka cara mengukur terpaan media dengan melihat frekuensi, durasi dan atensi. Namun melihat kerangka pemikiran dan definisi operasional dari bab ini, peubah penggunaan sumber informasi kampanye bahwa terpaan media dapat diukur melalui jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dan durasi mengakses sumber informasi kampanye. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan pola penggunaan sumber informasi kampanye menunjukkan nilai yang masih rendah. Ketiga indikator yang digunakan untuk melihat penggunaan sumber informasi kampanye belum memperlihatkan nilai yang relatif tinggi. Parameter frekuensi menonton televisi dan program acara serta jumlah media sosial, situs dan forum online yang digunakan selama kampanye menunjukkan skor di bawah 2,0 atau masuk dalam kategori rendah. Khalayak berusaha secara aktif untuk mendapatkan, menggunakan dan memilih jenis media massa secara sungguh-sungguh untuk memuaskan kebutuhannya berupa informasi, berita ataupun pesan-pesan politik yang berhubungan dengan pilkada (Sudaryanti 2008:44). Berbeda dengan parameter dari indikator lainnya dalam peubah penggunaan sumber informasi yang nilainya masih relatif rendah. Hal ini dipertegas oleh Perludem (2014:6), bahwa sosial media dan internet menjadi suatu solusi baru untuk lahirnya komunitas yang peduli terhadap isu-isu tertentu. Ini tentu bisa menjadi alat sosialisasi pemilu. Peningkatan partisipasi anak muda tidak hanya dengan sosialisasi. Tetapi KPU mestinya melepas sekat normatif antara penyelenggara dengan masyarakat. Masih ada jarak di dalam sosialisasi antara penyelenggara pemilu dengan masyarakat. Ini dimaksudkan agar pemilu bisa menjadi milik semua. Perlu ada pemetaan kelompok komunitas yang kuat bisa bekerja di dalam mensukseskan pemilu, yang salah satu aktivitasnya adalah sosialisasi. Hubungan Karakteristik Demografis Pemilih dengan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye Analisis hubungan yang pertama adalah melihat hubungan antar peubah karakteristik demografis pemilih dengan penggunaan sumber informasi kampanye sebagai langkah awal untuk menjawab hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini. Analisis yang digunakan untuk menentukan hubungan antar peubah adalah SPSS 22 for windows dengan model uji statistik analisis rank Spearman. Venus
70
(2012:126) pernah menjelaskan bahwa dari aspek demografi, khalayak umumnya dikelompokkan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi seperti usia, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, ukuran keluarga hingga status sosial ekonomi mereka. Sejalan dengan pendapat Subiakto dan Ida (2014:68) yang menyatakan bahwa ras, suku, agama, gender, usia, pendapatan, pendidikan, dan besarnya kota, menurut Doris Graber merupakan peubah yang berpengaruh terhadap kebiasaan menggunakan media massa. Hubungan karakteristik demografis pemilih dengan pola penggunaan sumber informasi kampanye tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Hubungan karakteristik demografis pemilih dengan penggunaan sumber informasi kampanye, 2014 Karakteristik Demografis Pemilih a. b. c. d. e. f.
Koefisien Korelasi (r s ) Penggunaan Sumber Informasi Kampanye Jumlah Sumber Frekuensi Sumber Durasi Informasi Informasi Sumber Informasi -0,243** -0,209** 0,044 -0,128 0,058 0,121 -0,094 -0,029 -0,128 -0,039 0,015 0,158 -0,240** -0,140* -0,032 -0,235** -0,187** 0,022
Jenis Kelamin Usia Pendidikan Pendapatan Asal kelahiran Lingkungan tempat tinggal g. Afiliasi Politik Ket: *Taraf nyata pada p<0,05 **Taraf nyata pada p<0,01
0,176* 0,114 -0,100 r s : Koefisien korelasi rank Spearman
Dari Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa indikator jenis kelamin memiliki hubungan sangat nyata (p≤0,01) dan arah hubungan negatif dengan pola penggunaan sumber informasi kampanye pada jumlah sumber informasi kampanye dengan nilai koefisien korelasi -0,243 dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dengan nilai koefisien korelasi -2,09. Artinya, semakin pemilih laki-laki cenderung semakin rendah pola penggunaan sumber informasi kampanye pada indikator jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye. Sementara nilai koefisien korelasi asal kelahiran yang memiliki hubungan sangat nyata (p≤0,01) dan arah hubungan negatif dengan dimensi jumlah sumber informasi kampanye yaitu -0,240, dan berhubungan nyata (p≤ 0,05) dan arah hubungan negatif dengan dimensi frekuensi mengakses sumber informasi kampanye yaitu -0,140. Artinya, semakin pemilih asal kelahiran dari Cibinong (pribumi) cenderung semakin rendah pola penggunaan sumber informasinya dalam hal jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye, dibandingkan dengan pemilih yang daerah kelahirannya berasal dari luar Cibinong (pendatang). Pendidikan masyarakat tidak memiliki hubungan yang nyata dengan dimensi baik jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye maupun durasi mengakses sumber informasi kampanye. Begitu pun pendapatan yang tidak memiliki hubungan yang nyata dengan seluruh dimensi yaitu jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye maupun durasi mengakses sumber informasi kampanye.
71
Menurut Subiakto & Ida (2014:68), kategori sosial berdasar pendapatan berpengaruh terhadap penggunaan media. Menurutnya, keluarga yang berpendapatan tinggi dan berpendidikan tinggi, cenderung akan menggunakan media semakin banyak dan sebaliknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan kecenderungan bahwa pendidikan dan pendapatan masyarakat Kecamatan Cibinong tidak serta merta berhubungan dengan peubah penggunaan sumber informasi kampanye. Nilai korelasi lingkungan tempat tinggal dengan jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye adalah -0,235 dan -0,187 dengan korelasi sangat nyata (p≤ 0,01) dan arah hubungannya negatif. Artinya, semakin pemilih tinggal di lingkungan tempat tinggal industri/ agraris cenderung semakin rendah pola penggunaan sumber informasi kampanye dalam hal jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye. Hal ini sejalan dengan pendapat warga yang tinggal di lingkungan industri dan agraris kurang memanfaatkan keragaman saluran media sebagai rujukan dalam memperoleh informasi kampanye pilpres 2014 dibandingkan dengan warga yang tinggal di lingkungan pesantren/pendidikan/ perumahan dan perkampungan. Karakteristik demografis terakhir yaitu afiliasi politik, diukur memiliki hubungan nyata (p≤0,05) dengan jumlah sumber informasi kampanye. Sebaliknya, afiliasi politik tidak memiliki hubungan nyata (p≤0,05) dengan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dan durasi mengakses sumber informasi kampanye. Artinya, kedekatan warga dengan partai politik memiliki hubungan dengan keragaman sumber informasi, namun tidak berhubungan dengan intensitas mengakses sumber informasi dan lama waktunya menggunakan sumber informasi tersebut. Dengan demikian, hipotesis penelitian kedua yang menyebutkan “terdapat hubungan signifikan atau nyata antara karakteristik demografis pemilih (jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal, afiliasi politik) dengan penggunaan sumber informasi kampanye diterima,” khususnya untuk jenis kelamin, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal dan afiliasi politik. Selanjutnya, hipotesis penelitian menolak adanya hubungan yang signifikan atau nyata antara usia, pendidikan dan pendapatan dengan peubah penggunaan sumber informasi kampanye. Hubungan Karakteristik Demografis Pemilih dengan Partisipasi Politik Analisis hubungan yang kedua adalah mengukur sejauh mana hubungan antar peubah karakteristik demografis pemilih dengan partisipasi politik. Alat analisis yang digunakan untuk menentukan hubungan antar peubah masih menggunakan SPSS 22 for windows dengan model uji statistik analisis rank Spearman. Karakteristik demografis pemilih adalah ciri khas yang melekat pada individu berdasarkan aspek demografi. Demografi adalah salah satu apsek yang mengelompokkan individu berdasarkan ciri-ciri status sosial ekonomi atau kedudukan atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Biasanya status tersebut diukur melalui indeks yang merupakan kombinasi dari tiga atau lebih komponen utama status sosial, yaitu pendidikan, pendapatan, usia, jenis kelamin, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal dan afiliasi politik.
72
Tarigan (2009:43) menyebutkan bahwa karakter sosial menyangkut status sosial ekonomi, kelompok ras, etnis dan agama seseorang. Bagaimanapun juga lingkungan sosial itu ikut mempengaruhi persepsi, sikap, perilaku seseorang dalam bidang politik. Orang yang berasal dari lingkungan sosial yang lebih rasional dan menghargai nilai-nilai seperti keterbukaan, kejujuran, keadilan dan lain-lain tentu akan mau juga memperjuangkan tegaknya nilai-nilai tersebut dalam bidang politik. Oleh sebab itulah, mereka mau berpartisipasi dalam bidang politik. Penjelasan lebih lanjut tentang hubungan antar peubah karakteristik demografis pemilih dengan partisipasi politik dapat dijelaskan melalui Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14 Hubungan karakteristik demografis pemilih dengan partisipasi politik, 2014 Koefisien Korelasi Partisipasi Politik (r s ) Karakteristik Demografis Pemilih
Jenis kelamin Usia Pendidikan Pendapatan Asal kelahiran Lingkungan tempat tinggal Afiliasi politik Ket: *Taraf nyata pada p<0,05 **Taraf sangat nyata pada p <0,01
Keterlibatan Kampanye
Keterlibatan Memberi Suara
Keterlibatan Mengawasi Pemilu ** * -0,215 -0,168 -0,178* -0,060 -0,153* -0,169* -0,002 0,131 0,092 0,011 -0,019 -0,065 * -0,166 -0,024 0,043 ** -0,217 0,002 0,048 0,187** 0,334** 0,320** rs: Koefisien korelasi rank Spearman
Nilai korelasi antar dimensi dapat tergambar dari tabel 14 di atas menunjukkan adanya hubungan sangat nyata (p≤0,01) dan arah hubungannya positif antara sub peubah afiliasi politik dan peubah partisipasi politik baik dilihat dari dimensi keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara maupun keterlibatan mengawasi pemilu. Artinya, kedekatan pemilih dengan partai politik (parpol) tertentu yaitu sebanyak 81% pemilih berhubungan atau dipengaruhi oleh ajakan, arahan atau himbauan suatu kelompok atau parpol agar mendukung sistem Pemilu secara langsung, memberikan suara dan mencegah kecurangan pemilu. Hal ini dikarenakan, partai politik dan calon perseorangan bersaing memanfaatkan pengetahuan ini untuk strategi kampanye yang baik untuk memobilisasi pemilih, dukungan politik dalam pemilihan umum kepala negara atau kepala daerah serta menjaga citra sepanjang waktu dalam Pemilu (Cass 2001 dalam Ediraras et al. 2013:587). Dari seluruh sub peubah karakteristik demografis pemilih, setidaknya terdapat lima indikator yang berhubungan sangat nyata (p≤0,01) dan arah hubungannya negatif, antara lain jenis kelamin dan keterlibatan kampanye; lingkungan tempat tinggal dan keterlibatan kampanye; dan afiliasi politik dan seluruh dimensi partisipasi politik. Artinya, pemilih laki-laki cenderung rendah tingkat keterlibatan kampanyenya dibanding perempuan; pemilih yang tinggal di daerah agraris/perkampungan dan industri/perdagangan cenderung rendah
73
keterlibatan dalam kampanyenya dibanding pemilih yang tinggal di perumahan dan pendidikan/pesantren. Tarigan (2009:43) pernah meneliti bahwa lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam lingkungan politik yang demokratis orang merasa lebih bebas dan nyaman untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik daripada dalam lingkungan politik yang totaliter. Lingkungan politik yang sering diisi dengan aktivitasaktivitas brutal dan kekerasan dengan sendirinya menjauhkan masyarakat dari wilayah politik. Selanjutnya, Tarigan (2009:45-46) menyimpulkan bahwa, pada hakekatnya, terdapat kesamaan dasar antara tipologi motivasi dari Weber dengan fungsi partisipasi politik dari Lane. Jika Weber dan Lane benar, maka partisipasi politik itu ditentukan oleh sikap-sikap sosial dan sikap-sikap politik individu yang mendasar, yang erat berasosiasi baik dengan karakteristik pribadi dan sosialnya, maupun dengan lingkungan sosial dan lingkungan politik yang membentuk konteks perilaku politiknya. Karena lingkungan sosial dan lingkungan politik ini berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, maka partisipasi politik berbeda-beda dari satu sistem politik dengan sistem politik lainnya. Sementara lima indikator lainnya berkorelasi nyata (p≤0,05) dan arah hubungannya negatif, diantaranya jenis kelamin dengan keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu; usia dengan keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu; asal kelahiran dan keterlibatan kampanye pada peubah partisipasi politik. Sebaliknya pada sub peubah usia, pendapatan dan pendidikan tidak mengindikasikan hubungan yang nyata (p≤0,05) dengan ketiga dimensi baik keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Namun, nilai koefisien korelasi pendapatan dan pendidikan menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata dengan dimensi keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik demografis pemilih berdasar pendapatan dan pendidikan tidak berpengaruh terhadap partisipasi politik. Menurut Conway (1985:20), di dalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi politik cenderung bervariasi dengan status sosio ekonomi. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi, berpenghasilan lebih besar dan mempunyai status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya lebih partisipatif daripada mereka yang miskin, tak berpendidikan dan memiliki pekerjaan status rendah. Masyarakat yang berpendapatan atau berpendidikan tinggi tidak memiliki korelasi dengan tingkat keaktifannya dalam seluruh tahapan pilpres 2014. Beberapa studi juga menemukan bahwa masingmasing komponen status sosial ekonomi merupakan peubah independent yang mempengaruhi partisipasi politik secara berbeda. Pendidikan adalah peubah terpenting yang mempengaruhi partisipasi politik, dua individu yang mempunyai tingkat pendapatan sama memiliki tingkat partisipasi yang berbeda jika tingkat pendidikannya berbeda. Dengan demikian, hipotesis penelitian pertama yang menyebutkan “terdapat hubungan nyata antara karakteristik demografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal, afiliasi politik) dengan partisipasi politik dapat diterima,” khususnya pada sub peubah jenis kelamin, usia, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal dan afiliasi politik.
74
Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dengan Partisipasi Politik Analisis hubungan terakhir dalam penelitian ini ialah melihat sejauh mana hubungan antara peubah penggunaan sumber informasi kampanye dengan partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014. Ferdinando S Pardede, SIP, Kasubbag Teknis Pemilu dan Hupmas KPUD Kabupaten Bogor menyatakan dalam kutipan wawancara tentang tingginya korelasi dan kuatnya pengaruh penggunaan sumber informasi kampanye dalam mencapai tingkat partisipasi politik pilpres 2014 di bawah ini. “Saya tidak bisa menjamin tren partisipasi politik pemilu selalu tinggi seperti ini. Bukan karena faktor figur tapi karena diramaikan masyarakat. Calonnya hanya dua sehingga kontestasi terlihat sendiri, bahkan antar keluarga bisa ribut karena perbedaan pilihan. Mungkin wilayah Jabodetabek lebih banyak dipengaruh oleh isu pilpres. Artinya sesuatu yang menarik terjadi bagi masyarakat kabupaten Bogor khususnya Cibinong mengenai pilpres 2014 82,2% dan kabupaten bogor 76,14%. Makanya, saya sangat sepakat bahwa penggunaan sumber informasi sangat berpengaruh, karena seharusnya pileg lebih tinggi karena banyak orang berpengaruh.”
Pendapat ini sejalan dengan analisis hubungan kedua peubah yaitu penggunaan sumber informasi kampanye dan partisipasi politik yang disajikan pada Tabel 15. Peubah penggunaan sumber informasi memiliki tiga indikator yaitu jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dan durasi mengakses sumber informasi kampanye. Sementara, peubah partisipasi memiliki tiga indikator yakni keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Tabel 15 Hubungan penggunaan sumber informasi kampanye dengan partisipasi politik, 2014 Penggunaan Sumber Informasi Kampanye a. Jumlah sumber informasi kampanye b. Frekuensi mengakses sumber Informasi kampanye c. Durasi mengakses sumber Informasi kampanye
Keterlibatan Kampanye 0,752**
Koefisien Korelasi Partisipasi Politik (r s ) Keterlibatan Keterlibatan Memberi Suara Mengawasi Pemilu 0,869** 0,758**
0,354
0,266**
0,269**
0,337**
0,262**
0,290**
Ket: **Taraf sangat nyata pada p<0,01
r s : Koefisien korelasi rank Spearman
75
Secara umum dalam penelitian ini sebagaimana yang terlihat pada tabel 14 terdapat hubungan yang sangat nyata pada taraf nyata 1% (p≤0,01) dan arah hubungan positif antara peubah penggunaan sumber informasi kampanye dan partisipasi politik di Kecamatan Cibinong. Jumlah sumber informasi kampanye merupakan dimensi yang paling tinggi nilai koefisien korelasinya dengan peubah partisipasi politik baik dari dimensi keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Berdasarkan tabel 15, dimensi jumlah sumber informasi kampanye berhubungan sangat nyata pada taraf nyata 1% (p≤0,01) dan arah hubungannya positif dengan peubah partisipasi politik dengan nilai koefisien korelasi masing-masing dimensi yakni 0,752; 0,869 dan 0,758. Artinya, semakin tinggi tingkat penggunaan sumber informasi kampanye pemilih cenderung semakin tinggi partisipasi politiknya. Frekuensi mengakses sumber informasi kampanye juga berhubungan sangat nyata dengan partisipasi politik pada taraf nyata 1% (p≤0, 01) dan arah hubungannya positif. Sama halnya dengan kedua dimensi lainnya, dimensi durasi mengakses sumber informasi kampanye memiliki nilai koefisien korelasi dengan ketiga dimensi partisipasi politik yaitu 0,337; 0,262 dan 0,290. Dengan kata lain, semakin tinggi durasi mengakses sumber informasi kampanye cenderung semakin tinggi partisipasi politiknya. Dengan demikian hipotesis penelitian ketiga yang dibangun bahwa terdapat hubungan nyata antara tingkat penggunaan sumber informasi kampanye dengan tingkat partisipasi politik diterima. Hal ini sejalan dengan pemikiran Subiakto & Ida (2014:70), bahwa sekarang teknologi komunikasi memungkinkan siapa pun dengan mudah bisa ikut memberikan opini atau dukungannya melalui media sosial. Perkembangan ICT telah memengaruhi meningkatnya partisipasi politik warga, khususnya partisipasi dalam komunikasi politik. Selanjutnya, karakterisitk media berpengaruh pada model pola penggunaan pencarian informasi sekaligus sosialisasi di masyarakat. Sebaliknya, karakter masyarakat pun sedikit banyak juga berpengaruh terhadap karakter media yang mereka gunakan. Sudaryanti (2008:53-54) juga menegaskan pentingnya situasi komunikasi interpersonal seperti itu bagi komunikator ialah karena ia dapat mengetahui diri komunikan selengkap-lengkapnya. Ia dapat mengetahui namanya, pekerjaannya, pendidikannya, agamanya, pengalamannya, cita-citanya dan sebagainya, yang penting artinya untuk mengubah sikap, pendapat atau perilakunya. Dalam kaitan pola penggunaan sumber informasi kampanye melalui saluran interpersonal dengan partisipasi politik dalam pilpres tahun 2014, komunikasi interpersonal dalam masalah politik bagi pihak pemilih dapat dijadikan sebagai sarana untuk dapat memperoleh informasi mengenai citra kandidat, isu-isu/program, visi misi dan sebagainya.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan dari hasil penelitian berjudul Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dan Partisipasi Politik adalah sebagai berikut: 1. Partisipasi politik dimensi keterlibatan dalam kampanye masuk dalam kategori rendah, dimensi keterlibatan mengawasi pemilu dalam peubah partisipasi politik juga masih dikategorikan rendah. Sebaliknya, dimensi keterlibatan memberikan suara cukup baik atau masuk dalam kategori sedang. 2. Pola penggunaan sumber informasi kampanye dalam hal jumlah sumber informasi kampanye memiliki kecenderungan cukup tinggi atau sedang pada parameter jumlah stasiun televisi dan jenis program acara; cukup tinggi untuk jumlah media sosial, situs dan forum online; dan cenderung rendah pada jumlah saluran keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat. Dari indikator frekuensi mengakses sumber informasi kampanye, diketahui bahwa hanya frekuensi menonton televisi dan program acara yang memiliki kecenderungan tinggi, sedangkan frekuensi mengakses media sosial, situs dan forum online; dan frekuensi tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat tergolong rendah. Selanjutnya, indikator durasi mengakses sumber informasi kampanye memiliki kecenderungan sedang pada lama menonton televisi dan program acara; sedangkan lama mengakses media sosial, situs dan forum online; dan lama tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat, masuk dalam kategori rendah. 3. Karakteristik demografis pemilih pada indikator jenis kelamin memiliki hubungan sangat nyata negatif dengan penggunaan sumber informasi kampanye pada jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye. Indikator asal kelahiran memiliki hubungan sangat nyata negatif dengan dimensi jumlah sumber informasi kampanye, asal kelahiran juga berhubungan nyata negatif dengan dimensi frekuensi mengakses sumber informasi kampanye. Di samping itu, lingkungan tempat tinggal memiliki korelasi sangat nyata negatif dengan jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye. Sementara, afiliasi politik berhubungan nyata positif dengan jumlah sumber informasi kampanye. 4. Peubah karakteristik demografis pemilih dan partisipasi politik menunjukkan hubungan sangat nyata negatif antara jenis kelamin dengan keterlibatan dalam kampanye dan antara lingkungan tempat tinggal dengan keterlibatan dalam kampanye. Indikator afiliasi politik berhubungan sangat nyata positif dengan ketiga dimensi yaitu keterlibatan dalam kampanye, keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Di sisi lain, jenis kelamin dan usia berhubungan nyata negatif dengan dimensi keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Begitu pula asal kelahiran berhubungan nyata negatif dengan keterlibatan dalam kampanye.
76
77
5.
Penggunaan sumber informasi kampanye memiliki hubungan sangat nyata positif dengan peubah partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong. Pada dimensi jumlah sumber informasi kampanye berhubungan sangat nyata dengan peubah partisipasi politik, dimensi frekuensi mengakses sumber informasi kampanye juga berhubungan sangat nyata positif dengan partisipasi politik. Sama halnya dengan dimensi durasi mengakses sumber informasi kampanye yang mempunyai nilai korelasi yang sangat nyata positif dengan ketiga dimensi partisipasi politik yaitu keterlibatan dalam kampanye, keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Saran
Berdasarkan simpulan dan hasil pembahasan penelitian, maka beberapa saran yang diharapkan dapat dijadikan pertimbangan baik bagi para pembaca, pemerintah, maupun para praktisi politik yaitu: 1. Pemerintah perlu merumuskan strategi diseminasi informasi dalam bentuk sosialisasi Undang-Undang pilpres sesuai dengan karakteristik demografis masyarakat yang bersangkutan mencakup komunikasi massa, komunikasi kelompok, dan komunikasi tatap muka dengan melibatkan para pemuka pendapat, sehingga jumlah suara dapat dipertahankan melalui kesadaran politik dan pendidikan politik. 2. Perlunya merancang ulang strategi kampanye pemilu yang lebih efektif dan kreatif melalui penggunaan sumber informasi (elektronik, media sosial/new media, interpersonal) sebagai media sosialisasi dan edukasi bagi peserta pilpres selanjutnya disesuaikan dengan pola karakteristik masyarakat setempat. 3. Calon presiden dan wakil presiden yang akan berkompetisi pada pilpres mendatang perlu melakukan manajemen kampanye dengan cara-cara yang lebih inovatif seperti menawarkan program kerja yang nyata dan melakukan pendekatan langsung kepada masyarakat untuk meningkatkan penggunaan sumber informasi kampanye. 4. Pihak-pihak yang terkait dengan proses demokratisasi di tingkat daerah seperti KPUD, LSM, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), tim sukses, seluruh jajaran pemerintah lokal seperti RT, RW dan stakeholder lainnya perlu berperan aktif dalam memberikan dorongan maupun pengawasan dengan cara merangkul seluruh kelompok pemilih untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat. 5. Perlu mempertahankan akses penggunaan sumber informasi kampanye untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat khususnya dalam keterlibatan kampanye, keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu.
DAFTAR PUSTAKA Abugaza A. 2013. Social Media Politica (Gerak Massa Tanpa Lembaga). Tangerang Selatan [ID]: PT Tali Writing & Publishing House. Amanda G. 2011. Pola penggunaaan media massa sebagai komunikasi politik calon kepala daerah (studi kasus: Pilkada lima kabupaten/kota di Bali) [The Excellent Research Universitas Udayana. Ardianto E, Erdinaya. 2005. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung [ID]: Simbiosa Rekatama Media. Arianto B. 2011. Analisa penyebab masyarakat tidak memilih dalam Pemilu [Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan] 1(1). Aziz F. 2010. Partisipasi politik masyarakat dalam pelaksanaan Pemilukada putaran kedua di Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota [diakses 7 September 2014]. Tersedia di http://pasca.unand.ac.id/id/wpcontent/ uploads/2011/09/PARTISIPASI-POLITIK-MASYARAKAT-DALAMPELAKSANAAN-PEMILU-KADA.pdf Baehaki D. 2002. Hubungan Antara Kebutuhan Informasi dengan Terpaan Media Para Penyuluh Agama Islam: Kasus di Kota Bogor, Jawa Barat [tesis]. Bogor [ID]: Program Pascasarjana IPB. Bawono M. 2008. Persepsi dan Perilaku Pemilih terhadap Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum Legislatif 2004 di Kabupaten Nganjuk [tesis]. Surakarta [ID]: Program Studi Penyuluhan Pembangunan Program Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret. Bintoro T. 1990. Perencanaan Pembangunan. Jakarta [ID]: Haji Masagung. Budiharjo M. 2005. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta [ID]: Gramedia. Budyatna M, Ganiem L. 2011. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. Bungin B. 2008. Sosiologi Komunikasi (Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat). Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. Burch J, Grudnitski G. 1986. Information System, Theory and Practices. New York [US]: John Willey & Sons Book Company Inc. Cangara H. 2009. Komunikasi Politik (Konsep, Teori dan Strategi). Jakarta [ID]: Raja Grafindo Persada. Chadwick A. 2013. The Hybrid Media System: Politics and Power. Virginia [US]: Oxford University Press. Conway M. 1985. Political Participation in The United States. Washington [US]: Congressional Quarterly Inc. Currant J, Gurrevitch M. 2005. Mass Media and Society, 4th Edition. London [GB]: Hodder Arnold. Dilla S. 2012. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Bandung [ID]: Simbiosa Rekatama Media. DeVito Joseph. 1997. Komunikasi Antar Manusia: Kuliah Dasar. Jakarta [ID]: Professional Books. DPR [Dewan Perwakilan Rakyat]. 2002. Undang Undang Nomor 32/ Tahun 2002 tentang Penyiaran [diakses 2 september 2014]. Tersedia di www.kpi.go.id. 78
79
____. 2008. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik [diakses 2 September 2014]. Tersedia di https://ppid.dpr.go.id/data/UU_2008_14.pdf. ____. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Jakarta [ID]: DPR-RI. Ediraras DT, Rahayu DA, Natalina A, Widya, W. 2013. Political marketing strategy of Jakarta governor election in the 2012s. Procedia- Social and Behavioral Science, 81: 584-587. Effendi M. 2010. Peranan internet sebagai media komunikasi. Jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1): 130-142 Effendy U. 2002. Dinamika Komunikasi. Bandung [ID]: Remaja Rosdakarya. Fenyapwain M. 2013. Pengaruh iklan politik dalam Pemilukada Minahasa terhadap partisipasi pemilih pemula di Desa Tounelet Kecamatan Kakas. Journal Acta Diurna, (1): 13-14. Firmanzah. 2006. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. Forcese DP, Richer S. 1973. Social Research Method. Englewood Cliffs, New York [US]: Prentice-Hall. Gaffar A. 1998. Merangsang partisipasi politik rakyat. Dalam, Syarofin Arba (Editor), Demitologi Politik Indonesia: Mengusung Elitisme dalam Orde Baru. Jakarta [ID]: Pustaka Cidesindo. Gono J, Nur S. 2010. Komunikasi politik strategis forum Pilpres dan program pemerintah mendatang. Majalah Pengembangan Ilmu Sosial, 38(1): 62-65 Grellhesl M, Narissra M. 2012. Using the uses and gratifications theory to understand gratifications sought through text messaging practices of male and female undergraduate students. Computers in Human Behavior, 28(6): 2175–2181.
Hapsari DR. 2012. Pemanfaatan informasi oleh petani sayuran (Kasus di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) [tesis]. Bogor [ID]: Sekolah Pascasarjana IPB. Hasan A. 2007. Pengaruh media terhadap tingkat partisipasi politik (Studi kasus partisipasi politik masyarakat Ciputat pada pilkada Provinsi Banten Tahun 2006) [skripsi]. Jakarta [ID]: Universitas Syarif Hidayatullah. Hempri SS. 2003. Pengembangan Masyarakat: Dari Pembangunan sampai Pemberdayaan, Yogyakarta [ID]: Aditya Media. Hoetasoehoet AM. 2002. Teori Komunikasi. Jakarta [ID]: Yayasan Kampus Tercinta-IISIP. Huntington SP, Nelson JM. 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta [ID]: Rineka Cipta. Johnson-Cartee S, Copeland. 2004. Strategic Political Communication: Rethinking Social Influence, Persuasion, and Propaganda. Lanham (--): Rowman & Littlefield. Kaid LL. 1999. Political advertising: A summary of research findings. Dalam, Bruce I Newman, ed. Handbook of Political Marketing. Thousand Oaks (US): Sage. [Kemenkeu] Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2012. Tinjauan ekonomi dan keuangan daerah [diakses 2 September 2014]. Tersedia di
80
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/attachments/article/257/10.%20JAWA% 20BARAT.pdf. Khairil. 1994. Hubungan keterdedahan petani anggota kelompencapir pada siaran pedesaan dari radio dan televisi dengan pengetahuan mereka tentang diservifikasi usahatani di Kabupaten Bengkulu Utara [tesis]. Bogor [ID]: Program Pascasarjana IPB. Knight K, Marsh M. 2002. Varieties of election studies. Electoral Studies, 21(2): 157-366. Kriyantono R. 2009. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. Kurniawan A. 2012. Hubungan antara terpaan tayangan jejak petualang dengan sikap mahasiswa terhadap keindahan alam Indonesia. Jurnal Mahasiswa Universitas Padjajaran, 1(1): 1-17. Lesmana I Gusti Ngurah Aditya. 2012. Analisis pengaruh media sosial twitter terhadap pembentukan brand attachment (Studi: PT. XL AXIATA) [tesis]. Jakarta [ID]: Program Magister Universitas Indonesia. Lipset M. 2007. Political Man (Basis Sosial tentang Politik). Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar. Maran RR. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta [ID]: Rineka Cipta. Mas’oed M, MacAndrews. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. Mulyana D. 2014. Komunikasi Politik, Politik Komunikasi (Membedah Visi dan Gaya Komunikasi Praktisi Politik). Bandung [ID]: Remaja Rosdakarya. Mulyawarman. 2011. Perilaku pemilih masyarakat dalam pemilihan kepala desa: Kasus Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar. Jurnal Demokrasi dan Otonomi Daerah, 9(1): 1-16. Mustofa A. 2013. Peran media massa sebagai sarana iklan politik Parpol (Kajian terhadap kasus Surya Paloh dan Partai Nasdem). Jurnal Interansi, 2(10): 1-8. Najib M, Sarwono B, Werdiningsih SR. 2004. Pengawasan Pemilu Problem dan Tantangan. Yogyakarta [ID]: Bawaslu Provinsi DIY. Nasution Z. 2004. Komunikasi Pembangunan (Pengenalan Teori dan Penerapannya). Jakarta [ID]: Raja Grafindo Persada. Novianto I. 2012. Perilaku penggunaan internet di kalangan mahasiswa (Studi deskriptif tentang perilaku penggunaan internet di kalangan mahasiswa perguruan tinggi swasta FISIP UNAIR dengan program perguruan tinggi swasta FISIP UPN) untuk memenuhi kebutuhan informasinya [diakses 4 Juni 2013] Tersedia di http://ww.journal.unair.ac.id/filer PDF/jurnal%20IIK20Novianto.pdf. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta [ID]: Raja Grafindo Persada. [Pemkab] Pemerintah Kabupaten Bogor. 2014. Profil Kecamatan Cibinong. [diakses 6 September 2014]. Tersedia di http://bogorkab.go.id/index.Php/ page/detail/40/kecamatan-cibinong#. VAqODqMSa1s. Peraturan KPU No 21 Tahun 2014 tentang Rekapitulasi Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Tahun 2014, Pasal 42. Peraturan KPU No 4 Tahun 2014 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilpres Tahun 2014, Pasal 5.
81
Peraturan KPU No 16 tahun 2014 tentang Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 15 tentang Metode Kampanye. Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Tahun 2014. Perludem. 2014. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014. Rekomendasi Atas Hasil Workshop Knowledge Sharing:1-10. Puspasari, T. 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan umum kepala daerah Provinsi Banten Tahun 2011 di Kecamatan Karawaci Kota Tangerang [skripsi]. Bogor [ID]: Depertemen SKPM, Fema IPB. Purwanto EA, Sulistyastuti DR. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif untuk Administrasi Publik dan Masalah-Masalah Sosial. Yogyakarta [ID]: Gava Media. Putra RF. 2012. Hubungan terpaan artikel surat kabar Seputar Indonesia tentang mencontek skripsi bisa dipenjara yang ada di perpustakaan Fikom Unpad Kampus Bandung dengan sikap mahasiswa dalam mengerjakan. Jurnal Mahasiswa Universitas Padjajaran, 1(1): 1-14. Pradhanawati A. 2010. Perilaku dan sikap sosial-politik mahasiswa dalam Pilpres 2009. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 23(3): 186-193. Rahman A. 2002. Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural Fungsional. Surabaya [ID]: Penerbit SIC. Rakhmat J. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung [ID]: Remaja Rosdakarya. Romli L. 2008. Kecenderungan keterlibatan masyarakat dalam Pilkada. Jurnal Poelitik, 1(1):1-12. Ruslan R. 2007. Kiat dan Strategi Kampanye Publik Relations. Jakarta [ID]: Grafindo. Sanjaya W. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Grup. Sanur L D. 2014. Efektivitas kampanye pemilu legislatif 2014. Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri, 6(7): 1-20. Sasmita S. 2011. Peran Informasi Politik Terhadap Partisipasi Pemilih Pemula Dalam Pemilu/Pemilukada. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, 2(1): 217-224 [diakses 7 September 2014]. Tersedia di http://fisip.unila.ac.id/jurnal/files/journals/3/articles/94/public/94-299-1PB.pdf. Sastroatmodjo S. 1995. Perilaku Politik. Semarang [ID]: IKIP Semarang Press. Sayuti SD. 2014. Komunikasi Pemasaran Politik. Bandung [ID]: Remaja Rosdakarya. Schramm W. 1955. Information theory and mass communication. Journalism Quarterly, 32: 131-146. Sendjaja SD. 2002. Teori Komunikasi. Jakarta [ID]: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
82
Severin WJ, Tankard Jr JW. 2011. Teori Komunikasi (Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa). Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. Siagian ECT. 2000. Analisa isi berita pembangunan di Rajawali Citra Televisi Indonesia dalam Tahun 1997 [tesis]. Bogor [ID]: Program Pascasarjana IPB. Stieglitz S, Kauhfhold C. 2011. Automatic full text analysis in public social media-adoption of software prototype to investigate political communication. Procedia Computer Science, 5: 776-781. Subiakto H, Ida R. 2014. Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. Sudaryanti. 2008. Perilaku pemilih melalui pola penggunaan komunikasi massa dan komunikasi interpersonal dalam Pilkada Tahun 2005 di Surakarta (Studi deskriptif tentang perilaku di kalangan PNS Pemerintah Kota Surakarta [tesis]. Surakarta [ID]: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Sugiono A. 2009. Pengaruh faktor eksternal terhadap keputusan memilih dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia putaran pertama dari perspektif Political Marketing (Survei di Desa Woro Kecamatan Keponharu, Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur), Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, 3(6): 561. Suharnomo DUP. 2013. Kepemimpinan Tepa Selira: Sebuah Konstruksi Kepemimpinan Jawa Joko Widodo. Forum Manajemen, 4: 1-21. Suryandaru S. 2013. Perempuan sebagai fasilitator perencanaan pembangunan partisipatif. [Internet] [diakses 28 Agustus 2013]. Tersedia pada http://yayn-s-fisip.webunair.ac.id/artikel_detail-70855-gender. Suryatna U. 2007. Hubungan karakteristik pemilih dan terpaan informasi kampanye politik dengan perilaku memilih (Kasus pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006) [tesis]. Bogor [ID]: Sekolah Pascasarjana IPB. Syukri R A. 2011. Penyelenggaraan sistem elektronik untuk pemilu [tesis]. Jakarta [ID]: Program Studi Tata Negara Fakultas Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Tarigan M. 2009. Partisipasi politik masyarakat Kabupaten Temanggung dalam pelaksanaan pilkada Tahun 2008 [tesis]. Semarang [ID]: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Venus A. 2012. Manajemen Kampanye (Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi). Bandung [ID]: Simbiosa Rekatama Media. Vivian J. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. WanAbas W. 2013. Amalan pemantauan media dalam keluarga: perkaitan sistem ekologi keluarga dengan gaya penyeliaan ibu-bapak ke atas penontonan televisyen anak [tesis]. Malaysia [MY]: Universiti Malaya. West Richard, Turner LH. 2008. Introducing Communication Theory: Analysis and Application. New York [US]: McGraw-Hill.
83
Winahyu RA. 2002. Politik pencitraan Partai Gerindra terhadap Prabowo Subianto pada pilpres 2009 [skripsi]. Jakarta [ID]: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN. Wiryanto. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta [ID]: Gramedia Widiasarana Indonesia. Wright CR. 1959. Mass Communication: A Sociological Perspective. New York [US]: Random House. Yanto E. Teori-teori media massa [diakses 4 September 2014]. Tersedia pada http://ww.epthealwayz.blogspot.com. Yustina Y. 2008. Strategi kampanye politik calon incumbent dan pendatang baru dalam pemilihan kepala daerah (Studi kasus tim kampanye Denny Setiawan-Iwan Sulanjanan dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf di Kota Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor [ID]: Fakultas Pertanian IPB. Zachry C. 2009. Political campaign and new media: A changing landscape [diakses 4 September 2014]. Tersedia pada www.scripps.ohiou.edu/media/ podcasts/j416/papers/zachry.pdf.
84
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Kode Pemilih
:____
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN PENGGUNAAN SUMBER INFORMASI KAMPANYE DAN PARTISIPASI POLITIK KECAMATAN CIBINONG
Nama
: ......…………………………………
Alamat
: ......…………………………………
Kampung
: ......………………RT/RW………..
Desa/Kelurahan
: ......…………………………………
Kecamatan
: ......…………………………………
No. HP
: ......…………………………………
Enumerator
: ......…………………………………
Tanggal wawancara : ......…………………………………
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
85
Lampiran 2 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian
Variabel: Penggunaan Sumber Informasi Kampanye
Case Processing Summary
N Cases
Valid
% 30
100,0
0
,0
30
100,0
a
Excluded Total
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
,951
38
Item-Total Statistics
86
Cronbach's Scale Mean if
Scale Variance
Corrected Item-
Alpha if Item
Item Deleted
if Item Deleted
Total Correlation
Deleted
IIA1
85,97
498,171
,145
,953
IIA3
86,57
472,530
,595
,950
IIA4
86,80
492,717
,434
,951
IIA6
86,43
485,289
,392
,951
IIB7
87,83
476,351
,592
,950
IIB8
87,97
450,516
,725
,949
IIB9
88,37
467,757
,639
,950
IIB11
87,37
455,689
,707
,949
IIB12
88,00
465,379
,805
,948
IIB13
88,10
473,955
,681
,949
IIB14
88,57
483,151
,581
,950
IIB15
88,30
471,252
,859
,948
IIB16
88,73
486,685
,602
,950
IIB17
88,10
471,403
,798
,949
IIB18
88,53
475,292
,771
,949
IIB19
88,07
469,099
,814
,948
IIB20
88,60
481,076
,576
,950
IIB21
88,13
468,809
,784
,949
IIB22
88,43
474,944
,740
,949
IIC23
86,53
463,568
,569
,951
IIC25
87,50
499,086
,109
,953
IIC26
87,37
492,654
,300
,952
IIC27
87,33
492,299
,354
,951
IIC28
88,23
489,082
,390
,951
IIC29
88,20
482,579
,730
,950
IIC30
88,23
482,254
,712
,950
IIC31
88,23
478,254
,744
,949
IIC32
88,60
483,766
,724
,950
IIC33
88,53
489,982
,483
,951
IIC34
88,43
483,426
,609
,950
IIC35
86,87
486,740
,356
,952
IIC36
87,13
485,016
,450
,951
IIC37
87,47
484,671
,446
,951
IIC38
88,40
481,421
,611
,950
IIC39
88,33
481,195
,680
,950
IIC40
88,33
479,816
,682
,950
IIC41
88,47
480,809
,608
,950
IIC42
88,80
489,062
,484
,951
87
Variabel: Partisipasi Politik
Case Processing Summary
N Cases
Valid a
Excluded Total
% 30
100,0
0
,0
30
100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
,934
16
88
Item-Total Statistics Cronbach's Scale Mean if
Scale Variance
Corrected Item-
Alpha if Item
Item Deleted
if Item Deleted
Total Correlation
Deleted
III1
40,60
108,800
,839
,925
III2
41,93
119,720
,576
,932
III3
41,50
112,534
,726
,928
III4
40,77
110,530
,732
,928
III5
41,20
108,924
,833
,925
III6
40,60
111,421
,738
,928
III7
41,20
110,372
,763
,927
III8
39,73
123,168
,273
,938
III9
40,80
112,579
,632
,931
III10
39,97
121,757
,324
,937
III11
40,03
116,378
,495
,934
III12
41,53
113,154
,708
,929
III13
41,67
116,506
,703
,930
III14
41,30
110,286
,782
,927
III15
40,37
111,551
,663
,930
III16
40,30
108,700
,758
,927
89
Lampiran 3
Gambar 2 Peta Administrasi Kecamatan Cibinong
90
Lampiran 4 Karakteristik Demografis Pemilih
Karakteristik Demografis Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Usia Muda (18-35) Dewasa (36-53) Dewasa lanjut (>54) Pendidikan Rendah (SD,SMP) Sedang (SMA/SMU) Tinggi (D3, S1,S2,S3) Pendapatan Rendah (Rp. 200.000 - Rp.1.250.000) Sedang (Rp. 1.300.000 - Rp. 2.350.000) Tinggi (Rp. 2.500.000 - Rp.10.000.000) Asal Kelahiran Cibinong (pribumi) Luar cibinong (pendatang) Lingkungan tempat tinggal Pendidikan Industri Perdagangan Pesantren Perumahan Perkampungan Agraris Afiliasi Politik Dekat dengan partai politik Kurang dekat dengan partai politik Tidak dekat dengan partai politik Ket: n= 200
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
79 121
40 61
99 79 22
50 40 11
83 93 24
42 47 12
44 90 66
22 45 22
112 88
56 44
23 68 2 3 25 26 53
12 34 1 2 13 13 27
161 35 4
81 18 2
91
Lampiran 5 Penggunaan Sumber Informasi Kampanye
No
Item Pertanyaan
Jumlah sumber informasi kampanye X2.1 1
2
3
4
5
1
Jmlh TV
12
6.00%
95
47.50%
68
34.00%
20
10.00%
5
2.50%
2
Topik TV
94
47.00%
106
53.00%
0
0.00%
0
0.00%
0
0.00%
3
Jmlh Program Jmlh Medsos
115
57.50%
70
35.00%
10
5.00%
4
2.00%
1
0.50%
95
47.50%
82
41.00%
12
6.00%
9
4.50%
2
1.00%
81
40.50%
51
25.50%
45
22.50%
21
10.50%
2
1.00%
64
32.00%
58
29.00%
34
17.00%
35
17.50%
9
4.50%
55
27.50%
52
26.00%
53
26.50%
30
15.00%
10
5.00%
90
45.00%
67
33.50%
22
11.00%
19
9.50%
2
1.00%
130
65.00%
36
18.00%
15
7.50%
16
8.00%
3
1.50%
114
57.00%
86
43.00%
0
0.00%
0
0.00%
0
0.00%
4 5 6 7 8 9 10
No 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Jmlh situs ol Jmlh forum ol Topik situs Jmlh topik Jmlh sal intr Topik sal intr
Item Pertanyaan Frek nntn TV Waktu nnt Updt stts Like stts Unggah ft Komen stt Frek video Frek situs Forum ol Frek kel Frek tmn Frek ttga Frek pmka Tny kel Tny tmn Tny ttgga Tny pmka Ajak sal int Diajak pmk
Frekuensi sumber informasi kampanye X2.2 2 3 4
1 19 14 133 133 151 121 150 128 151 61 52 69 101 79 78 80 90 126 114
9.50% 7.00% 66.50% 66.50% 75.50% 60.50% 75.00% 64.00% 75.50% 30.50% 26.00% 34.50% 50.50% 39.50% 39.00% 40.00% 45.00% 63.00% 57.00%
94 5 49 50 38 62 43 57 43 114 121 112 82 108 105 104 87 62 72
47.00% 2.50% 24.50% 25.00% 19.00% 31.00% 21.50% 28.50% 21.50% 57.00% 60.50% 56.00% 41.00% 54.00% 52.50% 52.00% 43.50% 31.00% 36.00%
44 9 7 6 5 9 3 9 3 16 14 14 17 8 11 14 20 7 13
22.00% 4.50% 3.50% 3.00% 2.50% 4.50% 1.50% 4.50% 1.50% 8.00% 7.00% 7.00% 8.50% 4.00% 5.50% 7.00% 10.00% 3.50% 6.50%
42 172 11 11 6 8 4 6 3 9 13 5 0 5 6 2 3 5 1
21.00% 86.00% 5.50% 5.50% 3.00% 4.00% 2.00% 3.00% 1.50% 4.50% 6.50% 2.50% 0.00% 2.50% 3.00% 1.00% 1.50% 2.50% 0.50%
5 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.50% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
92
No 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Item Pertanyaan Frek nntn TV Durasi nnt Durasi updt stts Durasi Like stts Durasi unggah ft Durasi komen stt Durasi video Durasi situs Durasi forum ol Durasi kel Durasi tmn Durasi ttga Durasi pmka
1 12 121 137 128 153 73 80 88 101 88 85 96 111
Durasi Mengakses Sumber Informasi Kampanye X2.3 2 3 4 5 6.00% 60.50% 68.50% 64.00% 76.50% 36.50% 40.00% 44.00% 50.50% 44.00% 42.50% 48.00% 55.50%
136 67 57 62 37 118 109 101 82 95 101 94 72
68.00% 33.50% 28.50% 31.00% 18.50% 59.00% 54.50% 50.50% 41.00% 47.50% 50.50% 47.00% 36.00%
35 10 5 8 8 5 9 8 15 17 11 9 14
17.50% 5.00% 2.50% 4.00% 4.00% 2.50% 4.50% 4.00% 7.50% 8.50% 5.50% 4.50% 7.00%
14 0 0 1 1 1 1 2 2 0 2 1 3
7.00% 0.00% 0.00% 0.50% 0.50% 0.50% 0.50% 1.00% 1.00% 0.00% 1.00% 0.50% 1.50%
3 2 1 1 1 3 1 1 0 0 1 0 0
1.50% 1.00% 0.50% 0.50% 0.50% 1.50% 0.50% 0.50% 0.00% 0.00% 0.50% 0.00% 0.00%
93
Lampiran 6 Tingkat Partisipasi Politik
No. 1 2 3 4 5 6 7
Ikt kamp terbuka Menyumbang Bagi alat peraga Bagi atribut Bagi atribut terbuka Jaga keamanan Cari tahu materi
No. Item Pertanyaan 1 Ajak/himbau memberi suara 2 Dukung pmilihan lgs 3 Dukung Pemilu
No. 1 2 3 4 5
1
Item Pertanyaan 83 121 115 82 116 74 95
41.50% 60.50% 57.50% 41.00% 58.00% 37.00% 47.50%
81 64 55
40.50% 32.00% 27.50%
51 58 52
4.00% 1.50% 2.00% 5.50% 2.50% 9.00% 4.50%
4 0 1 2 2 6 2
25.50% 29.00% 26.00%
45 34 53
22.50% 17.00% 26.50%
21 35 30
45.00% 43.50% 41.50% 41.50% 45.00%
67 66 62 61 55
33.50% 33.00% 31.00% 30.50% 27.50%
22 22 33 35 31
11.00% 11.00% 16.50% 17.50% 15.50%
19 20 17 14 19
2.00% 0.00% 0.50% 1.00% 1.00% 3.00% 1.00%
5 10.50% 17.50% 15.00%
2 9 10
Keterlibatan Mengawasi Pemilu (Y3) 2 3 4
1 90 87 83 83 90
5
Keterlibatan Memberikan Suara (Y2) 2 3 4
1
Item Pertanyaan Tegur oknum bagi uang Lapor kecurangan Beri ide/masukan Pantau perhitungan suara Pantau siding sengketa
94 69 70 79 66 71 82
Keterlibatan dalam Kampanye (Y1) 2 4 3 47.00% 11 5.50% 8 34.50% 7 3.50% 3 35.00% 10 5.00% 4 39.50% 26 13.00% 11 33.00% 11 5.50% 5 35.50% 31 15.50% 18 41.00% 12 6.00% 9
1.00% 4.50% 5.00%
5 9.50% 10.00% 8.50% 7.00% 9.50%
2 5 5 7 5
1.00% 2.50% 2.50% 3.50% 2.50%